Analisis Perubahan Tutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Besitang Kabupaten Langkat, Sumatera Utara

47

LAMPIRAN
1. Monogram citra landsat tutupan lahan DAS Besitang band 5 4 3 (Landsat 5
TM) dan band 6 5 4 (Landsat 8 OLI)
No.
1.

Tipe Tutupan
Lahan
Hutan Lahan

Kunci Penafsiran
- Rona agak gelap

Kering Primer

- Warna hijau tua

Monogram


- Tekstur agak kasar s/d
kasar
- Pola tidak teratur

2.

Hutan Lahan
Kering Sekunder

- Rona agak terang
dibanding hutan lahan
kering primer
- Warna hijau terang
- Tekstur agak kasar

3.

Hutan Mangrove

- Rona agak gelap s/d

terang
- Warna hijau keunguan
- Tekstur agak halus
- Pola tidak teratur
- Biasanya terletak di
daerah pantai dan muara
sungai-sungai besar

47
34
Universitas Sumatera Utara

35
48

4.

Kebun Sawit

- Rona agak terang

- Warna hijau muda sampai
hijau tua
- Bentuk beraturan
- Pola seragam, terdapat
pemukiman, jaringan
jalan dan bangunan

5.

Kebun Karet

- Rona agak terang
- Warna hijau tua
- Bentuk beraturan
- Tekstur agak halus dan
agak kasar
- Pola seragam, terdapat
pemukiman dan jaringan
jalan


6.

Semak

- Rona agak terang
- Warna hijau muda
kekuningan
- Tekstur agak halus
- Pola tidak teratur
- Bentuk tidak beraturan
- Topografi landai s/d
curam

7.

Pertanian Lahan

- Rona agak terang

Kering


- Warna merah muda

Campuran

bercak-bercak hijau
- Tekstur agak kasar
sampai kasar
- Pola tidak teratur, dekat
dengan pemukiman

48
Universitas Sumatera Utara

36
49

8.

Sawah


- Rona agak terang sampai
gelap
- Warna biru bercak merah
muda
- Tekstur halus
- Pola seragam
- Dekat dengan pemukiman

9.

Tambak

- Rona agak gelap
- Warna biru kehitaman
- Tekstur halus
- Pola seragam
- Terdapat lahan terbangun
atau jalan
- Dekat dengan muara

sungai / pinggir laut

10.

Pemukiman

- Rona terang
- Warna merah muda
- Tekstur agak kasar
- Pola seragam

11.

Lahan Terbuka

- Rona agak terang
- Warna kemerahan
- Tekstur halus
- Pola tidak teratur


49
Universitas Sumatera Utara

37
50

12.

Badan Air

- Rona gelap
- Warna biru kehitaman
- Tekstur halus
- Pola tidak teratur

13.

Awan

- Rona terang

- Warna putih seperti asap
- Tekstur halus
- Pola tidak teratur

50
Universitas Sumatera Utara

51
38

2. Titik koordinat survey lapangan (ground check) dengan GPS (Global
Positioning System)
No.
1
2
3
4
5
6
7

8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27

28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48

Latitude

Longitude

Tutupan Lahan

3.97101
3.99116
3.99756
4.01210
4.01930
4.02687
4.03052
4.03274
4.03539
4.03691
4.03739
4.03776
4.04896
4.04912
4.07264
4.07780
4.08017
4.08103
4.08195
4.09210
4.09348
4.09894
4.10071
4.10095
4.10393
4.10402
4.10426
4.10577
4.10616
4.10724
4.10745
4.11249
4.11329
4.11402
4.11579
4.12007
4.12534
4.12540
4.13045
4.13151
4.13464
4.13947
4.14058
4.14077
4.14259
4.14306
4.14356
4.14457

98.17033
98.13639
98.13844
98.14910
98.20747
98.18966
98.05866
98.05907
98.06250
98.17636
98.16767
98.16835
98.14127
98.13856
98.19256
98.20445
98.11768
98.20833
98.11770
98.21741
98.21072
98.21588
98.24054
98.23650
98.27481
98.20960
98.25649
98.27619
98.21005
98.26561
98.27574
98.08296
98.07348
98.22168
98.07118
98.09168
98.09839
98.09926
98.10448
98.10310
98.10188
98.10725
98.10907
98.10211
98.11454
98.11535
98.11513
98.08416

Kebun Sawit
Kebun Sawit
Pemukiman
Pertanian Lahan Kering Campuran
Kebun Karet
Sawah
Hutan Lahan Kering Primer
Hutan Lahan Kering Sekunder
Hutan Lahan Kering Sekunder
Badan Air
Pemukiman
Pertanian Lahan Kering Campuran
Badan Air
Hutan Mangrove
Pemukiman
Kebun Sawit
Tambak
Kebun Karet
Hutan Mangrove
Kebun Sawit
Tambak
Lahan Terbuka
Sawah
Sawah
Sawah
Hutan Mangrove
Tambak
Pemukiman
Tambak
Pemukiman
Lahan Terbuka
Kebun Sawit
Pemukiman
Pemukiman
Kebun Sawit
Pemukiman
Lahan Terbuka
Pertanian Lahan Kering Campuran
Kebun Karet
Sawah
Sawah
Lahan Terbuka
Pertanian Lahan Kering Campuran
Pemukiman
Hutan Mangrove
Badan Air
Tambak
Kebun Sawit

51
Universitas Sumatera Utara

39
52

52
Universitas Sumatera Utara

40
53

53
Universitas Sumatera Utara

41
54

54
Universitas Sumatera Utara

55
42

55
Universitas Sumatera Utara

56
43

4. Gambaran kondisi tutupan lahan di lapangan tahun 2015
No.

Kelas Tutupan Lahan

1.

Hutan Lahan Kering Primer

2.

Hutan Lahan Kering Sekunder

3.

Hutan Mangrove

4.

Kebun Sawit

Gambar di Lapangan

56
Universitas Sumatera Utara

57
44

5.

Kebun Karet

6.

Semak

7.

Pertanian Lahan Kering
Campuran

8.

Sawah

57
Universitas Sumatera Utara

45
58

9.

Tambak

10.

Pemukiman

11.

Lahan Terbuka

12.

Badan Air

58
Universitas Sumatera Utara

45

DAFTAR PUSTAKA
Ardiansyah. 2015. Pengolahan Citra Penginderaan Jauh Menggunakan ENVI 5.1
dan ENVI Lidar (Teori dan Praktek). PT. Labsig Inderaja Islim. Jakarta.
Affan, M., Faizah, dan Dahlan. 2010. Land Cover Change Analysis Using
Satellite Image. Jurnal Natural 10(1):50 – 55.
Arsyad, S dan Ernan R (Ed.). 2008. Penyelamat Tanah, Air, dan Lingkungan.
Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
As-Syakur, A.R., I.W. Suarna, I.W.S. Adnyana, I.W. Rusna, I.A.A. Laksmiwati,
dan I.W. Diara. 2008. Studi Perubahan Penggunaan Lahan di DAS
Badung.Jurnal Bumi Lestari 10(2): 200 – 208.
Departemen Kehutanan. 2009. Kerangka Kerja Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
di Indonesia. Gedung Manggala Wanabhakti Jalan Gatot Subroto. Jakarta.
Dwiprabowo, H., D. Djaenudin, I. Alviya, dan D. Wicaksono. 2014. Dinamika
Tutupan Lahan: Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi. PT. Kanisius.
Yogyakarta.
Effendi, E. 2008.Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Terpadu.Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air. Jakarta.
Ekadinata, A., Dewi S., Hadi D., Nugroho D., dan Johana F. 2008. Sistem
Informasi Geografis Untuk Pengelolaan Bentang Lahan Berbasis Sumber
Daya Alam. Buku 1: Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh
Menggunakan ILWIS Open Source. World Agroforestry Centre. Bogor.
Indonesia.
Ekadinata, A., Zulkarnain MT., Widayati A., Dewi S., Rahman S., dan Van
Noordwijk M. 2012. Perubahan Penggunaan dan Tutupan Lahan di
Indonesia tahun 1990, 2000 dan 2005. World Agroforestry Centre –
ICRAF. Bogor.
Lisnawati, Y dan A. Wibowo. 2007. Penggunaan Citra Landsat ETM+ Untuk
Monitoring Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Puncak. Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman Vol. 4 No. 2.
Pawitan, H. 2010. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap
Hidrologi Daerah Aliran Sungai.Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ruhimat, M., Nana S., dan Kosim.2006. Ilmu Pengetahuan Sosial (Geografi,
Sejarah, Sosiologi, Ekonomi) Untuk Kelas VII Sekolah Menengah
Pertama.Grafindo Media Pratama. Jakarta.

4532
Universitas Sumatera Utara

33
46

Sulistiyono, N. 2008. Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh Dalam Mendeteksi
Pola Penggunaan Lahan di DAS Cikaso Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Jurnal Penelitian Rekayasa 1(1): 57 – 60.
Suryadi, I. 2012. Petunjuk Teknis Perhitungan Reference Emission Level Untuk
Sektor Berbasis Lahan.UN-REDD Program Indonesia.
Valiant, R. 2014.Perencanaan Tata Guna Lahan pada Daerah Aliran Sungai
(DAS) Berbasis Evaluasi Lahan.Program Pascasarjana. Fakultas Pertanian.
Universitas Brawijaya. Malang.
Yulius, T.A. Tanto, M. Ramadhan, A. Putra, dan H.L. Salim. 2014. Perubahan
Tutupan Lahan di Pesisir Bungus Teluk Kabung, Sumatera Barat Tahun
2003 – 2013 Menggunakan Sistem Informasi Geografis.Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis 6(2): 311 – 318.
Yuwono, D.M., dan Suprajaka. 2003. Analisis Perubahan Kawasan Hutan
Kabupaten Blora dengan Pendekatan Kajian Spatio-Temporal.Diakses dari
www.bakosurtanal.go.id [12 Maret 2015] [06.28 WIB].

46
Universitas Sumatera Utara

24

METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang,
Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara (Gambar 1).Secara geografis DAS
Besitang terletak antara 03o45’ – 04o 22’ 44” LU dan 97o 51’ – 99o 17’ 56”
LS.Penelitian ini dilakukan pada Agustus – Desember 2015.Analisis data
dilakukan di Laboratorium Manajemen Hutan, Program Studi Kehutanan,
Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Gambar 1. Peta batas Daerah Aliran Sungai Besitang

Alat dan Data
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas alat pengambilan data
dan alat analisis data. Alat pengambilan data lapangan antara lain GPS, kompas,
dan kamera.Alat analisis data yang digunakan adalah perangkat keras komputer
2411
Universitas Sumatera Utara

12
25

dan beberapa perangkat lunak yaitu Microsoft Excel, ENVI 4.7, ERDAS Imagine
8.5 dan ArcGis 10.1.Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini disajikan dalam
Tabel 1.
Tabel 1. Data primer dan sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian
No.
Nama Data
Jenis Data
Sumber
1.
Data lapangan (ground
Data
GPS dan kamera digital
check)
primer
2.
Citra Landsat 5 ETM+
Data
www.earthexplorer.usgs.gov
path 129 row 57
sekunder
3.
Citra Landsat 5 ETM+
Data
www.earthexplorer.usgs.gov
path 129 row 57
sekunder
4.
Citra Landsat 8 OLI
Data
www.earthexplorer.usgs.gov
TIRS path 129 row 57
sekunder
5.
Peta administrasi
Data
Kantor BPKH Medan
Kabupaten Langkat
sekunder
6.
Peta batas DAS
Data
Kantor BPKH Medan
Besitang
sekunder
7.
Peta aliran sungai DAS
Data
Kantor BPKH Medan
Besitang
sekunder
8.
Peta batas kawasan
Data
Kantor Balai Besar TNGL
TNGL
sekunder

Tahun
2015
1990
2005
2015
2015
2015
2015
2015

Pengolahan Data Citra
1. Penggabungan Band Citra
Citra satelit Landsat yang diunduh dari USGS memiliki beberapa band dan
terpisah setiap bandnya.Oleh karena itu, dilakukan penggabungan band citra
satelit tersebut agar dapat dilakukan klasifikasi tutupan

lahan. Proses

penggabungan band citra dilakukan dengan software Erdas Imagine 8.5.
2. Koreksi Radiometrik
Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan gangguan yang
terjadi pada citra akibat pengaruh atmosfer. Koreksi radiometrik yang dilakukan
berupa proses penajaman kontras atau radiometric enhancement. Proses
penajaman kontras dilakukan dengan model linear yang terdapat pada software
ERDAS Imagine 8.5.
25
Universitas Sumatera Utara

26
13

3. Memotong Citra (Cropping)
Pemotongan citra dilakukan untuk mendapatkan gambar lokasi penelitian
yang lebih spesifik. Pemotongan citra dilakukan dengan Software ArcGis 10.1
menggunakan data vector Daerah Aliran Sungai Besitang yang diperoleh dari
Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah I Medan.
4. Klasifikasi Tidak Terbimbing (Unsupervised Classification)
Klasifikasi tidak terbimbing memberikan keleluasaan pada komputer
untuk mengklasifikasikan citra berdasarkan jumlah kelas yang ditentukan oleh
pengguna.Jumlah kelas yang ditentukan dalam klasifikasi tidak terbimbing adalah
10 kelas.Klasifikasi tidak terbimbing juga membantu dalam menentukan titik
ground check untuk klasifikasi terbimbing dan uji akurasi.
5. Survey Lapangan
Survey lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi tutupan lahan di
lapangan berdasarkan beberapa titik yang sudah dibuat secara sistematis pada citra
hasil klasifikasi tidak terbimbing.Kemudian mengamati secara langsung tipe
tutupan lahan yang terdapat pada titik-titik tersebut.
6. Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification)
Klasifikasi terbimbing dilakukan berdasarkan hasil survey lapangan
dengan membuat sampel polygon / training area pada kelas-kelas tutupan
lahan.Metode yang digunakan adalah metode maximum likelihood yang terdapat
pada software ERDAS Imagine 8.5.

26
Universitas Sumatera Utara

14
27

7. Perhitungan Akurasi Klasifikasi Citra
Tingkat akurasi dalam klasifikasi citra dapat dilakukan dengan
membandingkan hasil klasifikasi citra dengan data yang diperoleh di
lapangan.Perhitungan akurasi merupakan tahap yang menentukan apakah hasil
klasifikasi citra sesuai dengan kondisi di lapangan atau tidak.
Akurasi biasanya dianalisis dalam suatu matriks kontingensi, yaitu matriks
bujur sangkar yang memuat jumlah pixel dalam klasifikasi, sering disebut dengan
error matrix atau confusion matrix (Affan et al., 2010).Secara matematis, rumus
untuk menghitung akurasi, sebagai berikut:
Kappa Accuracy =

� ∑��=1 � �� −∑��=1 � �� � ��

Dengan :

� 2 −∑��=1 � �� � ��

x 100%

N

: jumlah semua pixel yan digunakan untuk pengamatan

n

: jumlah baris/lajur pada matriks kesalahan (sama dengan jumlah kelas)

xin

: ∑xin(jumlah semua kolom pada baris ke-i)

xni

: ∑xni(jumlah semua kolom pada baris ke-n)

Pertampalan (Overlay)
Setelah diperoleh kelas tutupan lahan berdasarkan hasil klasifikasi citra
dan diperkuat dengan hasil survey lapangan, maka selanjutnya dilakukan overlay
peta. Overlay dilakukan pada dua peta tutupan lahan dengan tahun yang berbeda.
Proses overlayakan menghasilkan peta perubahan tutupan lahan yang terjadi pada
kedua tahun tersebut.

27
Universitas Sumatera Utara

15
28

Download citra satelit Landsat
dari Earth Explorer

Citra Landsat 5
TM Tahun1990

Koreksi citra

Citra Landsat 5
TM Tahun2005

Citra Landsat 8
OLI Tahun2015

Koreksi citra

Koreksi citra

Citra terkoreksi
Tahun 2005

Citra terkoreksi
Tahun 2015

Klasifikasi citra
(image classification)

Klasifikasi citra
(image classification)

Klasifikasi citra
(image classification)

Peta tutupan
lahan tahun 1990

Peta tutupan
lahan tahun 2005

Peta tutupan
lahan tahun 2015

Citra terkoreksi
Tahun 1990

Pertampalan
(Overlay)

Peta perubahan tutupan
lahan Tahun 1990,
2005 dan 2015
Gambar 2. Diagram tahapan penelitian

28
Universitas Sumatera Utara

29

HASIL DAN PEMBAHASAN
Tutupan Lahan DAS Besitang Tahun 1990, 2005 dan 2015
Pengolahan citra satelit untuk mengetahui tutupan lahan suatu wilayah
dilakukan dengan teknik klasifikasi. Pada proses klasifikasi piksel-piksel citra
satelit dikelompokkan kedalam beberapa kelas. Dalam penelitian ini, klasifikasi
citra yang digunakan adalah klasifikasi terbimbing dengan membuat sample
berupa training area berdasarkan data hasil survey lapangan (ground check).
Klasifikasi kelas tutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini
menggunakan citra satelit Landsat 8 untuk tahun 2015 dan citra satelit Landsat 5
untuk tahun 1990 dan 2005. Pada ketiga citra tersebut terdapat awan yang
menutupi lahan dibawahnya, sehingga jumlah kelas dalam klasifikasi didapatkan
sebanyak 14 kelas tutupan lahan termasuk di dalamnya awan dan bayangan awan.
Dari hasil training area diperoleh sebanyak 12 kelas tutupan lahan yang ada di
Daerah Aliran Sungai Besitang, yaitu hutan lahan kering primer, hutan lahan
kering sekunder, hutan mangrove, semak, kebun karet, kebun sawit, pertanian
lahan kering campuran, sawah, tambak, badan air, lahan terbuka, pemukiman.
Keberadaan awan mempengaruhi kualitas data citra landsat yang
dihasilkan. Keberadaan awan tersebut juga akan mempengaruhi hasil klasifikasi.
Salah satu kelemahan citra landsat menurut Ekadinata, et., al (2012) terletak pada
sensor yang bersifat pasif. Kualitas data yang dihasilkan oleh sensor-sensor
landsat amat tergantung pada kondisi atmosfer pada saat perekaman. Adanya
awan, kabut dan asap atau gangguan atmosfer lainnya akan mengakibatkan
menurunnya kualitas data yang dihasilkan. Hal ini terutama terjadi di daerah

29 16
Universitas Sumatera Utara

17
30

tropis di sekitar garis khatulistiwa, dimana tutupan awan tinggi dan merata
sepanjang tahun.
Kelas tutupan lahan hasil klasifikasi harus diuji tingkat kebenarannya (uji
akurasi).Uji akurasi hasil klasifikasi citra tahun 2015 dilakukan dengan
menggunakan

beberapa

sampel

data

hasil

survey

lapangan

dan

membandingkannya dengan peta tutupan lahan hasil klasifikasi.Pada setiap
sampel dilakukan pengecekan tutupan lahan hasil klasifikasi, sehingga diperoleh
jumlah sampel yang sesuai dan yang tidak sesuai antara peta tutupan lahan dan
kondisi sebenarnya di lapangan. Pada penelitian ini jumlah sampel yang
digunakan untuk uji akurasi adalah 48 sampel, dan dari 48 sampel tersebut
jumlah sampel yang sesuai dengan peta tutupan lahan hasil klasifikasi adalah 42
sampel. Sehingga diperoleh nilai akurasi dari klasifikasi tutupan lahan tahun 2015
adalah 87.5%.
Selain uji akurasi berdasarkan hasil survey lapangan, terdapat juga nilai
Kappa Accuracy yang digunakan untuk menilai tingkat keakuratan hasil
klasifikasi citra satelit. Hasil perhitungan akurasi klasifikasi citra Landsat tahun
1990 menunjukkan nilai Overall Accuracy 97,64%dan nilai Kappa Accuracy
96,01%. Untuk akurasi klasifikasi citra Landsat tahun 2005 diperoleh nilai
Overall Accuracy 94,20%dan nilai Kappa Accuracy 92,76%. Untuk tahun 2015
citra yang digunakan terdiri dari dua citra karena kualitas citra yang kurang baik.
Akurasi klasifikasi citra Landsat tahun 2015 diperoleh nilai Overall Accuracy
93,25% dan 90,41%,sedangkan nilai Kappa Accuracy 89,58% dan 85,09%.
Berdasarkan nilai akurasi tersebut, hasil klasifikasi citra sudah dapat diterima
karena memiliki nilai akurasi lebih dari 85%.

30
Universitas Sumatera Utara

18
31

Gambar 3. Peta tutupan lahan Daerah Aliran Sungai Besitang tahun 1990

31
Universitas Sumatera Utara

32
19

Gambar 4. Peta tutupan lahan Daerah Aliran Sungai Besitang tahun 2005

32
Universitas Sumatera Utara

33
20

Gambar 5. Peta tutupan lahan Daerah Aliran Sungai Besitang tahun 2015

33
Universitas Sumatera Utara

34
21

Berdasarkan peta batas DAS Besitang yang diperoleh dari BPKH
Wilayah I Medan, luas total DAS Besitang adalah 96.497,05 Ha atau sekitar
15,51% dari luas Kabupaten Langkat. Berdasarkan hasil klasifikasi tutupan lahan
menggunakan citra satelit Landsat 8 tahun 2015 diperoleh tutupan lahan terluas
adalah hutan lahan kering primer dan tutupan lahan dengan luasan terkecil yaitu
hutan lahan kering sekunder. Hasil klasifikasi tutupan lahan pada tahun 2005
dan 1990 menggunakan citra satelit Landsat 5 TM menunjukkan bahwa luasan
tutupan lahan terbesar pada kedua tahun tersebut adalah hutan lahan kering
primer, Sedangkan untuk luasan terkecilnya adalah hutan lahan kering sekunder.
Data luasan kelas tutupan lahan di DAS Besitang selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Perbedaan luasan tutupan lahan Daerah Aliran Sungai Besitang tahun 1990,
2005 dan 2015
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Kelas Tutupan
Lahan
Hutan Lahan Kering Primer
Hutan Lahan Kering Sekunder
Hutan Mangrove
Semak
Kebun Karet
Kebun Sawit
Pertanian Lahan Kering Campuran
Sawah
Pemukiman
Badan Air
Lahan Terbuka
Tambak
Awan
Bayangan Awan
Total

Tahun 1990
38.542,43
372,68
11.083,13
4.083,47
22.563,17
9.832,13
1.015,91
1.237,22
541,52
1.338,20
3.596,84
1.224,44
747,26
315,71
96.494,11

Luas (Ha)
Tahun 2005
34.279,16
631,82
6.729,98
1.015,58
10.539,29
29.943,65
1.320,14
1.731,80
843,68
2.563,67
1.625,78
3.549,35
1.131,86
588,35
96.494,11

Tahun 2015
35.531,98
915,66
3.913,47
799,65
6.615,36
30.569,94
535,95
1.781,01
3.012,93
1.620,54
4.407,03
3.554,82
2.637,72
598,05
96.494,11

Berdasarkan data Tabel 2, diketahui bahwa tutupan lahan yang paling luas
adalah hutan lahan kering primer.Pada tahun 2015 luas hutan lahan kering primer
di DAS Besitang mencapai 35.531,98 Ha.Selain hutan primer terdapat juga hutan
sekunder, namun luasnya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan hutan primer.

34
Universitas Sumatera Utara

22
35

Perbedaan luasan tutupan lahan DAS Besitang dalam persen (%) disajikan dalam
grafik.Grafik dapat dilihat pada Gambar 6.
Luas (%)
45
40
35
30
25

1990

20

2005

15

2015

10
5
0

Keterangan : HP = Hutan Lahan Kering Primer
HS = Hutan Lahan Kering Sekunder
PLKC = Pertanian Lahan Kering Campuran

Gambar 6. Persentase luas tutupan lahan DAS Besitang tahun 1990, 2005 dan 2015

Dari grafik dapat dilihat bahwa lebih dari 35% luas total DAS Besitang
memiliki tutupan lahan berupa hutan lahan kering primer. Hutan tersebut berada
di hulu DAS Besitang dan merupakan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.
Secara yuridis formal keberadaan TNGL untuk pertama kali dituangkan
dalam pengumuman Menteri Pertanian No. 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret
1980 tentang peresmian 5 (lima) TN di Indonesia yaitu TN. Gunung Leuser, TN.
Ujung Kulon, TN. Gede Pangrango, TN. Baluran dan TN. Komodo. Berdasarkan
data vektor yang diperoleh dari Balai Besar TNGL dan telah dioverlay dengan
wilayah DAS Besitang, diperoleh seluas 39.045 Ha atau sekitar 40,46% dari luas
DAS Besitang merupakan kawasan TNGL. Namun, hasil klasifikasi citra Landsat
tahun 2015 memperlihatkan bahwa tidak seluruhnya memiliki tutupan lahan

35
Universitas Sumatera Utara

23
36

berupa hutan.Hal itu disebabkan karena perambahan hutan yang terjadi di
kawasan TNGL sehingga menyebabkan berkurangnya luas hutan di kawasan
TNGL.
Keberadaan

vegetasi hutan di hulu DAS sangat mempengaruhi

keseimbangan ekosistem DAS tersebut. Menurut Undang-Undang No. 41 tahun
1999 tentang Kehutanan, luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal
30% dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang
proporsional. Berdasarkan undang-undang tersebut DAS Besitang masih
memenuhi luasan minimal hutan yang harus dipertahanankan pada suatu DAS.
Pada tahun 2015, sebesar 36,82% tutupan lahan DAS Besitang merupakan hutan
lahan kering primer dan 0,95% merupakan hutan lahan kering sekunder.
Walaupun begitu, pengelolaan hutan di DAS Besitang harus tetap diperhatikan,
mengingat adanya kerusakan hutan yang terjadi dan juga terjadinya bencana
banjir yang diduga disebabkan karena kondisi hutan yang rusak tersebut.
DAS Besitang merupakan salah satu dari 9 DAS prioritas yang ada di
Provinsi Sumatera Utara berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia Nomor: SK. 328/Menhut-II/2009 tentang Penetapan Daerah Aliran
Sungai (DAS) Prioritas dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) Tahun 2010-2014. DAS Besitang ditetapkan sebagai DAS prioritas II,
dimana prioritas penanganannya karena lahan kritis yang luas, erosi dan
sedimentasi tinggi.Departemen Kehutanan (2009) menyebutkan bahwa DAS
prioritas II adalah DAS-DAS yang prioritas pengelolaannya sedang.Walaupun
begitu, pengelolaan DAS prioritas II harus tetap diperhatikan dengan baik.Karena
jika kerusakan terus berlanjut maka status DAS bisa menjadi DAS prioritas I.

36
Universitas Sumatera Utara

24
37

Perubahan Tutupan Lahan DAS Besitang Tahun 1990 – 2005
Hasil klasifikasi citra satelit Landsat menunjukkan bahwa adanya
perubahan tutupan lahan di DAS Besitang antara tahun 1990, 2005 dan 2015.
Perhitungan luas tutupan lahan dilakukan dengan menggunakan calculate
geometry pada attribute table. Perubahan tutupan lahan terluas terjadi pada lahan
dengan tutupan lahan hutan, baik hutan primer, sekunder maupun hutan
mangrove.Hal itu karena banyak masyarakat yang mengkonversi lahan hutan
untuk dijadikan lahan budidaya.Data perubahan tutupan hutan yang terjadi di
DAS Besitang antara tahun 1990 – 2005 disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Perubahan tipe tutupan lahan di DAS Besitang tahun 1990 – 2005
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Tipe Tutupan Lahan
Tahun 1990
Tahun 2005
Hutan Lahan Kering Primer
Hutan Lahan Kering Primer
Hutan Lahan Kering Primer
Kebun Sawit
Hutan Lahan Kering Primer
Semak
Hutan Lahan Kering Primer
Lahan Terbuka
Hutan Lahan Kering Primer
Kebun Karet
Hutan Lahan Kering Primer
Hutan Lahan Kering Sekunder
Hutan Lahan Kering Sekunder
Kebun Sawit
Hutan Mangrove
Lahan Terbuka
Hutan Mangrove
Kebun Sawit
Hutan Mangrove
Badan Air
Hutan Mangrove
Pertanian Lahan Kering Campuran
Hutan Mangrove
Hutan Mangrove
Hutan Mangrove
Kebun Karet
Kebun Karet
Hutan Mangrove
Tambak
Hutan Mangrove

Perubahan Luas
(Ha)
33.047,91
1.806,03
216,27
784,35
694,71
475,74
222,03
192,78
919,17
815,58
360,09
5.969,52
149,94
153,90
199,62

Pada Tabel 3 diketahui bahwa antara tahun 1990 – 2005 hutan lahan
kering primer berubah menjadi kebun sawit, semak, lahan terbuka, kebun karet
dan hutan lahan kering sekunder.Perubahan terbesar adalah hutan lahan kering
primer menjadi kebun sawit dengan perubahan seluas 1.806,03 Ha.Selain hutan
primer yang berubah fungsi, hutan sekunder juga mengalami perubahan menjadi
kebun sawit. Seluas 222,03 Ha hutan sekunder berubah menjadi kebun sawit. Peta
perubahan tutupan hutan DAS Besitang disajikan pada Gambar 6.

37
Universitas Sumatera Utara

25
38

38
Universitas Sumatera Utara

39
26

Perubahan tutupan lahan hutan menjadi tidak berhutan yang terjadi di
DAS Besitang cukup besar, hal itu dapat menyebabkan terganggunya
keseimbangan ekosistem dari DAS Besitang tersebut. Effendi (2008) menyatakan
bahwa Daerah Aliran Sungai bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang
dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi,
yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS,
kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan.
Pada Desember 2006 terjadi banjir bandang di wilayah Kabupaten
Langkat.Sebanyak 12 Kecamatan terkena dampak langsung dari peristiwa banjir
bandang tersebut, salah satunya adalah Kecamatan Besitang.Berdasarkan data
pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa pada tahun 2005 perubahan lahan hutan yang
terjadi cukup besar.Sehingga banjir bandang yang terjadi pada tahun 2006 tersebut
selain karena curah hujan yang tinggijuga disebabkan karena besarnya kerusakan
hutan yang terjadi di hulu DAS Besitang.Pembalakan liar dan alih fungsi hutan
yang terjadi menyebabkan rusaknya ekosistem DAS sehingga dapat menimbulkan
bencana.
Pada awalnya hutan berada dalam kondisi yang baik (utuh) namun sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi diperlukan sumber pendanaan antara lain dengan
mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada, khususnya hutan (kayu). Disamping
itu lahan hutan dikonversi untuk memenuhi kebutuhan kegiatan ekonomi seperti
pertanian, perkebunan dan pemukiman (Dwiprabowo et. al., 2014).
Selain perubahan pada hutan lahan kering primer dan sekunder, perbahan
lahan juga terjadi pada hutan mangrove. Seluas 919,17 Ha hutan mangrove
berubah menjadi kebun sawit dan merupakan perubahan hutan mangrove terluas

39
Universitas Sumatera Utara

27
40

yang terjadi pada tahun 1990 – 2005. Keberadaan hutan mangrove sangat penting
untuk melindungi wilayah pesisir dari abrasi.Kerusakan hutan mangrove yang
cukup luas tentunya dapat menyebabkan kerugian bagi masyarakat di wilayah
pesisir diantaranya peningkatan abrasi pantai, pencemaran pantai dan menurunnya
hasil tangkapan ikan karena berkurangnya populasi ikan.
Perubahan Tutupan Lahan DAS Besitang Tahun 2005 – 2015
Pada tahun 1995, dua perusahaan perkebunan yaitu PT. Rapala dan
PT. Putri Hijau telah mengembalikan lahan Taman Nasional Gunung Leuser
(TNGL) setelah kalah menghadapi gugatan perdata TNGL dalam persidangan di
Pengadilan Negeri Stabat. Tanaman kelapa sawit dari kedua perusahaan tersebut
telah dimusnahkan seluas 180 Ha pada tahun 2007 dan 60 Ha pada tahun
2009.Untuk mengembalikan fungsi alamiah hutan, pihak TNGL bekerjasama
dengan OIC (Orangutan Information Centre) telah melakukan penanaman
kembali pada lahan tersebut.
Perubahan hutan yang terjadi antara tahun 2005 – 2015 bervariasi, tidak
hanya lahan hutan yang berubah fungsi tetapi terdapat beberapa tutupan lahan
yang berubah menjadi hutan. Data perubahan tutupan hutan tahun 2005 – 2015
disajikan pada Tabel 4.

40
Universitas Sumatera Utara

41
28

Tabel 4. Perubahan tipe tutupan lahan di DAS Besitang tahun 2005 – 2015
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Tipe Tutupan Lahan
Tahun 2005
Tahun 2015
HutanLahanKeringPrimer
HutanLahanKeringPrimer
HutanLahanKeringPrimer
KebunSawit
HutanLahanKeringPrimer
Semak
HutanLahanKeringSekunder
HutanLahanKeringPrimer
HutanMangrove
Pemukiman
HutanMangrove
HutanMangrove
HutanMangrove
KebunSawit
HutanMangrove
Tambak
HutanMangrove
LahanTerbuka
LahanTerbuka
HutanLahanKeringSekunder
LahanTerbuka
HutanLahanKeringPrimer
Tambak
HutanMangrove
KebunSawit
HutanLahanKeringSekunder
BadanAir
HutanMangrove
KebunSawit
HutanLahanKeringPrimer

Perubahan Luas
(Ha)
32.945,13
283,95
196,38
324,45
417,87
2.985,75
1.016,82
868,50
770,58
182,52
160,11
404,91
294,75
218,52
425,97

Pada Tabel 4, diketahui bahwa perubahan hutan lahan kering primer pada
periode tahun 2005 – 2015 tidak seluas pada periode tahun 1990 – 2005. Pada
tahun 2015 perubahan hutan primer menjadi kebun sawit seluas 283,95 Ha dan
hutan primer menjadi semak seluas 196,38 Ha. Pada periode tahun 2005 – 2015
terjadi perubahan tutupan lahan hutan sekunder, lahan terbuka dan kebun sawit
menjadi hutan primer. Perubahan yang cukup besar terjadi pada kebun sawit
menjadi hutan primer dengan perubahan luas sebesar 425,97 Ha. Selain itu,
perubahan juga terjadi pada lahan terbuka dan kebun sawit menjadi hutan
sekunder.Perubahan kebun sawit dan lahan terbuka menjadi hutan primer dan
hutan sekunder terjadi karena adanya program restorasi yang dilakukan oleh pihak
TNGL dan OIC.
Dwiprabowo et al. (2014) menyatakan bahwa tutupan hutan dalam suatu
wilayah

kondisinya

berangsur-angsur

berkurang

hingga

mencapai

titik

terendah.Pada titik tersebut karena membaiknya tingkat ekonomi dan kesadaran
masyarakat terjadi pembalikan kondisi hutan dimana kondisi tutupan lahan
berangsur-angsur kembali membaik.

41
Universitas Sumatera Utara

42
29

Berbanding terbalik dengan hutan primer dan sekunder yang luasnya
bertambah dari tahun 2005 – 2015, kondisi hutan mangrove mengalami
pengurangan yang lebih besar dari periode tahun sebelumnya (1990 –
2005).Hutan mangrove beralih fungsi menjadi pemukiman, tambak, kebun sawit
dan lahan terbuka. Perubahan hutan mangrove menjadi kebun sawit seluas
1.016,82 Ha, dan Seluas 868,50 Ha hutan mangrove juga dikonversi menjadi
tambak.
Peningkatan perubahan hutan mangrove menjadi kebun sawit, tambak dan
pemukiman dipengaruhi oleh kebutuhan ekonomi masyarakat yang semakin
meningkat.Untuk

memperoleh

penghasilan

masyarakat

pesisir

banyak

mengkonversi hutan mangrove menjadi tambak sebagai sumber penghasilan
mereka.Berbanding lurus dengan peningkatan luas tambak, peningkatan luas
kebun sawit juga dipengaruhi oleh kebutuhan ekonomi masyarakat di DAS
Besitang.Dari segi ekonomi, tanaman sawit memberikan keuntungan yang lebih
besar sehingga banyak masyarakat maupun perusahaan yang menanam tanaman
kelapa sawit.Peta perubahan tutupan hutan di DAS Besitang tahun 2005 – 2015
disajikan pada Gambar 7.

42
Universitas Sumatera Utara

30
43

43
Universitas Sumatera Utara

44

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Tutupan lahan yang ada di DAS Besitang memiliki 12 kelas yaitu hutan lahan
kering primer, hutan lahan kering sekunder, semak, pemukiman, sawah,
tambak, hutan mangrove, pertanian lahan kering campuran, kebun sawit, kebun
karet, lahan terbuka, dan badan air. Luas tutupan lahan terbesar pada tahun
2015 adalah hutan lahan kering primer seluas 35.531,98 Ha dan luas tutupan
lahan terkecil adalah pertanian lahan kering campuran dengan luas 535,95 Ha.
2. Perubahan tutupan lahan terbesar pada tahun 1990 – 2005 adalah hutan
lahan kering primer menjadi kebun kelapa sawit dengan perubahan seluas
1.806,03 Ha. Sedangkan perubahan tutupan lahan terbesar pada tahun
2005 – 2015 adalah hutan mangrove menjadi kebun kelapa sawit dengan
perubahan luas sebesar 1.016,82 Ha.
Saran
Kondisi hutan lahan kering primer dan hutan lahan kering sekunder yang
ada di hulu DAS Besitang tetap dipertahankan keberadaannya.Hutan yang rusak
atau beralih fungsi dikembalikan menjadi hutan agar tetap bisa menjaga
keseimbangan ekosistem Daerah Aliran Sungai.

44
31
Universitas Sumatera Utara

17

TINJAUAN PUSTAKA
Tutupan Lahan dan Penggunaan Lahan
Sumberdaya alam berupa lahan bersifat terbatas dan cenderung akan
mengalami penurunan. Karena sifatnya yang langka dan terbatas ini, maka
pemerintah, pihak swasta maupun masyarakat perorangan sebagai stakeholder,
akan mengalami kendala dalam mengambil keputusan tentang pemanfaatan lahan
secara optimal. Pengambilan keputusan dalam pemanfaatan penggunaan lahan di
DAS harus dilakukan secara teliti dan hati-hati berdasarkan data yang akurat dan
teknik yang tepat agar pola penggunaan lahan yang dilakukan bersifat optimal dan
efisien (Sulistiyono, 2008).
Perkembangan penggunaan lahan di sejumlah daerah aliran sungai-sungai
di Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir telah memberi dampak berupa
peningkatan frekuensi, debit, dan volume banjir yang telah menggenangi wilayah
permukiman dan infrastruktur umum yang mengakibatkan kerusakan dan
kerugian material dan non-material. Dampak nyata dari perubahan penggunaan
lahan

ini adalah peningkatan erosi tanah dan meluasnya

lahan-lahan

kritis.Penggundulan lahan ini telah berlangsung sejak awal abad 20 dan meningkat
secara luas dalam tiga dasawarsa terakhir ini. Dampak perubahan tutupan lahan
dalam skala luas ini nampak dari perubahan fungsi hidrologi DAS yang berawal
dari penurunan curah hujan wilayah dan diikuti oleh hasil air DAS (Pawitan,
2010).
Penting untuk diketahui bahwa istilah tutupan lahan (land cover)
tidaklah sama dengan penggunaan lahan (land use). Tutupan lahan berhubungan
dengan kondisi biofisik yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan
17
4
Universitas Sumatera Utara

18
5

lahan berhubungan dengan aktivitas manusia pada cakupan lahan tertentu
(Ekadinata et., al., 2008). Istilah penggunaan lahan sering digunakan untuk tujuan
formal tertentu seperti pada bidang pertanian dan perkebunan yang dinyatakan
dalam bentuk luas areal penanaman dan pemanenan (produksi) komoditas
tertentu. Sedangkan dalam bidang kehutanan dikenal istilah kawasan hutan
sebagai bentuk penggunaan lahan, meskipun dalam kenyataannya tidak
seluruhnya merupakan tutupan hutan (berhutan) (Dwiprabowo et., al., 2014).
Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS)
Suatu DAS dibatasi oleh topografi alami berupa punggung-punggung
bukit, dimana presipitasi yang jatuh di atasnya mengalir melalui titik keluar
tertentu yang akhirnya bermuara ke danau atau ke laut.Wilayah DAS terdiri dari
komponen abiotik, biotic, dan lingkungan lainnya yang saling berinteraksi
membentuk satu kesatuan ekosistem (Sulistiyono, 2008).
Daerah Aliran Sungai bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang
dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi,
yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS,
kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan (Effendi, 2008).
Bagian hulu mengatur aliran air yang dimanfaatkan oleh penduduk di bagian
hilir.Erosi yang terjadi di bagian hulu menyebabkan sedimentasi dan banjir di
hilir.
Daerah aliran sungai bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan
air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial
dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air,
kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada

18
Universitas Sumatera Utara

19
6
prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau (Effendi,
2008). Daerah aliran sungai tengah merupakan transisi diantara DAS hulu dan
DAS Hilir (Valiant, 2014).
DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang
dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi,
yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan
air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta
pengelolaan air limbah (Effendi, 2008). Daerah Aliran Sungai bagian hilir
memiliki karakteristik sebagai daerah pemanfaatan, kerapatan drainase rendah,
kemiringan lahan kecil (Valiant, 2014).
Berdasarkan indikator kunci dan indikator lainnya (lahan, sosial ekonomi
dan kelembagaan) yang sudah ditetapkan maka diketahui tingkat kerusakan DAS
yang kemudian perlu ditetapkan prioritas penanganannya.DAS-DAS prioritas I
adalah

DAS-DAS

yang

prioritas

pengelolaannya

paling

tinggi

karena

menunjukkan kondisi dan permasalahan biofisik dan sosek DAS paling kritis atau
tidak sehat.Prioritas II adalah DAS-DAS yang prioritas pengelolaannya sedang,
sedangkan DAS prioritas III dianggap kurang prioritas untuk ditangani karena
kondisi biofisik dan soseknya masih relative baik (tidak kritis) atau DAS tersebut
dianggap masih sehat (Dephut, 2009).
Perubahan Lahan
Luasan hutan di Indonesia menurun dari 128,72 juta hektar di tahun 1990
menjadi 99,6 juta hektar di tahun 2005. Peta tutupan lahan tahun 2005
menunjukkan bahwa 40% (38,5 juta hektar) hutan yang ada adalah hutan
terganggu/bekas tebangan, hal ini menunjukkan tingginya tingkat kerusakan hutan

19
Universitas Sumatera Utara

20
7
akibat penebangan dan pengambilan kayu. Jenis tutupan lahan dominan yang
menggantikan hutan pada periode 1990–2000 berbeda dengan periode 2000–
2005.Di periode 1990-2000, sebagian besar areal hutan berubah menjadi lahan
semak. Pada periode 2000-2005, hutan dikonversi menjadi lahan perkebunan atau
pertanian, dan penyebab utamanya adalah adanya upaya pemenuhan kebutuhan
akan produk dan komoditi ekspor pertanian (Ekadinata et al, 2012).
Identifikasi perubahan penggunaan lahan pada suatu DAS merupakan suatu
proses mengindentifikasi perbedaan keberadaan suatu objek atau fenomena yang
diamati pada waktu yang berbeda di DAS tersebut. Indentifikasi perubahan
penggunaan lahan memerlukan suatu data spasial temporal.Data-data spasial
tersebut bersumber dari hasil analisis citra maupun dari instansi-instansi
pemerintah seperti Bakosurtanal (As-Syakur et al., 2008).
Identifikasi penutupan lahan dilakukan dengan melakukan interpretasi citra
satelit.Melalui

sensor

yang

dimilikinya,

menggunakan

gelombang

elektromagnetik, citra satelit merekam fenomena permukaan bumi secara
berkala.Perekaman

ini

memanfatkan

perbedaan

selang

spektral

yang

dipantulkan.Beragam citra satelit yang tersedia saat ini; optik maupun radar,
dengan berbagai tingkatan resolusi spasial (Suryadi, 2012).
Pemanfaatan Pengindraan Jarak Jauh dan Sistem Informasi Geografis
Penginderaan jauh adalah ilmu dalam mendapatkan dan mengumpulkan
informasi mengenai suatu objek tanpa menyentuh atau berkontak fisik langsung
dengan obyek tersebut. Dalam Sistem Informasi Geografis, data penginderaan
jauh sangat berperan penting dalam menyediakan informasi spasial. Pemetaan
ekstra-terestris dengan memanfaatkan data penginderaan jauh memiliki banyak

20
Universitas Sumatera Utara

21
8
kelebihan dibandingkan pemetaan terrestrial dengan alat ukur seperti theodolith
dan GPS Geodetik diantaranya waktu pengerjaan pemetaan untuk cakupan area
yang luas lebih singkat dan mampu mengidentifikasi area yang sulit untuk
dijangkau (Ardiansyah, 2015).
Data penginderaan jarak jauh (PJJ) amat lazim digunakan dalam kegiatankegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam (natural
resources management).Hal ini dikarenakan data PJJ memuat kondisi fisik
dari permukaan bumi yang dapat dikuantifikasi/dianalisa sehingga menghasilkan
informasi factual tentang sumber daya yang ada dalam skala luas dan
dilakukan berulang kali untuk keperluan pemantauan. Informasi yang paling
umum dihasilkan dari data PJJ untuk aplikasi sumber daya alam adalah
informasi penggunaan lahan dan tutupan lahan (land cover and land uses)
(Ekadinata et., al., 2008).
Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan citra
satelit seperti Landsat TM mampu mendeteksi pola penggunaan lahan di muka
bumi.Informasi yang diperoleh dari citra satelit tersebut dapat digabungkan
dengan data-data lain yang mendukung ke dalam suatu sistem informasi geografis
(SIG) (Sulistiyono, 2008).
Pemetaan hutan menggunakan teknologi inderaja multitemporal mampu
memberikan data mengenai luasan hutan, kerapatan hutan, dan perubahannya.
Sedangkan Sistem Informasi Geografis dapat menganalisis secara keruangan
aspek-aspek yang berpengaruh terhadap dinamika perubahan hutan diasosiasikan
dengan beberapa feature atau kenampakan lain di permukaan bumi (Yuwono dan
Suprajaka, 2003).

21
Universitas Sumatera Utara

9
22

Identifikasi perubahan tutupan lahan penting dilakukan untuk memantau
terjadinya

perubahan

tutupan

lahan

sehingga

degradasi

lahan

dapat

dihindari.Sistem informasi geografis (SIG) mempunyai peranan yang sangat
penting dalam usaha pemantauan perubahan tutupan lahan. SIG dapat digunakan
untuk pemasukan data, analisis data, pengolahan data dan penyajian dari data
informasi geografis secara optimal (Yulius et., al., 2014).
Interpretasi Citra Satelit
Interpretasi berbasis piksel meliputi klasifikasi terbimbing (supervised
classification) dan klasifikasi tidak terbimbing (un-supervised classification).
Klasifikasi terbimbing adalah metode klasifikasi berdasarkan sample yang telah
ditentukan olah pengguna, sementara klasifikasi tidak terbimbing akan
memberikan keleluasaan kepada komputer untuk mengklasifikasikan kelas yang
jumlahnya telah pengguna tentukan untuk kemudian hasilnya didefinisikan
selanjutnya berdasarkan atribut kelas yang telah ditentukan.Dalam klasifikasi
terbimbing terdapat beberapa metode yang dapat digunakan:
-

Maximum likelihood mengasumsikan bahwa statistik kelas pada setiap band
terdistribusi secara normal. Kelas piksel ditentukan berdasarkan tingkat
probabilitas tertinggi.

-

Minimum distance menggunakan nilai tengah untuk setiap kelas dan
menghitung jarak Euclidean dari piksel yang tidak diketahui ke nilai tengah
masing-masing kelas. Piksel diklasifkasikan berdasarkan kelas yang terdekat.

-

Mahalanobis distance memiliki kemiripan dengan maximum likelihood,
namun mengasumsikan bahwa semua kovarian kelas adalah setara. Semua
piksel diklasifikasikan kepada data training yang terdekat.

22
Universitas Sumatera Utara

23
10

-

Spectral Angle Mapper (SAM) adalah klasifikasi fisik berbasis spektral yang
menggunakan sudut nD untuk mencocokkan piksel data sample. Teknik ini
relatif

tidak

sensitif

terhadap

efek

pencahayaan

dan

Albedo.SAM

membandingkan sudut antara setiap piksel dengan rerata samplenya dalam
ruang nD. Sudut yang lebih kecil merupakan pertanda jarak yang lebih dekat
dengan spektrum sample. Piksel dalam hal ini diklasifikasikan ke dalam kelas
yang memiliki sudut terkecil.
Sebelum dilakukan proses interpretasi, terlebih dahulu dilakukan proses
pemotongan citra (cropping) berdasarkan batas wilayah penelitian. Langkah
selanjutnya interpretasi citra, dilakukan secara visual langsung pada monitor
komputer (on screen interpretation). Proses interpretasi dilakukan dengan
membatasi daerah-daerah yang memiliki karakteristik unsur interpretasi yang
berbeda. Hal ini menunjukkan adanya tipe penggunaan atau penutupan lahan.
Penarikan batas penggunaan atau penutupan lahan dilakukan secara langsung
melalui proses digitasi layar (on screen digitizing). Proses ini menghasilkan peta
penggunaan/penutupan lahan (Lisnawati dan Wibowo, 2007).

23
Universitas Sumatera Utara

14

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Banyak aktivitas manusia sebagai akibat adanya desakan kebutuhan dalam
pembangunan yang akan memanfaatkan potensi sumberdaya lahan, tetapi di lain
pihak sumberdaya lahan tersebut perlu disadari mempunyai keterbatasanketerbatasan, diantaranya adalah bersifat fragile (mudah rusak) dan mempunyai
daya dukung yang labil (Arsyad dan Ernan, 2008). Karena sumberdaya lahan
bersifat mudah rusak, maka pengelolaannya harus dilakukan dengan hati-hati.
Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi sangat pesat di wilayah
Indonesia (Provinsi Sumatera Utara khususnya) menyebabkan kebutuhan lahan
semakin besar.Banyaknya jumlah penduduk membutuhkan besarnya lahan
sebagai

tempat

tinggal

dan

juga

penggunaan

lahan

untuk

kegiatan

pertanian.Penggunaan lahan merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur
tangan kegiatan (intervensi) manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang
bersifat dinamis dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material
maupun spiritual (Arsyad dan Ernan, 2008).
Besarnya jumlah lahan yang dibutuhkan manusia mengakibatkan banyak
lahan yang beralih fungsi.Seperti lahan pertanian menjadi perumahan maupun
lahan hutan menjadi perkebunan.Semua itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
manusia jika dipandang hanya dari segi ekonomi saja.Perubahan fungsi lahan
tersebut disatu sisi memberikan keuntungan secara ekonomi bagi manusia.
Namun, besarnya perubahan lahan yang terjadi juga akan mengakibatkan
terganggunya keseimbangan ekosistem.

14
1
Universitas Sumatera Utara

2
15

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah kesatuan ekosistem
yang dibatasi oleh pemisah topografis dan berfungsi sebagai pengumpul,
penyimpan, dan penyalur air, sedimen, polutan, dan unsur hara dalam sistem
sungai dan keluar melalui satu outlet tunggal (Kemenhut, 2013).Daerah Aliran
Sungai (DAS) tidak hanya sebatas sungai, tetapi meliputi wilayah-wilayah sekitar
sungai yang secara langsung mempengaruhi kelangsungan sungai itu sendiri
(Ruhimat et. al., 2006).
Daerah Aliran Sungai terbagi menjadi tiga bagian, yaitu hulu, tengah dan
hilir. Tutupan lahan yang berada di bagian hulu akan berpengaruh terhadap
kualitas air yang mengalir ke bagian tengah dan hilir. Umumnya daerah hulu DAS
memiliki tutupan lahan berupa hutan.Jika hutan yang berada di hulu suatu DAS
baik, maka baik pula DAS tersebut. Namun, jika hutan yang berada di hulu DAS
tersebut rusak, maka akan berpengaruh pula bagi kerusakan DAS di bagian tengah
dan hilir.
Propinsi Sumatera Utara memiliki beberapa DAS, salah satunya yaitu
DAS Besitang.DAS Besitang berada di wilayah administrasi Kabupaten
Langkat.Sebagian besar wilayah DAS Besitang merupakan kawasan Taman
Nasional Gunung Leuser (TNGL). Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.
276/Kpts II/1997, total luas hutan TNGL adalah 1.094.692 ha dan 80,5% (881.207
ha) berada di wilayah Nangroe Aceh Darussalam, sisanya 19,5% (213.485 ha)
berada di Kabupaten Langkat dan seluas 125.000 ha diantaranya berada di
Kecamatan Besitang.
Keberadaan DAS (Daerah Aliran Sungai) sangat penting untuk terus
dipantau keadaannya dengan maksud untuk menjaga keberlangsungan kawasan

15
Universitas Sumatera Utara

16
3

tersebut sebagai daerah penyangga bagi debit sungai yang melaluinya
(Sulistiyono, 2008). Salah satu upaya pemantauan kondisi DAS adalah dengan
mengidentifikasi tutupan lahan yang berada di DAS tersebut.Identifikasi tutupan
lahan pada suatu DAS adalah mengetahui perbedaan kondisi tutupan lahan pada
waktu yang berbeda di DAS tersebut.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kelas tutupan lahan yang ada di Daerah Aliran Sungai
Besitang.
2. Untuk mengetahui perubahan tutupan lahan yang terjadi di DAS Besitang
antara tahun 1990, 2005 dan 2015.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini adalah memberikan informasi bagi
pemerintah daerah setempat mengenai perubahan tutupan lahan di DAS Besitang
sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan kegiatan pengelolaan
sumberdaya lahan.

16
Universitas Sumatera Utara

4

ABSTRAK
AMALIYAH PUTRI: Analisis Perubahan Tutupan Lahan di Daerah Aliran
Sungai Besitang Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Dibimbing oleh
ANITA ZAITUNAH dan SAMSURI.
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah kesatuan ekosistem
yang dibatasi oleh pemisah topografis dan berfungsi sebagai pengumpul,
penyimpan, dan penyalur air, sedimen, polutan, dan unsur hara dalam sistem
sungai dan keluar melalui satu outlet tunggal.Besarnya pertambahan penduduk
menyebabkan perubahan lahan yang besar pula.Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui kelas tutupan lahan yang ada di DAS Besitang dan untuk mengetahui
perubahan tutupan lahan yang terjadi di DAS Besitang antara tahun 1990, 2005
dan 2015. Penelitian menggunakan Citra Landsat 5 tahun 1990 dan 2005, dan
Landsat 8 tahun 2015 dengan klasifikasi terbimbing metode peluang maksimum
(Maximum likelihood classifier).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 12 kelas tutupan lahan yang
ada di DAS Besitang yaitu hutan lahan kering primer, hutan lahan kering
sekunder, hutan mangrove, semak, kebun karet, kebun sawit, pertanian lahan
kering campuran, sawah, lahan terbuka, pemukiman, tambak dan badan air. Luas
tutupan lahan terbesar adalah hutan lahan kering primer seluas 38.542,43 Ha
(39,94%) pada tahun 1990, 34.279,16 Ha (35,52%) pada tahun 2005, dan
35.531,98 Ha (36,82 Ha) pada tahun 2015. Perubahan tutupan lahan terbesar pada
tahun 1990 – 2005 adalah hutan lahan kering primer menjadi kebun sawit dengan
perubahan seluas 1.806,03 Ha.Sedangkan tahun 2005 – 2015 perubahan terbesar
adalah hutan mangrove menjadi kebun sawit dengan perubahan luas sebesar
1.016,82 Ha.
Kata Kunci : Daerah Aliran Sungai, citra Landsat, tutupan lahan, perubahan lahan

4i
Universitas Sumatera Utara

5

ABSTRACT
AMALIYAH PUTRI: Land Cover Change Analysis at The Besitang Watershed
Langkat Regency,North Sumatera. Under supervision: ANITA ZAITUNAH and
SAMSURI.
Watershed is an ecosystem unity area bounded by topographic divider and
serves as a collector, storage and distributor of water, sediments, pollutants and
nutrients in the river system and exit through a single outlet. The amount of
population growth led to greater land use change. The purpose of this research
are to identify land cover classes and land cover change in Besitang Watershed
between 1990, 2005 and 2015. This research used landsat 5 imagery in 1990 and
2005, and landsat 8 imagery in 2015 with supervised classification method
maximum likelihood classifier.
The result showed that there are 12 classes of land cover in the Besitang
Watershed, there are primary forest, secondary forest, mangrove forest,
underbrush, rubber plantations, oil palm plantations, dry land agriculture, open
land, settlements, pond and water. The biggest land cover is primary forest
covering an area of 38.542,43 hectares (39,94%) in 1990, 34.279,16 hectares
(35,52%) in 2005, and 35.531,98 hectares (36,82) in 2015. The biggest land cover
change between 1990 until 2005 is primary forest to oil palm plantation with
covering an area of 1.806,03 hectares changes. While the biggest land cover
change between 2005 until 2015 is the mangrove forest to oil palm plantation with
covering an area of 1.016,82 hectares changes.
Keywords: Watershed, Landsat imagery, land cover, land cover change

ii5
Universitas Sumatera Utara

1

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN
DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BESITANG
KABUPATEN LANGKAT
SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh:
AMALIYAH PUTRI
121201089
Manajemen Hutan

FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2016
1
Universitas Sumatera Utara

2

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN
D