ANALISIS PELAKSANAAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG DALAM PENYAMPINGAN PERKARA KASUS BIBIT-CHANDRA

(1)

Desi Indriani

ABTRAK

ANALISIS PELAKSANAAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG DALAM PENYAMPINGAN PERKARA KASUS BIBIT-CHANDRA

Oleh

Desi Indriani

Seponering atau Penyampingan Perkara adalah prinsip hukum yang memberikan

hak kepada Jaksa Agung untuk melakukan Penyampingan Perkara demi kepentingan umum, yang dapat dikeluarkan setelah melalui proses hukum, serta memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. dipusatkannya kewenangan Penyampingan Perkara kepada Jaksa Agung dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaannya oleh penuntut umum. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana kewenangan Jaksa Agung untuk melakukan Penyampingan Perkara dalam kasus Bibit-Chandra dan apakah faktor yang melatarbelakangi Penyampingan Perkara dalam kasus Bibit-Chandra.

Penelitian menggunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Penelitian ini menggunakan metode penentuan narasumber, sedangkan data yang akan digunakan adalah data sekunder, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif dan ditarik kesimpulan berdasarkan metode induktif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diketahui bahwa pelaksanaan kewenangan Jaksa Agung untuk melakukan Penyampingan Perkara dalam melakukan penegakan hukum serta agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan dalam melakukan Penyampingan. Hal yang melatarbelakangi dikeluarkannya Penyampingan Perkara adalah demi kepentingan umum yaitu kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan masyarakat luas. Adakalanya pelaku tindak pidana adalah orang yang memiliki konstribusi besar terhadap negara seperti kedua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu Bibit-Chandra, sehingga proses hukum yang dijalaninya memancing keresahan masyarakat, tokoh nasional, bahkan himbauan dari Presiden Republik Indonesia agar pelaku tindak pidana tersebuti tidak dibawa kepengadilan, agar terciptanya kehidupan masyarakat yang baik dan menjaga kepentingan hukum negara.

Saranagar aparat penegak hukum, untuk menerapkan hukum pidana yang tidak hanya menjalankan amanat undang-undang, tetapi wajib menggali nilai-nilai


(2)

Desi Indriani hidup, tumbuh dan berkembang di masyarakat. Menjalankan tugasnya dengan benar dan seadil-adilnya.Saran kepada Pemerintah dan DPR untuk membuat undang-undang tersendiri untuk seponering atau Penyampingan Perkara. Kemudian memberikan penjelasan tertulis didalam peraturan perundang-undangan tersebut untuk mengetahui lebih jelas faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya Penyampingan Perkara pada saat dikeluarkanya

seponering.


(3)

(4)

ANALISIS PELAKSANAAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG DALAM PENYAMPINGAN PERKARA KASUS BIBIT-CHANDRA

(skripsi)

Oleh

Desi Indriani

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG


(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Penyampingan Perkara (seponering) 16 1. Pengertian Penyampingan Perkara (Seponering) ... 16

2. Dasar Hukum Penyampingan Perkara ... 18

B. Asas Legalitas dan Asas Opportunitas ... 20

C. Perbedaan Penyampingan Perkara dengan Penghentian Penuntutan ... 24

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 27

B. Sumber dan Jenis Data ... 27

C. Penentuan Narasumber ... 29

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 29


(8)

A. Karakteristik Responden ... 31 B. Kewenangan Jaksa Agung Untuk Melakukan Penyampingan

Perkara Dalam Kasus Bibit-Chandra... 33 C. Faktor Yang Melatarbelakangi Dikeluarkan Seponering

Atau Penyampingan Perkara Dalam Kasus Bibit-Chandra ... 47

V. PENUTUP

A.Simpulan ... 56 B. Saran ... 57


(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rumusan kesamaan kedudukan dimata hukum berarti hukum diberlakukan dengan tidak membeda-bedakan latar belakang seseorang. Hal tersebut juga perlu didukung dengan adanya tindakanyang menjunjung tinggi hukum serta pemerintahan, tindakan tersebut menjadi cerminan bahwa adanya kepatuhan warga dalam menaati hukum yang berlaku tanpa terkecuali. Hukum dan penegak hukum merupakan faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.1

Berlakunya hukum di masyarakat tidak mutlak menjamin keserasian, keharmonisan, keseimbangan di masyarakat dapat timbul dengan mudah.Hal ini disebabkan faktor-faktor yang dimunculkan baik psikologis, sosial, budaya, kedudukan oleh manusia. Faktor-faktor inilah yang memungkinkan adanya suatu pelanggaran hukum yang berlaku. Dengan adanya kemungkinan timbulnya pelanggaran hukum maka diperlukan adanya penegakan hukum. Penegakan hukum dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap

1 Soerjono Soekamto

, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Grafindo


(10)

setiappelanggar dan penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum. Baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa atas perkara lainnya. Kegiatan penegakan hukum mencakup juga segala aktifitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah normatif yang mengatur subjek hukum dalam aspek kehidupan masyarakat dan negara. Proses penegakan hukum dalam pelanggaran hukum disusun dalam peraturan perundang-undangan dan terstruktur dalam hukum acara pidana.2

Hukum acara pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan yang tidak boleh dilakukan atau yang dilarang, biasanya disertai dengan sanksi negatif berupa pidana terhadap pelaku perbuatan yang dilarang. Penegakan hukum dilihat lebih sempit, bahwa penegakan hukum menyangkut kegiatan penindakkan terhadap semua pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagi melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan.3

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan definisi tentang hukum acara pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya

2

Jimly Asshidiqie,penegakan hukum. http//www.statushukum-hukum.html, diakses tanggal 31 mei 2013, (14.00) WIB.

3Simon,

pengertian hukum acara pidana, http//www.pengertian-pendidikan.com, diakses tanggal


(11)

hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain.4Beracara Pidana dalam hal penuntutan suatu tindak pidana peran Jaksa sangatlah penting guna menegakkan keadilan.Penuntutan dilakukan oleh penuntut umum. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.Kedudukan paling tinggi adalah Kejaksaan Agung, Kejaksaan Agung adalah lembaga kejaksaan yang berkedudukan di ibukota Negara Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Indonesia.5

Kejaksaan yang dipimpin oleh Jaksa Agung untuk mengendalikan tugas dan wewenang kejaksaan yang salah satu tugas dan wewenang Jaksa Agung dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 35 hufur c mengatur tetang Penyampingan Perkara yang dilakukan demi kepentingan umum atau kepentingan masyarakat oleh Jaksa Agung.6

Tugas dan wewenang Jaksa Agung salah satunya adalah mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Mengesampingkan Perkara merupakan Penyampingan Perkara demi kepentingan umum atau yang disebut

(seponering), dengan memperhatikan saran serta pendapat dari badan-badan

kekuasaan negara, yang memiliki hubungan dengan masalah yang bersangkutan berdasarkan asas opportunitas yang dimiliki oleh Jaksa Agung.

4

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakata, Sinar Grafika, 2011, hlm. 4. 5

Sujipto Raharjo, , peran jaksa penuntut umum dalam menegakkan keadilan, http://insatu.blogpot.com, diakses tanggal 1 juni 2012, (10.10) WIB.

6

undang-undang nomor 16 tahun 2004, http://hukumonline.com, diakses tanggal 24 juni 2013,


(12)

Penyampingan Perkara juga merupakan wewenang tidak menuntut karena kebijakan.7KUHAP mengatur tentang Penyampingan Perkara dalam sistem proses penyidikan yang ada di Kejaksaan Agung. Penyampingan Perkara biasanya dilakukan demi kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Kewenangan asas opportunitas dipusatkan ditangan Jaksa Agung sehingga asas opportunitas dapat dicegah penyalahgunaannya oleh penuntut umum. Hal ini bukan berarti jaksa dan penuntut umumtidak mempunyai kewenangan untuk menyampingkan perkara pidana, melainkan kewenangan tersebut dipusatkan pada Jaksa Agung sehingga hanya dalam menangani penyampingan perkara benar-benar demi kepentingan umum.8

Penyampingan Perkara didasarkan pada asas opportunitas adalah asas yang melandaskan penuntut umum mempunyai kewenangan untuk tidak menuntut suatu perkara di muka sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum atau hak jaksa agung yang karena jabatannya untuk menyampingkan perkara-perkara pidana, walaupun bukti-bukti cukup untuk menjatuhkan hukuman, bila Jaksa Agung berpendapat lebih banyak kerugian bagi kepentingan umum dengan menuntut suatu perkara dari pada tindak penuntutnya. Dengan kata lain perkara dikesampingkan walaupun sudah cukup bukti dan bila diteruskan di persidangan kemungkinan besar terdakwa diputus bersalah. Asas opportunitas pada dasarnya memungkinkan jaksa selaku Penuntut Umum untuk memilih meneruskan penuntutan terhadap suatu perkaraatau tidak. Jaksa dapat mengabaikan penuntutan suatu perkara atas

7

Rm Surachman dkk, Jaksa diberbagai Negara, peranan dan kedudukannya, Jakarta, Sinar Grafika, 1994, hlm. 38.

8 Leden Marpaung,

Proses Penanganan Perkara Pidana penyelidikan dan penyidikan, Jakarta,


(13)

dasar atau alasan Demi Kepentingan umum.9Jaksa melakukan Penyampingan Perkara demi kepentingan umum berdasarkan asas opportunitas hal ini dapat dikaitkan dengan kewenangan jaksa yaitu kewenangan diskresi yang diterapkan pada kasus dugaan penyuapan Bibit-Chandra.

Kewenangan diskresi yang merupakan suatu tindakan pihak yang berwenang berdasarkan hukum untuk bertindak pasti atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan hati nuraninya.10Demi kepentingan umum kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah (Bibit-Chandra) sudah seharusnya dikesampingkan. Penyampingan Perkara bibit Chandra ini diperlukan mengingat adanya dugaan pelemahan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), di mana KPK yang telah dibentuk dengan susah payah yang statusnya sebagai motivator dalam upaya pemberantasan korupsi perlu diselamatkan dari upaya pelemahan demi kepentingan umum. Dalam hal ini kewenangan Jaksa Agung dapat diyakini bukan karena adanya intervensi dari pihak lain, akan tetapi demi kepentingan umum dalam kasus dugaan suap terhadap dua pimpinan KPK (Bibit-Chandra).11

Kedua pimpinan KPK ini ditetapkan oleh Mabes Polri sebagai tersangka dugaan kasus penyalahgunaan wewenang terkait penerbitan surat pengajuan pencabutan pencekalan terhadap pengusaha Anggoro Widjoyo dan Joko Soegiarto dan juga dugaan penyuapan dengan ditahannya kedua pimpinan KPK. Kemudian munculah gerakan publik mendesak pembebasan Bibit dan

9

O.C. Kaligis, Deponering Teori dan Praktik, Bandung, PT. Alumni, 2011, hlm. 1. 10

Darmono, Penyampingan Perkara Pidana Seponering dalam Penegakan hukum, Jakarta, Solusi Publishing, 2013, hlm. 53.

11


(14)

Chandra, publik banyak yang menilai telah terjadi upaya kriminalisasi terhadap keduanya. Akhirnya Presiden merumuskan membentuk timDelapan yang diketuai oleh Adnan Buyung Nasution untuk memverifikasi fakta dan data proses hukum dari kasus ini. Tim Delapan menganggap telah ada upaya kriminalisasi terhadap Bibit dan Chandra dan merekomendasikan beberapa hal kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.12

Presiden memberikan penjelasan kepada publik bahwa Presiden meminta Polri dan Jaksa Agung untuk tidak melanjutkan kasus pimpinan non aktif Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit-Chandra. Kemudian Presiden RI menganjurkan agar kasus Bibit-Chandra diselesaikan diluar pengadilan.

Kasus pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah akhirnya diberhentikan.Kepala Kejaksaan Nergeri Jakarta Selatan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) untuk menghentikan penuntutan perkara tersebut.Kejaksaan memilih menggunakan SKPP yang pada akhirnya menimbulkan polemik pada masyarakat.Namun banyak para ahli hukum yang berpendapat dikeluarkannya SKPP ini kurang tepat, para ahli hukum menyarankan sebaiknya Jaksa Agung menggunakan hak oportunitasnya untuk menutup perkara tersebut. Kemudian SKPP tersebut dicabut oleh Hakim dipengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan gugatan Praperadilan Anggodo dan kuasa hukumnya.13Kemudian banding di Pengadilan Tinggi ditolak dan Peninjuaan

12

Arif Zein, jalan panjang Kasus Bibit-Chandra, http://news.viva.co.id, diakses 15 mei 2013, (13.30) WIB.

13 Arif Hidayat,

kronologi penyidikan kasus Bibit-Chandra, http://nasional-kompas.com, diakses 7 juni 2013, (15.15) WIB.


(15)

Kembalinya pun tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menilai Peninjauan Kembali dalam kasus Bibit-Chandra tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 45 ayat (1).

Setelah Peninjauan Kembali tersebut tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung memutuskan menggunakan hak opportunitasnya dalam kasus ini. Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pelaksana tugas Jaksa Agung Darmono mengeluarkan penyampingan perkara dalam kasus Bibit-Chandra. Keputusan ini dikeluarkan oleh Jaksa Agung pada tanggal 29 Oktober 2010, tepat satu tahun Bibit dan Chandra ditahan oleh Mabes Polri. Tepat tanggal 24 Januari 2011 Jaksa Agung Basrief Arief akhirnya menandatangani dua surat penetapan Penyampingan Perkara Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Dua surat ketetapan itu masing-masing bernomor TAP -01/A/AJ/01/2011 atas nama Chandra M. Hamzah dan TAP -02/A/JA/01/2011 atas nama Bibit Samad Rianto resmi diterbitkan Jaksa Agung. Surat ini menyatakan meski kasus Bibit-Chandra ini dianggap ada, namun dikesampingkan demi kepentingan umum.14

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik mengetahui dan mendalami lebih jauh dari beberapa hal tentang latar belakang dari penyampingan perkara dalam kasus Bibit-Chandra kebijakan prnyampingan perkara yang dilakukan oleh Jaksa Agung.Hal inilah yang membuat penulis tertarik mengambil judul Analisi Penyampingan Perkara dalam kasus Bibit-Chandra.

14


(16)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan Latar Belakang yang telah dikemukakan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah:

1. Bagaimanakah kewenangan Jaksa Agung untuk melakukan Penyampingan Perkara dalam kasus Bibit-Chandra?

2. Apakahfaktor yang melatarbelakangi penyampingan perkara dalam kasus Bibit-Chandra?

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dan dari permasalahan yang timbul, maka penulis membatasi pada lingkup Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana Formil.Ruang lingkup substansi mengenai Peyampingan Perkara kalam kasus Bibit-Chandra. Sedangkan ruang lingkup wilayah penelitian yaitu pada Kejaksaan Tinggi Lampung dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung.Ruang lingkup tahun penelitian ini yaitu pada tahun 2013.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan arahan yang tepat dalam proses penelitian tersebut berjalan sesuai dengan apa yang hendak dicapai. Adapun tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut:


(17)

1. Untuk mengetahui kewenangan Jaksa Agung untuk melakukan Penyampingan Perkara dalam kasus Bibit-Chandra.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi penyampingan perkara dalam kasus Bibit-Chandra.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penulisan ini adalah: a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan teoritis ini adalah untuk memberikan sumbangan pikiran serta pengetahuan bagi perkembangan disiplin ilmu hukum pidana khususnya kewenangan dan upaya Penyampingan Perkara oleh Jaksa Agung dalam penanganan kasus Penyampingan Perkara.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan yang berbentuk skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi penulis dalam menggali dan mengembangkan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana dan untuk menambah informasi bagi para pihak yang tertarik untuk mengadakan penelitian lanjutan tentang Penyampingan Perkara oleh Jaksa Agung sebagai acuan atau referensi.


(18)

D. Kerangka Teoritis Dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.15

Kejaksaan menyatakan Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenag mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.Menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan masyarakat luas. Sehingga fungsi Penyampingan Perkara dikeluarkan karena untuk menjaga kepentingan umum, penyampingan Perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.16

Penyampingan Perkara lebih disoroti pada pertentangan asas legalitas dan asas oportunitas. Memperlihatkan bahwa sekalipun pada dasarnya KUHAP menganut asas legalitas, namun KUHAP sendiri masih memungkinkan mempergunakan perinsip asas opportunitas sebagaimana yang masih diakui oleh penjelasan Pasal 77 KUHAP.

15 Soerjono Soekanto,

Op. Cit., hlm. 124. 16


(19)

Seorang yang jelas bersalah menurut pemeriksaan penyidik, dan kemungkinan besar akan dijatuhi hukuman, namun hasil pemeriksaan itu tidak dilimpahkan ke Pengadilan tetapi demi terciptanya kepastian hukum maka dikeluarkan Penyampingan Perkara atau seponeringterhadap perkara tersebut demi kepentingan umum. Cara ini lah yang disebut asas oportunitas.17

Kewenangan Jaksa Agung dalam menyampingkan sebuah perkara di mana ini akan menjadi landasan utama teori yang akan digunakan untuk penelitian atau analisis kasus dugaan suap Bibit-Chandra, berdasarkan ketentuan-ketentuan di bawah ini:

1. Pasal 46 ayat 1 UU No. 16 Tahun 2004

Perkara tersebut dikesampingkan demi kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.

2. Pasal 77 KUHAP

Yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum menjadi wewenang Jaksa Agung.

3. Pasal 32 huruf e UU No. 5 Tahun 1991 jo

Mengajukan pertimbangan teknis Hukum kepada mahkamah agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana.

17


(20)

4. Pasal 8 UU No. 15 tahun 1961 jo

Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum.

Kepentingan umum dalam Penyampingan Perkara adalah demi kepantingan negara, bangsa dan masyarakat luas.Sehingga demi kepentingan umum harus mengorbankan kepentingan hukum.

Faktor dikeluarkannya Penyampingan Perkara demi kepentingan umum karena seseorang yang melakukan suatu kejahatan akan tetapi jika orang tersebut dituntut dimuka pengadilan, kepentingan negara atau masyarakat luas akan dirugikan, maka terdapat pengecualian dalam hukum acara pidana untuk menyelesaikan masalah tersebut.18Pada penjelasan Pasal 77 KUHAP ditegaskan penghentian penuntutan tidak termasuk Penyampingan Perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.

Pada Penyampingan Perkara atau Seponering, perkara yang dikesampingkan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa di muka sidang pengadilan.Dari bukti dan alasan yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi perkara yang cukup alasan dan bukti ini sengaja dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh pihak Kejaksaan atas alasan demi kepentingan umum.

Menurut penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan masyarakat luas. Dalam Penyampingan

18


(21)

Perkara, hukum dan penegak hukum dikorbankan demi kepentingan umum. Seserong yang cukup bukti melkukan tindak pidana, perkaranya dikesampingkan secara otomatis.

2. Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah itu.19

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatanhuku tetap. (Pasal 1 angka 6 sub a Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana).

b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melaukan penuntutan dan melasanakan penetapan hakim. (Pasal 6 sub b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). c. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam

sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atu lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

d. Seponering atau Penyapingan Perkara adalah perkara yang

bersangkutan sudah cukup alasan dan bukti untuk diajukan serta diperiksa di muka sidang pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi

19Soerjono Soekanto,

Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan singkat), Jakarta, Rajawali Pers, 1985, Hlm. 32.


(22)

perkara yang cukup fakta dan bukti itu sengaja dikesmpingkan dan tidak di limpahkan ke muka pengadilan oleh pihak penuntut umum atas alasan demi kepentingan umum. Seponering ini hanya dapat dilakukan oleh jaksa agung langsung.

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan memahami skripsi ini secara keseluruhan, maka sistematika penulisannya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuuan yang memuat latar belakng masalah, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual, serta menguraikan tentang sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang penyampingan perkara yang dilakukan oleh Jaksa Agung, sebagai landasan dalam pembahasan diuraikan juga proses berjalannya Penyampingan Perkara dalam kasus Bibit-Chandra oleh Jaksa Agung.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta tahap akhir berupa analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini pembahasan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini, akan dijelaskan kewenangan jaksa agung dlam menangani


(23)

Penyampingan Perkara dan mengenai proses berjalannya Penyampingan Perkara oleh kejaksaan agung menurut undang-undang yang berlaku.

V. PENUTUP


(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Dasar Hukum Penyampingan Perkara(Seponering)

1. Pengertian Penyampingan Perkara (Seponering)

Penyampingan Perkara adalah bentuk pelaksanaan dari asas oportunitas yang dimiliki oleh Jaksa Agung.Penyampingan Perkara merupakan asas oportunitas yang hanya dapat di lakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.1Istilah yang sering dipakai di Indonesia adalah

Deponering.Sebenarnya itu adalah kekeliruan penyampingan perkara adalah

Seponering.

Penyampingan Perkara dalam bahasa Belanda terdapat dua istilah yaitu

deponeren dan seponeren.Penyampingan Perkara yang dimaksud oleh para

ahli hukum sebenarnya adalah seponering yang berarti menyampingkan, bukan deponering yang berarti membuang. Jadi menyampingkan penuntutan terhadap tersangka dikarenakan asas opportunitas atau karena tidak cukupnya bukti untuk dibawa kepengadilan disebut dengan penghentian secara teknis.Seponering biasanya digunakan dalam dalam perkara pidana menyampingkan, tidak diadakan penuntutan oleh jaksa penuntut umum berdasarkan asas oportunitas atau karena bukti tidak cukup lengkap untuk mengadakan tuntutaan hukum.Kewenangan seponering masih perlu dimiliki

1


(25)

oleh Kejaksaan selaku penegak hukum, karena berdasarkan asas diskresi, setiap penegak hukum perlu memiliki kewenangan menyampingkan perkara demi kepentingan umum.2

Penyampingan Perkara dalam bahasa baku Belanda adalah seponeringyang memiliki arti menyisihkan, menyisikan, menyampingkan. Kita tidak bisa pungkiri bahasa deponering sudah berkembang sebagai kalimat popular sebagai kata dari Penyampingan Perkara demi kepentingan umum.Karena sesungguhnya deponeren memiliki arti menyimpan, menaruh, untuk diperiksa, menitipkan, mendaftarkan.3Arti dari deponeringatau bentuk dari kata benda

deponerenini dapat ditemukan dalam hukum dagang, adinistrasi, maupun

perpajakan.4

Kata seponering berarti “menyisihkan” atau yang dipakai sekarang dalam penerapan asas oportunitas, ialah “menyampingkan perkara demi kepentingan

umum”.Begitu juga dengan pendapat yang mengatakan bahwa kekeliruan

penggunaan istilah deponering, karena sesungguhnya deponering bukan memiliki arti menyampingkan.5

Penyampingan Perkara di Belanda memiliki kategori dikesampingkannya perkara karena alasan kebijakan (policy) yang mengikuti perkara ringan, umur terdakwa sudah tua dan kerusakan telah diperbaiki. Serta karena alasan teknis, dan perkara digabung dengan perkara lain. Kategori tersebut sebenarnya

2

Ibid., hlm. 53. 3

R. Yunia dan Kuhne, Kamus Jerman-Indonesia, Jakarta, Transmedia, 2010, Hlm. 513. 4 Darmono

, Op. Cit., hlm. 44 5


(26)

bukan Penyampingan Perkara dalam arti perkara tidak diteruskan kepengadilan.6

Penyampingan Perkara di Indonesia diartikan oleh Jaksa Agung demi kepentingan umum.Seperti yang dijelaskan Undang-Undang tetang kejaksaan Republik Indonesia mengartikan sangat sempit “kepentingan umum” itu sebagai kepentingan negara atau masyarakat.7

Terbitnya Penyampingan Perkara (seponering) bukan berarti seorang tersangka yang perkaranya dikesampingkan adalah orang istimewa, karena sesungguhnya semua orang adalah sama dihadapan hukum. akan tetapi ada kepentingan yang jauh lebih besar yang harus diperhatikan, yaitu kepntingan masyarakat luas.

2. Dasar Hukum Penyampingan Perkara

Penyampingan Perkara memiliki dasar hukum yang dilakukan oleh Jaksa Agung dalam ketentuan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Yang menurut Pasal 35 huruf c

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 “kepentingan umum” adalah kepentingan

bangsa dan Negara serta kepentingan masyarakat luas. Sebelum dicantumkan asas oportunitas didalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961, sebenranya asas oportunitas ini telah diatur didalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tanggal 9 Juli 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksa Tindak Pidana Korupsi. Yang didalam pasal 4

6 Andi Hamzah,

Op. Cit., hlm. 38. 7


(27)

dikatakan bahwa jaksa hanya diperbolehkan menyampingkan perkara korupsi, jika ada perintah dari Jaksa Agung.

Asas oportunitas dijadikan didalam bentuk tertulis sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan RI yang sekarang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004.Dasar hukum pelaksanaan Penyampingan Perkara (seponering) berdasarkan asas oportunitas di Indonesia adalah:

a. Hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan)

b. Pasal 4 PERPU No. 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

c. Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

Penjelasan Pasal 32 huruf c No. 5 Tahun 1991 menyebutkan sebagaimana yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingn masyarakat luas. Penyampingan Perkara hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah yang bersangkutan.Penyampingan Perkara adalah pelaksanaan dari asas oportunitas.

Penjelasan resmi dari Pasal 8 UU No. 15 Tahun 1961 menyatakan bahwa dilingkungan Kejaksaan, Jaksa Agung yang mempunyai hak menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum. Dalam pasal ini dapat dipahai bahwa sudah menjadi kebiasaan dalam praktik bahwa dalam Penyampingan Perkara


(28)

yang menyangkut kepetingan umum, Jaksa Agung harus bermusawarah terlebih dahulu dengan pejabat-pejabat tingi negara yang bersangkutan dalam perkara tersebut.

B. Asas Legalitas dan Asas Opportunitas

Asas legalitas dalam hukum pidana materiil yang bertumpu pada Pasal 1 ayat (1) KUHP mengatakan bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana.Asas legalitas adalah asas yang menghendaki bahwa penuntut umum wajib menuntut semua perkara pidana yang terjadi tanpa memandang siapa dan bagaimana keadaan pelakunya kemuka sidang pengadilan.8Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan denganwaktu dan tempat perbuatan dilakukan. Berlakunya hukum pidana menurut menurut waktu menyangkut penerapan hukum pidana dari segi lain. Jika suatu perbuatan yang mencocoki rumusan delik yang dilakukan sebelum berlakunya ketentuan yang bersangkutan, maka bukan saja hal itu tidak dapat dituntut tetapi untuk orang yang bersangkutan sama sekali tidak dapat dipidana.9Kemudian, asas dan prinsip legalitas dengan tegas disebut dalam

KUHAP seperti yang dapat dibaca pada huruf a, yang berbunyi: “bahwa

Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di

8 Tri Andrisman,

Hukum Acara Pidana,Bandar Lampung. Universitas lampung, 2010, hlm. 16.

9


(29)

dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan

pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali.” Maka dapat disimpulkan bahwa:

a) Negara menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan;

b) Setiap warga negara tanpa kecuali, wajib menjunjung hukum dan pemerintahan.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum acara pidana adalah Undang-Undang yang asas hukumnya dilandasi asas legalitas. Semua tindakan hukum harus:

1. Berdasarkan ketentuan hukun dan Undang-Undang

2. Kepentingan hukum dan perundang-undangan ditempatkan dibagian yang paling atas agar terjadinya keharmonisan dan keselarasan dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara, serta takluk di bawah kekuasaan hukum serta taat kepada ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan rasa adil dalam berbangsa yaitu bangsa Indonesia. Jadi arti dari supremasi hukum adalah menguji ketetapan setiap tindakan penegakan hukum takluk di bawah ketentuan konstitusi disuatu negara, karena hukum konstitusi sendiri berarti humpunan norma atau kaidah konstitusi suatu negara. karena hukum konstitusi itu merupakan dokumen yang berisi norma-norma atau kaidah-kaidah hukum untuk memproprsionalkan penyelenggaraan suatu negara. Sehingga memaksakan dan menegakkan rasa keadilan yang hidup ditengah-tengah kesadaran masyarakat.


(30)

Dengan asas legalitas, jajaran aparatur penegak hukum tidak diperkenankan: 1. Bertindak diluar ketentuan hukum yang berlaku dalam

perundang-undangan.

2. Bertindak sewenang-wenang dan sesuai dengan peratura yang ada.10

Sebagaimana diketahui, lainhalnya dengan asas oportunitas, yang berarti walaupun tersangka sudah jelas bersalah menurut pemeriksaan penyidik, dan kemungkinan besar dapat dijatuhi hukuman namun hasil pemeriksaan tersebut tidak dilimpahkan kepengadilan oleh pihak Kejaksaan.Penuntut umum meniadakan penuntutan hukum terhadap seseorang yang melangar hukum pidana berdasarkan dasar pertimbangan bahwa lebih menguntungkan kepentingan umum jika tidak diadakan penuntutan.11Kejaksaan berpendapat, lebih bermanfaat bagi kepentingan umum jika perkara itu tidak diperiksa di muka pengadilan.Dengan demikian, perkaranya dikesampingkan atau seponering.Cara Penyampingan Perkara ini lah yang disebut dengan asas opportunitas.12

Kejaksaan diperbolehkan tidak menuntut perkara pidana apabila penuntutan itu tidak dapat dilakukan atau tidak patut dilakukan atau tidak dikehendaki, atau penuntutan itu merugikan kepentingan umum dan pemerintah daripada penuntutan dilakukan sesuai dengan asas opportunitas. Lain halnya dengan asas legalitas pihakKejaksaan hampir selalu mengajukan perkara-perkara kepengadilan untuk diadili.13

10

I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, Malang, Setara Press, 2012, hlm. 1. 11

Darmono,Ibid.,hlm. 79. 12

Yahya Harahap, Pembahasan Perasalahan Penerapan KUHAP, Jakarta, Sinar Grafika, 2006, Hlm. 36.

13


(31)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pdana (KUHAP) tampaknya sudah tidak dianut asas oportunitas lagi, ditiadakannya penuntutan karena alasan berdasarkan asas kepentingan umum, seperti yang kita kenal sebagai kebiasaan selama ini.Asas yang dianut sepertiya telah bergeser kepada asas legalitas.

Berdasarkan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, dalam Pasal 14 menentukan semua perkara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum, penuntut umum harus menuntutnya dimuka pengadilan, kecuali terdapat cukup bukti bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau perkaranya ditutup demi hukum. Pasal 14 huruf h hanya memberi wewenang kepada penuntut umum untuk menutup suatu perkara demi kepentingan hukum bukan demi kepentingan umum. Namun ketentuan Pasal 35 huruf c Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, memberi wewenang kepada Kejaksaan Agung untuk Penyampingan Perkara berdasarkan kepentingan umum. Kejaksaan Agung atas dasar hukum yang diberikan didalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan masih berwenang untuk melakukan Penyampingan Perkara, dan dipertegas lagi oleh Buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Bahkan KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas opportunitas. Konsideran dengan tegas menyatakan KUHAP menganut prinsip legalitas, akan tetapi masih tetap mengakui adanya asas opportunitas. Keadaan ini ada baiknya ditempuh dengan suatu perbandingan.Masing-masing memiliki variasi pertumbuhan mengikuti perkembangan zaman yang berbeda sesuai dengan kehendak masyarakat yang bersangkutan.14Eksistensi dari asas oportunitas diakui

14


(32)

KUHP walaupun tidak secara langsung, maka dengan perwujudan asas opportunitas tidak perlu dipermasalahkan lagi.

C. Perbedaan Penyampingan Perkara dengan Penghentian Penuntutan

Hasil pemeriksaan penyidikan tindak pidana yang disampaikan penyidik, tidak dilimpahkan penuntut umum ke sidang pengadilan, hal ini bukan yang dimaksud Penyampingan Perkara pidana akan tetapi penghentian penuntutan sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 140 ayat (2). Oleh karena itu harus dengan jelas membedakan antara tindakan hukum Penghentian Penuntutan dengan Penyampingan Perkara.Dalam Pasal 77 KUHAP menegaskan yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk Penyampingan Perkara untuk kepentingan umum yang mejadi wewenag Jaksa Agung.

Perbedaan antara Penyampingan Perkara dengan Penghentian Penuntutan adalah sebagai berikut:

a. Pada Penyampingan Perkara, Perkara yang bersangkutan sudah cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa di muka pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar tersangka atau terdakwa dapat di jatuhi hukuman, akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti inisengaja dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke pengadilan oleh pihak penuntut umum atas alasan demi kepentingan umum. Penyampingan Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c UU No. 16 tahun 2004 merupakan pelaksanaan dari asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat


(33)

dari badan-badan kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.

Penyelenggaraan Penyampingan Perkara, hukum dan penegakan hukum dikorbankan demi kepantingan umum. Seseorang yang melakukan tindak pidana serta meiliki cukup bukti perkaraya dikesampingkan dan tidak diteruskan kesidang pengadilan dengan alasan kepentingan umum.Itulah sebabnya asas oportunitas bersifat diskriminatif atas makna persamaan kedudukan setiap warga negara dihadapan hukum karena kepada orang tertentu, dengan mempergunakan alasan kepentingan umum, hukum tidak diperlakukan atau kepadanya penegak hukum dikesampingkan.15

Penyampingan Perkara hanya satu kali dilakukan, tidak ada lagi alasan untuk mengajukan perkara itu kembali kemuka sidang Pengadilan.

b. Penghentian Penuntutan dilakukan bukan karena demi kepentinan umum seperti halnya Penyampingan Perkara, Penghentian Penuntutan dilakukan berdasarkan kepentingan hukum. alasannya sebagai berikut:

1. Ditutup karena kepentingan hukum: apabila suatu tindak pidana yang telah ditentukan oleh undang-undang bahwa hak jaksa untuk menuntut suatu tindak pidana tersebut gugur, maka tindak pidana tersebut harus ditutup demi hukum. alasan perkara ditutup demi hukum, biasanya didasarkan atas:

a. Karena tersangka atau terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 KUHAP)

15


(34)

Kewenangan menuntut dihapuskan, jika tertuduh meninggal dunia. b. Telah lewat waktu (Pasal 78 KUHAP)

1. Keweangan menuntut pidana dihapus karena daluwarsa. 2. Bagi orang yang pada saat melakukan perbutan umurnya

belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi sepertiga.

c. Atas alasan nebis in idem (Pasal 76 KUHAP)

Alasan ini menegaskan tidak boleh menuntut dan menghukum seseorang dua kali atas tindakan pidana yang sama.

2. Perkara yang bersangkutan biasanya masih dapat lagi diajukan kembali jika tenyata ditemukan bukti atau alasan baru yang memungkinkan perkaranya dapat dilimpahkan kemuka persidangan.

3. Perkara yang bersangkutan tidak memiliki bukti yang cukup, sehingga jika perkaranya diajukan ke pengadilan, diduga kuat terdakwa akan dibebaskan oleh hakim, karena kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa tidak terbukti.16

16 Eko Huda S,

Penyampingan Perkara, diakses tanggal 27 mei 2013, http://wordpress.com,


(35)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Bahasan permasalahan yang di ajukan dalam skripsi ini, maka penulis mempergunakan pendekatan yang dilakukan secara yuridis normatif sebagai pendekatan utama dan pendekatan yuridis empiris sebagai penunjang guna memperoleh suatu hasil penelitian yang benar dan objektif.

Pendekatan yuridis normatif adalah dilakukan dengan cara mengkaji atau menelaah dan mempelajari bahan-bahan kepustakaan yang berupa teori, konsepsi, pandangan peraturan hukum serta sistem hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Pendekatan yuridis empiris sebagai penunjang adalah penelaahan hukum dalam kenyataan dengan mengadakan penelitian atau terjun langsung ke lapangan untuk melihat fakta-fakta yang berkaitan dengan kasus Bibit-Chandra.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data pada penulisan ini menggunakan dua sumber, yaitu: 1. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka dengan melakukan studi dokumen, arsip dan literatur-literatur dan sebagainya. Data skunder dalam penelitian ini terdiri dari:


(36)

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, antara lain:

a. Kitab Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang perubahan kitab undang-undang yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kemanan negara;

b. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 35 huruf c tentang Penyampingan Perkara yang dilakukan demi kepentingan umum atau kepentingan masyarakat luas oleh jaksa Agung.

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan dapat membantu menganalisis mengenai bahan-bahan hukum primer, dalam hal ini meliputi pelaksanaan Penyampingan Perkara dan penjelasan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Perturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi, petunjuk serta penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah literatur-literatur, media masa, kamus dan lain-lain.


(37)

2. Data Primer

Data primer adalah sebagai data penunjang yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka serta dibenarkan sumbernya.1Penulisan ini dapat diperoleh dengan mengadakan wawancara kepada Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung dan Akademisi Fakultas Hukum Univeristas Lampung.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah seseorang yang memberikan informasi yang diinginkan dan dapat memberikan tanggapan terhadapinformasi yang diberikan.2Dalam penelitian ini yang menjadi narasumber terdiri dari 2 (dua) kalangan yaitu:

1. Jaksa Penuntut Umumpada Kejaksaan Tinggi Lampung : 2 orang 2. Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum : 2 orang

Universitas Lampung +

Jumlah :4 orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data Studi pustaka (Library Search)

Studi pustaka dilakukan dengan cara mempelajari, membaca, mencatat, dan mengutip data-data yang diperoleh dari beberapa peraturan hukum yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan dan sesuai dengan pokok bahasan.

1Soerjono Soekanto

,Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan sinkat),Op. Cit., hlm 12. 2


(38)

2. Pengolahan Data

Data-data yang diperoleh kemudian diolah melalui kegiatan seleksi, yaitu: a. Editing, yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan, kejelasan, dari

kebenaran data yang diperoleeh serta relevansinya dengan penulisan. b. Evaluasi, yaitu memeriksa atas kelangkaan data dan kejelasannya,

konsistensinya dan relevansinya terhadap topik penulisan skripsi ini. c. Sistematisasi, yaitu semua data yang telah masuk dikumpulkan dan

disusun sesuai dengan urutannya.

d. Interpretasi, yaitu proses komunikasi melalui lisan atau gerakan antara dua atau lebih pembicara yang tidak dapat menggunakan simbol yang sama, baik secara simultan atau berurutan.

E. Analisis Data

Analisis data dimaksudkan untuk menyederhanakan data yang ada dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan dipahami. Terhadap data primer dilakukan metode deskriptif, yaitu untuk menemukan data-data yang selanjutnya untuk mempermudah dalam menemukan semua permasalahan yang ada dalam penulisan skripsi ini. Sedangkan terhadap data skunder akan dilakukan secara kualitatif berdasarkan hasil analisis maka ditarik kesimpulan berdasarkan metode induktif, yaitu suatu cara berpikir yang berdasarkan pada fakta yang bersifat khusus kemudian diambil kesimpulan secara umum.


(39)

III. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, penulis berkesimpulan bahwa:

1. Kewenangan Jaksa Agung untuk melakukan Penyampingan Perkara dalam kasus Bibit-Chandra. Kewenangan Penyampingan Perkara hanya ada pada Jaksa Agung sering ditafsirkan bahwa Jaksa atau Penafsiran demikian adalah keliru karena Jaksa Agung itu adalah Pimpinan Kejaksaan sedangkan Kejaksaan itu adalah satu dan tidak dapat dipecah-pecah. Penggunaan asas opportunitas dipusatkan kepada Pimpinan Kejaksaan yakni Jaksa Agung. Seponering atau Penyampingan Perkara dikeluarkan dikarenakan keterbatasan hukum pidana yang harus menjunjung tinggi asas equality before of the law terhadap semua pelaku tindak pidana. Seperti pada kasus Bibit-Chandra, setelah melalui proses dan pertimbangan yang panjang akhirnya pelaksana wewenang Kejaksaan Agung mengeluarkan Penyampingan Perkara (seponering) dalam kasus ini. kasus Bibit-Chandra ini tokoh nasional juga berani menjaminkan dirinya sebagai sebagai wujud dari dukungan, bahkan sampai pada himbauan Presiden agar kasus Bibit-Chandra yang memiliki konstribusi besar terhadap negara ini tidak dibawa ke pengadilan, dengan maksud


(40)

terciptanya kehidupan masyarakat yang baik dan menjaga kepentingan hukum negara atau kepentingan umum.

2. Faktor yang melatarbelakangi Penyampingan Perkara dalam kasus Bibit-Chandra terdapat dalam penjelasan pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 ditegaskan bahwa demi kepantingan umum maka suatu perkara dapat dikesampingkanyaitu demi kepantingan bangsa dan negara dan atau kepantingan masyarakat luas. Kepentingan umum tersebut terdapat dua unsur yaitu unsur politik dan unsur sosial budaya.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis memberikan saran, yaitu:

1. Kepada aparat penegak hukum untuk menerapkan hukum pidana yang tidak hanya menjalankan amanat undang-undang, tetapi wajib menggali nilai-nilai yang hidup tumbuh dan berkembang dimasyarakat, terutama dalam Penyampingan Perkara atau seponering Sehingga suatu perkara yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan masyarakat luas dapat dijalankan dengan benar dan seadil-adilnya, agar tidak ada pihak atau kelompok yang merasa dirugikan.

2. Kepada Pemerintah dan DPR untuk membuat undang-undang tersendiri untuk seponering atau Penyampingan Perkara, karena seponering dapat mengesampingkan sistem peradilan pidana dalam KUHAP dan KUHP yang notabene adalah undang-undang, kemudian memberikan penjelasan tertulis didalam peraturan perundang-undangan tersebut untuk mengetahui


(41)

lebih jelas faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya Penyampingan Perkara pada saat dikeluarkannya seponering tersebut.


(42)

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Abidin, A.Z. 1961. Sejarah dan Perkembngan Asas Opportunitas di

Indonesia. Persadja: Makasar.

Andrisman, Tri. 2010. Hukum Acara Pidana, Universitas lampung: Bandar Lampung.

Atmaja, I Gede. 2012. Hukum Konstitusi. Setara Press: Malang. Darmono. 2013. Penyampingan Perkara Pidana Seponering Dalam

Penegakan Hukum. Solusi Publishing: Jakarta.

Hamzah, Andi. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta: Jakarta. ---. 2009. Kasus Bibit dan Chandra Dilihat Dari hukum Pidana.

MAKALAH: Jakarta.

---. 2011. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta. Harahap, Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.

Sinar Grafika: Jakarta.

Husin, Kadri. 2011. Buku Ajar Sistem Peradilan Pidana. Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Kaligis, O.C. 2011 Deponering Teori dan Praktik, PT.Alumni: Bandung. Marpaung, Leden. 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana, Penyelidikan

dan Penyidikan. Sinar Grafika: Jakarta.

Prakoso, Djoko. 1983. Tugas Pembangunan. Ghalia: Jakarta.

Soekanto, soerjono. 1985. Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan

singkat). Rajawali Pers: Jakarta.

---. 2002. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo Persada: Jakarta.


(43)

Yunia, R dan Kuhne. 2010. Kamus Jerman-Indonesia. Transmedia: Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Tim Redaksi. 2013. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Fokusindo Mandiri: Bandung.

Tim Redaksi. 2009. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tantang

Kejaksaan Republik Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta.

Tim Redaksi. 2009. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 jo tentang

Kejaksaan Republik Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta.

Tim Redaksi. 2010. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang

Pembentukan Kejaksaan Tinggi. Fokusindo Mandiri: Bandung.

Moeljatno. 2009. KUHAP dan KUHP. Bumi Aksara: Jakarta

C. Lain-Lain

http//www.statushukum-hukum.html.penegakan hukum.

http://nasional.kompas.com, kronologi penyidikan kasus Bibit-Chandra. http// www.pengertianpendidikan.com. pengertian hukum acara pidana. http://insatu.blogpot.com. peran jaksa penuntut umum dalam menegakkan keadilan.

http://news.viva.co.id, jalanpanjangKasusBibit-Chandra.

http://nasional.kompas. com kronologi penyidikan kasus Bibit-Chandra. http://Wordpress.comPenyampingan Perkara.

http//:penyampingan.perkara.indo. Forum DuniaHukum.

http://nusantaranews.wordpress.com. informasi, faktadanopinikasusBibit-Chandra.


(44)

http//penyampingan.perkara.indo. forumduniahokum.

http://id.scribd.com/doc/35271862. Sistem-Peradilan-Pidana-Indonesia www.online_library.com.asas kepastian hukum


(1)

56

III. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, penulis berkesimpulan bahwa:

1. Kewenangan Jaksa Agung untuk melakukan Penyampingan Perkara dalam kasus Bibit-Chandra. Kewenangan Penyampingan Perkara hanya ada pada Jaksa Agung sering ditafsirkan bahwa Jaksa atau Penafsiran demikian adalah keliru karena Jaksa Agung itu adalah Pimpinan Kejaksaan sedangkan Kejaksaan itu adalah satu dan tidak dapat dipecah-pecah. Penggunaan asas opportunitas dipusatkan kepada Pimpinan Kejaksaan yakni Jaksa Agung. Seponering atau Penyampingan Perkara dikeluarkan dikarenakan keterbatasan hukum pidana yang harus menjunjung tinggi asas equality before of the law terhadap semua pelaku tindak pidana. Seperti pada kasus Bibit-Chandra, setelah melalui proses dan pertimbangan yang panjang akhirnya pelaksana wewenang Kejaksaan Agung mengeluarkan Penyampingan Perkara (seponering) dalam kasus ini. kasus Bibit-Chandra ini tokoh nasional juga berani menjaminkan dirinya sebagai sebagai wujud dari dukungan, bahkan sampai pada himbauan Presiden agar kasus Bibit-Chandra yang memiliki konstribusi besar terhadap negara ini tidak dibawa ke pengadilan, dengan maksud


(2)

57

terciptanya kehidupan masyarakat yang baik dan menjaga kepentingan hukum negara atau kepentingan umum.

2. Faktor yang melatarbelakangi Penyampingan Perkara dalam kasus Bibit-Chandra terdapat dalam penjelasan pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 ditegaskan bahwa demi kepantingan umum maka suatu perkara dapat dikesampingkanyaitu demi kepantingan bangsa dan negara dan atau kepantingan masyarakat luas. Kepentingan umum tersebut terdapat dua unsur yaitu unsur politik dan unsur sosial budaya.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis memberikan saran, yaitu:

1. Kepada aparat penegak hukum untuk menerapkan hukum pidana yang tidak hanya menjalankan amanat undang-undang, tetapi wajib menggali nilai-nilai yang hidup tumbuh dan berkembang dimasyarakat, terutama dalam Penyampingan Perkara atau seponering Sehingga suatu perkara yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan masyarakat luas dapat dijalankan dengan benar dan seadil-adilnya, agar tidak ada pihak atau kelompok yang merasa dirugikan.

2. Kepada Pemerintah dan DPR untuk membuat undang-undang tersendiri untuk seponering atau Penyampingan Perkara, karena seponering dapat mengesampingkan sistem peradilan pidana dalam KUHAP dan KUHP yang notabene adalah undang-undang, kemudian memberikan penjelasan tertulis didalam peraturan perundang-undangan tersebut untuk mengetahui


(3)

58

lebih jelas faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya Penyampingan Perkara pada saat dikeluarkannya seponering tersebut.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Abidin, A.Z. 1961. Sejarah dan Perkembngan Asas Opportunitas di Indonesia. Persadja: Makasar.

Andrisman, Tri. 2010. Hukum Acara Pidana, Universitas lampung: Bandar Lampung.

Atmaja, I Gede. 2012. Hukum Konstitusi. Setara Press: Malang. Darmono. 2013. Penyampingan Perkara Pidana Seponering Dalam

Penegakan Hukum. Solusi Publishing: Jakarta.

Hamzah, Andi. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta: Jakarta. ---. 2009. Kasus Bibit dan Chandra Dilihat Dari hukum Pidana.

MAKALAH: Jakarta.

---. 2011. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta. Harahap, Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.

Sinar Grafika: Jakarta.

Husin, Kadri. 2011. Buku Ajar Sistem Peradilan Pidana. Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Kaligis, O.C. 2011 Deponering Teori dan Praktik, PT.Alumni: Bandung. Marpaung, Leden. 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana, Penyelidikan

dan Penyidikan. Sinar Grafika: Jakarta.

Prakoso, Djoko. 1983. Tugas Pembangunan. Ghalia: Jakarta.

Soekanto, soerjono. 1985. Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan singkat). Rajawali Pers: Jakarta.

---. 2002. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo Persada: Jakarta.


(5)

Surachman, Rm dkk. Jaksa Diberbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya, Sinar Grafindo: Jakarta.

Yunia, R dan Kuhne. 2010. Kamus Jerman-Indonesia. Transmedia: Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Tim Redaksi. 2013. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Fokusindo Mandiri: Bandung. Tim Redaksi. 2009. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tantang

Kejaksaan Republik Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta.

Tim Redaksi. 2009. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 jo tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta.

Tim Redaksi. 2010. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi. Fokusindo Mandiri: Bandung. Moeljatno. 2009. KUHAP dan KUHP. Bumi Aksara: Jakarta

C. Lain-Lain

http//www.statushukum-hukum.html.penegakan hukum.

http://nasional.kompas.com, kronologi penyidikan kasus Bibit-Chandra. http// www.pengertianpendidikan.com. pengertian hukum acara pidana. http://insatu.blogpot.com. peran jaksa penuntut umum dalam menegakkan keadilan.

http://news.viva.co.id, jalanpanjangKasusBibit-Chandra.

http://nasional.kompas. com kronologi penyidikan kasus Bibit-Chandra. http://Wordpress.comPenyampingan Perkara.

http//:penyampingan.perkara.indo. Forum DuniaHukum.

http://nusantaranews.wordpress.com. informasi, faktadanopinikasusBibit-Chandra.


(6)

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum. Mahkamah Agung dalam kasus bibit Chandra.

http//penyampingan.perkara.indo. forumduniahokum.

http://id.scribd.com/doc/35271862. Sistem-Peradilan-Pidana-Indonesia www.online_library.com.asas kepastian hukum