Yustisia Edisi Nomor 69 Sept. - Desember 2006
46
darat, dan perusakan terumbu karang telah menimbulkan kerusakan lingkungan laut dan
pantai. Kehidupan nelayan yang bergantung pada kondisi laut dan pantai sangat terkena
dampak negatifnya; 5 Dampak lingkungan global seperti rusaknya lapisan ozon,
peningkatan suhu bumi dan sebagainya telah menimbulkan dampak lingkungan secara glo-
bal. Penanganan dampak ini menuntut kerjasama internasional.
Menurut Direktur Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan RI,
luas kerusakan hutan dan lahan di Indonesia 43 juta Ha 24 juta Ha di kawasan hutan dan
19 juta Ha di luar kawasan hutan. Sedangkan laju deforestasi tahun 1982-1990 sebesar
900.000 Hatahun. Di tahun 1985-1997 laju kerusakan hutan sebesar 1,6 juta Hatahun,
di luar P. Jawa, Bali, NTT, NTB, Maluku dan Irian Jaya. Lebih parah lagi laju kerusakan hutan
dan lahan pada tahun 1997-2000 untuk 5 pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan Sulawesi,
Maluku dan Irian Jaya, di kawasan hutan sebesar 2,83 juta Hatahun dan di luar kawasan
hutan 0,68 juta Hatahun.
Masalah-masalah lingkungan ini semua menyebabkan penurunan kesehatan dan
potensi ekonomi, serta perubahan tatanan sosial. Kesenjangan antara yang miskin
dengan yang kaya terus menganga, akibat turunnya daya dukung lingkungan. Masalah-
masalah lingkungan ini bersifat tak terpulihkan sehingga menimbulkan kerugian dan
kehilangan yang hermanen Bartleet, A.G., MC Nurse, R. B., Chetri and S Khaerel, 1993, 49-
69.
C. Pendapatan yang cukup besar
Otonomi daerah memang meniupkan harapan baru bagi daerah untuk memperoleh
pendapatan yang cukup besar dari sumber daya alam yang dimilikinya. Salah satunya
adalah di sektor pertambangan non migas. Daerah seperti Kalimantan Timur maupun di
Papua misalnya, ketika zaman orde baru, mereka hanya menyaksikan kemewahan
kehidupan pertambangan yang berada di wilayahnya. Boleh dikata pemerintah setempat
dan masyarakat tidak memperoleh apa-apa dari keberadaan pertambangan tersebut.
Ironisnya memang. Mereka yang memiliki lahan, tetapi orang lain yang seenaknya
mengeruk harta karun atas lahan yang dimiliki pemerintah daerah itu. Akibatnya muncul
kecemburuan sosial dari masyarakat setempat terhadap pertambangan di wilayah itu. Dalam
hitungannya, kontribusi pertambangan kurang dari 3 GNP. Ini belum jelas berapa persen
yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat karena ditarik ke pusat. Kalau kita lihat ke
sentral pertambangan di Freeport, kita lihat terjadi kesenjangan. Di sana tidak ada
peningkatan kesejahteraan, padahal ketika pertambangan masuk digembor-gemborkan
akan memberikan keuntungan bagi masyarakat. Tapi kenyataannya justru di
pertambangan itu terdapat kantong-kantong kemiskinan.
Ini sebetulnya paradoks. Di satu sisi pertambangan dianggap sebagai primadona
yang mendorong pertumbuhan ekonomi, tapi kenyataannya hanya mitos. Tidak terjadi.
Ketika pertambangan masuk, seolah-olah ekonomi meningkat, karena perusahaan
tersebut menyumbang pajak, menyumbang dari pendapatan produksi yang besar,
meningkatkan PAD, tetapi sebetulnya tak terjadi.
Belum lagi ketika perusahaan tersebut selesai menambang, terjadilah drop yang
sangat drastis. Akhirnya muncul fenomena ghost town atau kota hantu.
Undang-undang nomor 7 tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dan Dampak
Pemberlakuannya Belum lagi pertanyaan tersebut diatas
terjawab, telah disyahkan UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air yang membuat
banyak pihak terhenyak karena menyisakan setumpuk permasalahan. Pemberlakukan
undang-undang tersebut di tengah otonomi daerah memungkinkan pengelolaan sumber air
oleh pihak swasta. Dengan adanya undang- undang tersebut bukan mustahil perebutan
sumber-sumber air akan terjadi. Perkelahian
Krisis Air, Illegal Logging, dan Penegakan ...
Yustisia Edisi Nomor 69 Sept. - Desember 2006
47
fisik dan jebol menjebol saluran air sering terjadi. Kasus perselisihan antara PDAM Solo
dengan petani Boyolali adalah salah satu contoh yang menggambarkan permasalahan
yang terjadi akibat adanya undang-undang tersebut. Konflik tersebut berawal dari rencana
PDAM Solo menarik air bersih dari umbul Sungsang, Banyudono Boyolali guna
memenuhi kebutuhan air bersih bagi penduduk Kota Solo. Proyek PDAM yang dituangkan
dalam MoU antara Pemkot Solo dan Pemkab Boyolali ditentang oleh para petani yang selama
ini memanfaatkan air umbul Sungsang untuk pengairan lahan pertanian mereka. Para petani
itu cemas bahwa proyek PDAM Solo akan mengurangi jatah air untuk areal sawah seluas
560 hektare yang meliputi wilayah Desa Jebungan, Jipang, Sambon, Dukuh,
Guwokajen, dan Kemiri. Persoalan ini mengakibatkan terjadinya ketegangan antara
Pemkab Boyolali dan Pemkot Solo Solo Pos, 27 April 1999. Perang air bukan mustahil dapat
terjadi antara PDAM dengan PDAM lain atau antara PDAM dengan lembaga lain. Di sisi lain
PDAM bisa bangkrut kalau tidak menata dirinya dengan pola managemen yang lebih
efisien.
Otonomi daerah yang dilaksanakan juga memberikan beberapa konsekwensi dalam
pengelolaan sumber air. Dalam hal ini Pemerintah Daerah dapat mengundang inves-
tor baik lokal maupun asing untuk mengelola sumber daya air. Adalah hal yang menggiurkan
ketika harga 1 liter air mineral atau air dalam kemasan telah melebihi harga 1 liter BBM.
Wajar saja ketika Pemerintah Daerah yang notabene sedang giat-giatnya meningkatkan
PAD lebih tertarik pada investor asing yang sanggup membayar dengan dollar ketimbang
investor lokal yang hanya sanggup membayar dengan rupiah. Namun bagaimana dengan
saudara-saudara kita di Solo yang juga sangat membutuhkan air dan sangat bergantung dari
daerah sekitar seperti Karanganyar, Boyolali, Klaten dan lainnya ? Masih menyangkut
tentang konflik air baru-baru ini sekitar seribuan warga Desa Kebondalem kecamatan Jambu
Kabupaten Semarang berunjuk rasa dengan mendatangi gedung DPRD Kabupaten
Semarang.Solo Pos 17 maret 2005. Warga yang mengatasnamakan diri Gerakan Rakyat
Kebondalem Menuntut Adil tersebut menuntut agar sumber air Tuk Umbul yang berada di
Desa mereka bisa kembali dipergunakan untuk kepentingan umum dan tak didominasi
perseorangan.
Konflik yang terus terjadi di tengah kondisi sumber daya air yang kritis Hasil penelitian
yang ditulis oleh Ayu dalam Disertasinya menunjukkan terdapat trend kenaikan jumlah
Daerah Aliran Sungai yang kritis dari tahun ke tahun. Tahun 1980an baru sekitar 22 DAS
kritis, Tahun 1990an meningkat menjadi 35 DAS kritis dan tahun 2000-an meningkat tajam
menjadi 69 DAS kritis dan hampir 75 DAS kritis tersebut berada di Pulau Jawa adalah
sebuah tantangan yang harus dijawab agar keberadaan sumber daya air secara kuantitas
dan kualitas terjaga.
PDAM Solo sebagai salah satu institusi pelayan pulik di Kota Solo juga mengalami
problem kekritisan air sebagai pasok bagi konsumennya. Sampai-sampai ada kontroversi
tentang bisa tidaknya air Bengawan Solo sebagai salah satu sumber air baku bagi
masyarakat Solo. Solopos beberapa waktu lalu memberitakan bahwa sejumlah ikan di Daerah
Aliran Sungai DAS Sungai Bengawan Solo tercemar logam berat berupa tembaga Cu,
Kadmium Cd dan Timbal Pb, untuk itu masyarakat di sekitar Sungai Bengawan Solo
diimbau tidak mengambil ikan di sungai tersebut untuk konsumsi sehari-hari. Hal itu
didasarkan pada penelitian yang dilakukan mahasiswa D III Kesehatan Lingkungan
Fakultas Kedokteran UMS Ristiyana Eko Setyarini Solo Pos, 26 Pebruari 2005.. Hanya
ikan sapu-sapu yang mampu hidup di kawasan tersebut, namun jika masyarakat
mengkonsumsi ikan sapu-sapu yang berada di Sungai Bengawan Solo akan menimbulkan
dampak bagi kesehatan, diantaranya kerusakan hati, penyakit ginjal, gangguan
lambung, kerapuhan tulang, pigmentasi, kerusakan saraf otak, anemia, kelumpuhan dan
berkurangnya haemoglobin darah.
Krisis Air, Illegal Logging, dan Penegakan ...
Yustisia Edisi Nomor 69 Sept. - Desember 2006
48
Di sisi lain hasil penelitian yang dilakukan Pegiat Ekologi Gita Pertiwi Ir. Nugroho
Widiarto, MSi mengatakan air permukaan Sungai Bengawan Solo berpotensi dan layak
untuk menjadi air baku bersih untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga Solo. Hal itu
didasarkan pada penelitian yang dilakukan Gita Pertiwi terhadap dua sungai yang mengarah
pada sungai Bengawan Solo yaitu Sungai Premulung dan Kali Anyar. Solo Pos, 29
Pebruari 2005. Untuk Sungai Premulung pada musim kemarau terdapat debit air 3,2 meter
kubik per detik, sedang Kali Anyar terdapat 4,33 meter kubik per detik. Sementara untuk
debit saat musim hujan, sungai Premulung mengalami kenaikan menjadi 34,4 meter kubik
per detik dan 36,7 meter kubik per detik.
Nugroho menambahkan dari hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa air
Bengawan Solo hanya baru layak dari segi teknis. Pasalnya untuk tingkat kelayakan
tersebut harus meliputi dari tiga aspek yaitu aspek teknis, lingkungan dan ekonomi. Secara
teknis memang layak untuk menjadi air baku air bersih, karena terdapat tekonologi yang
dapat digunakan untuk mengelola air Bengawan Solo tersebut menjadi air baku air
bersih. Dari aspek ekonomi harus melihat tentang kajian mengenai harga yang harus
dipatok setelah air Bengawan Solo tersebut diolah. Kajian tersebut, lanjutnya harus
dilakukan secara matang. Sedang untuk aspek lingkungan, bisa dilihat bahwa selama ini warga
Solo menggunakan mata air dan sumur dalam untuk konsumsi air bersih, kedepan apabila
sudah menggunakan air permukaan seperti air Bengawan Solo apakah warga Solo bisa
menerima hal tersebut.
Perkembangan tekonologi memang memperlihatkan bahwa teknologi pengelolaan
air permukaan untuk air baku bisa memberikan jawaban untuk mengatasi kekurangan air di
wilayah Solo. Hingga saat ini per hari PDAM baru memiliki debit air sebanyak 820 liter per
detik untuk mencukupi sekitar 52.000 pelanggan. Untuk mengatasi berbagai
kekurangan, lanjut Singgih selain mengandalkan mata air di daerah Klaten,
PDAM juga telah membangun sebanyak 24 sumur dalam.
D. Lemahnya penegakan hukum lingkungan