PENDAHULUAN Latar Belakang KEARIFAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN SULTANAAT GROUND DI KECAMATAN GAMPING KABUPATEN SLEMAN abstrak. 4. Kearifan Lokal

Oktober 2014 51 KEARIFAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN SULTANAAT GROUND DI KECAMATAN GAMPING KABUPATEN SLEMAN The Local Wisdom in Utilizing Sultanaat Ground in District Gamping, Sleman Marsudi Jurusan Ilmu Adminitrasi FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta Diterima tanggal 3 Maret 2014 , disetujui 29 Maret 2014 Abstract The problem in this research is how the local wisdom makes utilizing of Sultanaat Ground in District Gamping, Sleman. For the analitical data, it is used Qualitative Inductive Method, based on the fenomology paradigm. The invention of this research is that the management of Sultanaat Ground done by the Palace is through the local wisdom. The utilization of Sultanaat Ground is by publishing a letter of a long term rent land approvement. The Palace also gives authority to the local government for managing the Sultanaat Ground through special authority letter, as giving permission to build a building. Then the Palace implements local wisdom principal which is “ a shelter “, or a kind from the Palace for its people. Key words : Local Wisdom, Utilizing Sultanaat Ground

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Propinsi DIY merupakan salah satu daerah yang istimewa di Indonesia. Salah satu fakta sejarah yang memperkuat status keistimewaan DIY diantaranya adalah adanya Maklumat Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VII yang dikeluarkan 5 September 1945 dan 30 Oktober 1945, yang merupakan titik tolak integrasi Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana di dalam maklumat tersebut disebutkan “ Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia ”. Di samping itu, keistimewaan DIY diperkuat lagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY, yang di dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa Propinsi DIY diberi Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76 52 kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Keistimewaan itu salah satunya terlihat pada status kepala daerah, dimana sejak kemerdekaan RI, kepala daerah di DIY selalu dipegang oleh Sultan Yogyakarta. Tidak hanya terbatas pada itu, keistimewaan tersebut juga mencakup pemerintahan, pendidikan, kebudayaan, anggaran keistimewaan, dan posisi keraton. Di samping itu, aspek pertanahan juga menjadi salah satu simbol keistimewaan, dimana pada awalnya di Propinsi DIY tidak pernah ada tanah negara. Semua tanah di DIY merupakan Sultanaat Ground tanah milik Kasultanan sebagai lembaga kraton, yang sejak kemerdekaan diberikan kepada pemerintah daerah. Selain yang diberikan kepada pemerintah daerah, masih terdapat tanah milik Keraton Yogyakarta Sultanaat Ground dan tanah milik Puro Pakualaman Paku Alamanaat Ground . Status tanah ini dapat dikategorikan sebagai tanah Ulayat tanah adat, karena merupakan peninggalan leluhur yang dimiliki lembaga Keraton dan Pakualaman. Sultanaat Ground SG dan Paku Alamanaat Ground PAG ini luasnya mencapai ribuan hektar yang sampai saat ini belum ada pendataan pasti dari luas keseluruhan dan tersebar di mana-mana, antara lain di Bantul, Kulonprogo, Sleman dan Kota Yogya. Pada dasarnya, tanah ini tidak memiliki kepastian hukum formal. Hal ini dapat dilihat dari sejarah aturan pertanahan di DIY, terkait dengan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, dimana setelah itu pada tahun 1984, keluar Keppres No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di DIY yang diikuti beberapa Kepmendagri, diantaranya Kepmendagri No. 69 Tahun 1984 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Hak Atas Tanah hak Milik Perorangan Berdasarkan Perda No. 5 Tahun 1954. Mengacu pada kepmendagri tsb, semua tanah di DIY sudah dapat diberlakukan UUPA, kecuali tanah SG dan PAG yang masih harus ditetapkan secara khusus Meskipun demikian, dari pihak keraton sendiri telah mengeluarkan kebijakan mengenai pemanfaatan dan pengelolaan Sultanaat Ground tersebut, yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Paniti Kismo yang merupakan lembaga keraton. Salah satunya adalah dengan memberikan status ngindung atau magersari bagi tanah yang dimanfaatkan oleh masyarakat dengan ketentuan- ketentuan tertentu. Status ngindung atau magersari ini diperkuat dengan adanya bukti surat kekancingan magersari yang 53 dikeluarkan pihak keraton, namun tidak bersertifikat resmi dari pemerintah. Sedangkan untuk mendirikan bangunan permanen di atas tanah magersari ini diperlukan izin dari BPN, sehingga meski tanahnya merupakan tanah kraton dan izin pemanfaatannya melalui lembaga di kraton, untuk urusan mendirikan bangunan tetap dibutuhkan IMB dari pemerintah daerah. Tidak adanya kepastian hukum yang formal mengenai tanah ini dan adanya kebijakan-kebijakan diluar kebijakan kraton mengenai pemanfaatan tanah, baik dari pemerintah pusat maupun yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, membuat kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak kraton menjadi kebijakan tunggal dalam pemanfaatan Sultanaat Ground di DIY pada umumnya, dan juga di Kecamatan Gamping khususnya yang juga terdapat Sultanaat Ground di wilayahnya. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang sudah dijelaskan pada latar belakang diatas, maka masalah yang akan dikaji adalah : ‘Bagaimana kearifan lokal dalam penggunaan Sultanaat Ground di Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman’ ? II. TINJAUAN PUSTAKA Kearifan Lokal Dalam pengertian kamus, kearifan lokal local wisdom terdiri dari dua kata: kearifan wisdom dan lokal local . Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom kearifan sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom kearifan setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat local yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Sedangkan menurut I Ketut Gobyah dalam Sartini, 2004, mengatakan bahwa kearifan lokal local genius adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas, dimana biasanya merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus- menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Sedangkan Imam mengatakan, secra substabsial local wisdom merupakan norma yang berlaku dalam dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenaranya dan Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76 54 menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Sejalan dengan pengertian di atas, menurut Nurma Ali Ridwan 2007, kearifan lokal merupakan akumulasi dari hasil aktivitas budi dalam menyikapi dan memperlakukan lingkungan atau disebut juga sebagai pengetahuan lokal, dimana hal tersebut menggambarkan cara bersikap dan bertindak kita untuk merespon perubahan-perubahan yang khas dalam lingkup lingkungan fisik maupun kultural. Balipos terbitan 4 September 2003 memuat tulisan “Pola Perilaku Orang Bali Merujuk Unsur Tradisi”, antara lain memberikan informasi tentang beberapa fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu: 1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam. 2. Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate . 3. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji. 4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan. 5. Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunalkerabat. 6. Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian. 7. Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur. 8. Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron client Dari penjelasan fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas ranah kearifan lokal, mulai dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan teknis. Dari beberapa hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, yang berfungsi dalam mengatur hampir semua ranah kehidupan masyarakat. Pengertian Lahan Menurut Jayadinata, lahan berarti tanah yang sudah ada peruntukannya dan umumnya ada pemiliknya perorangan atau lembaga. Sedangkan dalam penguasaan atau pemilikan tanah oleh rakyat di suatu negara, terdapat dua prinsip yang berbeda: a. Di suatu negara agraris, dimana nafkah sebagian besar rakyat adalah pertanian, sehingga mereka bergantung kepada tanah, untuk keadilan, maka prinsipnya: tanah itu 55 oleh negara dibagikan kepada sebanyak mungkin penduduk dengan hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dsb, sehingga pemilikanpenguasaan tanah bagi keluargapengusaha adalah terbataskecil. Salah satu contohnya adalah Indonesia. b. Di suatu negara industri, dimana nafkah sebagian besar penduduk adalah industri, maka hanya sedikit saja rakyat yang bertani atau yang bergantung kepada tanah, sehingga untuk memudahkan pengelolaan, prinsipnnya: tanah oleh negara dibagikan kepada sebagian kecil dari penduduk, sehingga pemilikanpenguasaan tanah per keluargaperusahaan dapat luas. Hal ini dapat memungkinkan adanya sistem-sistem tuan-tuan tanah yang memilikimenguasai tanah yang luas sekali. Contohnya negara-negara di Eropa dan Amerika. Pemanfaatan Lahan Berdasarkan kamus penataan ruang, pemanfaatan lahan merupakan penggunaan tanah untuk aktivitas atau kegiatan orang atau badan hukum yang dapat ditunjukkan secara nyata. Sedangkan penggunaan lahan adalah wujud kegiatan penguasaan tanah supaya dapat memberi manfaat berupa hasil danatau jasa tertentu, mewujudkan tata ruang, dan menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Di dalam penggunaan lahan, menurut Steigenga dalam Jayadinata, Firey menunjukkan pengaruh budaya yang besar dalam adaptasi ruang, dan ia berkesimpulan bahwa: ruang dapat merupakan lambang bagi nilai-nilai sosial misalnya penduduk sering memberikan nilai sejarah yang besar kepada sebidang tanah. Berhubung dengan pendapat Firey itu, Chapin menggolongkan tanah dalam tiga kelompok, yaitu yang mempunyai: a. nilai keuntungan, yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi, dan yang dapat dicapai dengan jual – beli tanah di pasaran bebas; b. nilai kepentingan umum, yang berhubungan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat; c. nilai sosial, yang merupakan hal yang mendasar bagi kehidupan misalnya sebidang tanah yang dipelihara, peninggalan, pusaka, dsb, dan yang dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76 56 tradisi, kepercayaan, dan sebagainya. Menurut Chapin 1979, ada 2 aspek yang mempengaruhi penggunaan lahan, yaitu aspek aspasial perekonomian- kependudukan dan spasial sistem aktifitas, sistem pengembangan lahan dan sistem lingkungan. Dimana kependudukan terkait dengan perkembangan penduduk yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas, dan mobilitas penduduk. Kualitas penduduk berkaitan dengan keadaan masyarakat dan masalah sosial, sedangkan kuantitas penduduk berkaitan dengan meningkatnya jumlah penduduk baik secara umum maupun dilihat dari komposisi penduduknya. Mobilitas penduduk berkaitan dengan migrasiurbanisasi. Sedangkan perekonomian, menyangkut perkembangan kegiatan ekonomi yang diindikasikan dengan bertambahnya jumlah produksi dan distribusi yang dilakukan sektor industri, perdagangan dan jasa, dimana sektor- sektor tersebut dalam perkembangan kegiatannya memerlukan lahan di lingkungan perkotaan. Kegiatan-kegiatan tersebut memerlukan lokasi lahan yang strategis untuk menjalankan kegiatannya. Posisi tersebut akhirnya membentuk pola penggunaan lahan yang dipergunakan oleh berbagai aktivitas perekonomian. Sistem kegiatanaktifitas, dalam hal ini berkaitan dengan cara manusia dan kelembagaannya mengatur urusannya sehari-hari untuk memenuhi kebutuhannya dan saling berinteraksi dalam waktu dan ruang. Interaksi antara berbagai aktifitas tersebut dilakukan melalui komunikasi dengan menggunakan sistem transportasi berupa jaringan jalan yang banyak mempengaruhi pemanfaatan ruang, yang biasanya jika di suatu tempat dibangun jalan baru, maka akan diikuti oleh berkembangnya lahan-lahan terbangun baru untuk berbagai aktivitas manusia di sisi kiri-kanan jalan. Sistem pengembangan lahan berfokus pada proses pengubahan ruang dan penyesuaiannya untuk kebutuhan manusia dalam menampung kegiatan yang ada dalam susunan sistem kegiatan. Tanah AdatTanah Ulayat Tanah ulayat merupakan bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Sedangkan hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. 57 Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. http:id.wikipedia.orgwikiTanah_ulaya t Sejarah Pertanahan di DIY dalam Kaitannya dengan Sultanaat Ground Kasultanan Yogyakarta sebagai suatu negara kecil juga memiliki kekuasaan yang besar atas tanahnya. Pada jaman dahulu, ketika Kerajaan Mataram masih sebagai negara berdaulat dan belum dibawah kekuasaan penjajah Belanda, pada prinsipnya, semua tanah yang ada dalam wilayah kerajaan adalah milik raja. Pada waktu itu, rakyat hanya diberi hakwewenang untuk meminjam tanah tersebut dari raja hanggaduh, sekalipun meminjamnya turun temurun hanggaduh run-temurun. Setelah adanya Perjanjian Giyanti dan lahirnya Kasultanan Ngayogyokarto, prinsip dasar mengenai pertanahan tersebut tetap dianut. Perjanjian Giyanti yang terjadi antara Pangeran Mangkubumi, Sri Susuhunan Paku Buwono III pengganti Paku Buwono II dan Pemerintah Belanda menjadikan dasar bahwa untuk Kasultanan Yogyakarta, pemilik sebenarnya dari seluruh aset yang ada di Kasultanan adalah Sultan Hamengku Buwono I, di samping karena adanya prinsip mengenai pertanahan tersebut, juga karena pada dasarnya perjanjian itu merupakan perjanjian pribadi Pangeran Mangkubumi dengan pihak Kasunanan dan Belanda sebelum diangkat menjadi sultan. Setelah diangkat menjadi sultan, secara yuridis, antara pribadi dengan negara akan menjadi satu lembaga kerajaan dan nantinya akan memiliki konsekuensi-konsekuensi logis, aset yang tadinya milik pribadi secara otomatis akan menjadi milik kerajaan juga. Oleh karenanya, ada pelimpahan kewenangan dan sistem yang mendukung pengelolaan aset tersebut, yaitu adanya “sistem waris inti”, yang merupakan sistem pewarisan aset di kraton, yang mana walaupun aset- aset itu pada mulanya adalah milik HB I secara pribadi, namun secara yuridis hukum adat, diatur kepemilikan dan kewenangan terhadap aset tersebut ada pada pengganti setiap sultan. Dengan begitu,nantinya sebagian dari aset akan dibagi dan diwariskan kepada keturunan tiap sultan,sedangkan yang sebagian lagi tetap menjadi aset sultan tapi dikelola oleh kraton sebagai lembaga dan seperti itu berlaku seterusnya pada tiap sultan. Oleh Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76 58 karena itu, sebagai intepretasi milik pribadi, untuk tanahnya disebut sebagai “tanah sultan sultan ground ”. Di samping itu karena besarnya kepercayaan pengikut setianya, pengaturan tanah seisinya dipercayakan kepada beliau sultan sebagai Kagungan Dalem Noto. Pada masa setelah pemerintahan HB I, terjadi pergolakan politik kekuasaan, dimana Belanda mulai melakukan intervensinya terhadap Kasultanan, akan tetapi ditentang oleh HB II dan juga keturunan-keturunannya. Sampai ketika Raffles penjajahan oleh Inggris berkuasa pada tahun 1813, politik adu domba dijalankan hingga Pangeran Notokusumo yang merupakan saudara HB II memisahkan diri dan mendirikan Kadipaten Pakualaman. Pergolakan- pergolakan semacam itu terus berlangsung hingga jaman Perang Diponegoro usai, kira-kira setelah masa pemerintahan HB VI – VII. Dengan adanya berbagai pergolakan tersebut, muncul kekhawatiran Belanda terhadap kekuatan Kasultanan, sehingga politik kontrak semakin diperketat hingga mengatur masalah kewilayahan, terutama pertanahan. Dan pada abad 19, ketika Belanda membutuhkan tanah untuk perusahaan-perusahaannya, menjadi lebih mudah karena cukup meminta tanah dari sultan, baik dalam bentuk meminjam, menyewa, ataupun hak milik. Mengingat hal ini, maka perusahaan Belanda dapat menguasai tanah dalam bentuk Recht van Opstall R.v.O – pada jaman republik dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan, Recht van Eigendom R.v.E – pada jaman republik dikonversi menjadi hak milik, dan sebagainya. Dengan demikian, berdasar politik kontrak tersebut, tanah sultan Sultan Ground itu sendiri terdiri dari dua jenis: 1 Tanah Mahkota Crown Domain , yaitu Sultan Ground yang diperuntukkan dan diatasnya berdiri bangunan-bangunan atau suatu lahan terbuka yang digunakan untuk atribut kerajaan dan tidak bisa diwaris, yang disebut dengan, seperti kraton, alun-alun, kepatihan, Pasar Beringharjo, masjid besar, Pesanggrahan Ambarukmo, Ambarbinangun, hutan jati di Karang Asem – Gunung Kidul; 2 Sultanaat Ground , yaitu Sultan Ground yang dikelola oleh kraton sebagai lembaga Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat, dimana diatasnya bisa diberikan hak, baik yang tunduk pada hak- hak barat maupun hak-hak pribumi. Tanah ini merupakan Sultan Ground yang bisa diakses oleh rakyat. 59 Untuk Sultanaat Ground , dengan jelas terbagi menjadi dua, yaitu: 1 Tanah-tanah yang tetap dikuasai oleh hukum adat tanah-tanah yang berada di tangan rakyat – tunduk pada hak-hak pribumi, yang dalam bahasa Belanda disebut “ Inlandsche-gronden ”, dan 2 Tanah-tanah yang tetap dikuasai oleh hukum Eropa tanah-tanah yang diberikan pada orang-orang atau perusahaan-perusahaan Belanda, yang disebut dengan istilah “ Europesche-gronden ”. Kemudian, untuk mengurangi beban rakyat dengan masuknya perusahaan-perusahaan Belanda, maka diadakan reorganisasi dengan dikeluarkan Rijksblaad Kasultanan Yogyakarta 191816 dan Rijksblaad Kadipaten Paku Alaman 191818 yang lebih kurang isinya “Sakabehing bumi kang ora ono tondho yektine kadarbe ing liyan mowo wewenang eigendom, dadi bumi kagungan Kraton Ingsun” semua tanah yang tidak ada tanda bukti kepemilikannya selain yang dikenai hak eigendom, menjadi tanah milik Kraton. Selanjutnya, setelah seluruh tanah selain yang dikenai hak eigendom dinyatakan menjadi milik Kraton, kemudian diberikan haknya, berupa: 1 Hak anganggo turun-temurun kepada masyarakat di luar Kotapraja; 2 Hak andarbe kepada kelurahan disebut tanah desa; dan 3 Untuk masyarakat Kotapraja, berdasarkan Rijksblaad Kasultanan Yogyakarta 192523 dan Rijksblaad Kadipaten Paku Alaman 192525, diberikan hak andarbe; 4 Lalu sisanya, yang berupa tanah liar kosong, hutan belukar, dan sebagainya merupakan tanah domein bebas dari Kasultanan Yogyakarta – Kadipaten Paku Alaman. Dengan dibentuknya Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1950, Propinsi DIY diberi kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri, salah satunya dalam bidang pertanahan. Untuk itu, dikeluarkan Perda No. 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di DIY, dimana hak atas tanahnya adalah sebagai berikut: 1 Kotamadya a Tanah hak milik rakyat hak andarbe bds Rijksblaad No. 23 dan 25 Tahun 1925 b Tanah hak barat eigendom, opstal, dan hak pakai menurut hukum barat c Tanah SG dan PAG Spirit Publik Vol. 9, No. 1, Oktober 2014 Hal. 51 – 76 60 d Tanah pemerintah daerah 2 Kabupaten a. Tanah hak milik bds Perda No. 5 tahun 1954 Pasal 4 b. Tanah hak barat c. Tanah SG dan PAG d. Tanah Pemerintah daerah 3 Kelurahandesa dengan penggunaan sebagai : a. Kas desa b. Tanah bengkoklungguh c. Pengarem-arem d. Kepentingan umum Dilanjutkan dengan keluarnya Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria yang bersifat nasional, mendasarkan Diktum Ke-empat A yang menyatakan : “hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya undang-undang ini dihapus dan beralih kepada negara”, dan menurut Diktum Ke- empat B menyatakan bahwa “pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”, namun sampai sekarang belum pernah ada, maka baru berlaku sebatas 1 tanah hak barat dan 2 selain ketentuan-ketentuan yang mengatur hak atas tanah dan pendaftaran tanah adat. Kemudian, pada tahun 1984, keluar Keppres No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di DIY yang diikuti beberapa Kepmendagri, diantaranya Kepmendagri No. 69 Tahun 1984 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Hak Atas Tanah Hak Milik Perorangan Berdasarkan Perda No. 5 Tahun 1954. Mengacu pada Kepmendagri tersebut, maka semua tanah di DIY sudah dapat diberlakukan UUPA, kecuali tanah SG dan PAG.

III. METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian