Studi Perbandingan Antara Gable Frame Metode Baja Taper Dengan Metode Baja Konvensional Ditinjau Dari Segi Kekuatan Dan Biaya

(1)

DAFTAR PUSTAKA

American Institute of Steel Construction. (2T1T). Specification for structural steel buildings. Chicago: AISC.

Badan Standardisasi Nasional. (2T1T). RSNI T3-1727-2T1T: Beban Minimum untuk Perancangan Bangunan Gedung dan Struktur Lain. Jakarta.

Departemen Pekerjaan Umum. (2T15). SNI 1729-2T15: Tata Cara Perencanaan Struktur Baja Untuk Bangunan Gedung. Jakarta.

Dewobroto, Wiranto (2T15). Struktur Baja ; Perilaku, Analisis & Desain – AISC 2010. Jakarta ; Lumina Press.

McCormac, Jack C. (2TT8) Structural Steel Design : Fourth Edition. Canada .

Salmon, Charles G., John E.Johnson, Ir. Wira M.S.E (1986). Struktur Baja : Desain dan Perilaku Edisi kedua jilid 1. Jakarta : Penerbit Erlangga

Salmon, Charles G., John E.Johnson, Ir. Wira M.S.E (1986). Struktur Baja : Desain dan Perilaku Edisi kedua jilid 2. Jakarta : Penerbit Erlangga

Salmon, Charles G., John E.Johnson, Ir. Wira M.S.E (1992). Struktur Baja : Desain dan Perilaku Edisi ketiga. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Setiawan, Agus (2TT8). Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD (Berdasarkan SNI 03 – 1729 – 2002). Semarang : Penerbit Erlangga.

Supartono, Ir.F.X dan Ir. Teddy Boen (198T). Analisa Struktur dengan Metode Matrix. Cetakan ketiga. Jakarta

Wigroho, Haryanto Hoso (2TT1) Analisis & Perancangan Struktur Frame.Yogyakarta, Penerbit : ANDI.


(2)

BABBIIIB

METODEBPENELITIANB B

B III.1.BPendahuluanB

Untuk dapat mencapai hasil dari suatu penelitian yang benar, tentunya diperlukan tahapan-tahapan kerja yang teratur. Hal ini bertujuan agar pembaca dapat mengerti tahapan kerja yang dilakukan peneliti untuk mendapat hasil yang diinginkan. Pada pembahasan ini, peneliti akan membandingkan 2 sample proyek yang sudah ada dan kemudian direkayasa menjadi taper, kemudian diperbandingkan dari sisi efisiensi harga. Perbandingan hanya dilakukan pada struktur utama. Pada struktur bukan struktur utama, tidak diperbandingkan.


(3)

III.2.BMetodeBpenelitianB

Adapun tahapan yang akan dilakukan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan adalah :

Mengumpulkan data-data yang diperlukan

Menghitung beban-beban yang ada, dan kemudian mengecek apakah konstruksi kovensional aman

Merekayasa konstruksi baja konvensional tersebut menjadi baja taper

Mengontrol hasil rekayasa tersebut hingga aman, dengan menggunakan bantuan program

Membandingkan hasil rekayasa tersebut dengan baja konvensional dari segi ekonomis


(4)

III.3.BAnalisaBStrukturB

Analisa stuktur, yang merupakan bagian integral dari berbagai tipe struktur, adalah proses memprediksi performa struktur dibawah kondisi terbebani yang bebannya telah ditentukan sebelumnya. Karakterisitik utama perfoma tesebut biasanya berupa : (a) resultan tegangan (gaya aksial, geser, dan momen) (b) deformasi dan (c) reaksi tumpuan. Demikian, analisis struktur melibatkan penentuan jumlah ini sebagai akibat dari beban yang diberikan atau efek eksternal (seperti penurunan tumpuan dan perubahan temperature).

Pada desain umumnya, analisis struktur rangka biasanya dilakukan oleh computer, dengan menggunakan perangkat lunak yang berdasarkan metode analisis struktur matriks. Sangat esensial untuk seorang praktisi untuk mengerti dasar ilmu analisa matriks, sehingga mereka dapat mengembangkan progam mereka sendiri dan dapat mengerti hasil dari analisa struktur yang telah dibuatnya.

III.3.1.BAnalisaBlinearBvsBanalisaBnonBlinearB

B Analisa linear struktur adalah berdasarkan dari dua asumsi dasar, yaitu : 1. Struktur terdiri dari material yang elastic secara linear, yaitu hubungan

tegangan dan regangan material struktur mengikuti hokum Hooke.

2. Deformasi (perpindahan) struktur sangat kecil sehingga reaksi tambahan dari member slope, rotasi, dan tegangan aksial diabaikan seluruhnya. Maka dari itu, persamaan dari keseimbangan adalah berdasarkan geometri struktur yang diasumsi tidak berubah.

Tujuan membuat asumsi ini adalah untuk mendapakan hubungan linear dari beban yang bekerja dan hasil deformasi struktur. Keuntungan dari hubungan linear force-displacement adalah prinsip superposition dapat digunakan pada analisi ini. Prinsip ini menjelaskan bahwa efek gabungan dari beberapa beban yang bekerja bersamaan pada struktur adalah setara dengan penjumlahan aljabar efek dari setiap beban yang bekerja secara individu di struktur tersebut.

Perancangan struktur umumnya didesain sedemikian sehingga pada beban yang bekerja, struktur tersebut hanya mengalami deformasi yang sedikit. Demikian, analisis linear umumnnya cukup memadai untuk memprediksi perfoma dari hampir setiap tipe


(5)

struktur yang sedang mengalami pembebanan. Namun, pada level pembebanan yang tinggi, akurasi dari analisis linear umumnya akan memburuk sebagaimana deformasi dari struktur telah meningkat dan material mengalami tegangan diatas titik leleh. Karena sifat keterbatasannya, analisis linear tidak dapat menganalisis kapasitas beban ultimate dan ketidakstabilan karakteristik struktur.

Dengan pengenalan dari spesifikasi desain yang berdasarkan kepada kekuatan ultimate dari struktur, penggunaan analisis non linear pada desain struktur semakin meningkat. Pada analisis non linear, pembatasan dari analisa linear dihilnagkan dengan memformulasikan persamaan dari keseimbangan dari deformasi geometri struktur yang belm diketahui. Hubungan beban dengan deformasi demikian didapatkan pada struktur adalah berupa non linear, dan umumnya harus diselesaikan dengan analisis non linear juga.

III.3.2.BCaraBklasikalBvsBMetodeBMatrikx

Baik metode matriks dan cara klasikal, dua-duanya adalah berdasarkan ilmu yang sama, hanya saja bedanya adalah persamaan keseimbangan, kecocokan, dan kekakuan elemen ditampilkan dalam bentuk persamaan matrix, sehingga angka komputerisasi tersebut dapat efisien berjalan di computer.

Kebanyakan cara klasikal dikembangkan untuk menganalisis tipe struktur tertentu, dan dikarenakan perhitungan menggunakan perhitungan manual, para praktisi sering melakukan asumsi (yang tidak diperlukan di metode matriks) untuk menurunkan jumlah dari hasil analitik komputerisasi. Penggunaan dari metode ini umumnya memerlukan pemahaman dari perilaku struktur. Contohnya adalah metode distribusi momen. Metode klasikal ini dapat diguankan hanya untuk menganalisis balok dan bidang rangka yang sedang mengalami deformasi bengkok. Deformasi akibat gaya aksial pada batang biasanya diabaikan untuk menurunkan jumlah DoF. Asumsi ini menurunkan kecanduan terhadap hasil komputerisasi secara signifikan, tetapi juga merumitkan analisis karena memerlukan analisis lagi untuk menggambarkan bentuk pembelokan dari rangka tergantung dari setiap DoF, untuk mengestimasi hubungan besarnya fixed-end momen di tiap member, adalah pekerjaan yang susah walau di kasus yang hanya memiliki sedikit DoF jika rangka memiliki banyak elemen. Karena kerumitan yang berlebih, metode klasik tidak disarankan


(6)

Perbedaan yang kontras, metode matrix dikembangkan secara khusus untuk penggunakan dalam computer karena metode ini sistematis (sehingga cocok sekali dengan program) dan metode matrix itu umum (bisa diaplikasi di berbagai tipe struktur rangka karena memiliki format yang sama). Dengan mempelajari metode matrix, karena merupakan karakter terbaru, sebuah program computer dikembangkan untuk menganalisis satu bagian tipe dari struktur (contohnya bidang rangka) yang dapat dimodifikasi untuk menganalisis struktur yan lainnya (misalnya rangka 3 dimensi).

Dikarenakan juga analisis klasikal sangat boros waktu, maka metode matriks lebih favorit digunakan. Walaupun demikian, metode klasikal masih lebih sering digunakan para praktisi untuk menganalisis struktur yang sederhana, karena metode ini memberikan wawasan yang lebih baik terhadap perilaku struktur. Metode klasikal boleh digunakan untuk perencanaan awal, untuk megecek hasil dari analisis komputerisasi, dan untuk mengurangi hubungan elemen force-displacement yang diperlukan dalam analisis matriks. Intinya, pembelajaran metode klasikal adalah perlu agar para praktisi dapat mengerti perilaku struktur.

III.3.3.BMatriksBvsBmetodeBelemenBhinggaB

Metode matriks dapat digunakan untuk menganalisis struktur rangka. Analisis elemen hingga, yang aslinya merupakan perpanjangan dari metode matriks permukaan struktur (pelat dan cangkang) sekarang telah dikembangkan sehingga metode ini dapat diklasikasikan ke struktur dan berbagai bentuk solid. Perbedaan dasar dari dua metode ini adalah pada metode matriks, hubungan member force-displacement adalah berdasarkan dari penyelesaian eksak dari persamaan diferensial, dimana pada metode elemen hingga, hubungan tersebut umumnya didapatkan dari ilmu energy dari pengamsumsian perpindahan (displacement) atau tegangan.

Karena pendekatan dari hubungan force-displacement, analisis elemen hingga umumnya menghasilkan hasil yang merupakan pendekatan. Walapun demikian, pada analisis linear struktur lrangka yang disusun secara prismatic, baik metode matrix dan eleme hingga hampir akan menghasilkan hasil yang sama.


(7)

III.3.4.BMetodeBMatrix

Matriks didefinisikan sebagain susunan segi empat dari jumlah angka yang disusun kedalam baris dan kolom.

Gambar III.3.4. Model matrix segi empat

Setiap elemen pada matriks direpresentasikan dengan dua angka subscripted, dengan angka pertama mengidentifikasikan baris dan angka kedua mengidentifikasikan kolom elemen itu berada.

Seperti telah diketahui, analisis struktur mencakup penentuan tangganp (respons) system struktur terhadap gaya maupun pengaruh luar yang bekerja pada system struktur tersebut. Akibat bekerjanya beban maupun pengaruh luar lainnya, respons pertama yang terjadi adalah adanya perubahan dari kedudukan (konfigurasi) awalnya, struktur berpindah ke kedudukan akhir dimana terjadi keseimbangan dalam pengaruh gaya luar. Dlam hal ini dihadapi medan perpindahan yang merupakan salah satu tanggap struktur terhadap beban atau pengaruh luar.

Perpindahan yang dialami struktur secara umum mencaku dua bagian. Yang pertama adalah perpindahan badan kaku yang tidak menimbulkan reaksi dalam elemen, karena perpindahan ini tidak menimbulkan deformasi. Yang kedua adlaah perpindahan yang menimbulkan deformasi. Perpindahan deformatif akan menimbulkan gaya reaksi dalam elemen struktur maupun perletakannya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bawa tanggap struktur terhadap adanya gaya maupun pengaruh luar yang bekerja padanya dapat dibedakan menjadi dua yaitu (a)perpindahan dan (b) gaya dalam elemen struktur dan perletakan. Dua aspek inilah yang dipelajari dan dikaji dalam analisis struktur, dimana perpindahan dan gaya


(8)

dalam dihitung dengan memperhatikan criteria keseimbangan, keselarasan, dan hubungan gaya-perpindahan. Pada metode matrik, dikenal adanya dua cara, yaitu :

a. MetodeBkekakuanB(stiffness method atauBdisplacement method)B

Dengan metode kekakuan ini sebenarnya dicari hubungan gaya dengan lendutan, atau dinyatakan secara matematis :

[ Q ] = [ K ] [ d ] Dengan :

Q = matriks gaya (beban)

K = matriks kekakuan struktur (global) d = matriks perpindahan (displacement)

Metode kekakukan ini disebut juga metode lendutan (displacement method) karena analisa dimulai dengan lendutan, sehingga denga demikian urutan kerjanya secara garis besar adalah sebagai berikut :

1. Kompatibiliti ; yaitu mencari hubungan antara deformasi dengan lendutan, atau secara tegasnya mencari deforasi apa yang terjadi pada elemen-elemen dititik-titik diskrit akibat diberikannya lendutan pada struktur dititik-titik tersebut.

2. Persamaan hubungan stress dan strain, yaitu mencari hubungan mengenai gaya-gaya dalam yang timbul sebagai akibat adanya deformasi pada elemen-elemen struktur tersebut.

3. Kesetimbangan; langkah terakhir yang menyatakan hubungan gaya luar dititik diskrit dengan gaya-gaya dalam, atau mencari berapa besar gaya luar diujung elemen yang tepat diimbangi oleh gaua-gaya dalam elemen dititik-titik diskrit. Dengan menggabungkan ketiga langkah ini, akan didapatkan hubungan gaya dan lendutan. Perlu kiranya ditambahkan disini, karena metode kekakuan ini analisanya dimulai dengan lendutan, kemudian mencari hubungan pada gaya-gaya yang timbul dititik-titik diskrit, maka akan sangat menguntungkan untuk memakai metode ini menganalisa suatu konstruksi dimana ketidak tentuan kinematisnya (yang berhubungan erat dengan derajat kebebasan atau defree of freedom) adalah lebih kecil bila dibandingkan dengan ketidak tentuan statisnya. Dengan demikian,


(9)

konstruksi-konstruksi statis tak tentu yang sering dijumpai pada umumnya, akan lebih menguntungkan bila dianalisa dengan metode kekakuan ini, karena umumnya konstruksi-konstruksi ini mempunyai derajat ketidaktentuan statis yang besar.

b. MetodeBfleksibilitasB(flexibility method atayBforce method)B

Prinsip dari metode flesibilitas ini adalah kebalikan dari metode kekakuan. Dengan metode ini dicari hubungan lendutan dan gaya, atau dinyatakan secara matematis :

[ D ] = [ F ] [ Q ]

[ D ] menyatakan lendutan dititik diskrit yang koresponding dengan gaya [ Q ]. [ F ] menyatakan flesibilitas dari struktur.

Metode fleksibilitas ini juga disebut sebagai metode gaya (force method) karena analisa dimulai dengan gaya, yaitu gaya-gaya dititik diskrit. Ini adalah kebalikan dari metode kekakuan, sehingga urutan kerja analisa secara garis besar adalah sebagai berikut :

1. Kesetimbangan, yaitu berdasarkan prinsip kesetimbangan menghitung gaya dalam yang timbul pada elemen-elemen struktur akibat bekerjanya gaya-gaya luar di titik-titik diskrit atau dengan kata lain dicari hubungan gaya dalam dan gaya luar.

2. Persamaan hubungan strain dan stress yaitu mencair hubungan mengenai deformasi yang terjadi pada elemn akibat adanya gaya-gaya dlaam tersebut 3. Kompatibiliti, yaitu mencari hubungan antara lendutan yang terjadi pada

elemen-elemen struktur, dimana antara lendutan dan deformasi harus memenuhi syarat kompatibiliti. Di sini dituntut kontinuitas dai deformasi yang terjadi pada elemen-elemen struktur.

Sebagimana uraian pada pasal sebelumnya, perlu kiranya ditambahkan disini, bahwa karena metode ini dimulai dengan analisa kesetimbangan gaya untuk mencari gaya dalam sebagai akibat bekerjanya gaya-gaya luar, maka metode fleksibilitas ini akan lebih sesuai bila digunakan untuk menganalisa konstruksi dengan derajat


(10)

sayangnya konstruksi semacam ini tidak banyak dijumpai pada perencanaan struktur yang nyata.

Di bawah ini diberikan beberapa contoh alternative analisa dengan metode fleksibilitas dan metode kekakuan.


(11)

(12)

Pada metode kekakuan, mula-mula diadakan “kekangan-kekangan”, sehingga struktur tidak dapat bergerak pada waktu dibebani. Hal tersebut menjamin tercapainya kondisi kompatibiliti, tetapi gaya-gaya dalam tidak seimbang, karena diperlukan gaya-gaya luar untuk mecegah terjadi perpindahan.


(13)

Selanjutnya kekangan-kekangan dihilangkan, satu demi satu, untuk mempertahankan kondisi kompatibiliti dan mengembalikan kondisi keseimbangan struktur tersebut. Hal ini dilakukan dengan memecahkan satu susun persamaan-persamaan keseimbangan. Hal-hal yang tidak diketahui adadalah lendutan dari struktur. Tidak diperlukan judgement yang sulit untuk menentukan bagaiman struktur harus dipotong-potong. Untuk struktur –struktur yang besar dan kompleks, metode ini lebih menguntungkan , dengan laasan :

- Dengan cara ini, pekerjaan dapat dikurangi menjadi suatu rutin yaitu menyatakan struktur dan sistim pembebanannya

- Kemajuan computer-komputer pada akhir-akhir ini sangat besar dan biaya pemakaian computer makin hari makin rendah.

Pada metode fleksibiltas, perhitungan dimulai dengan mengambil suatu system gaya luar dan gaya dalam yang berada dalam kesetimbangan. Selanjutnya system tersebut disesuaikan agar benda tetap dalam kesetimbagnan dan kondisi kompatibili tercapai. Struktur statis tak tentu harus dijadikan statis tertentu dengan jalan memotong-motong struktur tersebut. Selanjutnya gaya-gaya dan lendutan pada potongan-potongan tersebut disesuaikan (kondisi kompatibiliti) satu demi satu, sehingga bentuk asli struktur dapat dipulihkan. Hal-hal yang tidak diketahui adalah gaya-gaya yang diperlukan untuk menggabungkan struktur menjadi utuh kembali. Untuk dapat memakai metode flesibilitas ini diperluka engineering skill untuk merancang suatu pemecahan yang efisien.

II.3.4.1.BMetodeBKekakuanB

Metode kekakuan ialah suatu cara untuk analisa struktur, dimana dalam proses perumusan dari analisanya, diambil lendutan dititik-titik diskrit sebgai besaran yang hendak dicari.

Metode kekakuan ini sebenanrnya bukan merupakan cara analisa yang baru, namun memang metode ini baru menjadi berkembang pesat dan disukai orang pada waktu akhir-akhir ini, seiring dengan kemajuan pesar dari penggunaan computer elektronik otomatis, yang ternyata sangat memudahkan operasi-operasi matermaiknya.


(14)

Berhubungan dengan hakekat dari metode kekakuan ini, maka analia struktur akan selalu dimulai dengan memberikan pada struktur bersangkutan beberapa besara yang dalam hal ini adlaah merupakan lendutan pada titik diskrit sebagai besaran yang harus dicari. Sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah disinggung pada pasal 2.2, maka dalam proses analisa tersebut akan mengenal beberapa matriks yang penting sebagai berikut :

1. Matriks deformasi [ A ] , suatu matrix yang menyatakan hubungan kompatibiliti, atau hubungan deformasi dan lendutan :

[ d ] = [ A ] [ D ] Dimana :

[d ] menyatakan deformasi dari elemen struktur [ A ] adalah matriks deformasi

[ D ] menyatakan lendutan di titik diskrit

2. Matriks kekokohan intern elemen [S], suatu matriks yang memenuhi hokum hooke, dalam mana dinyatakan hubunganantara gaya dalam dan deformasi [H] = [S] [d]

Dimana :

[H] menyatakan gaya dalam elemen

[S] adalah matriks kekokohan intern elemen [d] menyatakan deformasi elemen

3. Matriks statis [B], suatu matriks yang menyatakan kesetimbangan antara gaya luar dan daya dalam

[Q] = [B] [H} Dimana :

[Q] menyatakan gaya luar yang bekerja dititik diskrit [B] adalah matriks statis

{H} menyatakan gaya dalam elemen

Bila ketiga matriks diatas digabungkan, maka akan didapat hubungan : {Q} = [B] {H}


(15)

{Q} = [B] [S] ( [A] {d}) {Q} = [B] [S] [A] {D} {Q} = [K] {D}

Persamaan diatas merupakan persamaan inti dari metode kekakuan ini, dimana [K] adalah matriks kekakukan struktur, dengan pengertian :

[K] = [B] [S] [A]

Jadi salah satu tujuan terminal yang penting adalah proses analisa ini ialah dapat menurunkan matriks kekakuan struktur [K] meurut persamaan diatas. Selanjutnya akan mudah dicapai tujuan akhir, yaitu analisa lendutan dan gaya dalam elemen.

Pada metode keakuan matriks, ada dua tipe system koordinat yang berlaku untuk menetapkan data dari struktur dan pembebanan dan juga untuk membuat hubungan gaya-perpindahan yang diperlukan, yaitu system koordinat global (structural) dan system koordinat local (member),. Kekakuan lokal adalah kekakuan yang mengacu kepada sumbu masing-masing elemen sedangkan kekakuan global adalah kekakuan yang mengacu kepada koordinat kartesian.B

III.3.4.2BMatriksBKekakuanBStrukturBLokalB

Dalam menggunakan metode elemen hingga, akan terdapat dua buah titik simpul pada setiap elemen, yaitu simpul awal dan simpul akhir. Penomoran terhadap simpul-simpul ini sangatlah penting dalam membantu menyelesaikan persamaan matriks kekakuan struktur.


(16)

Gambar III.3.4.2.1 menunjukkan bahwa titik 1 merupakan titik awal dari elemen tersebut dan titik 2 disebut dengan titik akhir. Jika ditinjau secara linear maka gambar di atas memiliki 2 perpindahan yakni u1 dan u2 atau 2 derajat kebebasan

(degree of freedom).

Berdasarkan hokum hooke maka berlaku : σ = E. ε Dimana : σ = tegangan

E = elastisitas ε = regangan σ = ; ε = ∆

P = Sx1 = σ. A = E. ε. A = E. ∆ .A

ΔL = u1 - u2

Jika disubstitusikan maka : Sx1 = (u1 – u2)

Dengan syarat kesetimbangan ΣH = 0 Sx2= (-u1 + u2)

Jika dalam bentuk matriks, maka :

= 1−1 −11

Jika :

{ } = ; [ ] = 1−1 −11 ; { } = { } = [ ] . { }

Dimana : { } =

[ ] =


(17)

Dikarenakan lebih mudah untuk menentukan hubungan member force-displacement sepanjang tegak lurus member, system koordinat system ditetapkan untuks setiap member structural.

Gambar III.3.4.2.2 Aturan tangan kanan pada system koordinal lokal

Gambar III.3.4.2.Aturan tangan kanan pada system koordinal lokal

 Orientasi sumbu lokal 1 arahnya selalu memanjang arah / element frame, dimana arah positif ialah dari ujung "i" ke ujung "j".


(18)

 Orientasi default sumbul lokal 2 dan 3 ditentukan oleh hubungan sumbu lokal 1 dan sumbu global Z sebagai berikut.

 Jika sumbu lokal 1 arahnya horizontal, maka arah sumbu lokal 2 sejajar dengan sumbu global Z.

 Jika sumbu lokal 1 aranya keatas (Z+), maka arah sumbu lokal 2 sejajajr dengan sumbu global X(-).

 Sumbu lokal 3 arahnya selalu horizontal searah bidang X-Y.

 Sumbu koordinat ang digunakan untuk menentukan orientasi elemen yang berbeda dengan orientasi default. sudut ini memutar sumbu lokal 3 dan 2 terhadap 1 dari orientasi default. Rotasi positif ialah searah jarum jam apabila sumbu 1 menjauhi arah pengamat. dibawah ini gambar untuk memperjelas uraian diatas. Terlihat arah sumbu X menjauhi pengamat.

Asal dari system koordinal local XYZ untuk setiap member mungkin diletakkan terganutng pada situasi pada setiap ujung member pada kondisi tanpa berubah bentk, dengan axis X secara langsung sepanjang sentral member pada kondisi tanpa berubah bentuk. Arah positif pada axis y ditetapkan sedemikian sehingga aturan yang berlaku juga adalah aturan tangan kanan, dengan axis local Z adalah mengarah pada arah positif pada koordinat global axis Z.

III.3.4.3BMatriksBKekakuanBStrukturBGlobalB

B


(19)

Gambar III.3.4.3.1 menunjukkan matriks kekakuan pada sumbu global yang terdiri dari sx, sy dan sz untuk masing-masing gaya yang bekerja pada sumbu x, sumbu y, dan sumbu z. Untuk simpul 1 dapat ditulis persamaan sebagai berikut :

{ } = = α − αα α = [ ] { }

Untuk simpul 2 juga berlaku persamaan diatas dan nilai sy1 dan sy2 bernilai T.

Matriks terhadap sumbu kekakuan global : [ ] =

− −

− −

− −−

Dengan C = cos α dan S = sin αSelanjutnya hubungan antara perpindahan sumbu lokal dan sumbu global adalah :

{ } = [ ] { } = 0 0 0 0

Keseluruhan geometri dan hubungan load-deformation pada keseluruhan struktur digambarkan dengan referensi kepada kartesius atau system koordinat global segi empat. Sistem koordinat global umumnya menggunakan aturan tangan kanan XYZ terhadap struktur yang tergambarkan pada bidang XY.


(20)

Ketika menganalisis struktur dua dimensi, kedudukan dari koordinat global XY dapat dilokasikan dengan mudah pada berbagai point di structural 2 dimensi, dengan korrdinarat X dan Y diorientasikan pada garis tegak lurus pada bidang structural. Walaupun demikian, garis tegak lurus ini biasanya diletakan di paling bawah dari joint struktur, dengan garis X dan Y diorientasikan pada arah horizontal (positif terhadap kanan) dan vertical (positifi terhadap atas) , sehingga koordinat X dan Y kebanyakan dari mereka merupakan nilai positif.

III.3.4.4BMatriksBKekakuanBStrukturB

Contoh diketahui konstruksi seperti tergambar pada gambar III.3.4.4 yang menunjukkan penomoran pada nodal dan batang pada sebuah struktur portal berlantai 2 dengan perletakan jepit - jepit :

Gambar III.3.4.4 Penomoran untuk nodal dan batang


(21)

Tabel III.3.4.4 Definisi Simpul 1 dan 2 pada Setiap Elemen Elemen Simpul 1 (awal) Simpul 2 (akhir)

a 1 2

b 2 3

c 3 4

d 2 5

e 5 4

f 6 5

Tabel III.3.4.4 menjelaskan mengenai definisi simpul yang sebelumnya telah dijelaskan, dari tabel dapat dilihat titik yang menjadi simpul awal dan akhir batang pada struktur portal 2 lantai.

Pada elemen a, b, e dan f berlaku [ ], [ ], [ ], dengan α = α = α = α = 90

dan pada elemen c dan d berlaku [ ], [ ], dengan α = α = T. Untuk sistem koordinat X-Y berlaku :

{ } = = = [ ] { }

Untuk memenuhi syarat kompatibilitas, maka : { } = { }

{ } = { } = { } = { }

{ } = { } = { }

{ } = { } = { }

{ } = { } = = { }


(22)

Dan dalam setiap titik simpul harus memenuhi syarat kesetimbangan. Pada titik simpul i berlaku persamaan:

{ } =

Untuk masing-masing titik simpul berlaku persamaan berikut : { } = { }

{ } = { } = { } = { } { } = { } = { }

{ } = { } = { }

{ } = { } = { } =

{ } =

Dengan demikian :

{ } = [ ] { } + [ ] { }

{ } = [ ] { } + [ ] { } + [ ] { } + [ ] { } + [ ] { } +

[ ] { }

{ } = [ ] { } + [ ] { } + [ ] { } + [ ] { }

{ } = [ ] { } + [ ] { } + [ ] { } + [ ] { }

{ } = [ ] { } + [ ] { } + [ ] { } + [ ] { } + [ ] { } +

{ }

{ } = { } + { }


(23)

⎩ ⎪ ⎨ ⎪ ⎧ ⎭ ⎪ ⎬ ⎪ ⎫ = ⎩ ⎪ ⎨ ⎪ ⎧ ⎭ ⎪ ⎬ ⎪ ⎫

Maka didapat persamaan { } = [ ] . { }

Dimana : { } =

[ ] =

{ } = ℎ

III.3.4.5BDerajatBketidakBtentuanBkinematisB

Analisa ini dimulai dengan mengambil lendutan dititik-titik diskrit sebagai sasaran yang harus dihitung. Untuk mengetahui dimana harus dipasang besaran lendutan yang akan dicari tersebut, maka harus diketahui dahulu berapa derajat ketigak-tentuan kinematis atau istilah lainnya derajat kebebasan (degree of freedrom) dari struktur.

Derajat ketidak tentuan kinematis ialah suatu besaran yang menyatakan jumlah komponen bebas dari lendutan dititik diskrit yang mungkin terjadi yang berhubungan dengan diberikannya suatu pembebanan pada struktur.

Pada struktur dua dimensi (bidang) dengan titik hubung kaku, pada umumnya akan timbul lendurtan translasi (linier) dan rotasi (angular) dititik-ttik diskrit.

Lendutan tranlasi selalu dapat dinyatakan oleh dua komponen yang saling tegak lurus, sedangkan lendutann rotasi dinyatakan oleh satu komponen anguler. Dengan demikian pada satu titik pertemuan secara lengkap akan ada tiga komponen lendutan.

Untuk strukrur tiga dimensi (ruang) dengan titik hubung kaku, pada umumnya secara lengkap aka nada enam buah komponen dititik bebas dari lendurtas yaitu tiga menyatakan lendurtan translasi dan tiga lainnya lendutan rotasi.


(24)

kinematis sama dengan nol juga disebut kinematis tertentu. Di bawah ini diberikan beberapa amacam struktur bidang yang akan ditunjukkan berapa derajat ketidak tentuan kinematisnya.


(25)

Gambar III.3.4.5 Derajat ketidak-tentuan kinematis

Gambar III.3.4.5 Derajat ketidak-tentuan kinematis dari struktur ditunjukan oleh banyaknya vector lendutan yang mungkin terjadi di titik bebas, dimana arah vector pada gambar menunjukkan arah vector yang positif.


(26)

III.3.4.6BProsedurBAnalisisBStrukturB

Tahapan-tahapan perhitungan dalam analisis struktur dengan metode matriks kekakuan dapat diuraikan secara detail, sebagai berikut :

a. Tentukan model diskritisasi struktur yang akan digunakan untuk mempresentasikan struktur dalam analisis. Tetapkan jumlah elemen, titik simpul serta derajat kebebasan akrif (atau yang perlu diaktifkan untuk kekangan) struktur

b. Tetapkan jenis elemen yang perlu digunakan serta yang mampu memodelkan medan perpindahan struktur

c. Untuk masing-masing elemen, susun matriks kekakuan dalam tata sumbu local [k1]. Vector beban ekivalen pada titik diskrit [f1], vector beban ekivalen pada

titik diskrit [f1=. Matrix transformasi [T1= serta vector tujuan [Ds=

d. Rotasikan matrix kekakuan dan vector beban ekivalen ke tata sumbu global [Ki] = [Ti]T [ki] [Ti]

[Fs] = {Fsj}

e. Rakitkan matrix kekakuan dan vector beban ekivalen serta beban titik simpul ke dalam persamaan kesimbangan global, dengan rumus :

[Ks] = [Ti]t[ki][Ti]

[Fs]=[Fsj] + [T1]T{fi}

f. Berdasarkan hasil tahap (e) system persamaaan keseimbangan dalam tata sumbu global dapat dinyatakan dalam :

[Ks]{Ds} = {Fs}

g. Jika terdapat kekangan, modifikasikan persamaan keseimbangan diatas seusai dengan kondisi batas yang ada, sehingga diperoleh :

[Ks1] [Ds] = {Fs1}

Dimana [Ks1= dam {Ds} merupakan matrikx kekakuan dan vector beban

dalam tata sumbu global yang termodifikasi akibat adanya syarat pengekangan.

h. Selesaikan persamaan diatas untuk mendapatkan {Ds}, yang merupakan vector

perpindahan global yang ada memenuhi syarat keseimbagnan struktur dan syarat kekangan (jika ada).

i. Dengan telah diketahuinya medan perpindahan {Ds}. maka perpindahan setiap


(27)

{di} = [Ti] {Di}

Serta gaya dalam masing-masing elemen {fi} = [ki] {di} – {fiT}

Di mana {fiT} merupakan vector beban ekivalen di titik nodal.

Dari urutan perhitungan diatas, analisis dapat dibagi menjadi 4 (empat) tahap utama, yaitu :

a.

Tahap data masukan dan pemodelan struktur

b.

Tahap perakitan matrix kekakuan dan vector gaya luar struktur dalam tingkat elemn

c.

Tahap solusi untuk memperoleh vector perpindahan

d.

Tahap perhitungan gaya dalam elemen dan pencatatan data keluaran (output)

III.4.BMatriksBkekakuanBelemen-elemenB III.4.1BElemenBBeamB

Elemen beam dengan penampang melintang seperti pada gambar 3.5 di bawah ini dengan penampang uniform dengan gaya-gaya yang berpengaruh seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini;

Gambar III.4.1 Beam dengan penampang uniform (Ir. Yerri Susatio. M.T., Metode Elemen Hingga, 2TT4)


(28)

Persamaan kesetimbangan beam tanpa beban disajikan dalam persamaan diferensial berikut :

= 0

Dimana v(x) adalah defleksi beam, yang merupakan solusi dari persamaan di atas. v(x) dinyatakan dalam bentuk polynomial derajat 3 sebagai berikut:

v(x) = a1 + a2 x + a3 x2 + a4 x3

dimana koefisien ai akan ditentukan dari kondisi batas dari setiap node seperti yang

dinyatakan di bawah ini :

pada : x = T  v=v1 dan = Ѳ

x = L  v=v2 dan = Ѳ

setelah persamaan di atas dideferensialkan terhadap x maka akan diperoleh :

= +2 + 3

Jika harga batas yang akan disubstitusikan adalah : x = T ; v = v1 maka v1= a1

x = L ; v = v2 maka v2 = a1 + a2 L + a3 L2 + 3a4 L2

dan

x = T ; = Ѳ maka Ѳ1= a2

x = L ; = Ѳ maka Ѳ2 = a2 + 2 a3 L + 3 a4 L2

maka dari 4 persamaan masing-masing (3.38),(3.39),(3.4T),(3.41) di atas diperoleh persamaan v1, v2, Ѳ1, Ѳ2 yang masing-masing dinyatakan dalam a1, a2, a3, a4 yaitu :

Ѳ Ѳ

=

1 0 0 0 0 1 0 0 1

0 1 2 3

Dan persamaan dinyatakan dalam bentuk symbol


(29)

{ } = [ ] { } Maka

{a} = [T]-1 {q}

Sehingga diperoleh : =

0 0 0

0 0 0

−3 −2 3 −

2 2

Ѳ Ѳ

Jika a1, a2, a3, dan a4 disubstitusikan ke persamaan diferensial di atas maka diperoleh :

v(x) = v1 +x Ѳ1 - v1 - Ѳ1 + v2 - Ѳ2 + v1 + Ѳ1 - v2 + Ѳ2

Persamaan ini kemudian dapat diubah menjadi : v(x) = f1(x)v1 + f2(x) Ѳ1 + f3(x)v2 + f4(x) Ѳ2

dimana :

f1(x) = 1 - + f2(x) = x - +

f3(x) = - f4(x) = − −

Dimana f (x) adalah shape function untuk interval T –L.

Untuk persamaan kekakuan elemen beam, diturunkan dari teorema Castigliano yaitu: Fi =

Dimana :

F = gaya (Y) atau momen (M) nodal

qi = displacement nodal : jika F = gaya, maka q = displacement translasi jika F = momen, maka q = displacement rotasi U = energy strain

I = nomor DOF (degree of freedom)


(30)

U = ∫

Jika persamaan beam dideferensialkan dua kali terhadap x maka dihasilkan : = "( ) + "( )Ѳ + " ( ) + " ( )Ѳ

Sehingga diperoleh :

"( ) = − + 12 " ( ) = − + 6

"( ) = − 12 " ( ) = − + 6 Gaya pada node 1 :

Y1 = = ∫ 2 ∫ 2

maka

Y1 = ∫ 2

Jika A =

Dan B = = ( "( ) + " ( )Ѳ + " ( ) + "( )Ѳ ) Maka :

Y1 = ∫ 2 ( "( ) + "( )Ѳ + "( ) + " ( )Ѳ )

Sehingga :

Y1 =

∫ ( ) "( ) + ∫ ( ) "( ) Ѳ +

∫ ( ) "( ) v + ∫ ( ) "( ) Ѳ

Jika :

k11 = ∫ ( ) "( ) ; k12 = ∫ ( ) "( )


(31)

maka :

Y1 = k11 v1 + k12 Ѳ1 + k13 v2 + k14 Ѳ2

Momen pada node 1 :

M1 = Ѳ = Ѳ ∫ 2

maka : M1 = ∫ 2 Ѳ

jika : C =

D = Ѳ = Ѳ ( "( ) + " ( )Ѳ + " ( ) + " ( )Ѳ ) jadi :

M1 = ∫ 2 ( "( ) + " ( )Ѳ + " ( ) + "( )Ѳ )

= ∫ " ( ) "( ) + ∫ " ( ) "( ) Ѳ +

∫ "( ) "( ) + ∫ " ( ) "( ) Ѳ Jika :

k11 = ∫ " ( ) "( ) ; k12 = ∫ " ( ) "( )

k13 = ∫ " ( ) "( ) ; k14 = ∫ " ( ) "( )

maka:

M1= k21 v1 + k22 Ѳ1+ k23 v2 + k24 Ѳ2

Dengan cara yang sama untuk node 2 dapat dihitung Y2 dan M2 sehingga didapat :

k11 = k12 = k13 = − k14 = −

k21 = k22 = k23 = − k24 =


(32)

k41 = k42 = k43 = − k44 =

sehingga bila disusun ke dalam persamaan matriks, menjadi : =

12 6 −12 6

6 4 −6 2

−12 −6 12 −6

6 2 −6 4

Ѳ Ѳ

sehingga didapat matriks kekakuan beam adalah :

=

12 6 −12 6

6 4 −6 2

−12 −6 12 −6

6 2 −6 4

B

III.4.2BElemenBBeamBdenganBBebanBTerbagiBRataB

Sebagai contoh pada gambar III.4.2.1 sebuah balok dengan kedua ujung terjepit dengan beban terbagi rata sebesar w satuan panjang seperti tergambar di bawah ini:

Gambar III.4.2.1 Balok dengan beban terbagi rata

Secara umum berlaku persamaan : {f} = [K]. {d} - {fred}

Dimana : fred adalah gaya pada titik simpul akibat beban merata (seperti momen

primer dalam metode cross).


(33)

1. Menentukan nomor simpul pada pemodelan struktur sseperti yang tergambar pada gambar 3.7 dibawah ini

Gambar III.4.2.2 Pemberian nomor simpul

2. Menentukan fred

Gambar III.4.2.3Momen primer

Gambar III.4.2.3 menjelaskan momen primer yang terjadi pada beban terbagi rata sehingga nilai fred dapat diketahui dan analisa dapat dilakukan

3. Menentukan matriks kekakuan =

12 6 −12 6

6 4 −6 2

−12 −6 12 −6

6 2 −6 4

4. Menentukan gaya batang menurut pemodelan ke-2; syarat batas (boundary condition) dan menentukan gaya dalam sebelum dikurangi fred.


(34)

Gambar III.4.2.4 Gaya dalam yang terjadi

Gambar III.4.2.4 menjelaskan nilai gaya-gaya dalam yang terjadi setelah gaya dalam dikurangi dengan nilai fred akibat pembebanan terbagi rata.


(35)

Tabel III.4.2 menjelaskan gaya-gaya reduksi pada arah x, y dan z yang terjadi pada pembebanan seperti yang tertera di dalam tabel tersebut.

III.4.3BElemenBTruss/RangkaB

Dari gambar yang menerangkan elemen batang dengan penampang melintang konstan yang dikenai gaya T.

Gambar III.4. 3 Elemen batang yang dipengaruhi gaya luar T, gaya, dan perpindahan nodal positive berada dalam sumbu x (Daryl L. Logan, A First Course in The Finite

Elemen Method)

Berdasarkan gambar III.4.3 diatas kita dapat melihat pemakaian dua sistem koordinat, yaitu sistem koordinat lokal (ẋ,ỳ) yang berlaku hanya untuk elemen tersebut dan koordinat global (x,y)yang berlaku untuk semua elemen yang ada (struktur). Dengan anggapan bahwa elemen batang memiliki penampang melintang A yang konstan, modulus elastisitas E, dan panjang L dengan nodal derajat kebebasan yang disimbolkan dengan d1x , d2x .

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam menurunkan persamaan adalah elemen hanya menerima beban dari arah horizontal sehingga f1y, f2y bernilai nol, semua

perpindahan yang terjadi selain arah panjang elemen diabaikan dan elemen mengikuti hukum linear σx = E. εx


(36)

= .. = . .

= .

= . = koefisien kekakuan pegas E = modulus elastisitas

A = luas penampang melintang L = panjang elemen

Perhatikan kembali gambar diatas, berdasarkan persamaan diperoleh: = . . ( − )

= . . ( − )

Dalam bentuk matriks maka kedua persamaan diatas menjadi : = . 1−1 −11

Karena f = k.d, dari persamaan diatas = . 1−1 −11

III.4.4BElemenBFrameB

Portal/frame merupakan gabungan dari elemen beam dengan elemen bar/truss sehingga matriks kekakuan lokal pada portal dibentuk dari kedua persamaan diatas sehingga menghasilkan matriks kekakuan untuk frame adalah :

= ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢

⎡ 0 0 − 0 0

0 0 −

0 0 −

− 0 0 0 0

0 − − 0 −

0 0 −

⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤


(37)

III.4.5.BMatriksBKekakuanBbalokBkolomB

Dikutip dari Anyaegbunam, AJ dan Osadebe, N.N. “The Dynamic Stiffness Matrix of a Beam-Column Element”, inilah persamaan matriks kekakukan untuk balok kolom

Dengan :

Dengan :

N = gaya aksial


(38)

E = modulus elastisitas I = momen inersia K = kekakuan struktur ω = derajat frekuensi

ρ = massa per satuan panjang

ϴ = displacement rotational pada aksis

III.4.5.6BMatriksBKekakuanBTaperBBeam-ColumnB

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencari matriks kekakuan dan persamaan diferensial keseimbangan dari elemen balok taper. Matrik kekakuan ini mencakup persamaan diferensial dari keseimbangan balok Timoshenko-Euler secara gaya aksial dengan anggapan gaya tersebut merupakan gaya terpusat atau distribusi merata dan deformasi geser secaara bersamaan.

Berikut persamaan matriks kekakuan taper profil I di kutip dari penelitian Yasha H.Zeinali, S.Milad Jamali, dan Saman Musician . “General Form of the Stiffness Matrix of a Tapered Beam-column”.

K= 2 2 1 1

= 2 2 1 1

M

V

M

V

K = 22 21 2T 19 14 15 13 15 17 18 16 18 14 15 13 15


(39)

(40)

Dengan :

G = modulus geser N = Gaya normal Aw = Luas badan

III.4.BBContohBperhitunganBmanualBbalokBtaperedB

Soal :

B = 2TT mm ; H = 4TTmm ; tw = 9mm ; tf = 11mm


(41)

Data material :

 fy = 24T Mpa

 E = 2TTTTT Mpa

Bagaimana stabilitas dan kuat momen tahanan profil?

PenyelesaianBB(menggunakanBmetodeBLRFDBdanBSNIBBajaB1729:2015)B

PropertyBPenampangB

A = 2(B*tf) + (Hw*tw) SumbuBxB

I total = (l + AY ²) + (l + AY ²) + (l +A Y ²) Dimana :

H’ = (H-y) Ho = H’ – tf


(42)

= (lx1 + A1Y1²) + 2(lx2 + A2Y2²)

= (( tw hw³) + T) + (2( b tf³)+(b tf ((

2 n h ) - (

2 f t ))²) Sx =

2 /' H

Ix

SumbuBYB

Iy total = (ly1 + A1 Y1²) + (ly2 + A22²) + (ly3 +A3 Y3²)

= (lx1 + A1 Y1²) + 2(lx2 + A2 Y2²)

= (( tw³ hw) + T) + (2( b³ tf )+T)

Sy =

2 / B

Iy

ry =

A Iy

TabelBDataBPropertyBPenampangB

Lokasi H’ (mm) Hw (mm) Ho (m) A (mm2) Ix ( mm4) Iy (mm4) Ry (mm)

A 45T 428 439 8252 2,71*1T8 1,47*1T7 42,1959

B 4TT 378 389 78T2 2,T7*1T8 1,468*1T7 43,391

C 35T 328 339 7352 1,53*1T8 1,468*1T7 44,694

PengecekanBkelangsinganBpenampangB

1. PenampangBbadanB

 Titik A λ =

w w t

H = = 5T

 Titik C λ =

w w t


(43)

Batas penampang kompak ; λp = 3,76

y

F

E

= 1T8,541

Karena 5T < 1T8,541, maka

penampangBbadanBadalahBpenampangBkompakB(tidakBterjadiBwebBlocalB buckling)B 2. PenampangBsayapB λ = f t B

2 = 9,T9

batas penampang kompak untuk penampang sayap ; λp = T,38 *

y

F

E

= 1T,969

Karena 9,T9 < 1T,969 maka

penampangBsayapBadalahBpenampangBkompakB(tidakBterjadiBflangeBlocalB buckling)B

B B

AnalisaBKuatBNominalBPenampangB

Kuat nominal penampang menahan lentur dapat dihitungan dengan persamaan berikut:

1. Material meleleh Mn = Mp = Zx fy

= 1,12 Sx fy

2. Lateral torsional buckling Lp = 1,76 ry

y

F

E

Lr = 1,95 rts

y F E 7 ,

T ShT J x c + ( T h S J x c

) +6,76 ( T,E7Fy) Lb = panjang tak tertambat = 6TTTmm


(44)

rts = x y S H I 2 T

J = Σ(bi ti )3

 Jika Lb ≤Lp ; Mn = Mp

 Jika Lp < Lb ≤ Lr ; Mn = Cb [Mp – (Mp – T,7 Fy Sx)

) ( ) ( p r p b L L L L   ]

 Jika Lb > Lr ; Mn = Fcr * Sx

 Fcr =

2 2 ) ( s b b L L E C

1 + 0,078 T h S

J x

c ( )2

ts b r L

TabelBhasilBperhitunganBkuatBnominalBlentur

Lokasi Lb (mm) Lp (mm) Lr (mm) Mn (kNm) ØMn (kNm)

A 6TTT 2143,8 6336,2 186 167,4

B 6TTT 22T4,5 6627,9 149,2 134,28

C 6TTT 227T,8 7T29,1 115,T5 1T3,545

B B

GrafikBtahananBmomenBpenampangBtaperedB


(45)

H = 4TTmm ; B = 2TTmm ; tf = 11mm ; tw= 9mm PropertyBpenampangB:B

Ix = 2,4T7 * 1T8 mm4

Iy = 1468963T mm4

Sx = 1T35T25 mm4

A = 78T2 mm2

ry = 43,391 mm

rts = 52,54 mm

Lp = 1,76 ry y

F

E

= 224T,573

Lr = 1,95 rts

y

F

E

7

,

T

S hT J x c + ( T h S J x c

) +6,76 ( T,E7Fy) = 6627,97 mm Lb = 6TTT mm

Karena Lp < Lb≤ Lr, maka

Mn = Cb [Mp – (Mp – T,7 Fy Sx)

) ( ) ( p r p b L L L L

= 149,2 kNm ØMn = 134,28 kNm


(46)

Garis hitam adalah momen tahanan taperd

Garis merah adalah momen tahanan baja konvensional

PercobaanBdiberiBgayaBbebanByangBsudahBterfaktorBmenjadiB50Bkg/mB

Momen tumpuan

= − * 5T kg/m * (6m)2

= -15T kgm

Momen di tengah bentang = * 5T kg/m * (6m)2

= 75 kgm Momen di B / D = ( ∗ x) – Mt - q

= 18.75 kgm

Garis hitam adalah momen tahanan tapered ;Garis merah adalah momen tahanan baja konvensional ; Garis biru adalah momen nominal yang dipikul baja

KesimpulanB:B

Balok tapered dapat memikul momen lebih besar terhadap struktur ( jepit-jepit) pada daerah momen terbesar (tumpuan). Terlihat dari grafik di atas, balok konvensional


(47)

tidak dapat menahan momen nominal (15Tkgm) yang terjadi akibat beban diatasnya, sedangkan balok tapered dapat menahan momen nominal tersebut (15Tkgm)

B B

III.6.BBDataBWorkshopB

B III.6.1.BDataBWorkshopBAB

GambarBIII.6.1BModelBworkshopBAB

Bentang lebar bangunan = 29 meter ; jarak portal = 6m x 1T

Tinggi dinding = 1Tm ; tinggi atap = 2,2m, tinggi keseluruhan = 12,2m Tinggi Sloof = 5Tcm

Elastitsitas baja = 2TTTTT Mpa ; Berat jenis baja = 785T kg/m3

Sudut atap = 9°; Tekanan angin = 6Tkg/m2


(48)

III.6.2.BDataBWorkshopBBB

BGambarBIII.6.2BModel Workshop B Bentang lebar bangunan = 5T meter ; jarak portal = 6m x 1T

Tinggi dinding = 6m ; tinggi atap = 3,7 m, tinggi keseluruhan = 9,7m Elastitsitas baja = 2TTTTT Mpa ; Berat jenis baja = 785T kg/m3

Sudut atap = 9°; Tekanan angin = 6Tkg/m2


(49)

BABBIVB

ANALISAB,BHASILBDANBPEMBAHASANB B

IV.1BBPEMBEBANANBB

Beban-beban yang digunakan dalam desain rencana terdiri dari : 1. Beban mati atap

Diambil sebesar q = 1T kg/m2 dengan mempertimbangkan berat gording , berat

atap dan besi-besi tambahan. 2. Beban hidup atap

Diambil sebesar q = 2T kg/m2 yang mencakup beban hujan maupun pekerja.

Tabel IV.1 Berat atao

3. Beban angin

Diambil kecepatan angin pada perencanaan sebesar V = 7 m/s.

B

IV.2BMATERIALB


(50)

Tegangan leleh baja Fy = 24T Mpa

Tegangan putus baja Fu = 4TT Mpa

Modulus Elastisitas E = 2TTTTT Mpa Berat jenis baja γBJ = 785T kg/m3 IV.3BGEOMETRIBSTRUKTURB

Dalam penelitian ini , tipe struktur proyek yang diuji terdiri dari 2 yaitu : a. Workshop A

Gambar IV.3.1 Geometri workshop A Jarak antar portal = 6 meter

b. Workshop B

Gambar IV.3.2 Geometri workhop B Jarak antar portal = 6 meter


(51)

IV.4BHASILBANALISABWORKSHOPBAB

Hasil analisa dilakukan dengan membandingkan desain antara struktur yang menggunakan profil konvensional dan struktur yang menggunakan modifikasi tapered dan mendekati syarat-syarat minimum desain yaitu dimana rasio Demand/Capacity tidak melebihi 1,T dan lendutan maksimum yang terjadi tidak melebihi batas lendutan untuk kondisi pembebanan layan ( L/24T ).Perhitungan analisa struktur dan desain rasio kekuatan profil baja dilakukan dengan bantuan program SAP2TTT.

IV.4.1BPROFILBKONVENSIONALB

Hasil analisa portal struktur baja dengan SAP2TTT


(52)

Pembebanan pada model :

DLrafter = 1T kg/m2 . 6 m = 6T kg/m

LLrafter = 2T kg/m2 . 6 m = 12T kg/m

Beban angin , terdiri dari :

Berdasarkan SNI 1727:2T13 untuk beban angin pada sistem penahan angin utama untuk atap perisai dengan model sebagai berikut :

Dimana :

G = Faktor efek tiupan angin ( pasal 26.9 ) = T,85 ( struktur kaku ) Cp = Koefisien tekanan eksternal dari gambar 27.4-1 , 27.4-2 , 27.4-3

Cp1 = T,8

Cp2 = -T,2

Cp3 = -T,7

qz = tekanan velositas pada ketinggian z

qh = tekanan velositas pada ketinggian h

V = kecepatan angin = 7 m/s ( asumsi )


(53)

Kz = 2,T1 ( )

Kz = 2,T1 ( . )

= T,72

Kzt = 1 ; Kd = T,85

qz = T,613 Kz Kzt Kd V2 N/m2

= T,613 * T,72 * 1 * T,85 * 72

= 18,4 N/m2 = 1,84 kg/m2

Kh = 2,T1 ( ,. )

= T,76

qh = T,613 Kh Kzt Kd V2 N/m2

= T,613 * T,76 * 1 * T,85 * 72

= 19,4 N/m2 = 1,94kg/m2

Maka, gaya angin pada masing-masing sisi rangka adalah : q1 = qz . G. Cp1 . Lp


(54)

q2 = qh . G. Cp2 . Lp

q2 = 1,94 . T,85 . ( -T,2 ) . 6 = -1,98 kg/m

q3 = qh . G. Cp3 . Lp

q3 = 1,94 . T,85 . ( -T,7 ) . 6 = -6,93 kg/m

Gambar IV.4.1.3 Bidang normal WS A pada portal konvensional akibat kombinasi beban

Gambar IV.4.1.4 Bidang geser WS A pada portal konvensional akibat kombinasi beban


(55)

Gambar IV.4.1.5 Bidang momen WS A pada portal konvensional akibat kombinasi beban

Gambar IV.4.1.6 D/C ratio WS A pada portal konvensional akibat kombinasi beban Tabel IV.4.1 Hasil output D/C ratio ( Konvensional ) dari SAP2TTT

FrameB DesignTypeB RatioB ComboB

Text Text Text

BALOK

5 Beam T,561154 1,2D+1,6L 6 Beam T,386315 1,2D+1,6L 7 Beam T,229165 1,2D+1,6L 8 Beam T,T897T5 1,2D+1,6L 9 Beam T,148416 1,2D+1,6L


(56)

1T Beam T,23444 1,2D+1,6L 11 Beam T,3T2774 1,2D+1,6L

12 Beam T,35342 1,2D+1,6L

13 Beam T,386376 1,2D+1,6L 14 Beam T,4T1643 1,2D+1,6L 15 Beam T,4T2643 1,2D+1,6L

KOLOM

27 Column T,3T2939 1,2D+1,6L 28 Column T,577945 1,2D+1,6L 29 Column T,3T2939 1,2D+1,6L 3T Column T,577945 1,2D+1,6L

Lendutan maksimum pada kondisi beban layan ( rabung atap ) = 1TT mm Lendutan izin , ΔIZIN = L/24T = 12T,83 mm

Maka dengan penggunaan konfigurasi profil konvensional ini , kondisi batas yang menentukan adalah lendutan.Profil baja yang digunakan adalah WF450.200.9.14B B

4.4.2BPROFILBTAPEREDB


(57)

Profil kolom yang digunakan dalam kolom memiliki konfigurasi sebagai berikut :

Hasil analisa portal struktur baja dengan program SAP2TTT :

Gambar IV.4.2.1. Model struktur WSA dengan tapered pada program SAP2TTT


(58)

Gambar IV.4.2.3. Bidang normal WSA dengan tapered pada program SAP2TTT

Gambar IV.4.2.4. Bidang geser WSA dengan tapered pada program SAP2TTT


(59)

Gambar IV.4.4.2.6. D/C ratio WSA dengan tapered pada program SAP2TTT Tabel IV.4.2 Hasil output D/C ratio( Tapered )dari SAP2TTT

FrameB DesignTypeB RatioB ComboB

Text Text Text

BALOK

5 Beam T,631472 1,2D+1,6L 6 Beam T,535631 1,2D+1,6L 7 Beam T,423864 1,2D+1,6L 8 Beam T,281978 1,2D+1,6L 9 Beam T,216258 1,2D+1,6L 1T Beam T,529686 1,2D+1,6L 11 Beam T,533434 1,2D+1,6L 12 Beam T,5265T3 1,2D+1,6L 13 Beam T,494872 1,2D+1,6L 14 Beam T,45T197 1,2D+1,6L 15 Beam T,398223 1,2D+1,6L

KOLOM


(60)

Lendutan maksimum pada kondisi beban layan ( rabung atap ) = 12T mm Lendutan izin , ΔIZIN = L/24T = 12T,83 mm

Maka dengan penggunaan konfigurasi profil tapered ini , kondisi batas yang menentukan adalah lendutan.

B B

4.5BHASILBANALISABWORKSHOPBBB

Hasil analisa dilakukan dengan membandingkan desain antara struktur yang menggunakan profil konvensional dan struktur yang menggunakan modifikasi tapered dan mendekati syarat-syarat minimum desain yaitu dimana rasio Demand/Capacity tidak melebihi 1,T dan lendutan maksimum yang terjadi tidak melebihi batas lendutan untuk kondisi pembebanan layan ( L/24T ).Perhitungan analisa struktur dan desain rasio kekuatan profil baja dilakukan dengan bantuan program SAP2TTT.

4.5.1BPROFILBKONVENSIONALB

Hasil analisa portal struktur baja dengan SAP2TTT

29 Column T,436147 1,2D+1,6L 3T Column T,649986 1,2D+1,6L


(61)

Gambar IV.5.1.1 Model Struktur WSB konvensional pada SAP2TTT

Gambar IV.5.1.2 Penomoran WSB konvensional pada SAP2TTT Pembebanan pada model :

DLrafter = 1T kg/m2 . 6 m = 6T kg/m

LLrafter = 2T kg/m2 . 6 m = 12T kg/m

Beban angin ;

Berdasarkan SNI 1727:2T13 untuk beban angin pada sistem penahan angin utama untuk atap perisai dengan model sebagai berikut :

Dimana :

G = Faktor efek tiupan angin ( pasal 26.9 ) = T,85 ( struktur kaku ) Cp = Koefisien tekanan eksternal dari gambar 27.4-1 , 27.4-2 , 27.4-3

Cp1 = T,8 Cp2 = -T,2 Cp3 = -T,7

qz = tekanan velositas pada ketinggian z


(62)

V = kecepatan angin = 7 m/s ( asumsi )

Maka dengan menggunakan persamaan ( 27.3-1 ) pada SNI 1727:2T13 didapatkan Kz = 2,T1 ( )

Kz = 2,T1 ( . )

= T,62

Kzt = 1 ; Kd = T,85

qz = T,613 Kz Kzt Kd V2 N/m2

= T,613 * T,62 * 1 * T,85 * 72

= 15,83 N/m2 = 1,583 kg/m2

Kh = 2,T1 ( ,. )

= T,71

qh = T,613 Kh Kzt Kd V2 N/m2

= T,613 * T,71 * 1 * T,85 * 72

= 18,1 N/m2 = 1,81 kg/m2


(63)

q1 = qz . G. Cp1 . Lp

q1 = 1,583 . T,85 . T,8 . 6 = 6,46 kg/m q2 = qh . G. Cp2 . Lp

q2 = 1,81 . T,85 . ( -T,2 ) . 6 = -1,85 kg/m q3 = qh . G. Cp3 . Lp

q3 = 1,81 . T,85 . ( -T,7 ) . 6 = -6,5 kg/m

Gambar IV.5.1.3 Bidang normal WSB konvensional pada SAP2TTT

Gambar IV.5.1.4 Bidang geser WSB konvensional pada SAP2TTT


(64)

Gambar IV.5.1.6 D/C ratio WSB konvensional pada SAP2TTT Tabel IV.5 Hasil output D/C ratio( Konvensional)dari SAP2TTT

FrameB DesignTypeB RatioB ComboB

Text Text Unitless Text KOLOM

1 Column T,593389 1,2D+1,6L 2 Column T,593389 1,2D+1,6L 3 Column T,648653 1,2D+1,6L

BALOK

1T Beam T,74T897 1,2D+1,6L 11 Beam T,844882 1,2D+1,6L 12 Beam T,74T897 1,2D+1,6L 13 Beam T,844882 1,2D+1,6L 14 Beam T,589TT3 1,2D+1,6L 15 Beam T,385699 1,2D+1,6L 16 Beam T,2T5872 1,2D+1,6L 17 Beam T,13629 1,2D+1,6L 18 Beam T,244374 1,2D+1,6L 19 Beam T,32898 1,2D+1,6L 2T Beam T,39T1T9 1,2D+1,6L 21 Beam T,42776 1,2D+1,6L


(65)

22 Beam T,441934 1,2D+1,6L 23 Beam T,441934 1,2D+1,6L 24 Beam T,43263 1,2D+1,6L 25 Beam T,399848 1,2D+1,6L 26 Beam T,343589 1,2D+1,6L 27 Beam T,263852 1,2D+1,6L 28 Beam T,16T638 1,2D+1,6L 29 Beam T,15345 1,2D+1,6L 3T Beam T,325788 1,2D+1,6L 31 Beam T,5216T4 1,2D+1,6L 32 Beam T,589TT3 1,2D+1,6L Lendutan maksimum pada kondisi beban layan ( rabung atap ) = 73 mm Lendutan izin , ΔIZIN = L/24T = 1T5mm

Maka dengan penggunaan konfigurasi profil konvensional ini , kondisi batas yang menentukan adalah lendutan.Profil baja yang digunakan adalah WF396.199.7.11

4.5.2BPROFILBTAPEREDB

Profil tapered yang dipakai dalam balok atap memiliki konfigurasi sebagai berikut :


(66)

Hasil analisa portal struktur baja dengan program SAP2TTT :

Gambar IV.4.5.2.1 Model struktur WSB dengan tapered pada program SAP2TTT

Gambar IV.4.5.2.2 Penomoran WSB dengan tapered pada program SAP2TTT


(67)

Gambar IV.4.5.2.4 Bidang geser WSB dengan tapered pada program SAP2TTT

Gambar IV.4.5.2.5 Bidang Momen WSB dengan tapered pada program SAP2TTT

Gambar IV.4.5.2.6 D/C ratio WSB dengan tapered pada program SAP2TTT Tabel IV.5.2 Hasil output D/C ratio( Tapered )dari SAP2TTT

FrameB DesignTypeB RatioB ComboB

Text Text Unitless Text KOLOM

1 Column T,73971 1,2D+1,6L 2 Column T,73971 1,2D+1,6L


(68)

3 Column T,616T9 1,2D+1,6L BALOK

26 Beam T,527T2 1,2D+1,6L 27 Beam T,7T728 1,2D+1,6L 28 Beam T,66726 1,2D+1,6L 29 Beam T,49822 1,2D+1,6L 3T Beam T,33513 1,2D+1,6L 31 Beam T,179T3 1,2D+1,6L 32 Beam T,21T23 1,2D+1,6L 33 Beam T,34791 1,2D+1,6L 34 Beam T,4725 1,2D+1,6L 35 Beam T,58T4 1,2D+1,6L 36 Beam T,66647 1,2D+1,6L 37 Beam T,7T295 1,2D+1,6L 38 Beam T,65332 1,2D+1,6L 39 Beam T,52459 1,2D+1,6L 4T Beam T,38T83 1,2D+1,6L 41 Beam T,22549 1,2D+1,6L 42 Beam T,18471 1,2D+1,6L 43 Beam T,35247 1,2D+1,6L 44 Beam T,527T2 1,2D+1,6L 45 Beam T,7T728 1,2D+1,6L 46 Beam T,8924 1,2D+1,6L 47 Beam T,97526 1,2D+1,6L 48 Beam T,8924 1,2D+1,6L 49 Beam T,97526 1,2D+1,6L Lendutan maksimum pada kondisi beban layan ( rabung atap ) = 88 mm Lendutan izin , Δ = L/24T = 1T5mm


(69)

Maka dengan penggunaan konfigurasi profil tapered ini , kondisi batas yang menentukan adalah rasio kapasitas.

IV.6BHASILBDANBPEMBAHASANB

Profil baja yang digunakan dari masing-masing desain baik untuk workshop 6 dan workshop 8 dibandingkan dari segi ekonomi yaitu berat profil baja total yang digunakan dalam 1 portal baja.Tabel perbandingan berat profil baja yang digunakan pada masing-masing workshop dengan masing-masing model profil ditampilkan sebagai berikut :

IV.6.1BPerbedaanBVolumeBdanBhargaBdariBrekayasaBworkshopBAB

Kategori Sebelum Sesudah Rekayasa Efisiensi

COLOUMN IWF 2TTx45Tx9x14 (2.T6m3)

Taper IWF 3TT/492x199x7x11

(1.522 m3)

26.12%

RAFTER IWF 2TTx45Tx9x14 (2.9m3)

Taper IWF 3TT/492x199x7x11

(1.54 m3) IWF 3TTx15Tx6.5x9

(T.4m3)

33.1%

Total biaya yang terhemat kan

= (2.T6 m3 – 1.522 m3) + (2.9 m3 – 1.94 m3)

= T.538 m3 + T.96 m3

= 1.498 m3 * 785T kg/m3

= 11759.3 kg * Rp 1TTTT dikurangi asumsi cost jasa pembentukan taper = Rp 117593TTT – (11759.3 kg * Rp2TTT/kg)


(70)

IV.6.2 Perbedaan Volume dan harga dari rekayasa workshop B

Kategori Sebelum Sesudah Rekayasa Efisiensi

COLOUMN IWF 396.199.7.11 (T.913 m3)

Taper IWF 25T/442*174*6*9 (T.665 m3)

27.2% RAFTER IWF 396.199.7.11

(3.77 m3)

Taper IWF 25T/442x174x6x9 (2.75 m3)

27.1%

Total biaya yang terhemat kan

= (T.913 m3 – T.665 m3) + (3.77 m3 – 2.75 m3)

= T.248 m3 + 1.T2 m3

= 1.268 m3 * 785T kg/m3

= 9953.8 kg * Rp 1TTTT /kg dikurangi asumsi cost jasa pembentukan taper = Rp 99,538,TTT – (9953.8 kg * Rp 2TTT/kg)


(71)

BABBVB

KESIMPULANBDANBSARANB V.1.BKesimpulanB

Beberapa kesimpulan yang dapat dibuat dari hasil analisis dan pembahasan di dalam tugas akhir ini adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan baja taper terbukti lebih ekonomis (sekitar 15% - 25%).

2. Pembentukan baja taper akan menambah cost pada jasa pembentukannya (potong baja dan di las), namun akan menghemat penggunaan baja dari segi bobot (volume)

3. Penggunaan baja taper kurang cocok untuk bentang yang sangat lebar, sebagaimana kita tahu semakin panjang batang bajanya, rasio kemiringannya akan semakin kecil, sehingga efektifitas dari baja taper akan berkurang.

V.2.BSaranB

Saran yang dapat diberikan untuk mengembangkan hasil yang telah diperoleh pada tugas akhir ini adalah sebagai berikut:

*. Analisis terhadap lebih banyak jenis penampang balok perlu dilakukan untuk lebih memperkaya data untuk meningkatkan daya guna dari persamaan empiris yang telah direkomendasikan.


(72)

BABBIIB TEORIBDASARB

B II.1.BPengenalanBStrukturBBajaB

II.1.1.BStrukturBbajaB

Baja merupakan logam yang berunsurkan Fe dan C, yang umumnya digunakan dalam bentuk plat, lembaran, pipa, dan batang. Kekerasan dan keuletan baja secara garis besar dikelompokkan sebagai berikut :

1. Baja Karbon rendah (T.T8-T.35 % C)

digunakan untuk kawat, baja profil, skrup, ulir baut. 2. Baja Karbon sedang (T.35-T.55 % C)

digunakan untuk rel kereta api, as roda gigi dan lain-lain. 3. Baja Karbon tinggi (T.55-1.77 % C)

digunakan untuk perkakas potong, gergaji, pisau dan bagian yang tahan gesekan.

II.1.2.BKelebihanBdanBkelemahanBbajaBsebagaiBmaterialBkonstruksiB

Berikut keunggulan baja sebagai material konstruksi : 1. Kekuatan Tinggi ( High Strength )B

Baja struktural umumnya mempunyai daya tarikan (tensile strength) antara 4TT s/d 9TT Mpa. Hal ini sangat berguna untuk dipakai pada struktur – struktur yang memiliki bentang panjang dan struktur pada tanah lunak.

2. Keseragaman ( Uniformity )B

Sifat – sifat baja tidak berubah karena waktu. Hampir seluruh bagian baja memiliki sifat – sifat yang sama sehingga menjamin kekuatannya.

3. Elastisitas ( Elasticity )B

Baja mendekati perilaku seperti asumsi yang direncanakan oleh perencana, karena mengikuti hukum Hooke, walaupun telah mencapai tegangan yang cukup tinggi. Modulus elastisitasnya sama untuk tarik dan tekan.

4. Daktalitas ( Ductility )B

Daktalitas adalah kemampuan struktur atau komponennya untuk melakukan deformasi inelastik bolak – balik berulang diluar batas titik leleh pertama, sambil mempertahankan sejumlah besar kemampuan daya dukung bebannya. Manfaat daktalitas ini bagi kinerja struktural adalah pada saat baja mengalami


(73)

pembebanan yang melebihi kekuatannya, baja tidak langsung hancur tetapi akan meregang sampai batas daktalitas. Demikian juga pada beban siklik, daktalitas yang tinggi menyebabkan baja dapat menyerap energi yang besar. 5. Kuat Patah / Rekah ( Fracture Toughness )B

Baja dalah material yang sangat ulet sehingga dapat memikul beban yang berulang – ulang. Komponen struktur baja yang dibebani sampai mengalami deformasi besar, masih mampu menahan gaya – gaya yang cukup besar tanpa mengalami fraktur. Keuletan ini dibutuhkan jika terjadi konsentrasi tegangan walaupun tegangan yang masih dibawah batas yang diizinkan. Pada bahan yang tidak memiliki keuletan yang tinggi, keruntuhan dapat terjadi pada tegangan yang rendah dan akan bersifat getas ( keruntuhan secara langsung ).B

Berikut kelemahan baja sebagai material konstruksi : 1. Biaya Perawatan ( Maintenance Cost )

Baja bisa berkarat karena berhubungan dengan air dan udara. Oleh sebab itu, baja harus dicat secara berkala

2. Biaya Penahan Api ( Fire Proofing Cost )

Kekuatan baja dapat berkurang drastis pada temperatur tinggi. 3. Kelelahan ( Fatigue )

Kelelahan pada baja tidak selalu dimulai dengan yielding ( leleh ) atau deformasi yang sangat besar, tetapi dapat juga disebabkan beban siklik ataupun pembebanan berulang – ulang dalam jangka waktu yang lama. Kejadian ini sering terjadi dengan adanya konsentrasi tegangan karena adanya lubang.

4. Rekah Kerapuhan

Struktur baja ada kalanya tiba – tiba runtuh tanpa menunjukkan tanda – tanda deformasi yang membesar. Kegagalan ini sangat berbahaya dan harus dihindari. Berbeda dengan kelelahan, rekah kerapuhan disebabkan oleh beban statik.

II.1.3.BKategoriBBajaBStrukturalB


(74)

Tabel II.1.31 Mutu Baja berdasarkan SNI T3 – 1729 – 2TT2 ; RSNI T-T3-2TT5 Tipe Kuat leleh min (Mpa) Kuat Tarik min

(Mpa)

Elongasi min (%) BJ – 34 21T 34T 22 BJ – 37 24T 37T 2T BJ - 41 25T 41T 18 BJ – 5T 29T 5TT 16 BJ - 55 41T 55T 13

Tabel II.1.3.2 Mutu baja berdasarkan ASTM (2TT4) Tipe Tebal (mm) Kuat leleh

(Mpa)

Kuat Tarik min (MPa)

Elongasi min. @2TTmm, % A36 t≤ 75 25T 4TT ~55T 2T A242

t≤ 40 345 485

18

4T< ≤ 75 315 46T

t>5T 29T 435

A514 t≤ 65 69T 76T ~895 18

65< ≤ 150 62T 69T ~895

A529 – Gr.5T

t≤ 40 345 485 ~69T 18 A529 – Gr.55 38T 17 A572 – Gr.42 29T 415 2T A572 – Gr.5T semua 345 45T 18 A572 – Gr.55 38T 485 17 A572 – Gr.6T

t≤ 50 415 52T 16

A572 – Gr.65 45T 55T 15

A588 345 485 18

A633 – Gr.A t≤ 100 29T 43T~57T

18 A633 – Gr.C t≤ 65 345 485~62T


(75)

A7T9 – Gr.E t≤ 100 415 55T~69T

A7T9 – Gr.36 t≤ 75 25T 4TT~55T 2T A7T9 – Gr.5T 345 45T 18 A852 485 62T~76T 19 A871 – Gr.6T 415 52T 16 A871 – Gr.65 45T 55T 15 A913 – Gr.5T 345 45T 18 A913 – Gr.6T 415 52T 16 A913 – Gr.65 45T 55T 15 A913 – Gr.7T 485 62T 14 A992 345~45T 45T 18 A1T26 – Gr.5T 345~45T 45T 18 A1T26 – Gr.65 45T~55T 55T 15 A1T43 – Gr.36 25T 4TT~55T 2T A1T43 – Gr.5T 345 45T 18 A1T77 – Gr.36

t≤ 100 25T 4TT~55T 2T

A1T77 – Gr.5T 345 45T 18 Tabel II.1.3.3 Spesifikasi baja bangunan menurut ASTM

ASTM Keterangan

A36 Carbon Structural Steel

Catatan : jenis baja karbon yang umum dipakai untuk konstruksi A242 High–Strength Low - Alloy Structural Steel

Catatan : baja tahan cuaca (weathering steels), bisa dipakai tanpa pengecatan.

A441 High–Strength Low - Alloy Structural Manganese Vanadium Steel Catatan : sudah tidak berlaku dan telah digantikan A572.


(76)

Catatan : baja mutu tinggi untuk struktur jembatan dengan las A529 High–Strength Carbon-Manganese Steel of Structural Quality

Catatan : jenis baja karbon- mangan untuk konstruksi A572 High-Strength Low-Alloy Columbium-Vanadium Steel

Catatan : baja mutu tinggi dengan lima grade mutu (42,5T,55,6T, dan 65), adapun grade 5T setara dengan baja A992 yang lebih baru.

A588 High-Strength Low-Alloy Structural Steel, up to 50 ksi (345 Moa) Minimum Yield Point, with Atmospheric Corrosion Resistance.

Catatan : baja tahan cuaca (weathering steels), bisa dipakai tanpa pengecatan A633 Normalized High-Strength Low-Alloy Structural Steel Plates

Catatan : cocok untuk temperature rendah , -5T°F [-45°C] ke atas.

A7T9 Carbon and High-Strength Low-Alloy Structural Steel Shapes, Plates, and Bars and Quenched-and-Tempered Alloy Structural Steel Plates for Bridges Catatan : baja pelat untuk struktur jembatan.

A852 Quenched and Tempered Low-Alloy Structural Steel Plate

Catatan : baja mutu tinggi untuk struktur jembatan dengan las, punya ketahanan korosi yang tinggi, tetapi tahan 2T1T ditarik lagi karena tidak popular.

A871 High-Strength Low-Alloy Structural Steel Plate With Atmospheric Corrosion Resistance

Catatan : baja tahan korosi untuk pipa atau tiang (pole)

A913 High-Strength Low-Alloy Steel Shapes of Structural Quality, Produced by Quenching and Self-Tempering Process (QST)

Catatan : baja mutu tinggi mutu grade 5T, 6T, 65, dan 7T, karena karakter proses pembuatannya maka tipe ini tidak boleh dipanasi lebih dari 6TT°C A992 Steel for Structural Shapes for Use in Building Framing

Catatan : spesifikasi baru (1998) profil baja hot-rolled setara A572 Gr.5T untuk bangunan tahan gempa dimana ratio Fy / Fu ≤ T.8 untuk menjamin

daktailitasnya. Populer digunakan sebagai pengganti baja karbon A36 (Zpruba dan Grubb 2TT3)


(77)

A1T26 Alloy Steel Structural Shapes for Use in Building Framing

Catatan : ratio Fy / Fu ≤ T.8 tidak boleh galvanis dan dipanasi lebih dari

4TT°C

A1T43 Structural Steel with Low Yield to Tensile Ratio for Use in Buildings Catatan : material baru untuk struktur bangunan dengan ratio Fy / Fu ≤ 0.8

A1T77 Standard Specification for Structural Steel with Improved Yield Strength at High Temperature for Use in Buildings

Catatan : spesifikasi baru (2T12), material baja tahan api (fire resistant steel) untuk struktur bangunan gedung tanpa perlu tambahan lapisan fire proofing, karena mempunyai kuat leleh yang ditingkatkan pada temperature tinggi Tabel II.1.3.4. Mutu baja profil canal panas menurut JIS G31T1 – 2TT4 (Jepang)

Tipe

Kuata Leleh (Mpa)

Tebal (mm) Kuat Tarik (Mpa)

≤ 16 > 16 ≤ 40

> 40 ≤ 100

> 100

≤ 150 3≤ ≤ 100 ( )

SS33T 2T5 195 175 165 33T~43T SS4TT 245 235 215 2T5 4TT~51T SS49T 285 275 255 245 49T~61T SS54T 4TT 39T - - 54T min

Tabel II.1.3.5.. Material baja standar JIS (Jepang) – JASS 6 (1996) Kategori

kuat Standar Mutu

Kuat leleh (Mpa)

Kuat tarik

(Mpa Rasio leleh %

Elongasi % Min Mak

s Min

Mak s 4TT N/mm2 JIS G 31T1 (SS Steel)


(78)

31T6 (SM Steel)

A

SM4TTB 235 4TT 51T - 21 SM4TTC 235 4TT 51T - 22 JIS G

3136 (SN Steel)

SN4TTA 235 - 4TT 51T - 24 SN4TTB 235 355 4TT 51T 8T 21 SN4TTC 235 355 4TT 51T 8T 22

49T N/mm2

JIS G 31T1 (SS

Steel)

SS49T 275 49T 61T - 21

JIS G 31T6 (SM

Steel)

SM49T

A 315 49T 61T - 24 SM49TB 315 49T 61T - 21 SM49TC 315 49T 61T - 22 JIS G

3136 (SN Steel)

SN49TB 325 445 49T 61T 8T 21 SN49TC 325 445 49T 61T 8T 22

II.1.4BJenisB–BJenisBBajaBStrukturalByangBUmumBDigunakanB

Adapun jenis – jenis baja struktural yang umum digunakan adalah baja canai panas (hot-rolled ) dan baja canai dingin (cold formed) atau sering disebut juga dipasaran sebagai baja ringan. Adanya design-code yang dibedakan menunjukkan bahwa karakter kedua macam baja tersebut berbeda, yang menyebabkan ahli di bidang struktur baja canai panas belum tentu juga ahli di bidang struktur baja canai dingin.

Standar perencanaan yang ada selama ini adalah untuk baja canai panas saja. Adapun standar perencanaan baja canai dingin, baru diterbikan yaitu SNI 7971 : 2T13 (Struktur baja canai dingin) yang mengacu standar dari Australia.

Pemakaian baja canai dingin berbeda dibanding baja canai panas. Meskipun ringan, tetapi perilaku bahan dan keruntuhannya relative kompleks, sehingga risiko gagal lebih tinggi apalagi jika dipakai untuk konfigurasi struktur yang tidak biasa.


(79)

Tentang hal itu, sudah banyak Negara yang memahami sehingga dibuat peraturan perencanaan yang berbeda.

II.1.5.BHubunganBAntaraBTeganganBdanBReganganBpadaBKonstruksiBBajaB

Dalam peraturan AISC 2TT5, perhitungan rumus kekuatan nominal (Rn)

menggunakan tegangan leleh (Fy) maupun tegangan ultimate (Fu), pemilihan tegangan baik itu Fy maupun Fu didasarkan atas kemampuan struktur mempertahankan stabilitasnya setelah beban maksimum diberikan.

Gambar II.1.5. Grafik hubungan tegangan regangan [Salmon, Charles G, STEEL STRUCTURE)

Grafik diatas menunjukkan hasil pengukuran hubungan tegangan - regangan dalam percobaan tarik baja. Tipikal grafik tersebut hanya dapat diperoleh pada percobaan tarik baja lunak (mild).

Benda uji baja diberikan beban tarik sehingga tegangan baja meningkat dari titik O sampai ke titik A. Ordinat titik A disebut tegangan proporsional (Fp). Hubungan

tegangan – regangan dari titik awal sampai titik A masih linear. Daerah antara titik O dengan titik A disebut juga daerah elastis yang artinya jika suatu bahan baja


(80)

mengalami tegangan tidak melewati titik A dan apabila dilepaskan, maka baja masih dapat kembali ke bentuk atau panjang semula.

Ketika beban diperbesar sehingga tegangan baja sampai ke titik B, maka hubungan tegangan regangan tidak linear lagi. Titik B merupakan titik leleh (Fy) dari

baja yang ditandai dengan tegangan yang relatif tidak naik dan regangan yang meningkat. Daerah antara titik A dan titik C merupakan daerah plastis, dimana jika suatu batang baja mengalami tegangan sampai melewati titik A ( masuk kedalam daerah A s/d C ) dan beban dilepaskan, maka baja tidak akan kembali ke panjang semula. Dengan demikian terdapat regangan residu yang disebabkan karena inelastis dari bahan tersebut.

Apabila beban diperbesar lagi, maka yang terjadi adalah regangan akan terus meningkat tanpa disertai tegangan. Titik C disebut dengan pengerasan regangan, pada titik C terdapat kenaikan tegangan yang disebabkan karena regangan bahan sudah hampir mencapai maksimum. Bahan masih mampu menahan tegangan tambahan sampai pada titik D, yang disebut dengan tegangan ultimate (Fu). Daerah anatara titik C dan titik D merupakan daerah strain hardening yang ditandai dengan peningkatan tegangan dan regangan setelah melewati batas plastis.

Jika beban ditambah samapi melewati batas tegangan ultimate, maka baja akan mengalami kegagalan struktural yang ditandai dengan penurunan tegangan dan regangan yang terus bertambah sampai benda uji putus.

II.1.6.BPengaruhBsuhuBterhadapBmaterialBbajaB

Bangunan konstruksi baja memang tidak terbakar jika terkena panas api, tetapi akibat suhu tinggi dapat mengalami penurunan kekuatan secara drastic, sehingga sampai-sampai tidak kuat memikul berat sendiri yang dapat mengakibatkan keruntuhan bangunan total.


(81)

Gambar II.1.6. Pengaruh suhu pada baja (Brockenbrough – Merrit 2T11) Dari kurva kekuatan baja terhadap kenaikan suhu (Gambar II.1.7), terlihat, ketika suhu naik melebihi 8TT°F atau 427°C kekuatannya memikul beban berkurang. Bahkan ketika suhu naik terus sampai 12TT°F atau 649°C, maka kekuatannya yang dilihat berdasarkan parameter kuat leleh (F) dan kuat tarik (F) hanya tinggal 3T%


(82)

dibanding kekuatan pada suhu ruang. Padahal factor keamanan struktur baja umumnya 1.5, yang berarti hanya mengakomodasi penurunan sampai 66% nya saja. Wajar jika terjadi kebakaran pada bangunan baja dan terjadi peningkatan suhu sampai 646°C, system struktur baja akan mengalami keruntuhan karenan tidak kuat menahan beban bahkan dari berat sendirinya saja.

Pemberian fireproofing agar kenaikan temperatur ekstrim saat kebakaran dapat dihambat. Fungsinya tentu tidak membuat agar bangunan menjadi tahan api, tetapi minimal memerlukan waktu yang lama untuk terjadinya kenaikan temperature, sehingga ada waktu pemadaman api, tanpa struktur mengalami kerusakan yang berarti. Pemberian fireproof juga baik untuk melindungin baja dari risiko terjadinya korosi.

II.1.7.BKelelahanBbajaBakibatBbebanBmonotonicBdanBsiklikB

Beban monotonic adalah pembebanan tetap, yang berlangsung terus menerus di dalam kondisi yang tetap. Beban siklik atau cyclic load adalah pembebanan berulang, seperti tekanan berulang yang teratur pada suatu bagian, yang kadang-kadang menyebabkan fraktur kelelahan (fatigue).

Deformasi selama pembebanan siklik akan tergantung pada kepadatan tanah, besarnya dan durasi beban siklik, dan jumlah pembalikan tegangan geser. Jika pembalikan tegangan (stress reversal) terjadi, tegangan geser yang efektif bisa mencapai nol, maka pencairan (likuifaksi) siklik dapat terjadi. Jika pembalikan stres tidak terjadi, tegangan efektif nol tidak mungkin terjadi, maka mobilitas siklik terjadi. Istilah pembebanan siklik menyarankan sistem pembebanan yang menunjukkan tingkat keteraturan baik dalam besarnya dan frekuensinya. Sistem pembebanan yang cenderung siklik dalam arti ini memang ditemui dalam praktek. banyak mesin dan bahkan struktur lepas pantai, misalnya, menyalurkan tekanan (stress) cukup ritmis ke pondasi. Namun, dalam kasus tersebut membatasi lingkup pekerjaan untuk membatasi volume tidak hanya dibenarkan tetapi yang lebih penting juga akan gagal untuk mengidentifikasi banyak fitur – fitur yang membedakan perilaku statis dari perilaku siklik. Sedangkan kejadian dari beberapa fenomena, seperti resonansi pondasi, tergantung pada frekuensi dan keteraturan beban yang diterapkan, keteraturan pembebanan memiliki konsekuensi kecil dalam banyak kasus.


(83)

Menurut Egor Popov (1979), akibat beban siklik (bolak balik) yang terus menerus akan terjadi penurunan kapasitas daya tekan batang yang bisa mencapai 5T% dari kapasitas awalnya bahkan cukup hanya dengan sebuah beban siklik kuat saja.

Gambar II.1.7. Hubungan load-displacement akibat beban monotonic (kiri) dan beban siklik (kanan)

B

Pada grafik Kumazawa dan Ohkubo diatas diperoleh bahwa kurva evelope akibat beban monotonic tidak mengalami perubahan yang signifikan bila dibandingkan dengan kurva envelope pada hubungan beban perpindahan akibat beban siklik.

II.2.BMetodeBPerencanaanBKonstruksiBBajaB

II.2.1.BMetodeBASDB(BAllowableBStressBDesignB)B

Metode ASD (Allowable Stress Design) merupakan metode yang paling konvensional dalam perencanaan konstruksi. Metode ini menggunakan beban servis sebagai beban yang harus dapat ditahan oleh material konstruksi. Agar konstruksi aman maka harus direncanakan bentuk dan kekuatan bahan yang mampu menahan beban tersebut. Tegangan maksimum yang diizinkan terjadi pada suatu konstruksi saat beban servis bekerja harus lebih kecil atau sama dengan tegangan leleh (σy). Untuk memastikan bahwa tegangan yang terjadi tidak melebihi tegangan leleh (σy) maka diberikan faktor keamanan terhadap tegangan izin yang boleh terjadi.


(84)

Dimana : B=BTegangan Terjadi (MPa) B=BTegangan Izin (MPa) B=BSafety Factor

B=BTegangan Leleh Baja (Mpa)

Besaran faktor keamanan yang diberikan lebih kurang sama dengan 1,5 ; sehingga boleh dipastikan bahwa tegangan maksimum yang diizinkan terjadi adalah 2/3 Fy yang berarti juga akan terletak pada daerah elastis. Perencanaan memakai ASD akan memberikan penampang yang lebih konvensional.

II.2.2.BMetodeBLRFDB(BLoadBResistanceBFactorBDesignB)B

Metode LRFD ( Load Resistance Factor Design ) lebih mementingkan perilaku bahan atau penampang pada saat terjadinya keruntuhan. Seperti kita ketahui bahwa suatu bahan (khususnya baja) tidak akan segera runtuh ketika tegangan yang terjadi melebihi tegangan leleh (Fy), namun akan terjadi regangan plastis pada bahan tersebut. Apabila tegangan yang tejadi sudah sangat besar maka akan terjadi strain hardening yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tegangan sampai ke tegangan runtuh / tegangan ultimate (FU). Pada saat tegangan ultimate dilampaui maka akan terjadi keruntuhan bahan. Metode LRFD umumnya menggunakan perhitungan dengan menggunakan tegangan ultimate (FU) menjadi tegangan izin, namun tidak semua perhitungan metode LRFD menggunakan tegangan ultimate (FU) ada juga perhitungan yang menggunakan tegangan leleh (Fy), terutama pada saat menghitung deformasi struktur yang mengakibatkan ketidakstabilan struktur tersebut.

Metode LRFD menggunakan beban terfaktor sebagai beban maksimum pada saat terjadi keruntuhan. Beban servis akan dikalikan dengan faktor amplikasi yang tentunya lebih besar dari 1 dan selanjutnya akan menjadi beban terfaktor. Selain itu kekuatan nominal (kekuatan yang dapat ditahan bahan) akan diberikan faktor resistansi juga sebagai faktor reduksi akibat dari ketidak sempurnanya pelaksanaan dilapangan maupun di pabrik.

BBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBB

Dimana : Ru = Kuat perlu

= Faktor tahanan = Kuat rencana


(85)

Kuat perlu, Ru adalah nilai maksimum dari berbagai kombinasi beban terfaktor

yang dicari dengan bantuaan analisis struktur. Faktor beban di atas disiapkan untuk analisis struktur cara elastic. Dapat dilihat bahwa untuk penampang yang sama hasil kekuatan nominal yang akan didapat dari metode LRFD akan lebih tinggi dari metode ASD.

Jika alat analisis struktur dilengkapi opsi memperhitungkan efek P-Δ (non liniear geometri), maka ketentuan analisis stabilitas strukstur selain memakai cara ELM (Effective Length Method ) juga dapat memakai cara DAM (Direct Analysis Method).

Tabel II.2.2 Faktor tahanan Ø (AISC 2T1T)

KomponenBstrukturB FaktorBtahananBØB

Lentur T,9

Tekan aksial T,9 Tarik aksial

- tarik leleh - tarik fraktur

T,9 T,75

Geser T,9

Sambungan baut - Baut geser - Baut tarik

- Kombinasi geser dan tarik - Baut tumpu

T,75 T,75 T,75 T,75 Sambungan las

- Las tumpul penetrasi penuh

- Las sudut/tumpul penetrasi sebagain - Las pengisi

T,9 T,75 T,75


(1)

Gambar 2.7.1.1 Kurva kapasitas batang gemuk pada kombinasi gaya momen 83

Gambar 2.7.1.2 Kurva interaksi kombinasi gaya momen sederhana ... 84

Gambar 2.8 Proses pembentukan baja taper ... 86

Gambar 3.3.4 Model matrix segi empat ... 93

Gambar 3.3.4.2.1 Titik simpul dan elemen ... 101

Gambar 3.3.4.2.2 Aturan tangan kanan pada system koordinat lokal ... 103

Gambar 3.3.4.2.3 Aturan tangan kanan pada system koordinat lokal ... 103

Gambar 3.3.4.3.1 Matriks kekakuan pada sumbu global ... 105

Gambar 3.3.4.3.2 Aturan tangan kanan pada system koordinat global ... 106

Gambar 3.3.4.4 Penomoran untuk noda dan batang ... 107

Gambar 3.3.4.5 Derajat ketidaktentuan kinematis struktur ... 113

Gambar 3.4.1 Beam dengan penampang uniform... 114

Gambar 3.4.2 Balok dengan beban terbagi rata ... 120

Gambar 3.4.2.2 Pemberian nomor simpul ... 121

Gambar 3.4.2.3 Momen primer ... 121

Gambar 3.4.2.4 Gaya dalam yang terjadi ... 122

Gambar 3.4.3 Elemen batang yang dipengaruhi gaya luar ... 124

Gambar 3.6.1 Data workshop A ... 135

Gambar 3.6.2 Data workhop B ... 136


(2)

Gambar 4.4.1.5 Bidang momen WSA konvensional SAP2000 ... 143

Gambar 4.4.1.6 D/C ratio WSA konvensional SAP2000 ... 143

Gambar 4.4.2.1 Model Struktur WSA taper SAP2000 ... 145

Gambar 4.4.2.2. Penomoran batang WSA taper SAP2000 ... 145

Gambar 4.4.2.3 Bidang normal WSA taper SAP2000 ... 146

Gambar 4.4.2.4 Bidang geser WSA taper SAP2000 ... 146

Gambar 4.4.2.5. Bidang momen WSA taper SAP2000 ... 146

Gambar 4.4.2.6 D/C ratio taper SAP2000 ... 147

Gambar 4.5.1.1 Model struktur WSB konvensional SAP2000 ... 148

Gambar 4.5.1.2 Penomoran struktur WSB konvenional SAP2000 ... 149

Gambar 4.5.1.3 Bidang normal WSB konvensional SAP2000 ... 151

Gambar 4.5.1.4 Bidang geser WSB konvensional SAP2000 ... 151

Gambar 4.5.1.5 Bidang momen WSB konvensional SAP2000 ... 151

Gambar 4.5.1.6 D/Cratio WSB konvensional SAP2000 ... 152

Gambar 4.5.2.1 Model struktur WSB taper SAP2000 ... 154

Gambar 4.5.2.2 Penomoran WSB taper SAP2000... 154

Gambar 4.5.2.3 Bidang normal WSB taper SAP2000 ... 154

Gambar 4.5.2.4 Bidang geser WSB taper SAP2000 ... 154

Gambar 4.5.2.5 Bidang momen WSB taper SAP2000 ... 155


(3)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1.3.1 Mutu baja berdasarkan SNI 03-1729-2002 ... 8

Tabel 2.1.3.2 Mutu baja berdasarkan ASTM (2004) ... 8

Tabel 2.1.3.3 Spesifikasi baja bangunan menurut ASTM ... 9

Tabel 2.1.3.4 Mutu baja profil canal panas menurut JIS G3101-2004... 11

Tabel 2.1.3.5 Material baja standari JIS ... 11

Tabel 2.2.2 Faktor tahanan Ø (AISC 2010) ... 19

Tabel 2.3.1 Berat bangunan berdasarkan SNI 03-1727-1989-F... 21

Tabel 2.3.2 Beban hidup menurut kegunaan SNI 1727 ; 2013 ... 22

Tabel 2.3.3.1 Faktor arah angin, Kd... 26

Tabel 2.3.3.2 Faktor topografi... 27

Tabel 2.3.3.3 Nilai koefisien tekanan internal (GCpi) ... 28

Tabel 2.5 Klasifikasi elemen pada batang tekan aksial ... 34

Tabel 2.6.1.4 Klasifikasi elemen tekan batang memikul lentur ... 54

Tabel 2.6.3.1 Batas kelangsingan elemen sayap penampang SNI 2015... 63

Tabel 2.6.3.2 Batas kelangsingan elemen badan penampang SNI 2015 ... 64

Tabel 2.6.4 Batas lendutan maksimum ... 73

Tabel 3.3.4.4 Definisi simpul 1 dan 2 pada setiap elemen ... 107


(4)

Tabel 4.6.1 Perbedaan volume dan harga WSA ... 156 Tabel 4.6.2 Perbedaan volume dan harga WSB ... 157


(5)

DAFTAR NOTASI

= Tegangan Terjadi (MPa)

= Tegangan Izin (MPa) Fy = Tegangan leleh baja (MPa) Ru = Kuat perlu

= Faktor tahanan = Kuat rencana

V = Kecepatan angin dasar Kd = Faktor arah angin Kzt = Faktor topografi

GCpi = Koefisien tekanan internal KL = Panjang efektif

rmin = radius girasi Imin = Inersia

Pcr = Gaya aksial sesaat sebelum tekuk

rt = radius girasi ekivalen terhadap tekuk torsi IpS = momen inersia polar terhadap pusat geser Pu = Gaya tekan terfaktor


(6)

Cw = Konstanta pilin/warping (mm6+

Mcr = Momen kritis yang menimbulkan tekuk torsi lateral Sx = Modulus elastis penampang terhadap sumbu kuat (mm3+ Zx = Modulus plastis penampang terhadap sumbu kuat (mm3)

Lp = Jarak pertambatan maksimum untuk menghindari tekuk torsi lateral Lb = Jarak pertambatan lateral

Lr = jarak pertambatan lateral maksimum sehingga serat terluar penampang bisa mencapai leleh

Cb = factor pengaruh momen gradient δ = Lendutan

Vu = gaya geser batas

Vn = kuat geser nominal balok Aw = luas total pelat badan Cv = koefisien geser pelat Kv = koefisien tekuk pelat