TINJAUAN PUSTAKA Kajian efek sinergi antimikroba metabolit bakteri asam laktat dan monoasilgliserol minyak kelapa terhadap mikroba patogen pangan

2. TINJAUAN PUSTAKA

Bakteri Asam Laktat Bakteri asam laktat BAL erat kaitannya dengan proses fermentasi pangan, dan saat ini telah berkembang dalam industri fermentasi pangan. Stiles dan Holzapel 1997 menyatakan bahwa bakteri asam laktat BAL memiliki sifat Gram positif, tidak membentuk spora dan dapat berbentuk koki, kokobasili atau batang. Pada umumnya bakteri asam laktat bersifat katalase negatif, non motil atau sedikit motil, mikroaerofilik sampai anaerob, toleran terhadap asam, kemoorganotrofik dan membutuhkan suhu mesofilik Salminen dan Von Wright 2004 . Lebih lanjut dinyatakan oleh Jay 1996 bakteri asam laktat bersifat mesofilik dan termofilik, beberapa dapat tumbuh pada suhu 5 o C dan tertinggi 45 o C, dapat bertahan pada pH 3,2 dan pada pH yang lebih tinggi 9,6, beberapa hanya dapat tumbuh pada kisaran pH yang sempit pH 4,0–4,5. Bakteri ini termasuk mikroorganisme GRAS Generally Recognized as Safe atau golongan mikroorganisme yang aman ditambahkan dalam makanan karena sifatnya tidak toksik dan tidak menghasilkan toksin, yang dikenal dengan sebutan “food grade microorganism“, yaitu mikroorganisme yang tidak beresiko terhadap kesehatan Alakomi et al. 2000. Peran utama bakteri asam laktat adalah sebagai kultur starter produk-produk yang melibatkan proses fermentasi untuk memperoleh produk akhir dengan tingkat konsistensi yang tinggi. Selain menghasilkan produk akhir yang konsisten, bakteri asam laktat ternyata juga memiliki efek mengawetkan pada produk fermentasi yang diinginkan. Untuk tujuan pengawetan, dibutuhkan produksi massa sel yang tinggi, tahan selama pembekuan dan pengeringan, serta stabil selama penyimpanan. Disamping itu kultur harus mampu tumbuh pesat, tidak rentan terhadap phage, toleran terhadap garam dan stabil secara genetika Jenie et al. 1996b. Pada dasarnya penggunaan bakteri asam laktat dalam makanan ditujukan untuk memperpanjang masa simpan, meningkatkan kualitas dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen dan pembusuk. Efek mengawetkan dan daya hambat dari bakteri asam laktat berkaitan dengan substansi antimikrobanya. Menurut Leverentz et al. 2006 bakteri asam laktat merupakan salah satu mikroorganisme yang dapat digunakan dalam mengontrol pertumbuhan bakteri patogen dalam bahan pangan karena mampu menurunkan pH dan menghasilkan bakteriosin. Jenie et al. 2001 melaporkan bahwa bakteri asam laktat memiliki aktivitas antimikroba dengan memproduksi metabolit berupa produksi asam organik asam laktat, asam format, dan asam asetat, diasetil, hidrogen peroksida, karbondioksida, bakteriosin dan juga komponen-komponen antimikroba yang bersifat antagonistik dengan spektrum yang luas terhadap mikroorganisme. Disamping itu Pitt et al. 2000 menyatakan bahwa selama proses fermentasi, bakteri asam laktat akan menghasilkan metabolit- metabolit yang menimbulkan perubahan rasa dan bentuk makanan serta menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan pembusuk. Pembentukan asam pada produk metabolisme BAL akan menurunkan nilai pH, dan mengakibatkan mikroba patogen dan perusak yang umumnya tidak tahan suasana asam akan terhambat. Akumulasi produk akhir asam mengakibatkan turunnya pH dan akan menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif maupun bakteri Gram negatif. Kultur bakteri asam laktat dapat diisolasi dari berbagai produk-produk bahan pangan seperti pada produk sayuran pikel, sauerkraut, sawi asin, produk fermentasi ikan peda, bekasam, kecap ikan, silase, terasi dan sebagainya , produk-produk daging, dan produk susu yoghurt, susu asam keju . Berdasarkan cara kerjanya terhadap glukosa, BAL dibagi menjadi dua golongan, yaitu homofermentatif yang mampu memfermentasi glukosa menjadi asam laktat sebagai produk utamanya, dan pada kelompok heterofermentatif yang mampu memfermentasi glukosa menjadi asam laktat dan senyawa lain, seperti asam asetat, CO 2 , diasetil, bakteriosin dan etanol Jay 1998. Metabolit Hasil Produksi Bakteri Asam Laktat Senyawa antimikroba merupakan senyawa kimia atau biologi yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba, dan senyawa tersebut sering digolongkan sebagai bahan pengawet. Bakteri asam laktat menghasilkan beberapa senyawa antimikroba. Senyawa antimikroba ini ada yang bersifat bakterisidal membunuh bakteri, bakteriostatik menghambat pertumbuhan bakteri, fungisidal membunuh kapang dan khamir dan fungistatik menghambat pertumbuhan kapang dan khamir. Komponen senyawa antimikroba yang terdapat dalam BAL disamping berfungsi sebagai antibakteri juga berfungsi sebagai antimikotik. Menurut Gourama dan Bullerman 1995 sifat antimikotik ini disebabkan oleh adanya senyawa polipeptida dan metabolit dari bakteri asam laktat dengan berat molekul rendah yang dapat menghambat pertumbuhan kapang serta dapat pula menghambat sintesis aflatoksin. Jenis kapang yang dapat dihambat adalah Aspergillus parasiticus, A. fumigatus, Rhizopus sp dan lain–lain. Stilles et al. 2002 dalam Magnusson 2003 menemukan adanya efek penghambatan dari Lactobacillus sanfrancisco CBI yang menghasilkan metabolit yang mengandung asam propionat, asam butirat dan valerat terhadap beberapa jenis kapang diantaranya Penicillium spp, Aspergillus spp, Fusarium spp, dan Monilla spp. Cabo et al. 2002 melaporkan temuannya bahwa bakteri asam laktat dari L. plantarum dan L. casei subsp. casei sangat efektif dalam menghambat P. commune dan P. roqueforti dan kurang efektif terhadap Aspergillus parasiticus, Aspergillus flavus dan Fusarium avenaceum tetapi dapat mengendalikan produksi aflatoksin dari Aspergillus flavus. Efektivitas antimikroba dalam mengawetkan bahan makanan adalah dengan cara mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme atau secara langsung memusnahkan seluruh atau sebagian mikroorganisme Brannen dan Davidson 1993. Frazier et al. 1987 mengemukakan bahwa kemampuan suatu senyawa antimikroba di dalam menghambat atau membunuh mikroba sangat ditentukan oleh 1 konsentrasi senyawa antimikroba, 2 jenis, jumlah, umur dan latar belakang kehidupan mikroorganisme, 3 Suhu dan waktu kontak, serta 4 sifat fisik dan kimia media pH, kadar air, jenis dan jumlah zat terlarut. Asam Organik Produk Metabolit BAL Asam-asam organik yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat mengakibatkan akumulasi produk akhir asam dan penurunan pH yang akan menghambat pertumbuhan bakteri baik Gram positif maupun bakteri Gram negatif. Aktivitas asam-asam lipofilik seperti asam laktat dan asetat dalam bentuk tidak terdisosiasi dapat menembus sel mikroba, dan pada pH intraseluler yang lebih tinggi, berdisosiasi menghasilkan ion- ion hidrogen dan mengganggu fungsi metabolit esensial seperti translokasi substrat dan fosforilasi oksidatif, dengan demikian mereduksi pH intraseluler Cabo et al. 2002. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Jenie et al. 1996a bahwa efek penghambatan dari asam organik terutama berasal dari jumlah asam yang tidak terdisosiasi. Asam lipofilik seperti asam laktat dan asam asetat dalam bentuk tidak terdisosiasi dapat menembus sel mikroba. Stratford 2000 menyatakan asam lemah dapat menurunkan pH sitoplasma, mempengaruhi struktur membran dan fluiditasnya serta mengkelat ion- ion dinding sel bakteri. Penurunan pH sitoplasma akan mempengaruhi protein struktural sel, enzim-enzim, asam nukleat dan fosfolipid membran Davidson dan Branen 1994. Mekanisme asam lemah asam organik dalam menginaktivasi sel bakteri dapat dilihat pada Gambar 2.1. Hanya molekul asam lemah yang tidak bermuatan HA dapat masuk melalui membran plasma. Anion A - dan proton H + akan terbentuk di dalam sel, selanjutnya proton yang berlebih di dalam sitoplasma akan dikeluarkan oleh enzim ATP-ase yang terdapat pada membran Garbutt 1997. pH internal berubah, protein sel dan DNA terganggu R-COOH kondisi internal R-COOH - + H + RCOO - + H + RCOO - + H + sel membran tidak dapat Bentuk tidak terurai masuk ditembus dalam bentuk terurai Gambar 2.1. Mekanisme asam lemah organik dalam menginaktivasi bakteri Garbutt 1997 Beberapa penelitian telah melaporkan efek penghambatan dari berbagai asam organik terhadap mikroba patogen atau perusak, diantaranya adalah Bloom et al. 1997 yang menyatakan bahwa penggunaan asam organik berupa 2,5 asam laktat dan 0,25 asam asetat pada penyimpanan suhu rendah mampu memperpanjang masa simpan dari daging babi panggang hingga 5 minggu. Penelitian lain juga telah dilaporkan oleh Castilo et al. 2001 yang menggunakan larutan asam laktat pada konsentrasi 4 volume 500 ml dengan cara menyemprotkan pada karkas sapi ternyata efektif dalam mereduksi mikroba patogen, yakni koliform dan E. coli. Pitt et al. 2000 melaporkan hasil temuannya yang menggunakan berbagai jenis asam organik produksi bakteri asam laktat pada susu pasteurisasi yang mampu menghambat pertumbuhan Listeria monocytogenes. Monoasilgliserol Monoasilgliserol merupakan suatu emulsifier yang bersifat non ionik dan tidak terlalu berpengaruh tidak sensitif terhadap suasana asam. Sifat emulsifier pada monoasilgliserol disebabkan oleh monoasilgliserol memiliki dua gugus bersifat polar dan satu gugus bersifat non polar atau mengandung gugus hidrofilik dan hidrofobik Igoe dan Hui 1996. Dalam industri pangan monoasilgliserol digunakan sebagai surfaktan, emulsifier pada pengolahan margarin, mentega kacang, puding, roti, biskuit dan kue-kue kering yang mengandung lemak. Twillman dan White 1988 melaporkan bahwa monoasilgliserol dapat memperbaiki tekstur adonan roti dan juga memperpanjang masa simpan tortila jagung. Monoasilgliserol dalam adonan akan bereaksi dengan amilopektin membentuk senyawa kompleks yang berperan memperbaiki tekstur roti serta memperpanjang masa simpan dari roti Hasenhuetti dan Hartel 1997. Monoasilgliserol terbentuk dari reaksi antara asam lemak dengan gliserol atau gliserol dengan triasilgliserol minyaklemak, sedangkan mono dan diasilgliserol terbentuk dari reaksi antara gliserol dengan triasilgliserol minyak. Reaksi tersebut dikenal dengan nama reaksi gliserolisis. Reaksi ini dapat berlangsung dengan adanya katalis alkali gliserolisis cara kimia maupun dengan biokatalis lipase gliserolisis cara enzimatik. Gliserolisis cara enzimatik mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan gliserolisis cara kimia. Kelebihan tersebut antara lain reaksi berlangsung pada suhu relatif rendah, hasil samping yang rendah dan produk reaksi dikelompokkan sebagai produk alami dalam arti aman untuk dikonsumsi Siswohutomo et al. 2002. Rendemen monoasilgliserol yang terbentuk tergantung pada jenis minyak, sumber lipase, perbandingan antara minyak dan gliserol, atau pH substrat. Penggunaan lipase dengan jumlah yang sama pada pembuatan monoasilgliserol dari minyak kelapa dan lemak susu menghasilkan rendemen yang berbeda, rendemen monoasilgliserol dari minyak kelapa diatas 70 persen sedangkan dari lemak susu tidak lebih dari 60 persen August 2000. Hasil penelitian Mappiratu 1999 menemukan produksi monoasilgliserol minyak kelapa untuk produksi antimikroba mencapai maksimum pada kisaran rasio gliserol : minyak : dedak : heksana sebesar 0,3 : 0,75 : 2,5 :10 bbbv, dengan suhu reaksi 37 o C, pH 7, waktu reaksi 72 jam. Sifat Antimikroba Monoasilgliserol Minyak Kelapa Monoasilgliserol MAG minyak kelapa mempunyai peluang yang cukup tinggi untuk digunakan sebagai bahan pengawet pangan, sebab monoasilgliserol minyak kelapa mempunyai sifat antimikroba yang tidak dimiliki oleh MAG dari minyak nabati lain. Beberapa peneliti melaporkan bahwa MAG tertentu mempunyai kemampuan dalam menghambat pertumbuhan bakteri gram positif, yeast, virus, fungi dan sel tumor. Menur ut Blaszyk et al. 1998 monolaurin sangat efektif terhadap bakteri Gram positif dan jamur, tetapi tidak efektif terhadap bakteri Gram negatif. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Ouattara 1997 tentang pengaruh monolaurin terhadap bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa efek penghambatan hanya terjadi pada bakteri Gram positif. Hasil penelitian Mappiratu 1999 menunjukkan diameter zona penghambatan monoasilgliserol terhadap bakteri Gram positif lebih tinggi dari pada bakteri Gram negatif, dan terhadap khamir dan kapang zona penghambatannya lebih rendah. Beuchat 1980 melakukan suatu pengujian dengan membandingkan aktivitas antibakteri dari monolaurin dengan natrium benzoat dan asam sorbat menggunakan Vibrio parahaemoliticus sebagai bakteri penguji. Hasil pengujian menunjukkan bahwa monolaurin lebih aktif dibandingkan dengan natrium benzoat dan asam sorbat. Fenomena ini sejalan dengan pernyataan Branen dan Davidson 1993 bahwa ester monoasilgliserol dalam bentuk monolaurin dan monokaprin memiliki daya antibakteri yang kuat terhadap B. cereus, S. aureus dan B. subtilis dengan nilai MIC sekitar 17-123 µ gml. Jika dibandingkan dengan asam sorbat, daya antibakteri tersebut lebih tinggi dengan nilai MIC pada asam sorbat sebesar 4000 µ gml. Secara rinci nilai MIC untuk bakteri uji tertera pada Tabel 2.1, sedangkan untuk nilai MIC kapang dan khamir tertera pada Tabel 2.2. Tabel 2.1. Aktivitas antibakteri monolaurin dan bahan pengawet pangan lainya Antib akteri Konsentrasi minimum yang menghambat bakteri µgml Bacillus cereus Bacillus subtilis Staphylococcus aureus Sukrosa dikaprilin 74 74 148 Monokaprin MC 10 123 123 123 Monolaurin MC 12 17 17 17 Butil-p- hidroksi benzoat 400 200 200 Asam sorbat 4000 4000 4000 Sumber : Branen dan Davidson 1993. Tabel 2.2. Aktivitas antikapang monolaurin dan bahan pengawet pangan lain Antibakteri Konsentrasi minimum yang menghambat kapang dan khamir µgml Aspergillus niger Candida utilis Saccharomyces Cerevisiae Monokaprin MC 10 123 123 123 Monolaurin MC 12 137 69 137 Butil-p- hidroksi benzoat 200 200 200 Asam sorbat 1000 1000 1000 Asam dehidroasetat 100 200 200 Sumber : Branen dan Davidson 1993. Monolaurin dapat menghambat produksi aflatoksin dari A. flavus dan A. parasiticus pada perbandingan konsentrasi asam sorbat 1000 ppm, dan monolaurin 750 ppm Chipley et al. 1981. Hal ini menunjukkan bahwa monolaurin lebih efektif dibandingkan dengan asam sorbat. Asam sorbat merupakan jenis bahan pengawet yang umumnya digunakan sebagai antibakteri dan antikapang. Menurut Oh dan Marshall 1994 monolaurin termasuk komponen utama monoasilgliserol minyak kelapa dan mempunyai aktivitas antimikroba dengan spektrum luas mencakup bakteri Gram positif, khamir dan kapang serta sebagian Gram negatif. Monolaurin merupakan antimikroba yang aman dan dianggap paling efektif diantara turunan asam lemak. Asam lemak monoasilgliserol minyak kelapa termasuk jenis asam lemak jenuh rantai pendek dan menengah C8-C14. Asam lemak rantai pendek dan menengah dari monoasilgliserol tersebut berperan sebagai antimikroba Wang et al. 1993. Tabel 2.3. Komposisi asam lemak beberapa jenis minyak nabati Jenis minyak Persen mol asam lemak bebas beratom karbon 8:1 10:0 12:0 14:0 16:0 18:0 18;1 18;2 18:3 Kelapa 7,6 7,3 48,2 16,6 8,0 3,8 5,0 2,5 - Sawit - - 0,1 12 46,8 3,8 37,6 10,0 - Kacang kedele - - - 0,1 46,8 3,8 37,6 10,0 8,3 Biji kapas - - - 0,1 10,5 3,2 22,3 54,5 - Jagung - - - - 11,5 2,2 26,6 58,7 0,8 Kacang tanah - - - - 11,0 2,3 51,0 30,9 - Zaitun - - - - 16,9 1,7 59,1 22,8 8,2 Biji lobak - - - - 4,3 1,7 59,1 22,8 8,2 Dedak padi - - - 0,49 13,8 - 43,6 23,6 1,2 Sumber : Salunke et al. 1992 Selain itu, monolaurin dan monokaprin juga dilaporkan mempunyai aktivitas antimikroba yang banyak digunakan dalam produksi makanan dan kosmetika August 2000. Nair et al. 2005 melaporkan temuannya terhadap penggunaan monokaprilin pada jus apel yang disimpan pada suhu 4 dan 23 o C selama 14 dan 21 hari efektif memb unuh bakteri E. coli O157:H7. Lebih lanjut dinyatakan bahwa penyimpanan pada suhu 23 o C lebih efektif dibanding dengan suhu 4 o C , baik pada penyimpanan 14 hari maupun pada penyimpanan 21 hari. Mekanisme aktivitas antibakterial monoasilgliserol minyak kelapa belum diketahui dengan pasti, namun monoasilgliserol yang bersifat lipofilik ini memungkinkan untuk menembus membran plasma dan menghambat aktivitas enzim yang terlibat dalam produksi energi dan transport nutrien. Monolaurin menyebabkan kerusakan yang ekstensif pada membran dengan cara merusak protein ekstraseluler, asam nukleat dan menurunkan aktivitas enzim tertentu. Mekanisme kerja dari monogliserida dan asam lemak telah diteliti oleh Davidson dan Branen 1994. Pengaruh dari asam lemak dan mono gliserida terhadap sistim oksidasi NADH 2 memiliki kesamaan. Aktivitas sistem ini menurun 50 dengan menggunakan 0,64 nmol asam lemak atau 0,14 nmol monogliserol per gram protein. Pengaruh dari kedua kelompok lipid ini terhadap respirasi seluler dan penelitian mengenai efek penghambatan monogliserida terhadap beberapa sistem enzim menunjukkan bahwa monogliserida hanya bekerja pada sisi oksigen pada gugus flavin dari NADH 2 dehidrogenase, sedangkan asam lemak merupakan penghambatan kurang spesifik yang bekerja pada beberapa sisi. Antimikroba monolaurin mempunyai efek sinergi dengan bahan pengawet pangan lain, seperti asam sitrat, asam atau garam laktat dan asam atau garam sorbat. Davidson dan Branen 1994 melaporkan bahwa penggunaan campuran monolaurin denga n kalsium laktat meningkatkan waktu simpan kamaboko pasta ikan dari 6 hari menjadi 20 hari. Catsara et al. 1987 melaporkan bahwa penggunaan laurilak campuran monolaurin dengan asam laktat sebanyak 500 ppm dalam daging sapi giling dapat mereduksi total koloni Salmonella typhymurium dari 2,47 x 10 5 CFUgram menjadi kurang dari 10 2 CFUgram. Selanjutnya Unda et al. 1991 melaporkan bahwa monolaurin dan natrium laktat sangat efektif menghambat pertumbuhan bakteri anerobik pada suhu tinggi, dan menurutnya kombinasi laktat dan monolaurin sangat potensial mengontrol Clostridia dan Listeria pada produk daging sapi dalam mikrowave. Hal yang sama dilaporkan oleh Blaszyk et al. 1998 yang menggunakan monolaurin dan asam sitrat maupun garam sitrat, campuran monolaurin dan asamgaram sitrat tersebut ternyata mampu menghambat pertumbuhan dari L. monocytogenes dan E. coli pada daging. Selain itu menurut Liskar dan Poster 1982 monolaurin lebih efektif menghambat pertumbuhan kapang dan khamir bila dicampur denga n asam sorbat. Penurunan massa sel kapang dan khamir pada beberapa jenis antimikroba disajikan pada Tabel 2.4. Tabel 2.4. Penurunan massa sel kapang dan khamir pada beberapa jenis antimikroba pada konsentrasi 1 . Kapang dan khamir Laurisidin plus F Laurisidin Asam sorbat Lauribik Asam propionat Pythium elongatum 100,0 10,0 100,0 100,0 100,0 Phytophthora citrophthora 100,0 41,2 100,0 100,0 100,0 Muco circinelloides 100,0 30,5 94,3 100,0 78,7 Rhizopus stolonifer 100,0 10,1 100,0 100,0 100,0 Aspergillus flavus 100,0 28,6 83,5 100,0 79,9 Aspergillus ochraccus 100,0 21,1 73,5 100,0 84,1 Aspergillus niger 100,0 40,3 100,0 100,0 97,6 Penicillium digitetum 100,0 39,3 100,0 100,0 100,0 P. patulum 100,0 18,9 75,2 100,0 65,7 Fusarium graminearum 100,0 20,1 100,0 100,0 100,0 S. cerevisiae 100,0 26,5 100,0 100,0 23,2 Candida albicans 100,0 17,5 100,0 100,0 11,7 Rhodotorola mucilanginosa 100,0 98,0 100,0 100,0 100,0 Sporobolomuces sp 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Sclerotium rolfsii 100,0 63,3 100,0 100,0 100,0 Rhizoctonia solani 100,0 54,9 98,2 100,0 100,0 Sumber : Liskar dan Poster 1982. Temuan-temuan tersebut di atas menunjukkan bahwa monolaurin bersifat sinergi dengan asam-asam organik. Efek sinergi dari campuran mo nolaurin dan asam sitrat asam organik dijelaskan oleh Blaszyk et al. 1998 karena berbagai mekanisme yang bervariasi, seperti monolaurin dapat mempengaruhi struktur membran sel sedangkan asam sitrat asam organik bersifat merusak atau mengganggu kestabilan zat pelindung dari dinding sel, yaitu lipopolisakarida LPS. Mikroba Patogen pada Bahan Pangan Aspek mikrobiologis pada bahan pangan memiliki peranan yang cukup penting karena bahan pangan dapat merupakan salah satu sumber timbulnya suatu penyakit. Gangguan terhadap kesehatan yang diakibatkan oleh makanan khususnya gangguan pada saluran pencernaan yang berkaitan dengan konsumsi pangan diklasifikasikan sebagai penyakit yang disebabkan melalui rantai makanan Food borne desease. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: a infeksi yang disebabkan oleh pertumbuhan patogen dari patogen yang terbawa oleh makanan; dan b infeksi yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri patogen dengan makanan sebagai media kultur untuk pertumbuhannya hingga mencapai jumlah yang memadai untuk menimbulkan infeksi bagi yang mengkonsumsi makanan tersebut, misalnya infeksi Salmonella spp, Listeria monocytogenes dan E. coli Frazier et al. 1987 . Penerapan suatu senyawa antimikroba pada bahan pangan memerlukan pengujian terlebih dahulu, karena aktivitas suatu bahan antimikroba berbeda-beda dan sangat dipengaruhi oleh komponen yang ada pada senyawa tersebut, serta jenis mikroba ujinya. Mikroba- mikroba tersebut dapat digolongkan ke dalam bakteri dan kapang yang bersifat patogen, yang akan dihambat pertumbuhannya dengan senyawa antimikroba dari metabolit BAL-MAG. Mikroba pembentuk spora Bacillus cereus merupakan salah satu kelompok pembentuk spora yang penyebarannya sangat luas dan dapat menyebabkan infeksi baik pada manusia maupun pada hewan. Bakteri ini berbentuk batang, bersifat aerob sampai aerob fakultatif, katalase positip dan kebanyakan bersifat gram positif. Suhu pertumbuhan minimum 4-5 o C, pertumbuhan maksimum pada suhu 48-50 o C dengan suhu optimal 30-45 o C, dan tumbuh pada pH antara 4,9-9,3 Granum dan Baird-Parker 2000. Bahan pangan yang terkontaminasi B. cereus selain menimbulkan kerusakan pada bahan pangan juga dapat bersifat patogen pada manusia, yaitu dapat menyebabkan septikemia dan meningitis dengan waktu inkubasi 0,5-5 jam Ryu et al. 2005. Berdasarkan sifat patogenik, bakteri dibagi ke dalam tiga kelompok Ryu et al. 2005, yaitu: 1 galur penyebab diare memproduksi toksin piogenik dengan gejala mual- mual, keram perut, diare dan kadang-kadang muntah setelah inkubasi selama 8-6 jam; 2 galur penyebab muntah memproduksi toksin emetik dengan gejala mual- mual dan muntah setelah inkubasi 1-6 jam rata-rata 2-5 jam dan 3 tidak memproduksi enterotoksin. Keberadaan bakteri di dalam tubuh manusia perlu diwaspadai, karena masyarakat Indonesia seringkali menyimpan makanan matang tanpa perlakuan khusus atau memasak tanpa pemanasan suhu yang tinggi. Hal ini dapat menimbulkan kerusakan terhadap makanan tersebut terutama karena tercemar oleh B. cereus. Bakteri Gram Negatif Escherechia coli merupakan bakteri patogen Gram negatif, oksidase negatif berbentuk batang dengan ukuran 1,1-1,5 µm x 2-6 µm, dan bersifat motil karena adanya flagella. Bakteri ini banyak menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia dan merupakan flora normal yang terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan, dan umumnya ditemukan pada daging giling dan produk olahan sejenisnya. Suhu pertumbuhan berada dalam kisaran yang luas, mulai dari 1-45 o C, sehingga kemungkinan pangan tercemar oleh bakteri ini sangat besar jika penanganannya kurang memadai. Berdasarkan gejala dan karakteristik penyakit yang ditimbulkan, E. coli dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu Enteroaggregative E. coli EaggEC, Enterohemorrhagic E. coli EHEC, Enteroinvasive E. coli EIEC, Enteropathogenic E. coli EPEC, dan Enterotoxigenic E. coli ETEC. E. coli sangat sensitif terhadap panas dan dapat diaktifkan pada suhu pasteurisasi atau selama pemasakan makanan Supardi dan Sukamto 1999. Kontaminasi bakteri ini pada makanan biasanya berasal dari kontaminasi air yang digunakan. Dosis yang dapat menimbulkan gejala infeksi E. coli pada makanan berkisar antara 10 6 -10 9 sel. Bahan makanan yang sering terkontaminasi oleh E. coli antara lain daging babi, daging ayam, ikan, telur dan olahannya serta makanan hasil laut lainnya. Salmonella sp juga merupakan kelompok bakteri Gram negatif dan merupakan bakteri patogen yang tidak diperkenankan ada dalam produk – produk pangan. Bakteri ini dapat tumbuh pada kisaran suhu 5-45 o C, dengan suhu optimum 37 o C, meskipun dapat tumbuh pada suhu di bawah 10 o C, dengan pH optimum 6,5- 7,5. Salmonella memiliki ketahanan panas yang tinggi pada pH 5,5 dan a w rendah Portilo 2000. Salmonella dibagi menjadi 3 spesies yaitu S. Typhi, S. enterica dan S. enteritidis. Salmonella Typhimurium merupakan spesies Salmonella enterica serovar Typhimurium D , Aost 2000. Bakteri ini dapat menimbulkan infeksi, dan jika tertelan masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang disebut salmonellosis. Infeksi ini berakibat fatal, terutama jika menyerang bayi. Oleh sebab itu infeksi Salmonella pada makanan mendapat perhatian yang serius, karena bakteri ini seringkali menimbulkan penyakit terutama di negara-negara industri. Bakteri Gram Positif Listeria monocytogenes merupakan bakteri patogen pada manusia dan seringkali ditemukan pada bahan pangan segar meskipun disimpan pada suhu rendah, seperti buah melon dan beberapa jenis buah lainnya maupun sayuran ditemukan telah terkontaminasi dengan L. monocytogenes selama penyimpanan pada suhu rendah Leverentz et al. 2006. Bakteri ini berbentuk batang, berukuran panjang 0,5-2,0 µm, diameter 0,4-0,5 µm, mempunyai flagella motil positif yang bersifat anerobik fakultatif, dan memproduksi asam dan dekstrosa atau maltosa tanpa gas. Kisaran suhu pertumbuhan L. monocytogenes antara 1-45 o C dengan suhu optimum 30 – 37 o C, namun dapat pula tumbuh pada suhu 2,5-44 o C dan bersifat fermentatif Fardiaz 1989. Keberadaan bakteri ini dalam bahan pangan perlu menjadi perhatian penting terutama dalam industri pengolahan pangan termasuk produk-produk olahan daging dan unggas Ming et al. 1997. Berdasarkan laporan hasil penelitian diketahui bahwa bakteri ini dapat tumbuh pada suhu 0 o C, dan dapat hidup pada suhu 37 o C selama 15 hari pada substrat yang mengandung NaCL 10,5 atau 10 hari pada substrat NaCl 13 atau 5 hari pada substrat NaCl 20 pada suhu 4 o C. Oleh karena itu jumlah bakteri ini dalam bahan pangan harus dikendalikan dan tidak diperkenankan berada pada bahan pangan lebih dari satu sel per gram bahan. L. monocytogenes dapat direduksi pertumbuhannya sebesar 1,5 unit log dengan penggunaan campuran asam laktat dan monolaurin Oh dan Marshall 1994. Kapang Aspergillus flavus A. flavus merupakan salah satu jenis kapang yang mudah ditemukan di mana-mana, baik di udara, air maupun di tanah , dan tumbuh pada bahan pangan maupun pakan, seperti pada jagung, beras dan kacang tanah Moreau dan Moss 1997. A. flavus tumbuh pada kelembaban relatif 82-85 dengan suhu minimum 10-12 o C, suhu maksimum 43-48 o C dan suhu optimum pertumbuhan sekitar 33 o C. Pertumbuhan A. flavus mencakup kisaran pH yang sangat luas , yaitu dari 2,1-11,2, dengan pH optimum pertumbuhan 3,4-10 dan aktivitas air a w sekitar 0,78-0,84 Pitt dan Hocking 1996. Pertumbuhan optimum A. flavus pada kadar air 15-30. A. flavus merupakan penghasil utama aflatoksin, yang merupakan mikotoksin terpenting dalam penyimpanan makanan. Aflatoksin merupakan kelompok metabolit sekunder yang terbentuk setelah fase logaritmik pertumbuhan kapang A. flavus pada suhu antara 7,5-40 o C dengan suhu optimum 24-28 o C. Menurut Jay 1996, pembentukan aflatoksin pada kacang tanah terjadi pada a w optimum 0,93-0,98, RH 83 atau lebih tinggi pada suhu 30 o C dan pH 5,5-7,0. Toksin ini bersifat akut dan kronis terhadap hewan dan manusia. Sebagai contoh, dari tahun 1991-1996 tidak kurang dari 17000 sampel jagung, kacang tanah, kedelai, gandum dan rempah-rempah di Asia Tenggara dilaporkan telah banyak terkontaminasi Aspergillus flavus Pitt dan Hocking 1996. Mekanisme Kerja Senyawa Antimikroba Kemampuan suatu senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba merupakan suatu kriteria yang penting dalam pemilihan suatu senyawa antimikroba yang berfungsi sebagai bahan pengawet. Semakin kuat efek penghambatannya semakin efektif digunakan. Suatu senyawa dikatakan bersifat antimikroba karena dapat menimbulkan kerusakan pada sel mikroba yang akhirnya akan menimbulkan kematian. Kerusakan yang ditimbulkan ini ada yang bersifat mikrosidal kerusakan tetap atau mikrostatik kerusakan yang dapat kembali. Sifat kerusakan tergantung pada konsentrasi komponen dan kultur yang digunakan Bloomfield 1991. Mekanisme kerusakan sel akibat senyawa antimikroba secara umum telah diketahui, tetapi mekanisme dari gabungan asam-asam organik dan monoasilgliserol belum diketahui secara pasti. Namun dapat diasumsikan bahwa baik asam organik maupun monoasilgliserol dapat menimbulkan kerusakan terhadap mikroba dengan mekanisme yang hampir sama dengan mekanisme antimikroba secara umum. Secara umum mekanisme kerja dari suatu senyawa antimikroba dapat dilakukan melalui mekanisme yang berbeda, yaitu: 1 mengganggu atau merusak komponen penyusun dinding sel, 2 bereaksi dengan membran sel yang menyebabkan peningkatan permeabilitas seluler, 3 inaktivasi enzim-enzim esensial dan 4 destruksi atau inaktivasi fungsi dari materi genetik Brannen dan Davidson 1993. Terjadinya penghambatan senyawa antimikroba terhadap sel-sel mikroba disebabkan oleh adanya pelekatan senyawa antimikroba pada permukaan sel mikroba atau adanya difusi dari senyawa antimikroba tersebut ke dalam sel Fardiaz et al. 1989. Gangguan pada Komponen Penyusun Dinding Sel Unit dasar dari dinding sel bakteri disusun oleh peptidoglikan yang secara mekanis memberikan ketegaran pada sel bakteri, disamping sebagai dasar membran sitoplasma. Peptidoglikan tersebut terdiri dari turunan gula, yaitu asam N- asetilglukosamin dan N-asetilmuramat serta asam amino L-alanin, D-alanin, D- glutamat, dan lisin. Struktur dinding sel bakteri Gram positif mengandung 90 peptidoglikan serta lapisan tipis asam teikoat dan asam teikuronat yang bermuatan negatif, struktur sel pada bakteri Gram negatif memiliki komponen dinding sel 5- 10 peptidoglikan, selebihnya terdiri dari protein, lipoprotein dan lipopolisakarida. Dinding sel bakteri Gram negatif lebih kompleks dibandingkan Gram positif Gambar 2.4. Perbedaan utama terletak pada lapisan membran luar, yang meliputi lipopolisakarida Madigan et al. 2003. Kehadiran membran ini menyebabkan dinding sel bakteri Gram negatif kaya kandungan lipida 11-22. Membran tersebut tidak hanya terdiri dari fosfolipida saja seperti pada membran plasma tetapi juga mengandung lipida lainnya, seperti polisakarida dan protein. Lipida dan polisakarida ini berhubungan erat dan membentuk struktur khas yang disebut lipopolisakarida LPS. Lipopolisakarida ini terikat satu sama lain dengan kation divalent Ca 2+ dan Mg 2+ Murray et al. 1998. a Bakteri Gram positif b Bakteri Gram negatif Gambar 2.2. Struktur dinding sel bakteri Gram positif dan Gram negatif Russel Kightley, 2006 Membran luar bakteri Gram negatif mempunyai peranan sebagai barrier masuknya senyawa-senyawa yang tidak dibutuhkan sel, diantaranya bakteriosin, enzim dan senyawa yang bersifat hidrofobik Alakomi et al. 2000. Dalam upaya untuk mencapai sasaran, senyawa antimikroba dapat menembus LPS dari dinding sel tersebut. Molekul- molekul yang bersifat hidrofilik lebih mudah melewati LPS dibandingkan dengan yang bersifat hidrofobik. Bakteri Gram positif, tidak mempunyai LPS, sehingga fungsi penghalangnya tidak ada dan molekul senyawa antimikroba yang bersifat hidrofilik dan hidrofobik dapat melewatinya Best 1999. Bakteri Gram negatif mempunyai sisi hidrofilik, yaitu karboksil, asam amino dan hidroksil. Asam-asam organik seperti asam sitrat, asam malat, asam tartrat dan asam laktat dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif dengan mengkelat kation divalen Ca 2+ dan Mg 2+ . Ketika kedua kation tersebut terlepas dari membran luar maka senyawa antimikroba akan lebih mudah masuk ke dalam sel Stratford 2000. Penghambatan senyawa antimikroba merupakan kemampuan suatu senyawa antimikroba untuk mempengaruhi dinding sel mikroba Ultee et al. 2000. Menurut Kabara 1993 asam-asam lemak terutama asam laurat dapat menghambat enzim yang terlibat pada produksi energi dan pembentukan komponen struktural sehingga pembentukan dinding sel bakteri terganggu. Mekanisme kerusakan dinding sel dapat disebabkan oleh adanya akumulasi komponen lipofilik yang terdapat pada dinding sel atau membran sel, sehingga menyebabkan perubahan komposisi penyusun dinding sel. Terjadinya akumulasi senyawa antibakteri dipengaruhi oleh bentuk tak terdisosiasi. Pada pH rendah asam organik maupun asam lemak yang terdapat dalam metabolit BAL-MAG minyak kelapa kebanyakan berbentuk tidak terdisosiasi, dan adanya gugus hidrofobik sehingga dapat mengikat daerah hidrofobik membran protein serta melarut baik pada fase lipid dari membran bakteri. Umumnya senyawa antimikroba yang menghambat sintesis peptidoglikan karena kemampuan dari senyawa tersebut dalam menghambat enzim- enzim yang berperan dalam pembentukan peptidoglikan, seperti karboksipeptidase, endopeptidase dan transpeptidase. Jika aktivitas enzim-enzim tersebut dihambat oleh senyawa antibakteri maka sifat enzim autolitik sebagai regulator hilang dan enzim tidak mampu mengendalikan aktivitasnya sehingga dinding sel tersebut akan mengalami degradasi Murray et al. 1998. Bereaksi dengan membran sel Senyawa antimikroba dapat mengganggu dan mempengaruhi integritas membran sitoplasma, yang dapat mengakibatkan kebocoran materi intraseluler, seperti asam lemak pada monoasilgliserol yang dapat mengakibatkan gangguan pada permeabilitas membran, yang ditandai dengan terjadinya peningkatan permeabilitas membran sebagai akibat adanya perubahan komposisi fosfolipid. Kondisi ini menyebabkan monoasilgliserol lebih mudah menembus membran sel dan akhirnya terjadi kebocoran sel, yang diikuti dengan keluarnya materi intraseluler. Sel bakteri dikelilingi oleh struktur kaku yang disebut dinding sel, yang melindungi membran sitoplasma, baik osmotik maupun mekanik. Setiap zat yang mampu merusak dinding sel atau mencegah sintesisnya, akan menyebabkan terbentuknya sel-sel yang peka terhadap osmotik. Adanya tekanan osmotik dalam sel bakteri akan menyebabkan terjadinya lisis, yang merupakan dasar efek bakterisidal pada bakteri yang peka Setiabudy 2000. Kebocoran membran sitoplasma dapat pula terjadi karena asam-asam organik. Asam organik yang tidak terdisosiasi mampu menembus dinding sel dan mengganggu permeabilitas membran. Selain itu setelah berada dalam sitoplasma akan terdisosiasi menghasilkan proton, dan proton yang berlebihan akan menyebababkan keseimbangan terganggu. Gangguan tersebut berakibat pada berkurangnya energi sel untuk pertumbuhan karena dialihkan untuk menyeimbangkan proton, dan juga akan mengganggu transport asam amino dan gula. Menginaktifkan Enzim Esensial Komponen antibakteri dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme dengan cara mengganggu aktivitas enzim-enzim metaboliknya. Beberapa senyawa antibakteri yang diketahui dapat menginaktivasi enzim seperti asam benzoat, asam lemak, sulfit dan nitrit. Nitrit dapat menghambat sistem enzim fosfat dehidrogenase, sehingga mengakibatkan reduksi ATP dan ekskresi piruvat dalam bakteri S. aureus. Asam benzoat dapat menghambat aktivitas a-ketoglutarat dehidrogenase dan suksinat dehidrogenase. Hal ini akan menghambat konversi a- ketoglutarat menjadi suksinil Co-A dan suksinat menjadi fumarat. Kim et al. 1995 mengemukakan bahwa senyawa antimikroba dapat merusak sistim metabolisme di dalam sel dengan cara menghambat sintesis protein bakteri dan menghambat kerja enzim intraseluler. Sistem enzim yang terpengaruh akan mengakibatkan gangguan pada produksi energi penyusun sel dan sintesis komponen secara struktural. Selain itu asam-asam lemak mampu bereaksi dengan enzim dehidrogenase dan akan mengakibatkan hilangnya aktivitas enzim tersebut. Gangguan aktivitas enzim dapat terjadi pada saat mikroba mensintesis asam dihidrofolat dari p-aminobenzoat Davidson dan Branen 1994. Menginaktifkan fungsi material genetik Umumnya suatu senyawa antimikroba yang akan menghambat sintesis protein yang mampu mengikat ribosom. Sebagaimana diketahui bahwa sintesis protein merupakan hasil akhir dari proses transkripsi dan proses translasi. Jika senyawa antimikroba menghambat salah satu dari kedua proses tersebut maka sintesis protein akan terhambat Best 1999. Menurut Leive 1979 dalam Rahayu 1999 penghambatan sintesis DNA dapat disebabkan oleh adanya penghambatan proses transkripsi ikatan RNA polimerase, seperti yang diakibatkan aktinomisin atau rifamisin. Kondisi ini dapat mengakibatkan terhambatnya pembentukan komponen penyusun asam nukleat, yaitu purin-pirimidin nukleotida, dan polimerisasi pembentukan asam nukleat akan terganggu pula. Gangguan ini dapat menyebabkan penghambatan pada pertumbuhan sel yang dapat berlanjut pada kematian sel. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Kim et al. 1995 bahwa suatu senyawa yang bersifat antimikroba dapat mengganggu pembentukan asam nukleat DNA dan RNA, sehingga transfer informasi genetik akan terganggu. Hal ini disebabkan karena senyawa antimikroba akan menghambat aktivitas enzim RNA polimerase dan DNA polimerase, yang selanjutnya dapat menginaktivasi atau merusak materi genetik sehingga mengganggu proses pembelahan sel untuk pembiakan. DAFTAR PUSTAKA Alakomi HL, Skytta E, Saarela M, Mattila-Sandholm T. 2000. Lactic acid permeabilizes Gram- negatif bacteria by disrupting the outer membrane. J. Appl. Environ. Microbiol. 66:2001-2005. August EG. 2000. Kajia n Penggunaan Lipase Amobil dari Aspergillus niger pada Pembuatan Monoasilgliserol yang Bersifat Antibakteri dari Minyak Kelapa. Thesis Program Pascasarjana I P B. Bogor. Bautista DA, Hill AR, Griffiths MW. 1993. An all natural approach to preserve cottage cheese. Modern Dairy 72 1:12-13. Best GK. 1999. Antibacterial Chemotheraphy. http:pharminto.compublmsb Newdrgs.html. 18 Agustus 1999. Blaszyk M, Holley RA. 1998. Interaction of monolaurin, eugenol and sodium citrace on growth of common meat spoilage and pathogenic organisms. Int. J. of Food Microbiol. 39:175-183. Blom H. 1997. Addition of 2,5 Lactate and 0,25 acetate control growth of Listeria monocytogenes in vacuum-packed, sensory-acceptable servelat sausage and cooked ham stored at 4 o C. Int. J. of Food Microbiol. 38:71-76. Bloomfield SF. 1991. Methods for Assessing Antimicrobial Activity. Di dalam: Denyer S P, Hugo WB ed. Mechanism of action of chemical biocides their study and exploitation. Blackwell scientific Publication London. Brannen AL. 1993. Introduction to Use of Antimicrobials. Di dalam: Davidson PM, Branen AL ed Antimicrobial in Food. Marcel Dekker.New York. Cabo ML, Braber AF, Koenreaad PM. 2002. Apparent antifungal activity of several lactic acid bacteria againts Penicillium discolor is due to acetic acid in the medium. J. of Food Protec. 65: 1309-1316. Castilo A, Lucia LM, Mercado I, Acuff GR. 2001. In-plant evaluation of a lactic acid treatment for reductio n of bacteria on chilled beef carcasses. J. of Food Protec, vol 64 no 5:738-740. Chipley JR, Story LD, Todd PT. 1981. Inhibition of Aspergillus growth and extracellular aflatoxin accumulation by sorbic acid and derivative of fatty acid. J. Food Safety 3:109-120. Cuesta M. 2000. Requirement of autolytic activity for bacteriocin- induced lysis. Appl. and Env. Microbiology. 2000. p. 3174-3179. Daeschei MA. 1989. Antimicrobial substances from lactic acid bacteria for use as food preservatives. Food Technology. Davidson PM, Branen AL. 1994. Antimicrobials in Food. Marcel Dekker, New York. D , Aost JY. 2000. Salmonella. Di dalam: Lund BM, Baird-Parker TC, Gould GW ed. The Microbiological Safety and Quality of Food. Volume 3. Aspen Publisher Inc. Maryland. Duxbury DD. 1986. Combination emulsifieracidulant extend cheese seauce shelf life. Food Proc. 469: 38-39. Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Depdikbud, Dirjen Dikti, PAU Pangan dan Gizi, IPB. Bogor. Frazier WC, Westhof DC. 1987. Food Microbiology. McGraw Hill Publishing Iowa USA. Garburtt J. 1997. Essentials of Food Microbiology. Arnold, London, Sydney, Auckland. Gourama H, Bullerman B. 1995. Antimycotic and antiaflatoxigenik effect of lactic acid bacteria. J. of Food Protec. Vol. 57, No. 11: 1275-1280. Granum PE, Baird – Parker TC. 2000. Bacillus species. Di dalam: Lund BM, Baird-Parker TC, Gould GW ed. The Microbial Safety and Quality of Food Vol II. Maryland: Aspen. Hlm 1029-1039. Hasenhuetti G L, Hartel RW. 1997. Food Emulsifies and Their Applications. International Thomson Publishing. New York. Hofvendahl K, Barebel H. 2000. Factor affecting the fermentative lactic acid production from renewable resources. Enzyme and Microbial Technology 26: 87-107. Hugo WB, Russel AD. 1987. Pharmaceutical Microbiology. Blackwell Scientific Publication, Oxford. Igoe RS, Hui YH 1996. Dictionary of Food Ingredient 3 rd ed Chapman and Hall, New York. Indriyati W. 2004. Kajian Aktivitas Antimikroba Campuran Mono dan Diasilgliserol Hasil Pemanfaatan Destilat Asam Lemak Minyak Kelapa. Thesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jay JM.1996. Modern Food Microbiology 5 th edition. Chapman and Hall, New York. Jenie BSL.1996a. Peranan bakteri asam laktat sebagai pengawet hayati makanan. J. Ilmu dan Teknol. Pangan. 1 2:60 – 73. Jenie BSL, Fardiaz S, Tandriarto N. 1996b. Produksi kultur kering Lactobacillus plantarum dan aplikasinya pada pengawetan ikan lamuru. Seminar Permi, 11 – 13 November 1996. Jenie BSL. 1999. Peranan Bakteri Asam Laktat Sebagai Pangawet Pangan Non Fermentasi. Materi Pengajaran Mata Kuliah Bioteknologi Bakteri Asam Laktat. Program Studi Ilmu Pangan Program Sarjana Institut Pertanian Bogor. Jenie BSL, Atifah N, Suliantari. 2001. Peningkatan keamanan dan mutu pindang ikan kembung Rastellinger sp dengan aplikasi kombinasi natrium asetat, bakteri asam laktat dan pengemasan Vakum. J. Ilmu dan Teknol. Pangan. XII 1: 21 – 27. Kabara JJ. 1993. Medium-Chain Fatty Acids and Esters. Di dalam: Davidson, P. M danA. L Branen ed, Antimicrobial in Food 2 nd ed. Marcel Dekker, New York. Kanazawa A, Ikeda T dan Endo T. 1995. A novel approach to mode of action of cationic biocides morphological effect on antibacterial activity. J Appl Bacteriol 78:55-60. Kim JM, Marshall MR, Wei CI, 1995. Antibacterial activity in extracts of Camelia japonica L. petals and its application to a model food system. J. Food Protec. 1255-1260. Leverentz B, et al. 2006. Biocontrol of the food-borne pathogens Listeria monocytogenes and Salmonella enterica serovar poona on fresh-cut apples with naturally occurring bacterial and yest antagonists. Appl. Environ. Microbiol. 72 : 1135-1140. Lisker N, Poster N. 1982. Antifungal activity of lauricidin and related compounds. J. Food Safety 4:27-32. Loessner M, Susane G, Sandra S, Siegfried S. 2003. A pediocin – producing Lactobacillus plantarum strain inhibits Listeria monocytogenes in a multispesies cheese surface microbial ripening consortium. App and Env. Microbiol p. 1854-1857. Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 2003. Brock Biology of Microorganisms. 10 th Edition. Southern Illinois University Carbondale. Magnusson J. 2003. Antifungal activity of lactic acid bacteria, Doctor’s dissertation, Departemen of Microbiology, Swedish University of Agricultural Science. Sweden. Mappiratu. 1999. Penggunaan Biokatalis Dedak Kasar Dalam Biosintesis Antimikroba Monoasilgliserol Dari Minyak kelapa. Disertasi Program Pascasarjana IPB, Bogor. Mappiratu. 2000. Pengaruh waktu reaksi alkoholisis terhadap rendemen dan aktivitas antimikroba etil ester minyak kelapa. Laporan Penelitian Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu. Mariani. N. 2001. Aplikasi bakteri asam laktat untuk meningkatkan keamanan dan umur simpan buah melon Cucumis melo L. olah minimal. Skripsi Fakultas Teknologi Hasil Pertanian, IPB. Bogor. Moreau C, Moss M. 1997. Mould, Toxin and Food. John Wiley and Sons. Chichester. New York. Brisbane. Ming X, Weeber GH, Ayres JW, Sandine WE. 1997. Bacterio cin applied to food packaging materials to inhibit Listeria monocytogenes on meats. J. Food Sci. 62:413-415. Murray PR, Rosenthal KS, Kobayashi GS, Pfallerial MA. 1998. Medical Microbiology. Third edition. Mosby. London. Nair MKM, Aboelezz H, Hoagland T, Venkitanarayanan K. 2005. Antibacterial effect of monocaprylin on Escherichia coli O157:H7 in apple juice. J. of Food Protec. Vol. 69. No. 9: 1895-1899. Oh DH, Marshall DL. 1994. Enhanced inhibition of Listeria Monocytogenes by glycerol monolaurat with organic acid. J. Food Science 59 6: 1258-1261. Ouattara B, Ronald ES, Richard AH, Gabriel JP, Andre B. 1997. Antibacterial activity of fatty acids and essential oil against six meat spoilage organisms. Int. J. of Food Microbiol 37: 155-162. Pitt WM, Terence JH, Ron RH. 2000. Behavior of Listeria monocytogenes in pasteurized milk during fermentation with lactic acid bacteria. J. of Food Protec. Vol. 63. No. 7: 916-920. Pitt JT, Hocking AD. 1996. Current knowledge if fungi and mycotoxins associated with food commodities in Southeast Asia. Canberra: The Australian Centre for International Agricultural Research. Portillo FGD. 2000. Molecular and Celuler Biology of Salmonella Pathogenesis. Di dalam Cary JW, John El., deppak B. Microbial Foodborne Disease. Technomic Publishing Co., Pennsylvania. Rahayu WP. 1999. Kajian aktivitas antimikroba ekstrak dan fraksi rimpang lengkuas Alpina galanga L. Swarts terhadap mikroba patogen dan perusak makanan. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ryu JH, Kim H, Beuchat LR. 2005. Spore formation by Bacillus cereus in broth as affected by temperatur, nutrien availability, and manganese. J. of Food Protec 68: 1734-1738. Salminen S, von Wright A. 2004. Lactic Acid Bacteria. Mercel Dekker Inc. New York. Siswohutomo G. 2002. Upaya peningkatan kualitas dan daya guna limbah dedak padi melalui penerapan bioteknolgi. Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing IX2 Tahun Anggaran 20012002. Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu. Stratford M. 2000. Traditional preservatives-organic acids. Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PD, editor. Encyclopedia of Food Microbiology. Volume 1. Academic Press , London. Stiles ME, Wilhelm H. 1997. Lactic acid bacteria of food and their current taxonomy. Int. J. of Food Microbiol. 36 : 1-19. Sudirman I. 2002. Biologi Molekular Bakteriosin. Materi kuliah bioteknologi senyawa antimikroba, Program Pascasarjana IPB. Bogor. Supardi I, Sukamto. 1999. Mikrobiologi Dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Alumni, Bandung. Twillman TJ, White PJ. 1988. Influence of monoglycerides on the textural shelf life and dough rheologi of corn tortillas. Cereal Chem. 65 3 : 253 – 257. Unda JR, Molins RA, Walker HW. 1991. Clostridium sporogenes and Listeria monocytogenes: Survival and inhibition in microwave-ready beef roasts containing selected antimicrobials. J. Food Sci. 56:198-205. Wang LL, Yang BK, Parkin KL, Johnson EA. 1993. Inhibition of Listeria monocytogenes by monoacyglycerols synthesized from coconut oil and milk fat by lipase-catalyzed glycerolysis. J. Agric. Food Chem. 41:1000- 1005. Zamfir. 1999. Purification and characterization of a bacteriocin produced by Lactobacillus acidophilus IBB 801. J. Appl. Environ. Microbiol. 87: 923- 931.

3. METODOLOGI UMUM