Resensi buku Cahaya Rasul

REFLEKSI KHAZANAH SPIRITUAL KEISLAMAN

  Judul buku : Cahaya Rasul Penulis : Danarto Penerbit : DIVA Press Tebal : 412 Halaman Cetakan : Mei 2016

  ISBN : 978-602-391-146-2 Islam, mungkin masih menjadi agama paling mendominasi saat ini di Indonesia. Hitungan ini berkembang pesat pada bilangan-bilangan kuantitas saja. Kualitas religiusitas yang minim kian memunculkan trend-trend sosial yang kian booming akhir-akhir ini. Islam KTP, Hijabers, Santri nyentrik, jilboob, dan beragam istilah lainnya yang pernah dianggap miring oleh para muslimin seindonesia. Ritual-ritual yang ada hanya ditandai sebagai identitas keagamaan tanpa mencoba menelisik jauh ke dalam dunia yang bersembunyi di balik tabir- tabir Tuhan. Tak heran kemudian jika orang-orang berpangkat ‘tinggi’ dalam agama berbilang minim. Bahkan kadar hitungan tersebut sudah jauh di bawah standart kewajaran. Mungkin ini lah alasan mengapa Nabi Muhammad saw tak menyamakan kemulyaan generasi ummatnya.

  Penghayatan terhadap islam sendiri mungkin sudah jauh diabaikan oleh generasi kini yang kian lebih terlena kepada hal-hal yang berbau modern. Bahkan beberapa perkara agama pun setidaknya sudah melunakkan dirinya atas beberapa perubahan yang signifikan. Fanatisme kemudian muncul menggeranyang hal tersebut. Menelurkan gerakan, pemikiran, dan hujjah yang lumayan ‘pedas’ dalam menyikapi hal ini. Kesadaran atas refleksi keagamaan yang miris baru saja kita lewatkan di depan mata. Tanpa berkedip kita seakan lupa bahwa nyatanya kita lah juga pelakunya. Fitrah agama yang kemudian dilucuti secara vulgar oleh kalangan berkepentingan ini, kemudian dimanipulasi serapi dalam ‘umpan segar’ yang tiap hari tak sengaja kita konsumsi. Jadi tak heran, jika kemudian hari ini banyak sengketa diatas nama agama, banyak kalangan muslim sendiri yang merusak citra agamanya dengan dalil-dalil yang disalahtafsirkannya, dan tak sedikit pula ketidaksengajaan melerai hasrat dengan ancaman. Hingga kemudian membenarkan ungkapan Nietzche, meluputkan dari pengertian radik orang beragama versi Ibnu Taimiyah dan Imam Ghozali, dan banyak lagi lainya.

  Sederet alasan mungkin bisa menafsirkan keinginan Danarto hingga merumuskan refleksi yang sudah mulai dilupakan atas islam, rahmatan lil ‘alamin ini. Cahaya Rasul yang menyediakan wadah kemana arah mata batin kita akan terhampar sejauh realita yang ada. Lalu mengkorelasikannya kepada tindakan-tindakan kita untuk menjaga kelestarian dari agama kita sendiri. Tidak sedikit buku yang telah terlahir atas niatan suci ini untuk mencita- citakan hal yang sepatutnya diperjuangkan. hal yang nyaris saja ditiadakan. Tak melupakan sosok Danarto yang memukau beliau dengan segala kesederhanaanya. Hingga ia kemudian mempersilahkan rasa iri-nya untuk berlabuh dan kian memotivasi beliau agar terus menerus mendalami islam, sebagai muslim yang baik. Kewajiban itu nyatanya kini hanya seperti iklan-iklan di media yang lebih banyak di-skip begitu saja dewasa ini.

  Terangkai dalam bait-bait yang mudah dicerna, Cahaya Rasul ini akhirnya menyingkap perihal biasa sebagai media untuk kembali memperdalam khazanah spiritual keislaman. Pengutipan hadist-hadist di awal pembahasan selalu memberikan ruang sederhana yang cukup menyenangkan. Lalu mengekor pembahasan luwes yang sistematis yang enak dikonsumsi oleh semua kalangan pembaca. Menyekatnya dalam 3 lapis yang berbeda warna, Danarto ingin memberitahu kita oase terdalam dari beberapa ibadah-ibadah yang sudah kita lakukan bertahun-tahun. Dimulai dari shalat, takbir, sujud, puasa, resepsi pernikahan, sahur, haji, kurban, dan masih banyak lagi lainya dalam sekat pertama. Tidak berhenti disana saja, Danarto juga melingkupi kesunahan- kesunahan yang sebenarnya tak boleh hilang dari karakter muslim hari ini. Seperti istikharah, mencintai alam, bersedekah, dan lainya. Jalan refleksi ini setidaknya bisa memaknai dari apa yang kita ritualkan selama ini. Agar tak terkesan sia-sia saja, ia mencoba mengajarkan kita menangkap hikmah tersembunyi di balik ibadah-ibadah tersebut. Menyelaminya hingga mungkin bisa menjadi sifat tersendiri bagi status kemusliman kita. Mungkin juga agar bisa menjadi pembeda, antara mana muslim yang ‘mengenal’ Tuhanya dengan baik dan mana yang tidak. Misalnya mengutip ulasannya tentang bersujud, “... dilihat secara fisik maupun secara rohaniah, sungguh merupakan sebuah pola yang indah. Posisi tubuh yang melengkung, kelihatannya menggambarkan “jalan kelahiran” dan “jalan kembali”... “. Lalu berpuasa, ibadah yang sengaja ‘dipesan khusus’ oleh Allah untuk manusia. Ibadah paling ukhrawi sekaligus unik ini banyak mengejawantahkan pahala-pahala yang sangat dirindukan. Terhubung juga pada ibadah haji, dimana ibadah kali ini adalah safari spiritual menuju ke tempat paling suci ummat islam. Merenungi kenangan-kenangan para kekasihNya serta meneladani nilai-nilai yang didapatkannya setelah perenungan tersebut. Kesulitan-kesulitan yang ada sebenarnya hanyalah buah dari khayalan para jemaah sebelum menunaikannya. Agama itu mudah, pemeluknya saja yang mempersulit. Begitulah kira-kira ungkapan yang berusaha ia sampaikan lewat sekat pertama ini.

  Sekat kedua, mencoba menghubungkannya kepada nilai-nilai sosial, politik, pendidikan, dan moralitas yang terjadi dalam kehidupan kita. Merekonsiliasi keduanya agar kemudian bisa menjadi harmoni yang tak terbantahkan, kini dan seterusnya. Cerita-cerita inovatif dan inspiratif pun tak kalah mengasikan dari pencerahan-pencerahan yang ada. Hingga kita bisa diajaknya mengembara kepada tempat keharusan kita bertinggal diri. Menemukan motivasi- motivasi sendiri untuk berdakwah sekaligus bermuhasabah bagi kita yang ketakwaanya sedang diuji. Bukankah semakin berat ujian kita, akan semakin kuat juga kadar keimanan untuk menandai kita sebagai muslim yang spesial di sisiNya?. Ahasiban naasu an yutroku an Salah satunya tentang jabatan, ia mengartikan jabatan sebagai sebuah maqam atau tataran

  Hal ini yang terlampau berbahaya jika didalamnya terdapat campur tangan dari ambisi dan nafsu. Pikiran bersih lah yang mempunyai hak sepenuhnya atas jabatan itu sendiri. Mengontrol pengelolaan dan swadaya pikiran yang berjarak dari hal buruk. Lalu memproyeksikannya pada ikhtiar pelaksanaan amanat Allah untuk menjadi khalifah yang meneladani betul akhlak Nabi Muhammad. Mengkonsepsikan ketulusan dan keikhlasan beramal dan bermasyarakat. Hingga akhirnya tinggal menikmati ‘buah’ upaya kita selama hidup di dunia. Hirarki yang mengagumkan untuk bisa diterapkan bagi para muslimin yang mencita-citakan ‘anfa’uhum lin nas.

  Jika sekat pertama membahas vertikalisasi imani, maka di sekat yang ketiga ini juga akan mengusik bidang-bidang horizontalisasi imani. Lewat hadis-hadis tentang bermasyarakat, bernegara, beragama, dan bersosial, ia menuntaskan perkara-perkara kemanusiaan lewat pengembaraan daya refleksi seperti yang telah penulis ceritakan di awal-awal paragraf. Menawarkan alternatif pilihan pada dilema-dilema sosial yang beresiko tak jelas. Menjembatani mata batin pada fenomena-fenomena sosial kemasyarakatan. Nilai-nilai persaudaraan yang dijunjung islam pun tak luput dari pembahasanya. Mulai dari kodrat kebutuhan manusia atas manusia lainnya dikarenakan keterbatasan kemampuannya. Hingga tak etis sepertinya jika saling mengungguli sesamanya. Betapa pun kita tetap

  

saudara, dalam konteks saling mencinta atu pun membenci [HR. Muslim]. Menjunjung

  kemanusiaan dalam ceruk penghormatan terhadap masing-masing pilihan yang membuatnya berbeda-beda. Hingga lahirlah pemikiran 3 ukhuwah Gus Dur, yaitu Ukhuwah Islamiyah,

  

Ukhuwah Wathoniyah, dan Ukhuwah Basyariyah. Disini sudah sangat jelas, bahwa rangkaian

  hubungan masyarakat yang harmoni dan sejahtera tanpa perang dan percekcokan pun bukan lagi sebuah ilusi pada mimpi-mimpi malam para aktifis. Tak satu pun bagian vital yang luput dari buku ini, sejauh penghayatan penulis. Tak diragukan lagi, betapa kesadaran atas kekurangan khazanah spiritual ini kemudian kebanyakan melenakan pandangan kita kepada dunia yang tak seharusnya. Tidak boleh tidak, prospek akhirat yang sangat ditekankan dalam agama kita pun harusnya menjadi tujuan hidup paling mulya bagi kita. Selamat, mungkin akan bisa menempatkan kita kepada tempat yang setidaknya ‘aman’ lah dari murka-murka Allah. Bagaimana pun tetap pada tujuan awal kita beribadah yang telah dikoar-koar kan oleh para khatib di setiap mimbar masjid, meningkatkan keimanan kepada Allah swt untuk memahari sebuah tempat paling mulia di sisiNya. Inna akromakum ‘indza allahi atqookum.