STUDI PENDAHULUAN KONVERSI SELULOSA MENJADI GULA ALKOHOL MENGGUNAKAN NANOKATALIS LaCrO3

(1)

ABSTRACT

PRELIMINARY STUDY CONVERTION OF CELLULOSE TO ALCOHOL SUGAR USING LaCrO3 NANOCATALYST

By

Lolita Napatilova Albert Kahar

Sol gel preparation of LaCrO3 nanocatalyst using pectin as emulsifying agent which is calcined at 600 and 700˚C, respectively and catalytic test for cellulose to alcohol sugar have been studied. Then, the calcined materials were characterized using PSA to determine the particle size distribution, XRD to evaluate the phase composition, TEM to analyze the morphology and suface structure in 3-D, and FTIR to analyze the existence of both Lewis and Brönsted-Lowry acid sites. Furthermore, the result of catalytic tests were analyzed using LCMS. PSA proved that particle size of catalyst calsined at 600 and 700 ˚C respectively has a nano-size with cummulative distribution of 21,91% and 86,40%. FTIR analysis revealed that Lewis acid site is the prominent. The TEM result showed that there were aglomeration. Then, XRD result poved that sample calcined at 700 ˚C has a single crystalline phase of LaCrO3 and has a particle size of 21,45 nm. Calculated by Scherrer equation. The catalytic test proved that LaCrO3 is active to convert cellulose into sucrose, sorbitol and mannitol, with conversion of 16,66%.


(2)

ABSTRAK

STUDI PENDAHULUAN KONVERSI SELULOSA MENJADI GULA ALKOHOL MENGGUNAKAN NANOKATALIS LaCrO3

Oleh

Lolita Napatilova Albert Kahar

Telah dilakukan preparasi nanokatalis LaCrO3 dengan metode sol gel dan pelarut pektin pada temperatur kalsinasi 600 dan 700 ºC serta uji aktivitas katalitiknya dalam konversi selulosa menjadi gula alkohol. Karakterisasi katalis meliputi analisis keasaman, analisis ukuran partikel (PSA), analisis morfologi katalis (TEM) dan analisis fasa kristalin (XRD). Selanjutnya, hasil uji katalitik konversi selulosa dianalisis menggunakan LCMS. Hasil analisis keasaman katalis LaCrO3 yang dikalsinasi pada temperatur 600 dan 700 ºC sebesar 1,0599 dan 1,1554 mmol piridin/gram katalis dengan jenis situs asam dari keduanya yaitu situs asam Lewis. Ukuran partikel pada rentang 0 100 nm dari katalis LaCrO3 yang dikalsinasi pada temperatur 600 dan 700 ºC memiliki distribusi volum kumulatif sebesar 21,91% dan 86,40%. Hasil analisis morfologi dari kedua katalis menunjukkan masih banyak aglomerasi dan diperoleh ukuran rata-rata partikel dari lima spot pada katalis LaCrO3 pada kalsinasi 600 dan 700 ˚C sebesar 34,59 dan 30 nm. Analisis XRD dari katalis yang dikalsinasi pada temperatur 700 ºC murni membentuk fasa kristalin LaCrO3 dengan ukuran rata-rata partikel yang dihasilkan dari persamaan Scherrer sebesar 21,45 nm. Sebanyak 16,66% selulosa berhasil dikonversi dengan bantuan katalis LaCrO3 yang dikalsinasi pada temperatur 700 ºC menjadi sukrosa dan sorbitol atau manitol.


(3)

STUDI PENDAHULUAN KONVERSI SELULOSA MENJADI GULA ALKOHOL MENGGUNAKAN NANOKATALIS LaCrO3

Oleh

Lolita Napatilova Albert Kahar

(Skripsi)

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA SAINS

Pada Jurusan Kimia

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

STUDI PENDAHULUAN KONVERSI SELULOSA MENJADI GULA ALKOHOL MENGGUNAKAN NANOKATALIS LaCrO3

(Skripsi)

Oleh

Lolita Napatilova Albert Kahar

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Struktur molekul selulosa... 4

2. Struktur kimia dari sorbitol, manitol dan xylitol ... 6

3. Struktur pektin ... 9

4. Struktur asam pektat ... 10

5. Struktur asam pektinat ... 10

6. Struktur protopektin ... 11

7. Skema alat LCMS ... 13

8. Struktur umum perovskite ABO3 ... 14

9. Skema instrumentasi FTIR ... 24

10. Proses pembentukan spektrum inframerah dari interferogram ... 25

11. Spektra inframerah katalis Fe2O3 ... 26

12. Skema kerja dari TEM ... 27

13. Mikrograf TEM dari PHBHHx ... 27

14. Skema alat XRD ... 29

15. Proses pembentukkan puncak pada XRD ... 29

16. Perbandingan antara difraktogram katalis sebelum dan sesudah uji aktifitas ... 30

17. Kurva PSA ... 32

18. Profil kalsinasi sampai temperatur 600˚C ... 35

19. Profil kalsinasi sampai temperatur 700˚C ... 35

20. Alat fermentor pada reaksi katalitik ... 39


(6)

xxi

22. Serbuk katalis LaCrO3 ... 42

23. Spektrum infra merah (a). Pektin (b). Katalis LaCrO3 temperatur 600˚C dan (c). Katalis LaCrO3 temperatur 700 ˚C ... 44

24. Kurva PSA katalis LaCrO3 pada temperatur kalsinasi 600 ˚C . ... 48

25. Kurva PSA katalis LaCrO3 pada temperatur kalsinasi 700 ˚C ... 48

26. Mikrograf TEM katalis LaCrO3 temperatur kalsinasi 600 (a) dan 700 ˚C (b) ... 52

27. Difraktogram hasil pencocokan pola difraksi katalis pada temperatur kalsinasi 600 dan 700 ˚C pada panjang gelombang sinar X Cu-kα: 1,541874Å ... 54

28. Spektrum LC hasil konversi selulosa ... 59

29. Spektrum MS hasil konversi selulosa ... 60


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR GAMBAR ... xx

I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Tujuan Penelitian ... 3

C.Manfaat Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Selulosa ... 4

B. Gula Alkohol ... 6

a.Sorbitol ... 7

b.Manitol ... 8

c.Xylitol ... 8

C. Pektin ... 9

D. Liquid Chromatography Mass Spectrophotometer (LCMS) .... 12

E. Senyawa Perovskite ... 14

F. Katalis ... 16

G. Material Nanopartikel ... 16

H. Preparasi Katalis ... 17

1. Impregnasi ... 18

2. Sol Gel ... 19

3. Freeze Dry ... 19

4. Kalsinasi ... 21

I. Karakterisasi Katalis ... 21


(8)

xvi

a. Metode Gravimetri ... 22

b. Fourier Transform Infra Red (FTIR) ... 23

2. Transmission Electron Microscope (TEM) ... 26

3. X-Ray Difraction (XRD) ... 28

4. Particle Size Analyzer (PSA) ... 30

III. METODELOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 33

B. Alat dan Bahan ... 33

C. Prosedur Penelitian ... 34

1. Persiapan Nanokatalis ... 34

2. Karakterisasi Nanokatalis ... 36

A.Analisis Keasaman ... 36

B. Analisis Ukuran Partikel ... 37

C.Analisis Morfologi ... 37

D.Analisis Struktur Kristal ... 37

D. Uji Katalitik ... 38

1. Preparasi Sampel ... 38

2. Reaksi Katalitik ... 38

3. Uji Fehling ... 39

4. Analisis dengan LCMS ... 39

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Preparasi Nanokatalis ... 40

2. Karakterisasi Nanokatalis ... 43

A. Analisis Keasaman ... 43

B. Analisis Ukuran Partikel ... 48

C. Analisis Morfologi Katalis ... 51

D. Analisis Struktur Kristal ... 53

E. Uji Katalitik ... 57

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 63


(9)

xvii

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Fungsionalisasi kimia derivat selulosa non konvensional ... 5 2. Hasil distribusi volum kumulatif ukuran partikel katalis LaCrO3

yang dikalsinasi pada temperatur 600 ˚C yang terdeteksi oleh alat

PSA ... 49 3. Distribusi ukuran partikel katalis LaCrO3 yang dikalsinasi pada

temperatur 600 ˚C pada rentang 0 100 nm yang terdeteksi oleh

alat PSA ... 49 4. Hasil distribusi volum kumulatif ukuran partikel katalis LaCrO3

yang dikalsinasi pada temperatur 700 ˚C yang terdeteksi oleh alat

PSA ... 50 5. Distribusi ukuran partikel katalis LaCrO3 yang dikalsinasi pada

temperatur 700 ˚C pada rentang 0 – 100 nm yang terdeteksi oleh

alat PSA ... 50 6. Puncak-puncak representatif dari masing-masing acuan LaCrO3

dan LaCrO4 ... 53 7. Puncak-puncak representatif dari difraktogram katalis pada

temperatur kalsinasi 600 ˚C ... 54 8. Puncak-puncak representatif dari difraktogram katalis pada

temperatur kalsinasi 700 ˚C ... 55 9. Hasil uji kualitatif konversi selulosa dengan variasi gram katalis .. 57 10. Hasil uji kualitatif konversi selulosa dengan variasi waktu

aliran gas H2 ... 57 11. Hasil uji kualitatif konversi selulosa dengan variasi temperatur .... 58


(11)

xix


(12)

(13)

MOTTO

Jangan mengharapkan bantuan dari orang lain

Berusahalah sendiri! (Muhammad Kahar)

Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk hari tua. (Aristoteles)


(14)

(15)

PERSEMBAHAN

Dengan segala kerendahan hati kupersembahkan karya

kecilku ini kepada:

Kedua orang tuaku, Papi dan Mami

Terimakasih untuk semua kasih sayang, pengorbanan dan

doanya

Adik-Adikku, Tante,Om dan Nenek tersayang

Terimakasih untuk semua semangat dan doanya


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Harapan pada tanggal 20 Agustus 1993, anak pertama dari tiga bersaudara, yang merupakan buah kasih dari pasangan Ayahanda Norman Albert dan Ibunda Lenna Tuhumena.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Seputih Banyak 2004, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Seputih Banyak pada tahun 2007 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Seputih Banyak pada tahun 2010. Penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung pada tahun 2010 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan Rohani Islam (ROIS) FMIPA periode 2010-2011, organisasi Himpunan

Mahasiswa Kimia (HIMAKI) periode 2010-2011 sebagai anggota Kader Muda HIMAKI (KAMI) dan periode 2011-2012 sebagai anggota Bidang Kestari HIMAKI.

Pada bulan Januari 2014 penulis bersama tim dari Fakultas Peternakan Universitas Lampung menerima dana hibah penelitian dari dikti dalam kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa dengan judul Pemanfaatan Daun Binahong (Basella


(17)

viii

ruba linn) dalam Ransum terhadap Penurunan Kadar Kolesterol dan Darah

Broiler”. Pada bulan Oktober 2014 penulis menyelesaikan Praktik Kerja

Lapangan di Laboratorium Anorganik Fisik dengan judul Pemanfaatan Ekstrak Green Coffee Untuk Preparasi Nanokatalis LaCrO4’’.


(18)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin. Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT, Dzat yang senantiasa menganugerahkan ilmu pengetahuan kepada manusia dengan perantara kalam, sehingga atas kehendak dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ʻʻ Studi Pendahuluan Konversi Selulosa menjadi Gula Alkohol menggunakan Nanokatalis LaCrO3’’ dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat serta pengikutnya yang setia hingga Yaumil Akhir. Amin.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sains pada Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung. Tidak sedikit kendala yang dihadapi penulis dalam pelaksanaan serta dalam penulisan skripsi ini, tapi Alhamdulillah, Allah menunjukkan kemurahan-Nya melalui orang-orang yang dipercaya untuk

membantu penulis, sehingga kendala tersebut dapat terlewati dengan baik. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada :

1. Papi dan Mami, yang memberikan pendidikan pertama di dunia ini, motivasi, pengorbanan, serta do’a yang tiada henti-hentinya demi kelancaran penulis dalam menuntut ilmu.


(19)

xii

2. Bapak Dr. Rudy TM Situmeang, M.Sc., selaku pembimbing utama, rekan, sekaligus ayah bagi penulis yang dengan sabar memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis.

3. Bapak Prof. Wasinton Simanjuntak, Ph.D., selaku pembimbing II, atas saran, motivasi dan diskusi-diskusinya hingga terselesaikannya skripsi ini.

4. Bapak Dr. Eng. Suripto Dwi Yuwono, selaku pembahas dan Ketua Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung. Terimaksih atas semua kritik dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Prof. Suharso, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

6. Ibu Rinawati, Ph.D., selaku pembimbing Akademik yang telah memberikan motivasi dan arahan selama masa kuliah.

7. Mb Liza selaku Laboran Kimia Anorganik Fisik, atas bantuan dan motivasinya selama ini.

8. Segenap staf pengajar dan karyawan Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

9. Adik-adikku Doan Asido Albert Kahar, Aurora Olivia Albert Kahar, Gandhi Chaniago, Arif Diky Damara, Lanona Tompira Jasmine, Anggun Permatasari, dan Govindo Rafli Wijaya. Rapunzel Mexellent, Gadis dan ketiga anaknya, Bruno, Alm. Katty dan Swift penghibur kejenuhan.

10. Adi Pangestu (Pocu), atas motivasi dan doanya, serta bimbingannya untuk lebih tenang dan optimis menghadapi semuanya.


(20)

xiii

11. Sahabat-sahabat terbaikku, Wulan Sulistya Ningsih, Kristi Arina (bundo), Fajria Faiza (fafai), Sifa Kusuma Wardani (cife), Silvana Maya Pratiwi (sisil), Ariyanti (mb ari), Purniawati (Pungky), Elly Setiawati, Indah Aprianti, Putri Sari Dewi, Juni Zulhijjah, Wynda Dwi Anggraini, Yussi Fitria, Hapin Afriyani, Chintia Yolanda (cincin), Surtini Karlina Sari, Chyntia Gustiyanda Patraini, Feby Aditya dan Etha ‘Azizah Hasiib.

12. Teman-teman Chemistry_10 (Chemud) : Kimia Fisik : Lailatul Khasanah, Ruly Prayetno, Hanif Amrulloh ZA., Funda Elisyia, Leni Astuti dan Faradilla Syani. Organik : Rahmat Kurniawan dan M. Nurul Fajri. Anorganik : Agung Supriyanto, Sevina Silvi, Widya Afriliani Wijaya dan Fauziyah Mu’min Sidiq, Analitik : Muhammad Prasetyo Ersa, Martha Selvina Gultom, Rini Panjaitan. Biokimia : Putri Heriyani Utami, Rani Anggraini. Serta teman-teman yang pindah jurusan, Sunarmo, Ucep Saifulloh, Maria Anggraini. 13. Catalyst Crew : Kak Septhian, kak Dani, kak Sobari, pak Rodhiansyah dan

kak Raffel yang telah banyak memberi saran, semangat, motivasi dan diskusi-diskusinya kepada penulis, Eva Dewi Noviyanthi dan Feby Rinaldo Pratama Kusuma yang setia menemani saat penelitian, serta Ana Maria Kristiani, Sanjaya Yudha Gautama dan Fatma Maharani jangan bosan belajar dan mencari teori seputar penelitian. Jangan takut dengan siapapun jika kita benar!

14. Teman-teman Kimia angkatan 2011 khususnya Ramos, Nico, Rio, Ay ay, Melly A., Melly N., 2012, 2013, 2014 dan 2015 atas diskusi dan


(21)

xiv

15. Teman-teman Lab. Biomassa, Lab. Anorganik-Fisik, Lab. Biopolimer, Lab. Polimer, Lab. Analitik dan Lab. Biokimia Universitas Lampung.

16. Teman-teman Kost depan pohon jengkol; F. Inggrid Krismasary, Mei Triani, Eka Setyo Rini, Dora, Selvi, Ayu, Mb nida, Novi, Ida, Cindy, Jiji, Ses Nok, Resa, Melin yang paling nyebelin, Nira, Selyn, Anggun, Mb Septa, Rafa, Rara dan Ratu.

17. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap semoga Allah SWT mencatat dan membalas semua kebaikan yang diberikan kepada penulis. Amin. Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, namun demikian penulis

berharap semoga skripsi yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat dan memiliki nilai guna khususnya bagi rekan-rekan mahasiswa dan pembaca pada umumnya. Amin.

Bandar Lampung, Oktober 2015 Penulis


(22)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Gula alkohol merupakan produk turunan selulosa yang penting karena senyawa tersebut memiliki manfaat yang beragam, antara lain sebagai pengganti gula dapur yang aman dikonsumsi terutama oleh penderita diabetes yang tidak mampu

memproduksi insulin, stabilizer pada suplemen dan makanan, menjaga kesehatan gigi dengan cara menghambat pembentukan karies dan plak pada gigi, menekan keasaman plak serta mempercepat proses pembentukan mineral gigi (Zumbé et al., 2001). Gula alkohol yang dimanfaatkan ini biasanya dalam bentuk sorbitol, manitol dan xylitol (Hansen et al., 2006).

Gula alkohol dapat dihasilkan dengan menguraikan selulosa dengan bantuan katalis. Sebagai contohnya, konversi selulosa menjadi sorbitol menggunakan katalis Ru/AC-SO3H dengan perolehan rendemen sebesar 71,1 % pada temperatur reaksi 165˚C (Lee and Han, 2012). Selanjutnya Fukuoka et al. (2011) dengan katalis logam Pt(N)/BP2000 menghasilkan sorbitol sebesar 39% dan manitol sebesar 4% dengan waktu 24 jam pada temperatur reaksi 190˚C, konversi selulosa menjadi manitol dengan rendemen sebesar 68,07% menggunakan katalis


(23)

2

et al., 2014. Peneliti lainnya, Palkovits et al. (2011) berhasil mengubah selulosa menjadi xylitol sebesar 11,3% menggunakan katalis Ru/C pada suasana asam (H2SO4) selama 3 jam pada temperatur reaksi 160 ˚C.

Beberapa contoh hasil penelitian yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa katalis yang sudah diteliti belum mampu memberikan hasil yang optimum. Kelemahan tersebut menunjukkan bahwa pengembangan sistem katalis yang berbeda masih sangat diperlukan. Hal inilah yang menjadi acuan dalam melakukan penelitian menggunakan LaCrO3 yang digagas dalam studi ini. Pemilihan jenis katalis ini juga didukung oleh aplikasinya yang sudah sangat umum untuk berbagai reaksi katalitik, antara lain dekomposisi NO2 (Situmeang, 2003), dehidrogenasi CO2, konversi hidrokarbon (Chettapongsaphan et al., 2006) dan konversi syn-gas (Keav et al., 2014). Unjuk kerja katalis LaCrO3 yang disebutkan di atas mengindikasikan bahwa jenis katalis ini juga memiliki potensi untuk dimanfaatkan untuk penguraian selulosa menjadi gula alkohol, namun potensi ini belum digali hingga sekarang.

Selain komposisi, karakteristik lain dari suatu katalis yang sudah diakui menjadi penentu unjuk kerjanya adalah ukuran partikel. Adanya keterkaitan antara ukuran partikel dengan unjuk kerja inilah yang menjadi alasan untuk pengembangan nanokatalis. Keunggulan yang dimiliki material nano adalah memiliki luas permukaan yang besar dan rasio-rasio dari atomnya tersebar secara merata pada permukaan materialnya. Sifat-sifat ini yang akan memberikan keuntungan untuk transfer massa di dalam pori-pori, terbukanya situs aktif dan juga penyumbang antar muka yang besar dalam reaksi-reaksi adsorpsi dan katalitik (Widegren et al.,


(24)

3

2003). Kesesuaian metode preparasi yang digunakan pada saat memasukkan logam ke dalam prekursor katalis akan mempengaruhi ukuran partikel yang diperoleh. Begitu pula dengan pemilihan pelarut dalam proses preparasi katalis juga menentukan hasil akhir yang didapatkan. Pelarut yang digunakan harus mampu mengikat serta mendispersikan kation dari logam prekursor untuk

menghasilkan material yang homogen (Pinna, 1998; Ismunandar, 2006; Lou et al., 2009; Almeida et al., 2008 and Maensiri et al., 2007).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam penelitian ini dilakukan preparasi nanokatalis LaCrO3 menggunakan pelarut pektin dengan metode sol gel dan freezer-dry serta uji aktivitas katalitik nanokatalis LaCrO3 dalam konversi selulosa menjadi gula alkohol seperti sorbitol, manitol dan xylitol.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mempelajari preparasi nanokatalis LaCrO3 dengan metode sol gel.

2. Mengetahui kesesuaian metode sol gel dalam menghasilkan katalis LaCrO3 yang berukuran nano.

3. Mengetahui unjuk kerja dari nanokatalis LaCrO3 terhadap konversi selulosa menjadi gula alkohol seperti sorbitol, manitol dan xylitol.

C. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu nanokatalis LaCrO3 dapat diaplikasi dalam pemanfaatan limbah pertanian yang banyak mengandung selulosa untuk diolah menjadi gula alkohol seperti sorbitol, manitol dan xylitol yang bernilai jual tinggi.


(25)

III. METODELOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik Fisik Universitas Lampung. Analisis keasaman dan ukuran partikel katalis dilakukan di UPT Laboratorium Terpadu dan Sentra Inovasi Teknologi Universitas Lampung, analisis fasa kristalin dilakukan di BATAN Serpong, analisis morfologi katalis dilakukan di Laboratorium Anorganik UGM dan analisis hasil uji aktivitas dari reaksi katalitik dilakukan di LIPI Serpong. Penelitian dilakukan dari bulan Oktober 2014 sampai Juni 2015.

B. Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas, termometer, oven, neraca digital, desikator, ultrasonikasi, Magnetic Strirrer, Freezer Dry, Fourier Transform Infra Red (FTIR), Particle Size Analyzer (PSA), Transmission Electron Microscopy (TEM), X-ray Difraction (XRD) dan Liquid

Chromatography Mass Spectrophotometer (LCMS).

Bahan-bahan yang digunakan adalah pektin, Lathanum nitrat La(NO3)26H2O (Merck, 99%), Cromium nitrat Cr(NO3)39H2O (Merck, 99%), piridin (J.T Baker),


(26)

34

selulosa (Merck), gas Hidrogen (BOC 99,99%), amonia, fehling A, fehling B dan akuades.

C. Prosedur Penelitian

1. Preparasi Nanokatalis

Preparasi nanokatalis LaCrO3 dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu sebagai berikut.

a. Proses gelisasi prekursor dengan pektin

Proses gelisasi dilakukan dengan melarutkan 1,8125 gram La(NO3)26H2O, 1,6749 gram Cr(NO3)39H2O, 4 gram pektin dan 2,5 mL amonia dalam 200 mL akuades. Larutan diaduk menggunakan heating magnetic stirrer pada temperatur 100 ˚C hingga diperoleh larutan homogen dan terbentuk gel.

b. Freezer-dry

Freezer-dry digunakan untuk menghilangkan uap air dalam rongga bahan nanokatalis tanpa merusak jaringan yang telah terbentuk dari bahan tersebut. Keseimbangan antara panas yang diadsorpsi oleh sampel untuk menguapkan air dan memindahkan panas dari kondensor untuk mengubah uap air menjadi es adalah inti dari proses freezer-dry.

c. Kalsinasi pada temperatur 600 ˚C


(27)

35

Gambar 18. Profil kalsinasi sampai temperatur 600 ˚C.

Berdasarkan Gambar 18 di atas mula-mula gel dipanaskan sampai temperatur 350 ˚C

dengan laju temperatur 5 ˚C/menit ditahan selama 2 jam. Kemudian temperatur dinaikkan sampai 600 ˚C, ditahan selama 3 jam. Setelah 3 jam, temperatur dibiarkan kembali ke temperatur ruang.

d. Kalsinasi pada temperatur 700 ˚C Profil kalsinasi disajikan pada Gambar 19.

Gambar 19. Profil kalsinasi sampai temperatur 700˚C. 0 100 200 300 400 500 600 700

0 100 200 300 400 500

28

350 350

600 600

2 jam 3 jam 5 ˚C/menit 5 ˚C/menit Waktu (menit) T(˚C) 0 100 200 300 400 500 600 700 800

0 100 200 300 400 500

T(˚C)

Waktu (menit) 28

350 350

700 700

2 jam

3 jam

5 ˚C/menit


(28)

36

2. Karakterisasi Nanokatalis

A. Analisis Keasaman

Penentuan jumlah situs asam nanomaterial dilakukan dengan metode gravimetri (ASTM, 2005). Sebanyak 0,25 gram katalis dimasukkan ke dalam wadah

diletakkan ke dalam desikator bersama basa piridin, ditutup dan dibiarkan selama 24 jam. Setelah 24 jam katalis yang telah mengadsorpsi basa piridin dikeluarkan dan dibiarkan di tempat terbuka selama 2 jam. Selanjutnya sampel ditimbang dan jumlah situs asam dari nanokatalis ditentukan menggunakan persamaan berikut.

Dimana, w1 = Berat wadah kosong w2 = Berat wadah + cuplikan

w3 = Berat wadah + cuplikan yang telah mengadsorpsi piridin BM = Bobot molekul piridin

Penentuan jenis situs asam dilakukan menggunakan instrumentasi spektroskopi inframerah. Sampel nanokatalis LaCrO3 dicampur dengan KBr, dimasukkan ke dalam vessel sampel dan dilakukan pengukuran pada panjang gelombang 1200-2100 cm-1 (Rodiansono et al., 2007).


(29)

37

B. Analisis Ukuran Partikel

Katalis LaCrO3 dianalisis menggunakan PSA untuk mengetahui ukuran partikel yang dihasilkan. Sampel divacum dan partikel yang memasuki sensing area dilaser dengan sinar inframerah dan dibaca oleh detektor.

C. Analisis Morfologi

Analisis morfologi nanokatalis dilakukan menggunakan TEM (Transmission Electron Microscopy). Tahapan persiapan sampel adalah sebagai berikut. 1. Sampel digerinda sampai ketebalan 20 µm.

2. Sampel ditembakkan dengan ion argon sampai berlubang.

3. Elektron ditembakkan, berkas yang menembus sampel akan dibaca oleh detektor dan diolah menjadi gambar (Bendersky and Gayle, 2001).

D. Analisis Struktur Kristal

Analisis struktur kristal dilakukan menggunakan difraksi sinar-X (XRD),

menggunakan radiasi CuKα (1,5425 Ǻ), tabung sinar-X dioperasikan pada 40 kV

dan 200 mǺ. Rentang difraksi yang diukur (2θ) dalam rentang 10 – 80o, dengan scan step size 0,02o/menit (Maiti et al., 1973). Puncak-puncak yang terdapat pada difraktogram kemudian diidentifikasi menggunakan acuan difraktogram yang diterbitkan COD Match 2015. Ukuran partikel dihitung menggunakan persamaan Debye-Scherrer berikut.

D

=


(30)

38

k= konstanta (0,94) λ= 1,540598 Å β= radian (FWHM) θ= lebar puncak

E. Uji Katalitik

1. Preparasi Sampel

Dalam penelitian ini digunakan katalis LaCrO3 sebanyak 100 mg, 0,5 g selulosa dan 100 mL akuades.

2. Reaksi Katalitik

Reaksi katalitik dilakukan dengan melarutkan 0,5 g selulosa ke dalam 100 mL akuades dan diultrasonikasi selama 6 jam. Larutan selanjutnya dipanaskan hingga temperatur 100 ˚C dan ditambahkan 10 mg katalis. Selanjutnya dialiri gas

hidrogen dengan laju 10 mL per menit selama 120 menit. Setelah itu dibiarkan bereaksi selama 30 menit. Selanjutnya dilakukan dengan variasi gram katalis 20, 50 dan 100 mg, temperatur 120 dan 140 ˚C dan waktu bereaksi 60, 120 dan 180 menit. Alat konversi untuk reaksi katalitik ditunjukkan pada Gambar 20.


(31)

39

Gambar 20. Alat konversi pada reaksi katalitik.

3. Uji Fehling

Uji kualitatif dilakukan dengan penambahan larutan CuSO4 (pereaksi fehling A) dan larutan NaOH (pereaksi fehling B). Sebanyak 1 mL larutan fehling A ditambahkan 1 mL larutan fehling B. Selanjutnya sebanyak 2 mL larutan hasil konversi selulosa ditambahkan ke dalam larutan fehling dan dipanaskan. Endapan merah bata menunjukkan adanya gula pereduksi.

4. Analisis dengan LCMS

Hasil konversi selulosa selanjutnya dianalisis menggunakan LCMS dengan parameter fasa gerak asetonitril:air (3:1). Analisis LCMS dilakukan untuk mengetahui senyawa apa saja yang terbentuk dengan melihat berat molekul yang diperoleh dari sampel tersebut.


(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Selulosa

Salah satu biomassa yang sangat berlimpah dan banyak diteliti adalah selulosa. Sekitar 100 miliar ton selulosa per tahun dihasilkan oleh tumbuhan dengan

kandungan 10 – 20% di dalam daun kering, 50% di dalam kayu dan 90% di dalam kapas (Fessenden and Fessenden, 1982). Selulosa merupakan polimer karbohidrat

yang tersusun atas β D-glukopiranosa dengan ikatan β 1,4-glikosida dan terdiri dari tiga gugus hidroksi per anhidro glukosa. Selulosa memiliki rumus empiris (C6H10O5)n, dengan n menunjukkan derajat polimerisasi yakni jumlah satuan

glukosa. Kududukan β dari gugus OH pada atom C1 membutuhkan pemutaran unit glukosa melalui sumbu C1-C4 cincin piranosa (Mathur and Mathur, 2001). Satuan ulang dari cincin piranosa adalah satuan selobiosa dengan panjang 1,03 nm. Struktur selulosa ditunjukkan pada Gambar 1.


(33)

5

Selulosa banyak ditemukan pada limbah hasil pertanian, antara lain sekam padi sekitar 58%, kulit batang sagu 56,86%, tongkol jagung 44,9%, kayu keras 40 45%, kayu lunak 38 49%, tandan kosong kelapa sawit 36 42%, rumput esparto 33 – 38%, ampas tebu 32 – 44%, jerami gandum 29 – 37%, jerami padi 28 – 36% dan bambu sekitar 26 – 43% (Akgul and Kirci, 2009).

Bahan dasar selulosa telah digunakan lebih dari 150 tahun dalam berbagai macam aplikasi. Pada Tabel 1 berikut ditunjukkan fungsionalisasi kimia dari derivat selulosa nonkonvensional.

Tabel 1. Fungsionalisasi kimia derivat selulosa nonkonvensional (Arthur, 1986).

Derivat selulosa Rentang

kelarutan Pelarut Produk aplikasi Ester selulosa nitrat

Asetat

Selulosa eter etil

Karboksimetil Etil Hidroksietil Hidroksipropil Hidroksipropilmetil Sianoetil 1,5-3,0 1,0-3,0 1,5-2,4 0,5-1,2 2,3-2,6 Kelarutan rendah 1,5-2,0 1,5-2,0 2,0

MeOH, PhNO2, ethanol-ether Aseton

H2O panas

H2O

Pelarut organik H2O

H2O H2O

Pelarut organik

Film, serat, bahan peledak

Film, serat, pelapis, kain dengan resistensi panas Zat aditif makanan, film, kosmetik, kertas minyak Zat aditif makanan, serat, pelapis, kertas, cat, detergen

Plastik, lak Film

Cat Cat

Produk dengan konstanta dielektrik tinggi, kain dengan resistensi panas


(34)

6

Aplikasi lain untuk pemanfaatan selulosa adalah sebagai bahan baku pembuatan gula alkohol seperti sorbitol, manitol dan xylitol dengan bantuan katalis. Selain gula alkohol, selulosa dapat diubah menjadi beberapa senyawa kimia, diantaranya etilen glikol sebesar 60% dengan katalis tungsten karbida yang dipromosikan dengan sejumlah kecil nikel (Ji et al., 2008), asam levulinat 67% menggunakan katalis CrCl3 dengan waktu 180 menit pada temperatur reaksi 200 ˚C (Peng et al., 2010), asam laktat 60% dengan katalis timbal (II) pada temperatur reaksi 190 ˚C (Wang et al.,2013) dan 5-hidroksi metil furfural menggunakan hidroksi lebih dari kromium triklorida dengan perolehan rendemen sebesar 43,7% dengan waktu 90 menit pada temperatur reaksi 140 ˚C (Wang et al., 2014).

B.Gula Alkohol

Gula alkohol merupakan hasil dari reduksi glukosa berupa monosakarida atau disakarida yang memiliki tiga atau lebih kelompok hidroksil atau polyhidric alcohol (polyols). Polyols dibagi menjadi dua yaitu polyols asiklik dan polyols siklik (Goldberg, 1994). Senyawa gula alkohol diantaranya yaitu sorbitol, manitol, xylitol, erythritol, maltitol, laktitol dan palatinit (sorbitol dan manitol 1:1). Struktur sorbitol, manitol dan xylitol ditunjukkan pada Gambar 2.


(35)

7

a. Sorbitol

Sorbitol memiliki rumus kimia C6H14O6 banyak digunakan sebagai pengganti gula dapur karena bahan dasarnya mudah diperoleh dan murah. Sorbitol berbentuk kristal putih, memiliki titik leleh 89 – 101 ˚C, nilai kalori sebesar 2,6 kkal/g, bersifat higroskopis dan memiliki tingkat kemanisan 0,5 sampai dengan 0,7 kali tingkat kemanisan sukrosa. Di Indonesia sorbitol diproduksi dari umbi tanaman singkong (Manihot utillissima pohl). Kandungan sorbitol juga ditemui pada alga merah Bostrychia scorpiodes sebanyak 13,6%, tanaman berri dari spesies Sorbus americana sebanyak 10% dan ditemui juga pada famili Rosaceae seperti buah pir, apel, ceri, prune, peach dan aprikot. Selain itu, jaringan tubuh juga memproduksi sorbitol melalui hasil katalisasi dari D-glukosa oleh enzim aldose reductase yang mengubah struktur aldehid (CHO) pada glukosa menjadi alkohol (CH2OH) (Garrow and James, 1993). Produksi sorbitol secara komersil dilakukan melalui hidrogenasi glukosa dengan menggunakan katalis nikel pada tekanan tinggi. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut.

Penambahan hidrogen yang dikatalis dengan logam (platinum, palladium, nikel dan rhodium) akan meningkatkan suhu sehingga produk yang dihasilkan lebih banyak (Marhusari, 2009).


(36)

8

b. Manitol

D-manitol adalah gula alkohol yang memiliki rumus molekul C6H14O6 dengan berat molekul 182,17 g/mol, memiliki kelarutan 22 g mannitol di dalam 100 mL air (25 ˚C). Manitol memiliki tingkat kemanisan 0,5 sampai dengan 0,7 kali tingkat kemanisan sukrosa. Nilai kalori manitol sebesar 1,6 kkal/g, titik didih 295

˚C (3,5 torr) dan titik leleh 165 – 169 ˚C (7,6 torr). Manitol tidak bersifat sebagai pereduksi sebab tidak memiliki gugus aldehid bebas. Secara alami manitol terdapat pada nanas, asparagus, ubi jalar, wortel dan alga coklat. Manitol adalah hasil reduksi dari mannosa dimana gugus aldehid pada atom C1 diubah menjadi gugus CH2OH. Mekanisme pembentukan manitol adalah sebagai berikut.

c. Xylitol

Xylitol ditemukan secara bersamaan oleh ilmuan Jerman dan Perancis pada abad ke-19, tersebar luas khususnya didalam sayuran dan buah-buahan serta dapat diproduksi juga oleh mikroorganisme seperti yeast dan bakteri. Tubuh manusia dewasa juga memproduksi xylitol 5-15 g xylitol per hari. Xylitol berbentuk kristal berwarna putih, tak berbau dan larut di dalam metanol dan etanol. Xylitol (C5H12O5) memiliki berat molekul 152,15 g/mol dengan titik didih 126 ˚C, titik lebur 92 – 96 ˚C, kelarutan 169 g di dalam 100 g air (20 ˚C), pH 5 – 7 di dalam air (1 g per 10 mL air), nilai kalori 4,06 kal/g (endotermik) dan kemanisan relatif


(37)

9

sama dengan sukrosa, lebih tinggi dibandingkan manitol dan sorbitol (Bar, 1991). Xylitol memiliki kemampuan melepaskan panas empat kali lebih besar

dibandingkan dengan gula sukrosa jika dilarutkan di dalam air, sehingga saat kristal xylitol mencair di dalam mulut akan timbul sensasi dingin. Produksi xylitol dapat dilakukan dengan cara hidrogenasi xylose dengan katalis Ni pada temperatur tinggi. Berikut persamaan reaksinya.

C. Pektin

Pektin merupakan polisakarida kompleks tersusun atas polimer asam α D

-galakturonat yang terikat melalui ikatan α 1,4-glikosidik. Pektin terkandung di dalam dinding sel primer yaitu diantara selulosa dan hemiselulosa (Nelson et al.,1977). Kandungan pektin kurang lebih sepertiga berat kering dinding sel tanaman (Toms and Harding, 1998; Walter, 1991). Struktur pektin ditunjukkan pada Gambar 3.


(38)

10

Senyawa pektin terdiri atas asam pektat, asam pektirat dan protopektin. 1. Asam pektat

Suatu senyawa asam galakturonat yang bersifat koloid dan bebas dari kandungan metil ester. Struktur asam pektat ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur asam pektat (gugus R: Hidrogen). 2. Asam pektinat

Suatu asam poligalakturonat yang bersifat koloid dan mengandung metil ester. Metil ester dan derajat netralisasi asam pektinat pada pektin berbeda-beda. Struktur asam pektinat ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Struktur asam pektinat. 3. Protopektin

Suatu substansi pekat yang tidak larut dalam air, terdapat pada tanaman, apabila dihidrolisis akan menghasilkan asam pektinat (Klavons et al., 1995). Protopektin tidak larut dalam air karena berada pada bentuk garam-garam kalsium-magnesium pektinat. Pertukaran ion kalsium dan magnesium oleh ion hidrogen akan mengubah protopektin menjadi pektin. Struktur


(39)

11

Gambar 6. Struktur protopektin.

Kandungan metoksi pada pektin mempengaruhi kelarutannya. Pektin dengan kadar metoksi tinggi (7 – 9%) akan mudah larut di dalam air sedangkan pektin dengan kadar metoksi rendah (3 6%) mudah larut di dalam alkali dan asam oksalat. Pektin tidak larut di dalam alkohol dan aseton. Kadar metoksi

merupakan jumlah metanol di dalam 100 mol asam galakturonat. Kadar metoksi berperan dalam menentukan sifat fungsional dan mempengaruhi struktur serta tekstur dari gel pektin (Erika, 2013). Pembentukan gel pada pektin terjadi melalui ikatan hidrogen antara gugus karbonil bebas dengan gugus hidroksil. Pektin dengan kandungan metoksi tinggi membentuk gel dengan gula dan asam pada konsentrasi gula 58 – 70% sedangkan pektin dengan metoksi rendah tidak mampu membentuk gel dengan asam dan gula tetapi dapat membentuk gel dengan adanya ion-ion kalsium.

Pektin banyak digunakan sebagai komponen fungsional pada industri makanan karena kemampuannya dalam membentuk gel dan menstabilkan protein (May, 1990). Penambahan pektin pada makanan akan mempengaruhi proses

metabolisme dan pencernaan pada adsorpsi glukosa dan kolesterol (Baker, 1994). Pektin berfungsi sebagai pemberi tekstur yang baik pada roti dan keju, bahan


(40)

12

pengental dan stabilizer pada minuman sari buah. Towle dan Christensen (1973) menyatakan bahwa pektin sebagai penyembuh diare dan dapat menurunkan kolesterol dalam darah. Selain itu, melalui pembuluh darah pektin dapat

memperpendek waktu koagulasi darah untuk mengendalikan pendarahan (Farobie, 2006). Di bidang farmasi, pektin digunakan sebagai emulsifier pada preparat cair dan sirup, obat diare pada bayi dan anak-anak, bahan kombinasi untuk

memperpanjang kerja hormon dan antibiotik, bahan pelapis perban untuk menyerap kotoran dan jaringan yang rusak sehingga luka tetap bersih dan cepat pulih serta sebagai bahan injeksi untuk mencegah pendarahan.

Sumber pektin komersil paling utama yaitu pada buah-buahan seperti kulit jeruk (25 – 30%), kulit apel kering (15 – 18%), bunga matahari (15 – 25%) dan bit gula (10 – 25%) (Ridley et al.,2001).

D.Liquid Chromatography Mass Spectrophotometer (LC-MS)

Liquid Chromatography Mass Spectrophotometer (LC-MS) atau dikenal sebagai kromatografi cair spektroskopi massa merupakan teknik kimia analitik yang menggabungkan kemampuan pemisahan fisik kromatografi cair (HPLC) dengan kemampuan analisa massa (MS). Analisis LC-MS digunakan untuk pemisahan suatu komponen serta menentukan struktur kimia dari molekul organik

berdasarkan perhitungan masa dari molekul tersebut serta pola fragmentasinya.

Komponen utama yang terdapat pada instrumentasi HPLC yaitu wadah fase gerak, pompa, injektor, kolom, detektor dan integrator (data display). MS tidak melibatkan interaksi antara radiasi ektromagnetik dan materi seperti spektroskopi


(41)

13

lainnya. Terdapat tiga bagian dasar MS yaitu sumber ionisasi, masa analyzer dan detektor.

Tahapan proses MS dapat dibagi menjadi injeksi, ionisasi, akselerasi, defleksi (pembelokan) dan deteksi. Injeksi merupakan proses pemasukan sampel kedalam alat. Sampel yang telah dimasukkan kemudian dipanaskan melebihi titik

didihnya, sehingga beralih fasa menjadi gas dan masuk ke dalam ruang ionisasi. Partikel sampel kemudian ditembak dengan elektron berenergi tinggi, yaitu 70 eV (elektron volt) atau 6700 kJ/mol. Adanya penembakan ini membuat sampel terbombardir sehingga salah satu elektronnya keluar. Dengan demikian, partikel tersebut menjadi bermuatan positif. Ion bermuatan positif kemudian didorong hingga melewati celah kecil dan melaju dengan kecepatan tinggi ke tahap selanjutnya (akselerasi). Ion positif yang bergerak dengan cepat tersebut selanjutnya dibelokkan dengan medan magnet sehingga terjadi pemisahan fragmen ion sesuai dengan rasio massa per muatannya. Setelah ion-ion

dipisahkan berdasarkan massa per muatan (m/z), selanjutnya dideteksi beratnya oleh rekorder (McMurry, 2010). Skema alat LC-MS ditunjukkan pada Gambar 7.


(42)

14

E. Senyawa Perovskite

Suatu oksida logam yang membentuk struktur perovskite umumnya memiliki rumus umum ABO3. Senyawa ABO3 memiliki struktur yang sangat sederhana, dimana struktur idealnya membentuk kubus dengan kation besar (A) dikelilingi oleh dua anion dan kation yang lebih kecil (B) dikelilingi oleh enam anion. Contoh struktur umum perovskite pada Gambar 8.

Gambar 8. Struktur umum perovskite ABO3 (Navrotsky et al., 1989).

Struktur perovskite ada dua tipe, yakni tipe A dan tipe B. Tipe A dengan ion Ti4+ di sudut sel unit, satu ion Ca2+ pada pusatnya dan ion O2- mengelilinginya. Pada tipe B, rusuk kubus dari sel unit diduduki oleh Ca2+ dan ion Ti4+ menduduki pusat kubus serta ion O2- disisinya.

Perubahan struktur dapat terjadi pada beberapa perovskite. Misalnya atom A atau B tidak berada dalam ukuran yang benar dalam menyerang situs yang dihasilkan oleh sisa struktur. Struktur oksida yang ideal adalah struktur kubik perovskite yang panjang ikatannya berhubungan dengan ukuran unit sel a dengan,


(43)

15

Pada perovskite LaCrO3, a = 3,874 Å. Derajat perubahan perovskite diberikan dengan faktor toleransi,

t= O B O A r r _ _ 2 2

... 2)

Pada prakteknya, ada beberapa fleksibilitas dari panjang ikatan dan biasanya perovskite kubik terbentuk dengan t dalam rentang 0.9 < t < 1.0. Jika t > 1, sisi B lebih besar dari yang dibutuhkan. Jika t sedikit lebih besar dari 1.0 maka struktur berubah namun masih struktur dasar perovskite seperti BaTiO3 dengan t = 1,06. Untuk perbedaan yang lebih besar dari t = 1, ion B menempati sisi yang lebih kecil dengan bilangan koordinasi yang lebih rendah dan struktur berubah seluruhnya seperti pada BaSiO3 dengan Si tetrahedral. Untuk faktor toleransi yang lebih kecil 0,85 < t < 0,90 terjadi perubahan struktur yang berbeda seperti GdFeO3, kation A terlalu kecil untuk sisi tersebut. Untuk t < 0,85, perubahan struktur perovskite tidak stabil dalam waktu lebih lama dan kation A menempati sisi yang lebih kecil, contoh adalah pada LiNbO3 dan FeTiO3.

Perovskite dapat diberikan dengan rumus umum A1A2B1B2O3 dimana A1 adalah yang terpilih diantara Lantanida (umumnya La, namun kadang-kadang Ce, Pr atau Nd) dan A2 adalah diantara logam alkali tanah (Ca, Ba, Sr) posisi B1 dan B2 ditempati oleh logam transisi (Co, Mn, Fe, Cr, Cu, V) atau logam mulia. A2 dan B2 berhubungan dengan subtitusi sebagian dari ion A1 dan B1.

Kestabilan katalis perovskite bergantung pada dua faktor:


(44)

16

2. Permukaan sintering mengakibatkan hilangnya situs aktif (Klavana and Kirchnerova, 1999).

F. Katalis

Berzelius mengatakan bahwa laju reaksi kimia dapat dipercepat dengan

penambahan suatu senyawa dimana senyawa ini tidak ikut terkonsumsi. Bersama dengan molekul yang bereaksi, senyawa ini membentuk suatu ikatan, setelah molekul yang bereaksi membentuk produk senyawa ini dapat diperoleh kembali, senyawa ini dikenal sebagai katalis (Stoltze, 2000 and Chorkendroff and

Niemantsverdriet, 2003).

Katalis berperan dalam menyediakan situs- situs aktif suatu reaksi kimia, biasanya berasal dari logam-logam yang terdeposit pada pengemban atau dapat pula berasal dari pengemban itu sendiri. Logam-logam tersebut umumnya adalah logam-logam transisi yang menyediakan orbital d kosong atau elektron tunggal yang akan disumbangkan pada molekul reaktan sehingga terbentuk ikatan baru dengan kekuatan ikatan tertentu (Campbell, 1998).

G. Material Nanopartikel

Suatu partikulat yang terdispersi atau partikel-partikel padatan dengan ukuran partikel berkisar 10-100 nm dikenal sebagai nanopartikel (Mohanraj and Chen, 2006, Sietsma et al., 2007 and Abdullah et al., 2008). Daya tarik material

nanopartikel ditunjukkan oleh sifat fisika dan kimia yang sangat berbeda dari bulk materialnya, seperti kekuatan mekanik, elektronik, magnetik, kestabilan termal, katalitik dan optik (Mahaleh et al., 2008 and Deraz et al., 2009). Ukuran yang


(45)

17

kecil dari material nanopartikel akan memberikan perbandingan luas permukaan dan volume yang lebih besar. Hal inilah yang menyebabkan nanopartikel bersifat lebih reaktif. Reaktivitas material ditentukan oleh atom-atom di permukaan, karena hanya atom-atom tersebut yang bersentuhan langsung dengan material lain. Ketika ukuran partikel menuju orde nanometer, hukum fisika yang berlaku lebih didominasi oleh hukum-hukum fisika kuantum.

Sifat-sifat yang berubah pada nanopartikel berkaitan dengan fenomena kuantum, yaitu sebagai akibat keterbatasan ruang gerak elektron dan pembawa muatan lainnya dalam partikel yang akhirnya memepengaruhi beberapa sifat material seperti perubahan warna yang dipancarkan, transparansi, kekuatan mekanik, konduktivitas listrik dan magnetisasi. Adanya perubahan rasio jumlah atom yang menempati permukaan terhadap jumlah total atom juga menjadi pengaruh

perubahan dari sifat-sifat nanopartikel. Fenomena ini berimbas pada perubahan titik didih, titik beku, dan reaktivitas kimia. Perubahan-perubahan tersebut

diharapkan dapat menjadi keunggulaan nanopartikel dibandingkan partikel sejenis dalam keadaan bulk (Abdullah et al., 2008).

H. Preparasi Katalis

Karakteristik katalis sangat dipengaruhi oleh tiap langkah preparasi yang

dilakukan. Pemilihan metode preparasi yang tepat akan memberikan karakteristik katalis yang diinginkan seperti mempunyai aktivitas, selektivitas dan stabilitas yang tinggi. Tujuan utama dari metode preparasi katalis adalah mendapatkan struktur definit, stabil, mempunyai luas permukaan yang tinggi dan situs aktif yang lebih terbuka, sedangkan penggunaan pendukung seperti pelarut dilakukan


(46)

18

untuk lebih memberikan peluang kepada fasa aktif dalam reaksi dan

mendistribusikan secara homogen pada permukaan penyangga. Dalam hal ini diharapkan terbentuk dispersi yang tinggi untuk mendapatkan luas permukaan spesifik yang besar dan aktivitas yang maksimal.

Beberapa jenis metode preparasi katalis adalah sebagai berikut : 1. Impregnasi

Impregnasi merupakan metode preparasi katalis dengan cara adsorpsi larutan garam prekursor kedalam penyangga. Metode ini dapat dibagi lagi menjadi dua kategori yaitu:

a. Impregnasi Kering

Apabila volume larutan senyawa awal logam katalis yang digunakan tidak melebihi volume pori penyanga. Pada metode ini larutan senyawa awal logam katalis disemprotkan pada penyangga secara terus-menerus disertai dengan pengadukan. Penetrasi senyawa awal logam katalis yang lebih dalam lagi ke bagian dalam pori dapat dicapai dengan mengeluarkan air yang terperangkap dalam pori, sehingga diperoleh distribusi logam prekursor yang lebih seragam dam merata.

b. Impregnasi Basah

Impregnasi basah dilakukan apabila larutan senyawa awal logam katalis yang digunakan melebihi volume pori penyangga. Campuran dibiarkan beberapa saat sambil terus diaduk, hingga semua pelarutnya habis dan kering. Teknik ini umumnya dipakai bila prekursor berinteraksi dengan penyangga tetapi hanya sebatas interaksi fisik saja (Ismunandar, 2006).


(47)

19

2. Sol Gel

Sol gel adalah suatu suspensi koloid dari partikel yang digelkan ke bentuk padatan. Sol adalah suspensi dari partikel koloid pada suatu cairan atau larutan molekul polimer seperti partikel halus dari senyawa hidroksida atau senyawa oksida logam (Rahaman, 1995). Proses tersebut kemudian dilanjutkan dengan proses gelisasi dari sol tersebut untuk membentuk jaringan dalam suatu fasa cair yang kontinyu, sehingga terbentuk gel (Sopyan, et al., 1997). Proses sol-gel melibatkan transisi pada sistem dari fasa sol menjadi fasa gel yang didasarkan pada kemudahan memasukkan satu atau dua logam aktif secara bersamaan dalam prekursor katalis.

Metode sol gel digunakan secara luas dalam sintesis katalis berpendukung logam karena kemudahannya dalam memasukkan satu atau lebih logam aktif sekaligus dalam prekursor katalis (Lambert and Gonzalez, 1998). Keuntungan dari metode sol gel yaitu:

1. Dispersi tinggi dari spesi aktif yang tersebar secara homogen pada permukaan katalis.

2. Tekstur pori yang dihasilkan memberikan kemudahan untuk berdifusi dari reaktan menuju ke situs aktif.

3. Luas permukaan tinggi.

4. Peningkatan stabilitas termal (Lecloux and Pirard, 1998; Lambert and Gonzalez, 1998).

3. Freeze Dry

Penggunaan metode freeze dry dalam katalis yaitu untuk menghilangkan air hidrat dalam rongga bahan katalis tanpa merusak struktur jaringan yang telah terbentuk


(48)

20

dari bahan tersebut. Air yang terperangkap dalam rongga bahan katalis diubah menjadi air beku dan selanjutnya diubah menjadi uap air tanpa melalui

intermediat air cair. Dasar sublimasi ini melibatkan absorbsi panas oleh sampel beku guna menguapkan air, pemindahan dan pengumpulan uap air ke dalam suatu kondensor, menghilangkan panas sebagai akibat pembentukan es dari kondensor dengan sistem refrigerator, terjadi keseimbangan antara panas yang diabsorbsi oleh sampel untuk menguapkan air dan memindahkan panas dari kondensor untuk mengubah uap air menjadi es. Inti dari proses freeze-dry adalah keseimbangan antara panas yang diadsorpsi oleh sampel untuk menguapkan air dan

memindahkan panas dari kondensor untuk mengubah uap air menjadi es. Efisiensi freeze-dry bergantung pada luas permukaan dan ketebalan sampel, temperatur kondensor dan tekanan yang diperoleh, titik eutektik dan konsentrasi terlarut dari sampel. Laju freeze-dry berbanding lurus terhadap tekanan uap dan tekanan uap bergantung pada kedua temperatur eutektik dan konsentrasi terlarut sampel. Sebagai contoh, suatu larutan NaCl akan kering – beku pada laju lebih lambat dari air murni. Temperatur eutektik NaCl adalah -21 oC dan pada temperatur ini tekanan uap kira-kira 1/16 tekanan uap pada 0 oC. Meskipun temperatur eutektik tidak bergantung pada konsentrasi NaCl, tekanan uap air akan turun ketika konsentrasi NaCl naik. Kenyataan ini disebabkan konsentarsi terlarut bertambah, luas permukaan sampel beku yang ditempati air berkurang. Pada umumnya, larutan atau sampel biologis akan mempunyai temperatur eutektik -10 hingga -25 oC. Bagaimanapun, jika ada sampel gula seperti glukosa atau jika sampel jaringan hewan atau tanaman, temperatur eutektik bisa serendah -30 hingga -50 oC (Manual Book of Freeze-Dry, 2007). Keuntungan menggunakan


(49)

21

metode freezer dry yaitu hasilnya homogen, murni, dengan ukuran partikel dapat diproduksi kembali serta memiliki aktivitas yang seragam (Bermejo et al., 1997). 4. Kalsinasi

Proses kalsinasi merupakan pemanasan zat padat dibawah titik lelehnya untuk menghasilkan keadaan dekomposisi termal dari transisi fasa lain selain fasa lelehan. Kalsinasi diperlukan sebagai penyiapan serbuk untuk proses lebih lanjut dan memperoleh ukuran partikel yang optimum serta menggunakan senyawa dalam bentuk garam atau dihidrat menjadi oksida, membentuk fase kristal.

Peristiwa yang terjadi pada proses kalsinasi yaitu:

1. Dekomposisi komponen prekursor pada pembentukan spesi oksida. Proses pertama terjadi pelepasan air bebas (H2O) dan terikat (OH) berlangsung sekitar suhu 100 dan 300 ˚C.

2. Pelepasan gas CO2 yang berlangsung sekitar suhu 600 ˚C, terjadi pengurangan berat secara berarti dan terjadi reaksi antara oksida yang terbentuk dengan penyangga.

3. Sintering komponen prekursor. Pada proses ini struktur kristal sudah terbentuk namun ikatan di antara partikel serbuk belum kuat dan mudah lepas (Pinna, 1998).

I. Karakterisasi Katalis

Karakterisasi katalis digunakan untuk memperoleh informasi mengenai katalis meliputi sifat fisik dan sifat kimia. Karakterisasi kimia digunakan untuk

mengetahui jumlah kandungan logam, keasaman, kristalinitas dan ikatan kimia, sedangkan karakterisasi fisik digunakan untuk mengetahui informasi mengenai


(50)

22

luas permukaan, volum pori, diameter pori, kekerasan dan distribusi logam. Karakterisasi bertujuan untuk mengontrol kualitas katalis setelah preparasi.

1. Analisis Keasaman

Analisis keasaman katalis dilakukan untuk mengetahui jumlah situs asam dan jenis situs asam. Jumlah situs asam ditentukan melalui metode gravimetri melalui adsorpsi basa adsorbat dalam fasa gas pada permukaan katalis (ASTM, 2005). Jenis situs asam yang terikat pada katalis dapat ditentukan dengan menggunakan spektroskopi inframerah (FTIR) dari katalis yang telah mengadsorpsi basa adsorbat (Seddigi, 2003).

a. Metode Gravimetri

Jumlah situs asam umumnya berbanding lurus dengan situs aktif pada katalis. Jumlah situs asam akan memberikan informasi mengenai banyaknya situs asam yang terkandung pada katalis. Basa yang dapat digunakan adalah amonia, piridin, piperidin, quinolin, trimetil amin, dan pirol yang teradsorpsi pada situs asam dengan kekuatan adsorpsi yang proporsional dengan kekuatan asam (Richardson, 1989). Namun, yang umum digunakan adalah amonia atau piridin. Jumlah situs asam menggunakan adsorpsi amonia sebagai basa adsorbat merupakan penentuan jumlah situs asam total katalis, dengan asumsi bahwa ukuran molekul amoniak yang kecil sehingga memungkinkan untuk masuk sampai ke dalam pori-pori katalis. Penentuan jumlah situs asam menggunakan piridin sebagai basa adsorbat merupakan penentuan jumlah situs asam yang terdapat pada permukaan katalis,


(51)

23

dengan asumsi bahwa ukuran molekul piridin yang relatif besar sehingga hanya dapat teradsorpsi pada permukaan katalis (Rodiansono et al., 2007).

Banyaknya mol basa yang teradsorpsi pada cuplikan dapat dihitung dengan rumus:

am

Dimana, w1 = Berat wadah kosong w2 = Berat wadah + cuplikan

w3 = Berat wadah + cuplikan yang telah mengadsorpsi piridin BM = Bobot molekul piridin

b. Fourier Transform Infra Red (FTIR)

Spektroskopi inframerah adalah metode analisis yang didasarkan pada absorpsi radiasi inframerah oleh sampel yang akan menghasilkan perubahan keadaan vibrasi dan rotasi dari molekul sampel. Frekuensi yang diabsorpsi tergantung pada frekuensi vibrasi dari molekul (karakteristik). Intensitas absorpsi bergantung pada seberapa efektif energi foton inframerah dipindahkan ke molekul, yang dipengaruhi oleh perubahan momen dipol yang terjadi akibat vibrasi molekul (Åmand and Tullin, 1999). Skema lengkap dari instrumentasi FTIR ditunjukkan pada Gambar 9.


(52)

24

Gambar 9. Skema instrumentasi FTIR.

Energi inframerah diemisikan dari sumber bergerak melalui celah sempit untuk mengontrol jumlah energi yang akan diberikan ke sampel. Di sisi lain, berkas

laser memasuki interferometer dan kemudian terjadi “pengkodean spektra”

menghasilkan sinyal interferogram yang kemudian keluar dari interferogram. Berkas laser kemudian memasuki ruang sampel, berkas akan diteruskan atau dipantulkan oleh permukaan sampel tergantung dari energinya, yang mana merupakan karakteristik dari sampel. Berkas akhirnya sampai ke detektor dan untuk mendapatkan spektrum inframerah, sinyal detektor dikirim ke komputer dan suatu algoritma yang disebut fourier,mengubah penampilan interferogram

menjadi spektrum berkas tunggal. Spektrum referensi atau ”background” dikumpulkan tanpa menggunakan sampel. Perbandingan antara berkas tunggal yang melalui sampel dan referensi menghasilkan spektrum. Gambar 10

memperlihatkan proses pembentukan spektrum inframerah dari interferogram (Bradley, 2008).


(53)

25

Gambar 10. Proses pembentukan spektrum inframerah dari interferogram (Bradley, 2008).

Berdasarkan puncak-puncak serapan yang dihasilkan maka jenis situs asam dapat diketahui. Pada penggunaan piridin sebagai basa adsorbat, situs asam

Brønsted-Lowry akan ditandai dengan puncak serapan pada bilangan-bilangan gelombang14851500, ~1620, dan ~1640 cm-1, sedangkan untuk situs asam Lewis ditandai dengan puncak-puncak serapan pada bilangan-bilangan gelombang 1447 1460, 1488 1503, ~1580, dan 1600 1633 cm-1 (Tanabe, 1981).

Gambar 11 adalah contoh spektra FTIR dalam analisis penentuan jenis situs asam yang terdapat pada katalis.


(54)

26

Gambar 11. Spektra inframerah katalis Fe2O3 (Sukmawibowo, 2010).

Berdasarkan Gambar 11 di atas, puncak serapan yang menunjukkan situs asam Brønsted-Lowry muncul pada bilangan gelombang 1517,98 cm-1 dan situs asam Lewis ditunjukkan oleh puncak serapan pada bilangan gelombang 1627,92 cm-1. Situs asam Brønsted-Lowry lebih dominan dibandingkan situs asam Lewis (Sukmawibowo, 2010).

2. Transmission Electron Microscope (TEM)

Transmission Electron Microscpe (TEM) adalah alat untuk mengamati bentuk, struktur, serta distribusi pori padatan. Prinsip kerja TEM sama seperti proyektor slide dimana elektron ditransmisikan ke dalam obyek pengamatan dan hasilnya diamati melalui layar. Mekanisme kerja dari TEM yaitu pistol elektron berupa lampu tungsten dihubungkan dengan sumber tegangan tinggi (100 – 300 kv) ditransmisikan pada sampel yang tipis, pistol akan memancarkan elektron secara termionik maupun emisi medan magnet ke sistem vakum. Interaksi antara elektron dengan medan magnet menyebabkan elektron bergerak sesuai aturan


(55)

27

tangan kanan, sehingga memungkinkan elektromagnet untuk memanipulasi berkas elektron. Penggunaan medan magnet akan membentuk sebuah lensa magnetik dengan kekuatan fokus variabel yang baik. Selain itu, medan elektrostatik dapat menyebabkan elektron didefleksikan melalui sudut yang konstan. Dua pasang defleksi yang berlawanan arah dengan intermediete gap akan membentuk arah elektron yang menuju lensa yang selanjutnya dapat diamati melalui layar pospor. Skema kerja dari TEM ditunjukkan pada Gambar 12.

Gambar 12. Skema kerja dari TEM.

Hasil analisis TEM ditunjukkan pada Gambar 13.

Gambar 13. Mikrograf TEM poly (3-hidoksi butirat-co-3 hidroksi heksanoat) PHBHHx dengan pengisi yang berbeda (a) tanpa modifikasi kaolin (b) modifikasi permukaan


(56)

28

kaolin (c) modifikasi permukaan kaolin dengan pelapisan silika (Liu et al., 2009).

Berdasarkan Gambar 13 di atas, pada PHBHHx tanpa kaolin masih tampak agregat dengan ukuran lebih besar (Gambar 13a), permukaan PHBHHx dengan kaolin terlihat bahwa ukuran agregat lebih halus (Gambar 13b) dan PHBHHx dengan kaolin dan pelapisan silika, tidak terdapat agregat (Gambar 13c) (Liu et al.,2009).

3. X-ray Difraction (XRD)

Analisis struktur kristal katalis dilakukan menggunakan instrumentasi difraksi sinar-X (X-ray Difraction/XRD). Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi suatu material berdasarkan fasa kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel suatu material dengan menggunakan persamaan Debye-Scherrer.

D =

Dimana: D= diameter rata-rata partikel (nm)

k = konstanta dari instrumen yang digunakan

λ = panjang gelombang sinar-X yang digunakan (nm) β = pelebaran puncak (radian)

θ = sudut Bragg (radian)

Ketika berkas sinar-X berinteraksi dengan lapisan permukaan kristal, sebagian sinar-X ditransmisikan, diserap, direfleksikan dan sebagian lagi dihamburkan


(57)

29

serta didifraksikan. Pola difraksi yang dihasilkan analog dengan pola difraksi cahaya pada permukaan air yang menghasilkan sekelompok pembiasan. Skema alat XRD ditunjukkan pada Gambar 14.

Gambar 14. Skema alat XRD.

Proses terjadinya pembentukkan puncak-puncak difraksi pada XRD ditunjukkan pada Gambar 15.

Gambar 15. Proses pembentukkan puncak pada XRD.

Berdasarkan persamaan Bragg, jika seberkas sinar-X dijatuhkan pada sampel kristal, maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar-X yang memiliki panjang gelombang yang sama dengan jarak antar kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang dibiaskan akan ditangkap oleh detektor, kemudian diterjemahkan sebagai puncak difraksi. Semakin banyak bidang kristal yang sama terdapat dalam sampel, semakin kuat intensitas pembiasan yang dihasilkan. Tiap puncak yang muncul pada pola XRD mewakili satu puncak bidang kristal yang memiliki orientasi


(58)

30

tertentu dalam sumbu tiga dimensi (Chorkendroff and Niemantsverdriet, 2003). Difraktogram suatu katalis ditunjukkan pada Gambar 16.

Gambar 16. Perbandingan antara difraktogram katalis sebelum dan sesudah uji aktifitas. (a) Difraktogram sebelum uji aktifitas, (b) Difraktogram

setelah uji aktifitas (b) (Tanda * : Acuan Fe3O4 PDF 19-0629; Tanda # : Acuan Fe2O3 PDF 33-0664 (Sukmawibowo, 2010).

Difraktogram pada Gambar 16 di atas menunjukan bahwa reduksi yang terjadi

hanya pada bagian tertentu saja, tidak menyeluruh, karena fase kristal dari α- Fe2O3 masih terdapat dan menjadi fase kristal yang lebih mendominasi dibandingkan fase kristal Fe3O4 (Sukmawibowo, 2010).

4. Particle Size Analyzer (PSA)

Particle Size Analyzer (PSA) digunakan untuk menentukan distribusi ukuran partikel dalam media cair maupun padat. PSA bekerja berdasarkan metode Dinamyc Light Scattering (DLS) dengan memanfaatkan hamburan inframerah yang ditembakkan oleh alat ke sampel sehingga sampel akan merespon dengan menghasilkan gerak Brown. Gerak Brown berupa gerak acak dari partikel yang sangat kecil dalam cairan akibat benturan dengan molekul-molekul yang ada dalam zat cair. Gerak inilah yang akan dianalisis, semakin kecil ukuran partikel


(59)

31

maka semakin cepat gerakannya. Metode DLS ideal untuk menentukan partikel berukuran nanometer dan biomaterial. Kisaran ukuran partikel yang dapat dianalisis yaitu diantara 0,1 nm hingga 10 μm. Distribusi ukuran partikel dianalisis dan diolah menggunakan statistik distribusi dengan parameter mean (ukuran rata-rata), median (nilai tengah) dan modulus (ukuran dengan frekuensi tinggi) (Rawle, 2012).

Instrumentasi ini sudah melalui pembuktian dalam kecepatan, kemampuan penanganan sampel dan reduksi data dan presentasi sejak diperkenalkan. Dasar metode analisis, pengukuran partikel dengan mengukur kecepatan dan penentuan fraksinasi massa dengan kerelatifan absorbsi sinar-X pada energi yang rendah. Penggunakan sinar-X sebagai tanda horizontal tipis untuk mengukur konsentrasi partikel massa secara langsung dalam medium cairan. Ini dilakukan pada pengukuran pertama intensitas massa, Imax dari garis dasar atau keterangan atau informasi yang ditransmisikan sinar-X yang sudah diproyeksikan melalui medium cairan sebelum pengenalan sampel. Sebagai sirkulasi cairan yang berkelanjutan, sampel berupa padatan dimasukkan ke wadah cairan dan dicampur sampai penyebaran aliran suspensi sampel berupa padatan homogen dan penyebaran cairan dipompa melalui sel.

Sampel berupa padatan lebih banyak mengabsorbsi sinar-X daripada cairan, oleh karena itu transmisi sinar-X dikurangi. Sejak pencampuran suspensi yang

homogen, intensitas diasumsikan sebagai nilai konstan Imin untuk transmisi sinar-X dalam skala pengurangan yang penuh. Aliran pencampuran dihentikan dan penyebaran yang homogen dimulai untuk menyelesaikan pentransmisian


(60)

32

intensitas sinar-X yang dimonitor pada depth-s. Selama proses sedimentasi, partikel yang besar menempati tempat pertama di bawah zona pengukuran dan pada akhirnya, semua partikel menempati level ini dan yang tertinggal hanya cairan yang bersih. Semakin banyak partikel besar yang menempati di bawah zona pengukuran dan tidak digantikan dengan ukuran partikel yang sama maka pelemahan sinar-X berkurang. Hasil analisis PSA dan distribusi ukuran

partikelnya ditunjukkan pada Gambar 17.

Gambar 17. Kurva PSA (A) Distribusi ukuran partikel dari ZnO tanpa doping; D (10%) 621,5 nm, D (50%) 1110,40 nm, D (90%) 2026 nm.

(B) Distribusi ukuran partikel dari ZnO dengan doping Fe dan sonikasi; D (10%) 637,90 nm, D (50%) 999,90 nm, D (90%) 1566,40 nm (Chakma et al., 2013).

Berdasarkan Gambar 17 di atas, katalis Fe-ZnO memiliki ukuran yang kecil dan seragam dibandingkan katalis ZnO. Adanya sonikasi dapat membantu memecah aglomerasi menjadi partikel yang lebih kecil.


(61)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

1. Preparasi nanokatalis LaCrO3 menggunakan metode sol gel dan pektin sebagai agen pengemulsinya dengan temperatur kalsinasi 700 ˚C mampu menghasilkan ukuran katalis yang berskala nano sebesar 86,40%.

2. Daya adsorpsi katalis LaCrO3 600 dan 700 ˚C terhadap basa piridin adalah sebesar 1,0599 dan 1,1554 mmol piridin/gram katalis dan berdasarkan hasil FTIR situs asam yang mendominasi pada permukaan kedua katalis adalah situs asam Lewis.

3. Distribusi volum kumulatif untuk ukuran partikel dari rentang 0 100 nm dari katalis LaCrO3 pada temperatur kalsinasi 600 ˚C yang dihasilkan oleh pengukuran PSA yaitu sebesar 21,91%, sedangkan katalis pada temperatur kalsinasi 700˚C sebesar 86,40%.

4. Rata-rata ukuran partikel dari beberapa spot pada katalis LaCrO3 pada temperatur kalsinasi 600 dan 700 ˚C yang dihasilkan dari pengukuran menggunakan TEM yaitu sebesar 34,59 dan 30 nm.


(62)

64

5. Hasil XRD menunjukkan bahwa fasa kristalin yang terbentuk temperatur kalsinasi 600 ˚C adalah LaCrO3 dan LaCrO4 sedangkan pada temperatur kalsinasi 700 ˚C yaitu LaCrO3. Rata-rata ukuran partikelnya yaitu sebesar 21,04 nm pada 600 ˚C dan 21,45 nm pada 700 ˚C.

6. Hasil penguraian selulosa tertinggi sebesar 16,66% diperoleh pada kondisi; ultrasonikasi (0,5 g dalam 100 mL H2O) selama 6 jam, T reaksi 140 ˚C, 100

mg katalis LaCrO3 pada temperatur kalsinasi 700 ˚C, laju alir gas H2 10 mL/menit selama 120 menit dan waktu reaksi selama 180 menit.

7. Katalis LaCrO3 700 ˚C memiliki aktivitas katalitik lebih tinggi dibandingkan katalis LaCrO3 600 ˚C.

8. Berdasarkan hasil analisis LC-MS, selulosa terkonversi menjadi senyawa sukrosa (C12H22O11) dan sorbitol atau manitol (C6H14O6).

B. Saran

Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka untuk penelitian lebih lanjut disarankan sebagai berikut.

1. Rangkaian alat yang digunakan dalam uji katalitik harus dilengkapi dengan pengaturan tekanan, gas, dan temperatur >140 ˚C.

2. Sonikasi dengan menggunakan alat ultrasonikasi yang kondisinya jauh lebih baik.

3. Melakukan preparasi katalis LaCrO3 dengan dopan logam lainnya. 4. Melakukan konversi selulosa menggunakan selulosa alam.


(63)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M., V. Yudistira, Nirmin dan Khairurrijal. 2008.Sintesis Nanomaterial. Jurnal Nanosains dan Nanoteknologi. 1: 33 – 36.

Akgul, M. and H. Kirci. 2009. An Enviromentally Frienly Organosolv (Ethanol-Water) Palping of Poplar Wood. Journal of Environmental Biology. 30 (5): 735 – 740.

Almeida, J. M. A., C. T. Meneses, A. S. de Menezes, R. F. Jardim and J. M. Sasaki. 2008. Synthesis and Characterization of NiMn2O4 Nanoparticles using Gelatin as Organic Precursor. Journal of Magnetism and Magnetic Materials. 320: 304 – 307.

Amalia, R. 2013. Studi Pendahuluan Konversi Selulosa menjadi Gula Alkohol dengan Katalis NixFe2-xO4 dengan Variabel x=0,5; 0,8 dan 1.(Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Lampung. Lampung. 46 – 50.

Ǻmand, L. A. and C. J. Tullin. 1999. The Theory Behind FTIR Analysis: Application Examples from Measurement at The 12 MW Circulating Fluidized Bed Boiler at Chalmers. Dept. of Energy Conversion Chalmers University of Technology. Gıtenborg. Sweden. 1 – 15.

Arthur, JC.Jr. 1986. In: Allen G., Bevington, JC. (eds) Comprehensive Polymer Science. Pergamon. Oxford. 6.

ASTM D4824-03. 2005. Test Method For Determination of Catalyst Acidity by Ammonia Chemisortption. Annual Book of ASTM. 1 – 3.

Baker, R. A. 1994. Pectin. Carbohydrate Polymer. 12: 133 – 138.

Bar, A. 1991.Xylitol. In Nabors, L. O. and Gelardi, R.C. Alternative Sweetener. Ed. 2nd Edition. N.Y., Basel. Hong-Kong. Marcel Dekker Inc. 349 – 379. Bendersky, L. A. and F. W. Gayle. 2001. Electron Diffraction using Transmission

Electron Microscopy. National Institute of Standards and Technology. Gaithersburg. MD 20899 – 8554.


(64)

66

Bermejo, E., T. Dantas, C. Lacour and M. Quarton. 1995. Mechanism of Formation of Nanocrystalline Hematite Prepared by Freeze-Drying. Material Research Bulletin. 30 (5): 645 – 652.

Bradley, M. 2008. Advantages of Fourier Transform Spectrometer. Thermo Fischer Scientific. Technical Note: 50674.

Campanati, M., G. Fonsari and A. Vaccari. 2003. Fundamentals in The Preparation

of Heterogeneous Catalyst. Catalysis Today. 77: 299 – 314.

Campbell, I.M. 1988. Catalyst at Surfaces. Chapman and Hall. New York. 1 – 3. Chakma, S., J. B. Bhasarkar and V. S. Moholkar. 2013. Preparation,

Characterization and Application of Sonochemically DopedFe3+intoZnO Nanoparticles. International Journal of Research in Engineering and Technology. 2: 177 – 183.

Chettapongsaphan, C., N. Laosiripojana, S. Charojrochkul and S.

Assabumrungrat. 2006. Preparation of High Surface Area LaCrO3 for Later Application in Solid Oxide Fuel Cell (SOFC). Sustainable Energy and Environment. A-018 (O). 1 – 4.

Chorkendroff, I. and J. W. Niemantsverdriet. 2003. Concept of Modern Catalysis and Kinetics. Wiley-VCH GmbH & Co. New York. 2 – 4.

Clemmer, D. E., S. Lee, S. J. Valentine and J. P. Reilly. 2012. Analyzing a Mixture of Disaccharides by IMS-VUVPD-MS. International Journal of Mass Spectrometry. 309: 161 – 167.

Deraz, N. M., M. M. Selim and M. Ramadan. 2009. Processing and Properties of Nanocrystalline Ni and NiO Catalysts. Materials Chemistry and Physics. 113: 269 275.

Devakumar, A., D. Mechref, P. Kang, M. V. Novotny, J. P. Reilly. Identification of Isomeric n-Glycan Structures by Mass Spectrometry with 157 nm Laser-Indused Photofragmentation. J. Am. Soc. Mass Spectrom. 19: 1027 – 1040.

Erika, C. 2013. Ekstraksi Pektin dari Kulit Kakao (Theobroma cacao l.)

menggunakan Amonium Oksalat. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia. 5 (2): 1 – 5.

Farobie, O. 2006. Pembuatan dan Pencirian Pektin Asetat. (Skripsi tidak diterbitkan). IPB. Bogor. 1 – 3.

Fukuoka, A., H. Kobayashi,Y. Ito, T. Komanoya,Y. Hosaka, P. L. Dhepe, K. Kasai and K. Hara. 2011. Synthesis of Sugar Alcohols by Hydrolytic


(65)

67

Hydrogenation of Cellulose Over Supported Metal Catalysts. Green Chemistr. 13: 326 – 333.

Garrow, J.S. and James, W.P.T. 1993. Human Nutrition and Dietetics. 9th Edition. Longman Singapore. Singapore. 1 570.

Goldberg, I. 1994. Functional Foods. Chapmann. New York. 37 – 219. Hansen, T. S., A. Boisen, J. M. Woodley, S. Pedersen and A. Riisager. 2006.

Production of HMF from Aqueous Fructose. Microwave Study. 1 – 2. Ismunandar. 2006. Padatan Oksida Logam: Struktur, Sintesis dan Sifat-Sifatnya.

ITB. Bandung. 8 – 23.

Ji, N., T. Zhang, M. Zheng, A. Wang, H. Wang, X. Wang and J. G. Chen. 2008. Direct Catayitic Convertion of Cellulose into Ethylene Glycol using Nickel-Promoted Tungsten Carbide Catalysts. Angewandte Chemie International Edition. 47 (44): 8510 – 8513.

Keav, S., S. K. Matam and A. Weidenkaff. 2014. Structur Perovskite-Based Catalysts and Their Application as Three-Way Catalytic Converters. Catalyst. 4: 226 – 255.

Klavana D., C. Tofan and J. Kirchnerova. 2002. Direct Decomposition of Nitric Oxide Over Peropskite-Type Catalysts Part 1. Activity when No Oxygen is Added to The Feed. Applied Catalyst. 223: 396 – 399.

Klavons, J.R., Bennet, D. and Vanner, H. H. 1995. Physical/Chemical Nature Pectin Associated with Commercial Orange Juice Cloud. Journal Food Science. 39: 1546 – 1548.

Kupiec, T. 2004. Quality-Control Analytical Methods: High Performance Liquid Chromatography. International Journal of Pharmacceutical Compounding. 8 (3): 223 – 227.

Lambert C.K. and R. D. Gonzalez. 1998. The Importance of Measuring The Metal Content of Supported Metal Catalysts Prepared by The Sol Gel Method. Applied Catalysis A General. 172: 233 – 239.

Lecloux A.J. and J. P. Pirard. 1998. Section 4. Catalysts. Surface Function High-Temperature Catalysts through Sol–Gel Synthesis. Journal of Non-Crystalline Solids. 225: 146 – 152.

Lee, H. and J. W. Han. 2012. Direct Conversion of Cellulose into Sorbitol using Dual-Functionalized Catalyst in Neutral Aqueous Solution. Catalysis Communications. 19: 115 – 118.


(66)

68

Lim, D. J., Crittenden, J. and Ravennele, R. 2011. The Convertion of Cellulose into Sorbitol Over Alumina-Supported Platinum Catalysts. Georgia Tech Environmental Engineering Research Internship Program. 1 – 28. Liu, Q., Q. Zhang, J. E. Mark and I. Noda. 2009. A Novel Biodegradable

Nanocomposite Based on Poly (3-Hydroxybutyrate-co-3 Hydroxyhexanoate) and Silylated Kaolinite/Silica Core–Shell Nanoparticles. Applied Clay Science. 46: 51 – 56.

Lou, J. C., H. W. Yang and C. H. Lin. 2009. Preparation Copper/Manganese Catalyst by Sol-Gel Process for Catalytic Incineration of VOCs. Aerosol and Air Quality Research. 9: 435 – 440.

Maensiri, S., C. Masingboon, B. Bonochom and S. Seraphin. 2007. A Simple Route to Synthesize Nickel Ferrite (NiFe2O4) Nanoparticles using Egg White. J. Sciptamat. 56: 797 – 800.

Mahaleh, Y. Bahari Molla, S. K. Sadrnezhaad and D. Hosseini. 2008. NiO Nanoparticles Synthesis by Chemical Precipitation and Effect of Applied Surfactant on Distribution of Particle Size. Hindawi Publishing Corporation Journal of Nanomaterials. 2008 (2008): 4.

Maiti, G. C., M. L. Kundu, S. K. Ghosh and B. K. Banerjee. 1973. Cyrstallite Size Measurements and Phase Transformation of Fe2O3, Cr2O3 and Fe2O3 - Cr2O3 System by X-Ray Difraction Method. Physical Research Wing. Fertilizer Corporation of India Limited. 41 (5): 496 – 505.

Manual Book of Freeze-Dry. 2007. Labconco. USA. 1 – 3.

Marhusari, R. 2009. Bentonit Terpilar TiO2 sebagai Katalis Sembuatan Hidrogen dalam Pelarut Air pada Hidrogenasi Glukosa menjadi Sorbitol dengan Katalis Nikel.(Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Sumatera Utara. Medan. 5 – 9.

Mathur, N. K. and V. Mathur. 2001. Chemical Weekly. July Edition. 155. May, C. D. 1990. Industrial Pectins: Sources, Production and Application.

Carbohydrate Polymer. 12: 79 84.

McMurry, J. 2010. Organic Chemistry. Brooks/Cole, Cengage Learning. United States.Eight Edition.

Mohanraj, V. J. and Y. Chen. 2006. Nanoparticles a Review. Tropical Journal of Pharmaceutical Research. 5: 561 – 573.

Navrotsky, A., Weidner, D. J. and Preface. 1989. In Perovskite: A Structure of Great Interest to Geophysics and Material Science. American Geophysical Union. Washington D.C. 45: 146.


(1)

Bermejo, E., T. Dantas, C. Lacour and M. Quarton. 1995. Mechanism of Formation of Nanocrystalline Hematite Prepared by Freeze-Drying. Material Research Bulletin. 30 (5): 645 – 652.

Bradley, M. 2008. Advantages of Fourier Transform Spectrometer. Thermo Fischer Scientific. Technical Note: 50674.

Campanati, M., G. Fonsari and A. Vaccari. 2003. Fundamentals in The Preparation of Heterogeneous Catalyst. Catalysis Today. 77: 299 – 314.

Campbell, I.M. 1988. Catalyst at Surfaces. Chapman and Hall. New York. 1 – 3. Chakma, S., J. B. Bhasarkar and V. S. Moholkar. 2013. Preparation,

Characterization and Application of Sonochemically Doped Fe3+ into ZnO Nanoparticles. International Journal of Research in Engineering and Technology. 2: 177 – 183.

Chettapongsaphan, C., N. Laosiripojana, S. Charojrochkul and S.

Assabumrungrat. 2006. Preparation of High Surface Area LaCrO3 for Later Application in Solid Oxide Fuel Cell (SOFC). Sustainable Energy and Environment. A-018 (O). 1 – 4.

Chorkendroff, I. and J. W. Niemantsverdriet. 2003. Concept of Modern Catalysis and Kinetics. Wiley-VCH GmbH & Co. New York. 2 – 4.

Clemmer, D. E., S. Lee, S. J. Valentine and J. P. Reilly. 2012. Analyzing a Mixture of Disaccharides by IMS-VUVPD-MS. International Journal of Mass Spectrometry. 309: 161 – 167.

Deraz, N. M., M. M. Selim and M. Ramadan. 2009. Processing and Properties of Nanocrystalline Ni and NiO Catalysts. Materials Chemistry and Physics. 113: 269 275.

Devakumar, A., D. Mechref, P. Kang, M. V. Novotny, J. P. Reilly. Identification of Isomeric n-Glycan Structures by Mass Spectrometry with 157 nm Laser-Indused Photofragmentation. J. Am. Soc. Mass Spectrom. 19: 1027 – 1040.

Erika, C. 2013. Ekstraksi Pektin dari Kulit Kakao (Theobroma cacao l.)

menggunakan Amonium Oksalat. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia. 5 (2): 1 – 5.

Farobie, O. 2006. Pembuatan dan Pencirian Pektin Asetat. (Skripsi tidak diterbitkan). IPB. Bogor. 1 – 3.

Fukuoka, A., H. Kobayashi,Y. Ito, T. Komanoya,Y. Hosaka, P. L. Dhepe, K. Kasai and K. Hara. 2011. Synthesis of Sugar Alcohols by Hydrolytic


(2)

Hydrogenation of Cellulose Over Supported Metal Catalysts. Green Chemistr. 13: 326 – 333.

Garrow, J.S. and James, W.P.T. 1993. Human Nutrition and Dietetics. 9th Edition. Longman Singapore. Singapore. 1 570.

Goldberg, I. 1994. Functional Foods. Chapmann. New York. 37 – 219. Hansen, T. S., A. Boisen, J. M. Woodley, S. Pedersen and A. Riisager. 2006.

Production of HMF from Aqueous Fructose. Microwave Study. 1 – 2. Ismunandar. 2006. Padatan Oksida Logam: Struktur, Sintesis dan Sifat-Sifatnya.

ITB. Bandung. 8 – 23.

Ji, N., T. Zhang, M. Zheng, A. Wang, H. Wang, X. Wang and J. G. Chen. 2008. Direct Catayitic Convertion of Cellulose into Ethylene Glycol using Nickel-Promoted Tungsten Carbide Catalysts. Angewandte Chemie International Edition. 47 (44): 8510 8513.

Keav, S., S. K. Matam and A. Weidenkaff. 2014. Structur Perovskite-Based Catalysts and Their Application as Three-Way Catalytic Converters. Catalyst. 4: 226 – 255.

Klavana D., C. Tofan and J. Kirchnerova. 2002. Direct Decomposition of Nitric Oxide Over Peropskite-Type Catalysts Part 1. Activity when No Oxygen is Added to The Feed. Applied Catalyst. 223: 396 – 399.

Klavons, J.R., Bennet, D. and Vanner, H. H. 1995. Physical/Chemical Nature Pectin Associated with Commercial Orange Juice Cloud. Journal Food Science. 39: 1546 – 1548.

Kupiec, T. 2004. Quality-Control Analytical Methods: High Performance Liquid Chromatography. International Journal of Pharmacceutical Compounding. 8 (3): 223 – 227.

Lambert C.K. and R. D. Gonzalez. 1998. The Importance of Measuring The Metal Content of Supported Metal Catalysts Prepared by The Sol Gel Method. Applied Catalysis A General. 172: 233 239.

Lecloux A.J. and J. P. Pirard. 1998. Section 4. Catalysts. Surface Function High-Temperature Catalysts through Sol–Gel Synthesis. Journal of Non-Crystalline Solids. 225: 146 152.

Lee, H. and J. W. Han. 2012. Direct Conversion of Cellulose into Sorbitol using Dual-Functionalized Catalyst in Neutral Aqueous Solution. Catalysis Communications. 19: 115 – 118.


(3)

Lim, D. J., Crittenden, J. and Ravennele, R. 2011. The Convertion of Cellulose into Sorbitol Over Alumina-Supported Platinum Catalysts. Georgia Tech Environmental Engineering Research Internship Program. 1 – 28. Liu, Q., Q. Zhang, J. E. Mark and I. Noda. 2009. A Novel Biodegradable

Nanocomposite Based on Poly (3-Hydroxybutyrate-co-3 Hydroxyhexanoate) and Silylated Kaolinite/Silica Core–Shell Nanoparticles. Applied Clay Science. 46: 51 56.

Lou, J. C., H. W. Yang and C. H. Lin. 2009. Preparation Copper/Manganese Catalyst by Sol-Gel Process for Catalytic Incineration of VOCs. Aerosol and Air Quality Research. 9: 435 – 440.

Maensiri, S., C. Masingboon, B. Bonochom and S. Seraphin. 2007. A Simple Route to Synthesize Nickel Ferrite (NiFe2O4) Nanoparticles using Egg White. J. Sciptamat. 56: 797 – 800.

Mahaleh, Y. Bahari Molla, S. K. Sadrnezhaad and D. Hosseini. 2008. NiO Nanoparticles Synthesis by Chemical Precipitation and Effect of Applied Surfactant on Distribution of Particle Size. Hindawi Publishing Corporation Journal of Nanomaterials. 2008 (2008): 4.

Maiti, G. C., M. L. Kundu, S. K. Ghosh and B. K. Banerjee. 1973. Cyrstallite Size Measurements and Phase Transformation of Fe2O3, Cr2O3 and Fe2O3 - Cr2O3 System by X-Ray Difraction Method. Physical Research Wing. Fertilizer Corporation of India Limited. 41 (5): 496 – 505.

Manual Book of Freeze-Dry. 2007. Labconco. USA. 1 3.

Marhusari, R. 2009. Bentonit Terpilar TiO2 sebagai Katalis Sembuatan Hidrogen dalam Pelarut Air pada Hidrogenasi Glukosa menjadi Sorbitol dengan Katalis Nikel. (Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Sumatera Utara. Medan. 5 – 9.

Mathur, N. K. and V. Mathur. 2001. Chemical Weekly. July Edition. 155. May, C. D. 1990. Industrial Pectins: Sources, Production and Application.

Carbohydrate Polymer. 12: 79 84.

McMurry, J. 2010. Organic Chemistry. Brooks/Cole, Cengage Learning. United States. Eight Edition.

Mohanraj, V. J. and Y. Chen. 2006. Nanoparticles a Review. Tropical Journal of Pharmaceutical Research. 5: 561 573.

Navrotsky, A., Weidner, D. J. and Preface. 1989. In Perovskite: A Structure of Great Interest to Geophysics and Material Science. American Geophysical Union. Washington D.C. 45: 146.


(4)

Nelson, D. B., Smith, C.J.B. and Wiles. 1977. Commecially Important Pectic Substance in Food Colloids. Avi Publishing Co., Westport. Conn. 418. Palkovits, R., K. Tajvidi, A. Ruppert and J. Procelewska. 2011. Heteropoly Acids

as Efficient Acid Catalysts in The One-Step Conversion Cellulose to Sugar Alcohols. Chem. Communication. 47: 576.

Parry, E. P. 1963. An Infrared Study of Pyridine Adsorbed on Acidic Solids. Characterizatin of Surface Acidity. Journal of Catalysis. 2: 371 – 379. Peng, L., L. Lin, J. Zhang, J. Zhuang, Z. Beixiao and Y. Gong. 2010. Catalytic

Conversion of Cellulose to Levulinic Acid by Metal Chlorides. Molecules. 15 (8): 5258 – 5272.

Perego, C. and P. Villa. 1997. Catalyst Preparation Methods. Catalysis Today. 34: 281 – 305.

Pinna, F. 1998. Supported Metal Catalyst Preparation. Bulettin of Catalyst Today. 41: 29 – 137.

Putz, H., Schön, J. C. and Jansen M. 2001. Combined Method for Ab Intio

Structure Solution from Powder Diffraction Data. J. Apply. Crystallogr. 32: 864 – 870.

Rahaman, M.N. 1995. Ceramics Pressing and Sintering. Departement of Ceramics Engineering University of Missouri-Rolla Rolla Missouri. Columbia. 214 219.

Rawle, A. 2012. A Basic Guide to Particle Characterization. Malvern Instrument Limited. Malaysia. 1 – 8.

Richardson, T. James. 1989. Principles of Catalyst Development. Plenum Press. New York and London. 171.

Ridley, B.L., O’Neill, M. A. and Mohnen, D. 2001. Pectins: Structure,

Biosynthesis and Oligogalacturonide-Related Signaling. Phytochem. 57: 929 – 967.

Rodiansono, W., Trisunaryanti and Triyono. 2007. Pembuatan, Karakterisasi dan Uji Aktifitas Katalis NiMo/Z dan NiMo/Z-Nb2O5 pada Reaksi

Hidrorengkah Fraksi Sampah Plastik menjadi Fraksi Bensin. Berkala MIPA. 17: 44 – 54.

Satterfield, C. N. 1991. Heterogenous Catalysis in Industrial Practice 2nd


(5)

Seddigi, Z. S. 2003. Acidic Properties of HZSM-5 using Acetonylacetone, TPD Ammonia, and FTIR of Adsorbed Pyridine. The Arabian Journal for Science and Engineering. 27: 149 – 156.

Sietsma, J. R. A., J. D. Meeldijk, J. P. den Breejen, M. Versluijs-Helder, A. J. Van Dillen, P. E. de Jongh and K. P. de Jong. 2007. The Preparation of

Supported NiO and Co3O4 Nanoparticles by The Nitric Oxide Controlled Thermal Decomposition of Nitrates. Angew. Chem. Int. (Ed). 46: 4547 – 4549.

Situmeang, R., E. Listiorini, N. Fitriasari, A. D Agustina and E. A. Purnomo. 2003. LaCrO3 Prepared by Citric Acid Method for NO2 Conversion. Journal Sains Tek. 9 (3): 1 – 5.

Sopyan, I., Winarto, D. A. and Sukartini. 1997. Pembuatan Bahan Keramik melalui Teknologi Sol Gel. Bidang Pengembangan Teknologi BPPT. 137–143.

Stoltze, P. 2000. Introduction to Heterogeneous Catalysis. Department of Chemistry and Applied Engineering Science. Aalborg University. 6 – 7. Sukmawibowo. 2010. Preparasi dan Karakterisasi Katalis Fe2O3 untuk Reaksi

Hidrogenasi Katalitik CO2. (Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Lampung. Lampung. 40 – 45.

Swoboda, A. R. and G. W. Kunze. 2006. Infrared Study of Pyridine Adsorbed on Monmorrillonite Surface. Texas Agricultural Experiment Station. 277 288.

Tanabe, K., 1981. Solid Acid and Base Catalyst in Catalysis Science and Technology. John R. Anderson and Michael Boudart. Springer-Link. 2: 231 – 273.

Tombs, M. P. and Harding, S. E. 1998. An Introduction to Polysaccharide Biotechnology. London, UK: Taylor and Francis. Chapter 2. 14 – 20. Towle, G. A. and O. Christensen. 1973. Pectin in R.L Whistler (ed.). Industrial

Gum. Academic Press. New York. 429.

Walter, R. H. 1991. The Chemistry and Technology of Pectin. Chap. 1. Academic Press. San Diego. 109 118.

Wang, S., Y. Du, W. Zhang, X. Cheng and J. Wang. 2014. Catalytic Convertion into 5-Hydroxymethylfurfural Over Chromium Trichloride in Ionic Liquid. Korean Jurnal of Chemical Engineering. 31 (10): 1786 – 1791.

Wang, Y., W. Deng, B. Wang, Q. Zhang, X. Wan, Z. Tang, Y. Wang, C. Zhu, Z. Cao, G. Wang and H. Wan. 2013. Chemical Synthesis of Lactic Acid from


(6)

Cellulose Catalysed by Lead (II) Ions in Water. Nature Communications. 4: 2141.

Widegren, J. A., R. G. Finke and J. Mol. 2003. Preparation of a Multifunctional Core-Shell Nanocatalyst and Its Characterization by HRTEM. Catal. A: Chem. 191: 187.

Xiang, Kai-Huan, R. Pandey, J.M. Recio, E. Francisco, John M. Newsam. 1999. A Theoritical Study of The Cluster Vibration in Cr2O2, Cr2O3, Cr2O4. American Society. J. Phys. Chem. 104 (5): 904 – 994.

Zhang, J., S. Wu and Y. Liu. 2014. Direct Conversion of Cellulose into Sorbitol Over a Magnetic Catalyst in An Extremely Low Concentration Acid System. Energy Fuels. 28 (7): 4242 – 4246.

Zumbé, A., A. Lee and D. Storey. 2001. Polyols in Confectionery: The Route to Sugar-Free, Reduced Sugar and Reduced Calorie Confectionery. British Journal of Nutrition. 85 (1): 31 – 45.