PENGARUH PARITAS TERHADAP PERSENTASE ESTRUS DAN KEBUNTINGAN SAPI PERANAKAN ONGOLE YANG DISINKRONISASI ESTRUS MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN F2α (PGF2α)

(1)

ABSTRAK

PENGARUH PARITAS TERHADAP PERSENTASE ESTRUS DAN KEBUNTINGAN SAPI PERANAKAN ONGOLE YANG

DISINKRONISASI ESTRUS MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN F2α (PGF2α)

Oleh

Arni Nadhirah Putri

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh paritas terhadap persentase estrus dan kebuntingan pada sapi Peranakan Ongole (PO) setelah disinkronisasi estrus menggunakan Prostaglandin F(PGF). Penelitian ini dilakukan pada November 2012 sampai Februari 2013 di Kecamatan Punggur, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan yang masing-masing perlakuan terdiri dari 4 ekor sapi. Satuan percobaan yang digunakan adalah sapi PO betina yang memiliki fase fisiologis belum pernah beranak (P0), beranak satu kali (P1), dan beranak dua kali (P2). Data tentang persentase estrus dan kebuntingan dianalisis dengan Khi-kuadrat pada taraf nyata 5%.

Hasil analisis Khi-kuadrat menunjukkan bahwa paritas tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap persentase estrus dan kebuntingan sapi PO. Persentase estrus sapi PO setelah injeksi PGF2α menunjukkan hasil semua sapi (100%) mengalami estrus. Persentase kebuntingan sapi PO pada P0, P1, dan P2 berturut-turut adalah 25%, 0%, dan 25%.


(2)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk pengembangan ternak sapi potong. Kemampuan menampung ternak sapi di Lampung sebesar 1,4 juta ekor baru terisi sebanyak 443.611 ekor (31,69%), sehingga Pemerintah mencanangkan Gerakan Program 2 juta Akseptor IB menuju Swasembada Daging Sapi Tahun 2010 oleh Bapak Presiden pada acara HPS XXVII tanggal 5 Desember 2007 di Way Halim, Bandar Lampung. Program Peningkatan Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2010 diubah menjadi tahun 2014 karena swasembada daging sapi masih sulit dicapai, oleh karenanya Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Lampung selalu berupaya

meningkatkan populasi ternak, salah satu program yang dilaksanakan adalah mengadakan kegiatan sinkronisasi estrus.

Kegiatan sinkronisasi estrus ini bertujuan memanipulasi siklus estrus (siklus birahi) untuk menimbulkan gejala estrus dan ovulasi pada ternak sapi secara bersamaan sehingga meningkatkan efisiensi penggunaan inseminasi buatan dan efisiensi deteksi estrus. Preparat yang digunakan dalam sinkronisasi estrus adalah prostaglandin dalam bentuk prostaglandin F (PGF). Pemberian PGF


(3)

2 sehingga terjadi regresi corpus luteum. Dengan dilakukannya sinkronisasi estrus maka inseminasi dapat dilakukan dalam waktu yang bersamaan, memudahkan pemanfaatan teknik transfer embrio, memudahkan dalam mendeteksi estrus, kebutuhan pejantan dapat diperkecil, dan musim beranak dapat dipersingkat.

Sapi Peranakan Ongole (PO) adalah hasil persilangan antara sapi lokal dengan sapi Ongole dari India, dan merupakan salah satu sapi potong lokal yang memegang peranan penting dalam penyediaan kebutuhan daging. Sapi PO memiliki adaptasi yang tinggi dan masih bisa berproduksi walaupun dalam kondisi pakan yang terbatas. Sapi PO terkenal sebagai sapi pedaging dan sapi pekerja, memiliki tenaga yang kuat dan aktivitas reproduksi induknya cepat kembali normal setelah beranak (Pane,1993).

Dalam pelaksanaan sinkronisasi estrus perlu diperhatikan pengaruh paritas, yang memiliki pengertian sebagai tahapan seekor induk ternak melahirkan anak. Paritas pertama (P1) adalah ternak betina yang memiliki fase fisiologis pernah melahirkan satu kali, dan begitu pula dengan kelahiran-kelahiran berikutnya disebut paritas kedua dan seterusnya (Hafez,1993).

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh paritas terhadap persentase estrus dan kebuntingan sapi Peranakan Ongole.


(4)

3 C. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan berguna untuk :

1. meningkatkan efektifitas pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) bagi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan;

2. sebagai studi pustaka bagi penelitian lebih lanjut.

D. Kerangka Pemikiran

Bangsa sapi yang telah dikembangkan di Indonesia khususnya di Provinsi

Lampung salah satunya adalah sapi Peranakan Ongole (PO). Sapi PO adalah hasil persilangan antara sapi Ongole dan sapi-sapi setempat (sapi Jawa), sapi Ongole masuk ke Indonesia pada awal abad ke-20 (Sosroamidjojo, 1991). Saat ini sapi PO yang murni mulai sulit ditemukan, karena telah banyak disilangkan dengan sapi Brahman, sehingga sapi PO diartikan sebagai sapi lokal berwarna putih (keabu-abuan), berkelasa dan gelambir. Sapi PO terkenal sebagai sapi pedaging dan sapi pekerja, mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap

perbedaan kondisi lingkungan, memiliki tenaga yang kuat dan aktivitas reproduksi induknya cepat kembali normal setelah beranak, jantannya memiliki kualitas semen yang baik.

Permasalahan yang dihadapi saat ini dalam bidang peternakan di Indonesia antara lain adalah masih rendahnya produktifitas dan mutu genetik ternak. Salah satu kemungkinan untuk memperbaiki ptoduktifitas ternak adalah dengan program peningkatan mutu genetis dari populasi yang ada. Program ini meliputi


(5)

4 berat badan yang tinggi, jarak antara beranak pendek dan penerapan teknologi inseminasi buatan (Herdis dkk, 2007).

Dalam perkembangannya penerapan teknologi inseminasi buatan pada ternak ternyata sangat lamban. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor sulitnya dalam deteksi estrus (Putro, 1990). Suatu cara untuk mengatasi masalah sulitnya deteksi estrus yaitu dengan cara penerapan teknis sinkronisasi estrus, baik dengan

menggunakan sediaan Progestagen dan Prostaglandin (PGF2α). Sinkronisasi estrus akan mampu meningkatkan efisiensi produksi dan reproduksi kelompok ternak, serta mengoptimalisasi pelaksanaan inseminasi buatan, mengurangi waktu dan memudahkan observasi deteksi estrus, dapat menentukan jadwal kelahiran yang diharapkan, menurunkan usia pubertas pada sapi dara, penghematan dan efisiensi tenaga kerja inseminator karena dapat mengawinkan ternak pada suatu daerah pada saat yang bersamaan.

Proses sinkronisasi dengan menggunakan preparat PGF akan menyebabkan regresi CL akibat luteolitik. Secara alami PGF2α dilepaskan oleh uterus hewan yang tidak bunting pada hari ke 16-18 siklus yang berfungsi untuk

menghancurkan CL. Timbulnya estrus akibat pemberian PGF2α disebabkan lisisnya CL oleh kerja vasokontriksi PGFsehingga aliran darah menuju CL menurun secara drastis, akibatnya kadar progesteron yang dihasilkan CL dalam darah menurun. Penurunan kadar progesteron ini akan merangsang hipofisa anterior melepaskan FSH dan LH. Kedua proses ini bertanggung jawab dalam proses folikulogenesis dan ovulasi, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Folikel-folikel tersebut akhirnya menghasilkan hormon estrogen yang


(6)

5 mampu menimbulkan gejala estrus. Kerja hormon estrogen adalah untuk

meningkatkan sensitivitas organ kelamin betina yang ditandai dengan perubahan pada vulva dan keluarnya lendir transparan (Mahaputra dan Restiadi, 1993).

Kebuntingan merupakan indikator dalam usaha pengelolaan reproduksi sapi. Banyak atau sedikitnya jumlah sapi yang bunting akan menentukan untung ruginya suatu usaha pengembangan peternakan sapi. Angka kebuntingan

ditentukan berdasarkan diagnosis kebuntingan yang dilakukan dalam waktu 40-60 hari setelah melakukan inseminasi atau perkawinan (Partodihardjo, 1980).

Cara yang paling sesuai dan paling praktis untuk diagnosa kebuntingan adalah dengan palpasi rektal (Toelihere, 1981). Diagnosa tersebut didasarkan pada asimetri, fluktuasi dan konsistensi, besar dan lokasi cornua uteri di dalam rongga pelvis atau rongga perut, adanya membranafoetus, placentom, pembesaran serta fremitus pada Arteri uterina media dan adanya pergerakan foetus itu sendiri.

Toelihere (1981) mengemukakan bahwa kemampuan reproduksi ternak dipengaruhi oleh lama kehidupan reproduktif dan frekuensi beranak (paritas). Menurut Hafez (1993), paritas adalah tahapan seekor induk ternak melahirkan anak, dimana paritas pertama (P1) adalah ternak yang pernah melahirkan satu kali, begitu juga dengan kelahiran-kelahiran selanjutnya.


(7)

6 E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. ada pengaruh perbedaan paritas terhadap persentase estrus dan kebuntingan sapi peranakan ongole yang disinkronisasi estrus menggunakan prostaglandin f (PGF);

2. Adanya paritas tertentu yang memberikan pengaruh paling baik terhadap persentase estrus dan kebuntingan sapi peranakan ongole yang disinkronisasi estrus menggunakan prostaglandin f (PGF).


(8)

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Swasembada Daging Sapi

Swasembada daging sapi adalah kemampuan penyediaan daging produksi lokal sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor sapi bakalan dan daging nantinya diharapkan hanya sekitar 5% (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2010).

Permintaan daging sapi diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, perbaikan ekonomi, serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan gizi, sehingga produksi daging sapi dan lainnya diusahakan terus ditingkatkan. Perkembangan populasi sapi potong di Propinsi Lampung dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, bahkan peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 49,7% (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Lampung, 2012).

Berdasarkan data dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Lampung (2012), populasi sapi potong di daerah Lampung dari tahun 2007—2011 adalah seperti pada Tabel 1, sedangkan populasi sapi potong untuk Kabupaten Lampung Tengah pada Tabel 2.


(9)

8 Tabel 1. Populasi sapi potong di Propinsi Lampung dari tahun 2007—2011

Tahun Populasi (ekor) Peningkatan (%)

2007 410.165 -

2008 425.318 3,7

2009 463.032 8,9

2010 496.066 7,1

2011 742.776 49,7

Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Lampung (2012).

Tabel 2. Populasi sapi potong di Kabupaten Lampung Tengah dari tahun 2007-2011

Tahun Populasi (ekor) Peningkatan (%)

2007 138.433 -

2008 140.579 1,6

2009 150.401 7

2010 163.019 8,4

2011 288.499 77

Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Lampung (2012).

Kebutuhan daging di Propinsi Lampung dari sisi produksi sebenarnya telah dapat dipenuhi tetapi karena banyaknya permintaan ternak keluar Lampung

(se-Sumatera) dengan harga yang lebih kompetitif maka saat ini Lampung sendiri kekurangan stock ternak untuk dipotong. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

supply – demand ternak sapi potong dan Tabel 4. data keluar/masuk ternak sapi potong di Provinsi Lampung.


(10)

9 Tabel 3. Supply – Demand Sapi Potong di Provinsi Lampung bulan November

2012

1. Ketersediaan Proses PG Ready Stock

Sapi di Masyarakat 121.804 Ekor Sapi di Kelompok 780 Ekor Sapi Impor 40.805 Ekor (Feedloter)

 780 Ekor  27.984 Ekor

82.489 Ekor 1.287 Ekor 12.923 Ekor

Total Penyediaan 28.057 Ekor 96.699 Ekor

2. Kebutuhan Pemotongan di Lampung

(Nov & Des 2012) 5.121 Ekor Bulan November

Bulan Desember

2.170 Ekor 2.951 Ekor 3. Neraca

Surplus daging Nov dan Des 2012

91.578 Ekor

Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Lampung (2012).

Tabel 4. Data Keluar/Masuk Ternak Sapi Potong di Provinsi Lampung (Januari - September 2012)

Jumlah Ternak

Bulan

Total Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agust Sept

Pemasukan 4.048 19.176 1.349 4.792 tad 8.264 7.385 tad 3.180 48.194 Pengeluaran 9.378 8.927 8.601 510 tad 8.078 9.505 tad 10.187 55.186

Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Lampung (2012).

Untuk memenuhi kebutuhan ternak/daging yang terus meningkat, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung mengadakan kegiatan sinkronisasi estrus dan saat ini kegiatan tersebut berada di Kabupaten Pringsewu, Lampung Tengah dan Tulang Bawang.


(11)

10 B. Sapi Peranakan Ongole (PO)

Sapi Peranakan Ongole (PO) adalah hasil persilangan antara sapi Ongole dan sapi-sapi setempat (sapi Jawa), sapi Ongole masuk ke Indonesia pada awal abad ke-20. Saat ini sapi PO yang murni mulai sulit ditemukan, karena telah banyak disilangkan dengan sapi Brahman, sehingga sapi PO diartikan sebagai sapi lokal berwarna putih (keabu-abuan), berkelasa dan gelambir (Sosroamidjojo, 1991).

Sapi PO terkenal sebagai sapi pedaging dan sapi pekerja, mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perbedaan kondisi lingkungan, memiliki tenaga yang kuat dan aktivitas reproduksi induknya cepat kembali normal setelah ber-anak, jantannya memiliki kualitas semen yang baik.

Sapi PO memiliki ciri-ciri berwarna dominan putih, berpunuk besar, kulit longgar dengan banyak lipatan di bawah leher dan perut, telinga panjang menggantung dan mata besar (Murtidjo, 1993). Dijelaskan lebih lanjut oleh Sugeng (1996), ciri lainnya adalah warna pada jantan di bagian leher sampai kepala berwarna kelabu, lutut berwarna gelap, tanduk pendek dan tumpul, memiliki lipatan kulit di bawah perut dan leher, berat badan jantan dewasa rata-rata 550 kg, sedangkan betinanya sekitar 350 kg, dan sapi PO ini termasuk lambat dewasa (umur sekitar 4-5 tahun).

Menurut Salisbury dan Van Demark (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi umur tercapainya pubertas (dewasa kelamin) pada sapi adalah bangsa sapi dan kondisi pakan. Dalam kondisi makanan normal rata-rata dewasa kelamin bagi semua bangsa sapi adalah 9 bulan, tetapi dapat berkisar antara 5-15 bulan. Menurut Partodihardjo (1980), faktor keturunan sangat menentukan tercapainya


(12)

11 pubertas. Lebih lanjut dijelaskan bahwa faktor iklim dan kondisi makanan juga dapat menentukan umur pubertas. Menurut Williamson dan Payne (1993), Sapi PO memiliki keunggulan, yaitu mudah beradaptasi di wilayah Indonesia yang beriklim tropis.

C. Reproduksi Sapi

Reproduksi adalah proses perkembangbiakan suatu makhluk hidup, dimulai sejak bersatunya sel telur dari betina dengan sel mani dari jantan menjadi makhluk hidup baru yang disebut zigote, disusul dengan kebuntingan dan diakhiri dengan kelahiran anak (Hardjopanjoto, 1995). Reproduksi baru dapat berlangsung setelah hewan mencapai masa pubertas dan diatur oleh kelenjar-kelenjar endokrin dan hormon-hormon yang dihasilkan (Toelihere,1981).

Hormon-hormon reproduksi memegang peranan penting dalam initiasi dan regulasi siklus estrus, ovulasi, fertilisasi, mempersiapkan uterus untuk menerima ovum yang telah dibuahi, melindungi, mengamankan dan mempertahankan kebuntingan, menginitiasikan kelahiran, perkembangan kelenjar susu dan laktasi. Pubertas (dewasa kelamin) adalah umur atau waktu dimana organ-organ

reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan dapat terjadi. Pada hewan jantan, pubertas ditandai dengan kesanggupannya berkopulasi dan menghasilkan sperma di samping perubahan-perubahan kelamin sekunder lain. Pada hewan betina, pubertas ditandai dengan terjadinya estrus dan ovulasi. AAK (1991) menyatakan bahwa setiap jenis sapi akan mengalami dewasa kelamin yang berbeda-beda, tergantung oleh mutu makanan, iklim setempat, keturunan, dan tatalaksana. Sapi potong yang berasal dari subtropis akan mencapai dewasa


(13)

12 kelamin pada umur 8-12 bulan, sedangkan sapi yang berasal dari tropis akan mencapai dewasa kelamin lebih lambat, yaitu pada umur 1,5-2,0 tahun, dewasa tubuh 2,0-2,5 tahun.

Daya reproduksi ternak pada umumnya dipengaruhi umur, dimana umur produktif sapi potong lebih lama dibandingkan sapi perah yaitu sekitar 10 – 12 tahun

dengan produksi 6 – 8 anak. Umur ternak sapi sangat mempengaruhi respon hormon. Sapi yang akan digunakan dalam sinkronisasi estrus harus diseleksi status reproduksinya. Ternak yang digunakan telah dewasa kelamin/siap kawin (umur sekitar 2 tahun) dan masuk dalam umur produktif dimana diharapkan respon hormonnya bagus sedangkan semakin tua kemampuan reproduksinya mengalami penurunan sehingga respon hormonnya kurang baik. Faktor ini sangat penting bagi peternakan dan pembangunan peternakan karena setiap penundaan kebuntingan memberikan dampak ekonomis yang sangat penting (Toelihere, 1981).

1. Estrus

Siklus estrus pada setiap hewan berbeda antara satu sama lain tergantung dari bangsa, umur, dan spesies. Siklus estrus pada sapi berkisar antara 18-22 hari (Partodiharjo, 1980). Siklus estrus umumnya dibagi atas empat fase atau periode yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus.

Fase proestrushanya berlangsung 3 hari. Betina berperilaku seksual seperti jantan, berusaha menaiki teman-temannya (homoseksualitas), menjadi gelisah,


(14)

13 agresif, dan mungkin akan menanduk, melenguh, mulai mengeluarkan lendir bening dari vulva, serta vulva mulai membengkak.

Pada fase estrus (standing heat) hewan betina diam bila dinaiki oleh temannya atau standing position. Tetapi juga perlu diperhatikan hal lain seperti seringkali melenguh, gelisah, mencoba untuk menaiki teman-temannya. Sapi betina menjadi lebih jinak dari biasanya. Vulva bengkak, keluar lendir vulva jernih, mukosa terlihat lebih merah dan hangat apabila diraba.

Fase metestrus (pasca estrus). Periode ini berlangsung selama 3-5 hari setelah estrus, sedikit darah mungkin keluar dari vulva induk atau dara beberapa jam setelah standing heat berakhir. Biasanya 85% dari periode estrus pada sapi dara dan 50% pada sapi induk berakhir dengan keluarnya darah dari vulva (untuk cek silang saat mengawinkan inseminasi harus sudah dilakukan 12-24 jam sebelum keluarnya darah). Keadaan ini disebut perdarahan metestrus (metestrual bleeding), ditandai dengan keluarnya darah segar bercampur lendir dari vulva dalam jumlah sedikit beberapa hari setelah estrus. Perdarahan ini biasanya akan berhenti sendiri setelah beberapa saat. Tetapi tidak semua siklus estrus pada sapi berakhir dengan keluarnya darah. Keluarnya darah tidak selalu berarti ovulasi telah terjadi dan tidak selalu menunjukkan bahwa bila di inseminasi ternak akan bunting atau tidak. Keluarnya darah hanya akan menunjukkan bahwa ternak telah melewati siklus estrus.

Fase diestrusberlangsung selama 13 hari setelah periode metestrus sampai periode proestrusberikutnya dan alat reproduksi praktis ”tidak aktif” selama


(15)

14 Salah satu aspek yang penting dalam meningkatkan efisiensi reproduksi ternak betina adalah peningkatan persentase berahi pada satu kawanan/populasi betina sehingga jumlah betina yang siap kawin jumlahnya meningkat, dan diharapkan dapat meningkatkan jumlah anak yang lahir per ekor induk per tahun. Siklus estrus pada sapi dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Siklus Estrus Pada Sapi

Karakteristik Keterangan Pubertas* Proestrus* Estrus* Metestrus* Diestrus* Anestrus**

Panjang siklus estrus** Saat ovulasi**

Berahi setelah melahirkan**

12 (8 – 18 bulan) 3 hari

12-24 jam 3-5 hari

13 hari Sampai musim kawin 16 jam

21 hari 35 hari

Sumber : Toelihere (1981)

2. Kebuntingan

Bearden dan Fuquay (1984) mengemukakan bahwa waktu dari terjadinya pembuahan sampai masa kelahiran atau sampai proses kelahiran disebut kebuntingan. Gejala awal terjadinya kebuntingan tidak jelas karena tidak bisa terlihat. Akan tetapi, adanya perubahan mekanis dan perilaku sapi yang mencolok akan dapat dijadikan petunjuk bahwa sapi tersebut bunting.

Faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi reproduksi ternak yaitu bangsa,umur, musim, perkandangan, pakan, ketrampilan pengelola dan pengendalian penyakit. Setiap bangsa sapi membutuhkan jumlah perkawinan yang berbeda untuk mendapatkan satu kebuntingan. Banyaknya kawin untuk setiap kebuntingan sapi


(16)

15 sangat bervariasi dan berkisar antara 1,3–1,6 kali pada ternak betina yang dikelola dengan baik (Gurnadi, 1988). Pane (1993) menyatakan bahwa sapi Bali

merupakan ternak yang sangat subur. Sapi Bali hanya membutuhkan 1,2 kali pelayanan untuk menghasilkan satu kebuntingan.

Pada induk yang sudah tua, kondisi alat reproduksinya sudah menurun diakibatkan kelenjar hipofisa anterior yang bertanggung jawab terhadap

fungsi alat kelamin sudah menurun. Sebaliknya alat kelamin hewan yang masih muda, belum mampu sepenuhnya untuk menerima embrio sehingga proses implantasi juga terganggu, sehingga dapat diikuti kematian embrio dan terjadi kawin berulang (Hardjopranjoto, 1995).

Musim dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap siklus estrus. Pada musim panas di daerah tropis seperti Indonesia yang curah hujannya rendah, menyebabkan kualitas hiijauan pakan menjadi sangat rendah. Pemberian pakan dengan kualitas rendah maka proses reproduksi dari ternak akan terganggu. Hal ini disebabkan terjadi ketidakseimbangan atau ketidaklancaran produksi dan pelepasan hormon (Lindsay, Entswistle and Winantea, 1982). Kandang yang sempit akan menyebabkan induk ternak berdesak -desakan, ventilasi kurang akan menyebabkan pergerakan udara tidak lancar sehingga udara di dalam kandang menjadi panas apalagi disertai sanitasi yang kurang baik dapat menyebabkan timbulnya kasus anestrus (Hardjopranjoto, 1995).

Pakan merupakan faktor yang penting, tanpa pakan yang baik dengan jumlah yang memadai, maka meskipun bibit ternak unggul akan kurang dapat memperlihatkan keunggulannya. Agar proses reproduksi berjalan dengan normal, diperlukan


(17)

16 ransum pakan yang memenuhi kebutuhan baik untuk pertumbuhan maupun untuk reproduksi. Ransum pakan disebut berkualitas baik dan lengkap bila didalamnya mengandung karbohidrat dan lemak sebagai sumber energi, protein sebagai zat pembangun tubuh, mineral dan vitamin sebagai zat pelengkap untuk pertumbuhan badan. Kekurangan salah satu zat makanan diatas dapat mendorong terjadinya gangguan reproduksi (Hardjopranjoto, 1995).

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi fertilitas dan produktivitas ternak adalah peternak sebagai pengelola dan inseminator sebagai petugas kesehatan. Peternak sebagai pengelola harus menghindari kesalahan-kesalahan tatalaksana yang dapat menimbulkan kegagalan reproduksi antara lain kegagalan mendeteksi estrus serta kegagalan melaporkan dan mengawinkan sapi betina pada saat yang tepat, terlalu cepat mengawinkan kembali setelah pertus, kegagalan memeriksa kebuntingan sebelum sapi disingkirkan karena alasan majir (Toeliehere, 1981). Ketrampilan inseminator sangat dituntut demi suksesnya suatu perkawinan atau IB. Umumnya, inseminator yang terampil akan menghasilkan kebuntingan yang lebih banyak dibandingkan inseminator yang kurang terampil (Ihsan, 1992).

Pengendalian penyakit sangat diperlukan, karena akan menurunkan produktivitas ternak, terutama penyakit yang dapat menimbulkan gangguan reproduksi.

Penyakit yang dapat menimbulkan gangguan reproduksi dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, antara lain bakteri (Brucellosis, Vibriosis,

Leptospirosis), virus (Bovine Viral Diarrhea atau BVD), infeksi Protozoa (Trichomoniasis) dan infeksi Jamur (Aspergillosis) (Hardjopranjoto, 1995). Kesalahan-kesalahan pada pemeliharaan dapat menyebabkan infertilitas sehingga


(18)

17 merugikan usaha peternakan. Kesalahan tersebut antara lain kegagalan mengenali tanda-tanda estrus, sehingga perkawinan dilakukan saat yang tidak tepat, terlalu cepat mengawinkan pasca beranak, kegagalan mengenali pejantan yang mandul, perkawinan berulang dengan ganti-ganti pejantan berpeluang besar timbulnya penyakit veneris, tidak dilakukan pemeriksaan kebuntingan secara teratur (Ihsan, 1997).

D. Paritas

Menurut Hafez (1993), paritas merupakan tahapan seekor induk ternak

melahirkan anak. Paritas pertama (P1) adalah ternak betina yang memiliki fase fisiologis pernah melahirkan satu kali, begitu pula dengan kelahiran-kelahiran berikutnya disebut paritas kedua dan seterusnya. Toelihere (1981)

mengemukakan bahwa kemampuan reproduksi ternak dipengaruhi oleh lama kehidupan reproduktif dan frekuensi beranak (paritas).

Menurut Belstra (2003), paritas berkolerasi positif tehadap umur ternak. Ternak yang digunakan dalam sinkronisasi estrus yaitu ternak yang telah dewasa

kelamin/siap kawin (umur sekitar 2 tahun) dan masuk dalam umur produktif. Menurut Bearden dan Fuquay (1984), efisiensi reproduksi mencapai puncaknya pada saat sapi berumur 4 tahun, dan menurun pada umur 5-7 tahun, sedangkan penurunannya nyata terjadi setelah sapi berumur 7 tahun. Hal ini diperkuat pernyataan Salisbury dan VanDemark (1985), bahwa fertilitas sapi betina dara meningkat secara berkesinambungan sampai umur 4 tahun, mendatar sampai umur 6 tahun, dan akhirnya menurun secara bertahap bila ternak menjadi lebih tua.


(19)

18 E. Penyerentakan Birahi (Sinkronisasi Estrus)

Penyerentakan birahi (sinkronisasi estrus) adalah usaha untuk membuat estrus pada hewan-hewan betina secara serentak (Partodihardjo, 1980). Sinkronisasi ini mengarah pada hambatan ovulasi dan penundaan aktivitas regresi corpus luteum (CL) (Hafez, 1993).

Ternak-ternak betina mengalami estrus berbeda dari spesies satu dengan spesies yang lainnya (Frandson, 1993). Hal ini menyebabkan sulitnya dalam melakukan perkawinan (inseminasi) secara bersamaan. Perkawinan akan efektif dan efisien dilakukan, bila terjadi estrus yang serentak pada sejumlah besar ternak betina. Permasalahan yang ada tersebut menyebabkan perlu dilakukannya suatu teknik yang dapat menyerentakkan estrus dalam waktu yang bersamaan pada sejumlah sapi.

Menurut Toelihere (1981), dengan penyerentakan estrus dimaksudkan untuk mengendalikan siklus estrus sedemikian rupa sehingga periode estrus pada banyak hewan betina terjadi serentak pada hari yang sama atau dalam waktu 2 atau 3 hari. Konsentrasi periode estrus dalam 2 atau 3 hari akan menghemat tenaga kerja, memungkinkan inseminasi pada banyak hewan betina dengan semen seekor pejantan unggul pada satu waktu tertentu, anak-anak yang lahir tidak perlu dipisahkan menurut kelompok-kelompok umur selama pertumbuhan dan penggemukan karena semuanya mempunyai umur yang hampir sama.

Beberapa manfaat lain dari sinkronisasi estrus yaitu dapat mengurangi waktu untuk menemukan estrus pada ternak, memudahkan dalam melakukan dan


(20)

19 menetapkan jadwal IB, serta memudahkan teknik transfer embrio (Hunter, 1995). Sinkronisasi estrus diperlukan agar inseminator tidak perlu sering mendatangi setiap peternak, sehingga biaya untuk IB dapat ditekan (Tomaszewska,1991).

Menurut Sujarwo (2009), tujuan sinkronisasi estrus adalah untuk memanipulasi proses reproduksi, sehingga hewan akan terinduksi estrus proses ovulasinya, dapat diinseminasi serentak dan dengan hasil fertilitas yang normal. Penggunaan teknik sinkronisasi estrus akan mampu meningkatkan efisiensi produksi dan reproduksi kelompok ternak, disamping juga mengoptimalisasi pelaksanaan inseminasi buatan dan meningkatkan fertilitas kelompok.

Sinkronisasi estrus dapat dilakukan dengan 2 metode, pertama dengan pemberian sediaan Progesteron untuk meniru kerja corpus luteum, kedua denF2α untuk melisiskan corpus luteum. Beberapa metode sinkronisasi estrus telah

dikembangkan, antara lain dengan penggunaan sediaan Progesteron, PGF2α, serta kombinasinya dengan gonadotrophin releasing hormone. Pemberian Progesteron berpengaruh menghambat ovulasi, PGF2α menginduksi regresi corpus luteum, sedangkan GnRH menambah sinergi proses ovulasi.

Sinkronisasi estrus dengan menggunakan PGF2α mempersyaratkan sapi betina pada fase lutea dari siklus estrusnya, corpus luteum ada di salah satu ovariumnya. Bilamana sapi belum mempunyai corpus luteum, maka pemberian PGF2α

ditangguhkan sampai betul-betul mempunyai corpus luteum yang fungsional (hari ke 6 sampai 18 siklus estrus).


(21)

20 Berdasarkan penelitian Sudarmaji (2004), Hasil pemeriksaan kebuntingan melalui palpasi rektal yang dilakukan tiga bulan setelah inseminasi menunjukkan bahwa total angka kebuntingan sapi PO yang diperoleh sebesar 47,37%, lebih rendah dibandingkan sapi Bali, yaitu sebesar 83,33% sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi (berdasarkan uji Chi-Square). Rendahnya angka kebuntingan pada sapi PO

disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor genetik dan pola pemeliharaan. Sapi PO bukan sapi murni asli Indonesia, melainkan persilangan antara sapi Sumba Ongole (SO) dengan sapi lokal (Sosroamidjojo,1980), sehingga daya adaptasi terhadap lingkungan tropis Indonesia lebih rendah daripada sapi Bali. Sapi PO sering digunakan untuk bekerja berat sebagai penarik gerobak dan pengolah lahan pertanian, sehingga dimungkinkan terjadinya kegagalan pembuahan. Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa kawin berulang disebabkan oleh dua faktor utama, yakni kematian embrio dini dan kegagalan pembuahan yang termasuk di dalamnya kesalahan dalam pengelolaan reproduksi.

F. Prostaglandin F2α (PGF2α)

Prostaglandin adalah senyawa yang telah dapat diisolasi dari banyak jaringan hewan, termasuk prostat, kulit, usus, ginjal, otak, paru-paru, organ reproduksi, cairan mentruasi, dan cairan amniotik (Frandson, 1993). Menurut Solihati (2005), Prostaglandin adalah senyawa C20 dengan satu cincin siklopenta yang mirip derivate asam lemak tak jenuh seperti arakidonat.

Prostaglandin adalah zat luteolitik alam, bila tak terjadi kebuntingan akan mengakhiri siklus birahi pada hewan betina dengan cara menghancurkan corpus luteum dan memungkinkan siklus estrus baru (Frandson, 1993). Nama


(22)

21 prostaglandin diberikan oleh Von Euler karena ia berpendapat bahwa zat ini dihasilkan oleh kelenjar prostat manusia. Prostaglandin mempunyai implikasi pada pelepasan gonadotropin, ovulasi, regresi CL, motilitas uterus dan motilitas spermatozoa (Djajosoebagio, 1990).

PGF sebagai hormon luteolitik telah berhasil dipakai untuk memicu estrus dan mengendalikan siklus estrus beberapa jenis ternak. Mekanisme kerja PGFdalam memicu estrus berdasarkan pada kemampuannya sebagai vasokonstriktor yang menghambat aliran darah secara drastis ke ovarium dan menyebabkan regresi corpus luteum (CL) diikuti oleh penurunan hormon Progesteron yang berarti hilangnya hambatan terhadap FSH dan LH, diikuti oleh pematangan folikel, timbulnya estrus dan ovulasi dua sampai empat hari berikutnya (Toelihere, 1981). PGF2α hanya efektif pada fase luteal dan tidak berpengaruh pada fase folikuler.

Beberapa hipotesis tentang bagaimana kerja PGF2α dalam melisiskan CL yaitu (1) PGF2α langsung berpengaruh kepada hipofisis, (2) PGF2α menginduksi luteolisis melalui uterus dengan jalan menstimulir kontraksi uterus sehingga dilepaskan luteolisis uterin endogen, (3) PGF2α langsung bekerja sebagai racun terhadap sel-sel CL, (4) PGF2α bersifat sebagai antigonadotropin, baik dalam aliran darah maupun reseptor pada CL, dan (5) PGF2α mempengaruhi aliran darah ke ovarium (Solihati, 2005).

Senyawa Prostaglandin mampu meregresi corpus luteum secara serentak selama masa dari pertengahan sampai akhir dari estrus dan hanya efektif bila terjadi corpus luteum yang sedang aktif. Jadi diperlukan dua kali perlakuan dengan jarak 11 hari untuk sinkronisasi sekelompok ternak (Tomaszewska, 1991).


(23)

22 Berdasarkan penelitian Sugina (2002), bahwa pemberian PGF2α secara

intramusculer dua kali injeksi pada interval 11 hari akan memberikan persentase estrus yang baik yakni ditandai dengan semua sapi menjadi estrus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Welch, et.al (1975) dalam Setiadi (1996) bahwa sapi-sapi potong yang diberi PGF secara intramusculer menyebabkan terjadinya estrus sebesar 87%. PGF2α yang diberikan secara intramusculer pada saat corpus luteum fungsional menyebabkan terhentinya sekresi progesteron secara tiba-tiba,

kemudian diikuti dengan masaknya folikel, dan menunjukkan estrus. Perbedaan fase fisiologis (beranak ke-1,2, dan 3) tidak memiliki hubungan yang nyata terhadap persentase estrus, hal ini terbukti semua sapi mengalami estrus. Hal ini kemungkinan karena pada fase tersebut merupakan masa produktif.

Berdasarkan penelitian Sudarmaji (2004), setelah penyuntikan PGF2α yang kedua semua sapi (100%) menunjukkan gejala birahi, rata-rata timbulnya birahi adalah 2 hari setelah penyuntikan kedua. Hal tersebut karena semua sapi berada dalam fase luteal yaitu fase saat korpus luteum berfungsi. Diulangnya penyuntikan kedua pada interval 11 hari diharapkan semua sapi berada pada fase yang sama. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Mac Millan (1983) bahwa penyuntikan PGF2α untuk program penyerentakan birahi dilakukan dua kali masing-masing berjarak 11 hari lebih jauh, hasil penelitian ini didukung oleh pendapat Pursley etal.

(1995); Schmith et al. (1996) dan Moreira et al. (2000) bahwa sapi yang diinjeksi dengan PGF2α akan birahi dalam waktu 2 hari setelah penyuntikan.


(24)

23 G. Inseminasi Buatan

Inseminasi buatan (kawin suntik) adalah salah satu teknik mengawinkan sapi dengan cara menyuntikkan mani (semen) ke dalam organ reproduksi sapi betina. Pejantan tidak secara langsung mengawini betina, melainkan dengan bantuan manusia. Sapi betina yang akan dikawinkan harus dalam kondisi birahi atau estrus, agar sperma sapi jantan dapat membuahi sel telur sehingga akan terjadi kebuntingan. Sperma yang digunakan berasal dari bibit sapi pejantan unggul yang memiliki catatan yang jelas.

Keuntungan dari inseminasi buatan (IB) antara lain efisiensi penggunaan pejantan unggul, mencegah penularan penyakit yang ditularkan lewat perkawinan secara alami, menghemat biaya dan tenaga, seleksi ternak semakin mudah dilakukan, meningkatkan efisiensi reproduksi dan produktifitas ternak, mengatasi kesulitan perkawinan akibat perbedaan berat badan, serta menghasilkan hybrid baru. Kerugian IB antara lain jika jumlah pejantan terbatas dapat terjadi inbreeding, efisiensi menjadi rendah apabila inseminator kurang terampil, sperma dapat lebih mudah tersebar kemana-mana dalam waktu yang lebih cepat jika tercemar

penyakit, dan IB intra uterina pada ternak yang sudah bunting dapat mengakibatkan abortus (Ismaya, 1998).

Keterlambatan pelayanan IB akan berakibat pada kerugian waktu yang cukup lama. Jarak antara satu estrus ke estrus selanjutnya adalah kira-kira 21 hari sehingga bila satu estrus terlewati maka kita masih harus menunggu 21 hari lagi untuk melaksanakan IB selanjutnya. Kegagalan kebuntingan setelah pelaksanaan IB juga akan berakibat pada terbuangnya waktu percuma, selain kerugian materiil


(25)

24 dan immateriil karena terbuangnya semen cair dan alat pelaksanaan IB serta terbuangnya biaya transportasi baik untuk melaporkan dan memberikan pelayanan dari pos IB ke tempat sapi estrus berada.


(26)

25

III. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada November 2012 sampai Februari 2013 di Kecamatan Punggur, Kabupaten Lampung Tengah.

B. Bahan dan Alat Penelitian

Penelitian ini menggunakan 12 ekor sapi Peranakan Ongole (4 ekor/perlakuan) dengan kondisi tubuh yang baik, sehat, memiliki organ reproduksi yang normal, dan tidak sedang bunting. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Juramate® (Cloprostenol 250 µg/ ml dosis 500 µg/ ekor aplikasi 2 ml/ ekor), alkohol 70 %, semen beku straw Brahman, sabun, dan air bersih. Alat yang digunakan adalah pita ukur, spuit 3 cc, sarung tangan plastik kapas, alat inseminasi buatan, kontainer DR-2, gunting stainless, dan pinset stainless.

C. Rancangan penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan yang masing-masing perlakuan terdiri dari 4 ekor sapi. Penyuntikan sinkronisasi dilakukan dengan menggunakan preparat hormon

Cloprostenol (Juramate®). Perlakuan yang diberikan yaitu sapi Peranakan Ongole betina yang memiliki fase fisiologis belum pernah beranak (P0), beranak satu kali


(27)

26 (P1), dan beranak dua kali (P2). Data tentang persentase estrus dan persentase kebuntingan dianalisis dengan Khi-kuadrat pada taraf nyata 5% (Sudjana, 1992).

D. Pelaksanaan penelitian

Sebelum diberi perlakuan, induk-induk sapi diseleksi untuk memastikan sapi tidak dalam kondisi bunting dengan jalan melakukan pemeriksaan kebuntingan (PKB) dengan palpasi rektal. Penyuntikan sinkronisasi secara intramuskuler dilakukan dua kali dengan selang 11 hari menggunakan preparat hormon Cloprostenol

(Juramate®) dengan dosis 500 µg/ekor atau (2 ml/ekor).

Sapi-sapi yang telah menunjukkan tanda-tanda estrus (24-72 jam) setelah penyuntikan kedua kemudian diinseminasi menggunakan metode rektovaginal. Tanda-tanda estrus dapat dilihat dari keluarnya lendir jernih dari serviks yang mengalir melalui vagina dan vulva, sapi nampak gelisah dan ingin keluar dari kandang, sering melenguh-lenguh, mencoba menunggangi sapi lain, pangkal ekor terangkat sedikit, nafsu makan dan minum berkurang, vulvanya bengkak, hangat, dan berubah warna menjadi sedikit kemerah-merahan (Partodihardjo, 1980).

Sapi-sapi yang tidak menunjukkan tanda-tanda estrus setelah penyuntikan kedua diinseminasi menggunakan metode rektovaginal paling lambat 72 jam setelah penyuntikan kedua. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan 3 bulan setelah inseminasi buatan (IB) dengan cara palpasi rektal untuk memperoleh angka kebuntingan atau persentase kebuntingan (Bearden dan Fuquay, 1980).


(28)

27 E. Peubah Yang Diamati

Variabel atau peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah : 1. Persentase estrus

Persentase estrus (%) = umlah ternak yang estrus (ekor)

umlah ternak yang disinkronisasi (ekor) x 100% (Toelihere,1981);

2. Persentase kebuntingan

Persentase kebuntingan (%) = umlah ternak yang diinseminasi (ekor) umlah ternak yang bunting (ekor) x 100% (Partodihardjo,1980).


(29)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Paritas (P0, P1, dan P2) tidak memiliki pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap persentase estrus dan kebuntingan sapi PO. Setelah penyuntikan PGF2α semua sapi (100%) menunjukkan gejala estrus. Persentase kebuntingan rata-rata P0, P1, dan P2 adalah 25%, 0%, dan 25%;

2. Tidak ada paritas yang memberikan pengaruh paling baik terhadap persentase estrus dan kebuntingan sapi PO.

B. Saran

1. Dalam sinkronisasi estrus menggunakan PGF2α tidak perlu memperhatikan pengaruh paritas;

2. Perlu dilakukan penelitian sinkronisasi estrus lebih lanjut dengan menggunakan dosis PGF2α yang berbeda, dan jenis sapi yang berbeda.


(30)

38

DAFTAR PUSTAKA

Aksi Agraris Kanisius. 1991. Petunjuk Beternak Sapi Potong dan Kerja. Kanisius. Yogyakarta

Bearden, H.J. and Fuquay. 1984. Applied Animal Reproduction. Reston Publishing Company Inc. Reston. Virginia

Belstra, B.A. 2003. Parity Associated Changes In Reproductive Performance: Phisiological Basis or Record Keeping Artefact.

http:www.mark.asci.ncsu.edu/swine report/2003/belstra.htm Diakses pada 20 Juni 2013 pukul 10.00 WIB

Daranguru, L. 1991. Penentuan Dosis Efektif PGF Secara Intramuskuler dalam Sinkronisasi Estrus pada Ternak Sapi Bali di BesipaE. Skripsi, Fapet-Undana Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2010. Petunjuk Teknis

Gangguan Reproduksi. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Buku Statistik Peternakan 2012. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. Propinsi Lampung

Djojosoebagio, S. 1990. Fisiologi Kelenjar endokrin Volume II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen. Dikti. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, IPB

Frandson, R.D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Gurnadi, R.E. 1988. Teknik Penanganan dan Pengelolaan Ternak Ruminansia Besar. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Hanafiah, K.A. 1991. Rancangan Percobaan: Teori dan Aplikasi. Edisi Ke-5. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Utara

Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya


(31)

39 Hafez, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animal.6 th Ed. Lea and Febiger.

Philadelphia

Hartono, M. 1999. Faktor-faktor dan Analisis Garis Edar Selang Beranak pada Sapi Perah di Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali. Tesis Pasca Sarjana. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Herdis, I. Kusuma, M. Surachman dan E.R. Suhana. 2007. Peningkatan Populasi dan Mutu Genetik Sapi. http://kenshuseidesu.tripod.com/id46.html.diakses tanggal 15 November 2012

Hunter, R.H.F. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik. Institut Teknologi Bandung. Bandung

Ihsan, M.N., 1992. Inseminasi Buatan. LUW.Universitas Brawijaya. Malang Ihsan, M.N., 1997. Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas

Brawijaya. Malang

Ihsan, M.N. dan Sri Wahjuningsih., 2011. Penampilan Reproduksi Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro. Jurnal. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang

Ismaya. 1998. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bagian Program Studi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Lindsay, D.R.,K.W. Entswistle dan A. Winantea. 1982. Reproduksi Ternak di Indonesia. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang

Mahaputra, L. Dan TI. Restiadi. 1993. Profil Progesteron selama Sinkronisasi Birahi dan Ovulasi dalam Upaya Embrio Transfer. Forum Komunikasi Hasil Penelitian bidang Peternakan. 22-24. Yogyakarta

Murtidjo, B.A. 1993. Beternak Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta

Pane, I., 1993. Pemuliabiakan Ternak Sapi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara. Jakarta

Putro, P.P. 1990. The Effect of Oestrus Synchronization on The Ovarian Function in Cow. Master of Philosophy Thesis. School of Veterinary Science,

Murdoch University, Murdoch, Western, Australia

Salisbury, G. W. Dan N. L. VanDemark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Terjemahan R. Djanuar. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta


(32)

40 Setiadi. 1996. Pengaruh Dosis Prostaglandin F Analog terhadap Respon Birahi

dan Hasil Inseminasinya pada Sapi Perah Friesian Holstein. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Siregar T.N. dan Hamdan. (2007). Hand Out; Teknologi Reproduksi Pada Ternak. CV. Mita Mulia. Banda Aceh

Soedarsono, 1982. Pengaruh Pemberian Prostaglandin F2α (PGF2α) Secara Intramuskuler dan Intra Uterin Terhadap Kecepatan Timbulnya Birahi serta Persentase Kebuntingan pada Sapi Peranakan PFH. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Sosroamijoyo, M. S. 1991. Ternak Potong dan Kerja. Cetakan Ke-11, CV Yasaguna, Jakarta

Solihati, N. 2005. Pengaruh Metode Pemberian PGF2α Dalam Sinkronisasi Estrus Terhadap angka Kebuntingan Sapi Perah Anestrus. Makalah. Fakultas

Peternakan. Universitas Padjajaran

Sudarmaji, A.M. dan A. Gunawan., 2004. Pengaruh Penyuntikan Prostaglandin Terhadap Persentase Birahi Dan Angka Kebuntingan Sapi Bali Dan

PO Di Kalimantan Selatan. Jurnal. Fakultas Pertanian. Universitas Islam Kalimantan. Banjarmasin

Sudjana. 1992. Metode Statistika. Tarsito. Bandung

Sujono. 2011. Pengelolaan Reproduksi. http:// sujono. staff. umm. ac.id/files/ 2011/02 / Kuliahh-Manajemen Ternak Perah-3.ppt. Diakses , 20 Juni 2013

Sugeng, Y. B. 1996. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta

Sugina, I. Ketut. 2002. Pengaruh Prostaglandin F2α terhadap Persentase Estrus dan Kecepatan Timbulnya Estrus pada Sapi Bali. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Lampung

Sujarwo, Susila. 2009. Penerapan Teknik Sinkronisasi Birahi dan Problemnya. Makalah. Dinas Peternakan Sulawesi Selatan

Toelihere, M. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung Tomaszewska, M.W. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku, dan Produksi Ternak di

Indonesia. Alihbahasa oleh Sutama, I.K., I.G. Putu, dan T.D.Chaniago. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis (Diterjemahkan oleh S.G.N.D. Darmadja). Edisi ke-1. Gadjah Mada


(1)

26 (P1), dan beranak dua kali (P2). Data tentang persentase estrus dan persentase kebuntingan dianalisis dengan Khi-kuadrat pada taraf nyata 5% (Sudjana, 1992).

D. Pelaksanaan penelitian

Sebelum diberi perlakuan, induk-induk sapi diseleksi untuk memastikan sapi tidak dalam kondisi bunting dengan jalan melakukan pemeriksaan kebuntingan (PKB) dengan palpasi rektal. Penyuntikan sinkronisasi secara intramuskuler dilakukan dua kali dengan selang 11 hari menggunakan preparat hormon Cloprostenol (Juramate®) dengan dosis 500 µg/ekor atau (2 ml/ekor).

Sapi-sapi yang telah menunjukkan tanda-tanda estrus (24-72 jam) setelah penyuntikan kedua kemudian diinseminasi menggunakan metode rektovaginal. Tanda-tanda estrus dapat dilihat dari keluarnya lendir jernih dari serviks yang mengalir melalui vagina dan vulva, sapi nampak gelisah dan ingin keluar dari kandang, sering melenguh-lenguh, mencoba menunggangi sapi lain, pangkal ekor terangkat sedikit, nafsu makan dan minum berkurang, vulvanya bengkak, hangat, dan berubah warna menjadi sedikit kemerah-merahan (Partodihardjo, 1980).

Sapi-sapi yang tidak menunjukkan tanda-tanda estrus setelah penyuntikan kedua diinseminasi menggunakan metode rektovaginal paling lambat 72 jam setelah penyuntikan kedua. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan 3 bulan setelah inseminasi buatan (IB) dengan cara palpasi rektal untuk memperoleh angka kebuntingan atau persentase kebuntingan (Bearden dan Fuquay, 1980).


(2)

27

E. Peubah Yang Diamati

Variabel atau peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah : 1. Persentase estrus

Persentase estrus (%) = umlah ternak yang estrus (ekor)

umlah ternak yang disinkronisasi (ekor) x 100% (Toelihere,1981);

2. Persentase kebuntingan

Persentase kebuntingan (%) = umlah ternak yang diinseminasi (ekor) umlah ternak yang bunting (ekor) x 100% (Partodihardjo,1980).


(3)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Paritas (P0, P1, dan P2) tidak memiliki pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap persentase estrus dan kebuntingan sapi PO. Setelah penyuntikan PGF2α semua sapi (100%) menunjukkan gejala estrus. Persentase kebuntingan rata-rata P0, P1, dan P2 adalah 25%, 0%, dan 25%;

2. Tidak ada paritas yang memberikan pengaruh paling baik terhadap persentase estrus dan kebuntingan sapi PO.

B. Saran

1. Dalam sinkronisasi estrus menggunakan PGF2α tidak perlu memperhatikan pengaruh paritas;

2. Perlu dilakukan penelitian sinkronisasi estrus lebih lanjut dengan menggunakan dosis PGF2α yang berbeda, dan jenis sapi yang berbeda.


(4)

38

DAFTAR PUSTAKA

Aksi Agraris Kanisius. 1991. Petunjuk Beternak Sapi Potong dan Kerja. Kanisius. Yogyakarta

Bearden, H.J. and Fuquay. 1984. Applied Animal Reproduction. Reston Publishing Company Inc. Reston. Virginia

Belstra, B.A. 2003. Parity Associated Changes In Reproductive Performance: Phisiological Basis or Record Keeping Artefact.

http:www.mark.asci.ncsu.edu/swine report/2003/belstra.htm Diakses pada 20 Juni 2013 pukul 10.00 WIB

Daranguru, L. 1991. Penentuan Dosis Efektif PGF Secara Intramuskuler dalam Sinkronisasi Estrus pada Ternak Sapi Bali di BesipaE. Skripsi, Fapet-Undana Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2010. Petunjuk Teknis

Gangguan Reproduksi. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Buku Statistik Peternakan 2012. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. Propinsi Lampung

Djojosoebagio, S. 1990. Fisiologi Kelenjar endokrin Volume II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen. Dikti. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, IPB

Frandson, R.D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Gurnadi, R.E. 1988. Teknik Penanganan dan Pengelolaan Ternak Ruminansia Besar. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Hanafiah, K.A. 1991. Rancangan Percobaan: Teori dan Aplikasi. Edisi Ke-5. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Utara

Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya


(5)

39 Hafez, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animal.6 th Ed. Lea and Febiger.

Philadelphia

Hartono, M. 1999. Faktor-faktor dan Analisis Garis Edar Selang Beranak pada Sapi Perah di Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali. Tesis Pasca Sarjana. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Herdis, I. Kusuma, M. Surachman dan E.R. Suhana. 2007. Peningkatan Populasi dan Mutu Genetik Sapi. http://kenshuseidesu.tripod.com/id46.html.diakses tanggal 15 November 2012

Hunter, R.H.F. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik. Institut Teknologi Bandung. Bandung

Ihsan, M.N., 1992. Inseminasi Buatan. LUW.Universitas Brawijaya. Malang Ihsan, M.N., 1997. Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas

Brawijaya. Malang

Ihsan, M.N. dan Sri Wahjuningsih., 2011. Penampilan Reproduksi Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro. Jurnal. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang

Ismaya. 1998. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bagian Program Studi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Lindsay, D.R.,K.W. Entswistle dan A. Winantea. 1982. Reproduksi Ternak di Indonesia. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang

Mahaputra, L. Dan TI. Restiadi. 1993. Profil Progesteron selama Sinkronisasi Birahi dan Ovulasi dalam Upaya Embrio Transfer. Forum Komunikasi Hasil Penelitian bidang Peternakan. 22-24. Yogyakarta

Murtidjo, B.A. 1993. Beternak Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta

Pane, I., 1993. Pemuliabiakan Ternak Sapi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara. Jakarta

Putro, P.P. 1990. The Effect of Oestrus Synchronization on The Ovarian Function in Cow. Master of Philosophy Thesis. School of Veterinary Science,

Murdoch University, Murdoch, Western, Australia

Salisbury, G. W. Dan N. L. VanDemark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Terjemahan R. Djanuar. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta


(6)

40 Setiadi. 1996. Pengaruh Dosis Prostaglandin F Analog terhadap Respon Birahi

dan Hasil Inseminasinya pada Sapi Perah Friesian Holstein. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Siregar T.N. dan Hamdan. (2007). Hand Out; Teknologi Reproduksi Pada Ternak. CV. Mita Mulia. Banda Aceh

Soedarsono, 1982. Pengaruh Pemberian Prostaglandin F2α (PGF2α) Secara Intramuskuler dan Intra Uterin Terhadap Kecepatan Timbulnya Birahi serta Persentase Kebuntingan pada Sapi Peranakan PFH. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Sosroamijoyo, M. S. 1991. Ternak Potong dan Kerja. Cetakan Ke-11, CV Yasaguna, Jakarta

Solihati, N. 2005. Pengaruh Metode Pemberian PGF2α Dalam Sinkronisasi Estrus Terhadap angka Kebuntingan Sapi Perah Anestrus. Makalah. Fakultas

Peternakan. Universitas Padjajaran

Sudarmaji, A.M. dan A. Gunawan., 2004. Pengaruh Penyuntikan Prostaglandin Terhadap Persentase Birahi Dan Angka Kebuntingan Sapi Bali Dan

PO Di Kalimantan Selatan. Jurnal. Fakultas Pertanian. Universitas Islam Kalimantan. Banjarmasin

Sudjana. 1992. Metode Statistika. Tarsito. Bandung

Sujono. 2011. Pengelolaan Reproduksi. http:// sujono. staff. umm. ac.id/files/ 2011/02 / Kuliahh-Manajemen Ternak Perah-3.ppt. Diakses , 20 Juni 2013

Sugeng, Y. B. 1996. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta

Sugina, I. Ketut. 2002. Pengaruh Prostaglandin F2α terhadap Persentase Estrus dan Kecepatan Timbulnya Estrus pada Sapi Bali. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Lampung

Sujarwo, Susila. 2009. Penerapan Teknik Sinkronisasi Birahi dan Problemnya. Makalah. Dinas Peternakan Sulawesi Selatan

Toelihere, M. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung Tomaszewska, M.W. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku, dan Produksi Ternak di

Indonesia. Alihbahasa oleh Sutama, I.K., I.G. Putu, dan T.D.Chaniago. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis (Diterjemahkan oleh S.G.N.D. Darmadja). Edisi ke-1. Gadjah Mada


Dokumen yang terkait

PENGARUH PARITAS TERHADAP PERSENTASE ESTRUS DAN KEBUNTINGAN PADA SAPI BALI YANG DISINKRONISASI ESTRUS DENGAN DUA KALI PENYUNTIKAN PROSTAGLANDIN F 2 α (PGF 2 α )

2 48 34

RESPON KECEPATAN TIMBULNYA ESTRUS DAN LAMA ESTRUS PADA BERBAGAI PARITAS SAPI BALI SETELAH DUA KALI PEMBERIAN PROSTAGLANDIN F2α (PGF2α

0 36 32

Efektivitas Sinkronisasi Estrus Menggunakan Progesteron dan Kombinasinya dengan Estrogen terhadap Respons Estrus dan Angka Kebuntingan pada Sapi Potong

0 10 85

PENGARUH DOSIS GnRH TERHADAP KARAKTERISTIK ESTRUS SAPI PESTSIR YANG DISINKRONISASI PGF2a.

0 0 6

KORELASI BOBOT BADAN DENGAN RESPON ESTRUS PADA DOMBA LOKAL YANG DISINKRONISASI ESTRUS.

0 0 2

PENGARUH PEMBERIAN HORMON PROSTAGLANDHIN F2α DAN GONADOTROPHIN RELEASING HORMONE TERHADAP TIMBULNYA ESTRUS PADA SAPI SIMMENTAL PERANAKAN ONGOLE DALAM PROGRAM SINKRONISASI ESTRUS.

0 0 8

APLIKASI HORMON PROSTAGLANDHIN F2α DAN GONADOTROPHIN RELEASING HORMONE TERHADAP TAMPILAN ESTRUS SAPI SIMMENTAL PERANAKAN ONGOLE DALAM PROGRAM SINKRONISASI ESTRUS.

0 0 12

RESPONS ESTRUS SAPI RESIPIEN FH YANG DISINKRONISASI DENGAN HORMONE GnRH, ESROGEN, PROGESTERON DAN PROSTAGLANDIN ESTRUS RESPONSE OF FH COWS RECIPIENT AFTER SYNCHRONIZED WITH GnRH HORMONE, ESROGEN, PROGESTERON DAN PROSTAGLANDIN

0 0 10

RESPON KECEPATAN TIMBILNYA ESTRUS DAN LAMA ESTRUS PADA BERBAGAI PARITAS SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) SETELAH DUA KALI PENYUNTIKAN PROSTAGLANDIN F

0 0 9

Pengaruh Paritas Terhadap Persentase Estrus dan Kebuntingan Pada Sapi Bali yang Disinkronisasi Estrus dengan Dua Kali Penyuntikan Prostaglandin F2 α (PGF2 α) The Effect of Parities on The Percentage of Estrous and Conception of Bali Cows After Estrous Syn

0 0 6