Pengamanan dalam Pelaksanaan Kewenangan

Pengamanan dalam Pelaksanaan Kewenangan Jaksa selaku Pelaksana
Putusan Pidana Penjara
Oleh : Bagus Gede M.W.A
Calon Jaksa Pada Kejaksaan Negeri Sintang

Penegakan hukum adalah salah satu primadona dalam jagat jurnalistik indonesia.
Beragam problematika hukum muncul silih berganti menjadi tajuk utama di berbagai media
baik cetak maupun elektronik, antara lain terulangnya perseteruan kpk dan polri, polemik
pelaksanaan eksekusi terpidana hukuman mati hingga kisah-kisah penghalangan eksekusi
penjara yang dilakukan oleh Labora Sitorus. Pelaksanaan pidana, dalam hal ini pidana
penjara dan pidana mati merupakan bagian dari definisi pidana dalam KUHP, menurut Pasal
10 KUHP pidana terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun yang disebut
dengan pidana pokok adalah pidana mati, pidana penjara dan pidana kurungan, dan pidana
tambahan antara lain pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan
pengumuman putusan hakim. Pidana penjara adalah salah satu bentuk pidana perampasan
kemerdekaan yang hanya boleh dijatuhkan oleh hakim melalui putusan pengadilan. Execution
est juris secundum judicium: penjatuhan pidana merupakan penerapan hukum berdasarkan
putusan (Eddy OS Hieraj, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, h.395).
Eksekusi pidana penjara jika dibandingkan dengan eksekusi pidana mati terasa kalah
seksi untuk diperbincangkan, tapi dalam pelaksanaannya eksekusi pidana penjara terkadang
malah lebih beresiko ketika dilakukan. Terutama terhadap terpidana yang memiliki pengaruh

terhadap masyarakat sekitarnya. Pihak-pihak yang hidupnya bertumpu pada terpidana
tersebut akan mati-matian menghalangi pelaksanaan putusan dari sang terpidana, terutama
terhadap kaum yang tak pengetahuan hukumnya terbilang minim, pihak terpidana tak akan
segan untuk memelintir isu demi kepentingan dirinya. Mulai dari isu agama, pelecehan ras,
suku atau kaumnya, dan banyak lagi. Seperti pelaksanaan eksekusi terhadap Labora Sitorus
yang menemui banyak kendala. Sebuah laman media online bahkan mengibaratkan labora
seperti don vito corleone bagi masyarakat sekitar kediamannya, dan yang mengatakan hal ini
adalah Yasona Laoli, seorang menteri hukum dan ham. Beragam alasan akan dijadikan
tameng terpidana untuk menolak pelaksanaan eksekusi, yang paling sering muncul adalah
putusan dirasa tidak adil oleh terpidana maupun pendukungnya, alasan kesehatan serta syarat
formil dari putusan sebagaimana Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang belum lengkap sehingga
menyebabkan putusan batal demi hukum. Penolakan terhadap dilaksanakannya eksekusi
pidana penjara oleh Labora Sitorus bukanlah yang pertama di Indonesia. Sebelumnya
terdapat kasus-kasus serupa, salah satu yang menjadi magnet media adalah kasus mantan
Kabareskrim Susno Duaji yang bersikukuh menolak dieksekusi oleh jaksa eksekutor dalam
kasus penanganan perkara PT Salmah Arowana Lestari (SAL) dan dana pengamanan Pilkada
Jawa Barat 2008. Pengadilan memvonis dirinya dengan hukuman 3,5 tahun penjara, denda
Rp 200 juta dan pengembalian kerugian negara Rp 4,2 miliar. Namun kasus-kasus tersebut
merupakan tip of the iceberg, di masyarakat daerah masih banyak kasus-kasus serupa.


Nominal yang fantastis dan profil pelaku yang tergolong sebagai orang pentinglah yang
menyebabkan dua kasus tersebut terpantau radar jurnalis nasional.

Wewenang Kejaksaan untuk Mengeksekusi Pidana Penjara
Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum secara universal merupakan lembaga
sentral dalam sistem penegakan hukum pidana (centre of criminal justice system) mempunyai
tugas dan tanggung jawab untuk mengkoordinir/mengendalikan penyidikan, melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan/putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde), serta mempunyai tanggung jawab dan kewenangan atas
seluruh barang bukti yang disita baik dalam tahap penuntutan untuk kepentingan pembuktian
perkara, maupun kepentingan eksekusi.
Wewenang kejaksaan untuk melaksanakan putusan pengadilan diatur dalam dua
undang-undang, yaitu KUHAP dan UU Kejaksaan No 16 tahun 2004. Kuhap Pasal 1 butir 6a
: Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai
penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Lebih rinci lagi dalam UU Kejaksaan Nomor 16 tahun 2004 Pasal 1 angka 1
menambahkan definisi Jaksa dalam KUHAP dengan frasa “… serta wewenang lain
berdasarkan undang-undang.” Ketentuan undang-undang tersebut diatas menegaskan bahwa
disamping sebagai penyandang Dominus Litis (pengendali proses perkara), Kejaksaan juga
merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar).

Namun walaupun disinggung dalam dua undang-undang dalam prakteknya saat
mengeksekusi putusan pidana penjara Kejaksaan terkesan tergopoh-gopoh bahkan cenderung
seporadis dalam bertindak dikala menemukan kendala-kendala baik teknis maupun yuridis
yang menjadi batu sandungan dalam pelaksanaan eksekusi pidana penjara. Jika tidak
didukung dengan persiapan yang memadai jaksa akan menghadapi pilihan sulit.
Melaksanakan eksekusi dan masyarakat yang berpihak pada terpidana akan terpancing
emosinya sehingga membahayakan keselamatan jaksa itu sendiri, tidak melaksanakan
eksekusi dengan konsekuensi jaksa tersebut akan dianggap melakukan pembiaran yang
kemudian oleh media dianggap kejaksaan takut dan menodai wibawa penegakan hukum
Indonesia.
Dalam hal pelaksanaan putusan pidana penjara kejaksaan dapat meminta bantuan baik
kepada pihak kepolisian maupun TNI apabila terpidana dan pendukungnya mengancam
ketertiban umum seperti dalam eksekusi Labora Sitorus yang dilaksanakan pada hari jumat
20 Februari 2015 pada pukul 08.25 WIT dengan pengerahan bantuan dari TNI dan Polri yang
berjumlah massif. Diperlukan 600 personel kepolisian dari berbagai macam kesatuan,
termasuk Brimob. Sementara dari TNI AD dan TNI AL masing-masing 60 personel. Jumlah
bantuan yang sangat besar untuk mengeksekusi satu orang. Dalam pelaksanaan eksekusi
pidana penjara belum ada SOP sebagai dasar bertindak, baik dari pihak kejaksaan selaku
eksekutor maupun pihak TNI maupun POLRI yang dimintakan bantuan. Lain halnya dalam


melaksanakan eksekusi pidana mati dimana kepolisian memiliki peraturan perkap 12 tahun
2010 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati. Peraturan ini sebagaimana dalam Pasal 2
bertujuan untuk menyamakan persepsi dan cara bertindak dalam pelaksanaan pidana mati
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiadaan aturan baku atau SOP
ini dikhawatirkan apabila terjadi perbedaan persepsi antara jaksa eksekutor dan tim
pengamanan saat melaksanakan tugas mengeksekusi pidana penjara eksekusi akan terhambat
atau kemungkinan terburuk akan gagal dilaksanakan.
Selain itu perlu dipertimbangkan juga kemungkinan terburuk setelah eksekusi
dilaksanakan. Jika tujuannya hanya untuk segera memasukkan terpidana ke dalam bui,
kejaksaan dapat meminta bantuan pengamanan kepada TNI maupun Polri ketika
melaksanakan eksekusi, suatu solusi yang praktis dan sangat mungkin untuk dilaksanakan.
Tetapi perlu dipertimbangkan juga efek yang terjadi apabila warga yang mendukung
terpidana yang dieksekusi tersebut mengamuk di kejaksaan eksekutor setelah tokoh yang
dibelanya dimasukkan ke penjara. Keselamatan keluarga besar kejaksaan tentu patut
dipertimbangkan juga. Tidak ada yang salah dari meminta bantuan kepada institusi lain,
sepanjang hal tersebut guna kepentingan penegakan hukum. Tetapi ada baiknya
memanfaatkan sumber daya manusia yang ada dalam institusi kejaksaan, karena apabila
meminta bantuan dari pihak luar bantuan yang diberikan hanyalah sebatas apa yang kita
minta. Tak mungkin kita meminta TNI atau Polri untuk berjaga selama 24 jam setiap harinya
di kantor kejaksaan untuk melakukan pengamanan.

Memanfaatkan sumber daya manusia yang dimiliki kejaksaan dimulai dari
pemantauan gerak-gerik dan komunikasi terpidana guna mengetahui pola kebiasaan terpidana
dalam kesehariannya dan mencari titik lengah dari terpidana tersebut yang dapat dilakukan
oleh seksi intelijen kejaksaan yang dapat pula meminta bantuan pemantauan kepada
Adhyaksa Monitoring Center (AMC), dari penamaannya saja sudah dapat dilihat bahwa
fungsi dari lembaga ini dominan dalam hal pengawasan atau monitoring.
Kemudian guna memberikan pengamanan terhadap jaksa yang akan melakukan
eksekusi dan meredam potensi gesekan antara masyarakat dengan kejaksaan yang timbul
setelahnya sebenarnya dapat memberdayakan sumber daya internal yang dimiliki kejaksaan
sebelum meminta bantuan dari instansi penegakan hukum lain. Dalam struktur organisasi
kejaksaan terdapat suatu jabatan kepegawaian bernama pengawal tahanan yang dijabat oleh
pegawai tata usaha pada unit kerja masing-masing kejaksaan. Pengawal tahanan ini bekerja
berdasarkan SOP Pengawalan dan Pengamanan Tahanan yang dituangkan dalam Peraturan
Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-005 /A/JA/03/2013, dalam Peraturan Jaksa
Agung ini yang dimaksud dengan Pengawal Tahanan adalah pegawai tata usaha di
lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia yang diberi tugas dengan Surat Perintah untuk
menyiapkan, menjaga, mengawal dan mengamankan tahanan pada tahap penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan eksekusi. Dilihat dari rumusan definisi
pengawal tahanan dalam Pasal 1 angka 8 Perja SOP Pengawalan dan Pengamanan Tahanan,
mengawal jaksa eksekutor sudah menjadi kewajiban dari pengawal tahanan selama ada surat

perintah untuk menjalankannya. Selain pegawai Tata Usaha yang sejak semula telah

memegang jabatan sebagai pengawal tahanan, para CPNS dan PNS dengan jabatan Calon
Jaksa yang diperbantukan sebagai pengawal tahanan juga dapat dipergunakan tenaganya
untuk menjadi pengaman pelaksana putusan pengadilan. Menugaskan CPNS dan PNS calon
jaksa juga untuk menambah pengalaman dan melatih mental para calon jaksa untuk persiapan
apabila nanti saat telah menjadi jaksa menghadapi situasi dimana terpidana melakukan
perlawanan fisik saat pelaksanaan eksekusi pidana penjara.
Namun sayangnya dalam SOP Pengawalan dan Pengamanan Tahanan tidak dijelaskan
bagaimana prosedur pengamanan proses eksekusi yang menurut Pasal 1 angka 8 merupakan
salah satu tugas dari pengawal tahanan. Prosedur pengawalan dan pengamanan tahanan yang
diatur dalam Bab IV SOP Pengawalan dan Pengamanan Tahanan dari Pasal 5 sampai dengan
Pasal 8 hanya mengatur pengawalan dan pengamanan tahanan dalam hal penyidikan, pra
penuntutan, penuntutan di persidangan serta pengamanan dalam pengembalian tahanan ke
rutan setelah sidang. Hal ini perlu dibenahi dengan dirancangnya suatu aturan hukum internal
kejaksaan yang mengatur mengenai SOP pelaksanaan pengamanan eksekusi putusan
pengadilan, mengingat telah banyak kasus terpidana menolak untuk dilakukan eksekusi
pidana penjara dan kemudian melakukan perlawanan fisik kepada jaksa eksekutor.
Mengingat belum diatur secara rinci pengamanan pelaksanaan pidana penjara baik dalam
SOP bidang Pidsus maupun Pidum serta dalam SOP Pengawalan dan Pengamanan Tahanan,

maka sebagai dasar hukum dalam melakukan pengamanan perlu disusun suatu SOP baik
dalam hal pelaksanaan eksekusi putusan pidana penjara secara keseluruhan maupun terhadap
pengamanan tersendiri. SOP ini selain selain sebagai acuan baku dalam bertindak juga
dimaksudkan agar tidak terjadi penyalahangunaan kewenangan baik oleh jaksa eksekutor
maupun regu pengamanan dikemudian hari. Komposisi regu pengamanan ini baiknya diisi
oleh staf tata usaha kejaksaan terutama jabatan pengawal tahanan dan tanpa menyertakan
jaksa fungsional mengingat tugasnya untuk membantu melakukan pengamanan terhadap
jaksa eksekutor, dan anggota pengamanan ini dengan suatu sertifikasi tertentu diperbolehkan
untuk mempergunakan senjata api guna melindungi jaksa eksekutor dalam keadaan terdesak.
Penguatan fungsi Kejaksaan dalam hal pelaksanaan eksekusi pidana penjara selain
untuk memberikan perlindungan kepada jaksa eksekutor putusan juga untuk menjaga wibawa
kejaksaan di mata masyarakat awam. Diharapkan tidak ada lagi terpidana yang tidak berjiwa
besar menghormati amar putusan pengadilan menghalangi upaya jaksa eksekutor untuk
melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sebagai aparat
penegak hukum kita harus selalu mengupayakan tegaknya hukum di negeri ini. Sebagaimana
adagium hukum yang sering kita dengar “fiat justitia ruat caelum”, hukum harus ditegakkan
walau langit akan runtuh.