PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELACURAN ANAK DI BAWAH UMUR (STUDI PADA POLTABES BANDAR LAMPUNG)

(1)

Selviani Oktavia

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELACURAN ANAK DI BAWAH UMUR

(STUDI PADA POLTABES BANDAR LAMPUNG)

Oleh

SELVIANI OKTAVIA

Perkembangan dalam kehidupan remaja dan anak-anak rentan sekali dengan suatu tindak pidana yang di antaranya pelacuran anak di bawah umur.Pelacuran merupakan perbuatan perempuan atau laki – laki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.pelacuran sebagai tingkah laku manusia yang menyimpang dan selalu ada dalam kehidupan manusia,baik yang dilakukan oleh wanita dewasa,laki-laki. Pada skripsi ini, permasalahan yang diteliti oleh penulis, dimana ingin mengetahui bagaimana pelaksanaan Penegakkan Hukum Pidana terhadap Pelacuran anak dibawah umur dan faktor apa saja yang menjadi penghambat penegakkan hukum pidana terhadap pelacuran anak dibawah umur.

Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan yang bersifat yuridis empiris dan dengan dua jenis data yaitu data primer yang bersumber yang di peroleh dengan cara wawancara serta data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Pada sampel penelitiannya, diambil dari beberapa orang populasi secara purposive sampling. Populasi dalam penelitian ini di wakili oleh 5 responden yang terdiri dari satu orang dari Lembaga Advokasi Perempuan Damar Bandar Lampung, satu orang dari Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung, satu orang Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, satu orang Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, dan satu orang Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data yang diperoleh dengan cara editing, Interpretasi dan sistematika data.

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh hasil sebagai berikut, yaitu Pelaksanaan Penegakan Hukum Terhadap Pelacuran Anak di bawah Umur adanya Tindakan Represif dengan segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum. Selain itu adanya tindakan pencegahan (Prevensi) melalui sarana non-penal (tidak menggunakan hukum pidana). Faktor penghambat dalam kasus ini adalah adanya faktor hukum,faktor penegak hukum, dan faktor masyarakat. Bahwa


(2)

Undang Hukum Pidana. Hal ini menyebabkan tidak Propesionalnya aparat penegak hukum dalam memberikan penuntutan terhadap yang melakukannya. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah penegakan hukum pelacuran anak di bawah umur pelaksanaan penegakan hukum adanya masalah penegakan hukum tidak hanya membuat bagaimana hukumnya, melainkan juga tentang apa yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam mengatisipasi dan mengatasi masalah-masalah dalam penegakan hukum.Selanjutnya yang menjadi faktor penghambat adalah adanya faktor hukum Secara umum suatu peraturan dapat dikatakan baik apabila berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Saran yang dapat diberikan adalah untuk lebih mengefektifkan jadwal razia yang dilakukan aparat hukum dan para aparat hukum diharapkan memiliki pengetahuan yang luas mengenai undang-undang perlindungan anak yang telah berlaku untuk menjadi pedoman memberikan sanksi kepada anak di bawah umur yang menjadi pelacur.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, sehingga pembangunan tersebut harus mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia termasuk membangun generasi muda. Generasi muda merupakan bagian dari pembangunan nasional yang tidak terpisahkan dan menempati posisi sebagai subjek dan objek dari pembangunan itu sendiri. Generasi muda sebagai subjek merupakan pelaku dan pelaksanaan pembangunan yang harus dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama membangun bangsanya. Generasi muda sebagai objek adalah merupakan generasi penerus sejarah dan sebagai penerus bangsa.

Anak merupakan generasi penerus bangsa yang akan melanjutkan tongkat estapet kepemimpinan bangsa ini. Tentu untuk pemimpin bangsa ini dibutuhkan sumber daya manusia yang dapat dihandalkan dan kompetitif.

Undang-Undang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak juga berhak mendapatkan perlindungan dari orang tua, keluarga dan pemerintah. Di zaman yang penuh kesulitan ekonomi yang modern ini,


(4)

anak-anak banyak yang melanggar norma-norma dan hak-hak yang berlaku. Anak-anak-anak juga banyak terjerumus di dalam dunia Prostitusi. Tingkat pelanggaran hak anak dari tahun ke tahun cenderung meningkat tahun 2007 terjadi 256 kasus dan pada tahun 2009 telah mencapai angka 350 kasus.

( Sumber : LSM LAda Bandar Lampung ).

Keadaan ekonomi yang sulit menyebabkan anak-anak berani melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, beberapa diantaranya ingin menghasilkan uang banyak melalui jalan pintas, menghalalkan segala cara dengan dalih untuk mencari sesuap nasi pun dilakukan. Hal ini mengakibatkan menurunnya moral dan etika masyarakat Indonesia yang masih kental dengan budaya timur. Sementara iming-iming berupa tawaran gaya hidup mewah pun makin gencar membuai, bahkan mengelabui sebagian masyarakat kita yang memanfaatkan tubuhnya untuk mendapatkan uang sebagai Pekerja Seks Komersial selanjutnya tentu tidak perlu dihitung lagi jumlahnya.

Pekerja seks komersial anak-anak di bawah umur/pelacur anak-anak di bawah umur merupakan kejahatan Pelacuran tersebut merupakan kejahatan, karena pelacuran sebagai tingkah laku manusia yang menyimpang dan selalu ada dalam kehidupan manusia, baik yang dilakukan oleh wanita dewasa maupun laki-laki.

Adapun arti dari masalah sosial adalah analisis tentang gejala-gejala kehidupan masyarakat. Pada dasarnya masalah sosial menyangkut nilai-nilai sosial dan moral. Masalah tersebut merupakan persoalan karena menyangkut tata kelakuan yang immoral, berlawanan dengan hukum dan bersifat merusak. Sebab itu masalah-masalah sosial tak akan mungkin ditelaah tanpa mempertimbangkan


(5)

3

ukuran-ukuran masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk, apalagi belakangan ini di zaman yang serba penuh kesulitan ekonomi.

Kerawanan terhadap eksploitasi anak sebagaimana yang dialami Indah yang baru berusia 15 tahun berdomisili di kota Bandar Lampung mengaku menjadi seorang pelacur untuk membiayai kehidupan sehari-hari. (www.tempointerkati.com).

Berdasarkan pengakuan Rani berumur 16 tahun perempuan yang berasal dari salah satu Kabupaten di luar Bandar Lampung mengaku sekolah di Bandar Lampung sembari menjadi pelacur untuk membiayai biaya sekolah. Fenomena yang dialami oleh Rani dan Indah adalah sekelumit peristiwa pelacuran di bawah umur yang tentunya sangat meresahkan dan membahayakan masa depan generasi bangsa. Payung hukum yang demikian terbatas tentu belum dapat memberikan perlindungan maksimal terhadap pelacuran di bawah umur.

Razia terhadap penyakit masyarakat yang dilakukan oleh Polisi Pamong Praja maupun secara gabungan ditemukan banyak para wanita tuna susila yang masih dikategorikan anak-anak, mereka berumur antara 14 tahun hingga 18 tahun (Surat Kabar Harian Radarlampung tertanggal 15 Oktober 2009). Razia yang dilakukan secara rutin juga belum menunjukkan penurunan angka prostitusi, pelaku yang diamankan oleh petugas merupakan para pemain lama yang sudah sering terjaring oleh petugas. Apabila dilihat dari razia yang dilakukan secara rutin namun penegakan hukum terlihat lamban tentu menimbulkan pertanyaan apa yang terjadi terhadap penegakan hukum pidana terhadap pelacuran anak di bawah umur.


(6)

Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak belum dapat mengakomodir perlindungan terhadap hak-hak anak secara utuh, banyaknya celah hukum yang dapat meloloskan para pelaku tindak kekerasan terhadap anak merupakan salah satu pemanfaatan untuk mengeksploitasi hak-hak anak. Undang-undang sebagai payung hukum yang tidak memadai ditambah dengan permasalahan penegakan hukum oleh aparat hukum yang dirasakan masih jalan di tempat.

Di lain pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai salah satu penegak hukum dan sebagai pintu pertama dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Dalam hal ini Kepolisian dalam menangani pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur seperti mendapat kesulitan, hal ini terjadi disebabkan berbagai faktor yang kurang mendukung dalam penegakan hukum di lapangan. Meskipun begitu sesuai dengan fungsi hukum yaitu untuk menjaga ketertiban, maka segala bentuk pelanggaran terhadap moral dan kesusilaan harus ditindak sesuai dengan tingkat pelanggarannya.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian mengenai penerapan hukum pidana terhadap pelacuran anak di bawah umur yang dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul ” Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelacuran Anak Dibawah Umur (Studi Pada Poltabes Bandar Lampung)”


(7)

5

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah pelaksanaan penegakkan hukum pidana terhadap pelacuran anak dibawah umur?

b. Apa sajakah faktor-faktor penghambat penegakkan hukum pidana terhadap pelacuran anak dibawah umur?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penulisan ini hanya terbatas pada masalah pelacuran anak dibawah umur dalam penegakkan hukum di wilayah Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung.

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan ini adalah :

a. Mengetahui Pelaksanaan Penegakan Hukum Pidana terhadap Pelacuran anak di bawah umur.

b. Mengetahui Faktor-Faktor Penghambat Penegakkan Hukum Pidana terhadap Pelacuran Anak di bawah umur.


(8)

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis diharapkan penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi kalangan hukum dalam mengembangkan dan memperluas ilmu pengetahuan dan dalam bidang hukum pada umumnya, dan khususnya hukum pidana.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Praktisi Hukum khususnya, serta kepada masyarakat umumnya untuk mengetahui dan turut serta berpartisipasi dalam penanggulangan pelacuran yang dilakukan oleh anak dibawah umur.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Menurut Soerjono Soekanto pengertian kerangka teori adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstarksi dari hal pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (1999 : 125)

Menurut Satjipto Raharjo pengertian penegakkan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakkan hukum (1987: 15).

Penegakkan hukum bukan semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian ”Law Enforcement” begitu populer. Bahkan


(9)

7

ada kecendrungan untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan pengadilan. Pengertian yang sempit ini jelas mengandung kelemahan, sebab pelaksanaan perundang-undangan atau putusan pengadilan, bisa terjadi malahan justru menggangu kedamaian dalam pergaulan hidup (Soerjono Soekanto, 1986: 5).

Adapun teori yang digunakan oleh penulis adalah : a. Teori Tentang Penegakan Hukum

Menurut Sudarto, Penegakkan Hukum dapat dibagi 3 (tiga) kerangka konsep, yakni :

1. Konsep penegakan hukum masalah Prevensi (Pencegahan) Penegakan hukum bidangnya luas sekali, tidak hanya bersangkut-paut dengan tindakan-tindakan apabila sudah ada atau ada persangkaan telah terjadi kejahatan, akan tetapi juga menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan;

2. Konsep penegakan hukum masalah Tindakan Represif. Tindakan Represif ialah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadi kejahatan atau tindak pidana;

3. Konsep penegakan hukum Tindakan Kuratif. Tindakan kuratif pada hakekatnya juga merupakan usaha preventif dalam arti yang seluas-luasnya, ialah dalam usaha penanggulangan kejahatan.

(1981: 181).

b. Teori Tentang Faktor Penghambat

Menurut Soerjono Soekanto (1983 :17) menjelaskan ada 5 (lima) Faktor-faktor penghambat penegakan hukum agar suatu kaedah hukum benar-benar berfungsi, yaitu :

1. Kaedah Hukum itu sendiri

Berlakunya kaedah hukum dalam masyarakat ditinjau dari kaedah hukum itu sendiri, menurut teori-teori hukum harus memenuhi tiga macam hal berlakunya kaedah hukum, yaitu :


(10)

a. Berlakunya secara yuridis, artinya kaedah hukum itu harus dibuat sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan sebagai syarat berlakunya suatu kaedah hukum.

b. Berlakunya secara sosiologis, artinya kaedah hukum itu dapat berlaku secara efektif, baik karena dipaksakan oleh penguasa walau tidak diterima masyarakat ataupun berlaku dan diterima masyarakat.

c. Berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Jika hanya berlaku secara filosofis maka kaedah hukum tersebut hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).

2. Penegak Hukum

Komponen yang bersifat struktural ini menunjukkan adanya kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum.. Lembaga-lembaga tersebut memiliki undang-undang tersendiri hukum pidana. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa komponen yang bersifat struktural ini memungkinkan kita untuk mengharapkan bagaimana suatu sistem hukum ini harusnya bekerja.

3. Fasilitas

Fasilitas dapat dirumuskan sebagai sarana yang bersifat fisik, yang berfungsi sebagai faktor pendukung untuk mencapai tujuan.

4. Masyarakat

Dapat dikatakan bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.


(11)

9

Artinya, jika derajat kepatuhan warga masyarakat terhadap suatu peraturan tinggi maka peraturan tersebut memang berfungsi.

5. Kebudayaan

Sebagai hasil karya, cipta, rasa didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

2. Konseptual

Menurut Soerjono Soekanto pengertian kerangka konsep adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah-istilah yang ingin diketahui (Soerjono Soekanto,1986:232).

a. Penegakkan Hukum, adalah suatu tindakan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta mendapat perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi, (Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak).

b. Pidana, adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. (Tri andrisman, 2007).

c. Pelacuran adalah gejala sosial, dimana wanita menyediakan dirinya untuk perbuatan seksual sebagai mata pencahariannya. (W.A. Bonger).

d. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Termasuk anak yang masih dalam kandungan, (Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak)


(12)

E. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan dalam membaca dan memahami isi skripsi ini, maka penulis menyusun kedalam 5 (lima) bab yang isinya mencerminkan susunan dari materi yang perinciannya sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang penulisan, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tentang pemahaman kepada pengertian-pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan, yaitu tentang pengertian pelacuran atau prostitusi, pengertian anak, pengertian penegakan hukum, faktor penghambat penegakan hukum pidana.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan metode penulisan, yaitu pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel dan metode pengumpulan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan yang memuat tentang penegakkan hukum pidana terhadap anak dibawah umur, faktor-faktor penghambat untuk menanggulangi terjadinya pelacuran anak di bawah umur.


(13)

11

V. PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan yang dapat diambil penulis dan saran-saran yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.


(14)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian – uraian yang telah disajikan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini dikemukakan beberapa kesimpulan dari hasil pembahasan tentang penegakan hukum pidana terhadap pelacuran anak di bawah umur yaitu :

1. Pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap pelacuran anak di bawah umur, yaitu dengan adanya Tindakan Represif dengan segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dengan cara melakukan razia secara rutin. selain itu juga dengan adanya tindakan pencegahan (Prevensi) melalui sarana non-penal yaitu dengan menjaga anak-anak jika sedang bermain .

2. Faktor penghambat dalam penelitian ini adalah adanya faktor hukum mengenai penggunaan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam menentukan sebuah acuan yang digunakan untuk memberikan hukuman oleh para penegak hukum sesuai dengan azaz yang ada. Dan faktor aparat penegak mengenai kurang propesionalnya Jaksa Penuntut Umum tidak menyadari bahwa sejak adanya Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, setiap perkara pelacuran anak di bawah umur dapat dikenakan sanksi


(15)

51

dengan Undang-Undang tersebut bukan dengan Pasal-Pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dan adanya Faktor Masyarakat Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, tetapi masyarakat melakukan perbuatan pelacuran di bawah umur di dalam lingkungannya.

B. Saran

Adapun saran yang diberikan penulis demi kelancaran dalam penegakan hukum di Indonesia adalah :

1. Aparat penegak hukum berkaitan dengan ini seharusnya menggunakan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam memberikan hukuman.

2. Meningkatkan pengetahuan aparat penegak hukum mengenai kejahatan dibidang apapun khususnya perbutan pelacuran anak yaitu dengan memahami lagi aturan – aturan yang dapat digunakan dalam penjatuhan pidana sehingga penegakan hukum dapat berjalan dengan baik dan terciptanya hukum yang adil.

3. Perlunya memberikan penyuluhan hukum yang lebih banyak lagi kepada masyarakat agar masyarakat dapat mencegah dan dapat meningkatkan pengetahuan akan hukum.

4. Perlunya memenuhi sarana dan prasarana yang menunjang kinerja aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan kewajibannya


(1)

a. Berlakunya secara yuridis, artinya kaedah hukum itu harus dibuat sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan sebagai syarat berlakunya suatu kaedah hukum.

b. Berlakunya secara sosiologis, artinya kaedah hukum itu dapat berlaku secara efektif, baik karena dipaksakan oleh penguasa walau tidak diterima masyarakat ataupun berlaku dan diterima masyarakat.

c. Berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Jika hanya berlaku secara filosofis maka kaedah hukum tersebut hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).

2. Penegak Hukum

Komponen yang bersifat struktural ini menunjukkan adanya kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum.. Lembaga-lembaga tersebut memiliki undang-undang tersendiri hukum pidana. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa komponen yang bersifat struktural ini memungkinkan kita untuk mengharapkan bagaimana suatu sistem hukum ini harusnya bekerja.

3. Fasilitas

Fasilitas dapat dirumuskan sebagai sarana yang bersifat fisik, yang berfungsi sebagai faktor pendukung untuk mencapai tujuan.

4. Masyarakat

Dapat dikatakan bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.


(2)

9

Artinya, jika derajat kepatuhan warga masyarakat terhadap suatu peraturan tinggi maka peraturan tersebut memang berfungsi.

5. Kebudayaan

Sebagai hasil karya, cipta, rasa didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

2. Konseptual

Menurut Soerjono Soekanto pengertian kerangka konsep adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah-istilah yang ingin diketahui (Soerjono Soekanto,1986:232).

a. Penegakkan Hukum, adalah suatu tindakan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta mendapat perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi, (Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak).

b. Pidana, adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. (Tri andrisman, 2007).

c. Pelacuran adalah gejala sosial, dimana wanita menyediakan dirinya untuk perbuatan seksual sebagai mata pencahariannya. (W.A. Bonger).

d. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Termasuk anak yang masih dalam kandungan, (Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak)


(3)

E. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan dalam membaca dan memahami isi skripsi ini, maka penulis menyusun kedalam 5 (lima) bab yang isinya mencerminkan susunan dari materi yang perinciannya sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang penulisan, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tentang pemahaman kepada pengertian-pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan, yaitu tentang pengertian pelacuran atau prostitusi, pengertian anak, pengertian penegakan hukum, faktor penghambat penegakan hukum pidana.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan metode penulisan, yaitu pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel dan metode pengumpulan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan yang memuat tentang penegakkan hukum pidana terhadap anak dibawah umur, faktor-faktor penghambat untuk menanggulangi terjadinya pelacuran anak di bawah umur.


(4)

11

V. PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan yang dapat diambil penulis dan saran-saran yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.


(5)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian – uraian yang telah disajikan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini dikemukakan beberapa kesimpulan dari hasil pembahasan tentang penegakan hukum pidana terhadap pelacuran anak di bawah umur yaitu :

1. Pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap pelacuran anak di bawah umur, yaitu dengan adanya Tindakan Represif dengan segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dengan cara melakukan razia secara rutin. selain itu juga dengan adanya tindakan pencegahan (Prevensi) melalui sarana non-penal yaitu dengan menjaga anak-anak jika sedang bermain .

2. Faktor penghambat dalam penelitian ini adalah adanya faktor hukum mengenai penggunaan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam menentukan sebuah acuan yang digunakan untuk memberikan hukuman oleh para penegak hukum sesuai dengan azaz yang ada. Dan faktor aparat penegak mengenai kurang propesionalnya Jaksa Penuntut Umum tidak menyadari bahwa sejak adanya Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, setiap perkara pelacuran anak di bawah umur dapat dikenakan sanksi


(6)

51

dengan Undang-Undang tersebut bukan dengan Pasal-Pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dan adanya Faktor Masyarakat Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, tetapi masyarakat melakukan perbuatan pelacuran di bawah umur di dalam lingkungannya.

B. Saran

Adapun saran yang diberikan penulis demi kelancaran dalam penegakan hukum di Indonesia adalah :

1. Aparat penegak hukum berkaitan dengan ini seharusnya menggunakan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam memberikan hukuman.

2. Meningkatkan pengetahuan aparat penegak hukum mengenai kejahatan dibidang apapun khususnya perbutan pelacuran anak yaitu dengan memahami lagi aturan – aturan yang dapat digunakan dalam penjatuhan pidana sehingga penegakan hukum dapat berjalan dengan baik dan terciptanya hukum yang adil.

3. Perlunya memberikan penyuluhan hukum yang lebih banyak lagi kepada masyarakat agar masyarakat dapat mencegah dan dapat meningkatkan pengetahuan akan hukum.

4. Perlunya memenuhi sarana dan prasarana yang menunjang kinerja aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan kewajibannya