PENGARUH PENGOLAHAN TANAH DAN PEMBERIAN MULSA BAGAS TERHADAP KANDUNGAN BIOMASSA KARBON MIKROORGANISME TANAH (C-MIK) PADA LAHAN PERTANAMAN TEBU TAHUN KEDUA

(1)

ABSTRAK

PENGARUH PENGOLAHAN TANAH DAN PEMBERIAN MULSA BAGAS TERHADAP KANDUNGAN BIOMASSA KARBON

MIKROORGANISME TANAH (C-MIK) PADA LAHAN PERTANAMAN TEBU TAHUN KEDUA

Oleh

TRISINA DWI PRATIWI

PT Gunung Madu Plantations (PT GMP) merupakan salah satu perkebunan dan pabrik gula terbesar di Lampung. PT GMP telah lama menerapkan sistem olah tanah intensif yang menyebabkan penurunan kualitas tanah. Oleh karena itu, usaha untuk memperbaiki kualitas tanah perkebunan gula PT GMP perlu

diusahakan antara lain dengan memanfaatkan mulsa berbasis limbah tebu (bagas) dan sistem olah tanah konservasi dalam bentuk tanpa olah tanah (TOT). Dengan adanya pengelolaan lahan dengan cara pengolahan tanpa olah tanah serta

pemberian mulsa bagas diharapkan mampu meningkatkan aktivitas serta populasi mikroorganisme di dalam tanah. Penelitian ini bertujuan untuk menduga

pengaruh olah tanah dan pemberian mulsa bagas terhadap biomassa karbon mikroorganisme tanah (C-mik).

Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan petak terbagi dan disusun secara split plot dengan 5 ulangan. Sebagai petak utama adalah perlakuan sistem olah tanah (T) yaitu: T0 = tanpa olah tanah; T1 = olah tanah intensif dan anak petak dalam penelitian ini adalah penggunaan limbah pabrik gula (M) yaitu: M0= tanpa mulsa ; M1= mulsa bagas 80 ton ha-1. Adapun kombinasi perlakuan yang diterapkan adalah sebagai berikut: t0m0 = tanpa olah tanah + tanpa mulsa bagas, t0m1 = tanpa olah tanah + mulsa bagas 80 t ha-1, t1m0 = olah tanah intensif + tanpa mulsa bagas, dan t1m1 = olah tanah intensif + mulsa bagas 80 t ha-1. Semua petak perlakuan diaplikasikan pupuk Urea dengan dosis 300 kg ha-1, pupuk TSP 200 kg ha-1, pupuk Muriat of Potash (MOP) 300 kg ha-1, dan aplikasi bagas, blotong, dan abu (BBA) segar (5:3:1) 80 t ha-1. Data yang diperoleh diuji homogenitasnya dengan Uji Bartlet dan aditivitasnya dengan Uji Tukey, serta uji lanjut dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT).


(2)

Trisina Dwi Pratiwi Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan sistem olah tanah dan pemberian mulsa bagas tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan C-mik dan beberapa sifat kimia tanah seperti kelembaban dan pH tanah dan juga tidak terdapatnya korelasi antara C-mik dengan C-organik tanah, N-total tanah, reaksi tanah, kelembaban tanah, serta suhu tanah. Hal ini diduga bahwa mulsa bagas dengan nisbah C/N yang sangat tinggi (>86) sangat lambat dirombak oleh

mikroorganisme. Lambatnya perombakan bahan organik dengan nisbah C/N yang sangat tinggi itu berkaitan dengan terbatasnya pasokan karbon dan/ atau energi untuk pembentukan dan perkembangan biomassa mikroba tanah. Waktu penelitian selama dua tahun masih belum cukup untuk melihat dampak aplikasi bagas pada tanah perkebunan tebu.

Kata Kunci : C-mik, mikroorganisme tanah, mulsa bagas, olah tanah intensif, dan tanpa olah tanah.


(3)

PENGARUH PENGOLAHAN TANAH DAN PEMBERIAN MULSA BAGAS TERHADAP KANDUNGAN BIOMASSA KARBON

MIKROORGANISME TANAH (C-MIK) PADA LAHAN PERTANAMAN TEBU TAHUN KEDUA

(Skripsi)

Oleh

TRISINA DWI PRATIWI

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(4)

Judul Skripsi : PENGARUH PENGOLAHAN TANAH DAN PEMBERIAN MULSA BAGAS TERHADAP KANDUNGAN BIOMASSA KARBON

MIKROORGANISME TANAH (C-MIK) PADA LAHAN PERTANAMAN TEBU TAHUN KEDUA Nama Mahasiswa : Trisina Dwi Pratiwi

No Pokok Mahasiswa : 0814013073 Jurusan : Agroteknologi Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI, 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ainin Niswati, M.Agr., Sc. Ir. M.A. Syamsul Arif, M.Sc., Ph.D. NIP 19630509 198703 2 001 NIP 19610419 198503 1 004

2. Ketua Jurusan Agroteknologi

Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P. NIP 19641119 198903 1 002


(5)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Prof. Dr. Ir. Ainin Niswati, M.Agr., Sc.

Sekretaris : Ir. M.A. Syamsul Arif, M.Sc., Ph.D.

Penguji

Bukan Pembimbing : Dr. Ir. Henrie Buchari, M.Si.

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP 19610826 198702 1 001


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Simbarwaringin, Kecamatan Trimurjo, Kabupaten Lampung Tengah pada tanggal 29 Oktober 1990, putri kedua dari keluarga Bapak Rasiman dan Ibu Parminah.

Pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 3 Simbarwaringin yang diselesaikan pada tahun 2002. Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Trimurjo, diselesaikan pada tahun 2005. Serta Sekolah Menengah Atas Kartikatama Metro, diselesaikan pada tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis tercatat sebagai

mahasiswa Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung, melalui jalur Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat (PKAB). Pada tahun 2011 penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kabupaten Tulang Bawang Barat dan pada tahun 2012 penulis melakukan Praktik Umum (PU) di PT. Great Giant Pineaple Kabupaten Lampung Tengah.

Selama tercatat sebagai mahasiswa fakultas pertanian Universitas Lampung penulis pernah menjadi asisten dosen pada mata kuliah Dasar-Dasar Ilmu Tanah, Biologi dan Kesehatan Tanah, dan Penyakit Penting Tanaman. Selain itu penulis mengikuti organisasi kemahasiswaan Agronomi Pecinta Alam (Agropala) sebagai Ketua Divisi Kesekretarian (2009/2011), serta menjadi anggota Divisi Pengabdian Lingkungan (2011/2012).


(7)

Dengan penuh rasa syukur kupersembahkan karya kecilku ini Sebagai tanda bakti dan kasihku Kepada:

Kedua orang tua tercinta Bapak Rasiman dan Ibu Parminah, Mbakku Eka Fibiana, dan Adikku Ahmad Saputra

Sahabat-sahabatku, dan almamater tercinta serta semua orang yang selalu memberi banyak dukungan serta dorongan semangat kepada penulis


(8)

”...Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah satu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri...”

(QS Ar ra’d 13:11)

Ukuran tubuhmu tidak penting, Ukuran otakmu cukup penting, Ukuran hatimu itulah yang terpenting

(BC Gorbes)

Aku percaya sebuah proses itu penting, jadi nikmati saja prosesnya dan hasil pun akan menyusul kelak, masalah hasil baik atau tidak bergantung dari

usaha dan doa, I believe in Allah who always beside me (Trisina Dwi Pratiwi)


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Kerangka Pemikiran ... 3

1.4 Hipotesis ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengolahan Tanah ... 2.2 Mulsa dan Hasil Samping Produksi Gula ... 7 9 2.3 Bahan Organik Tanah ... 13

2.4 Pengukuran Biomassa Mikroorganisme Tanah... 14

III. BAHAN DAN METODE 3.1Tempat dan Waktu Penelitian ... 16

3.2Bahan dan Alat ... 16

3.3Metode Penelitian ... 17

3.4Sejarah Pengolahan Lahan di Plot Percobaan... 18

3.5Pelaksanaan Penelitian ... 19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 25

4.1.1 Pengaruh Sistem Olah Tanah dan Aplikasi Mulsa Bagas terhadap Biomassa Karbon Mikroorganisme Tanah ... 25

4.1.2 Pengaruh Sistem Olah Tanah dan Aplikasi Mulsa Bagas terhadap Beberapa Sifat Kimia Tanah... 27

4.1.3 Korelasi antara Biomassa Karbon Mikroorganisme Tanah dengan C-organik, N-total, dan pH tanah Sembilan Bulan dan Duabelas Bulan Setelah Perlakuan ... 29


(10)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 36

5.2 Saran ... 36

PUSTAKA ACUAN ... 37

LAMPIRAN ... 41


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Hasil analisis kimia bagas, blotong, dan BBA. ... 11 2. Kombinasi perlakuan petak utama dan anak petak. ... 17 3. Ringkasan uji signifikasi C-mik sembilan bulan setelah tanam

dan duabelas bulan setelah tanam. ... 25 4. Ringkasan uji signifikasi pengaruh sistem olah tanah dan

aplikasi mulsa bagas terhadap beberapa sifat tanah sembilan bulan

dan duabelas bulan setelah tanam. ... 27 5. Uji BNT aplikasi mulsa bagas terhadap C-organik

duabelas bulan setelah tanam. ... 28 6. Uji BNT perlakuan olah tanah terhadap kadar N-total

duabelas bulan setelah tanam. ….……..………... 28 7. Uji BNT perlakuan olah tanah dan pemberian mulsa bagas terhadap

suhu tanah sembilan bulan setelah tanam. ... 29 8. Hasil uji korelasi antara C-mik (mg kg-1 hari-1) dengan beberapa

sifat tanah akibat pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas pada pertanaman tebu sembilan bulan dan duabelas bulan

setelah tanam. ... 29 9. Pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap

kandungan biomassa karbon mikroorganisme tanah (mg kg-1 hari-1)

pengambilan contoh tanah bulan April 2012. ... 41 10.Uji homogenitas pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa

bagas terhadap kandungan biomassa karbon mikroorganisme tanah


(12)

iv

11.Transformasi sin x uji homogenitas pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap kandungan biomassa karbon mikroorganisme tanah (mg kg-1 hari-1) pengambilan contoh

tanah bulan April 2012. ….……..………... 42 12.Analisis ragam pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa

bagas terhadap kandungan biomassa karbon mikroorganisme tanah

(mg kg-1 hari-1) pengambilan contoh tanah bulan April 2012. ... 42 13. Pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas

terhadap kandungan biomassa karbon mikroorganisme tanah

(mg kg-1 hari-1) pengambilan contoh tanah bulan Juli 2012. ... 43 14. Uji homogenitas pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa

bagas terhadap kandungan biomassa karbon mikroorganisme tanah (mg kg-1 hari-1) pengambilan contoh tanah bulan Juli 2012. ... 43 15. Transformasi sin x uji homogenitas pengaruh sistem olah tanah

dan aplikasi mulsa bagas terhadap kandungan biomassa karbon mikroorganisme tanah (mg kg-1 hari-1) pengambilan contoh

tanah bulan Juli 2012. ... 44 16.Analisis ragam pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa

bagas terhadap kandungan biomassa karbon mikroorganisme tanah

(mg kg-1 hari-1) pengambilan contoh tanah bulan Juli 2012. ... 44 17. Pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap

C-organik tanah (%) pengambilan contoh tanah bulan April 2012. .. 45 18. Pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap

C-organik tanah (%) pengambilan contoh tanah bulan Juli 2012. ... 45 19. Pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap

N-total tanah (%) pengambilan contoh tanah bulan April 2012. ... 45 20. Pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap

N-total tanah (%) pengambilan contoh tanah bulan Juli 2012. ... 46 21. Pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap

pH tanah (KCl) pengambilan contoh tanah bulan April 2012. ... 46

22. Pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap


(13)

v

23. Pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap

pH tanah (KCl) pengambilan contoh tanah bulan Juli 2012. ... 47 24. Pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap

pH tanah (H2O) pengambilan contoh tanah bulan Juli 2012. ... 47 25. Pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap

kelembaban tanah pengambilan contoh tanah bulan April 2012. ... 47 26. Pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap

kelembaban tanah pengambilan contoh tanah bulan Juli 2012. ... 48 27. Pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas

terhadap suhu tanah pengambilan contoh tanah bulan April 2012. ... 48 28.Pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas

terhadap suhu tanah pengambilan contoh tanah bulan Juli 2012. ... 48 29. Uji korelasi antara biomassa karbon mikroorganisme tanah

dengan C-organik tanah pengambilan contoh tanah bulan April 2012. .. 49 30.Uji korelasi antara biomassa karbon mikroorganisme tanah

dengan C-organik tanah pengambilan contoh tanah bulan Juli 2012. ... 49 31. Uji korelasi antara biomassa karbon mikroorganisme tanah dengan

N-total pengambilan contoh tanah bulan April. ... 49 32. Uji korelasi antara biomassa karbon mikroorganisme tanah dengan

N-total pengambilan contoh tanah bulan Juli 2012. ... 50 33. Uji korelasi antara biomassa karbon mikroorganisme tanah

dengan pH pengambilan contoh tanah bulan April 2012. ... 50 34. Uji korelasi antara biomassa karbon mikroorganisme tanah

dengan pH pengambilan contoh tanah bulan Juli 2012. ... 50 35. Uji korelasi antara biomassa karbon mikroorganisme tanah

dengan kelembaban tanah pengambilan contoh tanah

bulan April 2012. ... 51 36. Uji korelasi antara biomassa karbon mikroorganisme tanah

dengan kelembaban tanah pengambilan contoh tanah


(14)

vi

37.Uji korelasi antara biomassa karbon mikroorganisme tanah

dengan suhu tanah pengambilan contoh tanah bulan April 2012. ... 51 38. Uji korelasi antara biomassa karbon mikroorganisme tanah


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Bagan alur model perbaikan tanah terdegradasi di PT GMP. ... 4 2. Tata letak pengambilan contoh tanah. ... 21 3. Skema pelaksanaan inkubasi tanah dalam toples. ... 23 4. Biomassa karbon mikroorganisme tanah (mg kg-1 hari-1) contoh

tanah sembilan bulan setelah tanam. ... 26 5. Biomassa karbon mikroorganisme tanah (mg kg-1 hari-1) contoh


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil gula dan juga sebagai salah satu kebutuhan pokok bagi penduduk Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk, membutuhkan gula yang semakin meningkat pula, meskipun Indonesia merupakan salah satu negara penghasil gula di dunia, tetapi Indonesia masih mengalami kekurangan akibat konsumsi gula yang lebih tinggi dibandingkan dengan produksinya.

Saat ini Pemerintah Indonesia sedang menggalakkan penanaman tebu untuk meningkatkan produksi gula. Salah satunya adalah perkebunan gula yang ada di Lampung adalah PT Gunung Madu Plantations (PT. GMP). Perusahaan ini telah mengusahakan perkebunan tebu sejak tahun 1975 yang terus menerus melakukan pertanian intensif dengan pengolahan tanah dan penggunaan bahan-bahan kimia pertanian seperti pupuk dan pestisida. Sejak tahun 2004 aplikasi bahan organik berbasis tebu ( bagas, blotong, dan abu) dilakukan untuk mempertahankan kesuburan tanah (PT. GMP, 2009).

Penelitian pada tahun pertama oleh Sucipto (2011), diperoleh bahwa sistem pengolahan tanah dan pemberian mulsa bagas pada pertanaman tebu tidak mempengaruhi C-mik baik pada sebelum pengolahan, satu bulan dan lima bulan


(17)

2 setelah perlakuan. Hal ini sejalan dengan penelitian Suwardjo, Abdurachman dan Abujamin (1989) yang dikutip oleh Sucipto, (2011) yang melaporkan bahwa dalam kurun waktu 8 bulan perlakuan sistem olah tanah belum menunjukan pengaruh nyata terhadap berat isi tanah.

Meskipun pekerjaan mengolah tanah secara teratur dianggap penting, tetapi pengolahan tanah secara intensif dapat menyebabkan penurunan kualitas tanah. Dampak negatif yang dapat ditimbulkan antara lain pemampatan atau pemadatan pada tanah, berkurangnya ketersediaan air tanah, semakin kurang berkembangnya sistem perakaran tanaman, penurunan kandungan bahan organik, kerusakan struktur dan agregat tanah (Manik, Afandi, dan Soekarno, 1998).

Untuk merehabilitasi kerusakan tanah dan upaya peningkatan produksi, PT GMP dapat menerapkan sistem olah tanah konservasi dalam bentuk tanpa olah tanah dengan menggunakan mulsa (PT. GMP, 2009). Penerapan sistem tanpa olah tanah diharapkan mampu memperbaiki kualitas tanah dengan meningkatkan keanekaragaman biota dalam tanah, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kandungan C-organik tanah, dan meningkatkan kandungan karbon melalui pengikatan karbon dalam tanah.

Pemberian mulsa juga dapat memperbaiki kualitas tanah yaitu untuk

meningkatkan kesuburan serta pertumbuhan tanaman. Mulsa juga dapat dijadikan sebagai penyumbang bahan organik tanah ( Dermiyati, 1997). Bahan organik yang terkandung ataupun yang disalurkan ke tanah melalui pemberian mulsa akan mempengaruhi aktivitas mikroorganisme tanah. Mikroorganisme tanah dapat


(18)

3 diduga dengan mengukur biomassa karbon mikroorganisme (C-mik) dari tanah yang bersangkutan.

Berdasarkan kenyataan tersebut mikroorganisme tanah memegang peranan penting dalam berbagai proses di dalam tanah, dan untuk mengetahui jumlah biomassa karbon mikroorganisme (C-mik) tanah untuk pendugaan biomassa mikroorganisme dalam tanah dengan sistem olah tanah serta pemberian mulsa.

1.2Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menduga pengaruh pengolahan tanah dan

pemberian mulsa bagas terhadap biomassa karbon mikroorganisme tanah (C-mik).

1.3Kerangka Pemikiran

Pengolahan tanah yang berlebihan (intensif) dalam jangka panjang dapat

menjadikan suatu lahan terdegradasi yang berpengaruh juga terhadap sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Manik et al. (1998) melaporkan bahwa penerapan sistem olah tanah intensif menyebabkan kepadatan tanah yang tinggi, terutama pada lapisan bawah bajak (kedalaman 30 cm), menurunkan jumlah pori makro dan pori aerasi, serta lapisan atas (permukaan tanah) sangat peka terhadap erosi, terutama erosi percik. Sistem olah tanah seperti ini akan mempercepat degradasi tingkat kesuburan tanah akibat pencucian hara dan erosi, yang selanjutnya dapat menurunkan produktivitas lahan.

Penerapan olah tanah konservasi (OTK) yaitu dengan sistem tanpa olah tanah (TOT) dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas tanah serta mampu


(19)

4 meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah (Gambar 1). Dengan adanya

penerapan olah tanah konservasi permukaan tanah kurang terganggu dan sedikitnya 30% sisa pertanaman sebelumnya masih berada dipermukaan tanah yang mampu dijadikan mulsa secara alami. Dengan adanya mulsa ini maka akan meningkatkan kandungan bahan organik tanah yang erat kaitannya dengan sifat biologi tanah. Salah satu penentu kesuburan tanah yang dapat terlihat adalah adanya aktivitas serta banyaknya mikroorganisme didalam tanah. Karbon

mikroorganisme tanah (C-mik) merupakan mikroorganisme yang dapat dijadikan indikator penentu kesuburan tanah. Utomo (2006) menambahkan bahwa olah tanah konservasi jangka panjang ternyata dapat meningkatkan jumlah dan keanekaragaman biota, hal ini ditunjukan dengan jumlah bakteri, mesofauna dan cacing tanah yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem olah tanah intensif.

Gambar 1. Bagan alur model perbaikan tanah terdegradasi di PT Gunung Madu Plantation.

Degradasi Tanah

Olah Tanah Konservasi Penambahan Bahan Organik

Limbah Padat Pabrik Gula Tanpa Olah Tanah

Meningkatkan Aktivitas Mikroorganisme Sifat Biologi Tanah

Sifat Fisik Tanah Sifat Kimia Tanah

Meningkatan KTK, pH, Kandungan P,K, dan Mg Menurunkan Bulk

Density, dan Meningkatkan Ruang

Pori

C-mik Peningkatan Bahan Organik


(20)

5 Manik (2002) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa tandan kosong kelapa sawit sebanyak 96 t ha-1 dapat meningkatkan pH tanah, kandungan P, K, Mg, dan KTK tanah serta meningkatkan produksi tandan buah segar sebesar 16,3%.

Bagas tidak dapat diaplikasikan secara langsung kelahan, karena memilki nisbah C/N yang tinggi (>90). Oleh karena itu, untuk menurunkan nisbah C/N maka bagas terlebih dahulu ditumpuk hingga menjadi 50-65 ( nisbah C/N yang sesuai untuk aplikasi bagas). Namun bisa juga diberikan secara langsung dan dijadikan sebagai penutup tanah (mulsa).

Bahan organik memegang peranan penting dalam menentukan kesuburan tanah. Robert dan Reating (1996) dalam Utami (2004) menerangkan bahwa kandungan biomassa karbon mikroorganisme (C-mik) ditentukan oleh tinggi rendahnya bahan organik tanah (BOT). Menurut Simanjuntak (1997), hal ini disebabkan kandungan bahan organik yang tinggi dalam tanah dapat dijadikan sebagai sumber energi mikroorganisme tanah sehingga C-mik dapat meningkat.

Biomassa karbon mikroorganisme merupakan bagian paling aktif dari mikroorganisme tanah yang menyusun 2-3% dari total C-organik tanah dan mempunyai peran yang sangat penting dalam proses dekomposisi bahan organik dan perputaran hara dalam tanah (Franzluebbers et al., 1995). Karbon

mikroorganisme tanah (C-mik) dapat dijadikan sebagai indikator kesuburan tanah, tingginya populasi mikroorganisme tanah menunjukan kondisi fisik dan kimia tanah yang baik. Dengan perlakuan pengolahan tanah serta pemberian mulsa


(21)

6 bagas dapat meningkatkan kandungan hara didalam tanah (nitrogen) serta dapat berkorelasi secara positif terhadap kesuburan tanah.

1.4Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Biomassa karbon mikroorganisme tanah (C-mik) pada lahan tanpa olah tanah (TOT) lebih tinggi daripada lahan olah tanah intensif (OTI).

2. Biomassa karbon mikroorganisme tanah (C-mik) pada lahan yang diberi mulsa bagas lebih tinggi daripada lahan yang tidak diberikan mulsa.

3. Terdapat interaksi antara olah tanah dengan pemberian mulsa terhadap biomassa karbon mikroorganisme tanah (C-mik).

4. Terdapat korelasi antara C-mik tanah dengan C-organik tanah, dan N-total tanah.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah adalah setiap usaha manipulasi secara mekanis. Pada dasarnya pengolahan tanah ditunjukkan untuk menyiapkan tanah agar sesuai untuk

perkembangan tanaman. Secara lebih terinci, tujuan pengolahan tanah adalah menyiapkan media pertumbuhan benih atau bibit, memperbaiki sifat kesuburan tanah, memberantas gulma, dan memotong daur hama dan penyakit tanaman. Walaupun pengolahan tanah ditunjukan untuk perbaikan tanah sebagai media tanaman, tetapi hasil yang diperoleh sebaliknya yaitu penurunan produktivitas tanah sebagai akibat terjadinya kerusakan tanah. Disamping itu ditinjau dari biaya usaha tani, sampai dewasa ini pengolahan tanah masih memerlukan komponen biaya yang besar (30-40 persen) total biaya. Oleh karena itu pengolahan tanah harus dilakukan secara tepat (Utomo, 1982 dalam Agustiawan, 2005).

Metode pengolahan tanah dari sejak dulu hingga sekarang hampir tidak berubah, yaitu mengolah tanah secara intensif dari musim ke musim. Hal ini sangat berdampak buruk pada sifat fisika, kimia, dan biologi pada tanah. Selain itu pengolahan tanah secara intensif banyak menghabiskan tenaga, waktu dan uang. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam dunia pertanian, sistem pengolahan tanah tidak hanya dengan cara intensif saja, tetapi juga dapat


(23)

8

menggunakan sistem olah tanah minimum (OTM), dan tanpa olah tanah (TOT). Kedua sistem ini disebut dengan olah tanah konservasi (OTK) (Kirana, 2010). Untuk mengatasi kerusakan karena pengolahan tanah, akhir-akhir ini

diperkenalkan sistem olah tanah konservasi yang diikuti oleh pemberian mulsa yang diharapkan dapat meningkatkan produksi pertanian.

Agus dan Widianto (2004) menyatakan bahwa olah tanah konservasi adalah suatu sistem pengolahan tanah dengan tetap mempertahankan setidaknya 30% sisa tanaman menutup permukaan tanah. Keuntungan dari penggunaan sistem olah tanah ini adalah menghemat tenaga kerja dan biaya serta dapat memperbaiki struktur tanah melalui peningkatan pori makro. Proses ini terjadi karena dengan tanpa olah tanah, fauna (hewan) tanah seperti cacing menjadi lebih aktif.

Walaupun di satu sisi OTK bisa mengurangi kerusakan fisik tanah, namun penggunaan herbisida memacu kerusakan kimia dan biologis tanah disamping membutuhkan biaya untuk membeli herbisida dan dana untuk investasi membeli/menyewa alat tanam dan traktor.

Peningkatan produsi dengan OTK dimungkinkan karena pemanfaatan jerami atau seresah sisa tanaman yang mati oleh herbisida, mati dan hancur hingga

mensupport hara tanah. selain itu serasah ini juga berfungsi menghambat terjadinya erosi tanah, penguapan air tanah, dan mengurangi kerusakan tanah akibat tetesan hujan. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan sistem ini disebut pertanian konservasi, karena mengkonservasi atau memperbaiki kualitas tanah (IKASA , 2011).


(24)

9

2.2Mulsa dan Hasil Samping Produksi Gula

Mulsa dapat didefinisikan sebagai setiap bahan yang dihamparkan untuk menutup sebagian atau seluruh permukaan tanah dan mempengaruhi lingkungan mikro tanah yang ditutupi tersebut (Waggoner et al., 1960 dalam Fahrurrozi, 2009). Bahan-bahan dari mulsa dapat berupa sisa-sisa tanaman atau bagian tanaman yang lalu dikelompokkan sebagai mulsa organik, dan bahan-bahan sintetis berupa plastik yang lalu dikelompokkan sebagai mulsa non-organik.

Usaha perkebunan tebu dan pabrik gula PT. GMP merupakan kegiatan yang ramah lingkungan. Limbah dari kebun maupun pabrik dimanfaatkan kembali dan ternyata memberikan keuntungan yang sangat besar. Limbah pertanian berupa sisa-sisa tanaman (pucuk tebu dan daun) dikembalikan ke tanah sebagai mulsa, sehingga menambah kesuburan tanah. Sementara limbah padat dan limbah cair dari pabrik, tetapi juga dikelola lagi sehingga bermanfaat, bahkan secara

ekonomis sangat menguntungkan.

Limbah padat berupa ampas tebu (bagasse) misalnya, dimanfaatkan lagi sebagai bahan bakar ketel uap (boiler) untuk penggerak mesin pabrik dan pembangkit tenaga listrik untuk perumahan karyawan, perkantoran, dan peralatan irigasi. Karena itu, pabrik dan pembangkit listrik Gunung Madu tidak menggunakan bahan bakar minyak (BBM), baik saat musim giling (on season) maupun tidak giling (off season). Limbah padat lain adalah endapan nira yang disebut blotong (filter cake) dan abu. Blotong, abu, dan bagasse dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kompos, yang digunakan lagi di kebun sebagai penyubur tanah


(25)

10

Dalam proses produksi tebu mejadi gula, PT GMP menghasilkan 91-94% limbah. Limbah yang dihasilkan selama proses produksi berupa limbah cair dan limbah padat. Limbah padat pabrik berupa bagas, blotong, dan abu ketel. Ketiga limbah padat tersebut tergolong limbah organik yang dapat digunakan sebagai sumber bahan organik tanah, mengingat jumlah limbah yang dihasilkan oleh pabrik selama satu periode musim giling. Agrika (2006) menyatakan bahwasanya pemberian limbah padat pabrik gula pada lahan tebu dengan dosis 120 t ha-1 dapat meningkatkan 3,2% kandungan bahan organik tanah (±35 ton/ha) dan

memperbaiki tingkat kemantapan agregat.

Limbah padat pabrik gula berpotensi besar sebagai sumber bahan organik yang berguna untuk kesuburan tanah. Bagas dapat diaplikasikan langsung sebagai mulsa atau diformulasikan dengan blotong dan abu (BBA) sebagai kompos. Ampas (bagas) tebu mengandung 52,67% kadar air; 55,89% C-organik; N-total 0,25%; 0,16% P2O5; dan 0,38% K2O. Blotong dapat digunakan langsung sebagai pupuk, karena mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanah. Untuk

memperkaya unsur N blotong dikompos dengan ampas tebu (bagas) dan abu ketel. Pemberian blotong sebanyak 100 ton atau komposnya ke tanaman tebu per hektar dapat meningkatkan bobot dan rendemen tebu secara signifikan (Kurnia, 2010).

Blotong dapat digunakan langsung sebagai pupuk, karena mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanah. Untuk memperkaya unsur N blotong dikomposkan dengan ampas tebu dan abu ketel (BBA). Risvank (2012) menambahkan bahwa

pemberian sebanyak 100 t ha-1 blotong atau komposnya ke pertanaman tebu dapat meningkatkan bobot dan rendemen tebu secara signifikan. Kandungan hara


(26)

11

kompos ampas tebu (Bagas), blotong dan kompos dari ampas tebu, blotong dan abu ketel (BBA) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis kimia Bagas, Blotong dan Bagas Blotong Abu (BBA). Analisis Bagas Blotong Bagas, Blotong, dan Abu

pH 7,32 7,53 6,85

Karbon (C), % 16,63 26,51 26,51 Nitrogen (N), % 1,04 1,04 1,38

Nisbah C/N 16,04 25,62 15,54

Fosfat (P2O5), % 0,42 6,14 3,02 Kalium (K2O), % 0,19 0,49 0,54 Natrium (Na2O), % 0,12 0,08 0,10 Kalsium (Ca), % 2,09 5,79 4,87 Magnesium (Mg), % 0,38 0,42 0,39 Besi (Fe), % 0,25 0,19 0,18 Mangan (Mn), % 0,07 0,12 0,09

Sumber : Risvank (2012)

Di Indonesia penggunaan pupuk organik sangat minim dilakukan oleh petani. Hal ini dikarenakan sedikitnya produsen pupuk organik, dan minimnya pengetahuan petani tentang manfaat pengguanan pupuk organik. Dengan adanya hal tersebut di atas maka akan tepat jika limbah yang sedemikian besar tadi dimanfaatkan menjadi pupuk organik.

Untuk bisa menjadi pupuk organik yang siap diaplikasikan maka diperlukan suatu proses dekomposisi bahan oleh bantuan mikoorganisme. Proses daur ulang limbah menjadi pupuk dapat dilakukan dengan menggunakan mikroorganisme secara manual. Sekitar 20-23 hari, proses thermopolik bisa tercapai, maka jadilah humus yang kandungan unsurnya cukup bagus dan berguna untuk memperbaiki struktur tanah (Solihin, 2008).


(27)

12

Tebu ( Saccharum officinarum L.) adalah tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula dan vetsin. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Tanaman ini termasuk jenis rumput-rumputan. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih 1 tahun. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di pulau Jawa dan Sumatra.

Untuk pembuatan gula, batang tebu yang sudah dipanen diperas dengan mesin pemeras (mesin press) di pabrik gula. Sesudah itu, nira atau air perasan tebu tersebut disaring, dimasak, dan diputihkan sehingga menjadi gula pasir yang kita kenal. Dari proses pembuatan tebu tersebut akan dihasilkan gula 5%, ampas tebu 90% dan sisanya berupa tetes (molasse) dan air. Daun tebu yang kering

(dalam bahasa Jawa, dadhok) adalah biomassa yang mempunyai nilai kalori cukup tinggi. Dalam konversi energi pabrik gula, daun tebu dan juga ampas batang tebu digunakan untuk bahan bakar boiler, yang uapnya digunakan untuk proses

produksi dan pembangkit listrik (Anonim, 2011).

Ampas tebu (bagas) merupakan limbah padat yang berasal dari perasan batang tebu untuk diambil niranya. Limbah ini banyak mengandung serat dan gabus. Ampas tebu ini memiliki aroma yang segar dan mudah dikeringkan sehingga tidak menimbulkan bau busuk. Bagas dapat dimanfatkan sebagai mulsa atau

diformulasikan dengan blotong dan abu (BBA) sebagai kompos. Blotong dapat digunakan langsung sebagai pupuk, karena mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanah (Kurnia, 2010).


(28)

13

2.3Bahan Organik Tanah

Menurut Madjid (2007), bahan organik adalah kumpulan beragam senyawa-senyawa organik kompleks yang sedang atau telah mengalami proses

dekomposisi, baik berupa humus hasil humifikasi maupun senyawa-senyawa anorganik hasil mineralisasi dan termasuk juga mikrobia heterotrofik dan ototrofik yang terlibat dan berada di dalamnya.

Bahan organik memiliki peranan sangat penting di dalam tanah. Bahan organik tanah juga merupakan salah satu indikator kesehatan tanah. Tanah yang sehat memiliki kandungan bahan organik tinggi, sekitar 5%. Sedangkan tanah yang tidak sehat memiliki kandungan bahan organik yang rendah. Kesehatan tanah penting untuk menjamin produktivitas pertanian. Bahan organik tanah terdiri dari sisa-sisa tumbuhan atau binatang melapuk. Tingkat pelapukan bahan organik berbeda-beda dan tercampur dari berbagai macam bahan (Isroi, 2009).

Pemberian kompos dengan dosis 150 t ha-1 dengan cara disebar secara nyata mampu mempengaruhi nilai kerapatan isi tanah , pemberian kompos dengan dosis ini dapat menurunkan nilai bulk density dan dapat meningkatkan ruang pori tanah di lahan pertanaman tebu PT. GMP (Damaiyani, 2009). Utami (2004)

melaporkan bahwa semakin tinggi kandungan dan masukan bahan organik ke dalam tanah akan meningkatkan kandungan C-organik tanah yang akan diikuti oleh peningkatan aktivitas mikroorganisme tanah sehingga memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan biomassa mikroorganisme tanah. Tanah dalam kondisi yang lembab merupakan kondisi ideal bagi tanah untuk dapat melakukan aktivitasnya secara normal.


(29)

14

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan kandungan bahan organik adalah dengan menggunakan C-organik total sebagai tolak ukur. Namun terdapat kesulitan dalam menggunakan C-organik karena sebagian besar bahan organik tanah terdapat dalam bentuk humus resisten, sehingga untuk memantau bahan organik tanah perlu waktu yang lama. Metode lain yang dapat digunakan adalah dengan mengukur bagian bahan organik tanah lain berupa biomassa mikroorganisme tanah (Dally et al., 1993 dalam Buchari, 1999 yang dikutip oleh Sucipto, 2011).

2.4Pengukuran Biomassa Mikroorganisme Tanah

Biomassa mikroorganisme tanah (C-mik) merupakan indek kesuburan tanah. Tanah yang banyak mengandung berbagai macam mikroorganisme tanah, secara umum dapat dikatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah yang sifat fisik dan kimianya baik. Tingginya populasi mikrorganisme dan beragamnya jenis

mikrorganisme tanah hanya mungkin ditemukan pada tanah yang mempunyai sifat yang memungkinkan bagi mikroorganisme tanah tersebut untuk berkembang dan aktif. Tersedianya unsur hara yang cukup, pH tanah yang sesuai, aerasi dan drainase yang baik, air cukup dan sumber energi (bahan organik) yang cukup adalah beberapa faktor yang harus dipenuhi agar mikroorganisme tanah dapat tumbuh dan berkembang. Mikroorganisme tanah juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencegah hilangnya unsur hara melalui proses pencucian unsur hara (Warsito, 2008).


(30)

15

Biomassa mikroorganisme tanah mewakili sebagian kecil fraksi total karbon dan nitrogen tanah, tetapi secara relatif mudah berubah sehingga jumlah aktivitas dan kualitas biomassa mikroorganisme merupakan faktor dalam mengendalikan jumlah C dan N yang dimeneralisasikan (Kirana, 2010).

Selanjutnya Anas (1989) dalam Marpaung (2009) menyatakan bahwa jumlah total mikroorganisme yang terdapat didalam tanah digunakan sebagai indeks kesuburan tanah (fertility indeks), tanpa mempertimbangkan hal-hal lain. Tanah yang subur mengandung sejumlah mikroorganisme, populasi yang tinggi ini menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup ditambah lagi dengan temperatur yang sesuai, ketersediaan air yang cukup, kondisi ekologi lain yang mendukung perkembangan mikroorganisme pada tanah tersebut.

Aktivitas mikroorganisme dapat diketahui dengan mengukur respirasi dan

biomassa karbon mikroorganisme (C-mik) tanah (Annisa, 2008). Banyak metode yang dapat digunakan dalam mengukur kandungan biomassa mikroorganisme, salah satu diantaranya adalah metode yang diperkenalkan oleh Jenkinson dan Powlson (1976), yang dikenal dengan metode Kloroform fumigasi-inkubasi (CFI). Menurut Smith et al., (1995) yang dikutip oleh Sucipto (2011), metode CFI ini dikembangkan berdasarkan dasar pemikiran bahwa mikroorganisme tanah yang mati, akan dimineralisasi dengan cepat dan CO2 yang dihasilkan merupakan sebuah ukuran dari populasi awal.


(31)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Percobaan dilakukan di lahan pertanaman tebu PT. GMP dengan perlakuan sistem olah tanah dan aplikasi limbah pabrik gula jangka panjang dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2020. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2012 sampai dengan bulan Juli 2012. Analisis biomassa karbon mikroorganisme dan analiisis contoh tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian,

Unversitas Lampung.

3.2Alat dan Bahan

Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis C-mik dengan metode fumigasi-inkubasi (Jenkinson dan Powlson, 1976), C-organik tanah (metode Walkley dan Black), N-total (metode Kjeldahl) dan pH tanah (metode

elektrometrik). Alat yang digunakan adalah bor belgi, kantung plastik, alat tulis, timbangan, lakban, toples, desikator dan alat-alat laboratorium lainnya untuk analisis tanah.


(32)

17 3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan petak terbagi dan disusun secara split plot dengan 5 ulangan. Sebagai petak utama adalah perlakuan sistem olah tanah (T) yaitu: t0 = tanpa olah tanah; t1 = olah tanah intensif dan anak petak dalam penelitian ini adalah penggunaan limbah pabrik gula (M) yaitu: m0= tanpa mulsa ; m1= mulsa bagas 80 ton ha-1.

Tabel 2. Kombinasi perlakuan petak utama (PU) dan anak petak (AP)

Anak petak (AP) Petak Utama (PU)

Tanpa Olah Tanah (t0) Olah Tanah Intensif (t1) Tanpa Mulsa (m0) t0m0 t10

Dengan Mulsa (m1) t0m1 t1m1

Keterangan : t0m0 = Tanpa olah tanah dan tanpa pemberian mulsa bagas; t1m0= Olah tanah intensif dan tanpa pemberian mulsa bagas; t0m1 = Olah tanah intensif dan pemberian mulsa bagas 80 t ha-1; t1m1 = Olah tanah intensif dan pemberian mulsa bagas 80 t ha-1.

Contoh tanah diambil dari 12 titik pada masing-masing plot percobaan dengan titik tengah plot sebagai titik pusatnya (Gambar 2). Data yang diperoleh diuji homogenitas ragamnya dengan Uji Bartlett dan aditifitasnya dengan Uji Tukey. Setelah asumsi dipenuhi, yaitu ragam homogen dan aditif dilakukan analisis ragam pada taraf 1% dan 5%. Untuk membedakan antar nilai tengah diuji dengan uji BNT pada taraf 5%, kemudian untuk mengetahui hubungan antara C-mik dengan pH tanah, C-organik dan N-total tanah dilakukan uji korelasi.


(33)

18 3.4Sejarah Pengolahan Lahan di Plot Percobaan

Di awal pembukaan perkebunan ini paket pengolahan tanah sangat sederhana dengan menggunakan traktor berdaya rendah (86 HP), kemampuan kerjanyapun juga rendah ± 0,30 ha per jam (bajak piringan). Perkembangan selanjutnya menjadi komplek dan menggunakan traktor berdaya besar (140 HP), hasil kerjanya dapat mencapai kedalaman olah ± 25 cm dan kemampuan kerjanya mencapai 1,00 ha per jam (bajak-garu piringan). Frekuensi alat memasuki kebunpun semakin sering.

Paket tersebut memberikan dampak pemampatan tanah cukup tinggi dan menimbulkan akibat yang nyata. Sadar dengan pelestarian tanah dan sebagai upaya mengurangi frekuensi lintasan alsintan di dalam petak, paket pengolahan tanah selanjutnya disederhanakan dan merakit implemen multifungsi, sedangkan untuk memecah lapisan kedap air dan membalikkan tanah dilakukan pengolahan tanah menggunakan bajak singkal yang kedalaman kerjanya dapat mencapai ± 35cm, kemampuan kerja mencapai 0,5 ha per jam atau menggunakan bajak yang kedalaman kerjanya mencapai 50 cm dengan kemampuan kerja 0,4 ha per jam (traktor 140 HP), bahkan upaya untuk mengurangi pemampatan tanah sampai pada titik minimal, sudah dipikirkan dan dicoba pengolahan tanah sistem zonal. Hal ini cukup beralasan karena menggunakan garu bajak dapat mengurangi 60% biaya dibandingkan menggunakan bajak singkal.

Perlakuan pengolahan tanah dalam menggunakan bajak dapat memperbaiki kondisi tanah. Kecuali hal tersebut di atas, rancang bangun implemen, perubahan


(34)

19 jarak tanam dan penanaman ‘green manure’ juga mampu mengurangi terjadinya ‘compaction’.

Teknik pengelolaan lahan yang telah dilakukan di PT. GMP adalah pengolahan tanah secara intensif yaitu pengolahan tanah sebanyak tiga kali dan

pengaplikasian bahan organik berbasis tebu (bagas, blotong, dan abu) sejak tahun 2004, serta penggunaan pupuk anorganik dalam mencukupi kebutuhan unsur hara tanaman tebu dan penggunaan pestisida dalam mengendalikan gulma dan hama penyakit yang terdapat pada tanaman tebu

3.5Pelaksanaan Penelitian

3.5.1 Pengelolaan Lahan

Penelitian ini menggunakan lahan pertanaman tebu yang diset untuk dijadikan lahan penelitian jangka panjang yang dimulai pada bulan Juni 2010 sampai 10 tahun kedepan. Penelitian ini merupakan penelitian pada musim tanam kedua. Sistem pola tanam yang diterapkan menggunakan sistem pola tanam PT Gunung Madu Plantations yaitu menggunakan tanaman tebu varietas RGM 00-838. Penyiapan lahan dimulai dengan membagi lahan menjadi 20 petak percobaan dengan ukuran tiap petaknya 25 m x 40 m. Setelah itu lahan diolah sesuai dengan perlakuan, yaitu pada petak tanpa olah tanah (TOT) dan perlakuan mulsa dan tanpa mulsa. Pada TOT tanah tidak diolah sama sekali, gulma yang tumbuh dikendalikan secara manual kemudian sisa gulma dikembalikan ke lahan sebagai mulsa. Sedangkan pada petak olah tanah intensif (OTI) baik pada perlakuan mulsa dan tanpa mulsa, tanah diolah sesuai dengan sistem pengolahan tanah yang


(35)

20 diterapkan di PT GMP yaitu sebanyak 3 kali pengolahan menggunakan bajak. Pengendalian gulma dilakukan dengan cara mekanik dan sisa tanaman gulma dibuang dari petak percobaan.

Semua plot percobaan diberikan BBA (5:3:1) sebanyak 80 t ha-1 dan pupuk dengan dosis yang biasa diaplikasikan di PT. GMP yaitu 300 kg Urea ha-1, 200 kg TSP ha-1, dan 300 kg MOP (Muriat of Potash) ha-1. Aplikasi BBA disesuaikan dengan perlakuan sistem pengolahan tanah, yaitu : pada petak olah tanah intensif BBA diaplikasikan dengan cara diaduk dengan tanah, sedangkan pada tanpa olah tanah BBA disebarkan diatas tanah seperti mulsa bagas, karena tanah tidak diolah. Pupuk diberikan sebanyak 2 kali, pertama sebagai pupuk dasar yang diaplikasikan sehari sebelum penanaman, dengan dosis 150 kg Urea ha-1, 200 kg TSP ha-1 dan 150 kg MOP ha-1. Pemupukan susulan dilakukan dua bulan setelah pemupukan pertama yaitu 150 kg Urea ha-1 dan 150 kg MOP ha-1.

3.5.2 Pengambilan Contoh Tanah

Contoh tanah diambil dengan menggunakan bor tanah dari 12 titik pada masing-masing plot percobaan (Gambar 2) dengan kedalaman 20 cm dan kemudian dikompositkan. Contoh tanah diambil secara melingkar dengan titik tengah plot sebagai pusatnya, empat titik berjarak 3 m dari pusat dan delapan titik berjarak 3 m dari titik pertama (Susilo dan Karyanto, 2005 yang dikutip oleh sucipto, 2011). Pengambilan contoh awal dilakukan sebelum perlakuan diberikan yaitu pada awal bulan April 2012. Pengambilan contoh tanah kedua dilakukan pada pertengahan bulan Juni 2012 dengan titik pusat pengambilan contoh bergeser kearah selatan


(36)

21 ± 1 m, hal ini dikarenakan lubang bekas titik pengambilan contoh tanah awal belum menutup secara sempurn..

Gambar 2. Tata letak pengambilan contoh tanah

Keterangan : = titik pusat

= titik pengambilan contoh tanah

3.5.3 Persiapan Contoh Tanah

Contoh tanah diambil dari masing – masing plot sebanyak 500 g, kemudian dimasukan kedalam kantong plastik dan diberi label (perlakuan, kelompok, hari dan tanggal). Setelah itu tanah dimasukan ke dalam kulkas (freezer) dikarenakan análisis tidak dilakukan langsung setelah pengambilan contoh tanah. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menghentikan aktivitas mikroorganisme sementara, sehingga kondisi mikroorganisme dalam tanah diharapkan tidak berubah.

3 m 3 m


(37)

22 3.5.4 Pengamatan

a. Variabel utama

Variabel utama yang diamati yaitu biomassa mikroorganisme tanah (C-mik) dengan menggunakan metode fumigasi-inkubasi (Jenkinson dan Powlson 1976) dengan sedikit modifikasi. Proses pelaksanaan analisis yaitu tanah lembab (setara dengan 100 gram berat kering oven) ditempatkan dalam gelas beaker 50 ml. Tanah tersebut kemudian difumigasi menggunakan kloroform (CHCl3) sebanyak 30 ml dalam desikator yang telah diberi tekanan 50 cm Hg selama 48 jam. Sebanyak 5 gram tanah inokulan diikat rapat dan dimasukkan ke dalam lemari pendingin.

Setelah tanah difumigasi selama 48 jam, tanah dibebaskan dari CHCl3 di bawah tekanan 30 cm Hg, kemudian dimasukkan ke dalam toples berukuran 1,5 liter bersama dua botol film, satu botol film berisi 10 ml KOH 0,5 N dan satu botol film berisi 10 ml aquades (Gambar 3). Kemudian ditambahkan 5 g tanah inokulan (tanah segar) yang telah dikeluarkan dari lemari pendingin selama setengah hari (±5 jam) sebagai proses aklimatisasi. Kedua sampel tanah diinkubasi pada suhu 250 C selama 10 hari. Kuantitas C-CO2 yang diserap dalam alkali ditentukan dengan titrasi. Kemudian indikator phenolphtalein ditambahkan sebanyak 2 tetes pada beaker berisi KOH dan dititrasi dengan HCl 0,1 N hingga warna merah hilang. Selanjutnya dititrasi lagi dengan HCl setelah ditambahkan 2 tetes metil orange hingga warna kuning berubah menjadi merah muda, dan jumlah HCl yang digunakan dicatat.


(38)

23 Sedangkan untuk tanah non-fumigasi menggunakan 100 gram tanah berat kering oven, tanah dimasukkan ke dalam toples yang berukuran 1 liter yang bersama dua botol film, satu botol film berisi 10 ml KOH 0,5 N dan satu botol film berisi 10 ml aquades, tanpa penambahan tanah inokulan. Toples tersebut ditutup dengan

menggunakan lakban dan diinkubasi pada suhu 25oC selama 10 hari. Pada akhir masa inkubasi kuantitas C-CO2 yang dihasilkan dalam alkali ditentukan dengan cara titrasi (sama dengan contoh tanah fumigasi).

Gambar 3. Skema pelaksanaan inkubasi tanah penentuan kadar KOH yang ada dalam toples yang nantinya untuk keperluan titrasi.

Reaksi pada saat di dalam toples (inkubasi selama 10 hari): 2KOH + CO2  K2CO3 + H2O

Reaksi pada saat dititrasi oleh HCl dengan indikator Phenolphtalein: K2CO3 + HCl  KHCO3 + KCl

Reaksi pada saat dititrasi oleh HCl dengan indikator Metil Orange: KHCO3 + HCL  CO2 + KCl + HCl

10 ml aquades

100 g tanah 10 ml 0,5 N


(39)

24 Biomassa mikroorganisme tanah dihitung dengan rumus akhir :

C-mik = (mg CO2-C kg-1 10 hari)fumigasi - (mg CO2-C kg-1 10 hari)nonfumigasi

Kc

mg CO2- C kg-1 10 hari = a-b x t x 120 n

Keterangan :

a = ml HCl untuk contoh tanah b = ml HCl untuk blanko n = waktu inkubasi (hari) t = normalitas HCl

kc = 0,41 (Veroney dan Paul, 1984 dalam Utami, 2004)

b. Variabel Pendukung

Sedangkan variabel pendukung yang diamati yaitu :

a. Kadar C-organik (metode Walkley & Black dalam Thom dan Utomo, 1991) b. N-total (metode Kjeldahl dalam Thom dan Utomo, 1991)

c. pH tanah (metode elektrometrik)

d. Kelembaban tanah (diukur dengan Soil Moisture Tester) e. Suhu tanah (diukur dengan Soil Temperature Tester)


(40)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Sistem pengolahan tanah serta pemberian mulsa bagas pada pertanaman tebu tidak mempengaruhi C-mik baik pada sembilan bulan dan 12 bulan setelah tanam.

2. Tidak terdapat interaksi antara sistem pengolahan tanah dan pemberian mulsa bagas pada sembilan bulan dan 12 bulan setelah tanam terhadap C-mik. 3. Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada biomassa C-mik terhadap

perlakuan aplikasi mulsa dan yang tanpa mulsa.

4. Tidak terdapat korelasi antara C-organik, N-total, kelembaban, pH, serta suhu dengan C-mik.

5.2Saran

Dari hasil penelitian disarankan untuk melakukan pengamatan lanjutan tentang biomassa karbon mikroorganisme tanah (C-mik) untuk dapat mengetahui pengaruh sistem pengolahan tanah dan aplikasi mulsa terhadap C-mik dalam jangka panjang serta dilakukannya analisis C/N rasio pada mulsa bagas karena dimungkinkannya C/N rasio pada mulsa bagas telah berubah.


(1)

diterapkan di PT GMP yaitu sebanyak 3 kali pengolahan menggunakan bajak. Pengendalian gulma dilakukan dengan cara mekanik dan sisa tanaman gulma dibuang dari petak percobaan.

Semua plot percobaan diberikan BBA (5:3:1) sebanyak 80 t ha-1 dan pupuk dengan dosis yang biasa diaplikasikan di PT. GMP yaitu 300 kg Urea ha-1, 200 kg TSP ha-1, dan 300 kg MOP (Muriat of Potash) ha-1. Aplikasi BBA disesuaikan dengan perlakuan sistem pengolahan tanah, yaitu : pada petak olah tanah intensif BBA diaplikasikan dengan cara diaduk dengan tanah, sedangkan pada tanpa olah tanah BBA disebarkan diatas tanah seperti mulsa bagas, karena tanah tidak diolah. Pupuk diberikan sebanyak 2 kali, pertama sebagai pupuk dasar yang diaplikasikan sehari sebelum penanaman, dengan dosis 150 kg Urea ha-1, 200 kg TSP ha-1 dan 150 kg MOP ha-1. Pemupukan susulan dilakukan dua bulan setelah pemupukan pertama yaitu 150 kg Urea ha-1 dan 150 kg MOP ha-1.

3.5.2 Pengambilan Contoh Tanah

Contoh tanah diambil dengan menggunakan bor tanah dari 12 titik pada masing-masing plot percobaan (Gambar 2) dengan kedalaman 20 cm dan kemudian dikompositkan. Contoh tanah diambil secara melingkar dengan titik tengah plot sebagai pusatnya, empat titik berjarak 3 m dari pusat dan delapan titik berjarak 3 m dari titik pertama (Susilo dan Karyanto, 2005 yang dikutip oleh sucipto, 2011). Pengambilan contoh awal dilakukan sebelum perlakuan diberikan yaitu pada awal bulan April 2012. Pengambilan contoh tanah kedua dilakukan pada pertengahan bulan Juni 2012 dengan titik pusat pengambilan contoh bergeser kearah selatan


(2)

± 1 m, hal ini dikarenakan lubang bekas titik pengambilan contoh tanah awal belum menutup secara sempurn..

Gambar 2. Tata letak pengambilan contoh tanah

Keterangan : = titik pusat

= titik pengambilan contoh tanah

3.5.3 Persiapan Contoh Tanah

Contoh tanah diambil dari masing – masing plot sebanyak 500 g, kemudian dimasukan kedalam kantong plastik dan diberi label (perlakuan, kelompok, hari dan tanggal). Setelah itu tanah dimasukan ke dalam kulkas (freezer) dikarenakan análisis tidak dilakukan langsung setelah pengambilan contoh tanah. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menghentikan aktivitas mikroorganisme sementara, sehingga kondisi mikroorganisme dalam tanah diharapkan tidak berubah.

3 m 3 m


(3)

3.5.4 Pengamatan

a. Variabel utama

Variabel utama yang diamati yaitu biomassa mikroorganisme tanah (C-mik) dengan menggunakan metode fumigasi-inkubasi (Jenkinson dan Powlson 1976) dengan sedikit modifikasi. Proses pelaksanaan analisis yaitu tanah lembab (setara dengan 100 gram berat kering oven) ditempatkan dalam gelas beaker 50 ml. Tanah tersebut kemudian difumigasi menggunakan kloroform (CHCl3) sebanyak 30 ml dalam desikator yang telah diberi tekanan 50 cm Hg selama 48 jam. Sebanyak 5 gram tanah inokulan diikat rapat dan dimasukkan ke dalam lemari pendingin.

Setelah tanah difumigasi selama 48 jam, tanah dibebaskan dari CHCl3 di bawah tekanan 30 cm Hg, kemudian dimasukkan ke dalam toples berukuran 1,5 liter bersama dua botol film, satu botol film berisi 10 ml KOH 0,5 N dan satu botol film berisi 10 ml aquades (Gambar 3). Kemudian ditambahkan 5 g tanah inokulan (tanah segar) yang telah dikeluarkan dari lemari pendingin selama setengah hari (±5 jam) sebagai proses aklimatisasi. Kedua sampel tanah diinkubasi pada suhu 250 C selama 10 hari. Kuantitas C-CO2 yang diserap dalam alkali ditentukan dengan titrasi. Kemudian indikator phenolphtalein ditambahkan sebanyak 2 tetes pada beaker berisi KOH dan dititrasi dengan HCl 0,1 N hingga warna merah hilang. Selanjutnya dititrasi lagi dengan HCl setelah ditambahkan 2 tetes metil orange hingga warna kuning berubah menjadi merah muda, dan jumlah HCl yang digunakan dicatat.


(4)

Sedangkan untuk tanah non-fumigasi menggunakan 100 gram tanah berat kering oven, tanah dimasukkan ke dalam toples yang berukuran 1 liter yang bersama dua botol film, satu botol film berisi 10 ml KOH 0,5 N dan satu botol film berisi 10 ml aquades, tanpa penambahan tanah inokulan. Toples tersebut ditutup dengan

menggunakan lakban dan diinkubasi pada suhu 25oC selama 10 hari. Pada akhir masa inkubasi kuantitas C-CO2 yang dihasilkan dalam alkali ditentukan dengan cara titrasi (sama dengan contoh tanah fumigasi).

Gambar 3. Skema pelaksanaan inkubasi tanah penentuan kadar KOH yang ada dalam toples yang nantinya untuk keperluan titrasi.

Reaksi pada saat di dalam toples (inkubasi selama 10 hari): 2KOH + CO2  K2CO3 + H2O

Reaksi pada saat dititrasi oleh HCl dengan indikator Phenolphtalein: K2CO3 + HCl  KHCO3 + KCl

Reaksi pada saat dititrasi oleh HCl dengan indikator Metil Orange: KHCO3 + HCL  CO2 + KCl + HCl

10 ml aquades

100 g tanah 10 ml 0,5 N


(5)

Biomassa mikroorganisme tanah dihitung dengan rumus akhir :

C-mik = (mg CO2-C kg-1 10 hari)fumigasi - (mg CO2-C kg-1 10 hari)nonfumigasi

Kc

mg CO2- C kg-1 10 hari = a-b x t x 120 n

Keterangan :

a = ml HCl untuk contoh tanah b = ml HCl untuk blanko n = waktu inkubasi (hari) t = normalitas HCl

kc = 0,41 (Veroney dan Paul, 1984 dalam Utami, 2004)

b. Variabel Pendukung

Sedangkan variabel pendukung yang diamati yaitu :

a. Kadar C-organik (metode Walkley & Black dalam Thom dan Utomo, 1991) b. N-total (metode Kjeldahl dalam Thom dan Utomo, 1991)

c. pH tanah (metode elektrometrik)

d. Kelembaban tanah (diukur dengan Soil Moisture Tester) e. Suhu tanah (diukur dengan Soil Temperature Tester)


(6)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Sistem pengolahan tanah serta pemberian mulsa bagas pada pertanaman tebu tidak mempengaruhi C-mik baik pada sembilan bulan dan 12 bulan setelah tanam.

2. Tidak terdapat interaksi antara sistem pengolahan tanah dan pemberian mulsa bagas pada sembilan bulan dan 12 bulan setelah tanam terhadap C-mik. 3. Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada biomassa C-mik terhadap

perlakuan aplikasi mulsa dan yang tanpa mulsa.

4. Tidak terdapat korelasi antara C-organik, N-total, kelembaban, pH, serta suhu dengan C-mik.

5.2Saran

Dari hasil penelitian disarankan untuk melakukan pengamatan lanjutan tentang biomassa karbon mikroorganisme tanah (C-mik) untuk dapat mengetahui pengaruh sistem pengolahan tanah dan aplikasi mulsa terhadap C-mik dalam jangka panjang serta dilakukannya analisis C/N rasio pada mulsa bagas karena dimungkinkannya C/N rasio pada mulsa bagas telah berubah.


Dokumen yang terkait

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) TAHUN KE 2

0 18 54

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) RATOON KE-2

2 9 58

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP RESPIRASI TANAH PADA LAHAN PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) AKHIR RATOON KEDUA DAN AWAL RATOON KETIGA

0 6 50

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP RESPIRASI TANAH PADA LAHAN PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) AKHIR RATOON KEDUA DAN AWAL RATOON KETIGA

2 14 44

PENGARUH PENGOLAHAN TANAH DAN PEMBERIAN MULSA BAGAS TERHADAP BIOMASSA KARBON MIKROORGANISME TANAH (C-MIK) PADA LAHAN PERTANAMAN TEBU PT. GMP TAHUN KETIGA

0 5 44

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN PEMBERIAN MULSA BAGAS PADA LAHAN TEBU PT. GMP RATOON KE-3 TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH SERTA POPULASI DAN KEANEKARAGAMAN MESOFAUNA TANAH

1 6 46

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH PADA LAHAN PERTANAMAN TEBU TAHUN KE-5

1 7 49

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP BIOMASSA KARBON MIKROORGANISMETANAH (C-MIK) PADA LAHAN PERTANAMANTEBU (Saccharum officinarum L.) TAHUN KE-5

0 9 52

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP RESPIRASI TANAH PADA LAHAN PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L) AKHIR RATOON KEDUA DAN AWAL RATOON KETIGA

0 0 5

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP INFILTRASI PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) RATOON KEDUA

0 0 7