Pelacuran Anak Di Bawah Umur Dalam Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Republik Indonesia (Studi Kasus Di Polsek Medan Baru)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Arief, Barda Nawawi., Kapita Selekta Hukum Pidana, Bab VII, Citra Aditya Bakti, 2003.

Chazawi, Adam., ”Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Belakunya Hukum Pidana”, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005.

Darajat, Dzakia., Pokok-Pokok Kesehatan Jiwa/Mental, Jilid I, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Gosita, Arif., Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: Akademi Pressindo, 1989. Harahap, M. Yahya., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedia, Jakarta: Sinar Grafika, 1985.

Kartono (I), Kartini., Pathologi Sosial I, Jakarta: CV. Rajawali, 1981.

______(II), Kartini., Pathologi Sosial 2, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persadda, 2008.

Kusumaatmadja, Mochtar., Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Cipta, Tanpa Tahun.

Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Naebklang, Manida., dit.ol., Ramlan, dan et.ol., Irwanto, Tanya & Jawab Tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak Sebuah Buku Saku Informasi Oleh ECPAT Internasional, Jakarta: Restu Printing-Indonesia, 2006.

Poernomo, Bambang., “Asas-Asas Hukum Pidana”, Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

Purnomo, Tjahjo., dan Ashadi Siregar., Membedah Dunia Pelacuran Surabaya Kasus Kompleks Pelacuran Dolly, Surabaya-Yogyakarta: PT. Grafiti Pers, 1982.

Saherodji, Hari., Pokok-Pokok Kriminologi, Jakarta: Aksara Baru, 1980.

Sarwono, Sarlito Wirawan., Psikologi Remaja, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.

Simanjuntak, B., Pengantar Kriminologi dan Sosiologi, Jakarta: Aksara Baru, 1984.

Siregar, Ashadi., Menyusuri Remang-Remang Jakarta, Jakarta: Sinar Harapan, 1979.

Soejono, D., Pelacuran Ditinjau Dari Segi Hukum dan Kenyataan Dalam Masyarakat, Bandung: PT. Karya Nusantara, 1977.


(2)

Soekanto, Soerjono., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Rajawali, 1983.

______Penegakan Hukum, Jakarta: Bina Cipta dan Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1983.

______Soerjono., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indonesia Hillco, 1990.

______Soerjono., dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan Singkat, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001.

Soemitro, Ronny Hanitijo., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

Soesilo, R.,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Pelita, 1994.

Sudarsono., Kenakalan Remaja, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975. ______Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Kejahatan, Bab XIII Prenada Group, 2008.

Waluyo, Bambang., Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Walgito, Bimo., Kenakalan Anak (Juvenile Delinguency), Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psykologi UGM, 1982.

Warassih, Esmi., Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: PT. Suryandaru Utama, 2005.

Yudho Purwoko., Memecahkan Masalah Remaja dari Masalah Agama Hingga Pergaulan dan Dari Masalah Seks Hingga Pernikahan, Bandung: Nuansa, 2001.

B. Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Peraturan Daerah (Perda) Nomor 06 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Susila di Kota Medan

C. Makalah dan Artikel

Pairulsyah, Abdul Syani., “Karakteristik Masyarakat Lampung dan Metode Penegakan Hukum”, Makalah, disampaikan pada Seminar Daerah oleh


(3)

Daerah Lampung dalam Konteks Kemandirian dan Era Otonomi Daerah”, Diselenggarakan Pada Tanggal 7 Februari 2002 di Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Siregar, Bismar., ”Masalah Penahanan dan Hukuman Terhadap Kejahatan Anak”, Dalam Majalah Hukum dan Pembangunan No. 4 Tahun X, Juli 1990. Sunarto., “Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Kepolisian Dalam Pantauan

Komunitas Pers Di Indonesia”, Makalah ini disampaikan pada kegiatan Seminar Nasional “Optimalisasi Profesionalisme Anggota POLRI dalam Rangka Reformasi Birokrasi Kepolisian” yang diselenggarakan oleh Kepolisian Daerah Jawa tengah bekerjasama dengan Fakultas Hukum Undiversitas Diponegoro pada Rabu, 16 Desember 2009.

D. Surat Kabar

Harian Medan Bisnis, Kamis, Tanggal 12 Juni 2008. Waspada, Tanggal 20 Mei 2008.

E. Internet

http://www.ham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1470%, diakses terakhir tanggal 16 Januari 2010.

http://almustamany.blogspot.com/2009/02/pelacuran-anak.html, diakses terakhir tanggal 21 Januari 2010.

http://himti.org/community/viewtopic.php?p=6473&sid=ec207cf558615148739, Prostitusi Anak Di Bawah Umur”, diakses terakhir tanggal 18 Januari 2010.

http://www.batamtoday.com/siteme/index.php?Polisi-Bongkar-Sindikat-

pelacuran-di-Bawah-Umur,-Siswi-SMP-Jadi-Pemuas-Nafsu&mod=search&cid=3&artid=8958&set=publish, oleh: Charles, “Polisi Bongkar Sindikat Pelacuran di Bawah Umur, Siswi SMP Jadi Pemuas Nafsu”, diakses terakhir tanggal 18 Januari 2010.

http://lifestyle.id.finroll.com/rumah-a-keluarga/25-berita-terkini/181080-lipsus-

fenomena-gunung-es-perdagangan-dan-pelacuran-anak.html?tmpl=component&print=1&page=, diakses terakhir tanggal 24 Februari 2010.


(4)

BAB III

PENEGAKAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP PELACURAN ANAK

DI BAWAH UMUR

A. Tindak Pidana Yang Diancamkan Terhadap Pelacuran Anak Di Bawah Umur

Perbuatan pelacuran khususnya pelacuran anak di bawah umur, tidak ada salah satu pasal pun yang mengancam perbuatan pelacuran tersebut. Akan tetapi yang diancam oleh hukum adalah bagi siapa saja yang menyediakan tempat pelacuran itu seperti yang disebutkan di dalam Pasal 296, Pasal 297, dan Pasal 506 KUH Pidana. Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut dicantumkan ancaman pidana atau ketentuan pidana bagi siapa saja yang melanggar hak-hak anak.

Jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka terhadap pelacuran anak di bawah umur merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak-hak asasi anak tersebut.

Oleh sebab itu, maka di dalam penelitian ini meneliti ketentuan ancaman pidana yang telah digariskan di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Mengenai ancaman pidana yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini terdapat pada Pasal 77 sampai dengan Pasal 90. Akan tetapi tidak semua pasal-pasal mengenai ketentuan pidana ini menjadi landasan untuk membahas pelacuran anak, tentu saja dilakukan pemilihan terhadap beberapa pasal tertentu yang berhubungan dengan pelacuran anak, pengekangan hak anak, perdagangan anak, kekerasan terhadap anak, dan


(5)

lain-lain. Pemilihan pasal-pasal tertentu pada ketentuan pidana tersebut dilakukan karena menurut peneliti pasal-pasal tersebut memiliki hubungan yang erat dan di dalam prakteknya sering diterapkan di pengadilan. Adapun pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 77 dinyatakan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan:

a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau

b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,

c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pada Pasal 77 ini tersirat bahwa jika dihubungan dengan perbuatan pelacuran anak di bawah umur dalam bentuk pemaksaan atau bahkan jebakan, dapat dimungkinkan terjadi penelantaran terhadap anak (Pasal 77 huruf b) sehingga anak terdiskriminasi dari pergaulan sosialnya, sehubungan dengan itu, maka ketentuan pidananya telah ditetapkan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 78

Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi


(6)

korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Terdapat kalimat di dalam Pasal 78 ini yakni ”anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan”. Ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak anak berhubungan dengan pelacuran anak melalui perdagangan anak. Menurut Pasal 78 ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 80

(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).


(7)

(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

Perbuatan pelacuran yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak di bawah umur tersebut bisa saja berbarengan dengan tindakan kekerasan melalui pemaksaan anak agar mau melakukan hubungan seks dengan orang dewasa tertentu, atau bahkan dipaksa oleh orang-orang yang berada di sekitarnya seperti ayah kandungnya, abangnya, pamannya dan lain-lain. Tidak jarang dijumpai bahwa wanita yang terlibat ke dalam pelacuran diri karena keinginan dirinya sendiri juga banyak mengalami tindak kekerasan pada saat melakukan hubungan seks bahkan sampai pada pemukulan terhadap wanita pelacur. Jika hal tersebut dilakukan terhadap pelacurnya anak yang di abwah umur, ini merupakan sesuatu yang sangat disesalkan dan bertentangan dengan hukum perlindungan anak. Sehubungan dengan kekerasan dan paksaan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan tersebut ditentukan ancaman sanksinya dalam Pasal 81 yakni sebagai berikut:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).


(8)

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Jika ditelaah mengenai ancaman pidana dan denda yang tersirat dalam Pasal 81 mengenai pemaksaan pelacuran terhadap anak melalui pemaksaan untuk melakukan persetubuhan, terlihat sesuatu perbedaan yang jelas dengan sanksi pidana dan denda yang ada pada pasal-pasal lainnya. Diskriminasi hak dan penelantaran anak seperti pada Pasal 77 ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun lebih tinggi sedikit dari ancaman pidana penjara pelacuran anak melakukan persetubuhan dengan orang dewasa dalam Pasal 81 akan tetapi denda dalam Pasal 81 ditentukan interval atau kisaran antara Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) sampai Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Hal ini membuka peluang penjatuhan sanksi denda melalui kong kali kong antara sesama aparatur hukum untuk memutuskan perkara pelacuran anak. Sementara jika diteliti lebih jauh aspek psikologis anak yang telah dipaksa melakukan persetubuhan dengan orang dewasa baik melalui perdagangan anak atau tidak sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak tersebut pada masa depannya. Di sinilah terdapatnya diskriminasi perlindungan anak itu masih sangat jauh dari harapan kita bersama karena Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak masih berat sebelah mengatur hak-hak anak yakni masih memihak terhadap sanksi yang ringan bagi pelaku yang melacurkan anak atau orang yang berbuat cabul terhadap anak tersebut.


(9)

Mungkin saja hal ini disebabkan karena di dalam KUH Pidana sendiri tidak diterlalu tegas ditentukan bagi pelaku yang melacurkan anak di abwah umur sehingga berakibat terhadap undang-undang yang berada di bawah KUH Pidana seperti Undang-Undang Nomo 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak masih sangat lemah pengaturannya.

Pasal 82

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 83

Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Dalam Pasal 83 ini jelas disebutkan perdagangan anak dimana perdagangan anak bisa saja bertujuan untuk pelacuran anak di luar wilayah atau di dalam wilayah itu sendiri. Sebagaimana diketahui jika melalui suatu perdagangan notabene yang diperdagangkan itu adalah manusia (anak dibawah umur), secara otomatis pembeli anak tersebut akan bisa bertindak sewenang-wenang terhadap


(10)

anak karena sudah merasa anak tersebut adalah miliknya. Jika anak tersebut dibeli untuk dilacurkan, maka tindak kekerasan, pemukulan akan seiring dan sejalan diterima si anak tersebut pada saat melakukan hubungan badan dengan laki-laki dewasa. Oleh karena itu, menurut Pasal 83 ini mengancam pelaku dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 84

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 85

(1) Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10


(11)

(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 88

Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pada Pasal 88 ini eksploitasi seksual anak untuk kepentingan ekonomi orang tertentu, jelas ancaman pidananya 10 (sepuluh) tahun akan tetapi dendanya dikurangi menjadi Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Di sini juga tidak mencerminkan asas perlindungan anak sebagi anak bangsa generasi penerus bangsa. Bagaimana bisa anak berkembang dengan baik jika anak tersebut telah berlanjut mengalami distorsi seperti perbuatan cabul terhadapnya yang tentunya akan mengganggu perkembangan jiwanya sebagai anak bangsa yang akan memberikan kontribusi pemikiran bagi kemajuan negara Indonesia.

Pasal 90

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau korporasinya.

(2) Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).


(12)

Sehubungan dengan itu, ada kalanya pelacuran dilakukan dalam bentuk korporasi, maka terhadap siapa yang bertanggung jawab ditentukan dalam Pasal 90 Ayat (1), akan tetapi sanksi pidana penjara tidak ditentukan dalam pasal ini hanya ditentukan mengenai sanksi denda saja yang dijatuhkan kepada pelaku yang kemudian diperberat dengan menambahnya 1/3 (sepertiga) dari sanksi denda yang telah ditentukan dalam pasal-pasal yang terkait sesuai dengan pasal-pasal yang dilanggar pelaku. Penambahan 1/3 (sepertiga) ini diterapkan dan dikenal dalam sisitem pemidanaan yang di anut di Indonesia yang dikenal dengan sistem pemidanaan relatif.

Apabila merujuk kepada substansi di dalam KUH Pidana sebagai lex generalis, di dalamnya sangat minim dan sederhana sekali kaidah yang berhubungan dengan pelacuran atau prostitusi. Tindak pidana yang berhubungan dengan masalah pelacuran termuat dalam Pasal 296 KUH Pidana, yakni, “Barang siapa yang pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000,-”.

Kemudian Pasal 297 KUHP, yaitu, “Memperniagakan perempuan dan memperniagakan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun”.

Pasal ini gunanya untuk memberantas orang-orang yang mengadakan bordir-bordir atau tempat-tempat pelacuran yang banyak terdapat di kota-kota besar. Bukan terhadap pelacurnya. Agar pelaku dapat dihukum harus dibuktikan, bahwa perbuatan itu menjadi pencahariannya atau kebiasaannya yang lebih dari


(13)

satu kali. Perbuatan cabul” Pasal 289 KUHP maksudnya adalah persetubuhan. Yang dikenakan dalam pasal ini misalnya orang yang menyediakan rumah atau kamarnya (dengan pembayaran atau lebih dari satu kali) kepada perempuan atau laki-laki untuk melacur (bersetubuh atau melampiaskan hawa nafsu kelaminnya dengan jalan lain) di situ. Biasanya untuk itu disediakan tempat tidur. Orang yang menyewakan rumah kepada orang perempuan yang kebetulan seorang pelacur dan tidak berhubungan dengan dia melakukan pelacuran di rumah itu; tidak dapat dikenakan pasal ini, oleh karena itu tidak ada maksud sama sekali untuk mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul, niatnya hanya menyewakan rumah.

Dalam Pasal 506 KUHP mengatur mengenai, “Barang siapa sebagai mucikari (souteneur) mengambil untung dari pelacuran perempuan, dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan”.

Memperhatikan Pasal 296, 297, 506 KUHP tersebut yang dapat dijumpai dalam KUH Pidana yang berhubungan dengan pelacuran dan prostitusi, ternyata mengenai si pelacurnya sendiri tidak secara tegas diancam oleh hukum pidana. Hal ini dimungkinkan bahwa pembuat undang-undang memahami pelacur sebagian besar justru adalah sebagai korban situasi, dan tempat penyaluran seks. Menghadapi kenyataan kehidupan manusia dan sifat-sifat alami, terutama kondisi seksual biologisnya. Ditunjau dari segi hukum, maka sekalipun terhadap germo, mucikari dan pedagang wanita telah tegas-tegas diancam dengan ancaman pidana, tetapi kenyataannya germo masih praktek terus, berarti hukum pidana kita juga dihadapkan pada dilema yang sama dalam kasus prostitusi secara universal.


(14)

Artinya hukum tetap mengancam germo, praktek berjalan terus ditambah lagi dengan pelacur-pelacur yang praktek sendiri tanpa germo. Bahkan korbannya anak di bawah umur juga ikut terjerumus hal ini disebabkan karena kurang tegasnya aparatur hukum khususnya kepolisian dalam menangani masalah pelacuran ini.

Tindakan represif yang mewujudkan pelaksanaan kaidah hukum pidana sesuai sanksi yang diancamkan, penerapan hukum pidana dalam mengatasi masalah pelacuran secara represif hasilnya relatif kecil dan suatu kepastian hukum yang berlaku tidak mampu ditegakkan sesuai rumusannya, seperti halnya yang terdapat di dalam Pasal 506 KUHP yang merumuskan bahwa, “Seseorang yang terbukti menjalankan kegiatan mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan”.

Tindak pidana yang diancamkan Pasal 506 KUHP termasuk tindak pidana ringan, adapun pemeriksaan acara ringan, undang-undang tidak menjelaskan, akan tetapi undang-undang menentukan patokan dari segi “ancaman pidananya”. Untuk menentukan apakah suatu tindak pidana diperiksa dengan acara ringan, bertitik tolak pada ancaman tindak pidana yang didakwakan. Secara generalisasi, ancaman tindak pidana yang menjadi ukuran dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan, diatur dalam Pasal 205 Ayat (1) KUHAP, yakni:

1. Tindak pidana yang ancamannya “paling lama 3 bulan” penjara atau kurungan;

2. Denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,00; dan


(15)

Fenomena yang terjadi di dalam masyarakat mengenai pelacuran yang dilakukan

Dalam KUH Pidana tidak dijumpai satu pasal pun mengenai perbuatan pelacuran anak akan tetapi yang ada adalah pasal yang mengenai perbuatan cabul dan tidak jelas apakah anak-anak atau dewasa. Oleh karena KUH Pidana tidak secara tegas dan jelas mengatur mengenai sanksi pidana yang diancamkan terhadap pelaku pelacuran anak-anak di bawah umur ini, maka harus berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai lex spesialist. Undang-undang yang khusus dapat mengenyampingkan undang-undang yang lebih umum, ini dikenal dalam sistem pidana di Indonesia yang lebih lengkapnya dikenal dengan lex spesialist derogat lex generalist.71

B. Peneraan Beberapa Undang-Undang Mengenai Perlunya Anak

Dilindungi Dari Pelacuran

Untuk melindungi hak-hak anak dari perbuatan melacurkan anak dilakukan segala daya upaya secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan untuk mengusahakan pengamanan, penguasaan, pemenuhan kesejahteraan fisik, mental dan sosial anak, yang sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya.

Segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perorangan, keluarga masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta tersebut terhadap anak yang berusia 0-21 tahun, tidak dan belum pernak menikah sesuai dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungin.

71


(16)

Sebelum mengkaji beberapa undang-undang yang berhubungan dengan perlindungan terhadap hak anak, terlebih dahulu diketahui apa sebenarnya maksud dari hukum perlidungan anak itu sendiri. Hukum Perlindungan anak dikemukakan oleh beberapa ahli hukum berikut ini.

Menurut Arif Gosita, “Hukum perlindungan anak adalah hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya”.72 Bismar Siregar, menyebutkan bahwa, “Hukum perlindungan anak lebih dipusatkan kepada hak-hak anak yang diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara hukum (yuridis) anak belum dibebani kewajiban”.73

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan Anak

Berdasarkan pengertian mengenai hukum perlindungan anak tersebut di atas, dapat diketahui bahwa, hukum perlindungan anak tersebut adalah sebagai keseluruhan ketentuan hukum yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak setiap anak, seperti yang diatur Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tetang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan

72

Arif Gosita., Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademi Pressindo, 1989), hal. 10. 73


(17)

anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.

Upaya perlindungan terhadap hak-hak anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan terhadap hak-hak setiap anak.

Pada Pasal 1 Ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak yang dimaksud dalam Pasal 1 tersebut harus memperoleh perlindungan dari segala bentuk tindakan yang mengancam hak-hak anak. Perbuatan melacurkan anak merupakan salah satu bentuk yang mengancam hak anak tersebut. Oleh karena itu harus dilindungi hal ini dilakukan mengingat anak adalah generasi penerus bangsa yang memiliki masa depan yang masih panjang untuk berkontribusi terhadap negara Republik Indonesia. Sejalan dengan itu, Pasal 1 Ayat (2) disebutkan bahwa, “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.


(18)

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur beberapa hak setiap anak yang wajib untuk dilindungi, hak-hak anak tersebut diuraikan dari beberapa pasal dalam undang-undang perlindungan anak tersebut adalah sebagai berikut:

a. Berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).

b. Berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5).

c. Berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua (Pasal 6).

d. Berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 7).

e. Berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8).

f. Berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak


(19)

memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus (Pasal 9).

g. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10).

h. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal 11).

i. Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12). j. Berhak mendapat perlindungan dari perlakuan, diskriminasi, eksploitasi,

baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya (Pasal 13). k. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika

ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir (Pasal 14).

l. Berhak untuk memperoleh perlindungan dari, penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan pelibatan dalam peperangan (Pasal 15).


(20)

m. Berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum, penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (Pasal 16).

n. Berhak untuk, mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17).

o. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18).

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Pasal 1 Ayat (2) dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Anak yang belum mencapai umur 21 tahun dinyatakan dalam undang-undang ini harus mendapatkan perlindungan hak-haknya melalui pengusahaan kesejahteraan anak tersebut. Kesejahteraan Anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik


(21)

secara rohani, jasmani maupun sosial (Pasal 1 huruf a). Usaha Kesejahteraan anak ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak.

Hak-hak anak yang ditentukan dalam undang-undang ini harus dilindungi. Hak-hak anak tersebut ditentukan dalam Pasal 2 yakni:

(1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

(2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna.

(3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

(4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tetang Hak Asasi Manusia.

Sebenarnya anak masih mempunyai jiwa labil dan rentan, oleh sebab itu sangat wajar ada ketentuan yang mengatur tentang perlindungan anak yang sesuai dengan konsep dasar Hak Asasi Manusia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang-undang ini merupakan perwujudan untuk melindungi hak-hak anak dan juga peraturan lain yang berhubungan dengan hak anak.


(22)

Perlindungan hak asasi anak adalah meletakkan hak anak ke dalam status sosial anak dalam kehidupan masyarakat, sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan anak yang mengalami masalah sosial. Perlindungan dapat diberikan pada hak-hak dalam berbagai cara. Proses perlindungan anak dimaksud disebut dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 terdapat pada Pasal 52 sampai dengan Pasal Pasal 66 dinyatakan beberapa hak-hak anak yang harus dilindungi oleh setiap orang. Hak-hak anak tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 52

(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.

(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Pasal 53

(1) Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.

(2) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan.

Pasal 54

Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


(23)

Pasal 55

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.

Pasal 56

(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuannya sendiri.

(2) Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 57

(1) Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua tua atau walinya sampai dewasa dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua.

(3) Orang tua angkat attau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya.


(24)

(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atai pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuh anak tersebut. (2) Dalam hal oorang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk

penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.

Pasal 59

(1) Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alas an dan atauran yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak.

(2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang.

Pasal 60

(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.


(25)

(2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dam memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepattutan. Pasal 61

Setiap anak berhak untuk istirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.

Pasal 62

Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan social secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mentak spiritualnya.

Pasal 63

Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristwa lain yang mengandung unsur kekerasan.

Pasal 64

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membehayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.

Pasal 65

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotopika, dan zat adiktif lainnya.


(26)

Pasal 66

(1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

(2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak.

(3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.

(4) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang belaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.

(5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.

(6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.

(7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

Sehubungan dengan penelitian ini mengenai pelacuran anak di bawah umur yang menjadi korban terdapat pada Pasal 65 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa kegiatan eksploitasi dan


(27)

pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotopika, dan zat adiktif lainnya. Selain itu masih banyak hak-hak anak yang harus dilindungi. Secara otomatis dalam setiap kasus pelacuran anak melalui paksaan, maka banyak sekali hak-hak anak yang telah dilanggar jika dihubungkan dnegan beberapa pasal-pasal yang tersebut di atas seperti pengekangan atas kemerdekaannya, pendidikan, nama baik anak, masa depannya dan lain-lain. Oleh karena itu, terhadap setiap pelanggaran hak-hak anak yang dilakukan oleh orang-orang tertentu mesti harus dilindungi melalui penegakan hukum dengan mempertimbangkan terlebih-lebih kepada anak sebagai korban.

C. Penegakan Hukum Yang Dilakukan Oleh Kepolisian Republik Indonesia Terhadap Pelacuran Anak

Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi.74

74

Sunarto., “Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Kepolisian Dalam Pantauan Komunitas Pers Di Indonesia”, Makalah ini disampaikan pada kegiatan Seminar Nasional “Optimalisasi Profesionalisme Anggota POLRI dalam Rangka Reformasi Birokrasi Kepolisian” yang diselenggarakan oleh Kepolisian Daerah Jawa tengah bekerjasama dengan Fakultas Hukum Undiversitas Diponegoro pada Rabu, 16 Desember 2009, hal. 3. (Bertempat di Ruang Rama Shinta Hotel Patra Jalan Sisingamangaraja Semarang. Alamat korespondensi sunartoo@yahoo.com. Sunarto adalah adalah dosen Program Magister Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Diponegoro).

Demikian dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Fungsi kepolisian merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 2). Kepolisian bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya


(28)

keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (Pasal 4).

Fungsi dan tujuan kepolisian semacam itu kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam tugas pokok kepolisian yang meliputi: (1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (2) menegakkan hukum; dan (3) memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 13).

Dalam melaksanakan tugas pokoknya tersebut, Pasal 14 menyatakan, kepolisian bertugas untuk: (a) melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; (b) menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan; (c) membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; (d) turut serta dalam pembinaan hukum nasional; (e) memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; (f) melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; (g) melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; (h) menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; (i) melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat


(29)

dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; (j) melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; (k) memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; (l) melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya Pasal 15 menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugasnya tersebut kepolisian berwenang untuk: (a) menerima laporan dan/atau pengaduan; (b) membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; (c) mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; (d) mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; (e) mengeluarkan peraturan kepolisian dalm lingkup kewenangan administratif kepolisian; (f) melaksakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; (g) melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; (h) mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; (i) mencari keterangan dan barang bukti; (j) menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; (k) mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; (l) memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; (m) menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.


(30)

Semua wewenang di atas masih ditambahkan beberapa wewenang lainnya, antara lain: (a) memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; (b) menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; (c) memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; (d) menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; (e) memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak dan senjata tajam; (f) memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan; (g) memberikan petunjuk, mendidik dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; (h) melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional; (i) melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; (j) mewakili pemerintah RI dalam organisasi kepolisian internasional; (k) melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

Dalam rangka menjalankan tugasnya, kepolisian masih diberikan wewenang lain, yaitu: (a) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledehan dan penyitaan; (b) melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; (c) membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; (d) menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; (e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; (f) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (g) mendatangkan orang ahli yang


(31)

diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (h) mengadakan penghentian penyidikan; (i) menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; (j) mengajukan permintaan secara langsung kepada imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; (k) memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; (l) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Ketentuan terkait “tindakan lain” tersebut menyatakan: (a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; (b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; (c) harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; (d) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; (e) menghormati hak asasi manusia.

Terkait dengan pejabat kepolisian, Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan, untuk kepentingan umum pejabat kepolisian negara RI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri (Ayat 1). Pelaksanaan ayat ini hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi kepolisian negara (Ayat 2). Selanjutnya dikatakan dalam Pasal 19, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat kepolisian senantiasa bertindak berdasarkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (Ayat 1).


(32)

Demikianlah antara lain cakupan 3 (tiga) macam tugas pokok dan fungsi kepolisian yang dijabarkan lebih lanjut dalam 12 macam tugas dengan dibekali sebanyak 36 wewenang untuk melaksanakan semua tugas tersebut. Wewenang sebanyak itu masih juga diberi “kewenangan lain” (Pasal 15 Ayat 2 poin k) yang masih dalam lingkup tugas kepolisian. Dalam penjelasan masing-masing pasal ketentuan tersebut dikatakan “Cukup jelas”.

Persoalan dalam penelitian ini, untuk menjawab permasalahan pokok terkait dengan tugas kepolisian berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penegakan hukum terhadap pelacuran. Pelacuran yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah pelacuran terhadap anak di bawah umur yang melanggar hak-hak anak sebagaimana yang telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana merupakan ujung tombak di lapangan dalam penegakkan hukum peraturan perundang-undangan, bahkan banyak masyarakat yang beranggapan bahwa POLRI adalah hukum yang hidup dan orang awam pun bila ditanya hukum akan dijawab POLRI, karena POLRI yang selalu melakukan teguran, menilang dan tindakan upaya paksa bagi setiap warga dan masyarakat yang melakukan pelanggaran hukum. Berfungsinya hukum di lapangan sangat ditentukan oleh POLRI dalam mengadakan rekayasa sosial, bahkan ada seorang pakar mengatakan setiap ada undang-undang baru, hampir dapat dipastikan bahwa


(33)

pekerjaan polisi akan bertambah. Seorang hakim baru bekerja apabila ada perkara yang diajukan kepadanya, tetapi polisi sudah harus bertindak begitu ada undang-undang dikeluarkan dan dinyatakan berlaku.75

Menurut Mardjono Reksodiputro dan Sri Boediarti, bahwa tugas kepolisian yang banyak adalah menangani kejahatan konvensional. Kejahatan konvensional juga disebut sebagai kejahatan yang tradisional, karena landasan terdapat dalam KUH Pidana, dan dilakukan dengan cara biasa. Welfare Crimes pada dasarnya merupakan konvensional crimes, tetapi crimes tersebut meningkat karena adanya kemakmuran masyarakat. Dengan semakin makmurnya masyarakat, maka kejahatan semakin sulit dalam pengawasan dan penindakannya, karena memerlukan keterpaduan fungsi dan political will pemerintah. Kejahatan akibat kemakmuran ini adalah penyalahgunaan Narkotika dan obat-obatan keras, kanakalan dan kejahatan anak, perjudian, pelacuran dan pemabukan.76

Pasal 1 ayat(1) KUHP ini merupakan perundang-undangan modern yang menuntut, bahwa ketentuan pidana harus ditetapkan dalam undang-undang yang sah, yang berarti bahwa larangan-larangan menurut adat tidak berlaku untuk

POLRI sebagai salah satu aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, dalam melaksanakan tugasnya selalu berpatokan pada hukum yang berlaku. Hal ini sesuai dengan asas yang terdapat di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu Asas Legalitas yang berbunyi, “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”.

75

Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Jakarta: Bina Cipta dan Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1983), hal. 32.

76


(34)

menghukum orang. Selanjutnya menuntut pula, bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang tidak dapat dikenakan kepada perbuatan yang telah dilakukan sebelum ketentuan pidana dalam undang-undang itu diadakan. Ini berarti, bahwa undang-undang tidak mungkin berlaku surut (mundur). “Nullum delictum sine praevia lege poenali”, artinya “peristiwa pidana tidak akan ada, jika ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu”.77

Mengenai rumusan pasal tersebut R. Soesilo memberi komentar demikian:

Apabila kepolisian hanya terpaku pada asas legalitas formal, maka pelacuran tidak dapat tersentuh oleh hukum pidana sebagai sarana penal dalam penanggulangan kejahatan, karena apabila merujuk kepada substansi di dalam KUH Pidana, di dalamnya sangat minim dan sederhana sekali kaidah yang berhubungan dengan pelacuran atau prostitusi. Tindak pidana yang berhubungan dengan masalah pelacuran termuat dalam Pasal 296 KUH Pidana, yakni, “Barang siapa yang pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000,-”.

Kemudian pasal yang berkaitan dengan Pasal 296 KUH Pidana adalah Pasal 297 KUHP, yaitu, “Memperniagakan perempuan dan memperniagakan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun.”

78

1. Pasal ini gunanya untuk memberantas orang-orang yang mengadakan bordir-bordir atau tempat-tempat pelacuran yang banyak terdapat di kota-kota besar.

77


(35)

2. Supaya dapat dihukum harus dibuktikan, bahwa perbuatan itu menjadi pencahariannya (dengan pembayaran) atau kebiasaannya (lebih dari satu kali).

3. Tentang “Perbuatan Cabul” (Pasal 289 KUHP), disini termasuk persetubuhan.

4. Yang dikenakan dalam pasal ini misalnya orang yang menyediakan rumah atau kamarnya (dengan pembayaran atau lebih dari satu kali) kepada perempuan atau laki-laki untuk melacur (bersetubuh atau melampiaskan hawa nafsu kelaminnya dengan jalan lain) disitu. Biasanya untuk itu disediakan tempat tidur. Orang yang menyewakan rumah kepada orang perempuan yang kebetulan seorang pelacur dan tidak berhubungan dengan dia melakukan pelacuran di rumah itu; tidak dapat dikenakan pasal ini, oleh karena itu tidak ada maksud sama sekali untuk mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul, niatnya hanya menyewakan rumah.

5. Bandingkan dengan Pasal 506 KUHP. Dalam Pasal 506 KUHP mengatur mengenai, “Barang siapa sebagai mucikari (souteneur) mengambil untung dari pelacuran perempuan, dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan”.

Memperhatikan Pasal 296, 297, 506 KUHP tersebut yang dapat dijumpai dalam KUH Pidana yang berhubungan dengan pelacuran dan prostitusi, ternyata mengenai si pelacurnya sendiri tidak secara tegas diancam oleh hukum pidana. Hal ini dimungkinkan bahwa pembuat undang-undang memahami pelacur sebagian besar justru adalah sebagai korban situasi, dan tempat penyaluran seks. Menghadapi kenyataan kehidupan manusia dan sifat-sifat alami, terutama kondisi seksual biologisnya. Ditunjau dari segi hukum, maka sekalipun terhadap germo, mucikari dan pedagang wanita telah tegas-tegas diancam dengan ancaman pidana, tetapi kenyataannya germo masih praktek terus, berarti hukum pidana kita juga dihadapkan pada dilema yang sama dalam kasus prostitusi secara universal. Artinya hukum tetap mengancam germo, praktek berjalan terus ditambah lagi dengan pelacur-pelacur yang praktek sendiri tanpa germo. Bahkan korbannya anak di bawah umur juga ikut terjerumus hal ini disebabkan karena kurang


(36)

tegasnya aparatur hukum khususnya kepolisian dalam menangani masalah pelacuran ini.

Tindakan represif yang mewujudkan pelaksanaan kaidah hukum pidana sesuai sanksi yang diancamkan, penerapan hukum pidana dalam mengatasi masalah pelacuran secara represif hasilnya relatif kecil dan suatu kepastian hukum yang berlaku tidak mampu ditegakkan sesuai rumusannya, seperti halnya yang terdapat di dalam Pasal 506 KUHP yang merumuskan bahwa, “Seseorang yang terbukti menjalankan kegiatan mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan”.

Tindak pidana yang diancamkan Pasal 506 KUHP termasuk tindak pidana ringan, adapun pemeriksaan acara ringan, undang-undang tidak menjelaskan, akan tetapi undang-undang menentukan patokan dari segi “ancaman pidananya”. Untuk menentukan apakah suatu tindak pidana diperiksa dengan acara ringan, bertitik tolak pada ancaman tindak pidana yang didakwakan. Secara generalisasi, ancaman tindak pidana yang menjadi ukuran dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan, diatur dalam Pasal 205 Ayat (1) KUHAP, yakni:

1. Tindak pidana yang ancamannya “paling lama 3 bulan” penjara atau kurungan;

2. Denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,00; dan

3. Penghinaan ringan yang dirumuskan dalam Pasal 315 KUHP.

Fenomena yang terjadi di dalam masyarakat mengenai pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur, khususnya di Kecamatan Medan Baru, Kepolisian Negara Republik Indonesia Polsekta Medan Baru yang membawahi


(37)

wilayah tersebut mempunyai tugas seperti yang telah dipaparkan di atas untuk menegakkan hukum dalam wilayah hukum tersebut, namun untuk masalah pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur, Kapolsek Medan Baru menyatakan bahwa dalam mencegah dan menangani pelacuran khususnya pelacuran yang dilakukan oleh anak dibawah umur oleh kepolisian medan baru melakukan ”Razia Kasih Sayang”.79

Polsekta Medan Baru pun ternyata dihadapkan pada kesulitan dalam upaya penegakkan hukum untuk menghadapi masalah pelacuran ini, karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) yang sekarang berlaku tidak ada pengaturan mengenai pelaku pelacuran itu sendiri, sehingga apabila dikaitkan kepada pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur, maka harus merujuk kepada induk dari tindak pidana yakni di dalam KUH Pidana. Sedangkan KUH Pidana sendiri tidak mencantumkan pelaku pelacuran atau kegiatan melacurkan diri sebagai suatu tindak pidana, maka pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur tidak dapat di katakan pula sebagai suatu tindak pidana. Masalah pelacuran khususnya yang dilakukan oleh anak di bawah umur ini memang sulit Penegakkan hukum yang dilakukan oleh kepolisian terhadap pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur yaitu dalam upaya menjaga ketertiban di wilayah kota Medan khususnya wilayah Kecamatan Medan Baru terhadap para pelacur yang biasa berkeliaran di jalan-jalan umum seperti jalan-jalan Iskandar Muda, Jalan Nibung Raya, Jalan Gatot Subroto, Jalan Gajah Mada, dan lain-lain.

79


(38)

sekali untuk ditangani tidak seperti kejahatan konvensional seperti pencurian, pembunuhan dan lain-lain.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 angka 2 Anak Nakal adalah:

a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Undang-Undang Pengadilan Anak tersebut tidak dapat menjangkau masalah pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur, karena dalam pengertian mengenai anak nakal yang pertama, yaitu anak yang melakukan tindak pidana, maka anak di bawah umur yang melacurkan diri tidak dapat dikatakan sebagai anak nakal, karena di dalam KUH Pidana tidak ada aturan mengenai tindak pidana pelacuran. Kemudian dalam pengertian yang kedua yang dimaksud dengan anak nakal adalah anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undagan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pengertian yang kedua pun tidak dapat menjangkau anak yang melacurkan dirinya sendiri karena ketentuannya kurang jelas. Sampai saat ini tidak ada peraturan perundang-undangan yang merumuskan secara tegas bahwa melacurkan diri khususnya bagi anak itu dilarang, yang ada hanya mengenai perlindungan anak secara khusus, yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun


(39)

2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 1 angka 15 undang-undang tersebut menyatakan, bahwa perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan, baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Dalam Undang-Undang Perlidungan Anak terdapat rumusan mengenai, “Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual”, namun uraian tersebut hanya mengacu kepada orang yang melakukan eksploitasi terhadap anak, jadi yang dimaksud sebenarnya adalah anak yang dijadikan korban oleh orang lain yang mengambil keuntungan dari eksploitasi seksual anak tersebut.

Uraian yang terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan Anak Pasal 1 angka 2 huruf b, “Maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.” Dalam hal ini terlalu sempit karena berarti hanya masyarakat yang terdapat di dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Misalkan saja lingkungan masyarakat di wilayah prostitusi misalnya di Bendar Baru (Berastagi), mereka tidak merasa bahwa melacurkan diri melanggar hukum yang berlaku di dalam masyarakat atau bertentangan dengan kebiasaan masyarakat disana, karena bagi mereka hal tersebut sudah menjadi kebiasaan dan sebagian menjadikannya sebagai mata pencaharian mereka.


(40)

Penegakkan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap pelacuran yang dilakukan oleh anak dibawah umur di Kecamatan Medan Baru, Kota Medan hanya sebatas menjaga ketertiban dan keamanan di wilayah tersebut, serta penertiban terhadap pelacur yang berusia di bawah umur yang berkeliaran di jalan-jalan ataupun tempat hiburan malam. Selain itu khusus di wilayah Bandar Baru (Berastagi) yang biasanya terdapat para tamu yang datang untuk berkencan dengan para pelacur yang berusia di bawah umur banyak terdapat di sana, akan tetapi Polisi hanya mempunyai kewajiban untuk menjaga keamanan wilayah tersebut dari berbagai macam gangguan, baik itu berasal dari rumah bordir itu sendiri maupun dari para tamu yang datang.

Secara konsepsional inti dan arti penegakkan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penjabaran secara kongkrit terjadi di dalam bentuk kaidah-kaidah, dalam hal ini kaidah-kaidah hukum, yang berisikan suruhan, larangan atau kebolehan. Namun penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti melaksanakan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga “law enforcement” begitu populer. Berarti penegakkan hukum yang dimaksud di sini selain mejalankan peraturan perundang-undangan, juga hukum dalam arti luas yaitu hukum secara materiil. Dilihat sebagai suatu proses kebijakan, penegakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan penegakkan kebijakan melalui beberapa tahap yaitu tahap formulasi,


(41)

tahap aplikasi dan tahap eksekusi. Kepolisian sebagai salah satu aparat penegak hukum bertindak pada tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana.

Sedangkan penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur di Kecamatan Medan Baru Kota Medan tidak dapat dilaksanakan secara maksimal dalam arti menerapkan hukum terhadap para pelacur yang berusia di bawah umur, sedangkan undang-undang yang mengatur tentang pelacuran khususnya anak di bawah umur tidak ada, walaupun terhadap germo dan para penyalur wanita untuk dijadikan pelacur, terdapat dalam undang-undang (KUH Pidana) tetap tidak dapat juga diberantas. Ini menunjukkan bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian terhadap pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur tidak dapat berjalan dengan baik.

Salah satu usaha penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak Kepolisian terhadap pelacuran anak di bawah umur dalam hal ini Polsekta Medan Baru ialah mendata para pelacur dan melakukan razia-razia razia yang dilakukan itu dinamakan ”Razia Kasih Sayang”. Selain razia yang dilakukan terhadap pelacur yang berusia di bawah umur yaitu di bawah 18 tahun, razia pun dilakukan terhadap mucikari yang menjadi penyedia pelacur, namun razia ini menjadi tidak efektif karena setelah ditangkap oleh Kepolisian kemudian diperiksa dan diadili oleh Pengadilan melalui acara pemeriksaan cepat, lalu mereka kembali lagi ke tempat semula. Selain itu juga sering terjadi kebocoran-kebocoran yang disebabkan oleh oknum yang memberitahukan kepada para pelacur dan


(42)

mucikarinya apabila akan ada razia sehingga mereka mempersiapkan diri sebelumnya untuk bubar dan memisahkan diri.

Dalam upaya penegakan hukum terhadap pelacuran anak di bawah umur Polsekta Medan Baru diawasi oleh Polwiltabes Medan juga dalam melakukan razia-razia ke tempat-tempat hiburan, sekolah-sekolah, dan penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul, gambar-gambar porno, film-film biru (blue) dan sarana-sarana lain yang dapat merangsang nafsu birahi serta merusak moral. Tindakan represif dalam menangani pelacuran ini dilakukan bersama-sama secara terkoordinasi di antara instansi terkait. Walaupun kadang-kadang secara langsung melakukan razia sendiri karena sifatnya mendadak.

Menangani masalah pelacuran memang tiada pernah henti dan sulit sekali ditanggulangi, karena hal ini bukan saja menjadi tanggung jawab Kepolisian saja, tetapi merupakan tanggung jawab bersama khususnya masyarakat sekitar. Kapolsek Medan Baru pun menambahkan banyaknya pelacuran anak di bawah umur dikarenakan faktor ekonomi, sehingga mencari jalan pintas untuk mendapatkan uang secara mudah dan cepat. Selain itu Humas Polsekta Medan Baru menambahkan bahwa sudah menjadi kebudayaan dan kebiasaan yang turun temurun, dan sebagian besar pelacur-pelacur itu berasal dari wilayah di luar kota medan seperti tembung, binjai, deli tua, belawan, dan bahkan dari tanah jawa.

Kepolisian mempunyai tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Jadi kepolisian khususnya Polsekta Medan Baru karena mendapat kesulitan dalam menangani masalah


(43)

pelacuran khususnya pelacuran anak di bawah umur, maka upaya lain yang dapat dilakukan adalah melakukan pengamanan dan menjaga ketertiban di lingkungan tersebut, karena tidak sedikit juga gangguan yang terjadi seperti di wisma-wisma yang ada di Nibung Raya baik dari ulah tamunya sendiri maupun pihak lain yang mengganggu ketertiban dan keamanan lingkungan tersebut.


(44)

BAB IV

STRATEGI PENANGGULANGAN TERHADAP PELACURAN ANAK DI BAWAH UMUR OLEH POLSEK MEDAN BARU

A. Peran Serta Pemerintah Daerah Dalam Melakukan Langkah-Langkah Penanggulangan Pelacuran Anak Di Bawah Umur

Sebagai konsekuensi bahwa dari segi hukum baik hukum perkawinan maupun hukum pidana, tersirat bahwa pelacuran tidak dapat dilenyapkan, yang disebabkan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, khususnya dihadapkan dengan sifat-sifat alami manusia. Hukum tidak mampu secara langsung menindak agar pelacuran dapat dihentikan, di sisi lain pelacuran sebagai gaya sosial dapat menimbulkan berbagai akibat yang membahayakan baik untuk individu yang bersangkutan, keluarga dan akhirnya adalah masyarakat. Menghadapi kenyataan ini Pemerintah Daerah Sumatera Utara (Pemdasu) mengambil langkah-langkah untuk mengatasi bertambahnya jumlah pelacuran dan mencegah akibat-akibat yang timbul karena pelacuran.

Pemerintah Daerah Sumatera Utara dihadapkan pada permasalahan yang bukan hanya pelacuran yang dilakukan oleh orang dewasa saja, melainkan banyaknya timbul pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur, Pemerintah Daerah Kotamadya Medan telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 06 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Susila di Kota Medan.

Pada Pasal 1 huruf h dinyatakan bahwa, “Tuna susila adalah seseorang yang melakukan hubungan kelamin tanpa ikatan perkawinan yang sah dengan mendapatkan imbalan jasa financial maupun materil bagi dirinya maupun pihak


(45)

lain dan perbuatan tersebut bertentangan dengan norma sosial, agama dan kesusilaan (termasuk di dalamnya wanita tuna susila, mucikari, gigolo, dan waria tuna susila). Orang-orang tuna susila tersebut memilih sebuah tempat yang strategis dan bukan saja jauh dari keramaian bahkan sudah masuk ke pusat kota Medan. Tempat tersebut dijadikan hanya untuk sementara saja bukan sebagai tempat tinggal para pelacur. Akan tetapi ada juga tempat yang sekaligus sebagai tempat tinggal bagi mucikari dan gigolo seperti yang ada di daerah Berastagi. Tempat yang digunakan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 huruf i bahwa, “Tempat tuna susila adalah tempat yang digunakan untuk melakukan atau menampung perbuatan praktek pelacuran baik yang bersifat tetap maupun besifat sementara.”

Selain itu, Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Daerah (Perda) Nomor 06 Tahun 2003 tersebut Pemerintah Daerah berkewajiban menyelenggarakan ketertiban umum dengan menggariskan pengaturan mengenai perbuatan pelacuran yang menggangu norma umum di kota Medan. Selengkapnya berbunyi, ”Dilarang membujuk atau memikat orang lain dengan dengan perkataan-perkataan dan isyarat dan atau dengan perbuatan lainnya dengan maksud mengajak melakukan perbuatan pelacuran di jalan umum dan atau tempat yang diketahui/dikunjungi oleh orang lain baik perorangan atau beberapa orang.

Selanjutnya Pasal 3 Ayat (3) Peraturan Daerah (Perda) Nomor 06 Tahun 2003 mengatur mengenai pengawasan dan pembinaan penyelenggaraan ketertiban sebagaimana digariskan bahwa, ”Teknis penanggulangan gelandangan dan


(46)

pengemis serta tuna susila akan diatur lebih lanjut dengan keputusan kepala daerah.”

Selanjutnya dalam Pasal 4 disebutkan bentuk kegiatan dalam hal pembinaan terhadap para pelacur, selengkapnya berbunyi, “Pemerintah daerah melakukan pembinaan terhadap gelandangan dan pengemis serta tuna susila berupa kegiatan yang berbentuk dan mencakup keterampilan-keterampilan serta keahlian lainnya.”

Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Daerah (Perda) Nomor 06 Tahun 2003 mengenai larangan Pemerintah Daerah Kota Medan terhadap perbuatan pelacuran, maka menurut Pasal 5 Ayat (1) ditetapkan suatu ketentuan pidana bagi siapa saja yang melanggar ketentuan Pasal 2 peraturan daerah ini diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda sebanyakbanyaknya Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah).

Oleh karena terhadap perbuatan pelacuran tersebut sulit untuk menentukan pasal-pasal mana yang dilanggar seperti di dalam KUH Pidana tidak ditemukannya ketentuan bahwa pelacuran termasuk kepada kejahatan (Pasal 296, 297, dan 506). Di dalam Perda Peraturan Daerah (Perda) Nomor 06 Tahun 2003 juga tidak menentukan bahwa pelacuran digolongkan kepada bentuk kejahatan akan tetapi merupakan pelanggaran saja, untuk lebih jelasnya dalam Pasal 5 Ayat (2) ditentukan, ”Tindak pidana sebagaimana dimaksud Ayat (1) adalah pelanggaran.” Ayat (1) yang dimaksudkan itu adalah ketentuan pidana yang dicantumkan dalam Pasal 5 Ayat (1) tersebut di atas.


(47)

Selain langkah pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 06 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Susila di Kota Medan, pihak Polsekta Medan Medan Baru melakukan razia di malam hari untuk menangkapi dan memproses orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan asusila di sekitar Kecamatan Medan Baru khususnya terhadap anak-anak yang masih di bawah umur yang berkeliaran di malam hari. Operasi ini dilakukan untuk mengantisipasi anak-anak terjerumus kepada dunia malam dan pergaulan bebas bahkan terhadap pelacuran yang berada di kamp-kamp atau barak-barak seperti di Nibung Raya Medan, di jalan Iskanda Muda, di jalan Gatoto Subroto, di jalan SM. Raja, di jalan Gajah Mada dan lain-lain. Operasi razia yang dilakukan Polsekta Medan Baru ini lebih dikenal dengan ”Razia Kasih Sayang”. Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya pelacuran di Polsek Medan Baru juga dilakukan penertiban terhadap kafe-kafe dan hiburan malam. Seperti kafe di sekitar jalan Gajah Mada hingga pada saat ini telah di bongkar dan tidak diperkenankan lagi terdengar suara musik-musik disco di sana, namun pada saat ini kafe-kafe di jalan Gajah Mada tersebut kembali dibangun oleh pengelola kafe namun musik-musik disco tidak ada kedengaran lagi hingga saat ini.

Begitu pula kafe yang berada di sekitar SMU Harapan Kota Medan, juga telah digusur karena merupakan sarang terjadinya transaksi wanita Anak Baru Gede (ABG) yang masih di bawah umur seperti anak-anak sekolah yang masih duduk di bangku SMP dan SMA. Jika tempat-tempat seperti kafe di Warung Kopi (Warkop) Harapan terus beroperasi, maka berkemungkinan para laki-laki hidung belang semakin banyak berdatangan ke sana melakukan transaksi terselubung


(48)

melalui mucikari atau gigolo (istilah mucikari yang populer dikenal di kota Medan).

Terhadap pelaku dan anak yang terlibat pelacuran seksual, Polsekta Medan Baru melakukan langkah-langkah pencegahan sekaligus dapat mengurangi kuantitas dunia pelacuran di Medan Baru. Oleh karena itu, Kapolsekta Medan Baru melakukan kebijakan-kebijakan yang terintegrasi terhadap pelacuran atau perbuatan asusila ini, di antaranya adalah:80

a. Mengadakan upaya rehabilitasi kepada para pemeran pelacuran guna mempersiapkan proses rehabilitasi dirinya sendiri untuk mencapai penghidupan yang layak dan terhormat sesuai dengan nilai-nilai moral Pancasila.

b. Mengadakan Inventarisasi daerah-daerah rawan.

c. Mengadakan gerakan-gerakan operasional pemberantasan di dalam wilayah hukum Kecamatan Medan Baru.

d. Mengadakan pengawasan untuk mencegah bertambahnya jumlah pelacuran, bahkan berkurang atau hilang serta mencegah meluasnya daerah operasi mereka.

e. Memberikan penyuluhan dan penerangan kepada masyarakat tentang bahaya pelacuran.

f. Menyampaikan laporan periodik kepada walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Medan dan Kepolisian Daerah Sumatera Utara mengenai segala

80


(49)

aktifitas di Polsekta Medan Baru serta saran-saran konkrit untuk menyusun kebijaksanaan selanjutnya.

g. Mengkoordinasikan Satuan Pelaksana Pemberantasan Pelacuran di Kecamatan Medan Baru dari mulai perencanaan, pembinaan sampai dengan operasional baik preventif, represif maupun rehabilitatif.

Walaupun masalah pelacuran anak di bawah umur secara konkrit tidak terdapat di dalam sarana non penal, dalam mengatasi masalah pelacuran yang dilakukan oleh anak di bawah umur yang terjaring operasi dibina dan direhabilitasi, memberikan penyuluhan, pelatihan menjahit, pelatihan salon, membuat kerajinan dan upaya lainnya, tetapi yang bisa bertahan dan kembali ke kampung halamannya hanya sebagian kecil dan sebagian besar kembali lagi menjadi pelacur. Hal ini diketahui apabila dalam razia yang tertangkap adalah muka-muka lama atau pemain-pemain lama yang beroperasi kembali di jalanan.

Menangani para pelacur yang masih di bawah umur Kantor Sosial biasanya memanggil orang tua atau walinya atau cukup dengan memberikan surat pemberitahuan, karena anak yang masih di bawah umur selalu di kembalikan kepada orang tuannya karena masih menjadi tanggung jawab orang tuanya untuk dibina jika orang tuanya tidak ada, maka dikembalikan kepada walinya atau saudaranya yang bertanggung jawab, jika walinya tersebut tidak ada, maka direhabilitasi oleh pemerintah melalui panti rehabilitasi.

Konsepsi kebijakan penanggulangan kejahatan yang integral mengandung konsekwensi, bahwa segala usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan harus merupakan satu kesatuan yang terpadu (integralitas). Ini berarti kebijakan


(50)

penal harus pula dipadukan dengan kebijakkan atau usaha-usaha lain yang bersifat non penal. Ini berarti pula, apabila dalam pelaksanaan politik kriminal tidak dilakukan upaya integralitas terhadap kedua kebijakan (penal dan non penal) tersebut, maka akan terjadi pemikulan beban yang berlebihan, terutama yang dirasakan oleh Hukum Pidana, Kenapa? Di dalam masyarakat sering terjadi, bahwa urusan penanggulangan kejahatan adalah urusan hukum (pidana), sehingga dalam sehari-hari akan tampak bahwa hukum itu berfungsi sebagai “Panglima” dalam poltik kriminal. Padahal usaha-usaha preventif (pencegahan) akan sangat dirasakan lebih efektif dari pada usaha penindakan secara represif. Sebab usaha-usaha preventif (non penal) yang dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial atau pembangunan nasional, mempunyai tujuan utama yakni memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian ditinjau dari sudut politik kriminal, maka keseluruhan kegiatan preventif (usaha-usaha non penal) tersebut sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis. Karena menempati posisi kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan. Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini berarti akan berakibat fatal bagi usaha penanggulangan asusila dalam bentuk pelacuran di Kecamatan Medan Baru dan sekitarnya.

B. Peran Serta Pihak Lain Dalam Penanggulangan Pelacuran Anak Di Bawah Umur

Mengenai masalah pelacuran di wilayah Kecamatan Medan Baru, selain dilakukan oleh pihak Kepolisian yang dikoordinir oleh Polwiltabes Medan, juga


(51)

berperan serta pihak Camat dan Lurah yang berada di wilayah hukum Kecamatan Medan Baru (yang berkompeten), Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Sosial Pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Pengadilan Negeri Medan serta pihak lain yang berkompeten dalam masalah pelacuran di Kota Medan.

Polsekta Medan Baru dalam melakukan operasi terhadap anak di bawah umur yang terjerumus ke dalam perbuatan amoral seperti pelacuran ini, melakukan kerja sama dengan pihak lain. Salah satu pihak yang bekerja sama dengan Polsek Medan Baru adalah menjalin kerja sama dengan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Kota Medan.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan, Ahmad Sofyan, berharap aparat kepolisian memiliki Tim 99 Anti Pelacuran Anak. Pasalnya, faktor utama prostitusi anak akibat adanya sindikat perdagangan anak. Sebenarnya, ini merupakan peran pihak penegak hukum untuk membongkar dan memutus sindikat perdagangan anak di Kota Medan. Bila sejumlah tempat hiburan malam kerap dirazia narkoba, seharusnya hal itu juga berlaku untuk anak-anak. Apalagi, tempat hiburan malam seperti diskotek, klub malam, dan sejenisnya dilarang untuk anak-anak. Kategori anak yang dimaksud menurut undang-undang itu adalah yang belum berusia 18 tahun. Jadi, bila ditemukan anak di tempat-tempat hiburan, pengelolanya harus diamankan, bukan anak-anaknya. Dengan demikian, pemilik hiburan malam jadi lebih selektif dalam mempekerjakan orang dan menerima pengunjung. Di Medan, kawasan sub urban menjadi asal korban utama prostitusi anak, di antaranya berasal dari kawasan


(52)

Percut Sei Tuan, Tembung, Binjai, dan Belawan. Hal ini disebabkan, pada kawasan sub urban tersebut sebagai konsentrasi bermukimnya masyarakat menengah ke bawah.

Kalangan menengah ke bawah bukan berarti miskin. Mereka tetap bisa membiayai anaknya, bahkan membelikan handphone untuk anaknya, tetapi ada hal-hal tertentu yang tidak bisa mereka miliki. Kebanyakan, anak-anak di daerah ini kurang diperhatikan orang tua, hal ini bercampur aduk dengan nilai materialisme sehingga anak-anak mengalami frustasi.

Tentu saja kondisi seperti itu mengakibatkan anak-anak tersebut ingin menikmati apa yang tidak bisa dimilikinya. Guna memenuhinya, anak-anak tersebut tak sungkan menebusnya dengan melacurkan tubuhnya sendiri. Apalagi dengan adanya dorongan teman sebaya yang sudah lebih dulu menerjuni dunia malam tersebut.

Pihak PKPA, mengestimasikan, pada tahun 2008, terdapat sekitar 2.000 orang anak di Kota Medan terjun ke dunia prostitusi. Estimasi ini berdasarkan kasus yang ditangani PKPA, kasus yang dikumpulkan PKPA tersebut bersumber dari media massa, dan melihat perkembangan dunia hiburan sekarang ini.81

Pelacuran anak atau yang lebih dikenal dengan istilah ESKA (Ekploitasi Seksual Komersil Anak) di Sumatera Utara masih menjadi persoalan pelik yang perlu segera dicari jalan keluarnya. Berdasarkan temuan PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) ESKA tidak hanya terjadi di Kota Medan. Hasil penelitian PKPA di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara menunjukkan pelacuran


(53)

anak melibatkan anak-anak berumur belasan tahun. Staf Penelitian dan Investigasi Litigasi PKPA, Suryani Guntari menyebutkan, seperti yang terjadi di Serdang Bedagai (Sergai) misalnya, jumlah anak-anak yang menjadi korban mencapai ratusan, tersebar merata di berbagai wilayah. Berdasarkan observasi yang dilakukan PKPA di desa-desa (bahkan sampai ke rumah anak) tersebut tercatat dua anak di tiap-tiap desa/kampung. Di Kota Tanjung Balai, sebut Suryani Guntari, berdasarkan data dari Yayasan Karang menunjukkan, dari 150 Pekerja Seks Komersial (PSK) yang ada, sedikitnya terdapat 20-60 PSK yang masih di bawah umur. Namun, karena perpindahan mereka tidak bisa dilacak, menjadi penyebab sulitnya pendataan.82

ESKA terjadi dengan sindikat yang terorganisir secara teramat rapi. Di daerah warkop Harapan, warkop Gajah Mada, di Jalan Jamin Ginting, Jalan Iskandar Muda, dan beberapa kos-kosan yang berada di sekitar Sei Asahan, Sei Batu Gingging, Sei Bahorok, kesemuanya itu dilakukan secara terselubung untuk mengelabui Polisi yang melakukan razia. Karena jika mereka beroperasi di

jalan-Dinas Sosial dan Keluarga Berencana (Dinsos & KB) Kota Tanjung Balai, lanjut Suryani Guntari, tercatat sedikitnya 150 PSK yang masih aktif di Kota Tanjung Balai. Usia mereka umumnya 14-25 tahun. Tidak ada lokalisasi atau panti rehabilitasi di kota ini sehingga mobilitas PSK tidak terpantau dan tidak terawasi. Lebih jauh lagi, dampaknya adalah penyebaran PMS/Virus HIV/AIDS terus melaju tanpa bisa ada hambatan yang signifikan.

82

Pelacuran anak atau yang dikenal sebagai ESKA (Ekploitasi Seksual Komersil Anak) di Sumatera Utara (Sumut) masih menjadi persoalan pelik yang perlu segera dicari jalan keluarnya, Sugiarto., “Pelacuran Anak Dari Truk Sampai Kuburan China”, Waspada, Tanggal 20 Mei 2008.


(1)

3

ABSTRAKSI

David Baiser Aritonang

* Mahasiswa Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara. ** Dosen Pembimbing I.

*** Dosen Pembimbing II.

Abul Kahir, SH, M.Hum** Berlin Nainggolan***

Pelacuran sebagai masalah sosial yang sudah tua usianya namun senantiasa dibicarakan orang sampai saat ini, tidak tanggung-tanggung yang menjadi korbannya adalah anak-anak usia belasan tahun yang masih polos dan mudah dipengaruhi, sementara aturan yang terdapat di dalam Pasal 296, 297 dan 506 KUH Pidana belum secara tegas dan jelas mengatur pelacuran itu sendiri karena ketiga pasal tersebut hanya menitikberatkan pada penyedia atau sarana yang mendukung diadakannya pelacuran.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah Pertama, bagaimanakah penegakkan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap pelacuran anak di bawah umur? Kedua, bagaimanakah strategi penanggulangan terhadap pelacuran anak di bawah umur oleh Polsek Medan Baru?

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, metode pendekatannya adalah yuridis normatif yang di dukung oleh yuridis empiris. Tahap penelitian berupa studi kepustakaan dan wawancara, data dianalisis secara yuridis kualitatif.

Kesimpulan dalam penelitian ini, Pertama, anak yang menjadi korban pelacuran harus dikembalikan kepada orang tuanya untuk dibina dan dibimbing, jika orang tuanya tidak ada, maka dikembalikan kepada walinya atau saudaranya, jika walinya tidak ada, maka harus direhabilitasi oleh negara melalui panti rehabilitasi. Kedua, strategi Polsek Medan Baru dalam penanggulangannya dikoordinir Polwiltabes Medan bekerja sama dengan Pemerintah Kota Madya Medan melalui Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Susila di Kota Medan. Peran serta pihak lain seperti Camat dan Lurah yang berada di wilayah hukum Kecamatan Medan Baru, Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Sosial Pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Pengadilan Negeri Medan serta pihak lain yang berkompeten dalam masalah pelacuran di Kota Medan. Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan juga turut serta berperan dengan kepolisian dengan membentuk Tim 99 Anti Pelacuran Anak.

Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan peranan yang paling strategis dalam penegakan hukum adalah penetapan kebijakan melalui perundang-undangan, harus memperhatikan grundnorm bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Karena pelacuran sangat bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia.

Kata kunci : Pelacuran anak di bawah umur, Penegakan hukum, dan Strategi penanggulangan.


(2)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

DAVID BAISER ARITONANG NIM: 050200039

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

2

PELACURAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM

PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN REPUBLIK

INDONESIA (STUDI KASUS DI POLSEK MEDAN BARU)

SKRIPSI

OLEH:

DAVID BAISER ARITONANG NIM: 050200039

Disetujui oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Abul Khair, SH, M.Hum NIP: 196107021989031001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Abul Khair, SH, M.Hum Berlin Nainggolan, SH, M.Hum NIP: 196107021989031001 NIP: 195812051986011002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(4)

ABSTRAKSI

David Baiser Aritonang

* Mahasiswa Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara. ** Dosen Pembimbing I.

*** Dosen Pembimbing II.

Abul Kahir, SH, M.Hum** Berlin Nainggolan***

Pelacuran sebagai masalah sosial yang sudah tua usianya namun senantiasa dibicarakan orang sampai saat ini, tidak tanggung-tanggung yang menjadi korbannya adalah anak-anak usia belasan tahun yang masih polos dan mudah dipengaruhi, sementara aturan yang terdapat di dalam Pasal 296, 297 dan 506 KUH Pidana belum secara tegas dan jelas mengatur pelacuran itu sendiri karena ketiga pasal tersebut hanya menitikberatkan pada penyedia atau sarana yang mendukung diadakannya pelacuran.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah Pertama, bagaimanakah penegakkan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap pelacuran anak di bawah umur? Kedua, bagaimanakah strategi penanggulangan terhadap pelacuran anak di bawah umur oleh Polsek Medan Baru?

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, metode pendekatannya adalah yuridis normatif yang di dukung oleh yuridis empiris. Tahap penelitian berupa studi kepustakaan dan wawancara, data dianalisis secara yuridis kualitatif.

Kesimpulan dalam penelitian ini, Pertama, anak yang menjadi korban pelacuran harus dikembalikan kepada orang tuanya untuk dibina dan dibimbing, jika orang tuanya tidak ada, maka dikembalikan kepada walinya atau saudaranya, jika walinya tidak ada, maka harus direhabilitasi oleh negara melalui panti rehabilitasi. Kedua, strategi Polsek Medan Baru dalam penanggulangannya dikoordinir Polwiltabes Medan bekerja sama dengan Pemerintah Kota Madya Medan melalui Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan Serta Praktek Susila di Kota Medan. Peran serta pihak lain seperti Camat dan Lurah yang berada di wilayah hukum Kecamatan Medan Baru, Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Sosial Pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Pengadilan Negeri Medan serta pihak lain yang berkompeten dalam masalah pelacuran di Kota Medan. Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan juga turut serta berperan dengan kepolisian dengan membentuk Tim 99 Anti Pelacuran Anak.

Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan peranan yang paling strategis dalam penegakan hukum adalah penetapan kebijakan melalui perundang-undangan, harus memperhatikan grundnorm bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Karena pelacuran sangat bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia.

Kata kunci : Pelacuran anak di bawah umur, Penegakan hukum, dan Strategi penanggulangan.


(5)

4

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Keaslian Penelitian ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

1. Pengertian Tindak Pidana ... 11

2. Pengertian Pelacuran ... 14

3. Pengertian Pelacuran Anak... 18

F. Metode Penelitian ... 24

G. Sistematika Penulisan ... 26

BAB II : TINJAUAN TENTANG PELACURAN DAN ANAK DI BAWAH UMUR ... 29

A. Pelacuran ... 29

B. Anak Di Bawah Umur ... 34

C. Anak-Anak Rentan Menjadi Korban Pelacuran ... 40

D. Penyebab Terjadinya Pelacuran Anak Di Bawah Umur ... 46

BAB III : PENEGAKAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP PELACURAN ANAK DI BAWAH UMUR ... 63

A. Tindak Pidana Yang Diancamkan Terhadap Pelacuran Anak Di Bawah Umur... 63

B. Peneraan Beberapa Undang-Undang Mengenai Perlunya Anak Dilindungi Dari Pelacuran... 74

C. Penegakan Hukum Yang Dilakukan Oleh Kepolisian Republik Indonesia Terhadap Pelacuran Anak ... 86


(6)

BAB IV : STRATEGI PENANGGULANGAN TERHADAP PELACURAN

ANAK DI BAWAH UMUR OLEH POLSEK MEDAN BARU... 103

A. Peran Serta Pemerintah Daerah Dalam Melakukan Langkah-Langkah Penanggulangan Pelacuran Anak Di Bawah Umur... 103

B. Peran Serta Pihak Lain Dalam Penanggulangan Pelacuran Anak Di Bawah Umur... 109

C. Faktor-Faktor Penghambat Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum di Kota Medan ... 116

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 123

A. Kesimpulan ... 123

B. Saran ... 124