PERSPEKTIF PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP BARANG BUKTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN

(1)

BARANG BUKTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA

DI BIDANG KEHUTANAN

Oleh :

FERARI QADAFI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Studi Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(2)

ABSTRAK

PERSPEKTIF PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP BARANG BUKTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA

DI BIDANG KEHUTANAN

Oleh

Ferari Kadafi

Ketentuan Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan menyatakan: “Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang digunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk negara”. Penerapan undang-undang ini menimbulkan konsekuensi bahwa semua hasil hutan dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang kehutanan dirampas untuk negara. Padahal dalam kenyataan tidak semua alat-alat terutama alat angkut berupa kendaraan truck yang mengangkut hasil tindak pidana di bidang kehutanan adalah milik para pelaku kejahatan atau milik yang berhubungan atau mempunyai sebab akibat dengan kejahatan (causal verband), misalnya kendaraan truck yang digunakan dalam tindak pidana di bidang kehutanan disewa dari pemilik yang tidak tahu menahu kendaraannya akan digunakan untuk tindak pidana atau kendaraan truck yang dibeli dari leasing dimana kepemilikan kendaraan truck tersebut adalah milik perusahaan pembiayaan, sehingga dengan dirampasnya untuk negara kendaraan truck tersebut akan merugikan pemilik sebenarnya.

Masalah dalam penelitian adalah: (1) Bagaimana konstruksi putusan pengadilan terhadap barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kehutanan? (2) Bagaimana perspektif putusan pengadilan terhadap barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kehutanan?

Penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dan lapangan. Analsis data dilakukan secara deskriptif analitis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana di bidang kehutanan yang mengembalikan barang bukti yang digunakan melakukan tindak pidana di bidang kehutanan dengan alasan iktikad baik adalah tidak berdasar konstruksi hukum yang logis. Terhadap perkara dimana barang bukti dapat dikembalikan kepada yang berhak/pemiliknya berdasarkan


(3)

konstruksi hukum bahwa pemilik tidak terbukti melakukan permufakatan jahat/terlibat atau hubungan kausalitas (causal verband) dalam tindak pidana.

Perspektif putusan pengadilan terhadap barang bukti perkara tindak pidana di bidang kehutanan adalah dengan menggunakan konstruksi hukum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu ketentuan KUHAP memberikan perlindungan terhadap pemilik barang bukti dalam perkara pidana sepanjang peraturan perundang-undangan tidak menentukan lain. Oleh karena UU Kehutanan menentukan bahwa barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kehutanan dapat dirampas untuk negara atau untuk dimusnahkan, maka seyogianya hakim merampas barang bukti untuk negara apabila pelaku adalah juga pemilik barang bukti, tetapi apabila barang bukti adalah milik orang lain yang tidak terlibat dalam tindak pidana (tidak ada permufakatan jahat antara pelaku dengan pemilik barang bukti) atau hubungan kausalitas (causal verband) maka barang bukti dapat dikembalikan pada yang berhak/pemilik barang bukti.


(4)

Judul Tesis : PERSPEKTIF PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP BARANG BUKTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN

Nama Mahasiswa : Ferari Kadafi Nomor Pokok Mahasiswa : 0722011078 Program Kehususan : Hukum Pidana

Program Studi : Program Pasca Sarjana Magister Hukum Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

Dosen Pembimbing Pembimbing I

Dr. Maroni, S.H., M.H.

NIP. 19600310 198702 1 002

Pembimbing II

Eko Raharjo, S.H., M.H.

NIP. 19610406 198903 1 003

MENGETAHUI

Ketua Program Pascasarjana

Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.H.


(5)

MENGESAHKAN

Tim Penguji ...

Pembimbing I : Dr. Maroni, S.H., M.H. ...

Pembimbing II : Eko Raharjo, S.H., M.H. ...

Penguji : Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H. ...

Penguji : Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H. ...

Penguji : Dr. Erna Dewi S.H., M.H. ...

1. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003 2. Direktur Program Pasca Sarjana

Prof. Dr. Sudjarwo, M.S. NIP. 19530528 198103 1 002


(6)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa :

1. Tesis dengan judul Perspektif Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Dalam Perkara Tindak Pidana di Bidang Kehutanan adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut dengan plagiarisme. 2. Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada

Universitas Lampung.

Atas pernyataan ini apabila dikemudian hari ditemukan adanya ketidakbenaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya, saya bersedia dan sanggup dituntut seeesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, September 2013 Pembuat Pernyataan

Ferari Qadafi, S.I.Kom NPM. 0722011078


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Masalah dan Ruang Lingup ... 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

1. Tujuan Penelitian ... 9

2. Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Teori dan Konseptual ... 10

1. Kerangka Teori ... 10

2. Konseptual ... 18

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana ... 21

1. Definisi dan Unsur-Unsur Tindak Pidana... 22

2. Subjek Hukum ... 23

B. Prinsip-Prinsip Dasar Pengelolaan Sumber Daya Alam Hutan (SDAH) ... 21

C. Prinsip Dasar Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati ... 25

D. Faktor Penyebab Timbulnya Kejahatan ... 27

E. Kebijakan Kriminal Penanggulangan Kejahatan ... 30

F. Tujuan Pemidanaan ... 35

a. Teori Absolut/Retributif ... 37

b. Teori Tujuan/Relatif ... 41


(8)

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah ... 52

B. Sumber dan Jenis Data ... 52

1. Data Sekunder ... 53

2. Data Primer ... 54

C. Populasi dan Sampel ... 54

D. Pengumpulan Data ... 55

E. Alat Pengumpulan Data ... 55

F. Perubahan dan Analisis Data ... 56

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Konstruksi Hukum Hakim dalam Putusan Pengadilan terhadap Barang Bukti Perkara Tindak Pidana di bidang Kehutanan... 57

B. Perspektif Putusan Pengadilan Mengenai Barang Bukti Perkara Tindak Pidana di bidang Kehutanan ... 66

BAB V. PENUTUP A. Simpulan ... 72

B. Saran ... 73


(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia hidup di bumi tidak sendirian, melainkan bersama makhluk lain, yaitu tumbuhan hewan dan jasad renik. Makhluk hidup yang lain itu bukanlah sekedar kawan hidup yang hidup bersama secara netral atau pasif terhadap manusia, melainkan hidup manusia itu terkait erat pada mereka. Tanpa mereka manusia tidaklah dapat hidup. Kenyataan ini dengan mudah dapat kita lihat dengan mengandaikan di bumi ini tidak ada tumbuhan dan hewan dimana manusia memerlukan oksigen dan makanan. Sebaliknya seandainya tidak ada manusia, tumbuhan, hewan dan jasad renik akan dapat melangsungkan kehidupannya seperti terlihat dari sejarah bumi sebelum adanya manusia. Oleh karena itu, anggapan bahwa manusia adalah makhluk yang paling berkuasa sebenarnya tidak benar. Seyogianya kita menyadari bahwa kitalah yang membutuhkan makhluk hidup yang lain untuk kelangsungan hidup kita dan bukannya mereka yang membutuhkan kita untuk kelangsungan hidup mereka.

Manusia bersama tumbuhan, hewan dan jasad renik menempati suatu ruang tertentu. Kecuali makhluk hidup, dalam ruang itu terdapat juga benda tak hidup, seperti udara yang terdiri atas bermacam gas, air dalam bentuk uap, cair dan padat, tanah dan batu. Ruang yang ditempati suatu makhluk hidup bersama


(10)

dengan benda hidup dan tak hidup didalamnya disebut lingkungan hidup makhluk tersebut. Untuk selanjutnya dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah lingkungan hidup manusia, kecuali apabila ada keterangan lain.

Sifat lingkungan hidup ditentukan oleh bermacam-macam faktor. Pertama, oleh jenis dan jumlah masing-masing jenis unsur lingkungan hidup tersebut. Kedua, hubungan atau interaksi antara unsur dalam lingkungan hidup itu. Ketiga, kelakuan atau kondisi unsur lingkungan hidup. Keempat, faktor non material seperti suhu, cahaya dan kebisingan.1

Dalam lingkungan hidup terdapat hubungan erat antara manusia dengan alam sekitarnya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Undang-Undang 1945) dan Amandemennya merupakan Dasar dari segala sumber hukum. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Salah satu Undang yang menjabarkan tentang kekayaan alam ialah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Undang-Undang-Undang-Undang Kehutanan). Di dalam Undang-Undang ini mengatur antara lain fungsi hutan, upaya pelestarian hutan, perlindungan hutan dan pemanfaatan hutan oleh karena hutan merupakan modal dasar pembangunan yang perlu dipertahankan keberadaannya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.

1

Otto Soemarwoto, 1997, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Bandung, hlm 53.


(11)

Hutan sebagai sumber alam yang memberikan manfaat. Manfaat tersebut mutlak dibutuhkan oleh umat manusia dan yang merupakan salah satu unsur pertahanan nasional yang harus dilindungi guna kesejahteraan rakyat secara lestari. Diantara manusia dengan hutan dan lingkungan alamnya ada suatu keterkaitan yang erat di dalam upaya manusia memanfaatkannya untuk kesejahteraan hidupnya. Keterkaitan dan keselarasan hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya dapat dipahami dari kedudukan alam sebagai tempat hidup dan yang memberi hidup bagi manusia itu sendiri. Dalam hubungan ini dibutuhkan sikap yang tertentu dari manusia yang tidak hanya menganggap lingkungan alam sebagai objek yang menjadi sumber kehidupan melainkan sebagai sesuatu yang telah memberikan hidup bagi manusia.

Uraian di atas memberikan deskripsi bahwa manusia dalam hidupnya mempunyai hubungan secara bertimbal balik dengan lingkungannya. Manusia dalam hidupnya baik secara pribadi maupun sebagai kelompok masyarakat selalu berinteraksi dengan lingkungan dimana ia hidup dalam arti manusia dengan berbagai aktivitasnya akan mempengaruhi lingkungannya dan perubahan lingkungan termasuk perubahan fungsi hutan akan mempengaruhi kehidupan manusia.2

Hutan merupakan salah satu modal pembangunan bangsa karena antara manusia dengan hutan sebagai sumber daya potensial itu ada keterkaitan dalam rangka manusia memanfaatkannya untuk kesejahteraan hidupnya. Pembangunan yang dilaksanakan tersebut tentu saja mau tidak mau selalu mengakibatkan

2

N.Daldjoeni dan Suyitno, 1982, Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan, Alumni, Bandung, hlm 157.


(12)

berbagai perubahan baik itu yang positif maupun yang negatif, yang terpenting diantaranya perubahan sosial kemasyarakatan yang juga memberikan dampak yang tidak sedikit bagi masyarakat itu sendiri. Perubahan sosial yang diusahakan dalam membangun demi tercapainya kemajuan masyarakat mengandung tiga sub proses yakni: utilisasi, ektalisasi dan apresiasi. Utilisasi menyangkut berbagai usaha pemanfaatan berbagai sumber daya alam dilengkapi lagi dengan sumber daya manusia berupa aneka peradaban dan penemuan baru. Ektalisasi bertalian erat dengan pemerataan hasil material dan nilai sosial seperti ilmu pengetahuan, seni dan interaksi manusia seperti kewajiban, kesempatan kerja serta kesenangan. Ataupun apresiasi penafsiran terhadap berbagai hal yang dinyatakan berupa peristilahan nilai. Dengan menyaksikan dan menghayati apa yang terjadi di sekitarnya manusia mengerti makna yang tersembunyi di belakangnya.3

Pembangunan dengan memanfaatkan sumber daya alam berupa hutan yang ada ini haruslah dengan perencanaan yang dilakukan dengan arif dan bijaksana, tetapi hal ini seringkali menjadi berubah seiring terjadinya pertambahan penduduk yang sangat tinggi, meningkatnya pengangguran, kemiskinan maupun pembangunan yang tidak merata sehingga mendorong terjadinya over eksploitasi terhadap pemanfaatan sumber daya alam berupa hutan tersebut. Persediaan sumber alam yang terbatas merupakan suatu kendala bagi peningkatan produksi dalam pembangunan. Di samping itu peningkatan penawaran tenaga kerja mendorong keharusan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di berbagai sektor, namun keterbatasan kesempatan kerja mendorong orang mencari tanah baru dengan pembukaan hutan. Eksploitasi hutan skala besar secara

3


(13)

komersial selama ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya pendanaan dari sektor kehutanan. Alasannya, proyek berbasis hutan memerlukan modal yang sangat besar, bukan saja untuk membeli peralatan dan mesin, tetapi juga membayar biaya menebang kayu, memproses dan mengangkut produk akhir ke pasar.4

Over eksploitasi itu mula-mula dimaksudkan untuk mendapatkan sumber alam sebanyak-banyaknya untuk memperpanjang hidup manusia, tetapi akhirnya mendatangkan malapetaka bagi manusia itu sendiri. Over eksploitasi terhadap hutan akan menyebabkan kehilangan hutan yang kebanyakan terjadi karena praktek industri perkayuan yang berlebihan, pembalakan liar (illegal logging), ekspansi lahan perkebunan dan pertanian serta pemukiman, di samping karena masalah kebijakan yang kurang mendukung kelestarian hutan dan kegagalan penegakan hukum bidang kehutanan. Pemanfaatan hasil hutan tidak saja dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, tetapi juga oleh masyarakat di daerah lain yang memerlukan hasil hutan tersebut untuk proses pelaksanaan pembangunan di daerahnya. Untuk itu hasil hutan itu perlu diangkut dan dibawa dengan alat transportasi agar mempermudah dan mempercepat sampai di tujuan. Pengangkutan di laut maupun di darat yang dalam fungsinya antara lain mengangkut barang-barang dari suatu tempat ke tempat lain, dalam pelaksanaannya kemungkinan menghadapi bahaya yang besar yang setiap saat dapat mengancam terhadap barang-barang yang diangkut ataupun terhadap alat-alat yang digunakan untuk mengangkut barang-barang itu. Bahaya yang ditimbulkan tersebut dapat disebabkan oleh adanya kelalaian dari pengangkut/pengemudi sehingga mengakibatkan kecelakaan maupun adanya

4

R.M. Gatot Soemartono, 1991, Mengenal Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 147.


(14)

kesengajaan pemilik barang yang menyembunyikan identitas barang yang dimuatnya. Untuk itu regulasi bidang kehutanan mulai dari penebangan, pengolahan, pengangkutan dan pemanfaatannya harus dibuat sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat sesuai prinsip negara hukum regulasi tersebut harus dalam bentuk tertulis. Regulasi di bidang kehutanan sangat diperlukan sekali karena hutan tropis di wilayah Republik Indonesia sangat luas serta kaya akan flora dan fauna. Oleh karena itu pemanfaatannya baik itu hasil hutan maupun apa yang ada di dalamnya perlu diatur dalam bentuk tertulis dalam suatu peraturan perundang-undangan, hal ini mengingat prinsip negara hukum yang kita anut. Pengaturan itu juga menyangkut beberapa perbuatan yang dilarang dalam bidang kehutanan yang disebut dengan tindak pidana di bidang kehutanan.

Berdasarkan prinsip negara hukum di atas, diundangkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Undang-Undang Kehutanan) yang menentukan beberapa tindak pidana di bidang kehutanan, yaitu:

1. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang. Pasal 50 ayat (3) huruf e jo Pasal 78 ayat (5).

2. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. Pasal 50 ayat (3) huruf f jo Pasal 78 ayat (5).


(15)

3. Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. Pasal 50 ayat (3) huruf h jo Pasal 78 ayat (7).

Ketentuan Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang Kehutanan menyatakan: “Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang digunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dirampas untuk negara”.

Penerapan Undang-Undang ini menimbulkan konsekuensi bahwa semua hasil hutan dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang kehutanan dirampas untuk negara. Padahal dalam kenyataan tidak semua alat-alat terutama alat angkut berupa kendaraan truck yang mengangkut hasil tindak pidana di bidang kehutanan adalah milik para pelaku kejahatan atau milik yang berhubungan atau mempunyai sebab akibat dengan kejahatan (causal verband), misalnya kendaraan truck yang digunakan dalam tindak pidana di bidang kehutanan disewa dari pemilik yang tidak tahu menahu kendaraannya akan digunakan untuk tindak pidana atau kendaraan truck yang dibeli dari leasing dimana kepemilikan kendaraan truck tersebut adalah milik perusahaan pembiayaan, sehingga dengan dirampasnya untuk negara kendaraan truck tersebut akan merugikan pemilik sebenarnya.

Berdasarkan hasil survey, pada tahun 2012 di Pengadilan Negeri Sukadana Kabupaten Lampung Timur terdapat beberapa perkara tindak pidana di bidang kehutanan, dimana putusan-putusan pengadilan tersebut memidana para pelaku


(16)

tindak pidana di bidang kehutanan dan merampas untuk negara barang bukti berupa alat angkut yang digunakan.

Perampasan alat angkut yang digunakan dalam tindak pidana kehutanan tidak menjadi masalah apabila alat angkut tersebut adalah milik dari pelaku tindak pidana atau milik dari pelaku yang tidak mempunyai hubungan sebab akibat (causal verband) dengan tindak pidana, dimana pemilik kendaraan mempunyai permufakatan jahat dengan pelaku kejahatan. Tetapi, apabila pemilik kendaraan tidak berhubungan dengan tindak pidana, maka perampasan kendaraan akan menimbulkan kerugian padanya yang bertentangan dengan ketentuan hak milik yang terdapat dalam KUHPerdata dan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 “Hak untuk dilindungi hukum agar hak milik pribadi tidak diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Oleh karena itu, perlu ada kajian mengenai suatu putusan pengadilan yang tidak serta merta merampas untuk negara alat angkut sebagai barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kehutanan, karena kepemilikan barang bukti tersebut perlu dipertimbangkan sebagai milik terdakwa yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau milik pihak lain yang tidak tahu menahu barang miliknya digunakan untuk melakukan kejahatan atau yang tidak mempunyai hubungan sebab akibat (causal verband) dengan tindak pidana di bidang kehutanan.

Atas uraian tersebut di atas diajukan penulisan tesis dengan judul

“Perspektif Putusan Pengadilan terhadap Barang Bukti dalam Perkara Tindak Pidana di Bidang Kehutanan”.


(17)

B. Masalah dan Ruang Lingkup

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, masalah dalam penulisan tesis ini adalah:

1. Bagaimana konstruksi putusan pengadilan terhadap barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kehutanan?

2. Bagaimana perspektif putusan pengadilan terhadap barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kehutanan?

Ruang lingkup penelitian adalah dalam bidang ilmu hukum pidana khususnya mengkaji tentang konstruksi putusan pengadilan terhadap barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kehutanan dan perspektif putusan pengadilan terhadap barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kehutanan, khususnya pada putusan Pengadilan Negeri Sukadana, Lampung Timur.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk menganalisis konstruksi putusan pengadilan terhadap barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kehutanan.

b. Untuk menganalisis perspektif putusan pengadilan terhadap barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kehutanan.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara teoretis penelitian ini berguna untuk menambah wawasan keilmuan peneliti dalam kajian hukum pidana khususnya mengenai tindak pidana di bidang kehutanan;


(18)

b. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi masukkan bagi aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum kehutanan di lapangan.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Untuk melukiskan esensi hak milik, Black’s Law Dictionary memberi pengertian hak milik sebagai berikut: “That which is peculiar or proper to any person; that which belongs exclusively to one. In the strict legal sense, an

aggregate of rights which are guaranteed and protected by the governmen.”

“Kata person tersebut, kendati secara umum diartikan sebagai seseorang (human being), tetapi dapat pula suatu organisasi atau kumpulan orang (labor organizations, partnerships, associations, corporations, legal representatives, trustees, trustees in bankruptcy, or receivers).” “Mengingat hak milik tidak hanya menyangkut orang, ....bahwa hak milik adalah hubungan antara subyek dan benda, yang memberikan kepada subyek untuk mendayagunakan dan/atau mempertahankan benda tersebut dari tuntutan pihak lain.5

Pengertian hak milik berangkat dari pengertian istilah hak yang terkait dengan keadilan dan hak asasi manusia. “Hak milik adalah hubungan seseorang dengan suatu benda yang membentuk hak pemilikan terhadap benda tersebut. Hak ini merupakan hak-hak in rem yang merupakan kepentingan yang dilindungi

5

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 186.


(19)

terhadap dunia pada umumnya, sehingganya meletakkan kewajiban kepada setiap orang termasuk negara untuk menghormati eksistensinya”.6

Dalam tataran normatif, hukum Indonesia mengatur hak milik dalam KUHPerdata (yang merupakan terjemahan atas Burgelijke Wetboek Belanda) Buku II tentang Kebendaan Pasal 570 menyatakan: Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan Undang-Undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas Undang-Undang dan dengan pembayaran ganti rugi.”

Selanjutnya, KUHPerdata Pasal 574 menyatakan: Tiap-tiap pemilik sesuatu kebendaan, berhak menuntut kepada siapapun juga yang menguasainya, akan pengembalian kebendaan itu dalam keadaan beradanya.”

Dengan mengacu kepada ketentuan KUHPerdata, menjelaskan bahwa hak milik sebagai bagian hak kebendaan memiliki dua karakter (sifat Dasar):

1. Merupakan hak mutlak, yaitu hak yang dapat dipertahankan terhadap siapapun juga;

2. Bersifat zaaksgevolg atau droit de suit yaitu mengikuti benda dimanapun dan dalam tangan siapapun juga barang itu berada7

6

Ibid, hlm 183 – 184.

7

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, hlm 25.


(20)

Lebih lanjut dijelaskan, hak milik adalah hak yang paling utama jika dibandingkan dengan hak-hak kebendaan lainnya. Karenanya yang berhak itu dapat menikmatinya dengan sepenuhnya dan menguasainya dengan sebebas-bebasny. Hak milik merupakan “droit inviolable et sacre”, yaitu hak yang tidak dapat diganggu gugat.8

Sebagai materialisasi perlindungan hukum pidana terhadap hak milik, WvS memasukkan masalah Vermogendelicten (Kejahatan atau Pelanggaran mengenai Kekayaan Orang) sebagai perbuatan dilarang menurut Wetboek van Strafrecht. Berdasarkan asas Konkordantie (Concordantie Beginsel) Wetboek van Strafrecht Belanda diberlakukan Hindia Belanda dan menjadi Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie. Setelah Indonesia merdeka, Wetboek van Strafrecht voor Nederlanndsch Indie menjadi ketentuan hukum pidana Indonesia vide Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946 dan namanya berubah menjadi “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” (KUHP), sampai sekarang KUHP merupakan norma hukum pidana positif di Indonesia.

Sebagaimana ketentuan dalam Code Penal Napoleon, yang kemudian diresepsi ke dalam Wetboek van Strafrecht Belanda, lalu di-receptie ke dalam KUHP, maka hukum pidana positif Indonesia yang terkodifikasi dalam KUHP juga memberikan perlindungan terhadap harta kekayaan yang merupakan hak milik pribadi atau badan hukum.

Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan KUHP Buku II tentang Kejahatan atau Pelanggaran mengenai Kekayaan Orang (Vermogendelicten).

8


(21)

Sedangkan dalam tataran norma hukum universal, eksistensi hak milik telah diakui secara tegas sehingganya menjadi ketentuan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Duham) tanggal 10 Desember 1948 Pasal 17 yang menyatakan:

Pasal 17 Deklarasi Universal:

(1) Setiap orang berhak mempunyai hak milik baik sendiri maupun bersama- sama.

(2) Tidak seorang pun boleh dirampas hak miliknya dengan semena-mena.

Dengan demikian haruslah dipahami bahwa tata hukum dunia telah memberi pengakuan sekaligus perlindungan yang pasti terhadap hak milik.

Secara nasional, norma pengakuan dan perlindungan atas hak milik telah masuk, sehingganya menjadi norma Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28G ayat (1) yang berbunyi:

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Pasal 28H ayat (4) yang menyatakan:

Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.”

Bertolak dari uraian di atas yang secara yuridis telah mengkristal dalam Ketentuan Duham Pasal 17 dan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4), maka pengakuan dan perlindungan atas hak milik


(22)

merupakan kewajiban asasi negara, serta menjadi suatu keniscayaan dalam tata Hukum Indonesia.

Tentang Syarat Pemidanaan dan Perampasan terhadap Hak Milik dijelaskan bahwa asas pertanggungjawaban pidana sebagai syarat untuk pengenaan pidana adalah adanya kemampuan bertanggungjawab, adanya kesalahan (schuld), dan adanya unsur melawan hukum (wederechtelijk). Dengan demikian, ada 4 syarat yang harus dipenuhi agar si pelaku dapat dijatuhkan pidana, yaitu:

1. Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh si pembuat; 2. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan; 3. Adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab;

4. Tidak adanya alasan pemaaf.9

Pendapat di atas juga dikemukakan oleh Moeljatno, yang mengatakan: “Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas, „tiada pidana tanpa kesalahan‟: Geen Straf Zonder Schuld).10

Selanjutnya, Jan Remmelink menguraikan bahwa syarat untuk menghukum seseorang sekaligus untuk memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan adalah: “Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada pelakunya.”

Dari sini muncul syarat umum untuk menjatuhkan pidana: “Perbuatan bersifat melawan hukum (wederrechtelijkheid), adanya kesalahan (schuld), dan

9

Hamzah Hatrik, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), Rajawali Pers, Jakarta, hlm 12.

10


(23)

adanya kemampuan bertanggung jawab menurut hukum pidana (toerekeningsvatbaar-heid)”.11

Selanjutnya, tentang syarat untuk melakukan perampasan atas harta hak milik pribadi warga negara, KUHP mengaturnya dalam Buku I tentang Ketentuan Umum yang meliputi beberapa Pasal yang memuat beberapa norma, yaitu:

(1) Perampasan atas harta hak milik pribadi harus memenuhi ketentuan Pasal 1 ayat (1) tentang asas legalitas.

Secara historis lahirnya asas legalitas dalam KUHP Pasal 1 ayat (1) a quo merupakan upaya manusia beradab untuk mendapatkan norma kepastian hukum yang dimulai pada abad ke XVIII. Norma kepastian hukum sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan penguasa yang dapat merugikan penduduk/warga negara. Dari uraian di atas, sesungguhnya telah tergambar jelas bahwa norma kepastian hukum sebagai materialisasi asas legalitas memang sangat fundamental sebagai pilar hukum pidana. Untuk itu, Indonesia memasukkan asas ini menjadi ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1). Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa syarat pertama perampasan atas hak milik warga negara hanya boleh dilakukan atas ketentuan Undang-Undang yang bersifat pasti.

(2) Perampasan atas harta hak milik pribadi harus memenuhi ketentuan KUHP Pasal 10 butir (b) : Perampasan atas harta hak milik pribadi merupakan pidana tambahan dari pidana pokok.

11

Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab UndangHukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-UndangHukum Pidana Indonesia,PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarrta, hlm 85.


(24)

KUHP Pasal 10 tentang Hukuman-hukuman menetapkan ada dua jenis pidana yang dapat di jatuhkan dalam sistem pemidanaan di Indonesia, yaitu: Pidana Pokok dan Pidana Tambahan.

KUHP Pasal 10: Hukuman-hukuman ialah: a. Hukuman-hukuman pokok:

1. Hukuman mati; 2. Hukuman penjara; 3. Hukuman kurungan; 4. Hukuman denda. b. Hukuman tambahan:

1. Pencabuatan beberapa hak yang tertentu; 2. Perampasan barang yang tertentu; 3. Pengumuman keputusan hakim.12

Terhadap adanya kategorisasi hukuman pokok dan hukuman tambahan, R. Soesilo menjelaskan: “Undang-Undang membedakan dua macam hukuman: Hukuman pokok dan hukuman tambahan. Bagi satu kejahatan atau pelanggaran hanya boleh dijatuhkan satu hukuman pokok, cumulatie lebih dari satu hukuman pokok tidak diperkenankan...hukuman tambahan gunanya menambah hukuman pokok, jadi tidak mungkin dijatuhkan sendirian”.13

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan syarat kedua untuk melakukan perampasan terhadap harta hak milik pribadi warga negara adalah:

1. Pemiliknya adalah pelaku tindak pidana yang telah dijatuhi hukuman pokok.

12

R. Soesilo, !986, Kitab Undang-UndangHukum Pidana, hlm 34.

13


(25)

2. Perampasan atas harta hak milik semata-mata merupakan tambahan atas hukum pokok yang telah dijatuhkan terhadap pemilik harta yang telah terbukti melakukan tindak pidana.

Selanjutnya, KUHP Pasal 39 ayat (1) secara tegas menetapkan:

“(1) Barang kepunyaan si terhukum, yang diperoleh dengan kejahatan atau yang dengan sengaja dipakai akan melakukan kejahatan, dapat dirampas.”

Dari rumusan KUHP Pasal 39 ayat (1) a quo, dapat dirumuskan syarat keempat untuk melakukan perampasan terhadap harta hak milik pribadi warga negara adalah “Harus terbuktinya adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kesalahan si pemilik harta yang dirampas dengan hukuman perampasan harta hak miliknya.

Artinya, norma pidana yang menetapkan adanya hukuman tambahan berupa perampasan harta hak milik harus dirumuskan secara tegas (rigid dan limitatif) dan tertutup, yang memuat syarat adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara tindak pidana yang dilakukan pemilik harta dengan harta hak miliknya yang dirampas untuk negara.

Causal verband itu fungsinya menjelaskan:

- Hubungan hukum antara pelaku tindak pidana dengan harta yang akan dirampas. Causal verband ini bersifat mutlak agar terpenuhi syarat hanya harta pelaku tindak pidana yang boleh dirampas untuk negara. Sebab, tidak boleh terjadi perampasan atas harta hak milik pelaku tindak pidana yang tidak terkait dengan tindak pidana yang dilakukannya.


(26)

- Hubungan harta pelaku tindak pidana dengan harta hak miliknya yang akan dirampas untuk negara.

Dari ketentuan KUHP Pasal 39 ayat (1) a quo didapat syarat keempat dan kelima untuk melakukan perampasan atas harta hak milik pribadi, yaitu:

“Barang yang dirampas haruslah hak milik si terhukum”.

“Harta hak milik si pelaku tindak pidana yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukannya”.

Dari uraian di atas, dapat dikatakan ada lima syarat untuk melakukan perampasan atas harta hak milik pribadi warga negara, yaitu:

1. Perampasan atas harta hak milik harus didasarkan pada ketentuan Undang-Undang yang pasti.

2. Perampasan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang.

3. Hanya harta hak milik si pelaku tindak pidana yang boleh dirampas.

4. Perampasan merupakan pidana tambahan dari pidana pokok yang telah dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana.

5. Harus dibuktikan adanya causal verband antara harta yang dirampas dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pemiliknya.

2. Konseptual

a. Perspektif adalah sudut pandang atau pandangan manusia dalam suatu masalah tertentu untuk memilih opini, kepercayaan, dan lain-lain terhadap pemecahan masalah tersebut.14

14

Wikipedia (Id.m.wikipedia.org/wiki/perpektif) diakses pada Hari Senin Tanggal 11 Februari, 2013


(27)

b. Putusan Pengadilan adalah putusan yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa surat putusan pemidanaan memuat a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"; b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa c. Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan berserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi Dasar penentuan kesalahan terdakwa; e. Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. Pasal peraturan perUndang-Undangan yang menjadi Dasar pemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan perUndang-Undangan yang menjadi Dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal; h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlah yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.


(28)

c. Barang bukti dalam perkara pidana ialah barang mengenai mana delik dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik misalnya pisau yang dipakai untuk menikam orang. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik, misalnya rumah yang dibeli dari uang negara hasil korupsi.15

d. Tindak Pidana adalah Perbuatan manusia yang melanggar peraturan perundang-undangan yang didalamnya mengancamkan sanksi pidana baik dilakukan dengan sengaja maupun lalai, dimana terhadap pelakunya dipersalahkan dan dapat dipertanggungjawabkan.16

e. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu (Undang- Undang Kehutanan).

15

Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm 100.

16


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

Kamus hukum karya Sudarsono (1992) memberikan pengertian bahwa hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum, dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.1

Dari pengertian diatas dapat dilihat 3 (tiga) unsur utama dalam hukum pidana yaitu :

1. Mengatur tentang perbuatan kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum.

2. Bahwa perbuatan tersebut dapat berdampak pada terganggunya kepentingan umum.

3. Bahwa perbuatan tersebut diancam dengan sanksi pidana.

Rusli Efendi memberikan definisi hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi berupa tindak pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

1


(30)

2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar tersebut.2

Lebih lanjut menurut Simons, membagi hukum pidana menjadi hukum pidana dalam arti objektif dan hukum pidana dalam arti subjektif.3

Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, artinya keseluruhan dari larangan dan keharusan yang atas pelanggarannya oleh negara atau oleh suatu masyarakat hukum telah dikaitkan dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa suatu penghukuman, dan keseluruhan dari peraturan di mana syarat-syarat mengenai akibat-hukum itu telah diatur serta keseluruhan dari peraturan yang mengatur masalah penjatuhan dan pelaksanaan dari hukumnya itu sendiri.

Sementara hukum dalam arti subjektif mempunyai dua pengertian, yaitu : 1. Hak dari negara dan alat-alat kekuasaannya untuk menghukum. Yakni

hak telah mereka peroleh dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif.

2. Hak dari negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan hukuman.

1. Definisi dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Pembuat Undang-Undang kita telah menggunakan perkataan “strafbareit” untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam Kitab

2

Effendi, Rusli. 1986. Azaz-Azaz Hukum Pidana. Makassar : Leppem-UMI. hlm 1.

3

Lamintang. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : PT. Citra Adiya Bakti. hlm 3.


(31)

Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbareit” tersebut.

Lamintang, memberikan penjelasan bahwa, perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan, sementara strafbaar berarti dapat dihukum. Sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.4

R. Abd. Djamali, menyatakan bahwa, pada Dasarnya tindak pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa hukum hanya dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya. Unsur-unsur itu terdiri dari :

1. Objektif

Yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian objektif disini adalah tindakannya.

2. Subjektif

Yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh Undang-Undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang).5

2. Subjek

Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban. Lebih singkat dapat dikatakan bahwa subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban.

4

Lamintang, Op.cit. hlm 181.

5

Djamali, R. Abdul. 2005. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada. hlm 175.


(32)

Istilah subjek hukum berasal dari terjemahan bahasa belanda rechtsubject atau law of subject (inggris). Secara umum rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban yaitu manusia dan badan hukum.

Dalam hukum pidana modern terlah teerjadi semacam kesepakatan diantara para ahli bahwa badan hukum merupakan subjek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat pula dimintai pertangggungjawaban secara pidana. Kecenderungan untuk mempertanggungjawabkan dan memidana badan hukum didorong oleh kenyataan bahwa badan hukum merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban sendiri, dapat melakukan perbuatan sendiri, terlepas dari pemilik atau pengurusnya. Dalam hukum pidana positif Indonesia kemungkinan untuk mempertanggungjawabkan badan hukum ini dimulai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7/Drt/1995 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup secara tegas mengatur tentang pertanggungjawaban pidana badan hukum dalam Pasal 45 dan 46. Penegasan ini mengakhiri perdebatan dan atau keraguan pertanggungjawaban pidana badan hukum dalam bentuk tindak pidana lingkungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup. Oleh karena itu sekarang sudah tidak ada lagi keragu-raguan untuk mempertanggungjawabkan secara pidana terhadap badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana lingkungan.

Meskipun secara yuridis telah ada kejelasan untuk mempertanggungjawabkan badan hukum secara pidana, akan tetapi dalam pelaksanaannya akan menemui banyak kendala. Mempertanggungjawabkan badan


(33)

hukum secara pidana, artinya juga harus menyediakan sistem sanksi yang cocok untuk diterapkan terhadap badan hukum. Sanksi tradisional berupa perampasan kemerdekaan menurut sifatnya tidak cocok dengan karakteristik badan hukum itu sendiri. Dilihat secara keseluruhan maka jenis sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum adalah berupa pidana denda dan tindakan tata tertib.6

B. Prinsip-Prinsip Dasar Pengelolaan Sumber Daya Alam Hutan (SDAH)

Sejak awal mendirikan negara, bangsa Indonesia sebenarnya sudah siap dengan rumusan mengenai bentuk kehidupan yang dicita-citakan dalam konteks hidup bernegara, yaitu mewujudkan kehidupan yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kalimat terakhir (berdasarkan Pancasila) inilah yang seharusnya digunakan untuk mengarahkan perjuangan bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan.

Para pendiri negara juga menyadari bahwa prinsip-prinsip dasar tersebut juga harus dijabarkan lebih konkret ke dalam aturan-aturan prilaku, agar tidak memunculkan interpretasi yang menyimpang dan pada akhirnya akan muncul dalam bentuk kebijakan penguasa yang menyimpang. Oleh sebab itu, prinsip-prinsip dasar tersebut perlu dijabarkan lebih lanjut ke dalam aturan-aturan dasar (Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar 1945), dan lebih konkret lagi ke dalam perundang-undangan yang lebih rendah. Hal ini memang harus dilakukan sebagai konsekwensi dari kesepakatan bangsa untuk mendirikan negara hukum. Betapa penting bagi bangsa Indonesia untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar tersebut. Pengalaman bangsa Indonesia selama berada di bawah kekuasaan rezim

6


(34)

pemerintahan Orde Baru, nyata-nyata telah menyeret bangsa Indonesia kebentuk kehidupan yang tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi. Dalam masa itu, konflik-konflik dalam semua aspek kehidupan dapat ditekan dengan menggunakan hukum yang bersifat refresif, serta atas dukungan mesin birokrasi pemerintahan yang bersifat otoriter.7

Pengalaman pahit yang dialami bangsa Indonesia selama berada di bawah kekuasaan rezim Orde Baru yang otoriter tersebut, merupakan bukti nyata dari tindakan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip dasar dalam mengarahkan kehidupan bangsa Indonesia.

Pada pertemuan-pertemuan ilmiah yang kerap digelar di era reformasi, yang secara khusus bertujuan membahas masalah pendistribusian sumber daya tanah, kerapkali terjadi perbedaan pendapat antar instansi terkait dalam hal menginterpretasikan hak dan kewajiban pemerintah dalam pengelolaan sumber daya tanah. Perbedaan pendapat ini kerapkali terjadi, karena masing-masing instansi terkait berpegang kepada produk perundang-undangan yang berlaku untuk masing-masing instansi yang bersangkutan.

Perbedaan pendapat di atas seharusnya tidak perlu terjadi, apabila pembuat Undang-Undang benar-benar mengerti kemana harus mencari acuan apabila hendak membuat aturan baru yang juga mengatur masalah pendistribusian sumber daya tanah. Lebih penting dari itu adalah pembuat Undang-Undang harus bertolak dari prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam konstitusi, karena statusnya sebagai sumber hukum tertinggi. Tanpa bertolak dari prinsip-prinsip dasar tersebut, maka

7

Muladi. 2002. Demokratisasi , Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesi., The Habibie Center. Jakarta.hlm 260.


(35)

akan muncul produk Undang-Undang Sektoral yang memberi peluang terjadinya praktek monopoli dalam penguasaan sumber daya tanah. Padahal, praktek monopoli dalam penguasaan sumber daya tanah jelas bertentangan dengan prinsip dasar yang diatur dalam konstitusi, yang kemudian ditegaskan dan dijabarkan kembali di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (disingkat Undang-Undang PA).

Praktek monopoli dalam penguasaan sumber daya tanah jelas bertentangan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang 45 jo Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang PA, yang secara tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya “dikuasai oleh negara” sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Kata dikuasai oleh negara tidak dapat diartikan bahwa negara dalam hal ini pemerintah dapat bertindak sebagai layaknya memiliki, melainkan sebatas kewenangan mengatur pemilikan, penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber daya tanah dengan tujuan untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran seluruh rakyat. Dengan demikian dibalik kewenangan mengatur pengelolaan, juga ada kewajiban bagi pemerintah untuk melindungi hak setiap warga negara untuk memperoleh manfaat dari sumber daya tanah yang dikuasai oleh negara. Apabila diperhatikan dengan seksama catatan-catatan mengenai peristiwa-peristiwa sejarah yang mewarnai proses pembentukan Undang-Undang PA, maka dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan Undang-Undang PA merupa-kan pencerminan dari pemikiran para pendiri Republik ini untuk menerapkan prinsip keadilan sosial di dalam setiap kebijakan pemerintah yang menyangkut masalah pengelolaan dan pendistribusian sumber daya tanah.


(36)

Pada masa rezim pemerintahan Orde Baru berkuasa, meskipun Undang-Undang PA tetap diperlakukan tetapi fungsinya yang semula dimaksudkan oleh pembentuknya (panitia perumus) sebagai Undang-Undang Pokok (payung) tidak lagi diterapkan. Dengan kata lain, Undang-Undang PA yang seharusnya difungsikan untuk mengarahkan berbagai kebijakan pemerintah yang menyangkut bidang agraria, banyak diabaikan pada masa orde baru. Hal ini dapat dilihat dari adanya produk-produk hukum di bidang pertanahan, yang substansinya banyak bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang ingin diterapkan melalui Undang-Undang PA.

Monopoli terhadap penguasaan sumber daya tanah di sektor kehutanan, juga banyak terjadi disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang memberi peluang kepada pengusaha (pemegang HPH) untuk menguasai tanah dengan luas yang tidak terbatas. Pelanggaran terhadap prinsip keadilan sosial banyak dilakukan oleh pengusaha di zaman orde baru, terutama menyangkut pembebasan tanah ulayat yang kerapkali dilakukan tanpa ganti rugi (recognisi). Jika pun, terdapat ganti rugi terhadap pembebasan tanah ulayat, tetapi prosesnya dilakukan dengan memanipulasi status tanah ulayat menjadi seolah-olah adalah milik perseorangan. Akibatnya, ganti rugi yang diberikan oleh pihak perusahaan atau pemerintah hanya diterima oleh sebagian kecil anggota masyarakat adat saja, karena ikut berkolusi dengan pengusaha dalam hal memanipulasi status tanah ulayat.

Peluang untuk mendapatkan hak penguasaan atas sumber daya tanah dengan cara memanipulasi status tanah ulayat menjadi hak perseorangan memang


(37)

Pada masa rezim pemerintahan Orde Baru berkuasa, meskipun Undang-Undang PA tetap diperlakukan tetapi fungsinya yang semula dimaksudkan oleh pembentuknya (panitia perumus) sebagai Undang-Undang Pokok (payung) tidak lagi diterapkan. Dengan kata lain, Undang-Undang PA yang seharusnya difungsikan untuk mengarahkan berbagai kebijakan pemerintah yang menyangkut bidang agraria, banyak diabaikan pada masa orde baru. Hal ini dapat dilihat dari adanya produk-produk hukum di bidang pertanahan, yang substansinya banyak bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang ingin diterapkan melalui Undang-Undang PA.

Monopoli terhadap penguasaan sumber daya tanah di sektor kehutanan, juga banyak terjadi disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang memberi peluang kepada pengusaha (pemegang HPH) untuk menguasai tanah dengan luas yang tidak terbatas. Pelanggaran terhadap prinsip keadilan sosial banyak dilakukan oleh pengusaha di zaman orde baru, terutama menyangkut pembebasan tanah ulayat yang kerapkali dilakukan tanpa ganti rugi (recognisi). Jika pun, terdapat ganti rugi terhadap pembebasan tanah ulayat, tetapi prosesnya dilakukan dengan memanipulasi status tanah ulayat menjadi seolah-olah adalah milik perseorangan. Akibatnya, ganti rugi yang diberikan oleh pihak perusahaan atau pemerintah hanya diterima oleh sebagian kecil anggota masyarakat adat saja, karena ikut berkolusi dengan pengusaha dalam hal memanipulasi status tanah ulayat.

Peluang untuk mendapatkan hak penguasaan atas sumber daya tanah dengan cara memanipulasi status tanah ulayat menjadi hak perseorangan memang


(38)

terbuka lebar, sebab pemerintah Orde Baru memang sengaja tidak memberikan perlindungan terhadap hak masyarakat (hak kolektif) adat terhadap tanah ulayat. Terbukti dengan tidak diadakannya pengaturan mengenai tatacara pendaftaran tanah ulayat. Setelah masuk ke dalam era reformasi, barulah pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN (selanjutnya disingkat “Permenag”) Nomor 5 Tahun 1999 tanggal 24 Juni 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat. Tanpa bermaksud menyepelekan manfaat Permenag Nomor 5 Tahun 1999 ini, tetapi dapat dikatakan bahwa penerbitan peraturan ini sangatlah terlambat, karena Permenag No 5/1999 ini baru diadakan setelah usia keberlakukan Undang-Undang PA mencapai lebih dari 38 Tahun. Memang, penerbitan Pemenag Nomor 5/1999 ini masih ada manfaatnya, yaitu untuk melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat. Itupun terhadap masyarakat daerah tertentu di Indonesia yang masih menggunakan pranata hukum adat dalam mengatur hubungan hukum antara anggota (hak perseorangan atau hak kolektif) masyarakat adat yang bersangkutan dengan tanah adat.

C. Prinsip Dasar Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati

Apabila reformasi diterjemahkan sebagai upaya sistematis bangsa Indonesia untuk menerapkan nilai-nilai demokrasi dalam penyeleng-garaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka usaha tersebut harus selalu bertolak dari prinsip-prinsip Dasar sebagaimana diuraikan di atas. Termasuk dalam menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Sumber Daya Alam Hutan (SDAH).


(39)

Dalam era reformasi ini, tuntutan agar masyarakat selalu dilibat-kan dalam pengambilan kebijakan tentunya harus mulai dilayani, termasuk keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan SDAH. Dengan demikian, pemerintah reformasi sudah harus menerapkan pendekatan baru dalam merumuskan kebijakan mengenai pengelolaan SDAH yang sesuai dengan tuntutan reformasi.

Pada masa pemerintahan Orde Baru pendekatan pengelolaan sumber daya hutan lebih cenderung kepada Manajemen Hutan Berbasis Negara (State Base Forest Management/SBFM). Pada era itu pengelolaan sumber daya hutan bersifat sentralistik. Berbagai kebijakan diputusakan oleh pemerintah pusat. Sedangkan, pemerintah daerah hanyalah sebagai representasi pemerintah pusat, yang tinggal melaksanakan juklak-juklak yang telah disusun tanpa harus menginterpretasikan lebih lanjut. Dinas-dinas kehutanan yang terletak di tingkat lokal lebih merupakan pelaksana-pelaksana yang setia daripada berperan sebagai pintu masuk bagi artikulasi aspirasi dan kepentingan masyarakat lokal yang seharusnya bisa dijadikan sebagai landasan kebijakan.

Upaya untuk memperbaharui pendekatan terhadap manajemen pengelolaan sumber daya hutan yang dipandang cocok dengan tuntutan reformasi, sebenarnya sudah sering dilontarkan oleh kalangan akademisi yaitu dengan memperkenalkan pendekatan baru yang berbasis pada komunitas lokal atau yang dapat dinamakan manajemen hutan berbasis masyarakat (Community Base Forest Management/CBFM). Harapannya adalah dengan pengelolaan hutan berbasis pada masyarakat lokal, tentunya akan ada pembagian hasil yang memadai antara berbagai stakeholders dibidang kehutanan, karena yang lebih dipentingkan


(40)

dengan menggunakan pendekatan ini adalah komunitas yang hidup di dalam atau di sekitar hutan. Jelaslah bahwa, CBFM ini tidak lain adalah jawaban atas tuntutan komunitas lokal melalui jargon demokratisasi pengelolaan sumber daya hutan agar diperoleh keadilan dan kesejahteraan sosial. Demokratisasi pengelolaan sumber daya hutan merupakan hasil resonansi dari demokratisasi bidang kehidupan politik baik pada tingkat global, regional, maupun lokal.

Penerapan pendekatan baru dalam pengelolaan sumber daya hutan atau yang dikenal dengan CBFM ini, tentunya memang menuntut perubahan sikap dari semua unsur yang terkait, artinya pemerintah tidak lagi boleh bersikap seolah-olah masyarakat sebagai ancaman bagi kelestarian fungsi kawasan hutan. Sebaliknya, masyarakat harus dapat diyakinkan, bahwa kebijakan pemerintah mengenai pengelolaan hutan berbasis masyarakat selalu menjanjikan keuntungan ditinjau dari berbagai aspek kehidupan.

Oleh sebab itu, kebijakan pengelolaan hutan sedapat mungkin menerapkan prinsip multiguna. Dengan kata lain, pengelolaan Tahura War selain bertujuan untuk melestarikan fungsi Tahura War, juga perlu dipikirkan segi kegunaannya yang lain yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat sekitar hutan.

D. Faktor Penyebab Timbulnya Kejahatan

Kesenjangan sosial ini merupakan salah satu penyebab munculnya kemiskinan struktural, yang dimaksud dengan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural meliputi kekurangan


(41)

fasilitas pemukiman, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi, kekurangan fasilitas untuk mengembangkan usaha dan mendapatkan peluang kerja dan kekurangan perlindungan hukum.8

Menurut W.A. Bonger, bahwa faktor penyebab terjadinya kejahatan adalah karena faktor yang ada dalam diri manusia sejak dia lahir, faktor lingkungan dan gabungan antara faktor antropologis dan lingkungan. Selanjutnya W.M.E Noach membagi sebab-sebab terjadinya kejahatan dalam tiga golongan yaitu: kejahatan itu adalah akibat dari sifat-sifat bakat tertentu dari pelaku kejahatan pada umumnya; kejahatan itu di sebabkan bukan dari sifat-sifat bakat yang terletak di dalam diri pelaku kejahatan, akan tetapi akibat dari keadaan luar yang mempengaruhi diri penjahat tersebut; kejahatan itu disebabkan baik oleh sifat, pembawaan dalam diri penjahat, maupun oleh keadaan-keadaan diluar yang mempengaruhi diri penjahat.9

Faktor penyebab timbulnya kejahatan dikemukakan oleh A. Quetelet mengatakan bahwa, faktor penyebab terjadinya kejahatan adalah karena pengaruh pendidikan, pekerjaan, kemiskinan, iklim dan perubahan musim.10 Terdapat beberapa teori yang mengemukakan faktor penyebab timbulnya kejahatan yaitu : a. Teori yang menitikberatkan pengaruh anthropologis. Teori ini menyatakan

adanya ciri-ciri individual yang karakteristik, dan ciri anatomis yang khas menyimpang. Dengan kata lain orang-orang kriminal itu menpunyai psikis yang sama dengan orang-orang primitif, dalam hal kemalasan, impulsivitas,

8

Alfian, Mely Tan dan Selo Sumarjan. 1980. Kemiskinan Struktural : Suatu Bunga Rampai, Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta, hlm 5.

9

R.Soesilo. 1985. Kitab Undang-UndangHukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politiea. Bogor. hlm26.

10


(42)

secara naik darah dan kegelisahan psikofisik. Semua sifat karakteristik ini menghambat mereka untuk menadaka penyesuaian diri terhadap peraturan-peraturan peradaban penyesuaian diri terhadap peraturan-peraturan-peraturan-peraturan peadaban dan uniformitas kesusilaan.

b. Teori yang menitikberatkan pada faktor sosial. Teori ini menyatakan bahwa paling menentukan yang mengakibatkan kejahatan ialah faktor-faktor eksternal atau lingkungan sosial dan kekuatan-kekuatan sosial. Bahwa perkembangan kuantitas dan kualitas jenis kejahatan tertentu di masyarakat dipengaruhi langsung oleh krisis ekonomi.

c. Teori yang menitikberatkan faktor biososiologis. Teori ini menyatakan timbulnya kejahatan itu disebabkan oleh kombinasi dan kondisi individu dan kondisi sosial. Pada suatu saat, unsur yang satu lebih berpengaruh daripada unsur lainnya. Bahwa rendahnya mental atau tidak dapatnya seseorang itu berfungsi/ berperan sosial secara baik dalam masyarakat juga merupakan salah satu sebab timbulnya kejahatan.

d. Teori susunan ketatanegaraan. Teori ini menyatakan bahwa struktur ketatanegaraan dan falsafah Negara itu turut menentukan ada dan tiadanya kejahatan. Jika susunan Negara baik dan pemerintahnya bersih, serta mampu melaksanakan tugas memerintah rakyat dengan adil, maka kejahatan tidak akan bisa berekambang. Sebaliknya, jika pemerintah korupsi dan tidak adil, maka banyak orang memenuhi kejahatan vitalnya dengan cara masing-masing yang inkonvensional dan jahat atau kriminal.

Mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan mengatakan bahwa kejahatan disebabkan oleh karena ketidak serasian pada diri individu, khususnya


(43)

mengenai hubungan timbal balik antara faktor-faktor ekspresif dengan kekuatan-kekuatan menentukan apakan di dalam memenuhi kebutuhan Dasarnya, manusia akan mematuhi norma dan prilaku teratur yang ada, atau akan menyeleweng sehingga menimbulkan gangguan pada ketertiban dan ketentraman kehidupan manusia. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa faktor-faktor penyebab kejahatan dapat dilihat dari dua segi, yaitu faktor individu dan faktor diluar individu yang saling bertemu, dimana yang satu dengan yang lain saling mempengaruhi dan kadang-kadang pula faktor ekternal memegang peranan utama dalam terjadinya kejahatan.11

E. Kebijakan Kriminal Penanggulangan Kejahatan

Kebijakan kriminal berasal dari istilah policy (Inggris) atau politiek (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah kebijakan kriminal dapat pula disebut dengan istilah politik kriminal. Dalam kepustakaan asing istilah politik kriminal sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek. Pengertian kebijakan atau politik kriminal dapat dilihat dari politik hukum maupun politik criminal.12

Menurut Sudarto, politik hukum adalah:

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa

11

Soerjono Soekanto. 1983. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali. Jakarta. hlm 204.

12

Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. hlm 27.


(44)

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang- undangan pidana yang paling baik. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana, yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan kata lain, dilihat dari sudut politik kriminal, politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum. Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik/kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).13

Upaya penanggulangan kejahatan lewat pembuatan Undang-Undang(hukum) pidana pada hakikatnya merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare), maka wajar apabila kebijakan atau politik hukum pidana merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social polecy). Kebijakan kriminal dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan merupakan salah satu kebijakan, selain kebijakan-kebijakan pembangunan lainnya (politik sosial). Barda Nawawi Arief menyatakan:

"Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial; ada keterpaduan (integral) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non-penal. Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan

13


(45)

sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Dengan demikian, di dalam pengertian "social policy" sekaligus tercakup di dalamnya "social wellfare polecy " dan "social defence policy ".14

Sejalan dengan pendapat tersebut, Sudarto mengemukakan tiga arti kebijakan kriminal, yaitu:

a. dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi Dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

b. dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukurn, termasuk didalamnya cara kerja dari Pengadilan dan Kepolisian;

c. dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perUndang-Undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-nonna sentral dari masyarakat.15

Politik kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. G. Peter Hoefnagels juga telah memberikan pengertian yang sama bahwa Criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime.

Upaya penanggulangan kejahatan dalam konsep Kebijakan kriminal (criminal polecy) sebagaimana dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels dapat ditempuh dengan:

1. Penerapan hukum pidana (criminal law application;

2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), dan

14

Barda Nawawi Arief. Op.cit. hlm 4.

15


(46)

3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media).16

Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non penal” (di luar hukum pidana). Dalam pembagian G. Peter Hoefnagels di atas, upaya-upaya yang disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukan dalam kelompok upaya “non

penal”.

Upaya penanggulangan kejahatan melalui sarana “penal” lebih menitik-beratkan pada sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “nonpenal” lebih menitikberatkan pada sifat

“preventive” (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.

Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. 17

Mengutip pendapat Marc Ancel, yang menyatakan bahwa sistem pemidanaan bukan hanya satu-satunya cara terbaik untuk menghadapi kejahatan, kejahatan bukanlah sesuatu yang terjadi mendahului sistem hukum pidana melainkan merupakan hasil dari pelaksanaan sistem hukum pidana tersebut, dan pelaku kejahatan bukanlah mahluk yang terasing dan berbeda dengan warga masyarakat lainnya.18

16

G. Peter Hoefnagels, 1969, The Other Side of Criminology, Kluwer Deventer, Holland, page 57.

17

Soedarto. Ibid. hlm 118.

18

Romli Atmasasmita. 1996. Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bina Cipta. Bandung. hlm 101.


(47)

Penegasan perlunya upaya penanggulangan kejahatan diintegrasikan dengan keseluruhan kebijakan sosial dan perencanaan pembangunan (nasional), antara lain dikemukakan oleh Sudarto:

Apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi segi-segi negatif dari perkembangan masyarakat dan modernisasi maka hendaknya dilihat dalam bagian keseluruhan politik kriminal atau social defence planning, dan inipun harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.19

Dari sudut politik kriminal, masalah strategis yang harus ditanggulangi ialah menangani masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Ini berarti, penanganan atau penggarapan masalah-masalah ini merupakan "posisi kunci dan strategis"dilihat dari sudut politik kriminal.

Upaya penanggulangan kejahatan yang integral mengandung arti, bahwa masyarakat dengan seluruh potensinya harus, dipandang sebagai bagian dari politik kriminal. Sehubungan dengan hal ini, Kongres PBB pun menekankan, bahwa "the over all organization of society should be considered as anti criminogenic" dan menegaskan bahwa "community relations were the basis for crime prevention programmes ". Oleh karena itu, dipandang perlu untuk membina dan meningkatkan efektivitas "extra legal system " atau "informal system " yang ada di masyarakat dalam usaha penanggulangan kejahatan, antara lain kerja sama dengan organisasi sosial dan keagamaan, lembaga-lembaga pendidikan dan organisasi volunteer yang ada di masyarakat. Sehubungan pemanfaatan "extra legal system " atau "informal system ", maka di dalam "Guiding Principles" yang

19


(48)

dihasilkan Kongres PBB ke-7 juga diberikan pedoman mengenai "traditional forms of social control".

Penggunaan sarana pidana dalam kebijakan kriminal, tiap masyarakat yang terorganisasi memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: (a) peraturan-peraturan hukum pidana, dan sanksinya; (b) suatu prosedur hukum pidana, dan (c) suatu mekanisme pelaksanaan (pidana). Dari uraian tersebut dalam paragraf ini lebih menekankan pada peraturan-peraturan pidana dan sanksinya berkaitan dengan kebijakan kriminal.

Kebijakan penal (penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat Undang-Undang, tetapi juga kepada Pengadilan yang menerapkan Undang-Undangdan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan Pengadilan. Salah satu kegiatan dalam kebijakan penal adalah tahap formulasi, dalam hal ini adalah pembaruan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy).

F. Tujuan Pemidanaan

Sejak dahulu kala atau lebih pasti lagi sejak zamannya Protagoras orang selalu mencari dan memperdebatkan tujuan pemidanaan. Di dalam Protagoras Plato sudah berbicara tentang pidana sebagai sarana pencegahan khusus maupun pencegahan umum. Demikian pula Seneca, seorang filosof Yunani yang terkenal, telah membuat formulasi yaitu "Nemo Prudens Punit Quia Peccatum Est, Sed Ne


(49)

Peccetur", yang artinya adalah: Tidak layak orang memidana karena telah terjadi perbuatan salah, tetapi dengan maksud agar tidak terjadi lagi perbuatan salah.

Demikian pula Jeremy Bentham dan sebagian besar penulis modern yang lain, selalu menyatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah dilakukannya kejahatan pada masa yang akan datang. Dilain pihak Imanuel Kant dan gereja Katolik sebagai pelopor menyatakan, bahwa pembenaran pidana dan tujuan pidana adalah pembalasan terhadap serangan kejahatan atas ketertiban sosial dan moral.20

Tujuan diadakan pemidanaan diperlukan untuk mengetahui sifat dan Dasar hukum dari pidana. Franz Von List mengajukan problematik sifat pidana di dalam hukum yang menyatakan bahwa "rechtsguterschutz durch rechtsguterverletzung" yang artinya melindungi kepentingan tetapi dengan menyerang kepentingan. Dalam konteks itu pula dikatakan Hugo De Groot "malum passionis (quod ingligitur) propter malum actionis" yaitu penderitaan jahat menimpa dikarenakan oleh perbuatan jahat.21

Dari pendapat-pendapat tersebut di atas, tampak adanya pertentangan mengenai tujuan pemidanaan, yakni antara mereka yang berpandangan pidana sebagai sarana pembalasan atau teori absolut (retributive/vergeldings theorieen) dan mereka yang menyatakan bahwa pidana mempunyai tujuan yang positif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen), serta pandangan yang menggabungkan dua tujuan pemidanaan tersebut (teori gabungan/verenigings theorieen).

20

Alf Ross. 1975. On Guilt Responsibility and Punishment, Steven and Scon .Ltd. London. page 48.

21

Bambang Poernomo. 1982. Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jogjakarta. hlm 27.


(50)

Muladi mengistilahkan teori tujuan sebagai teleological theories dan teori gabungan disebut sebagai pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan (theological retributivism) yang beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan yang plural, yang merupakan gabungan dari pandangan utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan, keadilan tidak boleh melalui pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk tujuan penderitaan itu sendiri dan pandangan retributivist yang menyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabila tujuan yang theological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran Berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, misalnya bahwa penderitaan pidana tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya diperoleh pelaku tindak pidana.22 Pada hakikatnya konsepsi dari teori-teori tentang tujuan pemidanaan tersebut tidak jauh berbeda, Oleh karenaya uraian mengenai teor-teori tentang tujuan tujuan pemidanaan yang akan diuraikan di bawah ini, menggunakan kedua istilah tersebut secara bersamaan sebagai berikut:

a. Teori Absolut/Retributif

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi Dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori menganggap sebagai Dasar hukum dari pidana atau tujuan pemidanaan adalah alam pikiran untuk pembalasan (vergeldings).

22


(51)

Di samping itu dikatakan pula oleh Johannes Andenaes, tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ialah "ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan" (to satisfy the claims of justice) sedangkan pengaruh-pengaruh yang menguntungkan adalah sekunder.23

Dalam pandangan penganut retributivism, pemidanaan atas perbuatan yang salah bersifat adil, karena akan memperbaiki keseimbangan moral yang dirusak oleh kejahatan. Menurut Kant keseimbangan moral ini dinyatakan dalam bentuk suatu perbandingan antara kesejahteraan dan perbuatan baik. Orang yang baik akan bahagia dan orang yang jahat akan menderita atas kelakuannya yang buruk.

Oleh karena itu. ketidakseimbangan akan terjadi bilamana seorang penjahat gagal untuk menerima penderitaan atas kejahatannya. Keseimbangan moral yang penuh akan tercapai, bilamana penjahat dipidana dan si korban mendapatkan kompensasi. Dalam hal ini keseimbangan antara kesejahteraan dan perbuatan tidak tercapai.24

Pada Dasarnya kecendrungan untuk membalas pada diri manusia adalah suatu gejala sosial yang normal. Tetapi manusia bukan binatang karena ia mempunyai pikiran dan perasaan. Manusia mempunyai persepsi dan jangkauan penglihatan yang jauh ke depan.

Menurut Nigel Walker, terdapat tiga pengertian mengenai pembalasan (retribution) yaitu:

23

Muladi dan Barda Nawawi, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hlm 11.

24


(52)

a. retaliatory retribution berarti dengan sengaja membebankan suatu penderitaan yang pantas diderita seorang penjahat dan yang mampu menyadari bahwa penderitaan itu akibat kejahatan yang dilakukannya;

b. distributive retribution berarti pembalasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang dibebankan dengaan sengaja terhadap mereka yang telah melakukan kejahatan. Mereka ini telah memenuhi persyaratan-persyaratan lain yang dianggap perlu dalam rangka mempertanggungjawabkan mereka terhadap bentuk-bentuk pidana;

c. quantitative retribution berarti pembalasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang mempunyai tujuan lain dari pembalasan sehingga bentuk-bentuk pidana itu tidak melampaui suatu tingkat kekejaman yang dianggap pantas untuk kejahatan yang telah dilakukan.25

Selanjutnya dikemukakan oleh Nigel Walker, para penganut teori retributif dapat dibagi dalam beberapa golongan, yaitu:

a. Penganut teori retributif yang murni (the pure retributivist) yang berpendapat bahwa pidana harus cocok dan sepadan dengan kesalahan si pembuat.

b. Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat pula dibagi dalam:

1) penganut teori retributif yang terbatas (the limiting retributivist) yang berpendapat: pidana tidak harus cocok/sepadan dengan kesalahan; hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan terdakwa;

25


(1)

61

dilakukan untuk mendapatkan dan mengarah kepada kedalaman data yang didapatkan dari informan. Untuk melakukan kegiatan ini maka dibuat pedoman wawancara. Wawancara mendalam (indepth study) dilakukan secara selektif terhadap sejumlah informan yang ditentukan/ditetapkan lebih dahulu Berdasarkan kemampuan dalam memberi informasi.

F. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan cara :

1. Sistematisasi data, yaitu menyusun kembali data yang telah diperoleh baik dengan cara mengolah data dari hasil jawaban kuesioner dan menyusun kembali data sesuai dengan klasifikasinya atau kelompoknya Berdasarkan persamaan dan perbedaan. Hal tersebut untuk menyeleksi data, mana yang sesuai dan tidak sesuai atau yang relevan dan yang tidak relevan dengan data yang diinginkan.

2. Analisis data selanjutnya dilakukan secara kualitatif, yaitu proses mengorga-nisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satu uraian Dasar sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan sesuai dengan tujuan penelitian. 3. Hasil dari analitis kualitatif kemudian disajikan secara deskripsi analitis,

dengan mengemukakan dan menemukan kategori-kategori yang berkaitan dengan suatu disiplin, tetapi dikembangkan dari suatu kategori yang ditemukan dan hubungan-hubungannya dengan data yang muncul.

4. Dari hasil analisis data tersebut dilakukan penarikan kesimpulan secara induktif, yaitu suatu cara berpikir dari hal-hal yang sifatnya umum diDasarkan atas fakta-fakta dan gejala kepada sifat yang khusus. Selanjutnya dari beberapa kesimpulan tersebut akan diajukan saran-saran.


(2)

89

V. PENUTUP

A. Simpulan

1. Putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana di bidang kehutanan yang mengembalikan barang bukti yang digunakan melakukan tindak pidana di bidang kehutanan dengan alasan iktikad baik adalah tidak berdasar konstruksi hukum yang logis. Terhadap perkara dimana barang bukti dapat dikembalikan kepada yang berhak/pemiliknya Berdasarkan konstruksi hukum bahwa pemilik tidak terbukti melakukan permufakatan jahat/terlibat atau hubungan kausalitas (causal verband) dalam tindak pidana.

2. Perspektif putusan pengadilan terhadap barang bukti perkara tindak pidana di bidang kehutanan adalah dengan menggunakan konstruksi hukum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu ketentuan KUHAP memberikan perlindungan terhadap pemilik barang bukti dalam perkara pidana sepanjang peraturan perundang-undangan tidak menentukan lain. Oleh karena Undang-Undang Kehutanan menentukan bahwa barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kehutanan dapat dirampas untuk negara atau untuk dimusnahkan, maka seyogianya hakim merampas barang bukti untuk negara apabila pelaku adalah juga pemilik barang bukti, tetapi apabila barang bukti adalah milik orang lain yang tidak terlibat dalam tindak pidana (tidak ada permufakatan jahat antara pelaku dengan pemilik barang


(3)

90

bukti) atau hubungan kausalitas (causal verband) maka barang bukti dapat dikembalikan pada yang berhak/pemilik barang bukti.

B. Saran

1. Perlunya hakim menggunakan yurisprudensi dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dalam hakim membuat pertimbangan dalam putusan pengadilan. 2. Perlunya hakim menggunakan konstruksi hukum yang logis berdasar

peraturan perundang-undangan selain wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrachman. 1986. Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia. Alumni. Bandung.

Alfian, Mely Tan dan Selo Sumarjan. 1980. Kemiskinan Struktural : Suatu Bunga Rampai, Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta.

Atmasasmita Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bina Cipta. Bandung.

Daldjoeni. N dan Suyitno, 1982, Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan, Alumni, Bandung.

Djamali, R. Abdul. 2005. Pengantar Hukum Indonesia. PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta .

Darmodiharjo Darji dan Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Effendi, Rusli. 1986. Azaz-Azaz Hukum Pidana. Leppem-UMI. Makassar.

Gatot R.M. Soemartono, 1991, Mengenal Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta.

Hamzah Andi, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Hamzah Andi. 2002, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cetakan Kedua, Sinar Grafika . Jakarta.

Hatrik Hamzah, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), Rajawali Pers, Jakarta.

J.E. Sahetapy. 1979. Kapita Selekta Kriminologi. Alumni. Bandung.

Lamintang. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adiya Bakti. Bandung.

Mien Rukmini. 2003 “Perlindungan HAM melalui asa praduga tak bersalah dan Asas persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung.


(5)

Moeljatno, 1984, Asas-asas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta.

Moeljatno, 1984. Hukum Acara Pidana, Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta

Muladi dan Barda Nawawi, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.

Muladi. 1985. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung.

Muladi. 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesi., The Habibie Center. Jakarta.

Nawawi Barda Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Peter G. Hoefnagels. 1969. The Other Side of Criminology. Kluwer Deventer. Holland.

Poernomo Bambang. 1982. Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jogjakarta.

Poerwadarminta WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PN Balai Pustaka, 2008.

Prastowo, RB. 2003. Jurnal Pro Justitia. Universitas Katolik Parahyangan. Remmelink Jan, 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting

Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Ross Alf. 1975. On Guilt Responsibility and Punishment, Steven and Scon .Ltd. London.

Subekti, 1995, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta. Sudarsono. 1992. Kamus Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.

Soedarto. 1981. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

---. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Sinar Baru. Bandung.

Soekanto Soerjono. 1983. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali. Jakarta.


(6)

Soemarwoto Otto, 1997, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Bandung.

Soesilo R. 1985. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politiea. Bogor.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta.

Walker Nigel. 1972. Crimes, Courts and Figures, An Intoduction to Criminal Statistic, Penguin Book. Harmondsworth, England.

Yahya M. Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta.

Internet

Wikipedia (Id.m.wikipedia.org/wiki/perpektif) diakses pada Hari Senin Tanggal 11 Februari 2013.

http://www.mk.go.id/ diakses pada tanggal 15 Juli 2013.

http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/4744-kekeliruan-menafsirkan-alat-bukti-barang-bukti-dalam-perkara-pidana.html diunggah pada tanggal 3 Januari 2013.