Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan TNI (Studi Pada Pengadilan Militer Medan)

(1)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

DI LINGKUNGAN TNI

(STUDI PADA PENGADILAN MILITER MEDAN)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas

Dalam Memenuhi Syarat-syarat Untuk

Mencapai Gelar Sarjana Hukum

O L E H

ICKE DINA PUTRI.K SITEPU

020 222 064

H U K U M P I D A N A

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

DI LINGKUNGAN TNI

(STUDI PADA PENGADILAN MILITER MEDAN)

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas

Dalam Memenuhi Syarat-syarat Untuk

Mencapai Gelar Sarjana Hukum

O L E H

ICKE DINA PUTRI.K SITEPU 020 222 064

H U K U M P I D A N A

Disetujui oleh

Ketua Departemen Hukum Pidana

( Abul Khair, SH.M hum ) Nip. 131842854

Pembimbing I Pembimbing II

( Abul Khair, SH.M hum ) ( Rafiqah Lubis, SH.M hum )

Nip. 131842854 Nip. 132300076

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

KATA PENGANTAR

Dengan segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kemurahan dan rahmatNya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat mengikuti perkuliahan dan dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya.

Skripsi ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara, dimana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan “Proses Penyelesaian Perkara Pidana dilingkungan TNI (Studi pada Pengadilan Militer I-02 Medan”. Penulis telah mencurahkan segenap hati, pikiran dan kerja keras dalam penyusunan skripsi ini. Namun penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya, baik isi maupun kalimatnya. Oleh sebab itu skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof.Dr. Runtung, S.H.M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Abul Khair, S.H. M.Hum., selaku Ketua Bagian Pidana di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang


(4)

telah banyak memberikan bantuan bimbingan dan arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini;

3. Ibu Rafiqah Lubis, SH. M Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini;

4. Seluruh Dosen dan Staff pengajar di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Universtas Sumatera Utara;

5. Teristimewa untuk orangtuaku, adik – adikku dan anakku tersayang, atas perhatian, dukungan dan doa yang diberikan pada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini;

6. Kepada G’ Jandeku (Swary, Nancy, Ira, Dini, Almira, Nova, Agnes)

terima kasihku yang amat besar atas bantuan kalian selama kuliah, Yos Arnold tarigan (bujur melala !!! :j ), seluruh teman – temanku stambuk 02 terutama grup A, serta Pegawai Harian Kampus, terima kasih banyak atas dukungannya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dan menyempurnakan skripsi ini. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, September 2007


(5)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

ABSTRAKSI

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh ketertarikan penulis terhadap proses penyelesaian perkara pidana di lingkungan Tentara Nasional Indonesia. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah Bagaimana pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial Pengadilan Militer ke Mahkamah Agung R.I., dan kendala-kendala yang dihadapi dalam peralihan organisasi, administrasi dan finansial Pengadilan Militer ke Mahkamah Agung RI serta penulis juga mempermasalahkan tentang bagaimanakah proses penyelesaian perkara dalam Lingkungan TNI khususnya pada Pengadilan Militer I-02 Medan Berdasarkan judul skripsi ini maka penelitian berlokasi di Pengadilan Militer 1-02 Medan.

Pada dasarnya Pengadilan Militer memiliki karakteristik tersendiri, pada intinya ada 3 permasalahan yang akan dibahas pada penulisan skripsi ini yaitu; Bagaimana pengalihan organisasi,administrasi, dan financial Pengadilan Militer ke Mahkamah Agung R.I; Kendala-kendala yang dihadapi dalam peralihan Organisasi,administrasi dan finansian Pengadilan Militer ke Mahkamah Agung R.I; dan bagaimana proses penyelesaian perkara dalam Lingkungan TNI khususnya pada Pengadilan Militer I-02 Medan.

Penelitian ini dilakukan secara yuridis normatif, dimana penulis meneliti atau melihat penerapan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan Proses Hukum Penanganan Perkara Pidana Militer. Penelitian juga dilakukan dengan pengambilan data primer dengan melakukan wawancara dengan Hakim di Pengadilan Militer Medan, dimana hal ini bertujuan untuk mengetahui Proses Hukum Penanganan Perkara Tindak Pidana Militer di Pengadilan Militer Medan.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa dengan diberlakukannya Undang–undang No. 4 Tahun 2004 Kekuasaan Kehakiman ini maka Undang–undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan–ketentuan pokok kekuasaan kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang–undang No. 35 Tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku. atas dasar Undang–undang No. 4 Tahun 2004 tersebut Presiden mengeluarkan keputusan No. 56 tanggal 9 Juli 2004 mengenai pengalihan pembinaan organisasi, administrasi, dan financial pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Militer dari MABES TNI ke Mahkamah Agung R.I dan untuk menindak lanjuti keputusan Presiden No. 56 Tahun 2004 tanggal 9 Juli 2004 tersebut maka terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004 Pengadilan Militer telah berada satu atap dengan Mahkamah Agung.

Selain itu kendala-kendala yang dihadapi dalam peralihan ini ialah mengenai struktur organisasi yang berbeda sehingga masih digunakan struktur organisasi yang lama . Kendala dalam hal administrasi dan jumlah personel yang sedikit juga menjadi kendala dalam peralihan Peradilan Militer kebawah naungan Mahkamah Agung.

Mengenai proses penyelesaian perkara di Pengadilan Militer dimulai dengan adanya pengaduan, kemudian pemeriksaan Terdakwa dilakukan oleh POM (Polisi Militer), kemudian berkas hasil pemeriksaan dilimpahkan ke Otmil (Oditurat Militer), untuk di buat Berita Acara Pendapat dan Surat Dakwaannya, setelah semua kelengkapan administrasi telah dilengkapi maka berkas perkara diserahkan ke Pengadilan Militer untuk diproses lebih lanjut di Persidangan .


(6)

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR SKEMA... v

ABSTRAKSI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Manfaat dan tujuan penelitian ... 8

D. Keaslian penulisan ... 9

E. Tinjauan kepustakaan ... 10

F. Metode Penelitian... 19

G. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II PENGADILAN MILITER SETELAH SATU ATAP DENGAN MAHKAMAH AGUNG ... 23

A. Gambaran Struktur Kelembagaan Pengadilan Militer ... 23

B. Peralihan Pengadilan Militer ... 26

C. Kendala – kendala yang dihadapi dalam peralihan - Peradilan Militer ... 31


(7)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

BAB III PROSES PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA

DI PENGADILAN MILITER ... 35

A. Pengertian – pengertian ketentuan umum yang - merupakan bagian dari proses penyelesaian perkara- militer ... 35

B. Proses Penyidikan Tindak Pidana TNI - khususnya dilingkungan Peradilan Militer I-02 Medan ... 40

C. Penyelesaian perkara pra persidangan ... 44

D. Tahap pemeriksaan di persidangan ... 48

E. Pelaksanaan Putusan / Eksekusi ... 54

BAB IV KASUS DAN ANALISIS KASUS ... 56

A. Kasus ... 56

B. Analisa Kasus... 59

C. Hambatan penyelesaian kasus... 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 66 DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 . DATA PENYELESAIAN PERKARA PADA TAHUN 2005 ... 6


(9)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Skema bagian-bagian dari Hukum Pidana ... 17 Skema 2. Sturktur Organisasi Pengadilan Militer ... 23


(10)

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang

Dalam menyelesaikan kasus Militer, militer memiliki hukum dan sistem peradilan yang bersifat khusus dan berbeda dengan hukum dan sistem Peradilan Umum. Hukum Militer terdiri dari hukum formil dan hukum materil yang merupakan bagian integral dari sistem hukum Nasional. Hukum Militer adalah landasan–landasan hukum khusus, tertulis maupun tidak tertulis yang pada pokoknya berlaku dilingkungan angkatan bersenjata dan lingkungan yang lebih luas dalam keadaan tertentu terutama dalam keadaan darurat atau perang.

Berdasarkan dari rumusan–rumusan pengertian Hukum Militer, pada dasarnya Hukum Militer memiliki beberapa karakteristik, yaitu: 1

1. Merupakan hukum khusus yang bersifat mandiri di lingkungan militer. Dikatakan bahwa karakteristik Hukum Militer merupakan hukum khusus yang bersifat mandiri adalah karena militer mempunyai hukum yang berbeda dari instansi manapun. Tujuan perbedaan peraturan ini adalah agar militer dalam melakukan tugas dan kewajibannya dalam mempertahankan integritas kedaulatan Bangsa dan Negara dapat dilakukan dengan semaksimal mungkin. 2. Mengatur materi muatan yang berkaitan dengan soal-soal militer untuk

kepentingan Pertahanan Negara.

1


(11)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

Materi muatan dalam Hukum Militer kesemuanya adalah semata –mata hanya demi kepentingan Integritas Bangsa dan Negara, dimana militer selain berpedoman kepada Hukum Militer yang tertulis, militer juga tidak mengabaikan azas tata kehidupan militer.

3. Berlaku didaerah tertentu dan dalam keadaan darurat berlaku juga pada lingkungan yang lebih luas.

Dalam hal ini, Hukum Militer yang dapat berlaku di daerah tertentu dan dalam keadaan darurat berlaku juga pada lingkungan yang lebih luas adalah Huku m Militer pada saat pertempuran dimana pada saat terjadi pertempuran Pengadilan yang berlaku adalah Pengadilan Militer pertempuran yang bersifat mobilitas mengikuti gerakan pasukan dan berkedudukan/berdaerah hukum di daerah pertempuran. 2

4. Bersumber pada Hukum Nasional dan Hukum Internasional

Huku m Militer bersumber pada Hukum Nasional adalah merupakan suatu keharusan , karena Hukum Militer adalah merupakan Sub Sistem pada Hukum Nasional dimana Hukum Militer tersebut didasarkan pada norma–norma yang ada pada negara kita dan merupakan cerminan dari pertahanan Negara kita. Sedangkan Hukum Militer yang bersumber pada Hukum Internasional adalah merupakan suatu bukti bahwa militer di Indonesia tidak berbeda dengan militer di Negara lain yang memiliki satu tujuan yaitu menciptakan perdamaian dunia.

2

Kabul Arifin, Surjipto Mr, dan Sudjiwo, Keadaan Bahaya, Jakarta BAPPIT Pusat “Permata” , hal 89


(12)

5. Berlakunya Hukum Militer dalam keadaan darurat atau perang dapat mengeleminisir untuk sementara waktu berlakunya peraturan–peratutan hukum tertentu yang seharusnya mengikat pada saat Negara berada dalam keadaan normal.

Karakteristik Hukum Militer tersebut menyebabkan sorotan tajam dari berbagai kalangan masyarakat. Masyarakat menilai dalam banyak kasus militer seringkali tidak tersentuh oleh hukum dan Peradilan Militer dianggap sebagai Lembaga Inpunitas (lembaga yang tertutup untuk umum).

Pandangan masyarakat ini sering kali tidak dilengkapi dengan data yang akurat seperti kasus apa, dimana dan berapa kasus yang tidak tersentuh oleh hukum, dengan tidak jelasnya data tersebut maka kasus tersebut hanya bersifat praduga dan sudah tentu tidak akan tersentuh oleh hukum dan pasti tidak akan ada penyelesaiannya.

Masih seputar pandangan masyarakat tentang kasus militer, banyak masyarakat menganggap bahwa Peradilan Militer tidak dapat diliput oleh media massa, hal ini tidak benar karena Peradilan Militer sama dengan Peradilan lain yang menganut sistem terbuka untuk umum.

Mengenai intervensi kekuasaan militer dalam Peradilan Militer melalui komandan selaku Papera (Perwira Penyerah Perkara) yang juga menjadi pandangan masyarakat bukanlah tidak dapat dijelaskan. Keberadaan komandan selaku Papera dalam sistim Peradilan mutlak diperlukan sebagai penerapan dari azas Peradilan Militer yaitu azas kepentingan hukum dan azas kepentingan militer, oleh karena itu Papera diberikan kewenangan oleh Undang-undang untuk


(13)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

melimpahkan perkara ke Pengadilan atau menutup perkara demi kepentingan hukum atau kepentingan Militer.

Dalam penjelasan Pasal 123 ayat 1 UU 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dirumuskan alasan perkara ditutup demi kepentingan hukum antara lain : 3

1) Karena tidak cukup bukti.

2) Bukan merupakan tindak pidana. 3) Perkara Kadaluarsa.

4) Tersangka/Terdakwa meninggal dunia.

5) Telah dibayar maximum denda yang ditentukan dalam undang–

undang, sepanjang ancaman pidananya berupa denda atau dalam delik aduan, pengaduannya telah dicabut.

Sedangkan alasan perkara ditutup demi kepentingan umum/militer adalah perkara tidak diserahkan ke pengadilan karena kepentingan Negara/kepentingan militer lebih dirugikan daripada perkara itu diserahkan ke Pengadilan.

Pengadilan Militer di Indonesia dibawahi oleh Pengadilan Militer Tinggi. Indonesia memiliki 3 Pengadilan Militer Tinggi yang membawahi Pengadilan– pengadilan Militer di Indonesia. Berikut adalah daftar wilayah hukum Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan–pengadilan Militer yang dibawahinya :

Pengadilan Militer Tinggi I Medan membawahi : 1. Pengadilan Militer I-01 Banda Aceh 2. Pengadilan Militer I-02 Medan (Tipe A) 3. Pengadilan Militer I-03 Padang

3

Undang – undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan militer ,


(14)

4. Pengadilan Militer I-04 Palembang 5. Pengadilan Militer I-05 Pontianak 6. Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin 7. Pengadilan Militer I-07 Balikpapan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta membawahi :

1. Pengadilan Militer II-08 Jakarta 2. Pengadilan Militer II-09 Bandung 3. Pengadilan Militer II-10 Semarang 4. Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta

Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya membawahi : 1. Pengadilan Militer III-12 Surabaya

2. Pengadilan Militer III-13 Madiun 3. Pengadilan Militer III-14 Denpasar 4. Pengadilan Militer III-15 Kupang 5. Pengadilan Militer III-16 Makasar 6. Pengadilan Militer III-17 Manado 7. Pengadilan Militer III-18 Ambon 8. Pengadilan Militer III-19 Jayapura

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, dalam hal penyelesaian perkara, Pengadilan Militer sering dianggap sebagai lembaga Inpunitas yang tidak tersentuh oleh hukum dan sering juga dianggap sebagai Pengadilan yang tertutup untuk umum untuk menyangkal hal tersebut diperlukan data yang menegasan bahwa Pengadilan Militer bukan tidak pernah bersidang, untuk itu Penulis juga


(15)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

menyertakan Data Penyelesaian perkara pada Pengadilan Militer I-02 Medan di Tahun 2005 dan Tahun 2006 .

Tabel 1

DATA PENYELESAIAN PERKARA PADA TAHUN 2005

N O

BULAN PERKARA PIDANA MILITER KETER

ANGAN KEJAHATAN PELANGGARAN SISA AWAL

MASUK PUTUS SISA AKHIR

SISA AWAL

MASUK PUTUS SISA AKHIR

1 JANUARI 83 14 26 71 12 5 6 11

2 FEBRUARI

70 18 34 54 --- --- --- ---

3 MARET 54 20 15 59 9 --- 2 7

4 APRIL 59 30 --- 89 --- --- --- ---

5 MEI 89 28 37 80 --- --- --- ---

6 JUNI 83 9 --- 92 --- --- --- ---

7 JULI 92 29 8 113 --- --- --- ---

8 AGUSTUS 113 12 16 109 15 3 2 16

9 SEPTEMBER 109 10 32 87 --- --- --- ---

10 OKTOBER 87 21 11 97 --- --- --- ---

11 NOVEMBER 97 20 6 111 --- --- --- ---

12 DESEMBER 111 32 22 121 --- --- --- ---

JUMLAH 1.047 243 207 1.083 36 8 10 34


(16)

Tabel 2

DATA PENYELESAIAN PERKARA PADA TAHUN 2006

N O

BULAN

PERKARA PIDANA MILITER KETERANGAN

KEJAHATAN PELANGGARAN SISA

AWAL

MASUK PUTUS SISA AKHIR

SISA AWAL

MASUK PUTUS SISA AKHIR

1 JANUARI 121 20 48 93 11 --- 11 ---

2 FEBRUARI 93 13 58 48 --- 7 --- 7

3 MARET 44 38 --- 82 7 --- 7 ---

4 APRIL 82 34 6 110 --- --- --- ---

5 MEI 108 32 48 92 --- --- --- ---

6 JUNI 92 24 23 93 --- --- --- ---

7 JULI 90 22 11 101 --- 16 --- 16

8 AGUSTUS 101 18 13 106 16 --- 16 ---

9 SEPTEMBER 106 18 22 102 --- --- --- ---

10 OKTOBER 102 8 32 78 --- --- --- ---

11 NOVEMBER 78 15 22 71 --- --- --- ---

12 DESEMBER 71 12 19 64 --- 3 --- 3

JUMLAH 1.088 254 302 1.040 34 26 41 19

B. Perumusan Masalah

Seperti yang telah dikemukakan pada latar belakang bahwa pada dasarnya Pengadilan Militer memiliki karakteristik tersendiri dan karakteristik ini banyak menimbulkan pandangan di masyarakat, maka perumusan masalah dalam skripsi ini adalah mengenai :


(17)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

1. Bagaimana pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial Pengadilan Militer ke Mahkamah Agung R.I.

2. Kendala–kendala yang dihadapi dalam peralihan Organisasi,

administrasi dan finansial Pengadilan Militer ke Mahkamah Agung R.I.

3. Bagaimana proses penyelesaian perkara dalam Lingkungan TNI

khususnya pada Pengadilan Militer I-02 Medan.

C. Tujuan dan manfaat penulisan

Sesuai dengan masalah yang akan dibahas, tujuan yang ingin di capai dalam penulisan skripsi ini adalah :

a) Untuk mengetahui bagaimana pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial Pengadilan Militer ke Mahkamah Agung R.I.

b) Mengetahui kendala–kendala apa saja yang dihadapi dalam

peralihan Organisasi, administrasi dan finansial Pengadilan Militer ke Mahkamah Agung R.I.

c) Bagaimana proses penyelesaian perkara dalam Lingkungan TNI khususnya pada Peradilan Militer.

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis .

a. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana khususnya mengenai Proses


(18)

penyelesaian perkara di lingkungan TNI dan dapat menjadi bahan kajian atau menjadi gambaran bagaimana penyelesaian perkara pidana di lingkungan TNI.

b. Secara praktis, Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi konkrit bagi usaha pembaharuan hukum pidana khususnya dalam Proses penyelesaian perkara di lingkungan.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan karya ilmiah ini berjudul “Proses penyelesaian perkara di lingkungan TNI”, yang pada prinsipnya penulis membuatnya dengan melihat dasar-dasar yang telah ada, baik melihat literatur yang penulis peroleh dari perpustakaan, dan dari media masa baik cetak maupun elektronika.

Penulis tertarik terhadap berbagai permasalahan penyelesaian kasus militer, dimana militer memiliki hukum dan sistem peradilan yang bersifat khusus dan berbeda dengan hukum dan sistem Peradilan umum. Huku m Militer terdiri dari hukum formil dan hukum materil yang merupakan bagian integral dari sistem huku m Nasional. Hukum Militer adalah landasan–landasan hukum khusus, tertulis maupun tidak tertulis yang pada pokoknya berlaku dilingkungan angkatan bersenjata dan lingkungan yang lebih luas dalam keadaan tertentu terutama dalam keadaan darurat atau perang.

Penulisan skripsi ini pada awalnya didasarkan pada ide, gagasan, pemikiran dan yang utama adalah keterkaitan penulis terhadap Pengadilan Militer, artinya keaslian ini bukanlah hasil ciptaan atau penggandaan dari karya tulis orang lain dan hal ini dapat dipertangung jawabkan sepenuhnya oleh penulis .


(19)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

Jika ada pendapat ataupun kutipan dari penulisan ini, semata–mata adalah sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam usaha menyusun dan menyelesaikan skripsi.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Huku m Militer

Huku m Milite rdalam pengertiannya terbagi atas 2 suku kata yaitu “Hukum” dan “Militer”, dimana pada tiap suku kata memiliki arti yang berbeda. Pada Bukunya, P.A.F Lamintang menyimpulkan bahwa Pengertian Hukum itu ada 10, yaitu : 4

a. Sekumpulan peraturan untuk tindakan manusia yang diturunkan oleh Tuhan.

b. Sekumpulan aturan yang bersifat tradisional atau yang tercatat, dimana kebiasaan tersebut dipelihara dan dinyatakan.

c. Suatu peraturan yang tercatat mengenai orang–orang tua yang bijaksana yang telah mempelajari jalan yang aman atau secara ketuhanan disetujui oleh manusia.

d. Suatu sistem prinsip–prinsip yang ditemukan secara filosofis yang menyatakan sifat dasar benda–benda terhadapnya manusia seharusnya menyesuaikan perbuatannya.

e. Suatu kumpulan persetujuan–persetujuan orang dalam masyarakat yang terorganisir secara politik mengenai hubungan – hubungan mereka dengan satu sama lain.

f. Suatu refleksi mengenai alasan yang bersifat ketuhanan yang menentukan alam semesta.

g. sekumpulan perintah–perintah otoritas yang berkuasa didalam suatu masyarakat yang terorganisir secara politis yang berkenaan dengan bagaimana manusia seharusnya berprilaku.

h. Suatu sistem aturan yang ditemukan melalui pengalaman manusia dimana kehendak manusia secara individual boleh merealisir kebebasan yang paling lengkap secara konsisten memungkinkan dengan kebiasaan yang sama dari kehendak orang–orang lain.

4

P.A.F Lamintang, Dasar – dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, 2005, hal 5.


(20)

i. Sesuatu sistem prinsip-prinsip yang ditemukan secara filosofi dan dikembangkan secara rinci oleh tulisan yuristis dan keputusan yudisial . j. Sekumpulan peraturan–peraturan yang dikenakan pada manusia didalam

masyarakat oleh golongan yang dominant untuk sementara waktu dalam memajukan keputusan–keputusannya baik secara sadar maupun tidak sadar.

Sedangkan istilah Militer berasal dari kata Yunani “Miles” yaitu orang yang siap tempur. Seorang yang siap tempur terlebih dahulu harus dididik dan diorganisasikan melalui satuan–satuan tertentu untuk melaksanakan tugas pertahanan Negara guna menghadapi serangan musuh yang datang dari luar maupun dari dalam Negara.

Menurut tim Penelitan Badan Pembinaan Hukum TNI bekerjasama dengan BPHN, Pengertian Huku m Militer adalah Landasan–landasan hukum khusus, tertulis maupun tidak tertulis yang berlaku dilingkungan angkatan bersenjata dan lingkungan yang lebih luas dalam keadaan tertentu terutama dalam keadaan darurat atau perang. 5

Seorang ahli SR. Sianturi juga merumuskan tentang Hukum Militer, dimana menurutnya Huku m Militer adalah sebagai rangkaian dari ketentuan– ketentuan, dimana rangkaian dari ketentuan–ketentuan tersebut menyatakan tentang penunjukan dan kedudukan dari orang–orang yang ditugaskan untuk perang, tingkah laku dari militer, dan hal–hal yang menjadi kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan tugasnya. 6

Sedangkan ASS. Tambunan memberikan pengertian umum Hukum Militer, dimana menurut ASS. Tambunan Hukum Militer merupakan bagian

5

Brigjen TNI H.A.Afandi, Opcit hal 6 6


(21)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

khusus dari berbagai bidang hukum Perdata, Pidana, Tata Negara dan Tata Usaha Negara, Hukum Internsional yang objeknya kehidupan militer khusus karena hanya berlaku bagi militer dan angkatan perang, sedangkan fungsi Hukum Militer adalah agar militer dan TNI dapat melakukan tugas dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan.7 Dalam Pasal 64 UU 34 tahun 2004 tentang TNI dinyatakan pula tentang Hukum Militer yaitu “Hukum yang dibina dan dikembangkan oleh Pemerintah untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan Negara.” 8

Berikut Penulis menuturkan secara ringkas Riwayat Hukum Militer di Indonesia yang dituangkan dalam KUHPM :

2. Sejarah Huku m Militer di Indonesia

9

a. Tahun 1799 Zaman Penjajahan Belanda

KUHPM (crimineel wetboek voor de militia van de staat) disamping KUHP direncanakan dan selesai pada tahun 1799. Isinya terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama tentang jurisdiksi Peradilan Militer, bagian Kedua hanya memuat beberapa kejahatan militer saja dan tidak dinyatakan bahwa KUHP berlaku (juga) bagi militer, sebagaimana yang kita lihat sekarang ini pada Pasal 1,2, dan 3 KUHPM, serta bagian ketiga tentang hukum acaranya.

7

Ibid, hal 10 8

2004, Undang – undang Republik Indonesia No. 34 tahun 2004 tentang TNI, Babinkum ABRI, hal 103

9

S.R . Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Jakarta, Alumni AHM-PTHM,1985., hal-13


(22)

b. Tahun 1807

Suatu panitia selesai membuat RUU WvMS dan Hukum Acara Pidana Militer AD. Panitia ini juga yang merancang KUHPM bagi Angkatan Laut. Jadi tidak dianut kesatuan hukum bagi AD dan AL.

Sementara itu AU belum dikenal, Undang–undang ini belum sempat berlaku, Negeri Belanda diduduki oleh Prancis (pada zaman Nepoleon) pada tahun 1810.

c. Tahun 1813

Negeri Belanda berdaulat kembali dan dinyatakan “KUHPM tahun 1799” berlaku. Sementara itu pada tahun 1813 suatu panitia dibentuk untuk membuat RUU yang baru. Diselesaikan pada tahun 1814. RUU yang baru ini terdiri dari “KUHPM dan KUHDM” yang akan berlaku bagi Angkatan Darat dan Laut. Pada tahun 1814 juga RUU ini beserta Hukum Acara bagi AD, Hukum Acara bagi AL dan Hukum Acara bagi HMG di setujui dan berlaku sebagai Undang–undang.

d. Tahun 1886

Sehubungan dengan diberlakukannya KUHP baru di Nederland pada tahun 1870 yang ciri khasnya adalah penghapusan pidana mati, maka pada tahun 1886 kepada Prof. VAN DER HOEVEN, guru besar Universitas di Leiden ditugaskan untuk membuat serta menyusun KUHPM sesuai dengan sistematika KUHP baru tersebut. Beliau telah berhasil mensistematisirnya dalam dua bagian dan yang berlaku baik bagi AD (Angkatan Darat) maupun AL (Angkatan Laut). Dalam RUU KUHPM ini, pidana mati masih tetap


(23)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

diancamkan pada kejahatan – kejahatan tertentu. Beliau berhasil membuat buku “Militair Straf en Tuchtrecht” (Terdiri dari 3 bagian) . Bagian ke-4 dilanjutkan oleh MR. P.A. KEMPEN, yang selanjutnya dikemudian hari banyak di pedomani. Pada tahun 1894 Parlemen Belanda bubar sebelum ada persetujuan tentang RUU ini, yang berakibat RUU tersebut harus diusulkan lagi.

e. Tahun 1903

RUU KUHPM, KUHDM serta Susunan dan Kompetensi Peradilan Militer tersebut yang dibuat oleh panitia Van Der HOEVEN diajukan kembali ke Tweede Kamer pada tahun 1897 setelah disempurnakan pada tahun 1895. Tahun 1902 setelah Tweede Kamer mempelajarinya lalu menyetujuinya. Pada tahun 1903 diteruskan kepada Eerste Kamer yang pada tahun itu juga dikembalikan kepada pemerintah setelah disetujuinya. Pada tahun 1903 ini dapat disebut sebagai awal dari hukum Pidana Militer yang modern . Dengan keputusan Raja pada tanggal 27–4–1903 dijadikan Undang–undang, akan tetapi baru mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1923 di Negeri Belanda, sebagai akibat berkecambuknya Perang Dunia Pertama (K.B. 2 September 1922, Stbl. Nr. 514,515).

f. Tahun 1934

Atas dasar politik konkordansi, maka pada tanggal 2 September 1933 Gubernur Jendral de JONGE menyampaikan rencana KUHPM dan KUHDM yang hampir sama dengan KUHPM dan KUHDM yang berlaku di


(24)

Nederland kepada VOLKSRAAD Ned. Indie lengkap dengan mvt (memorie

van toelichting)–nya.

Setelah mengalami beberapa amandemen maka terjadilah KUHPM dan KUHDM yang di undangkan dengan Stbl. 1934 Nr. 167 dan 168 yang hari mulai berlakunya ditetapkan tanggal 1 Oktober 1934 dengan Keputusan Gubernur Jendral tanggal 25 Maret No. 35 Bbl. 1934 Nr. 337 yang pada tahun ini juga berlaku suatu ordonansi baru tentang “Ketentuan–ketentuan

tentang Kekuasaan Kehakiman Militer di Hindia Belanda” LN. 1934 Nr.

173, ordonansi No.16 tanggal 28 Maret 1934. g. Zaman Penjajahan Jepang

Pada jaman penjajahan Jepang selama 3 ¼ tahun (1942 – 1945) KUHPM dan KUHDM tidak diberlakukan.

h. Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945

KUHPM dan KUHDM tersebut pada huruf “f” diatas berdasarkan Pasal PERALIHAN diatas dari UUD 1945 dan Perpem No.2 Th. 1945 berlaku di Indonesia. Kemudian diadakan perubahan, pengurangan dan penambahan terhadap kedua Undang–undang tersebut dengan UU Nomor. 39 dan 40 pada tahun 1947 yang hingga kini masih berlaku. Undang–undang pelaksanaan dari KUHPM yang dibuat pada tahun 1946, diperbaharui pada tahun 1950 dengan UU Drt. No. 16 Th. 1950 jo UU No. 5 Th. 1950 LN. No. 52 Th. 1950 tentang susunan dan kekuasaan peradilan dan kejaksaan dalam lingkungan Peradilan Militer, serta UU Drt. No. 17 Th. 1950 jo UU.


(25)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

No. 6 Th. 1950 LN. No. 53 Th. 1950 tentang Hukum Acara Pidana Militer yang kemudian diubah dan ditambah dengan UU No. 1 Drt. Th. 1958.

Untuk memudahkan mempelajari Hukum Pidana pada umumnya dikenal suatu sistematika umum untuk membedakan dan menentukan bagian–bagian hukum pidana. Salah satu cara pembagian dari Hukum Pidana dalam arti material pada umumnya adalah Hukum Pidana umum dan Hukum Pidana Khusus, kekhususan tersebut ada yang didasarkan kepada suatu materi tertentu misalnya : tentang korupsi, narkotika, perdagangan/ekonomi dan ada yang didasarkan kepada

golongan justiabel tertentu misalnya : yang berlaku pada golongan militer yang

dipersamakan.

3. Kedudukan Huku m Militer

Untuk memudahkan mempelajari Hukum Pidana pada umumnya dikenal suatu sistematika umum untuk membedakan dan menentukan bagian–bagian, dimana pada skema yang akan diurai di bawah ini kita dapat melihat bahwa kedudukan Hukum Pidana Militer adalah merupakan bagian dari Hukum Pidana Materil, yang dalam hal ini KUHPM adalah merupakan “bagian” atau cakupan dari Hukum Pidana Militer dalam arti Materil. Sedangkan Undang–Undang Hukum Acara Pidana Militer dan perundang–undangan lainnya seperti Undang– undang tentang pelaksanan mati, dan lain sebagainya adalah merupakan bagian


(26)

Pada bukunya, S.R Sianturi menentukan bagian–bagian dari Hukum Pidana pada skema dibawah ini :10

Skema 1

Skema Bagian–bagian dari Hukum Pidana

Hukum Pidana Terbagi atas dua yaitu Hukum Pidana dalam arti Objektif dan Hukum Pidana dalam arti Formil. Yang di maksud dengan Hukum Pidana dalam arti Objektif adalah semua peraturan yang mengandung keharusan atau larangan sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Pidana dalam arti Subjektif ialah hak Negara atau alat-alat untuk menghukum berdasarkan Hukum Pidana

10

Ibid, hal 17

Hukum Pidana (HP)

HP dalam arti objektif HP dalam arti Subjektif

HP dalam arti Materil HP dalam arti Formal

- KUHAP

- Undang – undang Hukum Acara Pidana Militer (No.1 Drt.Th.1958)

- Beberapa Pasal dari Undang – undang Tindak Pidana Korupsi, Subversi dan lain – lain

- KUHP - KUHPM

- Undang – undang Tindak Pidana Korupsi

- Undang – undang Subversi - Undang – undang lalu

lintas dan lain – lain

Sanksi Ketentuan Umum Tindak Pidana Norma -norma


(27)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

Objektif, namun Hukum Pidana Subjektif ini baru ada setelah ada peraturan – peraturan dari Hukum Pidana Objektif terlebih dahulu. 11

a. Wajib Militer (Wamil) diluar dinas.

Hukum Pidana dalam arti Objektif terbagi pula menjadi dua bagian yaitu dalam arti Materil dan dalam arti formal. Hukum Pidana Materil adalah peraturan-peraturan yang mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran, contohnya perbuatan apa saja yang dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum, dan dengan hukuman apa dihukum. Sedangkan Hukum Acara Formil adalah Hukum yang mengatur cara-cara menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana (merupakan pelaksanaan dari Hukum Pidana Materil)

4. Subjek Hukum Militer

Militer merupakan subjek dari Hukum Militer, namun dalam rangka penerapan Hukum Pidana Militer , ada beberapa orang yang dapat dipersamakan dengan militer itu sendiri, yaitu :

b. Militer sukarela yang non aktif dari dinas Militer. c. Bekas Militer.

d. Bekas Militer yang diberhentikan secara tidak hormat.

e. Anggota – anggota cadangan Nasional yang dipandang dalam dinas Militer. f. Seseorang yang menurut kenyataannya bekerja pada Angkatan Perang. g. Bekas / Pensiunan Militer yang dipekerjakan (Lagi) dalam dinas Militer. h. Komisaris – komisaris wajib Militer.

11

C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, Sinar Grafika,1995, hal 7


(28)

i. Pensiunan perwira anggota peradilan militer yang berpakaian seragam, setiap kali mereka melakukan dinas sedemikian itu . (Psl. 49 (1) KUHPM). j. Seorang yang memakai pangkat titular.

k. Militer Asing.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian yang dituangkan dalam bukunya, Soerjano Soekanto menyebutkan ada dua penggunaan metode pendekatan yaitu Pendekatan Yuridis Normatif dan Pendekatan Yuridis Sosiologis, kedua penelitian itu disebut juga dengan penelitian hukum normatif empiris.12 Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti bahan-bahan kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti, dengan kata lain pendekatan yuridis normatif melihat hukum dalam normatif (law in the book). Pendekatan yuridis sosiologis adalah melihat hukum tampak dalam kenyataan di masyarakat (law in

society), dengan kata lain kenyataan yang terjadi di masyarakat.

Pada penulisan skripsi ini penulis memakai penelitian hukum normative (Yuridis Normative) yang dilakukan dan ditujukan pada ketentuan pidana dalam lingkungan Militer serta menganalisis putusan pengadilan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

12

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1984, hal. 51.


(29)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Pengadilan Militer I-02 Medan dengan mengambil Putusan Pengadilan Militer I-02 Medan yang sesuai dengan permasalahan dalam skripsi ini kemudian dianalisis.

3. Jenis data

Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yang didukung data primer. Data sekunder yang dimaksud penulis diperoleh dari :

1) Bahan Hukum Primer terdiri dari Perundang-Undangan yang berlaku.

2) Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan berupa hasil-hasil

penelitian serta bahan bacaan yang berisi fakta-fakta, artikel, bahan-bahan hasil seminar, lokakarya atau pertemuan ilmiah.

3) Bahan Hukum tertier, yakni bahan hukum penunjang memberi

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, dan jurnal ilmiah.13

Data Primer diperoleh melalui wawancara dengan hakim

Pengadilan Militer I-02 Medan.

4. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode library research (Penelitian kepustakaan), yakni melakukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang–undangan, buku–buku, dan bahan lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini, disamping itu

13

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Radjawali Press, Jakarta, 1990, hal. 14.


(30)

dilakukan penelitian lapangan (Field Research) dengan melakukan wawancara dengan Hakim.

5. Analisis Data

Data Sekunder dan primer yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini, yaitu dengan apa yang diperoleh dari penelitian di lapangan dipelajari secara utuh dan menyeluruh untuk memperoleh jawaban permasalahan dalam skripsi ini.

.

G. Sistimatika Penulisan

Sistematika Penulisan skripsi ini disusun berdasarkan sistematika dalam beberapa tahapan yang disebut dengan Bab, dimana masing–masing Bab diuraian secara tersendiri. Penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhan kedalam Lima Bab yang terperinci sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari beberapa sub-bab, yang dimulai dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II : PENGADILAN MILITER SETELAH SATU ATAP DENGAN MAHKAMAH AGUNG R.I

Bab ini menguraikan tentang Pengadilan Militer setelah peralihan Pengadilan Militer secara Organisasi, Administrasi, dan financial


(31)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

ke Mahkamah Agung R.I serta kendala–kendala yang dihadapi akibat dari perubahan tersebut.

BAB III : PROSES PENYELESAIAN TINDAK PIDANA DI PENGADILAN MILITER I-02 MEDAN

Bab ini menguraian tentang Proses Penyelesaian Tindak Pidana di Lingkungan Militer yang pada khususnya adalah Pengadilan Militer Tinggi I-02 Medan dimana Penulis melakuan penelitian, pada Bab ini menguraikan beberapa hal, mulai dari laporan polisi, pemanggilan/pemeriksaan Tersangka dan para Saksi, Penangkapan dan penahanan sampai proses persidangan dan pelaksanaan eksekusi.

BAB IV : KASUS DAN ANALISIS KASUS

Bab ini akan menguraikan sebuah kasus yang telah di putus oleh Pengadilan Militer Medan beserta Analisisnya .

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan kesimpulan dari penulis mengenai seluruh pembahasan dalam skripsi ini dan saran–saran yang merupakan masukan dari penulis.


(32)

BAB II

PENGADILAN MILITER SETELAH SATU ATAP DENGAN MAHKAMAH AGUNG R.I

A. Gambaran Struktur Organisasi Peradilan Mliter

Struktur Organisasi Pengadilan Militer berbeda dari struktur organisasi dari Pengadilan–pengadilan lain, hal ini dikarenakan belum adanya peraturan tertulis oleh Mahkamah Agung R.I mengenai struktur organisasi yang dapat dijadikan pedoman bagi Pengadilan Militer dalam menata ulang struktur organisasinya, oleh karenanya struktur Organisasi yang dipakai pada saat ini masih berpedoman kepada struktur organisasi yang lama yaitu struktur organisasi Mabes TNI.

Skema 2

Struktur Organisasi Pengadilan Militer

KADILMIL

KATAUD

MAJELIS HAKIM

KATERA

POK KIMILTI

KAURTU BATIMIN KAURDAL

BAURTU TABAN JURU TIK

BATIMIN BAURDAL

BAURDAL TABAN JURU TIK TAMUDI KA URMINKU KA URMINU KA URDOKPU KA URMINRA URMINRA TABAN JURU TIK URMINU TABAN JURU TIK BAURKU


(33)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

Keterangan :

a. KADILMIL : Kepala Pengadilan Militer.

Kepala yang membawahi seluruh anggotanya, biasanya untuk Jabatan Kepala Pengadilan Militer Tipe A dijabat oleh seorang Pamen (Perwira Menengah) yang berpangkat Kolonel namun bagi Pengadilan Militer yang ber Tipe B dijabat oleh Pamen (Perwira Menengah) yang berpangkat Letkol (Telah dijelaskan pada Bab I).

b. Majelis Hakim : Hakim Ketua dijabat oleh Kadilmil (Kepala Pengadilan Militer) atau ditunjuk oleh Kadilmil dan Hakim Anggota ditunjuk oleh Kadilmil berdasarkan Surat Penetapan Hakim.

c. Pokkimil : Kelompok Hakim Militer.

Adalah Hakim–hakim yang merupakan hakim anggota dimana dalam menjalankan tugas jabatannya merupakan jabatan fungsional dan tidak dapat dirangkap oleh jabatan structural.

d. Kataud : Kepala Tata Urusan Dalam.

Kepala yang membawahi Kaurtu dan Kaurdal, dimana tugas Kataud adalah sebagai pengawas pelaksanaan Tata Urusan Dalam, seluruh Urusan Administrasi sampai surat–surat harus melalui Kataud, sebab Kataud


(34)

harus bertanggung jawab penuh dalam urusan Administrasi.

e. Kaurdal : Kepala Urusan Dalam.

Bertanggung jawab atas tata letak benda–benda inventaris kantor milik Negara.

f. Kaurtu : Kepala Urusan Tata Usaha.

Bertanggung jawab atas urusan keuangan yang berkaitan dengan kantor.

g. Katera : Kepala Panitera.

Atasan yang membawahi Kaurminra, Kaurdokpus, kaurminu, kaurminku . Tugas dari Katera adalah menetapkan hari sidang dan sebagai pengawas pengolahan berkas.

h. Kaurminra : Kepala Urusan Administrasi Perkara.

Bertanggung jawab atas keluar masuknya perkara dan bertanggung jawab terhadap pengolahan perkara.

i. Kaurdokpus : Kepala Urusan Dokumentasi Pustaka.

Bertanggung jawab dalam hal mengawasi buku–buku / Dokumentasi Pengadilan Militer milik Negara.

j. Kaurminu : Kepala Urusan Administrasi Umum.

Bertanggung jawab terhadap surat–surat/ berkas perkara baik masuk maupun keluar yang berkaitan dengan perkara.


(35)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

k. Kaurminku : Kepala Urusan Administrasi dan Keuangan.

Bertanggung jawab terhadap Administrasi keuangan untuk persidangan (Tunjangan Hakim, uang pengetikan, pengiriman berkas perkara,dll).

Sedangkan Bintara dan Tamtama berikut di bawah ini adalah merupakan pelaksana atas tugas–tugas dari tiap tiap Jabatan Ka (Kepala) di atas :

l. Batimin : Bintara Tinggi Administrasi. m. Bintara Pelaksana yang membantu Kataud.

n. Baurtu : Bintara Urusan Tata Usaha.

o. Baurdal : Bintara Urusan Dalam.

p. Baurminra : Bintara Urusan Administrasi Perkara. q. Baurminu : Bintara Urusan Administrasi Umum.

r. Baurku : Bintara Urusan Keuangan.

s. Taban : Tamtama Bantuan.

t. Tamudi : Tamtama Pengemudi.

u. Juru Tik : Pengetik.

B. Peralihan Peradilan Militer

Undang–undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum . Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya.


(36)

Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan–ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dengan undang–undang nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang–undang No. 14 Tahun 1970.

Melalui perubahan Undang–undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut, pada Undang undang Nomor. 35 Tahun 1999 telah diletakkan kebijaksanaan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan financial berada dibawah satu atap dibawah kekuasaan Mahkamah Agung R.I dan kebijaksanaan ini harus dilaksanakan paling lambat 5 (lima) Tahun sejak diundangkannya Undang-undang No. 35 Tahun 1999.

Namun, mengingat sejak ditetapkannya perubahan mendasar yang dilakukan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 , maka Undang–undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dalam Undang–undang No. 35 Tahun 1999 perlu dilakukan lagi penyesuaian dengan membentuk Undang–undang tentang Kekuasaan Kehakiman yang diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2004, dimana dalam Undang–undang ini diatur mengenai badan Peradilan penyelenggara kekuasan kehakiman, asas–asas penyelenggara kekuasaan kehakiman jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam Undang–undang Nomor . 4 Tahun 2004 ini diatur pula mengenai ketentuan yang menegaskan kedudukan


(37)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum dan badan–badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman . 14

Dengan diberlakukannya Undang–undang No. 4 Tahun 2004 ini maka Undang–undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan–Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang–undang No. 35 Tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku. 15

1. Pembinaan organisasi, administrasi, dan financial Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Militer menjadi berada di Mahkamah Agung.

Atas dasar Undang–undang No. 4 Tahun 2004 tersebut Presiden Mengeluarkan Keputusan No. 56 tanggal 9 Juli 2004 mengenai Pengalihan Pembinaan Organisasi, Administrasi, dan Financial Pengadilan dalam Lingkungan Pengadilan Militer dari MABES TNI ke Mahkamah Agung R.I dan untuk menindak lanjuti keputusan Presiden No. 56 Tahun 2004 tanggal 9 Juli 2004 tersebut maka terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004 Pengadilan Militer telah berada satu atap dengan Mahkamah Agung.

Namun secara faktual serah terima pengadilan tersebut baru terlaksana pada hari rabu, tanggal 1 September 2004, yang pada halnya Pokok-pokok pengaturan dan Keputusan Presiden No. 56 tersebut adalah sebagai berikut :

Yang dimaksud dengan Organisasi adalah kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, dan struktur organisasi Pengadilan .

14

Badan Pembinaan hukum TNI, 2004, “Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 4

Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman” penjelasan tentang UU No.4 Tahun 2004, hal 3 15


(38)

Yang dimaksud Administrasi ialah kegiatan di bidang kepegawaian, kekayaan Negara, keuangan, arsip, dan dokumen pada pengadilan .

Sedangkan yang dimaksud Financial ialah kegiatan anggaran .

2. Pegawai Negri Sipil pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer beralih menjadi PNS pada Mahkamah Agung RI .

3. Sebelum sarana dan prasarana disediakan oleh Mahkamah Agung RI,

Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Militer masih tetap menggunakan sarana dan prasarana Mabes TNI. Untuk itu maka biaya pemeliharaannya dibebankan kepada Mahkamah Agung RI sebagai pemakai.

4. Biaya yang diperlukan dalam pembinaan organisasi, administrasi, dan financial Tahun 2004 masih di bebankan pada Mabes TNI dan untuk Tahun selanjutnya kepada Mahkamah Agung RI. 16

Kemudian atas dasar Keputusan Presiden tersebut Panglima TNI dan Ketua Mahkamah Agung RI mengadakan serah terima wewenang pembinaan organisasi, administrasi, dan financial Pengadilan dalam Lingkungan Pengadilan Militer dan menyepakati kerja sama dalam pembinaan personel dan mengenai penggunaan serta perawatan asset dan barang inventaris dalam 2 Keputusan bersama yaitu :

1. Nomor : KMA / 065 A / SKB / IX / 2004 dan Skep / 420 / IX / 2004 Tanggal 1 September 2004.

Tentang kerjasama dalam pembinaan personel Militer bagi Prajurit TNI yang bertugas pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.

16

Sonson Basar, 2006, Perkembangan Peradilan Militer Setelah Berada Dibawah


(39)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

2. Nomor : KMA / 065 A / SKB / IX / 2004 dan Skep / 421 / IX / 2004 Tanggal 1 September 2004.

Tentang penggunaan dan perawatan aset dan barang inventaris Mabes TNI oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Militer.17

1. Dikbagum dan Dikbagspes keprajuritan dilaksanakan oleh Mabes TNI

setelah dikordinasikan dengan Mahkamah Agung.

Mengenai pokok–pokok kerjasama dalam pembinaan personel Militer bagi prajurit TNI yang bertugas pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer (Surat Keputusan bersama No: KMA / 065 A / SKB / IX / 2004 dan Skep / 420 / IX / 2004 Tanggal 1 September 2004 dapat disimpulkan sebagai berikut :

2. Pendidikan profesi dan pembinaan kemampuan teknis yudisial Hakim dan Panitera dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.

3. Kebutuhan personel Militer untuk menduduki jabatan struktural maupun fungsional disediakan oleh Mabes TNI atas permintaan Mahkamah Agung. 4. Prajurit yang menduduki jabatan struktural dan/atau fungsional pada

pengadilan dalam lingkungan peradilan Militer adalah berstatus prajurit aktif.

5. Pengangkatan dalam dan pemberhentian dari jabatan struktural bagi prajurit yang bertugas pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer ditetapkan dengan skep Panglima TNI atas usul ketua MA dan/atau atas pertimbangan Mabes TNI. Pelaksanaan dari Skep Panglima tersebut ditetapkan dengan Surat Keputusan oleh Ketua MA.

17


(40)

6. Kenaikan Pangkat diproses dan/atau ditentukan oleh Mabes TNI atas usul MA dan/atau atas pertimbangan Mabes TNI. Demikian pula mengenai pemberentian dari dinas keprajuritan, baik dengan hormat maupun dengan tidak hormat .

7. Perawatan kedinasan bagi prajurit dilaksanakan oleh Mabes TNI, kecuali tunjangan jabatan dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.

Telah diketahui bersama seperti yang telah dijabarkan diatas, pada intinya personel TNI dalam hal kenaikan pangkat, pemberhentian dari jabatan, penempatan personel masih tetap dilaksanakan oleh MABES TNI namun hal tersebut juga atas usulan dari Mahkamah Agung R.I, sedangkan mengenai Keputusan Bersama Nomor : KMA / 065 A / SKB / IX / 2004 dan Skep / 421 / IX / 2004 Tanggal 1 September 2004 Tentang Penggunaan dan Perawatan Aset dan Barang Inventaris Mabes TNI oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Militer telah jelas bahwa aset dan barang inventaris milik MABES TNI yang telah ada untuk sementara dipinjamkan dan dipergunakan untuk keperluan dinas menunggu tersedianya sarana dan prasarana yang disediakan Mahkamah Agung . Untuk itu, maka perawatan aset milik MABES TNI tersebut seluruhnya dibebankan kepada Mahkamah Agung.

C. Kendala – kendala yang dihadapi dalam Peralihan Peradilan Militer

Telah diketahui bersama bahwa peralihan Pengadilan Militer menjadi satu atap dengan Mahkamah Agung R.I adalah didasarkan kepada Undang–undang No.4 Tahun 2004. Dalam UU No. 4 Tahun yang dituangkan dalam Pasal 10 ayat


(41)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

(2) yang bunyinya “Badan Peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung meliputi Badan Peradilan dalam lingkungan Peradilan umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara”.

Dalam setiap hal yang baru tentu akan memiliki kendala, dan demikian pula dengan peralihan Pengadilan Militer menjadi satu organisasi dengan Mahkamah Agung. Berikut beberapa hal yang dihadapi oleh Pengadilan Militer dalam Peralihan ke Mahkamah Agung :

1. Kendala dalam Organisasi (dalam hal ini yang dimaksud Organisasi adalah kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, dan struktur organisasi Pengadilan). 18

Banyak kendala yang dihadapi perihal Organisasi, struktur Organisasi adalah hal yang pasti sangat berbeda antara Pengadilan Militer dan Mahkamah Agung. Seperti yang telah dijabarkan pada skema diatas (hal 26), Seluruh struktur organisasi tersebut adalah sangat berbeda dengan struktur Organisasi dari Mahkamah Agung, pada Mahkamah Agung R.I dalam hal keuangan adalah merupakan suatu struktur tersendiri dimana pejabat–pejabat yang berada dalam hal keuangan haruslah bebas dari jabatan–jabatan lainnya dan mempunyai kewenangan mutlak dalam pengelolaan keuangan namun kenyataannya karena personel dalam lingkungan peradilan Militer belum mencukupi maka terjadilah timpa tindih tugas dan jabatan.

18


(42)

Berbicara masalah kewenangan, hal ini juga menjadi kendala dalam peralihan Pengadilan Militer ke Mahkamah Agung. Dikatakan hal ini menjadi kendala adalah karena Pengadilan Militer merupakan suatu Organisasi dimana bawahan tunduk pada atasan, sedangkan untuk masalah keuangan pada Mahkamah Agung R.I mempunyai kewenangan tersendiri dimana KPA (Kuasa Penggunaan Anggaran ) adalah sebagai penanggung jawab penuh terhadap masalah keuangan. Dan Komitmen adalah sebagai penaggung jawab kegiatan.

2. Kendala dalam hal Administrasi (dalam hal ini ialah kegiatan dalam bidang kepegawaian, kekayaan Negara, keuangan, arsip dan dokumen pada pada Pengadilan).

Kendala Administrasi yang dihadapi oleh Pengadilan Militer saat ini adalah mengenai kekayaan Negara. Kekayaan Negara dalam hal ini adalah aset – aset yang dimiliki Pengadilan Militer, untuk kesempurnaan perpindahan Pengadilan Militer ini masih diperlukan waktu. Dikatakan masih belum sempurna adalah karena Pengadilan Militer yang merupakan suatu instansi pemerintahan haruslah memiliki sebuah wadah / tempat untuk melakukan kewajibannya sebagai Pengadilan, hal inilah yang belum dapat dilaksanakan dengan segera. Kini Pengadilan Militer seperti yang telah di jabarkan diatas masih meminjam bangunan milik Mabes TNI, bukan hanya bangunan saja namun segala aset yang telah ada adalah milik Mabes TNI.


(43)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

Masalah keuangan juga menjadi kendala, seperti diketahui bahwa keuangan Pengadilan Militer saat masih menjadi bagian dari Mabes TNI sangat berbeda dengan saat Pengadilan berada di bawah naungan Mahkamah Agung, dengan perbedaan tersebut mengharuskan pembelajaran ulang terhadap masalah keuangan, hal tersebut bukanlah mudah karena kurangnya pengetahuan personel adalah sangat menghambat.

Namun hal yang paling utama dari kendala peralihan Pengadilan Militer ini adalah karena jumlah personel yang amat terbatas sehingga menyebabkan tumpang tindih jabatan sehingga hasil kerja dari para personel tidak maksimal.


(44)

BAB III

PROSES PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA

A. Pengertian – Pengertian Ketentuan Umum Yang Merupakan Bagian Dari Proses Penyelesaian Perkara Militer

Dalam UUD 1945 telah ditetapkan bahwa Peradilan Militer sebagai peradilan khusus yang berdiri terpisah dari peradilan umum, dikatakan khusus karena memang ada kekhususan – kekhususan yang terdapat dalam kehidupan Militer sebagai akibat dari adanya tugas pokok yang berat untuk melindungi, membela, dan mempertahankan integritas Bangsa dan Negara dimana jika diperlukan akan dilakukan dengan cara berperang. Dikatakan khusus juga karena untuk mempertahankan integritas bangsa diperlukan suatu organisasi yang istimewa dan pemeliharaan serta pendidikan khusus berkenaan dengan tugas pokok yang penting dan berat, yang hal itu dilakukan agar dalam pelaksanaan tugasnya dapat dilakukan dengan baik.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, azas Peradilan Militer disamping berpedoman pada azas yang tercantum dalam Undang-undang pokok kekuasaan kehakiman juga tidak mengabaikan azas tata kehidupan Militer yaitu azas kesatuan komando yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya dan azas kepentingan Militer. 19

Yang dimaksud dengan Hukum Militer ialah serangkaian ketentuan hukum yang terkait dan berpengaruh dengan kepentingan pertahanan Negara. Huku m Militer terbagi atas 2 yaitu hukum yang tertulis dan hukum yang tidak

19

Kanter E.Y dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan


(45)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

tertulis. Hukum yang tidak tertulis yaitu berupa perintah dari atasan, sedangkan hukum yang tertulis terdiri dari 2 yaitu:

1. Hukum Materil yang terdiri dari KUHPM dan KUHDM

2. Hukum Formil yang terdiri dari HAPMIL, Penyidikan, Penuntutan, persidangan, Eksekusi Putusan .

Dalam hal ini perlu kita ketahui juga istilah–istilah/Ketentuan umum yang merupakan bagian dari proses penyelesaian perkara Militer di Indonesia, diantaranya: 20

1. Oditurat

Pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum , sebagai pelaksana putusan atau penetapan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer

2. Pengadilan

Badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di Lingkungan Peradilan Militer

3. Ankum

Atasan yang berhak menghukum atau atasan yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin kepada prajurit yang berada dibawah wewenang komandonya menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku .

20

2006, Peraturan Panglima TNI tentang Petunjuk Teknis Penyelesaian Perkara


(46)

4. Papera

Perwira TNI yang ditunjuk dan diberi wewenang menyerahkan perkara Pidana anggotanya kepada Pengadilan Militer yang berwenang. Panglima TNI merupakan Papera tertinggi , Kepala Staf adalah Papera bagi Tersangka yang secara Organik bertugas di lingkungan angkatan. Papera dijabat serendah-rendahnya Dan Rem/Dan Brigif (AD), Dan Lanal (AL), Dan Lanud (AU)

5. Penyidik TNI

Atasan yang berhak menghukum / pejabat Polisi Militer . 6. Laporan

Pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan undang – undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

7. Pengaduan

Pemberitahuan yang disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan 8. Penyitaan

Serangkaian tindakan penyidik Polisi Militer Angkatan untuk mengambil alih dan / atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud , untuk kepentingan


(47)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan

9. Penahanan

Adalah penempatan Tersangka atau Terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik TNI atas perintah atasan yang berhak menghukum, perwira peyerah perkara, atau Hakim Ketua atau Kepala Pengadilan dengan Keputusan / Penetapannya dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang

10.Penyerahan Perkara

Tindakan perwira penyerah perkara untuk menyerahkan perkara pidana kepada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer atau pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum yang berwenang, dengan menuntut supaya diperiksa dan diadili dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang – undang .

11.Penutupan Perkara

Tindakan perwira penyerah perkara untuk tidak dapat menyerahkan perkara pidana kepada Pengadian Militer

12.Tersangka

Seseorang yang termasuk yustisiabel di lingkungan Peradilan Militer, yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana


(48)

13.Terdakwa

Seorang Tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer atau pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer atau Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum

14.Saksi

Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan dalan suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan dia alami sendiri .

15.Keterangan Saksi

Sebagai salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari Saksi mengenai suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, dengan menyebut alas an dari pengetahuan itu.

16.Keterangan Ahli

Keterangan yang diberikan oleh seseorang yang mememiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan

17.Penasehat Hukum

Seorang yang menurut ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku, memenuhi persyaratan untuk memberikan bantuan hukum menurut cara yang diatur dalam undang-undang .


(49)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

Seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer atau pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

19.Upaya Hukum

Dalam Hukum Acara Pidana Militer, hak Terdakwa dan Oditur untuk tidak menerima putusan pertama/pengadilan tingkat pertama dan terakhir atau tingkat banding atau tingkat kasasi yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau terpidana atau ahli warisnya atau oditur untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap serta menurut cara yang diatur dalam undang – undang .21

Laporan Polisi (POM) merupakan awal dari suatu penyelidikan dan penyidikan . Dalam Laporan Polisi haruslah mencantumkan Keterangan yang jelas tentang tempat dan waktu kejadian, Uraian Kejadian, akibat kejadian, identitas pelapor, dan Pasal yang dilanggar .

B. Proses Penyidikan Perkara Tindak Pidana TNI

22

Laporan Polisi ini didasarkan atas adanya laporan dari pelapor perorangan baik secara lisan atau tertulis, pemberitahuan dari kesatuan/dinas/jawatan/instansi/ lain baik dengan surat ataupun telepon, adanya perintah dari komando atas dengan surat atau telepon, ataupun adanya pengetahuan dari penyidik sendiri . Pada hal

21

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit TNI

22

Peraturan Panglima TNI tentang Petunjuk Teknis Penyelesaian Perkara Pidana di lingkungan Oditurat, Opcit hal 3.


(50)

dimana seorang TNI melakukan Tindak Pidana dan tertangkap oleh oknum Polisi (bukan POM) maka Polisi akan menyerahan perkara tindak pidana tersebut kepada POM.

Tindakan penangkapan dan penahanan adalah kewenangan Ankum yang bersangkutan, kecuali dalam hal tertangkap tangan (seperti yang diuraikan pada alenia sebelumnya) dimana setiap orang berhak melakukan penangkapan namun tersangka tetap harus diserahkan kepada Instansi TNI terdekat beserta barang bukti (apabila ada), selanjutnya Instansi TNI tersebut menyerahkan kepada Polisi Militer Angkatan, pada kesempatan pertama Polisi Angkatan memberitahukan kepada Ankum yang bersangkutan

Tindakan penangkapan harus dilengkapi dengan surat perintah yang di keluarkan oleh Ankum yang bersangkutan dan Surat perintah penangkapan tersebut harus diserahkan kepada Tersangka yang kemudian dibuat Berita Acara Penangkapan Sama halnya dengan tindakan penangkapan, tindakan penahanan juga harus dilengkapi dengan surat perintah dari Ankum dan dibuat pula Berita Acara Penahanan.

Seseorang menjadi Tersangka tentunya adalah karena adanya suatu dugaan tindak pidana yang dilakukannya, demi memperoleh kejelasan mengenai dugaan – dugaan tersebut maka diperlukanlah bukti-bukti yang lengkap. Bukti – bukti tersebut juga bisa didapat melalui penggeledahan dan penyitaan . Dalam penggeledahan, setiap petugas yang memasuki rumah harus di sertai surat perintah penggeledahan dan diikuti oleh pemilik rumah.


(51)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

Sedangkan dalam hal tindak pidana yang dilaporkan adalah merupakan delik aduan maka disamping laporan Polisi, petugas wajib memberitahukan agar dibuat pengaduan secara tertulis . Bagi Pengadu yang tidak dapat menulis, petugas menuliskan pengaduan tersebut dan ditanda tangani petugas dan dibubuhi cap jempol dari pengadu.

Dengan adanya laporan tersebut maka POM (Polisi Militer) akan melakukan Pemanggilan Tersangka dan saksi. Pemanggilan Tersangka dilakukan dengan surat panggilan yang dialamatkan kepada Ankumnya dengan permohonan supaya diperintahkan kepada yang bersangkutan, panggilan tersebut dilampiri relaas penerimaan surat panggilan sebanyak 2 (dua) lembar. Yang pertama untuk Ankum dan yang ke dua untuk Tersangka . Sedangkan untuk pemanggilan Saksi Ada dua cara untuk melakukannya :

1. Cara untuk pemanggilan Saksi Militer

Untuk pemanggilan yang dilakukan secara tertulis dengan surat panggilan yang di tanda tangani oleh komandan atau pejabat penyidik Polisi Militer Angkatan melalui Ankum dari Saksi TNI.

Sama halnya dengan pemanggilan Tersangka untuk panggilan kepada Saksi TNI dilakukan dengan surat panggilan yang dilamatkan kepada Ankumnya dengan permohonan supaya diperintahkan kepada yang bersangkutan, panggilan tersebut dilampiri relaas penerimaan surat panggilan sebanyak 2 (dua) lembar. Yang pertama untuk Ankum dan yang ke dua untuk


(52)

Saksi.Relas Penerimaan tersebut adalah sebagai suatu pernyaatan kesanggupan untuk memenuhi panggilan dari Pengadilan.

Pemanggilan Saksi TNI diluar daerah hukum instansi yang memanggil, dilakukan melalui Ankumnya dengan tembusan POM Angkatan setempat, sedangkan apabila saksi berada dalam tahanan maka disampaikan melalui instansi tempat Tersangka ditahan.

2. Cara untuk pemanggilan Saksi non Militer. 23

Setelah dilakukan pemanggilan maka diadakan pemeriksaan terhadap Tersangka dan Saksi. Pemeriksaan Tersangka dan Saksi dilakukan oleh Penyidik (Polisi Angkatan/Oditur) yang bertujuan untuk memperoleh keterangan – keterangan tentang suatu peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak pidana dan untuk memperoleh alat bukti selengkap- lengkapnya yang dapat mendukug pembuktian terhadap tindak pidana yang diduga dilakukan oleh Tersangka.

Panggilan dilakukan dengan surat panggilan dan disampaikan langsung kepada yang bersangkutan di tempat tinggalnya dan di lampirkan relas penerimaan, dalam relas penerimaan ini menerangkan mengenai Berita Acara Pemeriksaan Tersangka.

Apabila alamat, tempat tinggal saksi kurang jelas, maka surat panggilan dapat disampaikan melalui Kelurahan/Kepolisian, Koramil setempat dimana Saksi bertempat tinggal, atau apabila Saksi adalah karyawan maka disampaikan melalui perusahaan tempat Saksi bekerja.

23

Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana Dalam Prospeksi, Jakarta, Tri Ubaya Cakti, 1961, hal 18.


(53)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

Dalam hal seorang Tersangka melakukan tindak pidana sebagaimana diuraikan diatas, sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepada Tersangka tentang haknya mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib di dampingi oleh penasehat hukum, dan untuk kelancaran pemeriksaan di persidangan, apabila dikhawatirkan diantara para Saksi tidak dapat hadir dalam sidang karena suatu kepentingan yang tidak dapat ditinggalkan, sakit, meningal dunia, atau pindah daerah, setelah pemeriksaan para Saksi diambil sumpahnya untuk memperkuat keterangannya di lengkapi dengan Berita Acara Pengambilan Sumpah.

Penyidikan perkara juga dapat dilakukan oleh Oditur apabila Panglima TNI menilai suatu perkara perlu penyidikannya dilakukan oleh Oditur dan Panglima memerintahkan kepada Orjen TNI, kemudian Orjen memerintahkan Oditur.

C. Penyelesaian Perkara pra persidangan

Sebelum perkara pidana Tersangka disidangkan, diperlukan proses dalam hal administrasi, antara lain Penerimaan berkas perkara, Pengolahan perkara, dan Penyerahan perkara kepada Pengadilan .

1. Penerimaan berkas perkara 24

Polisi Militer angkatan pada saat menyerahkan berkas perkara disertai dengan tanggung jawab atas Tersangka dan barang bukti kepada Kaotmil/Kaotmilti . Apabila Tersangka dalam status ditahan, Kaotmil /

24

Peraturan Panglima TNI tentang petunjuk teknis penyelesaian perkara pidana dilingkungan Oditurat,op.cit hal 10.


(54)

Kaotmilti menitipkan kembali penahanan Tersangka kepada Polisi Militer Angkatan yang menyerahkan berkas perkara . Berkas perkara yang diterima tersebut harus di register, kemudian Kaotmilti menunjuk Oditur pengolah berkas, dan sedapat mungkin oditur pengolah berkas ini kelak adalah oditur yang bertindak sebagai penuntut umum.

Apabila dalam penelitian suatu berkas perkara ditemukan adanya beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa Tersangka hingga masing-masing merupakan suatu tindak pidana

2. Pengolahan perkara

Oditur yang ditunjuk oleh Kaotmil/Kaotmilti akan melakukan kegiatan pengolahan perkara dan dibuat dalam Berita Acara Pendapat. Berita Acara Pendapat tersebut dibuat atas rumusan fakta yang dianggap cukup terbukti serta memenuhi unsur–unsur delik yang didakwakan serta masalah yang meliputinya berdasarkan keterangan para Saksi, keterangan Tersangka, petunjuk – petunjuk dalam hubungannya satu dengan yang lain sebagai suatu rangkaian .

Setelah Oditur membuat Berita Acara Pendapat maka Kataud mengumpulkan segala surat–surat yang berkaitan dengan berkas, lalu dikirimkan kepada Papera, namun apabila dalam suatu perkara pidana sedang dalam masa proses penyelesaian perkara dan ternyata daluarsa atau Terdakwanya meninggal dunia, maka Kaotmil/kaotmilti menerbitkan Surat Pendapat Hukum diajukan kepada Papera untuk diterbitkan Surat Keputusan Penutupan Perkara.


(55)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

Setelah Surat Keputusan Penyelesaian Perkara ditandatangani oleh Papera, oditur membuat surat Dakwaan dengan mencantumkan nomor Skepera. Oditur selaku penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dalam surat– surat dakwaan dari beberapa berkas perkara, contohnya :

a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang sama dan

kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya

b. Beberapa tindak pidana yang berhubungan satu dengan yang lainnya yang dilakukan lebih dari seorang Tersangka yang bekerjasama dan dilakukan pada waktu dan tempat yang bersamaan .

c. Beberapa tindak pidana yang berhubungan satu dengan yang lainnya yang dilakukan lebih dari seorang Tersangka pada waktu dan tempat yang berbeda, tetapi merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat.

Sesuai dengan tindak pidana apa yang dilakukan oleh Terdakwa, maka dakwaan dapat disusun sebagai berikut :

a) Tunggal, dalam hal Terdakwa didakwa melakukan satu tindak pidana dan hanya dapat diterapkan satu Pasal ketentuan pidana .

b) Kumulatif, dalam hal Terdakwa melakukan beberapa tindak pidana yang berbeda dapat diterapkan beberapa Pasal ketentuan Pidana

c) Subsidair, dalam hal Terdakwa didakwa melakukan suatu Tindak Pidana tetapi kemungkinan dapat diterapkan beberapa ketentuan pidana yang sejenis sebagai pilihan. Yang didakwakan pertama adalah ketentuan yang


(56)

terberat ancaman pidananya, kemudian yang lebih ringan dan seterusnya sampai yang teringan.

3. Penyerahan perkara kepada Pengadilan

Setelah Kataud meneliti kembali kelengkapan berkas perkara, dan diangap telah cukup maka berkas perkara asli dilimpahkan Pengadilan yang berwenang dengan surat pelimpahan perkara yang ditanda tangani oleh Kaotmil / Kaotmilti.

Bersamaan dengan pelimpahan berkas perkara kepada pengadilan yang berwenang, Surat Dakwaan dikirimkan kepada Terdakwa melalui Ankum disertai relass penerimaan. Apabila Otmil/otmilti menerima pelimpahan berkas perkara dari instansi lain, Oditur Penuntut umum yang baru membuat surat dakwaan baru berdasarkan penetapan pengadilan yang melimpahkan perkara tersebut.

Setelah seluruh kelengkapan administrasi dari berkas telah terpenuhi maka berkas tersebut dikirim pada Pengadilan yang berwenang, dan salinan berkas perkara serta kelengkapannya tetap disimpan oleh Kabag / Kasi / Kaursitut untuk diserahkan kepada Oditur dalam rangka sidang, Kemudian Kaurminra membuat Rensid (rencana sidang).

Apabila saat Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Militer akan memeriksa dan mengadili suatu perkara dan ternyata Terdakwanya tidak hadir, maka Oditur atas perintah Hakim Ketua menghadirkan Terdakwa pada persidangan berikutnya, karena Terdakwa tidak dapat hadir maka diperintahkan kepada Oditur untuk mencari Terdakwa .


(57)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

Dalam hal upaya Oditur mencari Terdakwa dialamat terahir tidak diketemukan, karena Terdakwa sudah pindah tempat tinggal, pensiun, dipecat, atau melarikan diri, maka Kaotmil/Kaotmilti melakukan pencarian dengan meminta bantuan instansi terkait diduga dimana Terdakwa bertempat tinggal. Upaya pencarian tersebut dilakukan secara periodic dan berlanjut .

Namun apabila sudah dipanggil secara resmi tiga kali berturut – turut, ternyata Terdakwa tidak hadir tanpa keterangan yang sah, atau upaya pencarian yang dilakukan untuk mencari Terdakwa tidak memperoleh hasil, dan instansi yang terkait disertai surat juga telah menyatakan bahwa Terdakwa tidak diketemukan , maka dalam persidangan Oditur melaporkan kepada Hakim Ketua dan Hakim Ketua dapat melakukan Putusan tanpa kehadiran Terdakwa dan Putusan tersebut disebut Putusan In Absensia.

Apabila perkara yang oleh Pengadilan telah diputus In Absensia tersebut ternyata dikemudian hari Terdakwa diketemukan, maka Oditur atas pemberitahuan dari POM/Kesatuan Terdakwa memberitahukan kepada Pengadilan dan Terdakwa harus menjalani hasil Putusan/Eksekusi tersebut.

D. Tahap Pemeriksaan di Persidangan

Ada beberapa persiapan sebelum persidangan dibuka, antara lain : 25

a. Kaotmil berdasarkan penetapan sidang mengeluarkan surat

panggilan kepada Terdakwa dan para Saksi dengan mencantumkan waktu dan tempat sidang , pemanggilan tersebut disampaikan kepada

25


(58)

Ankum dengan tembusan kepada Papera (apabila Terdakwa dan Saksi adalah merupakan anggota TNI) atau disampaikan melalui Lurah, Kades, RT/RW setempat disertai dengan relaas.

b. Kaotmil / kaotmilti membuat surat perintah kepada masing – masing Oditur selaku penuntut umum yang akan bersidang, selanjutnya Kabag / Kasi / Kaurtut menyerahkan berkas perkara beserta barang bukti kepada Oditur yang akan bertindak sebagai penuntut umum.

c. Apabila Oditur Penuntut Umum akan mengubah Surat Dakwaan

dengan maksud untuk disempurnakan, maka perubahan tersebut diserahkan ke pengadilan dalam Lingkungan peradilan militer selambat – lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum sidang dimulai dan perubahan Surat Dakwaan dilakukan hanya 1 (satu) kali, perubahan tersebut disampaikan kepada Terdakwa dan Papera

Mengenai Penahanan, sejak perkara dilimpahkan kepada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer, maka kewenangan penahanan beralih kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang menangani perkara tersebut .

Setelah semua kelengkapan sebelum sidang di mulai telah lengkap, maka sidang dapat dimulai . Berikut adalah tahapan pelaksanaan persidangan :

a. Penghadapan Terdakwa

Oditur sebelum Majelis Hakim memasuki ruangan sidang harus sudah siap di ruangan, setelah Hakim Ketua membuka sidang, Hakim Ketua memerintahkan Oditur untuk menghadapkan Terdakwa ke depan Majelis


(59)

Icke Dina Putri K. Sitepu : Proses Penyelesaian Perkara Pidana Di Lingkungan Tni (Studi Pada Pengadilan

Hakim, lalu Oditur memerintahkan petugas untuk menghadapkan Terdakwa ke Persidangan .

b. Pembacaan surat Dakwaan

Oditur membaca Surat Dakwaan dengan sikap berdiri, setelah selesai Oditur duduk kembali.

c. Eksepsi

Terdakwa / Penasehat hukum Terdakwa apabila mempunyai keberatan maka atas seijin Hakim Ketua, Terdakwa / Penasehat Hukum Terdakwa berhak mengajukan Eksepsi atas dakwaan Oditur . Oditur menanggapi eksepsi dan menyatakan pendapat atas eksepsi tersebut.

d. Pemeriksaan Saksi

Oditur menghadapkan Saksi ke depan Majelis Hakim atas perintah dari Hakim Ketua, lalu Oditur memerintahkan kepada Petugas untuk menghadapkan Saksi ke persidangan kemudian Oditur mengajukan pertanyaan kepada Saksi secara langsung Dalam memberikan keterangan Saksi tidak boleh diganggu, setelah Saksi selesai memberikan keterangan, Hakim Ketua memberikan kesempatan kepada Terdakwa dengan menanyakan pendapat Terdakwa mengenai keterangan Saksi yang telah didengarnya, setelah Terdakwa memberikan tanggapannya, Hakim Ketua dapat menanyakan kepada Saksi tentang tanggapan Terdakwa tersebut . Terdakwa melalui Hakim Ketua dapat diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada Saksi.


(60)

Selama persidangan Oditur berhak mengajukan permintaan saksi tambahan kepada Hakim Ketua disertai alasan atau keterangan yang diperlukan dari Saksi tersebut.

Saksi yang tidak dapat hadir di sidang dengan alasan yang sah, maka keterangannya dalan Berita Acara Pemeriksaan dapat dibacakan didepan sidang, ketidak hadiran Saksi tersebut adalah karena meninggal dunia, ada halangan yang sah/karena kepentingan Negara, atau tempat tinggal Saksi yang jauh.

e. Pemeriksaan Terdakwa

Pemeriksaan Terdakwa dimulai setelah semua Saksi selesai didengar keterangannya. Untuk itu Terdakwa diperintahkan duduk di kursi pemeriksaan. Namun demikian pemeriksaan Terdakwa sesuangguhnya sudah dimulai sebagian pada waktu diminta pendapatnya mengenai keterangan saksi .

Apabila dalam suatuperkara terdapat lebih dari seorang Terdakwa, maka Hakim Ketua yang akan mengatur dengan cara yang dipandangnya baik, yaitu dengan memeriksa Terdakwa seorang demi seorang dan dengan dihadiri oleh seluruh Terdakwa, atau memeriksa seorang Terdakwa saja tanpa dihadiri oleh Terdakwa lainnya (Terdakwa yang didengar keterangannya diperintahkan dibawa keluar ruang sidang)

Setelah Hakim Ketua selesai memberikan pertanyaan, maka Hakim Ketua memberikan kesempatan kepada hakim–hakim anggota, Oditur


(1)

Hakim Peradilan Militer tentu saja kurang sempurna atau dapat dikatakan putusan tersebut akan dirasakan tidak adil bagi si terpidana yang akan menyulitkan dalam pelaksanaan hukuman. Tetapi karena kepentingan komando dalam hal kesiapan kesatuan, sehingga tidak hadirnya prajurit secara tidak sah perlu segera ditentukan status hukumnya.

2. Pelaksanan putusan hakim dalam perkara pidana militer yang In-absensia sulit untuk segera di laksnakan, dimana si terpidana dalam status disersi yang melalui pihak Polisi Militer melaksanakan pencarian guna kemudian si terpidana ditangkap dan ditahan untuk kemudian melaksanakan hukumanya sesuai dengan putusan hakim, namun karena si terpidana belum dapat ditangkap maka pelaksanaan hukuman pun akan terbengkalai.30

30


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penelusuran dan penelitian yang penulis lakukan perihal proses penyelesaian perkara pidana di lingkungan Tentara Nasional Indonesia maka pada bab empat ini penulis akan memberi kesimpulan dan saran atas beberapa permasalahan yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya, yaitu sebagai berikut:

A. Kesimpulan

1. Dengan diberlakukannya Undang–undang No. 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman maka Undang–undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan–Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang–undang No. 35 Tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku. Atas dasar Undang–undang No. 4 Tahun 2004 tersebut Presiden Mengeluarkan Keputusan No. 56 tanggal 9 Juli 2004 mengenai Pengalihan Pembinaan Organisasi, Administrasi, dan Financial Pengadilan dalam Lingkungan Pengadilan Militer dari MABES TNI ke Mahkamah Agung R.I dan untuk menindak lanjuti Keputusan Presiden No. 56 Tahun 2004 tanggal 9 Juli 2004 tersebut maka terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004 Pengadilan Militer telah berada satu atap dengan Mahkamah Agung. Kemudian atas dasar Kepres tersebut Panglima TNI dan Ketua Mahkamah Agung RI mengadakan serah terima wewenang pembinaan organisasi, administrasi, dan financial Pengadilan dalam Lingkungan Pengadilan


(3)

Militer dan menyepakati kerja sama dalam pembinaan personel dan mengenai pengunaan serta perawatan asset dan barang inventaris

2. Kendala dalam Organisasi (dalam hal ini yang dimaksud Organisasi adalah kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, dan struktur organisasi Pengadilan), dan kendala dalam hal Administrasi (dalam hal ini ialah kegiatan dalam bidang kepegawaian, kekayaan Negara, keuangan, arsip dan dokumen pada pada Pengadilan), namun hal yang paling utama dari kendala peralihan Pengadilan Militer ini adalah karena jumlah personel yang amat terbatas sehingga menyebabkan tumpang tindih jabatan sehingga hasil kerja dari para personel tidak maksimal.

3. Proses persidangan yang tanpa hadirnya si pelaku/terpidana menjadikan Hakim menjatuhkan putusan hanya berdasarkan keyakinan yang didukung oleh beberapa alat bukti yang sah tanpa dapat mendengarkan keterangan langsung dari si pelaku/terpidana sehingga putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Peradilan Militer tentu saja kurang sempurna atau dapat dikatakan putusan tersebut akan dirasakan tidak adil bagi si terpidana yang akan menyulitkan dalam pelaksanaan hukuman. Tetapi karena kepentingan komando dalam hal kesiapan kesatuan, sehingga tidak hadirnya prajurit secara tidak sah perlu segera ditentukan status hukumnya. Dan Pelaksanan putusan hakim dalam perkara pidana militer yang In-absensia sulit untuk segera di laksnakan, dimana si terpidana dalam status disersi yang melalui pihak Polisi Militer melaksanakan pencarian guna kemudian si terpidana ditangkap dan ditahan untuk kemudian melaksanakan hukumanya sesuai


(4)

dengan putusan hakim, namun karena si terpidana belum dapat ditangkap maka pelaksnaan hukuman pun akan terbengkalai.

B. Saran

1. Dengan berlakunya Undang-undang No. 4 Tahun 2004 dimana Peradilan Militer dan Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan TUN sudah dibawah satu atap, maka perlu diciptakan kesederajatan baik mengenai organisasi, administrasi, dan keuangan antara Peradilan Militer dan ketiga peradilan lainnya. Terutama sekali yang menyangkut proses penyelesaian perkara.

2. Dalam rangka pelaksanaan Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI terutama menyangkut Pasal 65 ayat (2) dimaan pelanggaran pidana oleh prajurit diadili oleh Pengadilan Umum maka sudah sewajarnya kewenangan Papera untuk melimpahkan perkara ke pengadilan ditiadakan karena birokrasi yang tidak memungkinkan jaksa meminta skep perkara ke Papera untuk melimpahkan perkara Tersangka ke Pengadilan Umum.

3. Dalam rangka mengurangi beban perkara di Pengadilan Militer maka sebaiknya pelanggaran tindak pidana yang ancaman 3 (tiga) bulan kebawah dan kejahatan jabatan dan lain-lainnya cukup disidangkan pada sidang profesi sehingga beban perkara di Peradilan Militer tidak menumpuk.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Sonson Basar, Perkembangan Peradilan Militer setelah berada dibawah

Organisasi Mahkamah Agung RI, Dirjen TUN & MIL MARI,2004.

Brigjen TNI H.A.Afandi, Faktor – factor non hukum dalam kasus militer, Babinkum TNI, 2004.

S.R . Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Jakarta, Alumni AHM-PTHM, 1985.

P.A.F Lamintang, Dasar – dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, 2005.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1984.

Soerjono Soekanto dan Mamudji , Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan

singkat, Radjawali Press, Jakarta, 1990.

Reflinar Nurman, Peranan komandan dalam proses penyelesaian perkara pada

peradilan militer setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Pasca Sarjana USU Medan, 2005.

Darwan Prinst, Peradilam Militer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Kabul Arifin, Surjipto Mr, dan Sudjiwo, keadaan bahaya, Jakarta BAPPIT Pusat “Permata” , 1960.

Kanter E.Y dan S.R Sianturi,, asas-asas hukum pidana di Indonesia dan penerapannya, Jakarta, Alumni AHM-PTHM., 1982.

Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam prospeksi, Jakarta, Tri Ubaya Cakti, 1961.

C.S.T Kansil dan Chistine S.T Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, Sinar Grafika, 1995


(6)

Jurnal

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Militer, Jakarta, MABES TNI, 1985. Undang – undang Republik Indonesia No. 34 tahun 2004 tentang TNI, Babinkum

ABRI, 2004.

Undang-undang Republik Indonesia No.4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum TNI, 2004.

Peraturan Panglima TNI tentang Petunjuk Teknis Penyelesaian Perkara Pidana di Lingkungan Oditurat. , MABES TNI, 2006.

Peraturan Perundang-undangan Mahkamah Agung RI, Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, 2000

Undang – undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan militer

,MABES TNI


Dokumen yang terkait

Eksistensi Praperadilan Dalam Proses Hukum Perkara Pidana Di Pengadilan Negeri Medan

2 79 144

Penyelesaian perkara tindak pidana perzinahan Yang dilakukan prajurit tni di pengadilan Militer ii 11 yogyakarta

1 26 78

Penerapan alat bukti pada proses penyelesaian tindak pidana insubordinasi Yang dilakukan oleh anggota tni dalam lingkungan peradilan militer (studi kasus di pengadilan militer ii 11 yogyakarta)

2 36 72

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG DILAKUKAN ANGGOTA TNI Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Anggota TNI Di Lingkungan Pengadilan Militer II-10 Semarang.

0 2 17

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA YANG DILAKUKAN Proses Penyelesaian Perkara Pidana Yang Dilakukan Oleh Anggota TNI Studi Kasus di DENPOM Salatiga, Pengadilan Militer II-10 Semarang.

0 2 12

PENDAHULUAN Proses Penyelesaian Perkara Pidana Yang Dilakukan Oleh Anggota TNI Studi Kasus di DENPOM Salatiga, Pengadilan Militer II-10 Semarang.

0 3 17

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI Proses Penyelesaian Perkara Pidana Yang Dilakukan Oleh Anggota TNI Studi Kasus di DENPOM Salatiga, Pengadilan Militer II-10 Semarang.

1 2 29

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO).

0 0 17

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PERZINAHAN YANG DILAKUKAN PRAJURIT TNI DI WILAYAH HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PERZINAHAN YANG DILAKUKAN PRAJURIT TNI DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II-10 SEMARANG DAN PENGADILAN MILITER II-11 YOGYAKARTA.

0 0 12

PENDAHULUAN PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PERZINAHAN YANG DILAKUKAN PRAJURIT TNI DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II-10 SEMARANG DAN PENGADILAN MILITER II-11 YOGYAKARTA.

0 0 15