Oktober 2014
51
KEARIFAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN SULTANAAT GROUND DI KECAMATAN GAMPING KABUPATEN SLEMAN
The Local Wisdom in Utilizing Sultanaat Ground in District Gamping, Sleman
Marsudi Jurusan Ilmu Adminitrasi
FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta
Diterima tanggal 3 Maret 2014 , disetujui 29 Maret 2014
Abstract
The problem in this research is how the local wisdom makes utilizing of Sultanaat Ground in District Gamping, Sleman. For the analitical data, it is used Qualitative Inductive Method,
based on the fenomology paradigm.
The invention of this research is that the management of Sultanaat Ground done by the Palace is through the local wisdom. The utilization of Sultanaat Ground is by publishing a letter of a
long term rent land approvement. The Palace also gives authority to the local government for managing the Sultanaat Ground through special authority letter, as giving permission to build
a building. Then the Palace implements local wisdom principal which is “ a shelter “, or a kind from the Palace for its people.
Key words : Local Wisdom, Utilizing Sultanaat Ground
I. PENDAHULUAN Latar Belakang
Propinsi DIY merupakan salah satu daerah yang istimewa di Indonesia. Salah
satu fakta sejarah yang memperkuat status keistimewaan DIY diantaranya adalah
adanya Maklumat Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VII yang dikeluarkan 5
September 1945 dan 30 Oktober 1945, yang merupakan titik tolak integrasi
Keraton Yogyakarta
dan Kadipaten
Pakualaman ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana di dalam maklumat
tersebut disebutkan
“
Bahwa Negeri
Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari
Negara Republik Indonesia
”. Di samping itu, keistimewaan DIY diperkuat lagi
dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY,
yang di dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa Propinsi DIY diberi
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76
52
kewenangan untuk
mengurus rumah
tangganya sendiri. Keistimewaan itu salah satunya
terlihat pada status kepala daerah, dimana sejak kemerdekaan RI, kepala daerah di
DIY selalu
dipegang oleh
Sultan Yogyakarta. Tidak hanya terbatas pada itu,
keistimewaan tersebut juga mencakup pemerintahan, pendidikan, kebudayaan,
anggaran keistimewaan,
dan posisi
keraton. Di samping itu, aspek pertanahan juga
menjadi salah
satu simbol
keistimewaan, dimana pada awalnya di Propinsi DIY tidak pernah ada tanah
negara. Semua tanah di DIY merupakan
Sultanaat Ground
tanah milik Kasultanan sebagai lembaga kraton, yang sejak
kemerdekaan diberikan kepada pemerintah daerah. Selain yang diberikan kepada
pemerintah daerah, masih terdapat tanah milik Keraton Yogyakarta
Sultanaat Ground
dan tanah milik Puro Pakualaman
Paku Alamanaat Ground
. Status tanah ini dapat dikategorikan sebagai tanah Ulayat
tanah adat,
karena merupakan
peninggalan leluhur yang dimiliki lembaga Keraton dan Pakualaman.
Sultanaat Ground
SG dan
Paku Alamanaat Ground
PAG ini luasnya mencapai ribuan hektar yang sampai saat
ini belum ada pendataan pasti dari luas keseluruhan dan tersebar di mana-mana,
antara lain di Bantul, Kulonprogo, Sleman dan Kota Yogya.
Pada dasarnya, tanah ini tidak memiliki kepastian hukum formal. Hal ini
dapat dilihat dari sejarah aturan pertanahan di DIY, terkait dengan Undang-Undang
No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, dimana setelah itu pada tahun
1984, keluar Keppres No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA
di DIY
yang diikuti
beberapa Kepmendagri, diantaranya Kepmendagri
No. 69 Tahun 1984 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Hak Atas Tanah
hak Milik Perorangan Berdasarkan Perda No. 5 Tahun 1954. Mengacu pada
kepmendagri tsb, semua tanah di DIY sudah dapat diberlakukan UUPA, kecuali
tanah SG dan PAG yang masih harus ditetapkan secara khusus
Meskipun demikian, dari pihak keraton
sendiri telah
mengeluarkan kebijakan mengenai pemanfaatan dan
pengelolaan
Sultanaat Ground
tersebut, yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh
Paniti Kismo yang merupakan lembaga keraton. Salah satunya adalah dengan
memberikan status
ngindung
atau magersari bagi tanah yang dimanfaatkan
oleh masyarakat
dengan ketentuan-
ketentuan tertentu. Status
ngindung
atau magersari ini diperkuat dengan adanya
bukti surat kekancingan magersari yang
53
dikeluarkan pihak keraton, namun tidak bersertifikat
resmi dari
pemerintah. Sedangkan untuk mendirikan bangunan
permanen di atas tanah magersari ini diperlukan izin dari BPN, sehingga meski
tanahnya merupakan tanah kraton dan izin pemanfaatannya
melalui lembaga
di kraton, untuk urusan mendirikan bangunan
tetap dibutuhkan IMB dari pemerintah daerah.
Tidak adanya kepastian hukum yang formal mengenai tanah ini dan
adanya kebijakan-kebijakan
diluar kebijakan kraton mengenai pemanfaatan
tanah, baik dari pemerintah pusat maupun yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah,
membuat kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak kraton menjadi kebijakan tunggal
dalam pemanfaatan
Sultanaat Ground
di DIY pada umumnya, dan juga di
Kecamatan Gamping khususnya yang juga terdapat
Sultanaat Ground
di wilayahnya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang sudah dijelaskan pada latar belakang diatas, maka
masalah yang akan dikaji adalah : ‘Bagaimana
kearifan lokal
dalam penggunaan
Sultanaat Ground
di Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman’
? II. TINJAUAN PUSTAKA
Kearifan Lokal
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal
local wisdom
terdiri dari dua kata: kearifan
wisdom
dan lokal
local
. Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols
dan Hassan Syadily,
local
berarti setempat, sedangkan
wisdom
kearifan sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka
local wisdom
kearifan setempat
dapat dipahami
sebagai gagasan-gagasan
setempat
local
yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang
tertanam dan
diikuti oleh
anggota masyarakatnya. Sedangkan menurut I
Ketut Gobyah dalam Sartini, 2004, mengatakan bahwa kearifan lokal local
genius adalah kebenaran yang telah mentradisi atau
ajeg
dalam suatu daerah. Kearifan
lokal terbentuk
sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat
maupun kondisi geografis dalam arti luas, dimana
biasanya merupakan
produk budaya masa lalu yang patut secara terus-
menerus dijadikan
pegangan hidup.
Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat
universal. Sedangkan Imam mengatakan, secra substabsial local wisdom merupakan
norma yang berlaku dalam dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenaranya dan
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76
54
menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari.
Sejalan dengan pengertian di atas, menurut Nurma Ali Ridwan 2007,
kearifan lokal merupakan akumulasi dari hasil aktivitas budi dalam menyikapi dan
memperlakukan lingkungan atau disebut juga sebagai pengetahuan lokal, dimana
hal tersebut menggambarkan cara bersikap dan bertindak kita untuk merespon
perubahan-perubahan yang khas dalam lingkup lingkungan fisik maupun kultural.
Balipos terbitan 4 September 2003 memuat tulisan “Pola Perilaku Orang
Bali Merujuk Unsur Tradisi”, antara lain memberikan informasi tentang beberapa
fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu: 1.
Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
2. Berfungsi untuk pengembangan
sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur
hidup, konsep
kanda pat rate
. 3.
Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan,
misalnya pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada
pura Panji. 4.
Berfungsi sebagai
petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
5. Bermakna sosial misalnya upacara
integrasi komunalkerabat. 6.
Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.
7. Bermakna etika dan moral, yang
terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur.
8.
Bermakna politik,
misalnya upacara
ngangkuk merana
dan kekuasaan
patron client
Dari penjelasan fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas ranah kearifan lokal,
mulai dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan teknis.
Dari beberapa hal tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa Kearifan
lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang
hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam
kesadaran masyarakat, yang berfungsi dalam mengatur hampir semua ranah
kehidupan masyarakat.
Pengertian Lahan
Menurut Jayadinata, lahan berarti tanah yang sudah ada peruntukannya dan
umumnya ada pemiliknya perorangan atau lembaga. Sedangkan dalam penguasaan
atau pemilikan tanah oleh rakyat di suatu negara, terdapat dua prinsip yang berbeda:
a. Di suatu negara agraris, dimana
nafkah sebagian besar rakyat adalah pertanian,
sehingga mereka
bergantung kepada tanah, untuk keadilan, maka prinsipnya: tanah itu
55
oleh negara
dibagikan kepada
sebanyak mungkin
penduduk dengan
hak milik,
hak guna
bangunan, hak guna usaha, dsb, sehingga
pemilikanpenguasaan tanah
bagi keluargapengusaha
adalah terbataskecil. Salah satu contohnya adalah Indonesia.
b. Di suatu negara industri, dimana
nafkah sebagian besar penduduk adalah industri, maka hanya sedikit
saja rakyat yang bertani atau yang bergantung kepada tanah, sehingga
untuk memudahkan
pengelolaan, prinsipnnya:
tanah oleh
negara dibagikan kepada sebagian kecil dari
penduduk, sehingga
pemilikanpenguasaan tanah
per keluargaperusahaan dapat luas. Hal
ini dapat memungkinkan adanya sistem-sistem tuan-tuan tanah yang
memilikimenguasai tanah yang luas sekali.
Contohnya negara-negara di Eropa dan Amerika.
Pemanfaatan Lahan
Berdasarkan kamus penataan ruang, pemanfaatan lahan merupakan
penggunaan tanah untuk aktivitas atau kegiatan orang atau badan hukum yang
dapat ditunjukkan secara nyata. Sedangkan penggunaan lahan adalah wujud kegiatan
penguasaan tanah supaya dapat memberi manfaat berupa hasil danatau jasa tertentu,
mewujudkan tata ruang, dan menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Di dalam
penggunaan lahan,
menurut Steigenga dalam Jayadinata, Firey menunjukkan pengaruh budaya yang besar
dalam adaptasi
ruang, dan
ia berkesimpulan
bahwa: ruang
dapat merupakan lambang bagi nilai-nilai sosial
misalnya penduduk sering memberikan nilai sejarah yang besar kepada sebidang
tanah. Berhubung dengan pendapat Firey itu, Chapin menggolongkan tanah dalam
tiga kelompok, yaitu yang mempunyai: a.
nilai keuntungan,
yang dihubungkan
dengan tujuan
ekonomi, dan yang dapat dicapai dengan jual – beli tanah di
pasaran bebas; b.
nilai kepentingan umum, yang berhubungan dengan pengaturan
untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat;
c. nilai sosial, yang merupakan hal
yang mendasar bagi kehidupan misalnya sebidang tanah yang
dipelihara, peninggalan, pusaka, dsb, dan yang dinyatakan oleh
penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian,
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76
56
tradisi, kepercayaan,
dan sebagainya.
Menurut Chapin 1979, ada 2 aspek yang mempengaruhi penggunaan
lahan, yaitu aspek aspasial perekonomian- kependudukan
dan spasial
sistem aktifitas, sistem pengembangan lahan dan
sistem lingkungan. Dimana kependudukan terkait dengan perkembangan penduduk
yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas, dan
mobilitas penduduk.
Kualitas penduduk
berkaitan dengan
keadaan masyarakat dan masalah sosial, sedangkan
kuantitas penduduk berkaitan dengan meningkatnya jumlah penduduk baik
secara umum
maupun dilihat
dari komposisi
penduduknya. Mobilitas
penduduk berkaitan
dengan migrasiurbanisasi.
Sedangkan perekonomian,
menyangkut perkembangan
kegiatan ekonomi
yang diindikasikan
dengan bertambahnya
jumlah produksi
dan distribusi yang dilakukan sektor industri,
perdagangan dan jasa, dimana sektor- sektor tersebut dalam perkembangan
kegiatannya memerlukan
lahan di
lingkungan perkotaan. Kegiatan-kegiatan tersebut memerlukan lokasi lahan yang
strategis untuk menjalankan kegiatannya. Posisi tersebut akhirnya membentuk pola
penggunaan lahan yang dipergunakan oleh berbagai aktivitas perekonomian.
Sistem kegiatanaktifitas, dalam hal ini berkaitan dengan cara manusia dan
kelembagaannya mengatur
urusannya sehari-hari untuk memenuhi kebutuhannya
dan saling berinteraksi dalam waktu dan ruang. Interaksi antara berbagai aktifitas
tersebut dilakukan melalui komunikasi dengan menggunakan sistem transportasi
berupa jaringan
jalan yang
banyak mempengaruhi pemanfaatan ruang, yang
biasanya jika di suatu tempat dibangun jalan baru, maka akan diikuti oleh
berkembangnya lahan-lahan
terbangun baru untuk berbagai aktivitas manusia di
sisi kiri-kanan
jalan. Sistem
pengembangan lahan berfokus pada proses pengubahan ruang dan penyesuaiannya
untuk kebutuhan
manusia dalam
menampung kegiatan yang ada dalam susunan sistem kegiatan.
Tanah AdatTanah Ulayat Tanah ulayat merupakan bidang
tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Sedangkan hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh
masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu
yang merupakan lingkungan warganya,
dimana kewenangan
ini memperbolehkan
masyarakat untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah
tersebut bagi kelangsungan hidupnya.
57
Masyarakat dan sumber daya yang
dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan
tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah
yang bersangkutan.
http:id.wikipedia.orgwikiTanah_ulaya t
Sejarah Pertanahan di DIY dalam Kaitannya dengan
Sultanaat Ground
Kasultanan Yogyakarta
sebagai suatu negara kecil juga memiliki kekuasaan yang besar atas tanahnya. Pada
jaman dahulu, ketika Kerajaan Mataram masih sebagai negara berdaulat dan belum
dibawah kekuasaan penjajah Belanda, pada prinsipnya, semua tanah yang ada dalam
wilayah kerajaan adalah milik raja. Pada waktu
itu, rakyat
hanya diberi
hakwewenang untuk meminjam tanah tersebut dari raja hanggaduh, sekalipun
meminjamnya turun temurun hanggaduh run-temurun.
Setelah adanya
Perjanjian Giyanti
dan lahirnya
Kasultanan Ngayogyokarto, prinsip dasar mengenai
pertanahan tersebut tetap dianut. Perjanjian Giyanti yang terjadi antara Pangeran
Mangkubumi, Sri
Susuhunan Paku
Buwono III pengganti Paku Buwono II dan Pemerintah Belanda menjadikan dasar
bahwa untuk Kasultanan Yogyakarta, pemilik sebenarnya dari seluruh aset yang
ada di
Kasultanan adalah
Sultan Hamengku Buwono I, di samping karena
adanya prinsip
mengenai pertanahan
tersebut, juga karena pada dasarnya perjanjian itu merupakan perjanjian pribadi
Pangeran Mangkubumi dengan pihak Kasunanan dan Belanda sebelum diangkat
menjadi sultan. Setelah diangkat menjadi sultan,
secara yuridis, antara pribadi dengan negara
akan menjadi
satu lembaga
kerajaan dan nantinya akan memiliki konsekuensi-konsekuensi logis, aset yang
tadinya milik pribadi secara otomatis akan menjadi
milik kerajaan
juga. Oleh
karenanya, ada pelimpahan kewenangan dan sistem yang mendukung pengelolaan
aset tersebut, yaitu adanya “sistem waris inti”, yang merupakan sistem pewarisan
aset di kraton, yang mana walaupun aset- aset itu pada mulanya adalah milik HB I
secara pribadi, namun secara yuridis hukum adat, diatur kepemilikan dan
kewenangan terhadap aset tersebut ada pada pengganti setiap sultan. Dengan
begitu,nantinya sebagian dari aset akan dibagi dan diwariskan kepada keturunan
tiap sultan,sedangkan yang sebagian lagi tetap menjadi aset sultan tapi dikelola oleh
kraton sebagai lembaga dan seperti itu berlaku seterusnya pada tiap sultan. Oleh
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76
58
karena itu, sebagai intepretasi milik pribadi, untuk tanahnya disebut sebagai
“tanah sultan
sultan ground
”. Di samping itu karena besarnya kepercayaan pengikut
setianya, pengaturan
tanah seisinya
dipercayakan kepada beliau sultan sebagai Kagungan Dalem Noto.
Pada masa setelah pemerintahan HB I, terjadi pergolakan politik
kekuasaan, dimana
Belanda mulai
melakukan intervensinya
terhadap Kasultanan, akan tetapi ditentang oleh HB
II dan
juga keturunan-keturunannya.
Sampai ketika Raffles penjajahan oleh Inggris berkuasa pada tahun 1813, politik
adu domba dijalankan hingga Pangeran Notokusumo yang merupakan saudara HB
II memisahkan diri dan mendirikan Kadipaten
Pakualaman. Pergolakan-
pergolakan semacam itu terus berlangsung hingga jaman Perang Diponegoro usai,
kira-kira setelah masa pemerintahan HB VI – VII.
Dengan adanya
berbagai pergolakan
tersebut, muncul kekhawatiran Belanda terhadap kekuatan Kasultanan, sehingga
politik kontrak semakin diperketat hingga mengatur masalah kewilayahan, terutama
pertanahan. Dan pada abad 19, ketika Belanda
membutuhkan tanah
untuk perusahaan-perusahaannya, menjadi lebih
mudah karena cukup meminta tanah dari sultan, baik dalam bentuk meminjam,
menyewa, ataupun hak milik. Mengingat hal ini, maka perusahaan Belanda dapat
menguasai tanah dalam bentuk Recht van Opstall R.v.O – pada jaman republik
dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan, Recht van Eigendom R.v.E – pada jaman
republik dikonversi menjadi hak milik, dan sebagainya.
Dengan demikian, berdasar politik kontrak tersebut, tanah sultan
Sultan Ground
itu sendiri terdiri dari dua jenis: 1
Tanah Mahkota
Crown Domain
, yaitu
Sultan Ground
yang diperuntukkan dan diatasnya berdiri bangunan-bangunan atau
suatu lahan terbuka yang digunakan untuk atribut kerajaan dan tidak
bisa diwaris, yang disebut dengan, seperti kraton, alun-alun, kepatihan,
Pasar Beringharjo, masjid besar, Pesanggrahan
Ambarukmo, Ambarbinangun, hutan jati di
Karang Asem – Gunung Kidul; 2
Sultanaat Ground
, yaitu
Sultan Ground
yang dikelola oleh kraton sebagai
lembaga Kraton
Ngayogyokarto Hadiningrat,
dimana diatasnya bisa diberikan hak, baik yang tunduk pada hak-
hak barat maupun hak-hak pribumi. Tanah
ini merupakan
Sultan Ground
yang bisa diakses oleh rakyat.
59
Untuk
Sultanaat Ground
, dengan jelas terbagi menjadi dua, yaitu:
1 Tanah-tanah yang tetap dikuasai
oleh hukum adat tanah-tanah yang berada di tangan rakyat – tunduk
pada hak-hak pribumi, yang dalam bahasa
Belanda disebut
“
Inlandsche-gronden
”, dan 2
Tanah-tanah yang tetap dikuasai oleh hukum Eropa tanah-tanah
yang diberikan pada orang-orang atau
perusahaan-perusahaan Belanda, yang disebut dengan
istilah “
Europesche-gronden
”. Kemudian,
untuk mengurangi
beban rakyat
dengan masuknya
perusahaan-perusahaan Belanda,
maka diadakan reorganisasi dengan dikeluarkan
Rijksblaad Kasultanan
Yogyakarta 191816 dan Rijksblaad Kadipaten Paku
Alaman 191818 yang lebih kurang isinya “Sakabehing bumi kang ora ono tondho
yektine kadarbe
ing liyan
mowo wewenang eigendom, dadi bumi kagungan
Kraton Ingsun” semua tanah yang tidak ada tanda bukti kepemilikannya selain
yang dikenai hak eigendom, menjadi tanah milik Kraton. Selanjutnya, setelah seluruh
tanah selain yang dikenai hak eigendom dinyatakan
menjadi milik
Kraton, kemudian diberikan haknya, berupa:
1 Hak
anganggo turun-temurun
kepada masyarakat
di luar
Kotapraja; 2
Hak andarbe kepada kelurahan disebut tanah desa; dan
3 Untuk
masyarakat Kotapraja,
berdasarkan Rijksblaad Kasultanan Yogyakarta
192523 dan
Rijksblaad Kadipaten Paku Alaman 192525, diberikan hak andarbe;
4 Lalu sisanya, yang berupa tanah
liar kosong, hutan belukar, dan sebagainya
merupakan tanah
domein bebas dari Kasultanan Yogyakarta – Kadipaten Paku
Alaman. Dengan
dibentuknya Daerah
Istimewa Yogyakarta
berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1950,
Propinsi DIY diberi kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri, salah
satunya dalam bidang pertanahan. Untuk itu, dikeluarkan Perda No. 5 Tahun 1954
tentang Hak Atas Tanah di DIY, dimana hak atas tanahnya adalah sebagai berikut:
1 Kotamadya
a Tanah hak milik rakyat hak
andarbe bds Rijksblaad No. 23 dan 25 Tahun 1925
b Tanah hak barat eigendom,
opstal, dan hak pakai menurut hukum barat
c Tanah SG dan PAG
Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76
60
d Tanah pemerintah daerah
2 Kabupaten
a. Tanah hak milik bds Perda No.
5 tahun 1954 Pasal 4 b.
Tanah hak barat c.
Tanah SG dan PAG d.
Tanah Pemerintah daerah 3
Kelurahandesa dengan
penggunaan sebagai : a.
Kas desa b.
Tanah bengkoklungguh c.
Pengarem-arem d.
Kepentingan umum Dilanjutkan
dengan keluarnya
Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok
Agraria yang
bersifat nasional, mendasarkan Diktum Ke-empat
A yang menyatakan : “hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air
dari Swapraja atau bekas Swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya
undang-undang ini dihapus dan beralih kepada negara”, dan menurut Diktum Ke-
empat B
menyatakan bahwa
“pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”, namun sampai
sekarang belum pernah ada, maka baru berlaku sebatas 1 tanah hak barat dan 2
selain ketentuan-ketentuan yang mengatur hak atas tanah dan pendaftaran tanah adat.
Kemudian, pada tahun 1984, keluar Keppres No. 33 Tahun 1984 tentang
Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di DIY yang
diikuti beberapa
Kepmendagri, diantaranya Kepmendagri No. 69 Tahun
1984 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Hak Atas Tanah Hak Milik
Perorangan Berdasarkan Perda No. 5 Tahun 1954. Mengacu pada Kepmendagri
tersebut, maka semua tanah di DIY sudah dapat diberlakukan UUPA, kecuali tanah
SG dan PAG.
III. METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian