Proses Pemotongan Logam Volume Bahan Terbuang Sebagai Parameter Alternatif Umur Pahat

(1)

TUGAS SARJANA

PROSES PEMOTONGAN LOGAM

VOLUME BAHAN TERBUANG SEBAGAI

PARAMETER ALTERNATIF UMUR PAHAT

OLEH:

LILIK SULAIMANSYAH NIM : 020401007

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK MEDAN

2007

TUGAS SARJANA

PROSES PEMOTONGAN LOGAM

VOLUME BAHAN TERBUANG SEBAGAI PARAMETER ALTERNATIF UMUR PAHAT

OLEH:

LILIK SULAIMANSYAH NIM : 020401007

Disetujui oleh: Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Armansyah Ginting, M.Eng NIP. 132 126 843


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdullillah, puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas

rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini tepat pada

waktunya. Tugas Akhir ini adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk

menyelesaikan program studi S-1 di Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik,

Universitas Sumatera Utara.

Penulis memilih Tugas Akhir ini dalam bidang Pemotongan Logam dengan judul “VOLUME BAHAN TERBUANG SEBAGAI PARAMETER ALTERNATIF UMUR PAHAT”

Pada kesempatan yang baik ini juga, penulis ingin mengucapkan terimakasih kapada :

1. Bapak Dr. Ir. Armansyah Ginting, M.Eng selaku dosen pembimbing tugas

sarjana ini, yang telah banyak membantu sumbangan pikiran dan

meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan untuk penulisan

tugas sarjana ini.

2. Bapak Ir. Alfian Hamsi, M.Sc, selaku Ketua Jurusan Teknik Mesin

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Tulus Burhanuddin Sitorus, S.T, M.T, selaku Sekretaris Jurusan Teknik Mesin Universitas Sumatera Utara.

4. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi Jurusan Teknik Mesin di

Universitas Sumatera Utara.

5. Orang tua saya, buat bapak dan ibu saya tercinta yang telah banyak


(4)

6. Herry, Rahman, Reza selaku teman diskusi dan rekan setim dalam

penelitian ini terimakasih atas semua bantuannya.

7. Kepada senior dan teman-teman penulis yang telah banyak membantu penulis dalam kuliah. Semoga Allah SWT membalas perbuatan baik yang telah mereka lakukan.

Akhir kata, syukur pada Allah SWT dan semoga tugas sarjana ini bermanfaat dan berguna bagi kita semua.

Medan, Juli 2007 Penulis

( Lilik Sulaimansyah )


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL... vi

DAFTARGAMBAR... viii

DAFTAR NOTASI... xi

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tujuan... 2

1.3 Manfaat... 3

1.4 Sistematika Penulisan... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 5

2.1 Elemen Dasar Pemotongan... 5

... 2.2 Proses Pembuangan Bahan (Metal Removal Process)... 10

2.2.1 Komponen Gaya Pembentuk Geram... 11

2.2.2 Sudut Geser dan Rasio Pemampatan Tebal Geram... 15

2.3 Pemotongan Orthogonal... 19

2.4 Analisis Teoritik Umur Pahat... 21

2.5 Rumus Empirik Umur Pahat... 29

2.6 Pembahasan Atas Rumus Empirik Umur Pahat... 32

2.7 Hubungan Antara Umur Pahat (T) Dengan Volume Bahan Terbuang (Q)... 34


(6)

BAB III METODE PENELITIAN... 35

3.1 Bahan dan Alat... 35

3.1.1 Bahan... 35

3.1.2 Alat... 36

3.2 Metode... 38

3.3 Pengumpulan Data... 44

3.4 Variabel Yang Diamati... 45

3.5 Analisa Regresi... 45

3.6 Volume Bahan Terbuang (Q) Sebagai Parameter Alternatif Umur Pahat (T)... 52

BAB IV HASIL DAN DISKUSI... 53

4.1 Model Matematika... 53

4.1.1 Model Matematika Y... 53

4.1.2 Model Matematika Q... 55

4.2 Pengaruh Kondisi Pemotongan (v, f, a) Terhadap Volume Bahan Terbuang (Q)... 56

4.2.1 Pengaruh Laju Pemotongan (v) Terhadap Volume Bahan Terbuang (Q)... 57

4.2.2 Pengaruh Pemakanan (f) Terhadap Volume Bahan Terbuang (Q)... 60

4.2.3 Pengaruh Kedalaman Potong (a) Terhadap Volume Bahan Terbuang (Q)... 63

4.3 Diagram Kendali Volume Bahan Terbuang... 66


(7)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 75 5.1 Kesimpulan... 75 5.2 Saran... 76 DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Besaran fisik... 26

Tabel 2.2 Harga m dan n untuk berbagai jenis pahat... 29

Tabel 3.1 Komposisi kimia dari material benda kerja... 33

Tabel 3.2 Sifat mekanik material benda kerja... 33

Tabel 3.3 Komposisi Kimia dan Sifat Mekanik Pahat Karbida Berlapis titanium nitrida... 34

Tabel 3.4 Data Teknis Mesin CNC Emcoturn -242... 35

Tabel 3.5 Kondisi pemotongan... 35

Tabel 3.6 Faktor dan level dalam eksperimen... 36

Tabel 3.7 Standar Array L9... 37

Tabel 3.8 Parameter yang diukur untuk VB = 0,1mm...41

Tabel . 3.9 Parameter yang diukur untuk VB = 0,3 mm...41

Tabel 3.10 Parameter yang diukur untuk VB = 0,6 mm... 42

Tabel 3.11 Hasil eksperimen... 44

Tabel 3.12 Volume bahan terbuang (Q) hasil eksperimen... 44

Tabel 3.13 Skema perhitungan untuk menyelesaikan persamaan normal...51

Tabel 4.1 Olahan data volume bahan terbuang pada VB = 0.1 mm... 54

Tabel 4.2 Nilai b1,b2,b3………... 45

Tabel 4.3 Kondisi pemotongan (v, f, a) untuk perubahan volume bahan terbuang (Q) secara eksperimen dan pemodelan untuk aus tepi VB = 0.1 mm ……… ... 56


(9)

Tabel 4.4 Kondisi pemotongan (v, f, a) untuk perubahan volume bahan terbuang (Q) secara eksperimen dan pemodelan untuk

aus tepi VB = 0.3 mm... 57 Tabel 4.5 Kondisi pemotongan (v, f, a) untuk perubahan volume bahan

terbuang (Q) secara eksperimen dan pemodelan untuk

aus tepi VB = 0.6 mm... 53 Tabel 4.6 Data untuk diagram kendali Q rata-rata dan standar deviasi (s)... 67 Tabel 4.7 Ragam aus tepi (VB) dengan volume bahan terbuang (Q) hasil

Eksperimen... 71 Tabel 4.8 Ragam aus tepi (VB) dengan volume bahan terbuang (Q) hasil


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Proses Bubut... 7

Gambar 2.2 Teori tradisional (awal) yang menerangkan terjadinya geram... 10

Gambar 2.3 Teori modern (yang dianut) yang menerangkan terjadinya geram... 11

Gambar 2.4. Lingkaran Merchant’s... 13

Gambar 2.5 Sudut geser Ф sebagai fungsi dari rasio pemampatan tebal geram λh ... 17

Gambar 2.6 Arah kecepatan geser (vs), kecepatan aliran geram (vc) dan kecepatan potong (v)... 18

Gambar 2.7 Proses pemotongan orthogonal... 19

Gambar 2.8 Garis-garis isoterm pada geram dan pahat sewaktu proses pemotongan berlangsung... 24

Gambar 3.1 Gambar benda kerja (bahan baja paduan kelas tinggi)... 36

Gambar 3.2 EMCOTURN –242... 36

Gambar 3.3 Benda kerja terpasang pada mesin... 37

Gambar 3.4 Gaya yang bekerja pada proses bubut... 38

Gambar 3.5 Termokopel dan temperature control indicator... 38

Gambar 3.6 Bentuk hubungan antara variabel... 46

Gambar 3.8 Pola perubahan nilai variabel... 47

Gambar 4.1 Grafik laju pemotongan vs volume bahan terbuang pada VB = 0.1mm... 58


(11)

Gambar 4.2 Grafik laju pemotongan vs volume bahan terbuang

pada VB = 0.3 mm... 58 Gambar 4.3 Grafik laju pemotongan vs volume bahan terbuang

pada VB = 0.6 mm... 59 Gambar 4.4 Grafik laju pemotongan vs volume bahan terbuang pada

VB = 0.1, 0.3 dan 0.6 mm... 59 Gambar 4.5 Grafik pemakanan vs volume bahan terbuang pada

VB = 0.1 mm... 61 Gambar 4.6 Grafik pemakanan vs volume bahan terbuang pada

VB = 0.3 mm... 61 Gambar 4.7 Grafik pemakanan vs volume bahan terbuang

pada VB = 0.6 mm... 62 Gambar 4.8 Grafik pemakanan vs volume bahan terbuang pada

VB = 0.1, 0.3 dan 0.6 mm... 62 Gambar 4.9 Grafik kedalaman potong vs volume bahan terbuang

pada VB = 0.1 mm... 64 Gambar 4.10 Grafik kedalaman potong vs volume bahan terbuang

pada VB = 0.3 mm... 64 Gambar 4.11 Grafik kedalaman potong vs volume bahan terbuang

pada VB = 0.6 mm... 65 Gambar 4.12 Grafik kedalaman potong vs volume bahan terbuang pada

VB = 0.1, 0.3 dan 0.6 mm... 65 Gambar 4.13 Diagram kendali standar deviasi (s)... 68


(12)

Gambar 4.15 Aus tepi pada saat VB = 0.1 mm... 69

Gambar 4.15 Aus tepi pada saat VB = 0.3 mm... 70

Gambar 4.15 Aus tepi pada saat VB = 0.6 mm... 70

Gambar 4.16 Variasi kenaikan VB terhadap Q dari hasil eksperimen... 73

Gambar 4.17 Variasi kenaikan VB terhadap Q dari hasil model yang Dikembangkan... 73


(13)

DAFTAR NOTASI

a : Kedalaman potong (depth of cut) mm

ac : Tebal geram yang tidak terdeformasi (h) mm aw : Lebar pemotongan atau lebarnya geram (b) mm A : Penampang geram sebelum terpotong mm2

Ashi : Penampang bidang geser mm2 Aγ : Bidang pada pahat dimana geram mengalir (face) mm2

b : Lebar pemotongan (width of cut) mm

b0-b3 : Koefesien

c : Temperatur oC

C : Konstanta

CT : Konstanta

Ck : Faktor koreksi terhadap sudut potong Kr Cv : Faktor koreksi terhadap kecepatan potong Cv Cvb : Faktor koreksi terhadap keausan tepi VB

γ

C : Faktor koreksi terhadap sudut geram Cγ

d : Diameter rata-rata mm

dm : Diameter akhir mm do : Diameter mula mm E : Modulus elastisitas (modulus of elasticity) Mpa


(14)

Fs : Gaya geser yang bekerja pada pemotongan logam N

Fsn : Gaya normal pada bidang geser pada pemotongan logam N

Fv

:

Gaya potong searah dengan kecepatan potong N

γ

F : Gaya gesek pada bidang geram N

n

Fγ : Gaya normal pada bidang geram N

G : Modulus elastisitas geser (shear modulus) MPa

h : Tebal geram sebelum terpotong mm

hc : Tebal geram setelah terpotong mm

Kr : Sudut potong utama ( o)

K : Konduktifitas panas (thermal conductivity) W/m.K

Ks : Gaya potong spesifik N/mm2

Ks1,1 : Gaya potong spesifik referensi N/mm2

LCL : Lower Control Limit

Q : Volume Bahan Terbuang dm3

Qt : Panas total yang dihasilkan perdetik W Qsh : Panas yang dihasilkan perdetik pada bidang geser W Qγ : Panas yang dihasilkan perdetik pada bidang geram W Qα : Panas yang dihasilkan perdetik pada bidang utama W s : Standar deviasi

T : Umur pahat min

c

t : Waktu pemotongan min UCL : Upper Control Limit


(15)

Vc : Kecepatan potong pada daerah deformasi utama m/s

Vf : Kecepatan makan m/min

o

V : Kecepatan potong x rasio pemotongan m/min Vs : Kecepatan geser pada daerah deformasi utama m/s

VB : Panjang keausan tepi mm

X : Nilai yang diobservasi

Y : Nilai yang dicari untuk setiap nilai X

z : Pangkat tebal geram, rata-rata bermilai 0,2

Z : Kecepatan penghasilan geram mm3/mnt

Z : Distribusi normal

γo : Sudut geram ( o)

η : Besar sudut gesek ( o)

λh : Rasio pemampatan tebal geram σu : Tegangan tarik (Ultimate tensile strength) Mpa σy : Tegangan geser (Tensile yield strength) Mpa

τshi : Tegangan geser pada bidang geser N/mm2

µ : Poisson’s ratio

ρ : Densitas gr/cm3


(16)

Abstrak

Proses Pembuangan Material (Metal Removal Process) atau lebih dikenal dengan Pemotongan Logam merupakan proses yang digunakan untuk mengubah bentuk benda kerja menjadi suatu produk dengan cara memotong. Dari pemotongan yang dilakukan, akan terbentuk geram atau serpihan (chip) yang berasal dari bagian benda kerja yang terpotong demi dihasilkannya produk dengan dimensi dan bentuk yang diinginkan sesuai dengan desain. Geram yang terbentuk dari pemotongan dapat dikelompokan kepada beberapa kelas yaitu:

1. Geram kontiniu, 2. Geram terputus, 3. Geram bersegmen 4. Geram built-up edge.

Saat pemotongan berlangsung, pada bidang kontak antara geram dan pahat akan mengalami kenaikan temperatur akibat kalor yang terkonsentrasi pada kawasan pemotongan. Bidang kontak tersebut akan menerima beban temperatur dan tekanan yang sangat tinggi, sehingga pahat akan mengalami keausan yang akibatnya dapat menyebabkan masa pakai pahat (umur pahat) berakhir.

Umur pahat yang mengindikasikan rentang waktu masa pakai pahat untuk memotong, lazim dihubungkan dengan rumus Taylor.


(17)

Abstrak

Proses Pembuangan Material (Metal Removal Process) atau lebih dikenal dengan Pemotongan Logam merupakan proses yang digunakan untuk mengubah bentuk benda kerja menjadi suatu produk dengan cara memotong. Dari pemotongan yang dilakukan, akan terbentuk geram atau serpihan (chip) yang berasal dari bagian benda kerja yang terpotong demi dihasilkannya produk dengan dimensi dan bentuk yang diinginkan sesuai dengan desain. Geram yang terbentuk dari pemotongan dapat dikelompokan kepada beberapa kelas yaitu:

1. Geram kontiniu, 2. Geram terputus, 3. Geram bersegmen 4. Geram built-up edge.

Saat pemotongan berlangsung, pada bidang kontak antara geram dan pahat akan mengalami kenaikan temperatur akibat kalor yang terkonsentrasi pada kawasan pemotongan. Bidang kontak tersebut akan menerima beban temperatur dan tekanan yang sangat tinggi, sehingga pahat akan mengalami keausan yang akibatnya dapat menyebabkan masa pakai pahat (umur pahat) berakhir.

Umur pahat yang mengindikasikan rentang waktu masa pakai pahat untuk memotong, lazim dihubungkan dengan rumus Taylor.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Proses Pembuangan Material (Metal Removal Process) atau lebih dikenal dengan Pemotongan Logam merupakan proses yang digunakan untuk mengubah bentuk benda kerja menjadi suatu produk dengan cara memotong. Dari pemotongan yang dilakukan, akan terbentuk geram atau serpihan (chip) yang berasal dari bagian benda kerja yang terpotong demi dihasilkannya produk dengan dimensi dan bentuk yang diinginkan sesuai dengan desain. Geram yang terbentuk dari pemotongan dapat dikelompokan kepada beberapa kelas yaitu:

1. Geram kontiniu, 2. Geram terputus,

3. Geram bersegmen

4. Geram built-up edge.

Saat pemotongan berlangsung, pada bidang kontak antara geram dan pahat akan mengalami kenaikan temperatur akibat kalor yang terkonsentrasi pada kawasan pemotongan. Bidang kontak tersebut akan menerima beban temperatur dan tekanan yang sangat tinggi, sehingga pahat akan mengalami keausan yang akibatnya dapat menyebabkan masa pakai pahat (umur pahat) berakhir.

Umur pahat yang mengindikasikan rentang waktu masa pakai pahat untuk memotong, lazim dihubungkan dengan rumus Taylor yaitu :

C


(19)

Notasi v adalah laju pemotongan [m/min], T adalah umur pahat [min], n adalah indeks bagi umur pahat dan C adalah konstanta. Nilai n bergantung pada jenis bahan pahat yang digunakan untuk memotong. Untuk karbida, nilai n adalah 0.3, sedangkan untuk High Speed Steel (HSS) nilai n adalah 0.5 (Kalpakjian, 2004). Apabila persamaan (1.1) di atas dihubungkan dengan parameter pemotongan logam yaitu v (laju pemotongan), f (pemakanan), a (kedalaman potong), tc (waktu

pemesinan) dan Z (kadar pembuangan bahan / metal removal rate), maka rumus

Taylor tersebut dapat dikembangkan lebih lanjut.

Pengembangan rumus Taylor yang dimaksud adalah sebagaimana yang dipaparkan oleh Ginting dan Nouari (2006) yaitu dengan memasukkan seluruh parameter pemotongan sehingga umur pahat tidak lagi diwakili oleh T, melainkan oleh modifikasi dari parameter Z yang digabungkan dengan parameter tc, menjadi:

[min] .

] min [

3

c

t dm Z Q=

... (1.2)

] [dm3 Q=

r q p

a f v C

Q= . . . ………....(1.3)

1.2Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan model matematika umur pahat yang dicirikan oleh parameter Q (volume bahan terbuang) dan seluruh parameter pemotongan lain yaitu v, f, a pada operasi pembubutan kering menggunakan metode regresi multi linier.


(20)

1.3Manfaat

Manfaat yang diperoleh dari tugas akhir ini adalah :

1. Dapat mengetahui permodelan matematika volume bahan terbuang (Q)

sebagai parameter alternatif umur pahat (T).

2. Dapat mengetahui pengaruh volume bahan terbuang (Q) terhadap kondisi

pemotongan (v, f, a).

3. Dapat mengetahui pengaruh volume bahan terbuang (Q) terhadap keausan tepi pahat (VB).

4. Sebagai bahan acuan untuk operator pemesinan supaya dalam melaksanakan

atau mendesain suatu bentuk pada benda kerja dapat memperkirakan dan menghitung kondisi pemotongan yang sesuai.

1.4Sistematika Penulisan

Tugas sarjana ini disajikan dalam beberapa bab dengan tujuan untuk memudahkan pemaparan masalah dan membentuk alur pembahasan analisa hasil penelitian yang mudah dipahami. BAB I merupakan uraian singkat mengenai latar belakang, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II menyajikan tinjauan pustaka yang akan memberi informasi mengenai elemen dasar proses pemotongan, pemotongan orthogonal, analisis teoritik umur pahat, rumus empiric umur pahat, pembahasan atas rumus empiric umur pahat serta hubungan antara umur pahat dengan volume bahan terbuang.


(21)

BAB III memperkenalkan pengumpulan data, variable yang diamati, regresi berganda (regresi multi linier) serta volume bahan terbuang sebagai parameter alternatif umur pahat.

BAB IV menguraikan hasil pemodelan matematika volume bahan terbuang (Q) sebagai parameter alternative umur pahat (T) dan pengaruh kondisi pemotongan dan keausan tepi terhadap model matematika yang dihasilkan.

Akhirnya sebagai kesimpulan dan saran dari semua uraian yang ada dalam tugas sarjana ini akan diintisarikan dalam BAB V.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Elemen Dasar Proses Pemesinan

Berdasarkan gambar teknik, dimana dinyatakan spesifikasi geometrik suatu produk komponen mesin harus dipilih sebagai suatu proses atau urutan proses yang digunakan untuk membuatnya. Bagi suatu tingkatan proses, ukuran objektif ditentukan dan pahat harus membuang sebagian material benda kerja sampai ukuran objektif itu dicapai. Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara menentukan penampang geram (sebelum terpotong). Selain itu, setelah berbagai aspek teknologi ditinjau, kecepatan pembuangan geram dapat dipilih supaya waktu pemotongan sesuai dengan yang dikehendaki. Pekerjaan ini akan ditemui dalam setiap perencanaan proses pemesinan. Untuk itu perlu dipahami lima elemen dasar proses pemesinan yaitu :

1. Laju pemotongan (cutting speed) : v (m/min)

2. Laju pemakanan (feeding speed) : vf (mm/min)

3. Kedalaman potong (depth of cut) : a (mm)

4. Waktu pemotongan (cutting time) : tc (min)

5. Kadar pembuangan material

(rate of metal removal) : Z (dm3 /min)

Elemen proses pemesinan tersebut (v, vf, a, tc, Z) dihitung berdasarkan dimensi benda kerja dan/atau pahat serta besaran dari mesin perkakas. Oleh sebab itu rumus yang dipakai dalam setiap proses pemesinan bisa berlainan. Karena


(23)

dalam penelitian ini penulis menggunakan mesin bubut (turning) maka yang akan dibahas dalam bab ini hanya mengenai elemen dasar proses pemesinan dari mesin bubut (turning).

Elemen dasar dari proses bubut (turning) dapat diketahui atau dihitung dengan menggunakan rumus yang dapat diturunkan dengan memperhatikan Gambar 2.8. Kondisi pemotongan ditentukan sebagi berikut :

Benda Kerja : d0 = diameter luar ; mm

dm = diameter dalam ; mm lt = panjang pemesinan ; mm

Pahat : κr = sudut potong utama ; 0

γ0 = sudut geram ; 0

Mesin Bubut : a = kedalaman potong; mm

= (d0 - dm )/2 ; mm, ….……….(2.1)

f = gerak makan ; mm/(r)


(24)

Gambar 2.1 Proses Bubut (Sumber : Rochim, 1993)

Dari Gambar 2.1 diatas, terlihat bahwa proses bubut tersebut menggunakan suatu proses pemotongan miring (oblique cutting) yaitu suatu sistem pemotongan dengan gerakan relatif antara pahat dan benda kerja membentuk sudut potong utama (κr) selain 90º. Kecepatan makan (vf) dihasilkan

oleh pergerakan dari pahat ke benda kerja.

Elemen dasar dapat dihitung dengan rumus-rumus berikut :

1. Laju pemotongan :

v =

1000 n . d .

π ; m/min, ……….(2.2)

dimana : v = Kecepatan potong ; m/min d = Diameter rata-rata, yaitu :

d = (d0 + dm) /2 = d0 ; mm, ………….……….(2.3)

n = Putaran poros utama ; rpm

Kecepatan potong maksimal yang diijinkan tergantung pada :

a. Bahan benda kerja : makin tinggi kekuatan bahan, makin rendah


(25)

b. Bahan pahat : Pahat Karbida memungkinkan kecepatan yang lebih tinggi daripada pahat HSS.

c. Besaran asutan : Makin besar asutan, makin kecil kecepatan potong.

d. Dalamnya pemotongan : makin besar dalamnya pemotongan, makin kecil

kecepatan potong.

2. Laju pemakanan :

vf = f . n ; mm/min ……….…………..(2.4)

dimana :

vf = kecepatan makan ; mm/min f = gerak makan ; mm/(r) n = putaran poros utama (benda kerja) ; rpm

3. Waktu pemotongan :

tc = lt / vf ; min ……….………..(2.5)

dimana :

tc = waktu pemotongan ; min

lt = panjang pemesinan ; mm

vf = kecepatan makan ; mm/min

4. Kecepatan penghasilan geram :

Z = A . v …...………(2.6) Dimana, penampang geram sebelum terpotong A = f . a ;mm2,

Maka :


(26)

Z = kecepatan penghasilan geram ; dm3 / min f = gerak makan ; mm/(r)

a = kedalaman potong ; mm v = kecepatan potong ; m/min

Pada Gambar 2.9 diperlihatkan sudut potong utama (κr, principal cutting edge angle) yaitu merupakan sudut antara mata potong mayor dengan kecepatan makan

vf. Besarnya sudut tersebut ditentukan oleh geometri pahat dan cara pemasangan

pahat pada mesin perkakas (orientasi pemasangannya). Untuk harga a dan f yang tetap maka sudut ini menentukan besarnya lebar pemotongan. (b, widh of cut) dan tebal geram sebelum terpotong (h, underformed chip thicknes) sebagai berikut:

a. Lebar pemotongan : b = a / sin κr ; mm, …..………(2.8)

b. Tebal geram sebelum terpotong :

h = f sin Kr ; mm, …...………(2.9)

Dengan demikian penampang geram sebelum terpotong dapat dituliskan sebagai berikut :

A = f . a = b . h ;mm2 …………(2.10) Perlu dicatat bahwa tebal geram sebelum terpotong (h) belum tentu sama dengan tebal geram (hc, chip thicknes) dan hal ini antara lain dipengaruhi oleh sudut geram, kecepatan potong dan material benda kerja.

2.2 Proses Pembuangan Bahan (Metal Removal Process)

Ada banyak ragam operasi pembuangan bahan/material yang menggunakan geometri pahat yang berbeda dan hubungan kinematik antara kerja


(27)

dan pahat. Beberapa operasi pembuangan material yang utama adalah sebagai berikut :

1. Proses turning menghasilkan permukaan silinder

2. Proses milling menghasilkan permukaan yang datar dan permukaan

dengan geometri yang kompleks

3. Proses boring, drilling, reaming menghasilkan bentuk lubang

Bahan yang terbuang dapat diasumsikan sebagai geram. Geram yang terbentuk pada proses pemesinan, awalnya diperkirakan terbentuk karena adanya retak mikro (micro track) yang timbul pada benda kerja tepat diujung pahat pada saat pemotongan dimulai. Dengan bertambahnya tekanan pahat, retak tersebut menjalar kedepan sehingga terjadilah geram, lihat gambar 2.2.

Gambar 2.2 Teori tradisional (awal) yang menerangkan terjadinya geram (Sumber : Rochim, 1993)

Berkat hasil berbagai penelitian, anggapan mengenai pembentukan geram ini sekarang sudah ditinggalkan. Logam yang pada umumnya bersifat ulet (duktile) apabila mendapat tekanan akan timbul tegangan (stress) didaerah


(28)

(benda kerja) tersebut mempunyai orientasi yang kompleks dan pada salah satu arah akan terjadi tegangan geser (shearing stress) yang maksimum. Apabila tegangan geser ini melebihi kekuatan logam yang akan terjadi deformasi plastik (perubahan bentuk) yang menggeser dan memutuskan benda kerja diujung pahat pada suatu bidang geser (shear plane). Bidang geser mempunyai lokasi tertentu yang membuat sudut terhadap vektor kecepatan potong dan dinamakan sudut geser (shear angle, Φ), lihat Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Teori modern (yang dianut) yang menerangkan terjadinya geram (Sumber : Rochim, 1993)

2.2.1 Komponen Gaya Pembentukan Geram

Suatu analisis mekanisme pembentukan geram yang dikemukakan oleh

Merchant mendasarkan teorinya atas model pemotongan sistem tegak

(Orthogonal System). Sistem gaya yang bekerja pada proses pemotongan logam dipandang hanya pada satu bidang (bukan ruang) maka gaya total yang bekerja dapat diuraikan menjadi dua komponen gaya yang saling tegak lurus. Tergantung pada cara penguraian dalam hal ini dapat dikemukakan tiga cara yaitu,

1. Gaya total (F), ditinjau dari proses deformasi material, dapat


(29)

a. Gaya geser (Fs) yang mendeformasikan material pada bidang

geser sehingga melampaui batas elastik.

b. Gaya normal pada bidang geser (Fsn) yang menyebabkan pahat

tetap menempel pada benda kerja.

2. Gaya total (F) dapat diketahui arah dan besarnya dengan cara

membuat dinamometer (alat ukur gaya dimana pahat dipasang padanya dan alat tersebut dipasang pada mesin perkakas) yang mengukur dua komponen gaya yaitu,

a. Gaya potong (Fv), searah dengan laju potong.

b. Gaya makan (Ff), searah dengan laju makan.

3. Gaya total (F) yang bereaksi pada bidang geram (Aγ, face, bidang

pada pahat dimana geram mengalir) diuraikan menjadi dua komponen untuk menentukan ‘koefisien gesek geram terhadap pahat’ yaitu,

a. Gaya gesek (Fγ) pada bidang geram.

b. Gaya normal (Fγn) pada bidang geram.

Oleh karena berasal dari satu gaya yang sama, gaya-gaya tersebut dapat dilukiskan pada suatu lingkaran dengan diameter yang sama dengan gaya total (F), atau biasa disebut sebagai lingkaran Merchant’s seperti diperlihatkan pada Gambar 2.4. Lingkaran yang diciptakan oleh M. Eugene Merchant tersebut digambarkan persis diujung pahat sedemikian rupa sehingga semua komponen menempati lokasi seperti yang dimaksud.


(30)

Gambar 2.4. Lingkaran Merchant’s (Sumber : Rochim, 1993)

Gambar 2.4. merupakan gambaran sistem gaya pada pemotongan

orthogonal dan dalam prakteknya dapat dilakukan dengan pendekatan

menggunakan pahat dengan sudut κr = 90o dan Sudut λs = 0o (sudut miring,

inclination angle) dengan kecepatan potong yang jauh lebih tinggi daripada

kecepatan makan.

Berdasarkan analisis geometrik dari lingkaran gaya (Merchant) dapat diturunkan rumus dasar gaya potong Fv.

Dari,

Fv = F cos ( η −γ0) , dan Fs = F cos (Φ + η - γ0 ) ……….(2.11)

Maka,

Fv =

) cos(

) cos(

0 0 γ η γ η

− +

Φ −

s

F


(31)

Gaya geser Fs dapat digantikan dengan penampang bidang geser dan tegangan geser yang terjadi padanya yaitu :

Fs = Ashi . τshi ; N ..…………....(2.13)

Dimana :

Ashi = Penampang bidang geser,

= A / sin Φ ;mm2

A = penampang geram sebelum terpotong = b. h ; mm2

τshi = tegangan geser pada bidang geser, ; N/mm2

Dengan demikian rumus gaya potong adalah :

Fv = τshi.b.h

) cos(

sin

) cos(

0 0

γ η γ η

− + Φ

Φ − ; N .……(2.14)

Dari persamaan (2.14) dapat disimpulkan beberapa variabel yang mempengaruhi gaya pemotongan sebagai berikut :

1. Tegangan geser menentukan besarnya gaya potong maka kekuatan benda

kerja merupakan faktor penentu dalam proses pemesinan. Dalam praktek telah diketahui bahwa untuk kondisi pemotongan yang sama maka gaya potong bagi benda kerja Aluminium lebih rendah daripada gaya potong bagi benda kerja baja.

2. Semakin besar penampang geram, gaya potong akan semakin besar.

3. Sudut geram, sudut geser dan sudut gesek (ditentukan oleh koefisien gesek µ) menentukan besarnya gaya potong.


(32)

Untuk menentukan besar gaya gesek dan gaya normal pada bidang geram (Fγ dan

Fγn) dapat diturunkan dari gaya potong dan gaya makan (Fv dan Ff), yaitu :

Fγ = Ff cos γ0 + Fv sin γ0 , dan Fγn = Fv cos γ0 – Ff sin γ0 ……...(2.15)

dimana ;

Ff = gaya makan ; N (0.5 s.d 0.75 Fv tergantung pada kondisi

pemotongan)

γ0 = sudut geram

Sehingga dari hasil tersebut, dapat diperoleh harga koefisien gesek :

0 0 tan tan tan

γ γ γ

η

µ γ

f v

v f

F F

F F n F

F

− + = =

= ………(2.16)

dimana :

η = sudut gesek

Berdasarkan persamaan (2.6) tersebut diatas, dinyatakan bahwa koefisien gesek dipengaruhi oleh sudut geram. Tetapi rumus tersebut tidak menyatakan bahwa dengan mengubah sudut geram gaya potong dan gaya makan tidak berubah. Dalam kenyataan, gaya potong dan gaya makan berubah dengan berubahnya sudut geram dan hal ini disebabkan oleh perubahan sudut geser Ф.

2.2.2 Sudut Geser dan Rasio Pemampatan Tebal Geram

Dari persamaan (2.4), dikarenakan gaya potong (Fv) merupakan fungsi dari sudut geser (Ф) maka sudut geser maksimum dapat dicari dengan cara

deferensiasi dan hasilnya disamakan dengan nol,

0 = Φ ∂ ∂Fv

.………(2.17)

cos Ф cos (Ф + η – γ0) - sin Ф sin (Ф + η – γ0) =0 cos (2Ф + η - γ0) = 0


(33)

yang berarti:

2 Ф+ η - γ0 = 90º ………(2.18)

maka ;

Ф = 45º +

2 2

0 η

γ ……….………(2.19)

Berdasarkan logika, dari persamaan (2.19) diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Sudut geser Ф ditentukan oleh sudut geram γ0. Semakin besar sudut geram

maka sudut geser akan membesar dan menyebabkan penurunan bidang luas bidang geser (lihat Gambar 2.3) sehingga menurunkan gaya potong.

2. Koefisien gesek tidak mungkin sama dengan nol. Dengan demikian,

berdasarkan analisis geometrik gaya (lingkaran Merchant) maka sudut geser tidak mungkin melebihi suatu harga yaitu,

Ф < 45º +

2 0 γ

Tebal geram sebelum terpotong h hanya mungkin sama besar dengan tebal geram hc bila,

Ф = 45º +

2 0 γ

Oleh sebab itu, berdasarkan hal diatas dan kenyataan dalam praktek maka, hc > h

sehingga seolah-olah geram dimampatkan, yang biasa disebut dengan Rasio Pemampatan Tebal Geram yang merupakan perbandingan antara tebal geram dengan tebal geram sebelum terpotong. Atau dapat dinyatakan dengan rumus


(34)

λh =

h hc

> 1 ………..(2.20)

maka,

λh =

h hc

=

Φ− Φ sin

) cos( γ0

....………..(2.21)

Dari rumus diatas, dapat dicari harga sudut geser Ф berdasarkan pengukuran λ h,

yaitu ;

tan Ф =

0 0

sin cos

γ λh − γ

………..………...(2.22)

Secara grafis Gambar 2.5 di bawah menunjukkan hubungan antara sudut

geser Ф sebagai fungsi rasio pemampatan tebal geram λ h untuk sudut geram γ0 = 20º, 0º, dan -20º. Dari gambar berikut terlihat bahwa untuk λ h yang besar perbedaan γ0tidak mempunyai arti terhadap sudut geser Ф.

Gambar 2.5 Sudut geser Ф sebagai fungsi dari rasio pemampatan tebal geram λh

(Sumber : Rochim, 1993)

Jika sudut geram telah ditetapkan, maka sudut geser dapat dihitung dengan mengukur rasio pemampatan tebal geram. Akan tetapi tebal geram tak dapat diukur secara langsung tanpa mengakibatkan kesalahan pengukuran sebab,


(35)

a. Permukaan geram relatif kasar, dan

b. Geram tidak lurus karena dalam kenyataan bidang geser tidak

lurus melainkan melengkung yang diakibatkan oleh distribusi tegangan geser yang tidak merata

Dikarenakan adanya pemampatan tebal geram, maka kecepatan aliran geram selalu lebih rendah daripada kecepatan potong. Gambar 2.6 menunjukkan kecepatan aliran geram (vc) dan kecepatan potong (v).

Gambar 2.6 Arah kecepatan geser (vs), kecepatan aliran geram (vc) dan kecepatan

potong (v) (Sumber : Rochim, 1993)

Dari Gambar 2.6 diatas, arah kecepatan geser (vs) ditentukan oleh

kecepatan aliran geram (vc) dan kecepatan potong (v). Berdasarkan aturan/kaidah

tangan kanan, dari Gambar 2.5 arah pergerakan mata pahat (vf) searah pada

sumbu x, dan kecepatan potong (v) yang terbentuk terletak pada sumbu z. Kecepatan geser (vs) akan lebih tinggi daripada kecepatan potong (v) untuk sudut geram γ0 negatif (Rochim, 1993).

Sehingga berdasarkan polygon kecepatan tersebut maka dapat dirumuskan sebagai berikut :

sin

sin Φ

=

Φ v


(36)

dimana :

vc = kecepatan aliran geram

v = kecepatan potong

λh =

Φ− Φ sin

) cos( γ0

; (persamaan 2.21)

maka,

vc =

h

v

λ ………...(2.24)

Karena λh > 1 maka kecepatan geram selalu lebih rendah daripada kecepatan

potong. Selanjutnya kecepatan geser dapat diketahui dari poligon yaitu ;

vs =

Φ sin

cosγ0

c

v

, ………(2.25)

vs =

) cos(

cos

0 0 γ γ − Φ v


(37)

2.3 Pemotongan Orthogonal

Gambar 2.7 Proses pemotongan orthogonal (Sumber : Rochim, 1993)

Analisis mekanisme pembentukan geram tersebut dikemukakan oleh

Merchant berdasarkan teorinya atas model pemotongan sistem tegak (orthogonal system). Sistem pemotongan tegak merupakan penyederhanaan dari sistem

pemotongan miring (oblique system) dimana gaya diuraikan menjadi komponen gaya yang bekerja pada suatu bidang.

Pemotongan tegak (Orthogonal cutting) merupakan suatu sistem pemotongan dengan gerakan relatif antara mata pahat dan benda kerja membentuk sudut potong tepat 90º atau yang dinamakan dengan sudut potong utama (κr), dan

besarnya lebar mata pahat lebih besar dari lebar benda kerja yang akan dipotong.

Menurut Rochim (1993), sudut potong utama (κr) mempunyai peran antara lain :

1. Menentukan lebar dan tebal geram sebelum terpotong (b

dan h)

2. Menentukan panjang mata potong yang aktif atau panjang

kontak antara geram dengan bidang pahat, dan


(38)

memperkecil sudut potong utama (κr) akan menurunkan tebal geram sebelum

terpotong h dan menaikkan lebar geram b.

Akan tetapi, pemakaian sudut potong utama yang kecil tidak selalu menguntungkan sebab akan menaikkan gaya radial Fx. Gaya radial yang besar mungkin menyebabkan lenturan yang terlalu besar ataupun getaran (chatter) sehingga menurunkan ketelitian geometrik produk dan hasil pemotongan terlalu kasar. Tergantung pada kekakuan (stiffness) benda kerja dan pahat serta metode pencekaman benda kerja serta geometri benda kerja.

Sudut geram mempengaruhi proses pembentukan geram pada proses pemotongan orthogonal. Untuk suatu kecepatan potong tertentu, sudut geram

yang besar akan menurunkan rasio pemampatan tebal geram (λh) yang mengakibatkan kenaikan sudut geser (Ф).

Jenis material benda kerja juga akan mempengaruhi pemilihan sudut geram. Pada prinsipnya, untuk material yang lunak dan ulet (soft & ductile) memerlukan sudut geram yang besar untuk mempermudah proses pembentukan geram, sebaliknya bagi material yang keras dan rapuh (hard & brittle) memerlukan sudut geram yang kecil atau negatif untuk memperkuat pahat.

2.4 Analisis Teoritik Umur Pahat

Kerja/energi mekanik dalam proses pemotongan yang bebas getaran seluruhnya diubah menjadi panas/kalor. Energi mekanik per satuan waktu atau daya mekanik yang diubah menjadi energi panas persatuan waktu tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :


(39)

dimana, Qt = Panas total yang dihasilkan perdetik

Q Fvv J satauW

sh ;

60 .

= ……...…………(2.28)

Qsh = panas yang dihasilkan perdetik pada bidang geser,

W atau s J v F

Q s s

; 60

. =

γ ………..….………(2.29)

Qγ = Panas yang dihasilkan perdetik pada bidang geram,

W atau s J v F

Q c ;

60 .

γ

α = .….………...(2.30)

Qα = Panas yang dihasilkan perdetik pada bidang utama

Berdasarkan hasil penelitian pada berbagai kondisi pemotongan, prosentase panas yang dihasilkan pada bidang geser, bidang geram dan bidang utama masing-masing berkisar diantara harga 80%, 18% dan 2%. Panas tersebut sebagian akan terbawa geram, sebagian mengalir menuju ke pahat dan benda kerja dengan prosentase sebagai berikut :

Qt =Qc+Qs +Qw ;W………(2.31)

dimana,

Qc = panas yang terbawa oleh geram dengan prosentase sekitar 75%,

Qs = panas yang merambat melalui pahat dengan prosentase sekitar 20%

Qw = panas yang merambat melalui benda kerja dengan prosentase

sekitar 5%

Semakin tinggi kecepatan potong semakin besar prosentase panas yang terbawa oleh geram. Panas total yang ditimbulkan permenit dapat dihitung dari rumus


(40)

min, / ; . .Av J k

Qt = s ……….(2.32)

dimana,

ks . A = Fv = gaya potong ; N

ks = gaya potong spesifik ; N/mm2

A = penampang geram ; mm2

v = laju pemotongan ; m/min

Panas yang terbawa oleh geram adalah :

min / ; .

.Wc J

Qc =∆θc w ………..(2.33)

dimana,

c

θ

∆ = kenaikan temperatur geram; oK.

W = berat geram yang terbentuk permenit; g/min

= Zw =A.vw

Z = kecepatan pembentukan geram; dm3/min

ρw = berat spesifik material (benda kerja); g/dm3

cw = panas spesifik benda kerja ; J/(g.K)

Apabila ηq menyatakan rasio panas yang dibuang oleh geram terhadap

panas total yang dihasilkan proses pemotongan, maka :

v A k c v A Q Q s w w c t c q . . . . . . ρ θ

η = = ∆ ………..(2.34)

s vw c s w w c q k c k c . .

.ρ θ

θ

η = ∆ =∆ ……….(2.35)

dimana, cvw = panas spesifik volumetric benda kerja; J/(cm3K).

Dengan demikian temperatur geram relatif terhadap temperatur bneda kerja paling tinggi hanya akan mencapai :


(41)

vw s c

c k =

∆θ ; oC ………..….(2.36)

yaitu bila harga ηq mencapai satu (umumnya berharga 70% s.d. 75%).

Persamaan di atas menyatakan bahwa benda kerja mempunyai gaya potong spesifik yang rendah serta panas spesifik volumetrik yang tinggi akan mneghasilkan temperatur geram yang relatif rendah. Meskipun prosentase panas yang terbawa geram sangat tinggi tidaklah berarti bahwa temperatur geram mnejadi lebih tinggi daripada temperatur pahat. Panas mengalir bersama-sama geram yang selalu terbentuk dengan kecepatan tertentu, sedangkan panas yang merambat melalui pahat terjadi sebagai proses konduksi panas yang dipengaruhi oleh konduktivitas panas material pahat serta penampang pahat yang relatif kecil. Dengan demikian temperatur rata-rata pahat akan lebih tinggi (kurang lebih dua kalinya) daripada temperatur rata-rata geram. Gambar di bawah akan menunjukkan temperatur pahat (pada bidang geram yang ‘bergesekan’ dengan geram), temperatur rata-rata geram, serta temperatur benda kerja, sebagai fungsi dari laju pemotongan dalam proses mengefreis.


(42)

Hampir seluruh energi pemotongan diubah menjadi panas melalui proses gesekan, antara geram dengan pahat dan antara pahat dengan benda kerja, serta proses perusakan molukuler atau ikatan atom pada bidang geser (shear plane). Panas ini sebagian besar terbawa oleh geram, sebagian merambat melalui pahat dan sisanya mengalir melalui benda kerja menuju ke sekeliling. Panas yang timbul tersebut cukup besar dan karena luas bidang kontak relatif kecil maka temperatur pahat, terutama bidang geram dan bidang utamanya, akan sangat tinggi. Karena tekanan yang besar akibat gaya pemotongan dan temperatur yang tinggi maka permukaan aktif dari pahat akan mengalami keausan. Keausan tersebut makin lama makin membesar yang selain memperlemah pahat juga akan memperbesar gaya pemotongan sehingga dapat menimbulkan kerusakan fatal.

Analisis dimensional banyak digunakan secara intensif dalam memecahkan masalah perpindahan panas dan aliran fluida dengan hasil yang memuaskan. Oleh sebab itu, analisis tersebut dapat pula dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah temperatur pemotongan ini. Pada garis besarnya dalam analisis dimensional diusahakan untuk mencari besaran tak berdimnesi (dimensionless quantity) yang didapat dengan cara menggabungkan beberapa besaran fisik yang diperkirakan mempunyai pengaruh yang paling dekat (paling logis) dengan masalah yang dihadapi. Kemudian dilakukan percabaan untuk melihat korelasi antara dua atau beberapa besaran tak berdimensi. Apabila mereka ternyata tidak mempunyai korelasi (hubungan fungsional) yang jelas berarti ada kesalahan fundamental dalam pemilihan besaran fisik. Jika demikian halnya perlu dilakukan modifikasi besaran fisik untuk memperoleh besaran tak berdimensi lain yang mungkin lebih terkolerasi dengan jelas.


(43)

Analisis dimensional dapat digunakan untuk mencari korelasi yang dimaksud dengan cara menentukan besaran-besaran fisik yang dianggap penting. Adapun besaran fisik yang dimaksud adalah seperti yang diberikan pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Besaran fisik

Besaran Fisik Simbol Dimensi Dasar

Waktu Pemotongan Temperatur Pahat Penampang Geram Kecepatan Potong Gaya Potong Spesifik Besaran Panas Terpadu

tc θs

A V ks

H = λw . cvw

T

θ

L2 LT-1 ML-1T-2 M2T-5θ-2

(Sumber : Rochim, 1993)

λw = konduktivitas panas benda kerja ; J/(s.0K.cm)

cvw = panas spesifik volumetric benda kerja ; J/(cm3.0K)

= ρw . cw

ρw = berat spesifik benda kerja ; g/cm3

cw = panas spesifik benda kerja ; J/(g.0K).

Menurut Teorema Phi dari Buckingham, karena ada enam besaran fisik yang penting (n1 = 6) dengan empat dimensi dasar (n2 = 4) maka paling sedikit

dapat dibentuk dua besaran tak berdimensi (nx = n1 . n2 = 2) guna mengolerasikan


(44)

fisik yang bersangkutan. Dalam hal ini, karena ada 4 dimensi dasar, maka dapat dipilih 4 besaran fisik yang mempunyai dimensi dasar yang cukup lengkap sebagai anggota dari kedua besaran tak berdimensi tersebut. Kemudian salah satu dari kedua besaran fisik sisanya dipilih untuk menjadi anggota dari salah satu besaran tak berdimesi. Dua besaran tak berdimensi dapat dibentuk sebagai berikut: s d c s b a

c v k H

t θ

π1 = , dan t v k H A

h g s f e c = 2 π .

Dengan memasukan dimensi dasarnya bagi masing-masing besaran fisik, maka pangkat tersebut dapat ditentukan harganya, sehingga :

s c s k v t H 2 1 2 1 1 θ

π = , ………..……….(2.37)

2 2 2 c t v A =

π ………..………..(2.38)

Dari hasil percobaan dapat ditunjukan bahwa korelasi antara kedua besaran tak berdimensi di atas adalah :

m

C 2

1 π

π = ...………..(2.39) Penyelesaian persamaan (2.17) akan menghasilkan :

2 1

2 1 2 ) ( ) 2 1 ( H t v k

CA c m

m s m s − − =

θ …..………..(2.40)

Dari salah satu hasil percobaan (Frederich test) harga m adalah sebesar 0.22, sehingga kondisi pemotongan yang tetap (A, ks, dan H tetap), persamaan (2.40)


(45)

06 . 0 56 . 0 1 c

s =C v t

θ ...………..(2.41)

Kecepatan potong mempengaruhi tingginya temperatur, oleh sebab itu temperatur setaraf dengan besarnya dimensi keausan yang dianggap sebagai batas/tanda saat berakhirnya umur pahat, dan waktu pemotongan yang bersangkutan setaraf dengan umur pahat. Dengan demikian persamaan (2.40) dapat ditulis sebagai berikut :

2 1

2 1 2 ) ( ) 2 1 ( 2 H T v k A C W m m s m o − − = …………...(2.42) Dimana :

Wo = batas dimensi keausan (VB atau K)

T = umur pahat ; menit.

Untuk harga yang tetap bagi batas dimensi keausan dan penampang geram, serta kombinasi pahat dan benda kerja yang tertentu, maka persamaan (2.42) dapat dituliskan sebagai berikut :

T m m

C T

v − =

− 4 2 4 1 ………(2.43)

atau T

n

C

vT = ………..(2.44)

Persamaan (2.44) dikenal dengan nama Persamaan Umur Pahat

Taylor* 1. Harga eksponen n dalam rumus Taylor ditentukan oleh harga eksponen m dari kolerasi dua besaran tak berdimensi π1 dan π2. berbagai kemungkinan

harga eksponen tersebut ditunjukan pada tabel lampiran 1 dengan harga yang sesuai bagi suatu jenis pahat berdasarkan hasil yang diperoleh dalam praktek untuk pemotongan baja yang dilunakan.


(46)

Tabel 2.2 Harga m dan n untuk berbagai jenis pahat

m 0. 0.125 0.125 0.188 0.2 0.214 0.222 0.228 0.46 0.25

n 0.5 0.4 0.333 0.2 0.167 0.125 0.1 0.08 0.01 0.

Jenis Pahat

....Keramik…. ………HSS………

….Karbida………. ………Carbon Tool

Steel…….

<…Arah perkembangan penemuan material pahat jenis baru (Sumber : Rochim, 1993)

Semakin kecil harga eksponen n, maka umur pahat yang bersangkutan sangat dipengaruhi oleh kecepatan potong. Sebagai contoh, kenaikan kecepatan potong sebesar 10% akan membawa akibat perubahan umur pahat sebesar :

HSS : 0.15 1.1 6.67 0.53

1

1 2

1

2 = = − =

v v T T

; penurunan 47%

Karbida : 0.3 1.1 3.33 0.73

1

1 2

1

2 = = − =

v v T T

; penurunan 27%

Perbedaan yang begitu besar antara kedua jenis pahat tersebut membawa akibat akan perlunya perubahan akan konstruksi mesin perkakas sejak diketemukannya material pahat dari karbida.

2.5 Rumus Empirik Umur Pahat

Untuk menentukan harga eksponen n dan konstanta CT dari rumus

Taylor (rumus 2.44) diperlukan suatu percobaan permesinan. Dari hasil percobaan


(47)

T

C T

n

v log log

log + = ……….(2.45)

Dapat diperkirakan dengan menggunakan analisa garis regresi (metoda kuadrat terkecil, least squares method) untuk menentukan harga terbaik dari eksponen n dan konstanta CT masing-masing beserta harga deviasi standartnya.

Analisis pendekatan secara grafis dapat pula ditempuh dengan cara mengeplot data pengamatan pada skala dobel logaritma.

Sebagaimana yang telah dibahas dalam analisis teoritik umur pahat, harga eksponen n merupakan harga spesifik bagi suatu kombinasi pahat dengan benda kerja. Demikian pula halnya dengan konstanta CT, dimana selain geometri

pahat (α, γ, λ, r dan terutama κ) dan kondisi benda kerja (nontreated, annealed, normalized) maka kondisi pemotongan (a dan f) dan batasan keausan maksimum

yang diperbolehkan, sangat mempengaruhi harga CT. Dari hasil penelitian dengan

dengan menggunakan berbagai macam kombinasi pahat dan benda kerja serta dilakukan pada berbagai kondisi pemotongan, secara lebih umum konstanta Taylor dapat dituliskan seperti rumus empiric berikut :

q p

m TVB T

b h

VB C

C = ………(2.46)

Dimana :

VB: Keausan tepi yang dianggap sebagai batas saat berakhirnya umur pahat; mm

Tergantung pada keuletan (toughness) pahat, dan benda kerja serta berat ringannya kondisi pemotongan, harga batas keausan tersebut dapat dipilih dari 0.3 s/d 1 mm, demi untuk menghindari kerusakan


(48)

m: Pangkat untuk batas keausan.

Tergantung pada kualitas pahat serta jenis dan kondisi benda kerja. (m = 0.4 s/d 0.5 ; rata-rata = 0.45).

h: Tebal geram sebelum terpotong.

Ditentukan berdasarkan kondisi pemotongan optimum, yaitu sebesar mungkin bila merupakan proses pengasaran, atau sesuai dengan batas minimum bila merupakan proses penghalusan.

p: Pangkat untuk tebal geram sebelum terpotong.

Tergantung pada jenis dan kualitas pahat (sesuai dengan pemakaian serta jenis dan kondisi benda kerja). Harga rata-rata pangkat kurang lebih sebagai berikut :

Keramik Karbida HSS

P01 s/d p20

P30 s/d P40

M10 s/d K01

M 30

0.12 0.26 0.35 0.15 0.20 0.40

b: lebar pemotongan :mm.

ditentukan berdasarkan dimensi mula dan akhir benda kerja. Menentukan jumlah langkah pemotongan untuk mencapai obyektif yaitu dimensi produk.

q: Pangkat bagi lebar pemotongan.

Harga relatif kecil, berkisar antara 0.05 s/d 0.13. Kadangkala pengaruh lebar pemotongan diabaikan.


(49)

CTVB: kecepatan potong ekstrapolatif (m/min), yang secara teoritik

menghasilkan umur pahat sebesar 1 menit, untuk VB = 1 mm, h = 1 mm dan b = 1mm.

Merupakan harga spesifik bagi kombinasi suatu jenis pahat dan benda kerja. Dipengaruhi oleh geometri pahat terutama sudut

potong utama efektif κre. kekakuan sistem pemotongan, gaya

pemotongan dan kondisi benda (nontreated, annealed, normalized, dan sebagainya) sangat berpengaruh. Pemakaian cairan pendingin yang cocok dapat menaikan harga CTVB.

2.6 Pembahasan Atas Rumus Empirik Umur Pahat

Rumus empirik Taylor jikalau ditranformasikan ke dalam harga logaritma akan mempunyai bentuk linier sebagai berikut :

b n q h n p VB n m v n C n

T 1log TVB 1log log log log

log = − + − − ………....(2.47)

Turunan dari persamaan di atas akan menghasilkan :

b db n q h dh n p VB dVB v dv n T dT − − + −

= 1 2 ………..(2.48)

Harga rata-rata eksponen n, m, p dan menurut tabel … adalah : n = 0.25, m = 0.45, p = 0.25, q = 0.1. Jikalau dimasukan dalam persamaan 2.42 akan dihasilkan :

b db h dh VB dVB v dv T dT 4 . 0 2

4 + − −

= ………..(2.49)


(50)

benda kerja saja sudah diperlukan pembuangan material (menjadi geram) yang amat banyak. Guna memperkecil usaha pengamatan, diperlukan perencanaan percobaan yang baik, misalnya dengan cara factorial (factorial design of

experiment). Karena ada 3 variabel yang dapat diubah harganya (v, f dan a) dan

satu variable yang diamati (T) maka paling sedikit diperlukan 8 kali percobaan apabila untuk masing-masing variabel hanya diubah pada 2 harga (8 = 23). Data hasil percobaan dapat dianalisis dengan menggunakan salah satu teknik analisis statistic yaitu analisis regresi linier multi dimensi (1 variabel diamati, dan 3 variabel ditetapkan). Untuk itu diperlukan transformasi logaritmik supaya fungsi yang diselidiki dapat dianggap menjadi linier. Tujuan dari analisis regresi ini adalah untuk memperkirakan harga β0, β1, β2 dan β3 dari rumus korelasi berikut :

a f

v

T log log log

log =β0 +β1 +β2 +β3 ………..(2.50)

Dengan mengetahui harga β0, β1, β2 dan β3 maka eksponen n, p dan q serta

kontanta C dapat diketahui, yaitu : n = 1/β1,

p = β2/β1,

q = β3/β1, dan

C = anti log β0/β1.

Kebagusan atas persesuaian antara data dengan rumus regresi di atas dapat diketahui dengan memeriksa harga varian residu yang harus berharga kecil. Selain itu, data tambahan yang diperoleh dengan melakukan percobaan untuk harga kombinasi variabel lain, dapat digabungkan dengan data semula guna dianalisis sekali lagi dengan menggunakan regresi multi dimensi.


(51)

2.7Hubungan Antara Umur pahat (T) Dengan Volume Bahan Terbuang (Q)

Volume bahan terbuang (Q) yang dihasilkan pada proses pembuangan geram (metal removal process) dipengaruhi oleh kecepatan penghasilan geram (Z) dan waktu pemotongan (tc) atau dapat dituliskan sebagai berikut.

c

t Z

Q= . ………....(2.51)

Jika persamaan (2.51) dengan Z = A . v disubstitusikan ke persamaan umur pahat Taylor, maka akan diperoleh :

T n c

C T A t

Q =


(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Bahan dan Alat

3.1.1 Bahan

Material yang digunakan baja paduan kelas tinggi (AISI 4337) dengan komposisi kimia seperti pada tabel 3.1

Tabel 3.1 Komposisi kimia dari material benda kerja

C (%) SI (%) Mn (%) P (%) S (%) Cr (%) Mo(%) Ni(%)

0.30-0.38 0.15-0.40 0.40-0.70 <=0.035 <=0.035 1.40-1.70

0.15-0.3 1.40-1.70 Sumber : TEW German Steel 2004

Tabel.3.2 Sifat mekanik material benda kerja

Kekuatan luluh (N/mm2

min)

Kekuatan tarik (Kg/mm2)

Elongasi (%)

Reduksi (%)

Kekuatan impak (Joule)

Kekerasan (Hrc)

785 980-1180 11 50 48 33-34

Sumber. TEW German Steel 2004

Tabel 3.3 Komposisi Kimia dan Sifat Mekanik Pahat Karbida Berlapis titanium nitrida

CO (%)

Karbida Komposit (%)

Kekerasan (HV)

Ketangguhan (Mpa)

Spesifikasi Lapisan

11 12 1420 6,9 TiN+Ti(C,N)+ Al2O3


(53)

Gambar 3.1 Gambar benda keja (bahan baja paduan kelas tinggi)

3. 1 .2 Alat

Peralatan yang digunakan dalam riset ini adalah :

1. EMCOTRONIK -242 2. Scanning Electron Microscope (SEM) 3. Mikroskop teknik 4. Termokopel


(54)

Tabel 3.4 Data Teknis Mesin CNC Emcoturn -242

Daya (N) 15 kwatt

Putaran (n) 4500 rpm

Diameter penjepit maksimum 158 mm

Jarak antara dua titik pusat (between centre) 255 mm

Memori program 20 kilo byte

Kecepatan masukan 0,001 mm (0,0001 Zoll)

Kisar ulir 0,01 – 10 mm

Pengaturan asutan (0 – 120) %

Pengaturan putaran sumbu utama (50 – 120) %

Jenjang interpolasi ± 9999,999 mm

Gambar 3.4 Benda kerja terpasang pada mesin Keterangan gambar 3.3

1. Putaran poros utama (spindle) 2. Pencekam benda kerja (chuck) 3. Pahat (tool)

4. Pemegang pahat (tool holder)

5. Tempat dudukan pahat dan tool holder (tool post) 6. Benda kerja (work piece)

7. Tailstock

1

3

7 2

5 4


(55)

Gambar 3.5 Gaya yang bekerja pada proses bubut (sumber Rochim : 1993)

Gambar 3.6 Termokopel dan temperature control indicator

3. 2 Metode

Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental dengan menggunakan mesin perkakas bubut (turning). Variabel kondisi pemotongan seperti kecepatan potong, kedalaman potong, pemakanan dan geometri pahat ditentukan berdasarkan standar ISO 3685


(56)

Tabel 3. 5. kondisi pemotongan

Laju pemotongan (m/min) 200 250 300

Kedalaman potong (mm) 1.0 1.5 2

Pemakanan (feeding) (mm/rev) 0.15 0.2 0.25

. Sumber : ISO 3685

Faktor dan level ditentukan dengan metode Taguchi untuk aus tepi VB= 0,1mm, VB= 0,3 mm dan VB= 0.6 mm .

Tabel.3.6 Faktor dan level dalam eksperimen VB = 0,1 mm, VB = 0,3 mm, VB = 0,6 mm

Faktor Level

1 2 3

v 200 250 300

a 1.0 1.5 2.0

f 0.15 0.2 0.25

Kondisi pemotongan ditentukan dengan metode Taguchi dengan standar


(57)

Tabel 3.7 Standard Array

L9 Standard Array

Nomor Kolom

Trial 1 2 3

1 1 1 1

2 1 2 2

3 1 3 3

4 2 1 2

5 2 2 3

6 2 3 1

7 3 1 3

8 3 2 1

9 3 3 2

Sumber : Ross (1996)

Untuk mendapatkan data karateristik kegagalan pahat pada proses pemotongan, maka kondisi pemotongan ditetapkan bervariasi. Dengan metode

Taguchi diperoleh kondisi pemotongan seperti tabel 3.9, 3.10 dan 3.11, dari hasil

percobaan yang dilakukan maka diperoleh variabel bebas seperti keausan pahat, laju aus pahat, umur pahat dan temperatur pemotongan. Dengan menggunakan

Scanning Elektron Microskope (SEM) dapat dianalisa ragam kegagalan pahat dan

mekanisme aus pahat. Ragam kegagalan pahat meliputi aus tepi (flank wear), aus kawah (crater wear), patah rapuh (brittle fracture) dan deformasi plastik (plastic

deformation) sedangkan mekanisme aus pahat meliputi proses abrasif, proses

adhesi, proses difusi, proses oksidasi dan proses keretakan. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran diolah dengan metode Taguchi untuk mendapatkan kondisi pemotongan yang optimal. Kondisi pemotongan optimal pada pemesinan kering


(58)

pemesinan kering sama atau lebih baik dari pemesinan basah maka berhasillah pemesinan kering. Untuk memperoleh data dari hasil pengukuran digunakan tabel 3.8 untuk VB= 0,1mm, tabel 3.9 untuk VB= 0,3mm dan Tabel 3.10 untuk VB= 0,6mm.

Tabel 3.8 Parameter yang diukur untuk VB = 0,1mm

Faktor Parameter yang diukur

Jlh.eksp V a f

Plk Pbk (mm)

D (mm)

n (r/min)

t0

(det) ta

(det) T (0C) P.1.1 200 1,0 0,15

P.2.1 200 1,5 0,2 P.3.1 200 2,0 0,25 P.4.1 250 1,0 0,2 P.5.1 250 1,5 0,25 P.6.1 250 2,0 0,15 P.7.1 300 1,0 0,25 P.8.1 300 1,5 0,15 P.9.1 300 2,0 0,2

Tabel . 3.9 Parameter yang diukur untuk VB = 0,3 mm

Faktor Parameter yang diukur

Jlh.eksp V a f

Plk Pbk (mm)

D (mm)

n (r/min)

t0

(det) ta

(det) T (0C) P.1.3 200 1,0 0,15

P.2.3 200 1,5 0,2 P.3.3 200 2,0 0,25 P.4.3 250 1,0 0,2 P.5.3 250 1,5 0,25 P.6.3 250 2,0 0,15 P.7.3 300 1,0 0,25 P.8.3 300 1,5 0,15 P.9.3 300 2,0 0,2


(59)

Tabel 3.10 Parameter yang diukur untuk VB = 0,6 mm

Faktor Parameter yang diukur

Jlh.eksp V a f

Plk Pbk (mm)

D (mm)

n (r/min)

t0

(det) ta

(det) T (0C) P.1.6 200 1,0 0,15

P.2.6 200 1,5 0,2 P.3.6 200 2,0 0,25 P.4.6 250 1,0 0,2 P.5.6 250 1,5 0,25 P.6.6 250 2,0 0,15 P.7.6 300 1,0 0,25 P.8.6 300 1,5 0,15 P.9.6 300 2,0 0,2

Metode eksperimen dirancang berdasarkan dua tingkatan. Tingkatan sensitifitas, tingkatan ini dengan percobaan memotong benda kerja pada kecepatan potong 200 m/min, 250 m/min, 300 m/min dengan pahat potong yang telah dire komendasikan.Tingkatan pengujian dilakukan pada berbagai kondisi pemotongan pemotongan.Jenis pahat yang dipakai karbida berlapis titanium nitrida, dengan keausan tepi maksimum (VBmaks)= 0,1mm, 0.3mm dan 0.6mm.Kondisi pemotongan optimal dapat dicapai dengan pahat potong yang dibuat dan yang di uji. Keausan tepi diukur dengan menggunakan beberapa interval pemotongan dengan menggunakan mikroskop toolmakers, data yang diperoleh dari pengukuran dikumpulkan dan diolah dengan metode Taguchi untuk menghasilkan grafik dari kemajuan aus pahat. Prioritas pengujian bubut dari semua material benda kerja yang dimesin dilakukan berdasarkan standar (ISO 3685 1993, Kalpakjian 1995). Kriteria umum pahat karbida berlapis titanium


(60)

1. Lebar bentangan aus pahat periode pertama (flank wear).VB maks = 0.1 mm

2. Lebar bentangan aus pahat periode kedua (flank Wear) VB maks = 0.3

mm

3. Lebar bentangan aus pahat periode yang ketiga (flank wear) VB maks =

0.6 mm

Pengujian bubut dilakukan lebih dahulu untuk semua material benda kerja yang dimesin, Sebelum pemotongan dilakukan lebih dahulu diukur panjang benda kerja dan diameter benda kerja dan dicatat, kemudian deprogram ke mesin dengan kecepatan potong, kedalaman potong dan pemakanan sesuai dengan tabel 3.8, 3.9 dan 3.10 lalu dilakukan pemotongan dengan dan mencatat waktu pemotongan. Untuk menentukan ke ausan tepi (VB max) pahat dibuka dan dilihat dengan mikroskop, apabila ke ausan tepinya belum mencapai 0.1 mm, pekerjaan dilanjutkan sampai VB = 0.1 mm, jika sudah tercapai 0.1mm pahat difoto dengan menggunakan Scaning Eletron Mikroskope (SEM) untuk melihat mekanisme keausan pahat. Demikiian diteruskan untuk VB= 0.3 dan VB = 0.6 dengan kondisi pemotongan sesuai dengan tabel 3.6. Untuk mengukur suhu dipasang termokopel pada pahat, pada saat mesin bekerja diamati angka maksimal pada termokopel dan dicatat untuk setiap periode permesinan (ISO 3685 - 1993)


(61)

3.3 Pengumpulan Data

Data berikut merupakan data yang diperoleh dari hasil eksperimen sebagaimana juga yang dilaporkan oleh Ginting (2006). Adapun data tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 3.11 Hasil eksperimen

v f a T1

(VB = 0.1)

T2

(VB = 0.3)

T3

(VB = 0.6) 200 200 200 250 250 250 300 300 300 0.15 0.2 0.25 0.2 0.25 0.15 0.25 0.15 0.2 1 1.5 2 1 15 2 1 1.5 2 11.78 2.48 3.05 2.18 2.47 2.05 1.42 1.72 2.63 24.23 5.42 6.32 4.72 5.52 4.28 4.22 3.47 5.27 40.57 14.23 9.78 7.77 9.78 7.05 7.37 5.30 9.40

Sumber : Ginting (2006)

3.4 Variabel Yang Diamati

Adapun variable yang diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Laju pemotongan (v)

2. Pemakanan (f)

3. Kedalaman potong (a)

4. Volume bahan terbuang (Q)


(62)

3.5 Regresi Berganda (Regresi Multi Linier)

Analisa regresi adalah metode statistika yang digunakan untuk menentukan kemungkinan bentuk dari hubungan variabel-variabel. Tujuan pokok dalam penggunaan metode ini adalah untuk meramalkan atau memperkirakan nilai dari suatu variabel dalam hubungannya dengan variabel lain yang diketahui.

Anggap bahwa kita menemukan dua variabel, X dan Y, dimana nilai Y tidak hanya bergantung pada satu variabel X. mungkin beberapa variabel, misalnya X1, X2, ...Xn. hubungan seperti ini dapat dicari dengan menggunakan

analisa regresi berganda. Maka model yang dapat dibentuk adalah :

= + =

+ +

+ +

+

= n

j

j j i

jX X

X X

Y

1 2

2 1 1

0 β β ... β ε β ε

β …………..(3.1)

Dimana: j = 0, 1, 2, ….,n

Y = nilai yang dicari untuk setiap nilai X

β0 = intercept

β1, β2,…..βj = koefesien regresi parsial

X = variable yang diobservasi

ε = kesalahan acak yang berkaitan dengan Y.

Estimasi digunakan dengan metoda kuadrat terkecil (least squares). Misal b0 = estimasi untuk β0

b1 = estimasi untuk β1

b2 = estimasi untuk β2

. . .


(63)

bj = estimasi untuk βj

metode kuadrat terkecil menghasilkan suatu kumpulan persamaan normal sebagai berikut:

1. nb0 +b1

X1+b2

X2 +...+bj

Xj =

Y

2. b

X +b

X +b2

X1X2+ +bj

X1Xj =

X1Y 2

1 1 1

0 ...

3. b0

X2+b1

X1X2+b2

X22+...+bj

X2Xj =

X2Y

. . .

n. b0

Xj+bj

XjXj+1=

XjY

Jika diubah dalam bentuk matriks maka akan diperoleh

                     

2 2 1 3 2 2 2 2 1 2 3 1 2 1 2 1 1 3 2 1 . . . . . . . . . . . . j j j

j X X X X X

X X X X X X X X X X X X X X X X n =                       j b b b b . . . 2 1 0                      

Y X Y X Y X Y j . . . 2 1

Kumpulan dari persamaan di atas dapat digunakan untuk mencari nilai b0, b1, b2,

…, bj sehingga persamaan diprediksi sebagai berikut :

j jX b X b X b b

Y = 0+ 1 1+ 2 2+...+ ^


(64)

Volume Bahan Terbuang (Q) Sebagai Parameter Alternatif Umur Pahat (T)

Seperti yang telah dikemukan Taylor bahwa persamaan untuk umur pahat adalah vTn =CT. Pada rumus tersebut kondisi pemotongan yang ditunjukkan hanya laju pemotongan (v), ternyata kondisi pemotongan tidak hanya laju pemotongan tetapi sebenarnya ada beberapa kondisi pemotongan lain yaitu pemakanan (f) dan kedalaman potong (a). Dari pernyataan tersebut maka persamaan umur pahat Taylor dapat dirubah menjadi :

q p n a f C

vT = . − . − ……….(3.3)

Pada persamaan (2.45) volume bahan terbuang (Q) dipengaruhi oleh waktu pemotongan (t )c . Jika diasumsikan t = T, maka persamaan umur pahat c

Taylor dapat dirubah menjadi :

T n c T n c c C Z Q v T t C vT Z Q t t Z Q =       = = = = . n T n Z C

vQ = . ………...…..(3.4)

Karena Z = f . a . v dan sesuai dengan persamaan (3.3) maka persamaan (3.4) menjadi

q p

T f a

C Q

v n n

n

= − . . 1 1 ……….(3.5)

Jika n

T

C 1= C dan x

n n

= − 1

maka persamaan (3.5) menjadi :

q p x a f C Q


(65)

BAB IV

HASIL DAN DISKUSI

4.1 Model Matematika 4.1.1 Model Matematika Y

Jika persamaan (3.6) dianalogikan dalam bentuk linier maka akan diperoleh :

v q f p v x C

Q log log log log

log = + − − ...(4.1)

Pemodelan matematika yang digunakan untuk memodelkan persamaan volume bahan terbuang (Q) sebagai parameter alternatif umur pahat pada berbagai kondisi pemotongan untuk aus tepi VB = 0.1 mm, 0.3 mm, dan 0.6 mm. Untuk mendapatkan persamaan volume bahan terbuang (Q) sebagai fungsi dari kondisi pemotongan yang bersifat multi linier regresi yaitu :

(

) (

+ −

) (

+ −

)

+ε +

= 0 1 1 1 2 2 2 3 3 3

^

X X b X X b X X b b Y

dimana :

^

Y = Q (volume bahan terbuang)

3 2 1 0,b,b ,b

b merupakan koefesien

X1…..Xn = v, f, a dan ε = residu

Dengan menggunakan model matriks maka nilai a,b1,b2,b3 didapati dari hasil suatu invers matriks sehingga diperoleh masing-masing persamaan model matematika dengan variasi keausan VB.

Dengan menggunakan data dari tabel 3.7, untuk VB = 0.1 maka akan diperoleh olahan data sebagai berikut.


(66)

(67)

Dari data di atas dapat diperoleh matriks X’X dan X’Y yaitu : X’X=              

2 3 3 2 3 1 3 3 2 2 2 2 1 2 3 1 2 1 2 1 1 3 2 1 X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X n =             21.75 7 . 2 3375 5 . 13 2.7 375 . 0 450 8 . 1 3375 450 577500 2250 5 . 13 8 . 1 2250 9 X’Y =              

Y X Y X Y X Y 3 2 1 =             2862.294 368.9331 446478.1 1839.713

Dengan menggunakan persamaan

=             3 2 1 0 b b b b 1 2 3 3 2 3 1 3 3 2 2 2 2 1 2 3 1 2 1 2 1 1 3 2 1 −              

X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X n              

Y X Y X Y X Y 3 2 1 =             3 2 1 0 b b b b             21.75 7 . 2 3375 5 . 13 2.7 375 . 0 450 8 . 1 3375 450 577500 2250 5 . 13 8 . 1 2250 9             2862.294 368.9331 446478.1 1839.713 =             3 2 1 0 b b b b             − − − − − − 0.6667 0 0 1 0 66.6667 0 3333 . 13 0 0 05 -6.66667E 01667 . 0 1 3333 . 13 01667 . 0 4444 . 8             2862.294 368.9331 446478.1 1839.713 =             3 2 1 0 b b b b             − 483 . 68 03333 . 66 89668 . 0 6506 . 312

Dari hasil yang diperoleh maka dapat dibentuk persamaan

^

Y untuk VB = 0.1 mm


(68)

(

2 2

)

(

3 3

)

1 1 1 . 0 ^ 483 . 68 03333 . 66 ) ( 89668 . 0 6506 .

312 X X X X X X

YVB= = − − + − + −

Dengan menggunakan cara yang sama maka diperoleh model matematika Y untuk:

• VB = 0.3 mm

(

2 2

)

(

3 3

)

1 1 3 . 0 ^ 102 9167 . 612 ) ( 6699 . 1 8653 .

579 X X X X X X

YVB= = − − + − + −

• VB = 0.6 mm

(

2 2

)

(

3 3

)

1 1 6 . 0 ^ 8 . 158 75 . 1146 ) ( 368 . 3 508 .

1143 X X X X X X

YVB= = − − + − + −

4.1.2 Model Matematika Q

Untuk dapat menghasilkan persamaan Q maka nilai a harus terlebih dahulu disesuaikan dengan hasil eksperimen yaitu dengan cara :

el

Exp Y

Y

Y = − mod

dimana Ymodel =b1

(

X1X1

) (

+b2 X2X2

) (

+b3 X3X3

)

kemudian nilai rata-rata Y

∆ digunakan untuk nilai a.

Untuk VB = 0.1 mm maka nilai b diperoleh : 0

Tabel 4.2 perhitungan nilai b0

Yexp Ymodel ∆Y = Yexp-Ymodel 353.4 7.247915 346.1521 148.8 44.8 104

305 82.35209 222.6479 109 -34.25 143.25 231.5625 3.302085 228.2604

153.75 30.94792 122.8021 106.5 -75.7479 182.2479 116.1 -48.1021 164.2021 315.6 -10.55 326.15


(69)

Dari hasil di atas maka dapat dibentuk persamaan Q yang baru yaitu : Pada VB = 0.1 mm, model matematika Q adalah :

) ( 4833 . 68 ) ( 03333 . 66 ) ( 89668 . 0 4125 . 204

1 v v f f a a

Q = − − + − + −

Dengan menggunakan cara yang sama diperoleh :

• Pada VB = 0.3 mm, model matematika Q adalah :

) ( 102 ) ( 9167 . 612 ) ( 6699 . 1 9694 . 437

2 v v f f a a

Q = − − + − + −

• Pada VB = 0.6 mm, model matematika Q adalah :

) ( 8 . 158 ) ( 8 . 1146 ) ( 368 . 3 769.0583

3 v v f f a a

Q = − − + − + −

4.2 Pengaruh Kondisi Pemotongan (v, f, a) Terhadap Volume Bahan Terbuang (Q)

Berikut ini adalah tabel hasil pengaruh kondisi pemotongan terhadap volume bahan terbuang yang diperoleh dari model matematika di atas.

Tabel 4.3 Kondisi pemotongan (v, f, a) untuk perubahan volume bahan terbuang (Q) secara eksperimen dan pemodelan untuk aus tepi VB = 0.1 mm

No

Kondisi Pemotongan Q Hasil Ekperimen

Q Hasil Pemodelan

∆Q=Qexp

-Qmodel v f a

1 200 0.15 1 353.4 211.7033 141.6967 2 200 0.2 1.5 148.8 249.2465 -100.447 3 200 0.25 2 305 286.7897 18.21033 4 250 0.2 1 109 170.171 -61.171 5 250 0.25 1.5 231.5625 207.7142 23.84833 6 250 0.15 2 153.75 235.3523 -81.6023 7 300 0.25 1 106.5 128.6387 -22.1387 8 300 0.15 1.5 116.1 156.2768 -40.1768 9 300 0.2 2 315.6 193.82 121.78


(70)

Tabel 4.4 Kondisi pemotongan (v, f, a) untuk perubahan volume bahan terbuang (Q) secara eksperimen dan pemodelan untuk aus tepi VB = 0.3 mm

No

Kondisi Pemotongan Q Hasil Ekperimen

Q Hasil Pemodelan

∆Q=Qexp

-Qmodel v f a

1 200 0.15 1 726.9 439.8186 287.0814 2 200 0.2 1.5 325.2 521.4644 -196.264 3 200 0.25 2 632 603.1102 28.88977 4 250 0.2 1 236 386.9694 -150.969 5 250 0.25 1.5 517.5 468.6152 48.88477 6 250 0.15 2 321 458.3236 -137.324 7 300 0.25 1 316.5 334.1202 -17.6202 8 300 0.15 1.5 234.225 323.8286 -89.6036 9 300 0.2 2 632.4 405.4744 226.9256

Tabel 4.5 Kondisi pemotongan (v, f, a) untuk perubahan volume bahan terbuang (Q) secara eksperimen dan pemodelan untuk aus tepi VB = 0.6 mm

No

Kondisi Pemotongan Q Hasil Ekperimen

Q Hasil Pemodelan

∆Q=Qexp

-Qmodel v f a

1 200 0.15 1 1217.1 800.7208 416.3792 2 200 0.2 1.5 853.8 937.4583 -83.6583 3 200 0.25 2 978 1074.196 -96.1958 4 250 0.2 1 388.5 689.6583 -301.158 5 250 0.25 1.5 916.875 826.3958 90.4792 6 250 0.15 2 528.75 791.1208 -262.371 7 300 0.25 1 552.75 578.5958 -25.8458 8 300 0.15 1.5 357.75 543.3208 -185.571 9 300 0.2 2 1128 680.0583 447.9417

4.2.1 Pengaruh Laju Pemotongan (v) Terhadap Volume Bahan Terbuang (Q)

Dari data telah diperoleh harga-harga laju pemotongan dan volume bahan terbuang secara eksperimen dan pemodelan, maka pengaruh laju pemotongan terhadap volume bahan terbuang dapat ditunjukan sebagai grafik sebagai berikut.


(71)

v vs Q (VB = 0.1 mm) 0 50 100 150 200 250 300 350 400

0 100 200 300 400

Laju pemotongan (v)

V o lu m e B a h a n T e rb u a n g ( Q ) Qexp Qmodel Linear (Qexp) Linear (Qmodel)

Gambar 4.1 Grafik laju pemotongan vs volume bahan terbuang pada VB = 0.1 mm.

v vs Q (VB = 0.3 mm)

0 100 200 300 400 500 600 700 800

0 100 200 300 400

Laju pemotongan (v)

V o lu m e B a h a n T e rb u a n g ( Q ) Qexp Qmodel Linear (Qexp) Linear (Qmodel)

Gambar 4.2 Grafik laju pemotongan vs volume bahan terbuang pada VB = 0.3 mm.


(1)

Dari hasil volume bahan terbuang (Q) yang diperoleh dari eksperimen dapat diperoleh grafik variasi kenaikan VB dengan Q.

Variasi Kenaikan VB Terhadap Qexp

0 200 400 600 800 1000 1200 1400

1 1.5 2 1 1.5 2 1 1.5 2

0.15 0.2 0.25 0.2 0.25 0.15 0.25 0.15 0.2 200 200 200 250 250 250 300 300 300

Kondisi Pemotongan (v, f, a)

V

o

lu

m

e

B

a

h

a

n

T

e

rb

u

a

n

g

(

Q

)

VB = 01 mm VB = 0.3 mm VB =0.6 mm

Gambar 4.16 Variasi kenaikan VB terhadap Q dari hasil eksperimen

Dari tabel 4.4 diketahui bahwa persentase kenaikan terbesar antara Qexp (VB = 0.1 mm-VB = 0.3 mm) adalah 197.1831% pada kondisi pemotongan v = 300 m/min, f = 0.25 mm/rev dan a = 1 mm. Persentase kenaikan terbesar antara Qexp (VB = 0.3 mm-VB = 0.6 mm) adalah 162.5461% pada kondisi pemotongan v = 200 m/min, f = 0.2 mm/rev, a = 1.5 mm. Dari hasil rata-rata persentase kenaikan VB terhadap Q ternyata VB (0.1-0.3) mempunyai persentase kenaikan tertinggi yaitu 119.9481% dari pada VB (0.3-0.6) dengan 77.44362%. Dari hubungan ini dapat disimpulkan bahwa keausan pahat (VB) berbanding lurus dengan volume bahan terbuang (Q) hasil eksperimen. Kemudian dari hasil volume bahan terbuang (Q) yang diperoleh dari model yang dikembangkan dapat diperoleh grafik variasi kenaikan VB dengan Q.


(2)

Tabel 4.7 Ragam aus tepi (VB) dengan volume bahan terbuang (Q) hasil pemodelan

No

Kondisi

Pemotongan Q Hasil Pemodelan

v f a

Q(VB =

0.1 mm) % ∆VB 1

Q(VB =

0.3 mm) %∆ VB 2

Q(VB = 0.6 mm) 1 200 0.15 1 211.7033 107.7524 439.8186 82.05706 800.7208 2 200 0.2 1.5 249.2465 109.2163 521.4644 79.77417 937.4583 3 200 0.25 2 286.7897 110.297 603.1102 78.10941 1074.196 4 250 0.2 1 170.171 127.4003 386.9694 78.22037 689.6583 5 250 0.25 1.5 207.7142 125.6058 468.6152 76.34848 826.3958 6 250 0.15 2 235.3523 94.73938 458.3236 72.61184 791.1208 7 300 0.25 1 128.6387 159.7354 334.1202 73.16996 578.5958 8 300 0.15 1.5 156.2768 107.2148 323.8286 67.78036 543.3208 9 300 0.2 2 193.82 109.2015 405.4744 67.71917 680.0583 VBrata-rata 116.7959 75.08787

Keterangan :

∆VB 1 = Q(VB = 0.1 mm)-Q(VB = 0.3 mm) ∆VB 2 = Q(VB = 0.3 mm)-Q(VB = 0.6 mm)

Dari hasil volume bahan terbuang (Q) yang diperoleh dari eksperimen dapat diperoleh grafik variasi kenaikan VB dengan Q.

Variasi Kenaikan VB Terhadap Qmodel

0 200 400 600 800 1000 1200

1 1.5 2 1 1.5 2 1 1.5 2

0.15 0.2 0.25 0.2 0.25 0.15 0.25 0.15 0.2 200 200 200 250 250 250 300 300 300

Kondisi Pemotongan (v, f, a)

V

o

lu

m

e

B

a

h

a

n

T

e

rb

u

a

n

g

(

Q

)

VB = 01 mm VB = 0.3 mm VB =0.6 mm

Gambar 4.17 Variasi kenaikan VB terhadap Q dari hasil model yang dikembangkan


(3)

Dari tabel 4.5 diketahui bahwa persentase kenaikan terbesar antara Qmodel (VB = 0.1 mm-VB = 0.3 mm) adalah 159.7354% pada kondisi pemotongan v = 300 m/min, f = 0.25 mm/rev dan a = 1 mm. Persentase kenaikan terbesar antara Qmodel (VB = 0.3 mm-VB = 0.6 mm) adalah 82.05706% pada kondisi pemotongan v = 200 m/min, f = 0.15 mm/rev, a = 1 mm. Dari hasil rata-rata persentase kenaikan VB terhadap Q ternyata VB (0.1-0.3) mempunyai persentase kenaikan tertinggi yaitu 116.7959% dari pada VB (0.3-0.6) dengan 75.08787%. Dari hubungan ini dapat disimpulkan bahwa keausan pahat (VB) berbanding lurus dengan volume bahan terbuang (Q) hasil pemodelan.


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian serta diskusi hasil yang telah dibicarakan pada bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Penelitan ini dilakukan pada proses pembubutan dengan kondisi pemotongan : laju pemotongan (v) = 200, 250, 300 m/min; suapan/pemakanan (f) = 0.15, 0.2, 0.25 mm/rev; kedalaman potong (a) = 1, 1.5, 2 mm yang dilakukan proses pemotongan kering.

2. Dengan menggunakan metode Taguchi untuk pengumpulan data yaitu L9

dan regresi multi linier untuk analisa data maka diperoleh model matematika sebagai berikut :

• Model matematika hasil analisa regresi multi linier : Untuk VB = 0.1 mm

(

2 2

)

(

3 3

)

1 1 1 . 0 ^ 483 . 68 03333 . 66 ) ( 89668 . 0 6506 .

312 X X X X X X

YVB= = − − + − + −

Untuk VB = 0.3 mm

(

2 2

)

(

3 3

)

1 1 3 . 0 ^ 102 9167 . 612 ) ( 6699 . 1 8653 .

579 X X X X X X

YVB= = − − + − + −

Untuk VB = 0.6 mm

(

2 2

)

(

3 3

)

1 1 6 . 0 ^ 8 . 158 75 . 1146 ) ( 368 . 3 508 .

1143 X X X X X X

YVB= = − − + − + −

• Model matematika Q sebagai perluasan model matematika Taylor untuk umur pahat :


(5)

) ( 4833 . 68 ) ( 03333 . 66 ) ( 89668 . 0 4125 . 204

1 v v f f a a

Q = − − + − + −

Untuk VB = 0.3 mm

) ( 102 ) ( 9167 . 612 ) ( 6699 . 1 9694 . 437

2 v v f f a a

Q = − − + − + −

Untuk VB = 0.6 mm

) ( 8 . 158 ) ( 8 . 1146 ) ( 368 . 3 769.0583

3 v v f f a a

Q = − − + − + −

3. Dengan menggunakan pemakanan (f) dan kedalaman potong (a) yang sama maka hubungan laju pemotongan (v) adalah berbanding terbalik dengan volume bahan terbuang (Q).

4. Dengan menggunakan laju pemotongan (v) dan kedalaman potong (a) yang sama maka hubungan pemakanan (f) adalah berbanding lurus dengan volume bahan terbuang (Q).

5. Dengan menggunakan laju pemotongan (v) dan pemakanan (f) yang sama maka hubungan kedalaman potong (a) adalah berbanding lurus dengan volume bahan terbuang (Q).

6. Dari hasil tabel 4.4 dan 4.5 dapat disimpulkan bahwa hubungan keausan tepi (VB) adalah berbanding lurus dengan volume bahan terbuang (Q) sebagai parameter alternatif umur pahat (T).

5.2 Saran

1. Dari hasil penelitian ini, dapat disarankan bahwa metode pengumpulan data Taguchi tidak terlalu akurat untuk dimodelkan dengan metode regresi linier.

2. Untuk itu, metode faktorial lebih baik digunakan untuk pemodelan dengan metode regresi multi linier.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

1. Boothroyd, Geoffrey and Winston A. Knight, Fundamental of Metal Machining and machine Tools, 2nd Ed. Marcel Dekker Inc. New York and Basel, 1989.

2. Ginting, Bagin, Prestasi Logam Karbida Berlapis Titaniun Nitrida Pada Pemesinan Kering Bahan Baja Paduan Kelas Tinggi AISI 4337, Tesis, Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, 2006.

3. Hamang, Abdul, Metode Statistika, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2005.

4. Irianto, Agus, Statistik Konsep Dasar Dan Aplikasinya, Predana Media, Jakarta, 2004.

5. Iswardono, Sekelumit Analisa Regresi dan Korelasi, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta, 1981.

6. Rochim, Taufiq,Teori dan Teknologi Proses Pemotongan Logam, HEDS, 1993.