PEMANFAATAN KEARIFAN LOKAL DALAM RANGKA

PEMANFAATAN KEARIFAN LOKAL DALAM RANGKA
PERINGATAN DINI BENCANA MASYARAKAT PESISIR
YOGYAKARTA
Kadhung Prayoga1
1Mahasiswa

Pascasarjana Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Universitas
Gadjah Mada
1Alumni Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya
*E-mail : kadhungprayoga@gmail.com

ABSTRACT
Ancaman bencana bagi masyarakat pesisir sangatlah besar, terutama bagi mereka yang
hidup di kawasan pesisir Yogyakarta. Masyarakat yang hidup di Yogyakarta sudah dibekali oleh
nenek moyang mereka terkait tanda alam sebagai peringatan dini akan datangnya berbagai
macam bencana, baik itu tsunami, angin puting beliung, maupun tanah longsor. Sehingga, paper
ini bertujuan untuk mengetahui kearifan lokal apa yang ada di masyarakat pesisir Yogyakarta
terkait pencegahan bencana lewat sebuah studi literature terhadap sumber data sekunder.
Masyarakat pesisir mengenali tanda-tanda tsunami seperti kondisi air laut, suara dentuman dari
laut, dan adanya hari yang tidak diperbolehkan melaut. Dalam mengidentifikasi terjadinya angin
puting beliung, masyarakat pesisir juga memiliki cara tersendiri untuk melihatnya, yaitu lewat kabut,

udara dingin, dan bentuk awan. Sedangkan untuk tanah longsor, masyarakat biasa merasakan
akan ada hujan deras berhari-hari dan pergerakan awan yang cepat. Mereka juga memanfaatkan
pranata mangsa, rasi bintang, kehadiran kepiting, dan tanda alam lainnya. Berbagai upaya juga
sudah dilakukan masyarakat. Jadi, sudah seharusnya pemerintah mengakomodasi berbagai
kearifan lokal ini dalam membuat sebuah pedoman terkait kegiatan pencegahan bencana. Kearifan
lokal bisa dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan namun tidak menghilangkan esensinya.
Sehingga, dengan begitu pedoman pencegahan bencana tersebut akan mudah diterima oleh
masyarakat.
Keywords: pencegahan, bencana, pesisir, kearifan lokal, yogyakarta

1. PENDAHULUAN
Indonesia dengan lautnya yang
membentang dari Sumatera hingga Papua
menyimpan
berbagai
potensi
untuk
dikembangkan.
Namun,
dibalik

itu
ancaman berbagai bencana alam, seperti
tsunami, angin puting beliyung, dan longsor
sangat erat dalam kehidupan masyarakat
pesisir.
Berbagai aktivitas manusia yang
merusak sumber daya laut juga semakin
memperburuk keadaan. Ancaman bencana
menjadi semakin besar karena ulah
manusia yang tidak bertanggung jawab.
Tentu butuh suatu sistem peringatan dini
agar bencana yang terjadi tersebut tidak
memakan banyak korban jiwa.
Dibutuhkan suatu model pengelolaan
dan peringatan dini yang memadukan
peran pemerintah dan masyarakat agar
berbagai potensi dan ancaman bisa
dikembangkan serta diminimalisir. Sistem

yang ada saat ini masih cenderung berada

di tangan pemerintah atau government
based management dimana pemerintah
pusat memegang kendali dalam mengelola
sumber daya laut, termasuk di dalamnya
terkait pencegahan bencana di wilayah
pesisir.
Banyak
kegiatan
dan
program
pemerintah
yang
sebenarnya
mengingatkan
masyarakat
terkait
pencegahan bencana di daerah pesisir.
Namun, banyak pula dari program tersebut
tidak dihiraukan oleh masyarakat. Hal ini
terjadi karena lemahnya peran masyarakat

dalam menytusun program tersebut.
Masyarakat dengan kearifan lokal yang
mereka miliki tidak mendapat perhatian
lebih dari pemerintah.
Padahal masyarakat yang hidup di
wilayah pesisir juga memiliki cara mereka
tersendiri dalam mengenali bencana yang
akan datang dan bagaimana cara mereka

menanganinya.
Hal
ini
sebenarnya
mendapat dukungan dari UU No 31/2004
bahwa pemerintah yang bertindak sebagai
pengambil
kebijakan
terkait
sektor
perikanan

harus
mempertimbangkan
hukum adat dan/atau kearifan lokal serta
memperhatikan peran serta masyarakat
didukung menjadi dasar konstitusi bagi
pengelolaan berbasis kearifan lokal.
Menurut Solichin (2010), Indonesia
memiliki kearifan lokal dalam mengelola
sumber daya alam yang dimiliki secara
bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Kearifan lokal tersebut merupakan hak-hak
kepemilikan (property rights) yang tidak
hanya diartikan sebagai penguasaan
terhadap suatu kawasan, akan tetapi juga
sebagai salah satu bentuk strategi dalam
melindungi sumber daya dari kegiatan
perikanan yang merusak (destructive
fishing) dan berlebihan (over exploited).
Di beberapa wilayah di tanah air seperti
Yogyakarta

dengan
wilayah
yang
mayoritas adalah wilayah pesisir juga
memiliki kearifan lokal terkait kegiatan
pencegahan bencana. Jadi, perlu dikaji
apa saja kearifan lokal yang ada di
masyarakat pesisir Yogyakarta dan apa
yang harus dilakukan pemerintah agar
masyarakat
bisa
lebih
memahami
peringatan dini terkait suatu bencana di
wilayah pesisir.

2. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kearifan Lokal
Keraf (2006) mengistilahkan kearifan
lokal dengan istilah kearifan tradisional,

yang diartikan sebagai semua bentuk
pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau
wawasan serta adat kebiasaan dan etika
yang menuntun perilaku manusia dalam
kehidupan di dalam komunitas ekologis.
Sedangkan menurut Juniarta (2013),
kearifan lokal berkaitan erat dengan tata
nilai kehidupan yang terwarisi dari generasi
ke generasi berikutnya yang berbentuk
religi, budaya maupun adat istiadat yang
umumnya dalam bentuk lisan dalam suatu
bentuk sistem sosial suatu masyarakat.
Aulia et. al (2010) berpendapat bahwa
kearifan lokal merupakan manifestasi dari
suatu kebijaksanaan gagasan-gagasan,
ilmu pengetahuan, keyakinan, pemahaman
dan adat kebiasaan/etika masyarakat lokal
yang dianggap baik untuk dilaksanakan,

bersifat tradisional, diwariskan, penuh

kearifan dan berkembang dalam jangka
waktu tertentu dan merupakan hasil dari
timbal balik antara masyarakat dan
lingkungannya.
2.2 Wilayah Pesisir
Wilayah
pesisir
adalah
daerah
pertemuan antara darat dan laut, ke arah
darat meliputi daratan baik kering maupun
terendam air yang masih dipengaruhi oleh
sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin
laut dan perembesan air asin. Ke arah laut
mencakup bagian laut yang masih
dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi
di darat seperti sedimentasi dan aliran air
tawar, maupun yang disebabkan kegiatan
manusia seperti pertanian dan pencemaran
(Brahtz, 1972; Soegiarto, 1976; Beatly,

1994) dalam Direktoral Jendral Pesisir dan
Pulau Kecil (2003).
Dahuri, dkk. (1996) mendefenisikan
wilayah pesisir sebagai suatu wilayah
peralihan antara daratan dan lautan,
dimana batas ke arah darat adalah jarak
secara arbiter dari rata-rata pasang
tertinggi dan batas ke arah laut adalah
yurisdiksi wilayah propinsi atau state di
suatu negara. Kawasan pesisir merupakan
wilayah peralihan antara daratan dan
perairan laut.
2.3 Bencana
Bencana
(disaster)
merupakan
fenomena sosial akibat kolektif atas
komponen bahaya (hazard) yang berupa
fenomena alam atau buatan di satu pihak,
dengan

kerentanan
(vulnerability)
komunitas di pihak lain. Bencana terjadi
apabila komunitas mempunyai tingkat
kapasitas atau kemampuan yang lebih
rendah dibanding dengan tingkat bahaya
yang mungkin terjadi padanya (Paripurno,
2006).
Sedangkan dalam Undang-Undang
No.24 Tahun 2007, bencana adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan
dan
penghidupan masyarakat
yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau
faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak

psikologis. Bencana merupakan pertemuan
dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana,

kerentanan, dan kemampuan yang dipicu
oleh suatu kejadian.
Oleh karena itu sebelum terjadinya
bencana
perlu
adanya
kegiatan
pencegahan.

3. METODE PENULISAN
Pendekatan yang digunakan dalam
penulisan paper ini adalah pendekatan
kualitatif. Strauss dan Corbin (2003)
memandang pendekatan kualitatif adalah
jenis penelitian yang temuannya tidak
diperoleh melalui prosedur statistik dan
bentuk hitung-hitungan lainnya. Contohnya
adalah penelitian tentang kehidupan,
riwayat, perilaku manusia, disamping juga
tentang peranan organisasi, pergerakan
sosial, atau hubungan timbal balik.
Sedangkan metode yang digunakan adalah
metode deskriptif dan analisis wacana.
Penulisan paper ini berusaha untuk
menjelaskan berbagai macam kearifan
lokal yang digunakan masyarakat pesisir
sebagai peringatan dini jika terjadi suatu
bencana. Jadi, metode-metode kualitatif
sangat cocok digunakan karena menurut
Bogdan dan Tylor (1993), metode kualitatif
memungkinkan peneliti untuk memahami
masyarakat
secara
personal
dan
memandang mereka sebagaimana mereka
sendiri
mengungkapkan
pandangan
dunianya. Teknik pengumpulan datanya
sendiri
menggunakan
metode
studi
pustaka untuk mendapatkan data-data
sekunder. Data sekunder dalam penulisan
paper ini berupa bahan-bahan tertulis yang
berasal dari penelitian terdahulu, jurnal,
buku, tesis, disertasi, dan berbagai
informasi digital yang ada di internet.
Analisis menggunakan interpretasi peneliti
dengan mengacu pada berbagai literatur
atau referensi yang relevan dengan objek
kajian dalam penulisan paper ini.

4. PEMBAHASAN
4.1Kearifan Lokal dalam pencegahan
Bencana di Yogyakarta.
Dalam penelitian Hiryanto (2012)
masyarakat yang berada di pesisir
parangtritis mengenali terjadinya tsunami
jika secara tiba-tiba air laut menjadi surut,
para nelayan mendapatkan tangkapan ikan
yang melimpah dan ikan yang diperoleh

memiliki ukuran yang besar, serta
kemudian tiba-tiba air laut naik.
Ciri lainnya adalah muncul suara gler
dari arah laut yang sangat keras, dan
setelah suara itu terdengar air laut akan
surut atau mundur ke belakang. Gler ini
merupakan bunyi reruntuhan gua atau
terowongan di sekeliling atau di dalam laut.
Menurut warga Yogyakarta yang hidup
di daerah pesisir, mereka akan waspada
pada hari Jumat Kliwon karena pada hari
itu dipercaya air mulai naik dan rawan
terjadi tsunami.
Armanto, dkk (2007), menjelaskan
bahwa tsunami didahului oleh dentuman.
Dan pengetahuan lokal masyarakat
Yogyakarta mengenai suara gler bisa saja
merupakan bunyi dentuman yang ada di
laut. Hal ini disebabkan adanya pergeseran
vertikal lempeng bumi di bawah dasar laut.
Patahan lempeng bumi menyebabkan
perubahan dasar laut secara mendadak.
Bencana lain yang lekat dengan
masyarakat pesisir adalah angin puting
beliung. Penelitian dari Hiryanto (2012)
juga menunjukkan pengetahuan lokal yang
dimiliki warga Yogyakarta dalam mengenali
terjadinya bencana angin puting beliung.
Dari hasil penelitian tersebut warga
mengaku akan ada kabut sebelum angin
datang. Selain itu, awan akan berbentuk
menyerupai gelombang, atau dalam
bahasa lokal biasa disebut ampak-ampak.
Awan tersebut adalah awan CB atau
awan comulus nimbus yang memiliki
bentuk menyerupai bunga kol. Sesaat
sebelum angin puting beliung datang akan
terjadi panas yang terik, namun di tengah
panas tersebut tiba-tiba langit berubah
gelap dan udara menjadi dingin.
Tanah longsor juga menjadi ancaman
bencana bagi masyarakat pesisir yang ada
di Yogyakarta. Hal ini disebabkan topografi
wilayah pesisir Yogyakarta yang dekat
dengan tebing dan rawan terjadi longsor.
Hiryanto, dkk (2012) juga mengungkapkan
bahwa masyarakat pesisir akan merasakan
hujan deras terlebih dahulu. Longsor akan
dimulai dari daerah atas tebing, umumnya
terjadi di daerah yang konturnya miring.
Sedangkan di bagian bawah tanah akan
bergerak dan tiba-tiba muncul mata air di
sekitar tebing. Masyarakat juga akan
melihat awan putih atau mega yang

berjalan di langit sebagai tanda awal
sebelum longsor terjadi.
Sunarto (2009) juga mendapati
adanya suatu kearifan lokal pada
masyarakat pesisir Yogyakarta bahwa saat
musim penghujan banyak hewan kepiting
naik ke teras rumah atau masuk ke rumah
penduduk, maka keadaan itu oleh
masyarakat
dijadikan
tanda
akan
datangnya banjir.
Masyarakat pesisir juga mengenal
adanya dina renteng. Dina renteng adalah
hari-hari
yang
secara
berturut-turut
memiliki nilai perhitungan jawa berjumlah
13 dan 14. pada hari itu akan terjadi hujan
lebat secara terus menerus. Hari yang
berjumlah 13 adalah jumat pon, sabtu
wage, dan minggu kliwon. Sedangkan yang
nilainya 14 adalah jumat kliwon, sabtu legi,
dan minggu paing (Endraswara, 2003).
Dalam penelitian Sunarto (2011),
ditemukan sebuah kearifan lokal lain
bahwa masyarakat dalam beradaptasi
dengan lingkungan kepesisiran dinyatakan
dalam bentuk nasihat yang turun-temurun,
yaitu “Manawa sira urip anèng gisik, sira
kudu nglilakna manawa biyungé njaluk bali
manèhyogané”. Nasihat turun-temurun
dengan bahasa Jawa tersebut jika
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
menjadi:“Seandainya engkau berkehidupan
di pantai, engkau harus merelakan
seandainya induknya meminta kembali
anaknya”.
Ungkapan ini bisa dimaknai bahwa
masyarakat pesisir harus senantiasa
memahami kondisi di sekitarnya karena
lingkungan laut yang selalu berubah setiap
saat.
Masyarakat pesisir juga menggunakan
pranata mangsa untuk mengamati keadaan
sekitarnya. Baik itu untuk melihat cuaca
maupun untuk aktivitas menangkap ikan.
Menurut Partosuwiryo (2012) dalam laman
Natgeo (2012) menjelaskan bahwa nelayan
memanfaatkan jenis dan letak bintang
sebagai pemandu arah ketika di laut.
Bahkan ketika terjadi badai dan gelombang
besar mereka masih memanfaatkan rasi
bintanguntuk menyelamatkan diri.
Tidak hanya itu, nelayan juga
menggunakan tanda-tanda alam seperti
udara dingin, musim buah-buahan, angin
kencang, serta posisi bulan untuk
menentukan kegiatan melautnya.

Namun, menurut Jokowinarno (2011),
sistem peringatan dini yang memanfaatkan
kearifan lokal ternyata harus dikaji ulang
karena beberapa alasan, yaitu:
1. Perilaku binatang di sekitar pantai masih
belum bisa secara pasti dinterpretasikan
oleh
manusia.
Misal
sulit
kita
membedakan perilaku burung yang
mengetahui tsunami, hujan badai, atau
bencana alam yang lain.
2. Surutnya air laut tidak reliable sebagai
tanda akan datangnya tsunami karena
memang setiap hari air laut mengalami
pasang-surut dengan amplitudo yang
bervariasi sesuai dengan posisi bumi
terhadap benda-benda di ruang angkasa
terutama bulan dan matahari.
Biantoro (2011) juga meneguhkan
pernyataan di atas bahwa kearifan lokal
memang dapat menjadi bagian dari
kekuatan pengetahuan manusia di masa
depan, namun disatu sisi menempatkan
kearifan lokal pada posisi yang berlebihan
mengakibatkan manusia dapat terjebak
dalam romantisme masa silam yang tidak
relevan, sebuah pemahaman yang akan
melupakan masa depan karena terlalu
berorientasi pada masa lalu.
Meskipun
demikian,
penggunaan
tanda-tanda alam sebagai kearifan lokal
masyarakat Yogyakarta ini masih relevan
untuk digunakan dalam melengkapi sistem
peringatan
dini
bencana
yang
dikembangkan oleh pemerintah. Dalam
sistem peringatan dini, semua indikator
baik yang bersifat ilmiah maupun kearifan
lokal harus saling disinergikan untuk
mendapatkan hasil yang terbaik.
Pemerintah sebagai policy taker juga
harus tetap melihat bahwa ada sesuatu
yang hidup bersama masyarakats ejak
ratusan tahun yang lalu, yaitu kearifan dan
pengetahuan lokal. Pemerintah secara
scientific harus memahami karakteristik
bencana alam dan kerusakan yang ada.
Namun, masyarakat juga perlu dilibatkan
terkait identifikasi pengetahuan dan
kearifan lokal mengenai peringatan dini
bencana yang mereka miliki. Pemahaman
terkait kondisi sosial budaya ini juga bisa
lebih mudah untuk mengajak masyarakat
mengikuti kebijakan yang akan dibuat oleh
pemerintah, sehingga resiko bencana yang
terjadi bisa diminimalisir.

Lebih
jauh
Sunarto
(2011)
mengembangkan sebuah pemikiran bahwa
kekayaan budaya tersebut lebih baik
dilembagakan sehingga kearifan lokal yang
ada di masyarakat pesisir akan mudah
diketahui dan dipelajari oleh masyarakat
luas. Hal ini juga dapat menjadi langkah
preventif agar kearifan lokal tersebut tidak
hilang akibat perubahan zaman.

4.2 Upaya Mewariskan Kearifan
Lokal
Berbagai upaya telah dilakukan
masyarakat pesisir Yogyakarta dalam
rangka mewariskan kearifan lokal yang
mereka miliki kepada generasi muda agar
kearifan lokal tersebut tidak hilang. Terlebih
lagi hal itu dilakukan agar mereka
senantiasa diberi keselamatan oleh Tuhan.
Dalam penelitian Hiryanto, dkk (2012)
warga
Yogyakarta telah
melakukan
berbagai cara untuk memperkenalkan
warisan budaya tersebut kepada anak
cucunya. Langkah yang mereka ambil
adalah sebagai berikut:
1. Menyampaikan
tanda-tanda
yang
dipahami tentang hadirnya bencana
pada anak cucu.
2. Menasehari anak cucu untuk selalu
memohon keselamatan pada Tuhan.
3. Dari sisi kebatinan, jika ada bencana
membuang galar (tongkat kayu) ke luar
rumah agar diberi keselamatan dan
bencana tersebut menjauh dari mereka.
4. Membuang garam, selanjutnya diikuti
dengan adzan, tujuannya supaya angin
puting beliung berhenti.
5. Pada orang hamil perut diberi abu agar
tidak keguguran.
6. Sembunyi di dalam ruangan jika ada
lesus (angin puting beliung).
7. Memasak sayur keluwih agar diberi
keselamatan.
8. Supaya terhindar dari rumah roboh,
maka bangunan rumah berbentuk
limasan, dan warga akan saling
berpegangan sambil berucap kukuh
bakoh agar rumah mereka tidak roboh
saat ada bencana.
Jokowinarno
(2011),
juga
mengungkapkan
6
kebijakan
yang
seharusnya dilakukan oleh pemerintah
guna membuat sebuah sistem peringatan

dini bencana yang memanfaatkan kearifan
lokal masyarakat, yaitu:
1. Melakukan upaya-upaya perlindungan
kepada kehidupan, infrastruktur dan
lingkungan pesisir.
2. Meningkatkan pemahaman dan peran
serta masyarakat pesisir terhadap
kegiatan
pencegahan
bencana
gelombang
pasang,
termasuk
di
dalamnya menggali kearifan lokal
masyarakat.
3. Meningkatkan
kesiapsiagaan
masyarakat pesisir terhadap bencana.
Meliputi pengembangan sistem yang
menunjang komunikasi untuk peringatan
dini
dan
keadaan
darurat,
menyelenggarakan latihan dan simulasi
tanggapan terhadap bencana dan
kerusakan yang ditimbulkan, serta
penyebarluasan
informasi
tahapan
bencana
dan
tanda-tanda
yang
mengiringi terjadinya bencana.
4. Meningkatkan koordinasi dan kapasitas
kelembagaan pencegahan bencana.
5. Menyusun payung hukum yang efektif
dalam upaya mewujudkan upaya-upaya
pencegahan bencana.
6. Mendorong
keberlanjutan
aktivitas
ekonomi dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat pesisir.

5. KESIMPULAN
Berbagai penjelasan diatas dapat
disimpulkan
bahwa
pada
dasarnya
masyarakat pesisir memiliki suatu kearifan
lokal dalam menghadapi ancaman sebuah
bencana, baik itu tsunami, angin puting
beliung,
maupun
tanah
longsor.
Masyarakat pesisir mengenali tanda-tanda
tsunami seperti kondisi air laut, suara
dentuman dari laut, dan adanya hari yang
tidak
diperbolehkan
melaut.
Dalam
mengidentifikasi terjadinya angin puting
beliung, masyarakat pesisir juga memiliki
cara tersendiri untuk melihatnya, yaitu
lewat kabut, udara dingin, dan bentuk
awan. Sedangkan untuk tanah longsor,
masyarakat biasa merasakan akan ada
hujan deras berhari-hari dan pergerakan
awan yang cepat. Tidak hanya itu,
masyarakat pesisir juga menjadikan
datangnya kepiting sebagai peringatan
akan datangnya banjir dari laut. Mereka
juga memanfaatkan pranata mangsa, rasi
bintang dan tanda alam lainnya.

Jadi sudah seharusnya pemerintah
mengakomodasi berbagai kearifan lokal ini
dalam membuat sebuah pedoman terkait
kegiatan pencegahan bencana. Namun,
perlu diingat bahwa kearifan lokal ini juga
harus
dikaji
secara
ilmiah
agar
kebenarannya
bisa
dipertanggungjawabkan. Kearifan lokal
bisa dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan
namun tidak menghilangkan esensinya.
Sehingga,
dengan
begitu
pedoman
pencegahan bencana tersebut akan mudah
diterima oleh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Armanto, D, Marzunita, Saprudin, Sudarja,
M, Royan, A, Wijayanti, Didit, Iwan,
dan Sarsih. 2007. Bersahabat dengan
Ancaman. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Aulia TOS, Dharmawan AH. 2010. Kearifan
lokal dalam pengelolaan sumber daya
air di Kampung Kuta. Sodality.
4(2010):335-346.
Biantoro S. 2011. Menjawab Tantangan
Global? Strategi Masyarakat Adat
dalam Kasus Pembalakan Hutan di
Kalimantan Barat. Artikel dalam buku
Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi.
Bogdan, Ribert dan Steven J. Tylor. 1993.
Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian.
Surabaya: Usaha Nasional.
Dahuri, R., 1996, Ekosistem Pesisir,
Makalah/Materi Kuliah, IPB, Bogor.
Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil, Departemen Perikanan dan
Kelautan, 2003, Modul Pengelolaan
Pesisir
dan
Pulau-pulau
Kecil
Terpadu, Direktorat Jendral Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil, Jakarta.
Endraswara, S. (2003). Falsafat Hidup
Jawa, Penerbit Cakrawala, Tangerang.
Hiryanto, Sri Iswanti, dan Kartika Nur
Fathiyah. 2011. Identifikasi Kearifan
Lokal Dalam Memahami Tanda-Tanda
Bencana Alam Pada Insan Usia Lanjut
Di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Laporan Penelitian Kelompok Kajian
Tahun Anggaran 2012. Universitas
Negeri Yogyakarta.
Jokowinarno, Dwi. 2011. pencegahan
Bencana Tsunami Di Wilayah Psisir
Lampung. Jurnal Rekayasa. Vol. 15
No. 1.

Juniarta, Hagi Primadaksa. 2013. Kajian
Profil Kearifan Lokal Masyarakat
Pesisir
Pulau
Gili,
Kecamatan
Sumberasih, Kabupaten Probolinggo,
Jawa Timur. Jurnal ECSOFiM Vol. 1
No. 1.
Keraf S. 2006. Etika Lingkungan. Kompas:
Jakarta.
National Geographic. 2012. Pranata
Mangsa, Metode Penangkapan Ikan
Lestari.
www.
nationalgeographic.co.id.
Diakses
pada tanggal 03 Oktober 2016.
Paripurno,
EK.
2006.
Perencanaan
Pembangunan
Sensitif
Bencana.
Disampaikan
dalam
Pelatihan
Orientasi
Pengurangan
dan
Manajemen
Risiko
Bencana.
Magelang.
Solikhin, Satria A. 2007. Hak ulayat laut di
era otonomi daerah sebagai solusi
pengelolaan perikanan berkelanjutan:
Kasus awig-awig di Lombok Barat.
Sodality. 1(April).
Strauss, Anselm & Juliet Corbin, 2003.
Dasar-dasar
Penelitian
Kualitatif.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Sunarto, Lies Rahayu W.F., D. Mardiatno,
M.A. Marfai, dan Daryono. 2009.
Strategi
Pengurangan
Risiko
Multibencana melalui pencegahan dan
Adaptasi di Wilayah Provinsi DIY dan
Jawa Tengah (Studi Kasus Zona Utara
Pulau Jawa), Laporan Penelitian Hibah
Strategis Nasional, LPPM – UGM,
Yogyakarta.
Sunarto. 2011. Pemaknaan Filsafati
Kearifan
Lokal
Untuk
Adaptasi
Masyarakat Terhadap Bencana Marin
dan Fluvial Di Lingkungan Kepesisiran.
Jurnal Forum Geografi. Vol. 25 No. 1.
p.1-16. Yogyakarta.
Undang-Undang No. 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan.