kearifan lokal di indonesia dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua
kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John
M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom
(kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom
(kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local)
yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya.
Definisi lain tentang kearifan lokal (Nurma Ali Ridwan, 2007)
menyebutkan bahwa kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat
dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi)
untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi
dalam ruang tertentu.
Kearifan lokal muncul melalui proses internalisasi yang panjang dan
berlangsung turun temurun sebagai akibat interaksi antara manusia dan
lingkungannya. Proses evolusi yang panjang ini bermuara pada munculnya sistem
nilai yang terkristalisasi dalam bentuk hukum adat, kepercayaan dan budaya
setempat. Dengan demikian kearifan lokal secara substansial merupakan norma
yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi
acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Adanya gaya hidup yang
konsumtif dapat mengikis norma-norma kearifan lokal di masyarakat. Untuk

menghindari hal tersebut maka norma-norma yang sudah berlaku di suatu
masyarakat yang sifatnya turun menurun dan berhubungan erat dengan kelestarian

1

lingkungannya perlu dilestarikan. Keragaman bangsa Indonesia dari sisi etnis,
suku, budaya dan lainnya sejatinya juga menunjuk kepada karaktreristik masingmasing. Pada saat yang sama, kekhasan itu pada umumnya memiliki kearifan
yang pada masa-masa lalu menjadi salah satu sumber nilai dan inspirasi dalam
merajut dan menapaki kehidupan mereka.
Kearifan lokal telah menjadi tradisi - fisik - budaya secara turun
temurun yang menjadi dasar dalam membentuk bangunan arsitektur perkotaan dan
lingkungan binaan, yang digali dari sumber-sumber lokal. Di dalam permukiman
tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan
tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut
memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu hunian atau perumahan
tradisional. Nilai-nilai adat yang tekandung dalam permukiman tradisional
menunjukan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut.
Arsitektur tropis Indonesia adalah arsitektur yang dapat berkomunikasi
baik dengan alam dan manusia, maupun dapat mengekpresikan jati dirinya.
Bahasa garis, tepi, jaring/jala, naungan, gugusan dan bentuk menyebar adalah

bahasa yang diserap dari kondisi-kondisi alam dan kebutuhan manusia.
Pemakaian bahasa ini pada arsitektur tradisional di Indonesia adalah contoh yang
dapat dijadikan acuan dalam perancangan. Namun kondisi ini tentunya tidak
menjadikan arsitektur masa kini sebagai tiruan arsitektur masa lampau.
Sebaliknya pemahaman bahasa alam – manusia – arsitektur tropis lembab justru
dapat melahirkan karya yang kreatif juga inovatif.

1.1 Latar Belakang Masalah

2

Sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 300 lebih suku bangsa
serta 500 bahasa daerah, Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dari
segi budaya. Selain itu setiap suku yang pada umumnya memiliki hukum adat
yang mengatur berbagai aspek kehidupan, mulai dari masalah hubungan
sosial kemasyarakatan, ritual ibadah, kepercayaan, mitos-mitos hingga sanksi
adat bagi pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Beberapa
peraturan dan hukum adat bahkan mengatur tentang tata cara penggunaan
ruang seperti fengshui bagi masyarakat keturunan Tionghoa.
Hukum adat juga mengatur hak-hak kepemilikan tanah dan ruang

serta aturan pemanfaatannya. Secara substansi beberapa hukum adat yang ada
masih relevan untuk diterapkan hingga saat ini seperti pengaruh kepercayaan
pada permukiman Dusun Sade Lombok yang memiliki keseragaman pada
bentuk maupun bahan bangunan yang digunakan, diartikan sebagai kesamaan
asal-usul yaitu dari segumpal tanah. Oleh karena itu, sebagai manusia yang
sama asal dan derajatnya maka rumah sebagai tempat hunian mereka di dunia
juga harus sama, dilain fungsi meghindari adanya kecemburuan sosial antara
satu sama lain.
Keunikan tersebut selain aspek sosial budaya, mengandung
kearifan lokal yang dapat menjadi daya tarik pariwisata, dan berpotensi
meningkatkan pertumbuhan kreatif ekonomi masyarakat. Potensi aset budaya
tersebut memiliki nilai kesejarahan, dan menjadi suatu rangkaian pusaka
(heritage) yang perlu dilestarikan bahkan potensial untuk dikembangkan

3

secara positif, dengan dijadikan sebagai pijakan dalam perencanaan dan
perancangan lingkungan binaan yang berkelanjutan.
Dewasa ini, dunia dipenuhi oleh banyak entitas kebudayaan yang
saling berasimilasi, berakulturasi, atau bahkan saling berkompetisi satu sama

lain. Dengan adanya arus globalisasi, dunia dihadapkan pada arus budaya
tunggal yang evolusinya bergulir begitu kuat, hingga dapat menggeser tatanan
budaya lokal hampir di seluruh tanah air Indonesia. Namun pada
perkembangannya

masyarakat

global

mulai

merasakan

kehilangan

identitas/jatidiri mereka masing-masing. Hal inilah yang mendorong
tampilnya wacana-wacana pelestarian identitas lokal dengan konsep
merevitalisasi budaya lokal yang hampir punah ditengah derasnya arus
globalisasi.
Perencanaan dan pembinaan lingkungan binaan sering kali

memiliki kecenderungan lebih menekankan pada aspek fisik dan visual,
seperti tata guna lahan, sistem jaringan jalan, infrastruktur, prasarana
lingkungan dan lain-lain dibanding aspek-aspek yang terkait dengan
perencanaan komunitas (sosial,budaya) dan perencanaan sumber daya
(resource planning) yang masih belum memperoleh porsi perhatian
sebagaimana mestinya.
Di masa lalu Komunikasi antar alam, manusia dan arsitektur di
Indonesia telah terekam menjadi satu bentuk pengetahuan yang mampu
menghasilkan arsitektur yang tanggap terhadap iklim sebagaimana dapat
dilihat pada arsitektur tradisional di Indonesia. Di masa kini pengetahuan

4

mengenai bahasa alam, manusia dan arsitektur tidak banyak dipahami oleh
generasi sekarang karena pesatnya kemajuan teknologi yang semakin
menjauhkan kebutuhan interaksi akan alam, manusia dan arsitektur.
Akibatnya banyak arsitektur yang kurang merujuk pada iklim tropis lembab.

1.2 Landasan Teoritis
Sebagaimana diungkapkan oleh Tay Kheng Soon dalam Philip

(2001), arsitektur daerah tropis lembab seharusnya berbahasa garis (line), tepi
(edge), jaring (mesh) dan naungan (shade). Soon berpendapat bahwa hal ini
sangat berbeda dengan bahasa arsitektur yang dipelajari di sekolah-sekolah
arsitektur yang lebih menekankan pada bahasa bidang (plane), volume
(volume), padat (solid) dan kosong (void) yang lebih berorientasi ke konteks
alam dan manusia di barat. Antarayana (1999) dalam studi tentang
transformasi bentuk rumah di Bali mendapatkan bahwa gugusan bangunan
(sparse arrangement) dan bentuk-bentuk menyebar (sprawling) lebih tepat
menjadi bahasa arsitektur tropis dibandingkan dengan bentuk kompak yang
tersusun dari banyak ruang.
Di kota-kota yang memiliki kekuatan fisik struktural dapat
dilakukan dengan pendekatan fisik (Trancik, 1986), di samping pendekatan
yang memperlihatkan aliran hubungan dan interaksi serta nilai-nilai
konstektual ruang. Setiap kota memiliki banyak fragmen peninggalan masa
lalu, yaitu kawasan-kawasan bersejarah kota yang berfungsi sebagai bagian
yang terdapat di dalam kota. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk

5

mengggali kearifan lokal, adalah elemen penghubung yaitu elemen-elemen

dari linkage satu kawasan ke kawasan lain untuk membantu orang agar
mengerti fragmen-fragmen kota sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang
lebih besar (Zahnd, 1999:108).
Pendekatan lain adalah figure ground sering digunakan untuk
mendeskripsikan pola masif dan void tata ruang perkotaan kawasan.
Berdasarkan teori figure/ground, suatu tata kota dapat dipahami sebagai
hubungan tekstual antara bentuk yang dibangun (building mass) dan ruang
terbuka (open space). Figure/ground adalah alat yang sangat baik untuk
mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola-pola sebuah tata ruang
perkotaan (urban fabric), serta mengidentifikasikan masalah keteraturan
massa/ruang perkotaan (Zahnd, 1999:79).
Kemudian teori place dipergunakan untuk memahami seberapa
besar kepentingan tempat-tempat perkotaan yang terbuka terhadap sejarah,
budaya dan sosialisasinya. Analisis place adalah alat yang baik untuk
memberikan pengertian mengenai ruang kota melalui tanda kehidupan
perkotaannya dan memberi pengertian mengenai ruang kota secara
kontekstual (Zahnd, 1999:70). Secara fisik, sebuah ruang (space) akan ada
kalau dibatasi sebagai sebuah void dan sebuah space menjadi sebuah place
kalau mempunyai arti dari lingkungan yang berasal dari budaya setempatnya
(Trancik, 1986).

Pengaruh kepercayaan pada permukiman Dusun Sade Lombok,
antara lain terlihat pada pemilihan lokasi permukiman dan orientasi

6

bangunannya. Lokasi permukiman dipilih pada daerah yang lebih tinggi dari
daerah sekitarnya, yaitu pada daerah perbukitan dengan pertimbangan sebagai
berikut (Mahayani, 1995:35) :
Kepercayaan terhadap kosmos tentang adanya kekuatan alam gaib
yang berada di alam atas dan dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai
sumber rahmat keselamatan sekaligus kutukan dan kesengsaraan;
Faktor keamanan, puncak bukit merupakan tempat yang strategis
untuk mengatur pertahananan mengingat adanya konflik antara Dusun Sade
dengan dusun-dusun lainnya;
Faktor kesuburan tanah, perbukitan merupakan daerah yang kurang
subur karena banyak mengandung kapur, sedangkan daerah sekitarnya yang
berupa dataran rendah merupakan daerah yang dapat dimanfaatkan sebagai
lahan pertanian untuk mata pencaharian masyarakat setempat.
Selain itu juga ada pantangan untuk menghadap ke utara karena
mengarah ke Gunung Rinjani yang dianggap sebagai tempat suci karena

merupakan tempat bersemayamnya Dewa Gunung Rinjani, yaitu dewa
tertinggi yang menguasai seluruh Pulau Lombok (Krishna, 2005)

1.2 Perumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan kearifan lokal?
2. Apa saja yang termasuk kearifan lokal dalam arsitektur dan
pembangunan di Dusun Sade Lombok?
3. Bagaimana kaitannya arsitektur rumah sasak di Dusun Sade Lombok
dengan kearifan lokal?

7

3.1 Tujuan Penulisan
1. Memberikan pemahaman mengenai keterkaitan antara kearifan lokal
dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungannya
2. Mengetahui manfaat kearifan lokal pada arsitektur tradisional bagi
masyarakat suku sasak

8


BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengaruh Kearifan Lokal Pada Arsitektur Tradisional di
Permukiman Dusun Sade Lombok
Dusun Sade merupakan salah satu dusun tradisional yang masih
asli. Dusun Sade berada di Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Lombok
Tengah. Rumah-rumah penduduk dibangun dari konstruksi bambu dengan
atap dari daun alang-alang. Mata pencaharian penduduknya adalah sebagai
petani. Jumlah mereka relatif tidak bertambah karena keluarga yang baru
menikah kalau tidak mewarisi rumah orang tuanya akan membangun rumah
di tempat lain. Disamping arsitektur rumah, sistem sosial dan kehidupan
keseharian mereka masih sangat kental dengan tradisi masyarakat Sasak
tempo dulu.
Rumah Tradisional Dusun Sade dapat mewakili untuk disebut
sebagai Desa Wisata di NTB, layaknya Desa Wisata di daerah lain. Sebab,
masyarakat yang tinggal di dusun tersebut semuanya adalah Suku Sasak.
Mereka hingga kini masih memegang teguh adat tradisi. Bahkan, rumah adat
khas Sasak juga masih terlihat berdiri kokoh dan terawat di kawasan ini.
Suku Sasak adalah penduduk asli dan mayoritas di Pulau Lombok,
NTB. Konon, kebudayaan masyarakat terekam dalam kitab Nagara Kartha
Gama karangan Empu Nala dari Majapahit. Dalam kitab itu, Suku Sasak

disebut “Lomboq Mirah Sak-Sak Adhi”. Sedangkan kebudayaan Suku Sasak
itu diantaranya terekam dalam rumah adat Suku Sasak. Alasannya, rumah
memiliki posisi penting dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai

9

tempat secara individu dan keluarga secara jasmani, tetapi juga dalam
pemenuhan kebutuhan jiwa atau spiritual.

2.2 Pembangunan Permukiman Dusun Sade Lombok
Rumah adat Suku Sasak dibangun berdasarkan nilai estetika dan
kearifan lokal. Orang sasak mengenal beberapa jenis bangunan adat yang
menjadi tempat tinggal dan juga tempat ritual adat dan ritual keagamaan.
Rumah adat suku Sasak terbuat dari jerami dan berdinding anyaman bambu
(bedek). Lantai dari tanah liat yang dicampur kotoran kerbau dan abu jerami.
Campuran tanah liat dan kotoran kerbau membuat lantai tanah mengeras,
sekeras semen. Cara membuat lantai seperti itu sudah diwarisi sejak nenek
moyang mereka.
Bahan bangunan seperti kayu dan bambu didapatkan dari lingkungan
sekitar. Untuk menyambung bagian-bagian kayu, mereka menggunakan paku
dari bambu. Rumah suku Sasak hanya memiliki satu pintu berukuran sempit
dan rendah, tidak memiliki jendela. Dalam masyarakat Sasak, rumah
memiliki dimensi kesakralan dan keduniawian. Rumah adat Sasak selain
sebagai tempat berlindung dan berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi
tempat ritual sakral sebagai manifestasi keyakinan kepada Tuhan, arwah
nenek moyang, penunggu rumah dan sebagainya.
Perubahan

pengetahuan,

bertambahnya

jumlah

penghuni

dan

berubahnya faktor eksternal seperti faktor keamanan, geografis dan
topografis, menyebabkan perubahan terhadap fungsi dan bentuk fisik rumah
adat. Hanya, konsep pembangunannya seperti arsitektur, tata ruang dan
polanya tetap menampilkan karakteristik tradisional.
Untuk menjaga kelestarian rumah adat, orang tua Suku Sasak biasanya
berpesan kepada anak-anaknya jika ingin membangun rumah. Jika tetap mau
tinggal didaerah setempat, maka harus membuat rumah seperti model dan
bahan bangunan yang sudah ada. Tapi, jika ingin membangun rumah

10

permanen seperti di kampung-kampung lain pada umumnya, mereka
dipersilahkan keluar dari kampung tersebut. Bahan pembuat rumah adat suku
Sasak diantaranya kayu penyanggga, bambu, bedek untuk dinding, jerami dan
alang-alang untuk atap, kotoran kerbau atau kuda sebagai bahan campuran
pengeras lantai, getah pohon kayu banten dan bajur, abu jerami sebagai
bahan pengeras lantai.
Waktu pembangunan, biasanya berpedoman pada papan warige dari
primbon tapel adam dan tajul muluk. Tidak semua orang mampu menentukan
hari baik. Biasanya mereka bertanya kepada pimpinan adat. Orang Sasak
meyakini waktu yang baik memulai membangun rumah adalah bulan ketiga
dan kedua belas penanggalan Sasak yakni Rabiul Awal dan Dzulhijjah.
Pantangan yang dihindari untuk membangun rumah adalah pada Muharram
dan Ramadhan. Menurut kepercayaan, rumah yang dibangung pada bulan itu
cenderung mengundang malapetaka, seperti penyakit, kebakaran, sulit rezeki
dan lain-lain.
Orang Sasak selektif dalam menentukan tempat pembangunan rumah.
Karena mereka meyakini tempat yang tidak tepat akan berakibat kurang baik,
seperti bekas perapian, bekas pembuangan sampah, bekas sumur, posisi tusuk
sate (susur gubug). Orang Sasak tidak akan membangun rumah berlawanan
arah dan ukurannya berbeda dengan rumah yang lebih dulu ada. Menurut
mereka, melanggar konsep tersebut merupakan perbuatan melawan tabu
(maliq lenget).
Rumah adat Sasak pada atapnya berbentuk gunungan, menukik ke
bawah dengan jarak sekitar 1,5-2 meter dari permukaan tanah (pondasi). Atap
dan bubungannya (bungus) terbuat dari alang-alang, dinding dari bedek,
hanya mempunyai satu ukuran kecil dan tidak ada jendela.
Ruangannya (rong) dibagi menjadi inak bale (ruang induk) meliputi
bale luar (ruang tidur) dan bale dalam berupa tempat menyimpan harta
benda, ruang ibu melahirkan sekaligus disemayamkannya jenazah sebelum
dimakamkan. Ruangan bale dalem dilengkapi amben, dapur dan sempare
(tempat menyimpan makanan dan peralatan rumah tangga lainnya) terbuat

11

dari bambu ukuran 2X2 meter persegi atau empat persegi panjang. Sempare
diletakkan diatas, posisi menggantung di langit-langit atap.
Ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem sorong
(geser). Diantara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak
tangga) dan lantainya berupa campuran tanah dengan kotoran kerbau/kuda,
getah dan abu jerami.
Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan kebutuhan
keluarga maupun kelompoknya. Pembangunan tidak semata-mata untuk
memenuhi kebutuhan keluarga tapi juga kebutuhan kelompok.
Bangunan rumah dalam komplek perumahan Sasak terdiri dari
berbagai macam diantaranya Bale Tani, Bale Jajar, Barugag/Sekepat,
Sekenam, Bale Bonder, Bale Beleq Bencingah dan Bale Tajuk. Nama
bangunan disesuaikan dengan fungsi masing-masing.
a.

Bale Tani adalah bangunan rumah untuk tempat tinggal masyarakat
Sasak yang berprofesi sebagai petani.

b.

Bale Jajar merupakan bangunan rumah tinggal orang Sasak
golongan ekonomi menengah keatas. Bentuk bale jajar hampir sama
dengan bale tani, yang membedakan adalah jumlah dalem balenya.

c.

Berugaq/sekepat berbentuk segi empat sama sisi (bujur sangkar)
tanpa dinding, penyangganya dari kayu, bambu dan alang-alang
sebagai atapnya. Berugaq biasanya terdapat di depan samping kiri
atau kanan bale jajar atau bale tani. Berugaq berfungsi tempat
menerima tamu, karena menurut kebiasaan orang Sasak, tidak semua
orang boleh masuk rumah. Berugaq juga digunakan pemilik rumah
yang memiliki gadis untuk menerima pemuda yang datang midang
(melamar/pacaran).

d.

Sekenam bentuknya sama dengan berugaq, hanya sekenam
mempunyai tiang sebanyak enam buah dan berada di bagian
belakang rumah. Sekenam biasanya digunakan sebagai tempat
kegiatan belajar mengajar tata krama, penanaman nilai-nilai budaya
dan sebagai tempat pertemuan internal keluarga.

12

e.

Bale Bonder adalah bangunan tradisional Sasak yang umumnya
dimiliki para pejabat desa, dusun/kampung. Bale bonder biasanya
dibangun di tengah pemukiman atau di pusat pemerintahan
desa/kampung. Bale bonder digunakan sebagai tempat pesangkepan/
persidangan atas, seperti tempat penyelesaian masalah pelanggaran
hukum adat dan sebagainya.

f.

Bale Beleq adalah satu sarana penting bagi sebuah kerajaan. Bale itu
diperuntukkan sebagai tempat kegiatan besar kerajaan sehingga
sering disebut juga bencingah. Upacara kerajaan yang dilakukan di
bale beleq adalah Pelantikan pejabat kerajaan, penobatan putra
mahkota kerajaan, pengukuhan/penobatan para Kiai Penghulu
(pendeta) kerajaan, tempat penyimpanan benda-benda pusaka
kerajaan seperti persenjataan dan benda pusaka lainnya seperti
pustaka/dokumen kerajaan dan sebagainya.

g.

Bale Tajuk merupakan salah satu sarana pendukung bagi bangunan
rumah tinggal yang memiliki keluarga besar. Bale Tajuk berbentuk
segilima dengan tiang berjumlah lima buah dan biasanya berada di
tengah lingkungan keluarga santana.

h.

Bale Gunung Rate biasanya dibangun oleh masyarakat yang tinggal
di lereng pegunungan, bale balaq dibangun dengan tujuan
menghindari bencana banjir. Oleh karena itu bangunan biasanya
berbentuk rumah panggung dengan bangunan pendukung yakni
Sambi, Alang

dan Lumbung.

1. Sambi, tempat menyimpan hasil pertanian.
2. Alang samadengan lumbung berfungsi untuk menyimpan hasil
pertanian, hanya alang bentuknya khas, beratapkan alang-alang
dengan lengkungan 3/4 lingkaran namun lonjong dan ujungnya
tajam ke atas.
3. Lumbung, tempat untuk menyimpan berbagai kebutuhan.
Lumbung tidak sama dengan sambi dan alang sebab lumbung

13

biasanya diletakkan di dalam rumah/kamar atau di tempat
khusus diluar bangunan rumah.

14

BAB III KESIMPULAN
Pembangunan rumah adat Suku Sasak mengandung nilai-nilai
kearifan lokal. Kearifan itu berkembang dan berlanjut secara turun-temurun. Atap
rumah tradisional Sasak didesain sangat rendah dengan pintu berukuran kecil,
bertujuan agar tamu yang datang harus merunduk. Sikap merunduk merupakan
sikap saling hormat menghormati dan saling menghargai antara tamu dengan tuan
rumah.
Arah dan ukuran yang sama rumah adat Suku Sasak menunjukkan
bahwa masyarakat hidup harmonis. Sedangkan undak-undakan (tangga) tingkat
tiga mempunyai pesan bahwa tingkat ketakwaan ilmu pengetahuan dan kekayaan
tiap manusia tidak akan sama. Diharapkan semua manusia menyadari kekurangan
dan

kelebihan

yang

dimiliki,

karena

semuanya

merupakan

Tuhan. Sedangkan keseragaman pada bentuk maupun yaitu sebagai

rahmat
manusia

memiliki derajat yang sama dilain fungsi meghindari adanya kecemburuan sosial
antara satu sama lain, serta memanfaatkan sumber daya alam yang ada agar
mengurangi nilai ekonomi dalam hal pembangunan rumah dengan tetap
melestarikan dan menjaga keseimbangan alam.
Jadi, rumah merupakan ekspresi pemikiran paling nyata seorang
individu atau kelompok dalam hubungan antar manusia (komunitas atau
masyarakat), alam dan dengan Tuhan (keyakinan), seperti halnya konsep yang ada
pada pembangunan rumah adat masyarakat Sasak.

15