Analisis Parameter Pemotongan Besi Cor Di Industri Logam Kecil Menengah Pada Peringkat Sensitivitas

ANALISIS PARAMETER PEMOTONGAN BESI COR
DI INDUSTRI LOGAM KECIL MENENGAH
PADA PERINGKAT SENSITIVITAS
*) Abdul Haris Nasution,
**) Armansyah Ginting**) Tugiman**), **) Alfian Hamsi
*) Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik UISU Medan
**) Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik USU Medan

Abstrak
Pada umumnya industri logam kecil dan menegah yang ada di Sumatera Utara masih menggunakan teknologi
konvensional dalam melakukan pemesinan terhadap produknya sehingga berakibat rendahnya daya kompetitif
produk yang dihasilkannya dibandingkan produk yang dihasilkan negara-negara maju yang telah menggunakan
teknologi yang lebih baik untuk mendapatkan parameter pemotongan yang optimum, parameter pemotongan
didapat dari dua peringkat yaitu: dengan cara acak (peringkat sensitivitas) dan dengan cara statistik (peringkat
performa). Pada tulisan ini akan dipaparkan tentang analisis parameter pemotongan besi cor pada peringkat
sensitivitas. Dengan demikian dapat diketahui batasan paramater pemotongan (batas bawah dan batas atas)
untuk penelitian selanjutnya, yaitu analisis parameter pemesinan besi cor pada peringkat performa.
Kata-kata kunci: Parameter pemotongan, Besi cor, UKM logam, Peringkat sensitivitas

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

Industri kecil dan menengah adalah salah satu
sektor riil dalam dunia perekonomian Indonesia
dengan jumlah mencapai 42.400.000 UKM dan ini
merupakan peluang bisnis yang mampu bertahan di
tengah-tengah situasi ekonomi dan politik yang
belum kondusif (bps.go.id, 2004). Jumlah UKM
yang besar tersebut dapat dikelompokkan kepada
beberapa sektor industri dan satu diantaranya
adalah industri logam kecil dan menengah.
Dirjen Industri dan Dagang Kecil Menengah
(IDKM)
Departemen
Perindustrian
dan
Perdagangan, Agus Cahyana, (Kompas 2003)
menyatakan bahwa pengembangan industri logam
kecil dan menengah akan terus di intensifkan
seiring meningkatnya permintaan kebutuhan
komponen mesin dan elektronika di dalam negeri.
Jika industri logam kecil mampu memenuhi

berbagai kebutuhan komponen itu, diharapkan
ketergantungan impor komponen akan semakin
berkurang. Industri kecil juga dapat memperkuat
struktur industri dan mendorong terciptanya
lapangan kerja baru serta menghasilkan produksi
sesuai kebutuhan konsumen.
Kegiatan utama yang dilakukan oleh industri
logam kecil dan menengah untuk menghasilkan
produknya adalah melalui proses pemesinan
berbagai jenis bahan baku logam (Rochim, 1993).
Proses pemesinan atau proses pemotongan
logam merupakan aktivitas utama yang dilakukan

276

oleh industri logam kecil menengah dengan
menggunakan mesin-mesin perkakas yang masih
bersifat konvensional. Proses pemesinan ini
ditujukan untuk pembuatan komponen mesin atau
peralatan lainnya (Rochim 1993; Artiekimin 2004).

Pada umumnya industri logam kecil menengah
sudah cukup puas dengan hasil yang dicapainya
karena mereka masih berorientasi pada pasar lokal,
tetapi apabila diperhatikan dengan seksama, tidak
jarang ditemukan proses pemesinan yang dilakukan
kurang benar atau malah dilaksanakan dengan cara
yang sama sekali salah. Oleh karena itu, kualitas
yang dihasilkan sering kali masih kalah
berkompetisi dengan kualitas produk impor.
Kesalahan proses pemesinan yang mengakibatkan
hal tersebut antara lain sebagaimana yang
dilaporkan oleh Rochim (1993) adalah:
a) Laju pemotongan yang terlalu rendah sehingga
mengakibatkan permukaan produk terlalu
kasar. Pada beberapa keadaan seperti
pemotongan interupsi atau adanya beban kejut
yang dilakukan pada laju pemotongan terlalu
rendah, hal ini dapat pula mengakibatkan
pendeknya hayat pahat.
b) Laju makan yang terlalu rendah untuk tujuan

menghasilkan permukaan halus, terlalu
berlebihan sehingga melampaui spesifikasi
gambar teknik permukaan yang dirancang.
c) Proses pemesinan yang mengakibatkan
terbentuknya geram halus (bagaikan rambut),
sehingga proses tersebut menjadi sangat tidak
efisien.
d) Penggunaan pahat tidak sesuai dengan
pekerjaan yang dilakukan, dipandang dari

Performance of ABR: … (Maya Sarah)

e)

materialnya maupun geometrinya (bentuk dan
sudut pahat).
Cara penjepitan benda kerja yang tidak benar,
sehingga mengakibatkan kesalahan geometrik
produk yang melebihi batas toleransi.


1.2 Tujuan Penelitian
Untuk mendapatkan data-data dan informasiinformasi pemotongan logam di UKM pada
peringkat sensitivitas, kemudian dapat digunakan
sebagai input kondisi pemotongan (batas bawah
dan batas atas) dalam penelitian selanjutnya yaitu
analisis parameter pemotongan kering besi cor pada
peringkat performa.

2. Bahan, Peralatan dan Metodologi
2.1 Bahan
Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini
adalah jenis material besi cor dengan sifat mekanik
hasil pengujian sebagai berikut: kekerasan 229 HB,
kekuatan tarik 396 mPa
dan komposisi kimia
sebagai berikut:
Cr = ( 0,05 – 0,45 )%;
Cu = (0,15 – 0,4)%;
Mn = (0,5 – 0,9)%; Mo
=(0,05 - 0,1)%; Ni =

(0,05 - 0,2)%; P
=Max 0,12%; C=(3,25-3,5)%; S = Max 0,15%;
Si=(1,8-2,3)%. (Sumber: Seperti yang diterima dari
industri pengecoran).
2.2 Peralatan
Peralatan mesin bubut yang digunakan pada
industri logam kecil dan menengah tempat
penelitian dilakukan adalah mesin bubut CNC
EmcoTurn-242 dengan spesifikasi seperti yang
ditampilkan pada Tabel 1.

(b)
Gambar 1: Setup peralatan (a) Mesin bubut
CNC (b) Benda kerja terpasang pada mesin
Keterangan gambar:
1. Penjepit benda kerja
2. Pahat
3. Tool holder
4. Tool post
5. Penopang benda kerja (center)

6. Benda kerja
Pemotongan benda kerja untuk melihat keausan
pahat dan lama (waktu) pemotongan dilakukan di
laboratorium CNC P3GT (Pusat Pengembangan
Penataran Guru Teknologi) Medan.
Tabel 1: Data teknis mesin CNC Emcoturn 242
Daya (N)
Putaran (n)
Diameter penjepitan maksimum
Jarak antara dua titik pusat
(between center)
Memori program
Ketepatan masukan
Kisar ulir
Pengaturan asutan
Pengaturan put. sumbu utama
Jenjang interpolasi

(a)


15 kwatt
450 Rpm
158 mm
255 mm
20 kilo byte
0,001
mm
(0,0001 Zoll)
0,01 – 10 mm
(0 – 120) %
(50 – 120) %
± 9999,99 mm

2.3 Metode
Adapun metode pengumpulan data yang
dilakukan adalah dengan melakukan beberapa
pemotongan terhadap benda kerja, kondisi
pemotongan yang diberikan terhadap pemotongan
benda kerja tersebut dibuat bervariasi. Seluruh
pemotongan berhenti pada sekitar 5 menit waktu

pemotongan. Apabila sebelum 5 menit keausan
pahat (flank wear) sudah mencapai 0,3 mm maka
proses pemotongan material benda kerja

Jurnal Teknik SIMETRIKA Vol. 4 No. 1 – April 2005: 275 – 279

277

dihentikan. Data hasil pemotongan tersebut diplot
dalam bentuk grafik, dari grafik-grafik tersebut
akan terlihat dengan jelas pengaruh kombinasi
parameter pemotongan tersebut.

Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa panjang
pemesinan yang dilakukan di Industri Logam Kecil
Menengah yaitu KP1 sangat pendek, artinya
produktivitas sangat rendah, sementara KP1 s/d
KP3 tertinggal jauh dibandingkan dengan KP4 s/d
KP9.
0.18


3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Keausan Pahat
Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap industri
selalu berusaha agar biaya produksi dapat ditekan
sekecil mungkin untuk mendapatkan keuntungan
yang lebih besar.
Keausan pahat merupakan salah satu faktor yang
sangat perlu dipertimbangkan, karena dalam
industri yang memproduksi komponen secara
massal, keausan pahat perlu ditekan sehingga umur
pahat lebih panjang, dengan demikian biaya yang
diperlukan untuk membeli pahat dapat diirit.
Pada Gambar 2 terlihat bahwa masing-masing
pemotongan dilakukan sekitar 5 (lima) menit dan
pahat yang paling cepat aus adalah pahat dengan
kondisi pemotongan KP5 dan KP7, namun keausan
yang dialami masih di bawah 0,3 mm artinya masih
dalam kondisi yang diizinkan.


0.2

0.16
0.14
0.12
VB (mm)

Kondisi Pemotongan pada peringkat sensitivity
dilakukan untuk mendapatkan performa pahat
secara acak, adapun kondisi pemotongan yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
KP1: v = 50 m/menit; f = 0.04 mm/put; a = 0.5 mm
KP2: v =50 m/menit; f =0.1 mm/put; a = 0.5 mm
KP3: v =100 m/menit; f = 0.1mm/put; a=0.5 mm
KP4: v =250 m/menit; f = 0.1 mm/put; a = 0.5 mm
KP5: v = 300 m/menit; f=0.1 mm/put; a = 0.5 mm
KP6: v = 400 m/menit; f = 0.1 mm/put; a=0.5 mm
KP7: v = 500 m/menit; f = 0.1 mm/put; a = 0.5 mm
KP8: v = 300 m/menit; f = 0.2 mm/put; a=0.5 mm
KP9: v = 400 m/menit; f=0.2 mm/put; a = 0.5 mm

0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
0

0.5

KP1
KP6

1
KP2
KP7

1.5
Lt (km)
KP3
KP8

2

2.5

3

KP4
KP9

KP5

Gambar 3:Kurva hubungan panjang pemesinan
dengan keausan pahat
3.2. Kekasaran Permukaan
Kekasaran permukaan merupakan salah satu
parameter yang turut menentukan kualitas material
yang di mesin. Untuk itu banyak penelitian
dilakukan agar kekasaran permukaan yang
dihasilkan dari suatu proses pemesinan dapat
memenuhi spesifikasi kekasaran permukaan yang
ditetapkan pada gambar teknik.
Pada penelitian ini batas kekasaran permukaan
yang dikehendaki adalah sebesar
2,4 µm, dari
grafik kekasaran permukaan pada Gambar 4 bahwa
semua
kondisi
pemotongan
menghasilkan
kekasaran permukaan sesuai dengan yang
diinginkan, kecuali kondisi pemotongan KP2. Di
antara beberapa kondisi pemotongan yang masuk
dalam kriteria kekasaran permukaan (di bawah 2,4
µm) ada yang nilai kekasaran permukaannya sangat
rendah, bahkan ada yang nilainya sebesar
1,3
µm, tentunya nilai kekasaran yang sangat rendah
seperti ini juga tidak begitu diingini, karena
melampaui spesifikasi yang diinginkan.

0.18
0.16

3.00
2.50

0.12
0.1

2.00

0.08

Ra(um)

VB (um)

0.14

0.06
0.04
0.02

1.50
1.00

0

0.50

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0
0.00

t (m enit)

KP1
KP6

KP2
KP7

KP3
KP8

0

KP4
KP9

Gambar 2: Kurva hubungan waktu pemesinan
dengan keausan pahat

278

0.05

0.1

0.15

0.2

VB (mm)

KP5
KP1

KP2

KP3

KP4

KP6

KP7

KP8

KP9

KP5

Gambar 4:Kurva hubungan keausan pahat
dengan kekasaran permukaan

Analisis Parameter Pemotongan Besi COR … (Abdul Haris Nasution, dkk)

3.3 Volume Bahan Terbuang (Q)
Volume bahan terbuang adalah banyaknya
volume bahan yang dibuang akibat proses
pemotongan logam tersebut atau dengan kata lain
volume bahan terbuang adalah banyaknya volume
chip atau geram yang dihasilkan selama proses
pemesinan terhadap bahan dilakukan. Semakin
banyak chip atau geram yang mampu dihasilkan
sebuah proses pemesinan, maka semakin tinggi
produktivitas dari sisi kuantitas benda yang
diproduksi.
Dari Gambar 5 terlihat bahwa Volume bahan
terbuang yang terbanyak adalah pada KP9, dengan
v = 400 m/menit; f = 0.2 mm/put;
a = 0.5 mm,
sementara volume pemesinan terendah adalah pada
KP1 s/d KP4.
250000

Volume (mm 3)

200000
150000
100000
50000
0
0

1

2

3

4

5

6

7

t (min)
KP1
KP7

KP2
KP8

KP3
KP9

KP4

KP5

KP6

Salah satu tolok ukur tingkat produktivitas dari
sisi kuantitas adalah kecepatan penghasilan geram
(material removal rate), semakin tinggi tingkat
kecepatan penghasilan geram yang dimiliki suatu
kondisi pemotongan, maka semakin tinggi kuantitas
produksi yang dihasilkannya. Namun sungguh pun
tingkat kecepatan penghasilan geram yang
diperoleh oleh suatu kondisi pemotongan sangat
tinggi, bukan berarti merupakan kondisi
pemotongan yang terbaik, karena banyak parameter
lain yang perlu diperhatikan, antara lain: apakah
kekasaran permukaan yang dihasilkannya cukup
baik, apakah umur pahatnya cukup panjang atau
apakah waktu untuk memesin sebuah produk cukup
singkat, dan lain sebagainya. Apabila dari sisi MRR
suatu kondisi pemotongan sangat baik namun di sisi
lain tidak masuk kriteria, maka kondisi pemotongan
seperti itu belum dapat dikatakan kondisi
pemotongan yang optimal.
Dari sisi Kecepatan Penghasilan Geram
(Material Removal Rate/MRR) seperti pada
Gambar 7 terlihat bahwa MRR pada industri
Logam Kecil Menengah (KP1) sangat kecil, yaitu
dengan nilai sebesar 1 cm3/menit. Kemudian
terlihat MRR dari KP3 ke KP4 meningkat secara
drastis.

Grafik 5: Kurva hubungan waktu pemotongan
dengan volume pemotongan
45

40

40

3

MRR (cm /menit)

Dari hubungan antara volume pemotongan
dengan keausan pahat (Gambar 6) dapat dilihat
bahwa seluruh pahat dengan berbagai variasi
kondisi pemotongan yang digunakan untuk
memotong benda kerja masih berada pada daerah
yang diizinkan (nilai keausannya masih di bawah
0,3 mm), karena menurut ISO 3685 apabila pahat
telah mempunyai nilai keausan sebesar 0,3 mm,
maka pemotongan dihentikan. Namun karena
semua pemotongan yang dilakukan berhenti di
sekitar menit ke 5, maka pahat-pahat tersebut
belum mencapai nilai keausan sebesar 0,3 mm.
Dari Gambar 6 bahwa volume pemotongan
yang dihasilkan oleh KP1 s/d KP3 lebih rendah
dibandingkan dengan KP4 s/d KP9.

MRR TIAP KONDISI PEMOTONGAN

35

30

30

25

25

20

20
13

15
10
5

1

2.5

15

5

0
KP1

KP2

KP3

KP4

KP5 KP6 KP7 KP8

KP9

KONDISI PEMOTONGAN

Gambar 7: Diagram batang MRR pada tiap
kondisi pemotongan

0.18
0.16

4. Kesimpulan dan Saran

0.14

V B (uM)

0.12
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
0

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

3

Volume Pemotongan (mm )
KP1
KP7

KP2
KP8

KP3
KP9

KP4

KP5

KP6

Gambar 6: Kurva hubungan volume
pemotongan dengan keausan pahat

Untuk mendapatkan kondisi pemotongan yang
paling optimum untuk meningkatkan produktivitas
pada UKM Logam tentunya perlu dipertimbangkan
beberapa hal, antara lain: umur pahat yang panjang,
volume pemotongan yang besar, panjang
pemesinan yang panjang, waktu pemesinan yang
singkat, kekasaran permukaan yang rendah. Untuk
mendapatkan kondisi pemotongan yang optimal
perlu dilakukan suatu penelitian yaitu kajian
parameter pemotongan pada peringkat performa
dengan menggunakan hasil penelitian ini sebagai
input untuk menentukan batas bawah dan batas atas
kondisi pemotongan pada penelitian selanjutnya.

Jurnal Teknik SIMETRIKA Vol. 4 No. 1 – April 2005: 275 – 279

279

Setelah melihat keseluruhan analisis di atas,
maka kondisi pemotongan yang dapat digunakan
untuk kajian pada tahap performa adalah dari KP4
s/d KP9 atau dari kecepatan potong v = 250
m/menit s/d v= 500 m/menit, namun karena MRR
pada KP4 dengan KP5 sangat dekat, maka untuk
kajian pada tahap performa diambil kecepatan
potong pada KP5 v = 300 m/menit sebagai batas
bawah dan v= 500 m/menit sebagai batas atas.
Kondisi Pemotongan selengkapnya untuk
kajian pada tahap performa adalah sebagai berikut:
Batas bawah: v = 300 m/menit; f = 0.15 mm/put; a =
0,5 mm
Batas atas: v = 500 m/menit; f = 0,25 mm/put; a =
1 mm

Turning AISI 1045 steel”. Journal of Materials
Processing Technology 145. (2004): 46-58.
Rochim, Taufiq. 1993. Teori & Teknologi Proses
Pemesinan.
Shareef, Iqbal. “Machinability Comparison of
Casting Methods”. Journal of Materials
Processing Technology 52. (1995): 174 – 191.
“Understanding Cast Iron”.
. 2004.
Walpole, Ronald E. dan Raymond. H Myers. 1995.
Ilmu Peluang dan Statistika untuk Insinyur dan
Ilmuan”, Penerbit ITB.

Daftar Pustaka
Artiekimin. Personal Interview, 2004.
“Cast Iron “. IRON. 2004.
“Diintensifkan, Pengembangan Industri Kecil
Logam”. Kompas. 25 April 2003
Fallböhmer, P., C.A. Rodríguez, T. Özel, T. Altan
2000. High Speed machining of cast iron and
alloy steels for die and mold manufacturing.
Journal of material processing technology:
104-115.
Field, Michael and John F. Kahles. 1971. Review of
Surface Integrity of Machined Componen.
Annals of the CIRP, 20(2): 153-163.
Field, Michael, John F. Kahles and Jhon T.
Cammentt. 1972. A Review of Measuring
Methods for Surface. Annals of the CIRP,
21(2): 219-238
Ginting, Armansyah, 2003. High Speed Machining
Of AISI 01 Steel with Multilayer Ceramic
CVD – Coated Carbide: Tool Live and Surface
Integrity”. Majalah IPTEK Vol. 14 No. 3
Agustus
Indikator Makro Ekonomi Usaha Kecil Dan
Menengah Tahun 2003”, Berita Resmi Statistik
24
Maret
2004,
9
April
2004.
< http://www.bps.go.id>.
ISO 3685, “Tool-life testing with single-point
turning tools”, Second edition, 1993.
Kalpakjian.1995. Manufacturing Engineering and
Technology. Addison Wesley. Third Edition,
Copyright.
“MatWeb-Material Property Data”
http://www.matweb.com, 2005.
Noordin, M.Y., V.C. Venkatesh, S. Sharif, S.
Elting, A. Abdullah. “Application of Response
Surface Methodology in Describing the
Performance of Coated Carbide Tools When

280

Analisis Parameter Pemotongan Besi COR … (Abdul Haris Nasution, dkk)