Buku Cerita Bergambar Fractured Fairy Tale: Timun Mas

(1)

(2)

Laporan Pengantar Tugas Akhir

BUKU CERITA BERGAMBAR

FRACTURED FAIRY TALE

: TIMUN MAS

DK 38315 Tugas Akhir Semester II 2011 / 2012

Oleh

Liky Ardianto Koesworo 51906070

Program Studi Desain Komunikasi Visual

FAKULTAS DESAIN

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG


(3)

(4)

ABSTRAK Liky Ardianto 51906079

Program Studi Desain Komunikasi Visual

Peran penting dan esensialitas folklor bagi kolektif masyarakat pemiliknya, secara khusus folklor prosa lisan seperti dongeng, selain sebagai proyeksi nilai-nilai yang berlaku dan kontrol sosial, juga bisa dilihat sebagai alat pengingat atau yang disebut mnemonic device dari idea, nilai, moral, etika, filosofi, cara pandang (weltanschauung) suatu kolektif masyarakat dimana dongeng itu tumbuh. Karenanya keberadaan folklor menjadi begitu penting bagi suatu kolektif, dari folklor terefleksi bagaimana kolektif masyarakat pemiliknya.

Terlepas dari pentingnya arti folklor, pada realitasnya di zaman modern seperti sekarang ini, folklor khususnya dongeng semakin ditinggalkan bahkan oleh kolektif pemiliknya, hal ini dikarenakan selain paradigma bahwa folklor identik dengan irasionalitas, mistik, dan takhayul yang semestinya ditinggalkan. Dongeng Timun Mas sebagai dongeng masyarakat asli yang berasal dari jawa tengah dewasa ini juga menghadapi tantangan yang serupa sebagaimana dongeng lokal lainnya, ketidakmampuan cerita dongeng lokal itu sendiri untuk menyesuaikan dan beradaptasi dengan zaman, ditambah kalah bersaing dengan dongeng-dongeng mancanegara yang lebih populer dan mendunia, yang lebih bisa beradaptasi dan diterima masyarakat zaman sekarang.

Berangkat dari dasar pemikiran itu, maka dapat disimpulkan perlunya cerita dongeng, khusunya Timun Mas, yang baru dan lebih adaptif dengan konsep, konten, dan pengemasan yang baru yang lebih relevan dengan perkembangan zaman dan manusia, sehingga eksistensinya tetap terjaga sebagai mnemonic device kolektif pada zamannya.


(5)

ABSTRACT

Liky Ardianto 51906079

Study Programme Visual Communication Design

The importance and essential of folklore, or folktale to be precise, for it’s owner collectives while not only as an projection of value and social control, but also as a mnemonic device of ideal, normative value, moral, and ethic postulate, philosophy, and worldview (weltanschauung) of it’s owner, the very existance of folktale are indispenable for it is an honest reflection of how the collective is.

Despite of how important the meaning and existence of folklore, in reality, at this modern world as today, folklore or especially folktale unfortunately being left and ignored even by it’s own collective. This is cause primarily by a paradigm that folklore are identical with irrationality, mystic, and superstition which is supposed to be left alone in this modern rational world. Timun Mas like any other local Folktale, are having the exact same problem, the inability of indonesian local folklore to adapt in the modern era, plus unable to compete with more globally famous and popular foreign folktale that is more adaptive and accepted by modern era.

Based on that premise, it could be conclude that a new concept of story, content, and packaging of more adaptive local folktale, and also more relevance and acceptable by this era, are essentially needed. So that the existence of local folktale could remain continouslly , and keep it’s role as a collective mnemonic device of it’s era.

Key Word: Folk Tale, Mnemonic Device, Existence of Story, Timun Mas


(6)

KATA PENGANTAR

Laporan tugas akhir ini dibuat sebagai kelengkapan persyaratan penyelesaian studi pada program sarjana program studi Desain Komunikasi Visual Universitas Komputer Indonesia.

Tugas Akhir merupakan mata kuliah wajib sekaligus mata kuliah akhir untuk meraih gelar sarjana pada jenjang Strata I dari Program Studi Desain Komunikasi Visual Universitas Komputer Indonesia, dengan cara menampilkan karya yang telah terkonsep.

Untuk tugas akhir ini, penulis merancang sebuah media informasi berupa

Picture Story Book bergenre Fractured Fairy Tale yang mengangkat kembali dongeng Timun Mas dengan konsep, literatur, visual, dan makna nilai yang benar-benar baru, pengantar tugas akhir ini diberi judul buku cerita bergambar

Fractured Fairy Tale : Timun Mas.

Tujuan perancangan Picture Story Book Timun Mas ini adalah selain agar tetap menjaga eksistensi cerita rakyat lokal secara umum, khususnya dongeng Timun Mas, reinterpretasi makna baru yang dilakukan bertujuan agar dongeng ini bisa tetap relevan dan faktual dengan keadaan zaman agar dapat menjadi alat pengingat (mnemonnik device) bagi kolektif pemiliknya secara khusus, dan bangsa indonesia keseluruhan sesuai zamannya.

Dalam menjalani tugas akhir ini, penulis menyadari ketidak sempurnaan dan segala kekurangan serta kesalahan yang dibuat sengaja maupun tidak karena keterbatasan ilmu yang dimiliki, Masukan berupa saran dan kritik sangat diharapkan untuk perbaikan tugas akhir ini. Semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi siapapun.

Rasa terima kasih juga penulis sampaikan dengan penuh kerendahan diri bagi segenap pengajar Program Studi Desain Komunikasi Visual UNIKOM, dan semua yang turut membantu penulisan laporan dan tugas akhir ini hingga saat ini.

Bandung. 19 Juli 2012


(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ABSTRAK

KATA PENGANTAR………... i

DAFTAR ISI..……… ii

DAFTAR GAMBAR.……….... v

DAFTAR LAMPIRAN………..……… vii

Bab I Pendahuluan……….. 1

1.1 Latar Belakang Masalah………... 1

1.2 Identifikasi Masalah.………. 5

1.3 Fokus Permasalahan.………. 6

1.4 Tujuan Perancangan….………. 6

Bab II Cerita Timun Mas Dalam Ranah Folklor ……… 7

2.1 Pengertian Folklor,……….... 7

2.2 Jenis Folklor.………. 8

2.3 Fungsi Folklor.………... 9

2.4 Cerita Rakyat…….………... 9

2.5 Klasifikasi Cerita Rakyat.………. 10

2.6 Klasifikasi, Karakteristik, dan Komparasi Dongeng……….………... 11

2.7 Kebudayaan Jawa, Unsur Budaya, dan Latar Budaya Cerita Timun Mas….……... 13

2.7.1 Pengertian Kebudayaan………... 13

2.7.2 Unsur Kebudayaan………... 14

2.7.3 Unsur Budaya Jawa………. 15

2.7.4 Cerita Rakyat Timun Mas……… 18

2.7.5 Interpretasi Unsur Budaya Jawa dalam Cerita Timun Mas………. 23

2.8 Media Informasi…….………... 25

2.9 Picture Story Book………. 25


(8)

2.11 Target Audiens……….. 28

Bab III Strategi Perancangan dan Konsep Visual………. 30

3.1 Strategi Perancangan………. 30

3.1.1 Strategi Komunikasi……… 30

3.1.2 Tujuan Komunikasi………. 30

3.1.3 Materi Pesan Utama……… 31

3.1.4 Strategi Kreatif……… 31

3.1.5 Strategi Visual………. 32

3.1.6 Strategi Literatur……….. 32

3.1.7 Strategi Media………. 33

3.2 Konsep Visual………... 34

3.2.1 Gaya Visual………. 34

3.2.2 Format Desain………. 36

3.2.3 Konsep Warna………. 36

3.2.4 Layout……….. 37

3.2.5 Tipografi……….. 37

3.3. Konsep Literatur……… 39

3.3.1 Karakter (Penokohan)……….. 40

3.3.2 Setting……….. 43

3.3.3 Cerita………... 43

3.3.4 Sinopsis Plot……… 43

3.3.5 Tema Sentral dan Makna Cerita……….. 44

Bab IV Media dan Teknis Produksi………... 47

4.1 Media Utama………. 47

4.1.1 Teknis Produksi Media……… 47

4.1.2 Hard Cover……….. 50

4.1.3 Jacket Cover……… 51

4.1.4 Wood Box Cover………. 52

4.2 Media Promosi……….. 53

4.2.1 Poster………... 53


(9)

4.2.3 Flyer……….. 55

4.3 Gimmick dan Merchandise………. 55

4.3.1 Playing Card……….. 56

4.3.2 T-shirt……… 57

4.3.3 Pembatas Buku……….. 58

4.3.4 Stiker………. 59

DAFTAR PUSTAKA………. 60

LAMPIRAN………. 63                                      


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1. Cover buku kumpulan cerita rakyat nusantara………... 19

Gambar II.2. Cover buku Grimm’s Fairy Tale………. 27

Gambar III.1. Ilustrasi American McGee Alice Madness Return……….. 35

Gambar III.2. Ilustrasi American McGee Alice Madness Return………... 35

Gambar III.3. Ilustrasi Alice Adventure in Wonderland……… 35

Gambar III.4. Contoh penggunaan warna pada ilustrasi……… 36

Gambar III.5. Contoh penggunaan warna pada ilustrasi……… 37

Gambar III.6. Contoh Layout………. 37

Gambar III.7. Contoh penerapan Font Eccentric std pada Logotype………. 38

Gambar III.8. Contoh penerapan Font A.D. Mono pada ilustrasi……….. 38

Gambar III.9. Contoh penerapan Font Courier New pada body text………. 39

Gambar III.10. Tokoh Wanita Tua/Ibu……… 40

Gambar III.11. Tokoh Timun Mas………... 41

Gambar III.12. Tokoh Raksasa……… 42

Gambar III.13. Tokoh Petapa……….. 42

Gambar IV.1. Printscreen Screenplay……… 48

Gambar IV.2. Ilustrasi manual……….. 49

Gambar IV.3. Ilustrasi manual……….. 49

Gambar IV.4. Hasil akhir ilustrasi pada media digital………50

Gambar IV.5. Hard cover………51

Gambar IV.6. Ilustrasi pada Jacket cover………... 51

Gambar IV.7. Jacket cover………..52

Gambar IV.8. Wood box cover……….. 52

Gambar IV.9. Poster………53

Gambar IV.10. X-Banner……… 54

Gambar IV.11. Flyer……… 55


(11)

Gambar IV.13. T-shirt……….. 57 Gambar IV.14. Pembatas buku………. 58 gambar IV.15. Stiker………59


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Sketsa……….63 Lembar Bimbingan………65


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Folklore atau folklor dalam bahasa Indonesia, merupakan sebuah elemen penting yang ada dalam suatu sistem tatanan budaya dan sosial suatu masyarakat, folklor merupakan sebuah refleksi sosial akan suatu masyarakat dan segala sistem yang berlaku didalamnya, sebuah cerminan akan nilai-nilai baik moral, etik dan nilai-nilai normalitas yang berlaku dalam suatu masyarakat, selain itu folklor juga dapat dilihat sebagai suatu manifestasi dari cara pandang (welthanschauung) satu masyarakat secara holistik, ini artinya sebuah folklor yang ada dan eksis dalam suatu masyarakat, bisa dilihat sebagai satu proyeksi dari bagaimana sebuah masyarakat itu berfikir, bertindak, dan berperilaku.

Folklor menjadi salah satu bagian terpenting yang tidak bisa lepas dalam perjalanan evolusi manusia hingga sekarang dari berbagai aspek, baik itu kultur, budaya, sosial, filsafat, hingga religiusitas. Folklor merupakan suatu fenomena universal yang dapat ditemukan dalam setiap kebudayan manusia yang ada dari masa ke masa. Rekam jejak usia folklor bisa dirunut sampai jauh ke belakang bahkan jauh ketika masa pra-aksara, sejak masa purba manusia telah merekam kisah hidup dan persepsi manusia akan realitanya dalam sebuah lore, sebelum kemampuan berkomunikasi verbal terbentuk sekompleks saat ini, manusia bercerita melalui lukisan-lukisan gua, saat kemampuan komunikasi verbal mulai terbentuk sempurna, manusia mulai menciptakan folklor-folklor verbal. Seiring berkembangnya budaya, psikologis, dan kecerdasan manusia, folklor turut berkembang juga sejalan dengan itu, manusia mulai menciptakan ritual-ritual, kepercayaan-kepercayaan, sebagai bentuk kekagumannya pada alam dan kehidupan. Seiring munculnya spiritualitas dan religiusitas dalam budaya manusia, kesenian dan artefak-artefak budaya mulai berkembang saat manusia mulai mengenal keindahan atau estetika. Folklor menempati posisi esensial dalam kehidupan manusia dan menjadi bagian penting dalam sejarah umat manusia, hingga hari ini.


(14)

Seperti ditulis diatas, folklor merupakan fenomena universal, tidak jarang antara satu lore yang ada didalam satu kolektif masyarakat tertentu terdapat kesamaan baik kisah literal maupun esensi makna, kesamaan-kesamaan ini tidak unik terdapat pada jenis folklor verbal saja, namun juga untuk lore yang sifatnya

costumary maupun artefak, seperti persamaan adat istiadat, kebiasaan, prilaku, kesamaan nilai-nilai, dan kesamaan produk budaya lain, contoh paling kentara memang terdapat pada folklor-folklor verbal. Selain itu cerita-cerita dalam satu zaman biasanya memiliki kesamaan dengan cerita lain pada zaman setelahnya, maupun dengan cerita-cerita kontemporar, seorang sejarawan dan folklorist klasik Adrianne Mayor (2001) berpendapat “Ancient Greek and Roman literature contains rich troves of folklore and popular beliefs, many of which have counterparts in modern contemporary legends.”

Folklor khususnya cerita verbal seperti cerita rakyat, legenda, mite, epos dan lainnya bisa juga berfungsi sebagai alat pengajaran dan pewarisan nilai-nilai etik dan moral, serta kontrol sosial pada kolektif masyarakat dimana folklor itu diciptakan, terutama dalam subgenre yang disebut sebagai cautionary tale.

Studi folklor menjadi sangat penting dan esensial terutama dalam ranah akademik, menurut Dundes dalam esainya The Devolutionary Premise in Folklore Theory menjelaskan“As long as humans interact and in the course of so doing employ traditional forms of communication, folklorists will continue to have golden opportunities to study folklore.(h.19) . 

Kajian folklor sangat penting dan krusial bagi manusia untuk dapat mengerti dan memahami pola prilaku diri kita sendiri dan sesama sebagai manusia.(Wilson, William A, 2006.)

Kebudayaan, khususnya folklor, sebagai hasil kreativitas manusia, didalamnya mengandung nilai-nilai dan idea-idea, gagasan, angan-angan, cita-cita, falsafah, dan kesadaran kolektif masyarakat yang menciptakannya, yang direfleksikan baik secara alegoris maupun literal, folklore mengungkapkan baik secara sadar atau tidak bagaimana suatu kolektif masyarakat berpikir, bertindak, berperilaku, dan memanifestasikan berbagai sikap mental, pola pikir, tata nilai, dan mengabadikan hal-hal yang dirasa penting oleh folk kolektif pendukungnya,


(15)

hal yang sama juga tedapat pada folklor-folklor yang ada dan berkembang di Indonesia.

Folklor nusantara adalah bagian dari perjalanan sejarah kebudayaan bangsa yang merefleksikan cara pandang dan pola pikir bangsa dan identitas budaya bangsa indonesia. Melalui folklorlah suatu bangsa dapat melihat ke dalam diri sendiri, bercermin pada identitas bangsa sendiri, meresapi nilai-nilai luhur bangsa dan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung didalamnya, sebagaimana pemikiran dan nilai-nilai masyarakat dan prilaku hidup masyarakat Jawa misalnya, bisa tercermin dalam permainan-permainan rakyat seperti dolanan, puisi-puisi, beragam kesenian pertunjukan, anekdot, bahkan bermanifestasi dalam kebudayaan material (material lore) seperti batik, wayang dan lain-sebagainya. Dilihat dari aspek seni dan budaya, folklor sendiri, terutama jenis folklor yg biasa mempergunakan alat bantu pengingat (mnemonic device), dapat dilihat sebagai sebuah artefak budaya, hasil produk kebudayaan dan kreatifitas kolektif manusia, kekayaan pemikiran yang sangat berharga, yang sudah selayaknya dilestarikan agar tidak punah.

Folklor yang diwariskan turun-temurun secara lisan, bukan berarti tidak berguna atau relevan lagi di zaman sekarang ini, terlepas dari unsur mistik yang ada didalamnya, folklor masih memiliki nilai-nilai dan norma, etika, ajaran moral yang masih relevan hingga masa sekarang, arti dan fungsinya masih sangat penting terutama bagi kolektif pemiliknya, pengkajian pada folklor bisa digunakan sebagai sarana penanaman nilai-nilai maupun pengajaran moral pada masyarakat sekarang, selain juga berguna untuk karya sastra keliteraturan itu sendiri. Pewarisannya pada generasi selanjutnya berguna dalam rangka memperkencil kesenjangan budaya pada generasi muda sekarang.

Folklor yang akan diangkat sebagai studi kasus dalam tugas akhir ini adalah cerita rakyat Timun Mas. Pemilihan cerita rakyat ini terutama dikarenakan cukup popular dan dikenal luas sebagai dongeng anak, diperlukan penelitian untuk memahami dan menginterpretasi cerita dan nilai yang implisit terkandung dalam cerita Timun Mas, untuk menangkap nilai itu diperlukan juga pemahaman akan kebudayaan, prilaku, kehidupan, kemasyarakatan dan pola pikir atau persepsi si pemilik folklor pada masa cerita itu dibuat, yaitu masyarakat Jawa.


(16)

Dewasa ini, seiring dengan berkembangnya rasionalitas, folklor dianggap tak ubahnya sebagai suatu takhayul ataupun kisah-kisah mistik yang tidak menarik dan cenderung harus ditinggalkan, kurangnya buku-buku cerita rakyat dengan kualitas yang baik, dari segi penceritaan (storytelling) maupun kemasan. Ada paradigma bahwa cerita rakyat atau folklor adalah konsumsi untuk anak-anak, atau berasosiasi dengan anak-anak-anak, ini tentu terlalu menyederhanakan pengertian folklor itu sendiri. Penyebab lain adalah karena buku-buku cerita rakyat kebanyakan diperuntukkan bagi kalangan anak-anak atau pelajar sekolah. Selain masalah tersebut, ini juga karena kalah pamor oleh cerita-cerita atau folklor mancanegara yang lebih popular, seperti Cinderella, Little Red Riding Hood, Hansel and Gretel, kumpulan cerita rakyat Grimm Brothers atau Perrault, misalnya yang jauh lebih mendunia. Anak-anak Indonesia dewasa ini lebih hafal dan akrab dengan kisah-kisah si Kerudung Merah, Cinderella, dan Putri Tidur, Aladdin atau kisah 1001 malam, ketimbang cerita budaya lokal seperti Timun Mas, Cindelaras, Ciung wanara, dan lain sebagainya.

Memudarnya kepopuleran folklor, khususnya dongeng (fairy tale) di Indonesia, bisa dibilang memang karena sedikitnya penulis yang secara spesifik berkarya di genre literatur ini, sedikit sekali penulis-penulis Indonesia yang seperti Aesop, Giambatista Basile, Charles Perrault, atau Grimm bersaudara-secara khusus mendedikasikan pekerjaan dan karya mereka mengumpulkan, menginterpretasi, dan menulis ulang kisah-kisah dongeng atau folklore lalu menuangkannya ke dalam sebuah karya literatur.

Melihat uraian diatas, agar eksistensi sebuah cerita tetap bertahan, maka diperlukan suatu versi cerita Timun Mas baru yang dapat menarik orang untuk mengapresiasi, memahami, serta menumbuhkan sikap mencintai cerita rakyat atau dongeng, folklor secara umum, dan khususnya dongeng dan folklor lokal yang berasal dari negeri sendiri. Warisan budaya dan intelektualitas kolektif bangsa Indonesia diposisikan menjadi identitas dan cerminan cara pandang dan persona sebuah bangsa tidak hilang oleh zaman, tenggelam ditengah kisah-kisah dan budaya bangsa lain. Berangkat dari hal itu, timbul ketertarikan untuk menulis, mereinterpretasi dan menceritakan kembali (rewritting) cerita rakyat dongeng Timun Mas, dengan tema yang dikonsepsi ulang sehingga bisa relevan dan


(17)

menyesuaikan sesuai perkembangan faktual zaman, diharapkan mampu menjadi

mnemonic device bagi masyarakat kolektif pemiliknya secara khusus, dan masyarakat luas pada umumnya.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan ulasan latar belakang masalah pada poin sebelumnya, folklor merupakan bagian tidak terpisahkan dari rekam jejak perjalanan evolusi kebudayaan manusia, dan meresap menjadi bagian penting baik dalam aspek kebudayaan maupun sistem sosial sebuah kolektif yang memilikinya, refleksi dari idea, gagasan, nilai, dan cara pandang kolektif yang memilikinya. Karena fungsi, kegunaan, dan relevansinya akan jaman sekarang, maka menjaga eksistensi folklor menjadi hal esensial dijaman sekarang ini, terutama untuk folklor-folklor lokal bangsa seperti cerita rakyat Timun Mas yang dewasa ini tenggelam oleh arus cerita asing yang jauh lebih dikenal dan populer di kalangan masyarakat Indonesia sekarang ini.

Dalam usaha menceritakan kembali dongeng Timun Mas, berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan diatas, beberapa poin-poin rumusan masalah yang harus dihadapi adalah

1. Menginterpretasikan Cerita Timun Mas, nilai-nilai dan makna implisit yang terkandung didalamnya.dalam poin ini, metodologi yang digunakan adalah studi literatur.

2. Menentukan nilai, moralitas dan filosofi,dan tema baru untuk diangkat sebagai tema sentral dari cerita Timun Mas yang akan ditulis ulang. 3. Perlunya ada cerita baru yang mengangkat tema cerita rakyat lokal,

mengingat pentingnya fungsi folklor. Target audiens terutama untuk segmentasi remaja dewasa, kebanyakan buku cerita yang ada ditujukan untuk anak-anak, sehingga keberadaan dan kepopuleran cerita rakyat lokal tenggelam ditengah buku-buku dan karya sastra yang mengangkat tema dongeng mancanegara.


(18)

1.3 Fokus Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dan identifikasi masalah diatas, maka Fokus masalahnya adalah

Bagaimana menyajikan cerita baru yang mampu mengangkat kembali cerita rakyat Timun Mas secara interpretatif dan menarik, baik dari segi estetik, konten maupun kemasan, dengan mengangkat tema-tema yang lebih sesuai zaman, sehingga diharapkan dapat menjadi alat pengingat

(mnemonnik device) bagi masyarakat lokal Indonesia jaman sekarang.”

1.4 Tujuan Perancangan

Tujuan yang ingin dicapai dari perancangan ini antara lain,

1. dalam ranah praktis diharapkan dapat menghasilkan suatu media yang baik secara konten dan estetik, terutama di bidang karya literatur, khususnya mengangkat kembali genre cerita-rakyat atau dongeng, juga yang tidak kalah penting adalah mengangkat pamor cerita rakyat local negeri sendiri sehingga bangsa sendiri sebagai kolektif pemilik nantinya dapat lebih memiliki rasa apresiasi, memiliki, mencintai warisan budaya mereka sendiri.

2. Dalam ranah teoritis, diharapkan dapat memberikan interpretasi baru dan persepsi baru akan cerita rakyat Timun Mas, mengangkat nilai dan tema moral yang terpendam didalam cerita tersebut. Dalam scope yang lebih luas, memberikan gambaran pengertian umum akan pengertian dan fungsi penting folklor bagi kolektif pemiliknya, dan pentingnya melestarikan warisan budaya ini.

3. Diharapkan rancangan tugas akhir ini bisa berguna bagi aspek akademik dan keilmuan khususnya rekan mahasiswa yang kelak mungkin membutuhkan.


(19)

BAB II

CERITA TIMUN MAS DALAM RANAH FOLKLOR 2.1 Pengertian Folklor

Secara terminologi, folklore atau dalam bahasa Indonesia diserap menjadi folklor berasal dari dua kata folk dan lore. Folk berdasarkan definisi modern bisa diartikan sebagai sekelompok masyarakat atau kolektif, dalam bahasa Old English

sendiri folk biasa diartikan sebagai ‘suku’(tribe) atau klan, William J.Thoms (1846) yg juga orang pertama yang memperkenalkan kata folklore, mendefinisikan folk sebagai “common people”, whose culture is handed down orally”. dari pengertian nya inilah muncul berbagai istilah baru seperti folk-music, folk-art, folk-tale, folk-song-folk-dance, dan lain sebagainya.

Dundes (1984) mendefinisikan folk sebagai sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri kesamaan tradisi dan budaya, baik kultur atau sub-kultur yang sama sehingga bisa dibedakan dengan kelompok lainnya, memiliki tradisi yang diakui sebagai milik kolektif dan diwariskan secara turun-temurun.

Lore secara umum didefinisikan sebagai prilaku yang menjadi tradisi, kultural maupun subkultural, diwariskan secara turun temurun secara lisan (verbal) tingkah laku (costum) maupun secara dengan bantuan alat pengingat (artefak).

Dari definisi diatas, folklor bisa dipahami sebagai suatu tradisi, baik tradisi lisan atau oral (verbal lore), tradisi behavioral (costumary lore) maupun berupa artefak, yang diakui dan disadari sebagai milik bersama sekelompok kolektif, dan diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi.

Folklor, menurut Danadjadja (1984) secara umum memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan, oral atau dari mulut-ke mulut, dan biasanya tidak dituangkan mulut-kedalam tulisan.


(20)

3. Memiliki beragam versi dan interpretasi berbeda, dikarenakan system penyebarannya yang tradisional, akan tetapi, biasanya garis besarnya tetap tidak berubah.

4. Anonim, pengarang atau penciptanya tidak diketahui, sehingga bisa diklaim sebagai milik bersama suatu kolektif tertentu.

5. Biasanya memiliki pola yang relatif sama, misalnya dalam kalimat pembuka, dalam folklor Eropa sering digunakan kalimat “once upon a time” atau sejenisnya, di Jawa biasa dimulai dengan anuju sawijing dina.

6. Berfungsi penting bagi si kolektif pemilik, sebagai atribut, identitas, alat pendidikan, alat kontrol masyarakat, maupun sebagai hiburan. 7. Bersifat pralogis, artinya tidak atau belum tentu sesuai dengan logika,

biasanya mengandung muatan mistis (dalam artian rohaniah) dan metafisis dalam artian filsafat, pada awalnya sangat dimungkinkan folklor berbasis pada hal-hal yang menyangkut religiusitas, terutama terlihat jelas pada jenis folklor verbal, seperti mitos atau mitologi contohnya.

8. Umumnya bersifat lugu atau polos, kadang cenderung terlihat kasar, beberapa contoh folklor bersifat erotis atau rasial, ini adalah refleksi ke’jujur’an si pencipta folklor dalam menuangkan persepsinya akan realita yang ditangkapnya.

2.2. Jenis Folklor

Secara garis besar, folklorist Jan Harold Brunvard (1968) membagi folklor ke dalam 3 jenis.

Folklor lisan atau verbal, narasi tradisional, kebanyakan folklor masuk ke dalam jenis ini, penyebarannya dilakukan secara oral dari mulut kemulut dan biasanya tidak dicatatkan. Contohnya bahasa rakyat, proverb atau pribahasa, tebakan, puisi, cerita rakyat atau prosa rakyat. Prosa biasanya dibagi lagi ke 3 mite (mitologi), legenda, dan dongeng (fairy tale)

Folklor ebagian lisan, folklor sebagai prilaku, kegiatan yang sifatnya


(21)

upacara-upacara atau ritual seperti ritual kelahiran, kematian, dan pernikahan, adat dan kebiasaan yang sifatnya costumary, tari-tarian, teater, permainan daerah.

Folklor bukan lisan atau artefak, artefak dalam pengertian umum adalah sesuatu yang dibuat manusia yang memiliki informasi kultural akan si pembuat atau pemakainya (material lore). Contohnya artefak arsitektural (bangunan, rumah daerah, tempat penyimpanan mayat, altar pemujaan atau ritual, pakaian, makanan-minuman daerah, kesenian, senjata atau alat-alat seperti perkakas, peti mati, dan alat musik.

2.3. Fungsi Folklor

Menurut William R. Borton, seperti dikutip Danandjaja (1986) folklor memiliki setidaknya empat fungsi.

1. Sistem proyeksi, artinya folklor berfungsi sebagai pencerminan dan refleksi karakteristik, cara pandang, idea, dan cita-cita kolektif masyarakat yang memilikinya.

2. Alat pengajaran nilai, folklor digunakan sebagai sarana mengajarkan dan mewariskan nilai-nilai, baik itu etika, moralitas, normalitas, yang berlaku pada satu kolektif kepada keturunannya.

3. Alat kontrol sosial, ini berarti folklor berfungsi sebagai alat pengikat agara nilai dan norma pada satu kolektif dipatuhi oleh seluruh anggotanya, sebagai kekangan moral dan pengontrol massa lewat dikotomi benar-salah yang dogmatis atau tidak boleh dipertanyakan. 4. Sebagai legitimasi pranata sosial.

2.4. Cerita Rakyat

Cerita rakyat termasuk ke dalam folklor lisan, berbentuk prosa verbal yang disebarkan secara oral dari mulut ke mulut dan bersifat anonim atau tidak diketahui penciptanya. Secara garis besar cerita rakyat dibagi menjadi tiga : mite, legenda, dan dongeng (parabel). Fabel dan Anekdot terkadang juga dimasukkan ke dalam pembagian ini, walau sering kali dianggap masih merupakan bagian atau sub genre dari dongeng.


(22)

2.5. Klasifikasi Cerita Rakyat

Mite atau mitos adalah jenis cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan berkaitan erat dengan kepercayaan, salah satu unsur utama pada mitos adalah adanya unsur relijiusitas, dalam arti mitos dianggap sebagai suatu kisah relijius yang dipercayai oleh suatu kolektif pemiliknya benar-benar terjadi. Mitologi kebanyakan tidak dianggap sama dengan cerita rakyat lainnya semisal dongeng dan legenda, karena memiliki konsepsi suci naratif yang diyakini kebenarannya secara dogmatis, namun juga tidak disamakan dengan agama dominan. Masalah lain membedakan mite dengan dongeng maupun agama adalah subjektivitas, karena mitologi di suatu tempat bisa dianggap agama yang memiliki nilai kebenaran ilahiah, sedangkan di tempat lain pada waktu yang lain dianggap dongeng, misalnya mitologi Yunani atau Norwegia yang dianggap agama pada masanya, namun di masa selanjutnya terutama setelah munculnya kepercayaan samawi sebagai agama dominan, dianggap sebuah mitologi atau dongeng belaka, beberapa ciri karakteristik mite secara singkat adalah tokohnya dewa-dewa atau Tuhan, setting waktunya tidak spesifik berbeda dengan legenda, dan plot ceritanya biasanya seperti cerita-cerita penciptaan alam semesta, penciptaan manusia, kisah dewa-dewa, maupun perjalan supranatural orang suci atau nabi-nabi.

Legenda seperti halnya mite, juga dianggap benar-benar terjadi menurut kolektif pemiliknya, dan dianggap sebagai ‘setengah sejarah’, dalam arti terjadi dalam kurun waktu yang spesifik pada suatu masa tertentu yang lampau, legenda biasanya bercerita tentang kejadian atau asal-usul suatu tempat, kejadian sejarah yang dianggap pernah terjadi, kelahiran atau terbentuknya suatu komunitas atau negara, dan figur sejarah tertentu yang dianggap benar pernah ada, namun tidak disucikan seperti halnya mite.

Dongeng adalah prosa kesusastraan lisan yang tidak dianggap benar-benar terjadi, beberapa karakteristik dongeng antara lain setting waktu yang tidak spesifik, dari segi teknis, penggunaan kalimat pembuka atau penutup yang klise, dalam dongeng biasanya dimulai dengan “pada suatu ketika” dan diakhiri “hidup bahagia selamanya”, dongeng bisanya mengandung unsur unsur mistik fantasi


(23)

yang tidak masuk akal, semisal mahluk-mahluk gaib, sihir, plot cerita, karakter dan motif yang klise dan stereotip, hiperbolik, dan biasanya berakhir dengan akhir bahagia. Dongeng biasanya diceritakan sebagai hiburan, beberapa sub genre dongeng ada juga yang diperlakukan sebagai pelajaran moral atau larangan (cautionary tale) dan sindiran atau satir yang alegoris.

2.6. Klasifikasi, karakteristik, dan komparasi Dongeng

Dilihat dari jenisnya, dongeng menurut Aarne dan Thompson (1961) dibagi menjadi empat golongan :

- Fabel, ialah jenis dongeng dimana karakter nya adalah binatang, tumbuhan, binatang mistik, objek inanimate, atau kekuatan alam yang bertindak, bertingkah laku, dan memiliki kemampuan berfikir seperti manusia, dalam dikenal sebagai antropomorphism. Fabel merupakan salah satu bentuk dongeng yang paling tua. Sejarahnya bisa ditilik sampai ke fabel Aesop pada abad ke lima sebelum masehi, dalam beberapa cerita fabel aesopik ternyata dtemukan dalam cerita-cerita kebudayaan Sumeria dan Akkadia, jauh tiga ribu tahun sebelum masehi. Fabel, mirip seperti parabel, biasanya bercerita mengenai pesan-pesan moralitas dan nilai-nilai etika, dan seringkali di epilog cerita pesan moral ini diungkapkan secara eksplisit dalam bentuk pepatah kebijakan.

- Dongeng biasa atau ordinary tale, dongeng ini karakter nya manusia biasa, paling banyak dongeng termasuk ke kategori ini, cerita nya sering kali klise seperti cerita suka-duka karakternya yang biasanya berakhir bahagia.

- Anekdot, adalah jenis dongeng yang tokohnya biasanya merupakan sebuah figur yang benar-benar, atau dianggap pernah ada secara historis, tujuannya adalah sebagai kelakar atau humor, memancing tawa, namun disaat yang sama juga berupa satiryang mengundang kritik. Anekdot harus dibedakan dengan lelucon karena tujuan utama anekdot bukanlah untuk mengundang tawa, tapi sebagai satir, biasanya


(24)

berupa kritik sosial yang menggambarkan keadaan sosial suatu kolektif tertentu pada suatu masa.

- Dongeng berumus, yaitu jenis dongeng yang menggunakan pengulangan-pengulangan yang terus menerus dan tidak ada habisnya, secara umum tujuannya hanya sebagai hiburan atau mempermainkan saja.

Pada perkembangannya, Anttie Aarne, yang dikemudian hari direvisi lagi oleh Stith Thompson, mengklasifikasikan cerita-cerita yang ada ke dalam sebuah model indeks berdasarkan pola-pola cerita, stereotip plot dan karakter, dan srutktur naratif yang sama yang terdepat pada prosa-prosa rakyat tradisional. Sistem Taksonomi ini kemudian disebut sebgai Sistem klasifikasi Aarne-Thompson, yang dalam kajian folklor modern menjadi alat bantu yang baku digunakan folklorist.

Di antara dongeng satu dengan lainnya tidak jarang ditemukan kesamaan-kesamaan baik dari stereotip penokohan, plot, cerita maupun motif di dalamnya, persamaan bisa terjadi diantara satu dongeng pada suatu masyarakat tertentu dengan dongeng lain di masyarakat lain yang benar-benar berbeda. Baik itu tale type, maupun tale motif nya, misalnya tipe cerita Cinderella yang terdapat juga di banyak kebudayaan berbeda, termasuk di Indonesia (Ande ande Lumut dan Bawang Merah Bawang Putih), atau berdasarkan tale motif semisal motif cerita ibu tiri jahat dan anak yang disakiti menjadi motif yang terdapat di banyak cerita rakyat pada kebudayaan berbeda. Ada dua jenis pendapat yang menguraikan mengenai persamaan cerita ini, pertama teori-teori monogenesis (kesatuan sumber) yang menyatakan kalau tiap-tiap tipe cerita bersumber dari satu cerita yang kemudian menyebar secara oral dan diceritakan kembali di banyak kebudayaan lain. Sedangkan teori-teori poligenesis (banyak sumber) mengatakan kalau tipe-tipe cerita dapat tercipta dimana saja tanpa harus saling mempengaruhi, ini dikarenakan kesamaan pengalaman atau kewatakan manusia (human nature) yang diturunkan secara biologis (melalui evolusi) memungkinkan, tipe cerita yang sama dapat tercipta di banyak kebudayaan berbeda. Dalam pendekatan Analitik Psikologi Carl Jung, cerita-cerita bisa mirip satu sama lainnya karena adanya ketidaksadaran bersama (collective unconsciousness) pada setiap manusia


(25)

yang diturunkan secara biologis, unconsciousness ini sifatnya sublime sehingga tidak dapat disadari sepenuhnya oleh individu namun dapat mempengaruhi behavioralnya. (Dalam kamus Webster New World (1959: 15–84)) dari pengertian

uconsciousness diatas, maka dapat dimengerti bahwa collective consciousness

adalah ketidaksadaran pribadi yang dimiliki bersama umat manusia dan diwariskan secara biologis. Selain itu juga, masih menurut Jung, adanya arketipe atau pola-pola prilaku, simbol-simbol, dan prototipe yang dipahami bersama oleh manusia secara universal, dari ketidaksadaran bersama ini terproyeksi dalam bentuk cerita-cerita, mite, dongeng, dan ritual yang bersifat behavioral.

Selain itu juga ada faktor-faktor lain seperti pengaruh bahasa (linguistik), antropologi manusia, dan proses evolusi budaya.

Pada sejarahnya, dongeng biasa diasosiasikan pada cerita anak kecil (children literature) dan tren ini terus berlanjut hingga sekarang dimana kebanyakan adaptasi-adaptasi dongeng kontemporer lebih banyak menyentuh segmentasi anak-anak, Brother Grimm yang pada awalnya koleksi dongengnya juga menyentuh audiens dewasa, menimbulkan banyak kontroversi dan diprotes sehingga pada versi-versi selanjutnya, banyak dongeng-dongeng tulisannya dipotong dan ditulis ulang agar lebih cocok untuk bacaan anak. Dengan memotong konten atau tema yang mengandung unsur seksualitas dan kekerasan. Ini mungkin dikarenakan tren pada abad pertengahan, terutama era Romantisisme hingga Victorian dimana karya sastra atau literatur biasanya dituntut mengandung unsur pelajaran moral.

2.7. Kebudayaan Jawa, Unsur Budaya dan Latar Budaya Cerita Timun Mas.

Sebelum masuk ke dalam bahasan cerita rakyat dongeng Timun Mas, untuk mendeskripsikan lebih jelas unsur dan karakteristik serta nilai-nilai yang terdapat didalam cerita rakyat Timun Mas, maka sebelumnya harus dideskripsikan dulu apa itu budaya, pengertian budaya, unsur pembentuk budaya, dan bagaimana karakteristik serta unsur budaya dan nilai yang terdapat pada masyarakat Jawa sebagai kolektif pemilik cerita rakyat dongeng Timun Mas tersebut.


(26)

Kebudayaan memiliki banyak deskripsi yang sulit diterima secara universal, dan sering kali berubah dalam kurun waktu tertentu yang sangat panjang, secara terminologi kebudayaan berasal dari bahasa Yunani, yaitu Colere, Cultuvare.(Harper, 2001) Dalam antropologi kebudayan didefinisikan sebagai keseluruhan cara hidup secara menyeluruh, warisan sosial yang diturunkan kolektif secara turun-temurun, dan dianggap sebagai bagian lingkungan yang diciptakan manusia (Kluckhon, 1949, 69)

Menurut E.B Taylor, kebudayaan adalah kompleks yang mencangkup pengetauan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat dan kemampuan serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota suatu kolektif masyarakat (melalui Soekanto, 1982 , 166)

Kebudayaan (Inggris : culture) berasal dari bahasa Latin Cultura, jika disecara harafiah berarti Cultivate dalam bahasa Inggris, yang berarti menanam, memelihara, Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sabagai hasil karya cipta, karsa, dan rasa manusia (Koentjaraningrat, 2000, 181).

Ki Hadjar Dewantara sendiri mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut. “Kebudayaan berarti segala apa yang berhubungan dengan budaya, budaya berasal dari kata budi yang diartikan sebagai Jiwa yang telah masak”. Sutan Takdir Alisyahbana dalam definisi akan kebudayaan berpendapat bahwa kebudayaan adalah pola kejiwaan yang di dalamnya terkandung dorongan hidup dasar, insting, perasaan, pikiran, kemauan, dan fantasi yang dinamakan budi. Budi adalah dasar segala kehidupan manusia, oleh karenanya berbedalah segala kehidupan manusia dan kelakuan hewan, kehidupan alam dengan kehidupan kebudayaan, sebab yang dinamakan kebudayaan tidaklah lain daripada penjelmaan budi manusia (melalui Partokusumo, 1995 : 191-192)

2.7.2. Unsur Kebudayaan

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan manusia setidaknya memiliki tujuh unsur budaya yang universal yang terdapat di dalam kebudayaan tiap-tiap kolektif, ketujuh unsur itu antara lain

- Bahasa


(27)

- Teknologi

- Sistem pengetahuan - Organisasi sosial - Religi, dan - Kesenian

Unsur kebudayaan ini terbagi menjadi dua bagian, dimana unsur yang

tangible berupa artefak budaya yang diciptakan masyarakat, atau bersifat fisik, biasa disebut juga material culture, yang termasuk material culture ialah teknologi dan kesenian. Yang kedua mencangkup unsur kebudayaan yang

intangible, termasuk didalamnya bahasa, religi, sistem pengetahuan dan lain sebagainya.

Masih menurut Koentjaraningrat, sebuah kebudayaan memiliki sistem tersendiri yang disebutnya sebagai sistem nilai budaya, sistem nilai budaya ini adalah tingkat tertinggi dan terabstrak dari adat istiadat, karena nilai budaya merupakan konsepsi yang hidup dalam alam pikiran kolektif masyarakat tentang apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan mereka anggap penting dalam kehidupan, sehingga berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kehidupan kolektif masyarakat tersebut (Koentjaraningrat, 2000)

2.7.3. Unsur Budaya Jawa

Sebelum masuk pada pembahasan dongeng Timun Mas, pada bagian ini akan dipaparkan dulu unsur dan karakteristik budaya masyarakat Jawa, sebagai kolektif pemiliknya, secara umum berdasarkan tujuh unsur kebudayaan universal yang telah dipaparkan diatas, pembahasan unsur budaya Jawa yang dipaparkan akan dibatasi pada poin-poin yang dianggap relevan dan penting dalam kaitannya dengan unsur budaya dan nilai yang ada pada dongeng Timun Mas.

Berdasarkan definisi koentjaraningrat tentang kebudayaan diatas, dapat dimengerti bahwa kebudayaan Jawa adalah pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencangkup kemauan, cita-cita, idea, maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin (Koentjaraningrat 1995 : 166)


(28)

Letak geografis Indonesia yang berada di jalur dagang sejak jaman kuno secara langsung berimplikasi pada perkembangan kebudayaannya, kebudayaan Indonesia dibentuk dari interaksi panjang dan dipengaruhi oleh banyak kebudayaan lain diluarnya terutama kebudayaan-kebudayaan Timur Tengah, Asia Selatan dan Timur Jauh (Tionghoa) dimana Indonesia menjadi titik pertemuan rute perdagangan antar peradaban tersebut. Selain juga adat kebudayaan

indigenous Indonesia,dari sisi religi, Indonesia juga dipengaruhi oleh agama-agama yang berasal dari wilayah tersebut, Buddhisme, Hinduisme, Konghucu, dan Islam, hasilnya adalah asimilasi baik adat, religi, dan kebiasaan dengan kebudayaan asli yang menghasilkan suatu sistem kebudayaan kompleks yang baru dan berbeda dari aslinya. Beberapa contohnya seperti Abangan yang merupakan asimilasi antara Islam dan Hindu, atau Kaharingan yang hasil dari asimilasi Hindu dan Animisme.

Begitu halnya dengan kebudayaan masyarakat Jawa, unsur kebudayaan Hindu, Buddha, dan Islam sangat mempengaruhi kebudayaan Jawa, berasimilasi dengan kebudayaan asli masyarakat Jawa itu sendiri. Kebudayaan Jawa bukanlah sebuah kesatuan budaya yang homogen, namun bersifat regional yang bisa berbeda dari satu daerah dengan lainnya, semisal di sekitar kota seperti Jogja dan Solo, kebudayaan Jawa yang berakar dari kraton asimilasi Hindu, Buddha, dan Islam, sedangkan di daerah pesisir pantai utara, kebudayaan Islam puritan yang lebih banyak mempengaruhi.

Dari segi bahasa Jawa memiliki sistem bahasa sendiri (bahasa Jawa) yang merupakan rumpun bahasa malayo-austronesia (Murdock, melalui Koentjaranigrat, 1984,17) pengaruh Hinduisme yang kuat juga terlihat dalam sistem bahasa masyarakat Jawa yang banyak mengadopsi kosakata bahasa Sanskrit. Jawa juga memiliki alfabet sendiri yang disebut dengan alfabet

Hanacaraka yang merupakan turunan dari aksara Brahmi, dan masih turun dari aksara Jawa Kuno yang digunakan sebelumnya, aksara Kawi.

Mayarakat Jawa kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani, pertanian merupakan salah satu unsur utama dalam kebudayaan masyarakat Jawa, selain itu di pesisir utara, sebagian besar mata pencahariannya bergantung pada hasil laut.


(29)

Dilihat dari sistem organisasi sosialnya, masyarakat Jawa bisa dikatakan menganut patrilineal, kaum pria mempunyai peran lebih dominan baik di ranah domestik maupun publik, walau secara kulutral lebih tepat dibilang masyarakat Jawa mengadopsi sistem kekerabatan bilateral (Ward, Kathryn B, 1990) keturunan laki-laki dan perempuan dianggap sama pentingnya, atau setidaknya tidak jauh berbeda, cukup berbeda dibanding budaya patriakis. Juga menurut Koentjaraningrat, di tingkat normatif secara ideal, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita, atau antara suami dan istri dalam masyarakat, baik yang santri maupun yang bukan santri, walau demikian, dalam suatu rumah tangga istrilah yang berkuasa, ia merupakan tokoh utama bagi anak-anaknya, dan yang menentukan bilamana dan berapa kali perlu diadakan upacara-upacara dan

slametan untuk menjamin kesejahteraan keluarga, istri juga mempunyai penghasilan sendiri dengan cara berdagang hasil kebun di pasar, atau bekerja sebagai buruh tani pada saat sibuk disawah (menanam, memanen, dan menumbuk padi). Walaupun demikian, untuk urusan keluarga yang menyangkut hubungannya dengan masyarakat serta politik, ia biasanya tidak tampil (Koentjaraningrat, 1984, 144)

Anak atau keturunan merupakan bagian yang memiliki arti penting bagi masyarakat Jawa, masih menurut Koentjaraningrat, alasan utama masyarakat Jawa menganggap anak sebagai sesuatu yang penting itu sifatnya emosional, kehadiran anak dianggap membawa suasana anget dalam keluarga, suasana anget itu bisa memberi rasa damai, dan tentra di sebuah keluarga. Alasan lain adalah ekonomi, bagi sebuah keluarga keberadaan anak dianggap menguntungkan secara eknomi, anak dapat membantu aktivitas ekonomi rumah tangga, alasan lain adalah anggapan bahwa anak adalah jaminan hari tua bagi suatu keluarga, seringkali masyarakat Jawa dulu meminta bantuan dukun bila kesulitan memiliki anak.

Dari aspek religi, masyarakat Jawa sejak sekitar abad ketujuh atau delapan hingga abad keempatbelas, sangat dipengaruhi oleh Hinduisme. Pengaruh kebudayaan Hindu bisa dilihat pada kebudayaan keraton, sedangkan di daerah desa Hindu berasimilasi dengan relijiusitas Jawa asli yang Animistik, pada masa itu juga golongan Brahmana (pemuka agama) memiliki peranan penting di masyarakat bersamaan dengan pendeta Buddha. Dalam kesusasteraan Jawa kuno,


(30)

dijelaskan bahwa konsep Tapa dan Tapabrata dipengaruhi langsung dari konsep

tapas yang berasal dari Hinduisme. Petapa dianggap sebagai orang suci atau keramat. Baru pada abad ke-16 Islam masuk dan menyebar di masyarakat Jawa, pada perkembangannya, unsur-unsur Hindu-Buddha banyak berbaur dengan Islam, dalam masyarakat Jawa yang beragama Islam dikenal dua golongan,

Abangan yang menganut agama Jawi, Jawi sendiri adalah sistem kepercayaan kompleks yang merupakan percampuran agama asli Jawa (Kejawen) yang animisme, Hindu-Buddha, dan golongan Santri yang lebih puritan. Agama asli masyarakat Jawa sendiri lebih bercorak animisme, sifatnya lebih mistik dan spiritualistik dibanding agama yang terorganisir seperti samawi, tidak ada ‘Tuhan pribadi’ seperti halnya tuhan dalam pengertian samawi yang disembah dalam Kejawen. Tidak ada kitab suci maupun nabi-nabi, juga tidak terdapat konsep eskatologis (Akhirat) selayaknya agama lain. Kejawen menitik-beratkan pada apa yang disebut Kebatinan, suatu konsep keharmonisan metafisik antara diri, alam semesta, dan “tuhan”. terminologi “tuhan” dalam konsep Kejawen adalah superkesadaran kosmik yang treansenden, berada diluar jangkauan komprehensif manusia.

Dalam idea kepercayaan Jawa, manusia ideal adalah kombinasi kebijaksaan (Wicaksana) jiwa (Waskita) dan perfeksi (Sampurna).

Selain spiritualisme Kejawen, masyarakat Jawa juga meyakini hal-hal yang sifatnya klenik, seperti benda-benda bertuah, jimat sebagai penolak penyakit atau bahaya gaib, selain itu juga masyarakat Jawa percaya pada mahluk-mahluk gaib, sebagai contoh orang Jawa menyebut mahluk-mahluk gaib sebagai memedi, seperti Dhemit (setan atau roh jahat), Raksasa yang biasa disebut Denawa (Krami) atau Bhuto (Ngoko).

2.7.4. Cerita Rakyat Timun Mas

Timun Mas, dilihat dari jenisnya, berdasarkan uraian diatas tentang jenis folklor dan dongeng, cerita rakyat Timun Mas bisa dikategorikan kedalam jenis folklor prosa lisan, dilihat dari ciri dan penokohannya, Timun Mas termasuk ke dalam kelompok dongeng biasa.


(31)

Karena karakteristik folklor yang salah satunya adalah penyebaran secara oral, seperti lumrahnya sebuah cerita rakyat, terdapat beberapa versi cerita timun mas yang dikenal, namun perbedaan cerita ini hanya pada detail cerita dan penamaan saja, sedangkan plot, motif, dan penokohannya secara umumtidak terdapat perbedaan yang terlalu signifikan. Sebagai contoh, dalam suatu versi dikatakan orang tua timun mas adalah sepasang petani, sedangkan pada versi lainnya orang tua Timun Mas adalah seorang janda tua yang tidak memiliki anak, perbedaan lain terdapat pada benda-benda yang dilempar timun mas pada sang raksasa saat melarikan diri dari kejarannya, ada juga perbedaan dari segi penamaan tokoh sang ibu dari timun mas. Selain itu, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok pada jalan ceritanya sendiri.

Timun mas menurut M.B Rahimsyah merupakan dongeng yang berasal dari wilayah Jawa Tengah, walaupun beberapa versi ada yang menyebutkan dari Jawa timur, cerita ini telah berulang kali diceritakan ulang dan dituliskan dalam berbagai versi berbeda oleh banyak penulis berbeda. Secara umum sebagian besar cerita Timun Mas dapat ditemukan sebagai buku cerita untuk anak. Untuk kepentingan studi kasus, versi yang dipilih adalah versi yang ditulis oleh M.B Rahimsyah, yang terdapat pada bukunya Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara,

yang diterbitkan tahun 2004 oleh Greisinda Press.

Berikut adalah cerita rakyat Timun Mas versi yang ditulis oleh M.B. Rahimsyah.

Gambar II.1. Cover buku kumpulan cerita rakyat nusantara ( M.B. Rahimsyah)


(32)

Dahulu di Jawa Tengah ada seorang janda yang sudah tua. Mbok Rondo namanya. Pekerjaanya hanya mencari kayu dihutan .Sudah lama sekali mbok Rondo ingin mempuyai seoranga anak, tapi dia hanya seorang janda yang miskin, lagipula tua, mana bisa ia mendapatkan anak.

Pada suatu hari, sehabis mengumpulkan kayu dihutan, mbok Rondo duduk beristirahat sambil mengeluh “Seandainya aku mempunyai anak, beban hidupku agak ringan sebab ada yang membantuku bekerja.” Tiba-tiba bumi bergetar, seperti ada gempa bumi. Didepan mbok Rondo muncul raksasa besar dan wajahnya menyeramkan. Mbok Rondo takut melihatnya. “Hai, mbok Rondo, kamu menginginkan anak, ya. Aku bisa mengabulkannya,” kata raksasa itu dengan suara buas. “Benarkah?” tanya mbok Rondo. Rasa takutnya mulai menghilang.

“Benar.tapi ada syaratnya. Kalau anakmu sudah berumur 16 tahun, kau hrus menyerahkanya padaku. Dia akan kujadikan santapanku,” jawab raksasa itu. Karena begitu inginnya dia punya anak, maka mbok Rondo tidak berpikir panjang lagi. Yang penting segera punya anak. “Baiklah, aku tidak keberatan,” jawab mbok Rondo. Kemudian, raksasa itu member biji mentimun kepada mbok Rondo. Mbok Rondo segera pulang dan menanam benih itu dibelakang, Setiap hari mbok Rondo menyirami biji itu, ajaib! 2 minggu kemudian, tanaman itu sudah berbuah, buahnya lebat sekali. Diantara semua buah mentimun yang tumbuh ada satu buah yang warnanya kekuningan. Lalu mbok Rondo tetarik dengan buah yang besar itu, lalu mbok Rondo mengambilnya dan membawakan pulang sesampainya dirumah mbok Rond membelah buah itu ia membukanya dengan hati-hati ternyata raksasa itu tidak berbohong, gumam mbok Rondo. “Aduh senangnya hatiku “. Mbok Rondo menamakan bayi itu Timun Emas.

Setelah 16 tahun kemudian, pada saat mbok Rondo dan timun emas sedang mencari kayu bakar dihutan, tiba-tiba bumi bergetar dan suara tawa menggelegar ”hai mbok Rondo keluarlah aku menagih janji” kata raksasa itu.

Gemetar seluruh tubuh mbok, cepat-cepat ia menyuruh Timun Emas bersembunyi, lalu mbok Rondo menemui raksasa itu keluar. ”Aku tahu, kedatanganmu kemari untuk mengambil Timun Emas. Berilah waktu dua tahun


(33)

lagi, kalau aku berikan sekarang, tentu kurang lezat disantap. Tubuhnya masih kecil.”

“Benar juga, baiklah, dua tahun lagi aku akan datang. Kalau bohong, kamu akan ku telan mentah-mentah.” ancam raksasa itu. Sambil tertawa, raksasa itu pergi meninggalkan rumah mbok Rondo.Mbok Rondo bernafas lega. “Anakku keluarlah raksasa itu sudah pergi,” kata mbok Rondo.

“Aku mendengar percakapan ibu dengan rakasasa itu, rupanya raksasa itu menginginkan aku,” kata Timun Emas. “Benar anakku, tapi ibu tidak rela kamu menjadi santapan raksasa itu,” kata mbok Rondo sambil memeluk Timun Emas. Air matanya berlinang di pipi. Dua tahun kemudian, Timun Emas sudah dewasa. Wajahnya semakin cantik. Kulitnya kuning langsat. Tapi Mbok Rondo cemas jika teringat akan janjinya kepada raksasa.

Pada suatu, ketika mbok Rondo tidur, ia mendengar suara gaib dalam mimpinya. “Hai mbok Rondo, kalau kau ingin anakmu selamat, mintalah bantuan kepada seorang pertapa di bukit Gandul”. Esok harinya mbok rondo pergi ke bukit Gandul. Disana ia bertemu dengan seorang pertapa. Pertapa itu memberikan empat bungkusan kecil yang isinya biji timun, jarum, garam, dan terasi. Mbok Rondo menerimanya dengan rasa heran. Sang Pertapa menerangkan khasiat benda-benda itu. Sesampainya dirumah ia menceritakan kepada Timun Emas semua yang telah dijelaskan oleh pertapa itu ”Anakku mulai saat ini kamu tidak perlu cemas, kamu tak perlu takut kepada raksasa itu, sebab kamu sudah memiliki penangkalnya. Berdoalah selalu supaya Tuhan meyelamatkanmu,” kata Mbok Rondo.

Ketika Mbok Rondo sedang menjahit baju untuk Timun Emas, tiba-tiba bumi berguncang pertanda raksasa datang. “Ho..ho..ho. mana Timun Emas ! Ayo, cepat serahkan dia padaku. Aku sudah lapar!” kata raksasa dengan suara menggelegar.

“Baiklah bawalah bekal ini. Pergilah lewat pintu belakang sebelum rakasasa itu menangkapmu.” Baiklah mbok. “Maafkan aku, rakasasa. Timun emas ternyata sudah pergi.”


(34)

Namun berkat kesaktiannya, rakasasa itu dapat melihat Timun Emas yang sedang melarikan diri. Tanpa berkata-kata lagi, si rakasasa langsung mengejar Timun Emas.”Walau lari ke ujung dunia, aku pasti dapat mengejarmu !” teriak si rakasasa. Karena terus menerus berlari, Timun Emas mulai kelelahan. Dalam keadaan terdesak, Timun Emas teringat akan bungkusan pemberian sang pertapa.

Cepat ia taburkan biji mentimun di sekitarnya. Sungguh ajaib. Mentimun itu langsung tumbuh dengan lebat. Buahnya besar-besar raksasa itu berhenti ketika melihat buah mentimun terhampar di hadapannya. Dengan rakus ia segera melahap buah yang ada, sampai tak satu pun tersisa.

“Ha..ha..ha.. Buah mentimun ini dapat menambah tenaga,” kata si rakasasa. Setelah kenyang, rakasasa itu kembali mengejar Timun Emas. Pada saat itu juga, timun emas membuka bungkusan dan menaburkan jarum ketanah. Sungguh ajaib! Jarum itu berubah menjadi hutan bambu yang lebat.

Rakasasa itu berusaha menembusnya. Namun tubuh dan kakinya tersa sakit karena tergores dan tertusuk bambu yang patah. Ia pantang menyerah dan berhasil melewati hutan bambu itu terus mengejar Timun Emas. “Hai Timun Emas, jangan harap kamu bisa lolos seru si raksasa sambil membungkuk untuk menangkap Timun Emas. Dengan sigap Timun Emas melompat ke samping dan berkelit menghindar. ”Oh, hampir saja aku tertangkap,” Timun Emas terengah-engah. Keringat mulai membasahi tubuhnya. Ia ingat pada bungkusan pemberian pertapa yang tinggal dua itu. Isinya garam dan terasi.

Ia segera membuka tali pengikat bungkusan garam. Garam itu ditaburkan kearah si raksasa. Seketika butiran garam itu berubah menjadi lautan. Raksasa itu sangat terkejut, karena tiba-tiba tubuhnya tercebur ke dalam laut. Tapi, berkat kesaktiannya berenang ketepi. Ia kembali mengejar Timun Emas.

Merasa di permainkan, kemarahan rakasasa itu semakin memuncak. ”Bocah kurang ajar! Kalau tertangkap, akan kutelan kau bulat-bulat!”. Timun Emas semakin khawatir karena rakasasa itu berhasil melewati lautan yang sangat luas itu. Akan tetapi, ia tidak putus asa. Ia terus berlari meskipun sudah kelelahan. Raksasa itu terus mengejar.


(35)

Timun Emas melemparkan sisa bungkusan yang terakhir. Terasi itu langsung dilemparkan kearah si raksasa. Tiba-tiba saja terbentuklah lautan lumpur yang mendidih.

Raksasa itu terkejut sekali. Dalam sekejap, tubuhnya ditelan lautan lumpur. Dengan segala upaya, ia berusaha menyelamatkan diri. Ia meronta-ronta .Tapi, usahanya sia-sia. Tubuhnya pelan-pelan tenggelam ke dasar. “Timun Emas, tolonglah aku! ”Aku berjanji tidak akan memakanmu,” raksasa itu meminta belas kasihan. Tapi lumpur panas itu menelan tubuh si raksasa. Kini Timun Emas bisa bernafas lega karena selamat dari bahaya maut. Ia segera berjalan kearah rumahnya. Di kejauhan nampak mbok Rondo berlari kearah Timun emas kiranya wanita itu mengkhawatirkan keselamatan anaknya.

“Syukur anakku, ternyata Tuhan masih melindungimu,”kata mbok Rondo setelah keduanya saling mendekat.

Mereka berpelukan dengan rasa haru dan bahagia.

2.7.4. Interpretasi Unsur Budaya Jawa dalam Cerita Rakyat Timun Mas

Setelah mengetahui plot cerita Timun Mas diatas, dengan menilik pada unsur pembentuk suatu budaya yang telah dipaparkan sebelumnya, bisa di interpretasikan unsur-unsur dan nilai budaya masyarakat Jawa sebagai pemilik kolektif yang terkandung didalam cerita. Antara lain interpretasi yang bisa dianalisis adalah sebagai berikut.

1. Peran sentral perempuan

Dalam cerita Timun Mas, perempuan mendapat peran yang sangat penting, tokoh-tokoh utama dalam cerita ini adalah perempuan, sebenarnya dalam karakteristik folklor nusantara, peran perempuan dalam cerita kerap kali sangat penting dan tidak jarang menjadi tokoh sentral, selain cerita rakyat Timun Mas, beberapa cerita rakyat dari daerah lain juga banyak menggunakan perempuan sebagai karakter sentral dalam penokohannya, ini menyiratkan bahwa dalam karakteristik budaya masyarakat Indonesia, dan Jawa khususnya, perempuan dianggap memiliki role penting dalam kehidupan. Dalam banyak kebudayaan dari berbagai negara, dapat ditemukan rekam jejak


(36)

sejarah yang mengindikasikan pemujaan atau penghormatan kepada sosok perempuan, ini tergambar dalam istilah universal seperti mother earth, atau ibu pertiwi, misalnya. Kemampuan perempuan untuk bereproduksi membuatnya dianggap sebagai “pembawa kehidupan” pada banyak kebudayaan. Sosok mbok Rondo, ibu Timun Mas, merupakan penggambaran peranan perempuan dalam kemasyarakatan orang Jawa, terutama di kelas petani (rakyat jelata), juga seperti dipaparkan dalam unsur kebudayaan Jawa diatas, perempuan dalam masyarakat Jawa bersama kaum pria biasa bekerja sama dan memiliki peran setara di ranah domestik (keluarga).

2. Motif cerita dan peranan penting sosok anak (keturunan)

Dalam plot cerita rakyat timun mas, awal konflik adalah keinginan mbok Rondo untuk memiliki seorang anak, telah dipaparkan sebelumnya bagaimana dalam pola pemikiran masyarakat tradisional Jawa, anak menjadi sangat penting. Umumnya alasan pentingnya peran anak ini didasari dua alasan, yaitu alasan yang bersifat emosional, keberadaan anak dalam keluarga dianggap memberikan kesan anget

dan tentram. Juga alasan ekonomi, anak dalam keluarga masyarakat Jawa adalah jaminan hari tua bagi orangtuanya, selain itu juga anak dapat dilibatkan dalam aktifitas ekonomi keluarga.

3. Interpretasi tokoh Petapa

Tokoh petapa dalam dongeng Timun Mas merupakan penggambaran dari relijiusitas masyarakat Jawa tradisional pada masa dongeng ini berkembang. Relijiusitas dan spiritualisme mewarnai kehidupan masyarakat Jawa, ini juga menggambarkan bagaimana pengaruh kebudayaan Hindu pada relijiusitas masyarakat Jawa. Pada masa itu, orang-orang dengan tingkat spiritualitas yang dianggap tinggi, seperti kaum petapa, pendeta Brahmana (Hindu) maupun pendeta Buddhisme sangat dihormati dan di tua-kan dalam kemasyarakatan Jawa. Orang sakti dianggap sosok suci yang harus dihormati dan dijalankan segala amanat nya.


(37)

Pada bagian akhir cerita Timun Mas, diceritakan bagaimana Timun Mas melarikan diri dari kejaran si raksasa dengan bantuan benda-benda ajaib pemberian sang petapa, dalam versi cerita ini, benda ajaib itu adalah biji mentimun, garam, jarum, dan terasi. Dalam ceritanya dapat berubah wujud secara ajaib menolong Timun Mas, biji mentimun berubah menjadi kebun lebat, jarum menjadi hutan bambu, garam menjadi lautan luas, dan terasi menjadi lumpur panas. Wujud benda ajaib tersebut dapat dimaknai sebagai gambaran geografis dan sistem mata pencaharian masyarakat di sekitar dongeng itu berkembang mengikuti lansekap geografisnya, dari wujud-wujud benda ajaibnya bisa dilihat bahwa masyarakat Jawa tradisional menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian, hutan, dan hasil laut, alam merupakan bagian penting bagi kehidupan masyarakat tradisional Jawa, sehingga masyarakat Jawa selalu berusaha hidup harmonis dengan alam, dari sisi reliji pun, seperti disebutkan diatas, kepercayaan kejawen yang animistik menekankan pada harmonisasi manusia dan alam semesta.

2.8. Media Informasi

Pengertian media informasi menurut Sadiman (2002) adalah, media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi.

2.9. Picture Story Book

Picture Book adalah sebuah format buku cerita yang menggambungkan ilustrasi secara ekstensif dengan narasi verbal, dijelaskan dalam buku Children Literature, Briefly (Michael O, Tunnel dan James S, Jacob ;2008) bahwa picture book termasuk dalam kategori “children literature” karena sebagian besar picture book diperuntukkan untuk segmentasi anak-anak, dan picture story book termasuk ke dalam kategori children literature ini.


(38)

Dalam jenis buku cerita anak (children literature), ada sedikit perbedaan di antara picture book dengan picture story book.

Buku cerita anak sendiri bisa dikategorikan menjadi beberapa tipe yang berbeda, pengkategorian ini sendiri berdasarkan seberapa ekstensif perbandingan antara konten tekstual dan visual didalamnya, tipe picture book yang dikenal diantaranya.

1. Wordless story book : jenis buku ini menceritakan kisah didalamnya tanpa bantuan teks sama sekali, dan hanya mengandalkan ilustrasi visual saja.

2. Picture book : bagian teks hanya sedikit saja sedangkan keseluruhan cerita sebagian besar diceritakan melalui visual

3. Picture story book : perbandingan antara visual dan tekstual hampir sama banyak “In the best picture books, the illustrations are as much a part of the experience with the book as the written text.” (Kiefer, Barbara Z. 2010), perbedaannya dengan picture book sendiri sebenarnya tidak terlalu kentara.

4. Book with illustration : di tipe ini, penggunaan teks jauh lebih mendominasi dibanding visual, keseluruhan cerita sebagian besar diceritkan melalu narasi tekstual, dan ilustrasi hanya sebagai pendukung penceritaan saja.

Walaupun sebagian besar picture story book diperuntukkan bagi anak-anak, sebenarnya tidak ada batasan umur yang jelas bagi picture book sendiri, beberapa picture book ada juga yang diperuntukkan bagi pasar yang lebih dewasa, beberapa judul picture book ada yang merambah pembaca dewasa.

Selain itu juga kadang ada kesulitan menentukan permbatasan apakah suatu cerita diperuntukkan bagi anak-anak atau orang dewasa, atau keduanya, sebagai contoh, Alice adventure in Wonderland secara umum dianggap sebagai buku anak-anak, walaupun sebenarnya tema-tema yang diangkat terlalu berat dan tidak cocok untuk anak-anak. Cerita dalam Alice in Wonderland tak jarang adalah simbolisme dari tema-tema tersembunyi yang sebenarnya diangkat, yang belum mampu diserap oleh anak-anak, seperti logic, reasoning, filsafat dan konsep matematika abstrak. Dalam buku The Hidden Math Behind Alice in Wonderland


(39)

(David, Keith. 2010) ada pendapat bahwa Alice in Wonderland adalah sebuah satir pada perkembangan matematika modern yang mulai populer di pertengahan abad ke-19, mengingat Lewis Caroll adalah seorang matematikawan.

Ini memberi gambaran ambiguitas batasan umur dalam sebuah cerita, bahwa cerita yang sepertinya diperuntukkan bagi anak kecil sesungguhnya memilik muatan yang jauh lebih kompleks dan dewasa yang tidak mungkin diserap nalar anak-anak.

Genre fairy tale bisa dikatakan mendominasi picture book, maupun picture storybook yang ada, ini karena dari sejarahnya, picture book mula-mula memang digunakan untuk menceritakan dongeng, atau folk tale sebagai bahan pengajaran pada anak-anak, picture book biasa digunakan sebagai sarana orang tua mendongengkan cerita sebelum tidur (nursery tale) pada anaknya.

Seperti disebutkan diatas, dewasa ini picture story book juga mulai merambah pasar dewasa, beberapa picture book dibuat untuk segmentasi dewasa menurut Sonya Osborn (2001) diantaranya memiliki karakteristik sebagai berikut.

• Tema yang lebih dewasa

• Ilustrasi yang lebih kompleks

• Teks atau kalimat yang lebih sulit

• Makna tersembunyi diluar pemahaman pembaca pembaca yang lebih muda

• Dua tingkat kedalaman makna, bagi pembaca yang lebih muda, dan bagi pembaca yang lebih dewasa


(40)

Gambar II.2 Cover Buku Grimm’s Fairy Tale (Jacob Grimm, Wilhelm Grimm)

2.10. Genre Fractured Fairy Tale

Secara garis besar, fractured fairy tale menurut Ruth B. Bottigheimer (1999) dapat didefinisikan sebagai berikut “fractured fairy tale are traditional fairy tale, rearranged to create new plots with fundamentally different meanings or messages”. Fractured fairy tale sekilas hampir serupa dengan dongeng parodi, namun sesungguhnya jauh berbeda, apabila dalam dongeng parodi adalah dongeng yang diubah sebagai humor, lelucon, dan hinaan pada dongeng itu sendiri, dan genre dongeng secara umum, maka fractured fairy tale merubah susunan, plot, dan makna suatu dongeng dengan tujuan yang sama sekali lain dari itu, pada cerita-cerita fractured fairy tale rekonstruksi dongeng bertujuan sebagai usaha menyampaikan pesan sosial dan memperbarui nilai moral dalam dongeng tradisional sehingga nilai dalam dongeng yang baru itu lebih relevan dengan zamannya.

2.11. Target Audiens

Target audiens yang dijadikan target pasar pada picture story book Timun Mas ini adalah remaja hingga dewasa (adolescent dan young adult) yang berkisaran diantara usia 14 hingga 20 tahun atau lebih. Dalam psikologis,


(41)

yang termasuk usia adolescence (remaja) adalah diantara 13-19 tahun, sementara

young adult (masa muda) berkisar dari 20 hingga maksimum 40 tahun, sedangkan dalam klasifikasi sastra fiksi, young adult dikategorikan sebagai kisaran usia diantara 12 hingga 20 tahun. Dengan demikian, picture storybook Timun Mas memilik target utama pembaca berusia 14-20 tahun, namun juga diharapkan bisa menjangkau target usia yang lebih dewasa dari itu.

Pada usia 14-20 tahun,dari sisi psikologis pada usia remaja manusia sedang dalam tahap transisi dari anak-anak ke masa dewasa, isu sentral yang biasa dialami pada rentang usia tersebut diantaranya adalah pencarian identitas, tujuan hidup, seksualitas, relasi dengan individu lain dan sosial (Erik. H Erikson, 1975, 225)

Dalam literatur, usia remaja sudah menjadi sebuah genre tersendiri, yaitu fiksi remaja. Dalam literatur fiksi remaja, tema-tema yang biasa diangkat biasanya menyesuaikan dengan ciri psikologis, tingkat kecerdasan dan kemampuan berfikir usia remaja, tema yang biasa diangkat antara lain identitas, seksualitas, depresi atau mental illnes, relasi dengan keluarga atau orang tua, dan banyak lainnya (Wells, April Dawn, 2003)


(42)

BAB III

STRATEGI PERANCANGAN DAN KONSEP VISUAL 3.1. Strategi Perancangan

Strategi perancangan yang dibuat adalah mengangkat tema cerita rakyat dongeng Timun Mas yang memuat nilai baru yang lebih relevan dengan keadaan sosial, pola pikir, cara hidup, pandangan, psikologis, dan kultur masyarakat modern, serta permasalahan yang lebih otentik dan faktual pada masa sekarang, agar cerita yang dibuat bisa lebih sesuai dan relevan dengan zaman.

Untuk itu, penulis membuat solusi dengan menulis ulang cerita Timun mas dan menuangkannya kedalam karya literatur berupa picture story book, dengan konsep cerita, karakterisasi (penokohan), tema, dan muatan nilai yang benar-benar baru yang relevan dengan zaman, dan permasalahan faktual yang diangkat, fungsi cerita Timun Mas disini sebagai media adaptasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan dan muatan nilai tadi.

3.1.1. Strategi Komunikasi

Dibutuhkan perancangan strategi khusus untuk sebuah media informasi seperti karya literatur ini bisa mencapai tujuannya dan pesan nilai yang ingin disampaikan pada target audiens bisa diterima, tentu dengan tidak mengesampingkan nilai kesusasteraan dan estetika literatur maupun visual.

Untuk mencapai tujuan itu, maka pembuatan media informasi Picture Book

Timun Mas ini dibuat dengan menggunakan pendekatan komunikasi naratif dengan menggunakan gaya bahasa kesusastraan yang hiperbolik, kelam, dan banyak menggunakan kalimat implisit dan alegoris agar mengesankan kedalaman makna dan nilai-nilai serta pesan moral yang tersembunyi didalamnya, selain itu juga menyisipkan muatan filosofistik pada cerita yang baru.

3.1.2. Tujuan Komunikasi

Tujuan dari pembuatan media informasi picture book Timun Mas ini adalah sebagai berikut


(43)

1. Mengangkat kembali cerita bertemakan rakyat lokal secara khusus sehingga masyarakat Indonesia secara umum dapat lebih mengapresiasi kekayaan budaya lokal Indonesia, khususnya dongeng.

2. Dari segi kesusastraan, mengangkat kembali genre dongeng (fairy tale) terutama di dunia literatur Indonesia

3. Dengan mengangkat permasalahan, nilai, filsafat, dan moral yang lebih faktual sesuai zaman, diharapkan cerita rakyat bisa kembali diapresiasikan dan diminati serta tidak ditinggalkan di zaman sekarang. 4. Dengan mengangkat tema dan plot cerita yang lebih dewasa,

diharapkan cerita rakyat dapat mencangkup audiens yang lebih dewasa, sehingga cerita rakyat tidak hanya diasosiasikan dengan audiens anak-anak saja.

5. Genre fractured fairy tale, atau cerita dongeng fantasi berbasis folklor yang mengubah plot serta cerita baik sebagian maupun keseluruhan dirasakan masih jarang di Indonesia, diharapkan media yang nantinya dibuat dapat memberi warna baru dan sudut pandang baru akan genre literatur ini, terutama dalam dunia literatur Indonesia.

6. Sebagai alat pengingat (mnemonic device) zaman bagi kolektif masyarakat.

3.1.3. Materi Pesan Utama

Utamanya pesan yang ingin disampaikan adalah “menulis ulang dan mengenalkan kembali cerita rakyat timun mas”, bahwa fairy tale masih merupakan genre yang menarik dan dengan penyampaian yang tepat, tidak hanya bisa dinikmati anak-anak, tapi juga orang dewasa. Tema, plot, konflik, penokohan, serta gaya bahasa dan visual yang disajikan lebih dewasa menyesuaikan dengan demografis remaja dan dewasa (young and adult).

3.1.4. Strategi Kreatif

Agar genre cerita dongeng bisa diminati kembali di era modern ini, begitu juga pada kalangan remaja dewasa, adalah dengan tindak lanjut berupa pembuatan media berupa buku cerita (picture story book) dengan muatan cerita yang lebih


(44)

berat, tema, nilai, pesan, konflik yang lebih faktual dan seusai kondisi zaman, serta penokohan yang lebih dewasa sesuai dengan target audiens nya, ilustrasi visual yang menyesuaikan dan dapat mendukung tema serta cerita keseluruhan.

3.1.5. Strategi Visual

Dengan demografis remaja dewasa, maka visual yang dibuat berupa illustrasi dengan tehnik digital painting, gaya visualnya sendiri secara umum bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh gaya surrealisme, mengambarkan dunia dongeng dalam cerita rakyat timun mas dengan ilustrasi visual yang gelap dan sureal, dikombinasikan dengan warna-warna monochromatic bergaya goth, gradasi hitam putih abu-abu dengan kombinasi warna merah yang berkesan

gloomy. Gaya visual maupun konten literatur yang dibuat akan berbanding terbalik dengan stereotip dongeng kebanyakan yang cerah, ceria, penuh warna, dan selalu berakhir bahagia.

3.1.6. Strategi Literatur

Lumrahnya picture story book menggabungkan baik visual maupun literatur dengan perbandingan hampir sama besarnya, untuk itu dalam perancangan picture story book timun mas ini literatur menjadi bagian penting. Gaya penceritaan naratif yang dipergunakan dimana ada tokoh narator yang menceritakan dari awal hingga akhir plot seluruh cerita, gaya bahasanya dibuat puitis (poetic) dimana narasi yang ditulis dibuat berima, menggunakan banyak permainan kata (wordplay) dan sedikit bumbu humor gelap (dark humor). Selain itu dari segi cerita, berdasarkan genrenya, fractured fairy tale biasa mengubah, menghancurkan, mereinterpretasi dan menulis ulang kembali sebuah cerita dongeng, penokohan, dan konflik yang terjadi dengan banyak dibolak-balik sehingga didapat cerita yang benar-benar baru, namun dengan garis besar cerita yang tetap dipertahankan agar audiens tetap dapat mengenali kisah Timun Mas yang diadaptasi tersebut.


(45)

3.1.7. Strategi Media

Dalam perancangan picture story book Timun Mas ini, akan digunakan media utama dan beberapa media pendukung yang diantaranya.

1. Media utama

Media utama yang digunakan berupa buku picture story book, seperti yang sudah dibahas, picture story book merupakan genre buku yang menggunakan ilustrasi dan tulisan dengan porsi sama besar, dengan visual dan konten cerita yang lebih dewasa, diharapkan cerita rakyat mampu menjangkau segmentasi remaja dewasa. Media buku pun dipilih dengan pemikiran bahwa buku lebih dapat menjangkau banyak segmentasi ekonomi, karena tidak membutuhkan media perantara lain seperti periferal berteknologi tinggi semacam komputer ataupun sejenisnya. Selain itu, alasan lain adalah menjadi bahan koleksi,

berbeda dengan media digital yang hanya berupa data, buku dengan

hardcover bisa menjadi media koleksi yang bagus sehingga menambah nilai kolektivitas, selain itu sebagai bagian dari bundel juga termasuk Box kayu yang selain dari segi utilitas befungsi sebagai media penyimpanan buku, juga menambah nilai eksklusivitas dan kolektabilitas.

2. Media penunjang

Untuk menunjang media utama tadi, dibutuhkan beberapa media promosi yang berfungsi sebagai media pengingat yang dapat menarik minat audiens akan picture story book Timun Mas, maupun berupa gimmick, sebagai konten bonus yang didapat jika membeli produk ini.beberapa media penunjang yang akan dibuat diantaranya.

- Poster

- X-Banner sebagai - Gimmick Playing Card

- Wood Box Case/kotak kayu untuk tempat penyimpanan buku - T-Shirt

- Stiker


(46)

- flyer

3.2. Konsep Visual

Dalam picture story book ini, visual berbentuk ilustrasi dibuat menggunakan teknik digital painting, ilustrasi disini tidak hanya sebagai penjelas teks, tetapi memiliki porsi penceritaan plot yang sama dengan teks.

3.2.1. Gaya Visual

Seperti diterangkan sebelumnya, pada picture story book timun mas ini, gaya visual yang digunakan sebagian besar bergaya surealisme, baik visual maupun tekstual, karya surrealis biasanya sulit ditebak, juxtaposisi atau memadukan dua unsur yang saling tidak berhubungan ke dalam satu. Non sequitire (tidak relevan), ilogis dan absurd, Andre Breton (1924) dalam surrealist manifesto mendefiniskan surrealisme sebagai suatu yang filosofis, karya surreal tercipta otomatis dari dalam bawah sadar sang artist nya, walaupun kemudian dikritik oleh Freud.  

Surrealism, n. Pure psychic automatism, by which one proposes to express, either verbally, in writing, or by any other manner, the real functioning of thought. Dictation of thought in the absence of all control exercised by reason, outside of all aesthetic and moral preoccupation.”(1924)

Unsur ilustrasi goth dan horror juga turut dipadukan dengan absurditas gaya surrealisme, menjadikan sisi artistik visual picture book ini jauh berbeda dan berbanding terbalik dengan tipikal buku dongeng lainnya.

Baik aspek visual maupun literatur dari segi konsep memadukan sedikit genre horror didalamnya, namun horror disini tidak eksplisit seperti cerita supernatural, karena menggabungkan dengan surealisme, horor yang dibangun lebih bersifat atmosferik, atau mengandalkan suasana yang dibangun baik dari aspek visual maupun tekstual cerita.


(47)

Gambar III.1. Ilustrasi American McGee Alice:Madness Return

Gambar III.2. Ilustrasi American McGee Alice : Madness Return

Gambar III.3. Ilustrasi Alice Adventure in Wonderland (Arthur Rackham)


(48)

3.2.2. Format Desain

Media yang dibuat berbentuk Buku picture story book berukuran 21 X 29,7 dengan jumlah halaman tidak lebih dari 60. Ukuran ini adalah ukuran standar picture book, dengan ukuran demikian, ilustrasi dan literatur dianggap dapat maksimal, jumlah halaman dan word count dirasakan cukup untuk menceritakan kisah secara optimal dan mendalam.

3.2.3. Konsep Warna

Warna monokrom abu-abu berpadu gradasi warna merah mengesankan kesuraman sehingga memberi mood cerita yang gelap dan kelam. Secara teknis, kesan “pen on paper” dari eksekusi manual sebisa mungkin tidak hilang ketika eksekusi digital, agar memberikan kesan berbeda dan lebih bergaya “hand drawing”. Warna-warna gelap seperti gradasi hitam-putih dan abu-abu, dipadukan dengan merah dibuat mendominasi pewarnaan picture book ini.


(49)

Gambar III.5. Contoh penggunaan warna pada ilustrasi

3.2.4. Lay out

Menyesuaikan dengan temanya yang surealistis, layout yang digunakan dalam picture book Timun Mas ini dibuat sedemikian ekspresif, namun tetap mengindahkan standar layout sebuah buku cerita, terutama dalam hal penempatan text dan tingkat keterbacaan.

Gambar III.6. Contoh Layout

3.2.5. Tipografi

Untuk judul font yang digunakan adalah Eccentric std, pemilihan font ini didasari oleh bentuknya yang dapat memberikan kesan antik, unik dan tua merupakan pilihan tepat digunakan sebagai font utama picture book Timun Mas ini, font Eccentric std digunakan hanya pada cover dan Logotype saja.


(50)

Untuk body text font Courier new menjadi pilihan, courier new biasa dijadikan font standar dalam penulisan buku cerita atau novel dan sejenisnya, selain itu juga digunakan font A.D.MONO khusus untuk font pada halaman pembagian chapter atau bab pada buku

ECCENTRIC STD aBCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ 1234567890

Gambar III.7. contoh penerapan font Eccentric Std pada Logotype

A.D.MONO

aBCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ 1234567890


(51)

Courier new

abcdefghijklmnopqrstufqxyz ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ 1234567890

Gambar III.9. contoh penerapan font courier new pada body text

3.2.6. Konsep Literatur

Secara umum, picture storybook ini bisa dikategorikan ke dalam genre

fractured fairy tale menggunakan tehnik naratif, cerita dalam buku ini dirancang sedemikian rupa, dengan unsur literatur Surrealis yang mengedepankan gaya pencerita yang absurd, aneh, tidak masuk akal (non-sequitire) dan banyak menggunakan twist pada cerita. Penambaha sedikit elemen horror dalam narasinya, humor gelap digunakan dari dialog atau monolog sang narator yang banyak menggunakan majas sinisme untuk membangun situasi komikal pada beberapa adegan.

Dari segi narasi sendiri, si narator menggunakan sudut pandang orang ketiga terbatas atau dikenal dengan limited third person, berbeda dengan narasi sudut pandang orang ketiga biasa dimana sang pencerita adalah narator non-tokoh yang omniscient (bisa berada dimana saja, tidak terikat waktu, tempat, dan tidak memiliki karakterisasi). Walaupun tetap memungkinkan perpindahan POV dari

limited ke omniscient third person, maupun dari orang ketiga ke orang pertama, dalam cerita Timun Mas ini, tokoh yang digunakan sebagai narator sepanjang


(52)

cerita berpindah-pindah, pada satu titik menggunakan POV suatu karakter, disaat lainnya menggunakan POV karakter lainnya, dalam cerita timun mas ini penceritaan menggunakan tehnik “unreliable narrator”, yaitu dimana narasi yang dikisahkan si pencerita menjadi subjektif karena sifat dan karakteristik si narator.

3.2.7. Karakter (penokohan)

Karakter di cerita ini kurang lebih sama dengan cerita asli Timun Mas, antara lain.

Wanita tua (Ibu Timun Mas)

Pada awalnya si wanita tua adalah wanita setengah baya, sangat menyayangi timun mas yang anaknya satu-satunya sampai ke titik overposesif tidak wajar dan kecenderungan represif, kecemasan dan ketakutan tidak wajarnya mendorongnya pada anxiety disorder, gangguan mental dimana ia mengalami kecemasan yang mendalam didorong rasa cinta dan takut kehilangan anaknya. Wanita tua juga merupakan simbolisme dari superego dalam psikoanalisa Freudian.


(53)

Timun Mas

Tokoh sentral dalam cerita ini, sedari kecil ia dikungkung ibunya represi dan

mental abuse yang dilakukan ibunya menyebabkan gangguan psikologis hebat padanya. Pada perkembangan cerita, Timun Mas digambarkan mengalami desperasi kegilaan (mental breakdown), krisis eksistensialis serta dan makna kehidupan, dalam kisah ini digambarkan bagaimana perjuangannya mengejawantah absurditas dan ke takbermaknaan hidup, merupakan simbolisme ego dalam psikoanalisa Freudian.

Gambar III.11. tokoh Timun Mas

Raksasa

Tokoh antagonis utama, konsep karakteristik tokoh rakhsasa adalah tokoh antagonis yang digambarkan sebagai mahluk supranatural (deity) yang misterius, amoralis. Tujuan, nilai moral, rasio atau fikiran tokoh antagonis ini tidak dimengerti, absurd dan nihilistik. dalam cerita ini digambarkan segala tujuan dari perbuatan si Raksasa tanpa alasan jelas dan hanya sekedar untuk kesenangan. Desain karakternya yang hanya berupa bayangan hitam pekat merupakan penggambaran dari Id dalam psikoanalisa Freudian.


(54)

Gambar III.12. tokoh Raksasa

Kakek tua (petapa)

Dalam arketipe Carl Jung, tokoh kakek tua adalah The Sage atau The Hermit yang dalam literatur, stereotype karakter ini biasa muncul sebagai tetua yang menolong tokoh protagonis. Karakternya misterius dan enigmatik, absurd, dalam kisah si petapa berperan memberikan pencerahan pada Timun Mas tentang nihilnya makna hidup, dan keberanian serta kecintaan akan takdir menjalani kehidupan yang tanpa makna .


(55)

3.2.8. Setting

Latar tempat dalam cerita ini sebenarnya dunia fiktif fantasi, settingnya merupakan tipikal “in a far away land” yang biasa ada dalam kisah dongeng dimana walaupun berlokasi di suatu tempat di Jawa, namun penggambarannya sendiri sangat fiktif dan tidak sesuai kenyataan. Pembaca tidak diberi gambaran gamblang dimana cerita ini terjadi, dan hanya diberi petunjuk terjadi di suatu tempat di Jawa pada suatu waktu, namun penggambarannya, terutama dari sisi visual, tidak realistis mengingat genre visualnya yang sureal. Bahkan, dalam cerita ini setting tempat bahkan waktu diabaikan sama sekali.

3.2.9. Cerita

Cerita Timun Mas versi picture story book ini merupakan ‘fracturedfairy tale dari cerita Timun Mas populer, seperti telah dijelaskan, fractured fairy tale

merekonstruksi ulang sebagian besar cerita ‘asli’nya dan membangun kembali sebuah cerita, plot, dan karakterisasi yang benar-benar baru, namun tetap menjaga agar benang merah Timun Mas didalamnya masih bisa dimengerti oleh pembaca.

3.2.10. Sinopsis plot

Pada suatu ketika, hidup seorang wanita tua sebatang kara yang telah renta dan lemah, ia mendambakan seorang anak yang dapat menemaninya pada hari-hari tuanya, suatu hari-hari datanglah sang Raksasa mengabulkan keinginannya dengan syarat ketika beranjak dewasa si anak akan diserahkan kepadanya, wanita tua itu menyanggupi begitu saja karena dibutakan oleh hasratnya.

Si anak tumbuh dewasa, walaupun wanita itu begitu sayang padanya, ia ternyata menjadi sangat protektif, ketakutan dan kecemasannya kian lama semakin menjadi, janjinya pada sang rakhsasa terus menghantuinya. hingga pada suatu titik ia jatuh pada kegilaannya.

Timun Mas yang diisolir, dikurung dan terpenjara oleh ibunya, ibunya menjustifikasi perbuatannya sebagai bentuk perlindungannya dari raksasa yang mengincarnya. Suatu ketika, dikuasai rasa takutnya, ia memutuskan untuk membunuh anaknya sebelum raksasa itu yang membunuhnya.


(56)

Setelah itu sudut pandang narasi cerita berubah dari sisi Timun Mas yang putus asa, kehilangan makna hidup, gila dan mengalami krisis eksistensi, ia bertemu sesosok kakek tua misterius yang enigmatik, yang lewat dialog-dialog absurd tentang kehidupan dan absurditasnya, memberikan pencerahan pada Timun Mas untuk tetap hidup dalam kehidupan tanpa makna. Ia memberikan sebuah kantong yang dikatakannya mampu menolongnya dari si Rakhsasa, tak berapa lama, sang Raksasa datang.

Seberapapun keras timun mas mencoba lari, raksasa itu selalu bisa mengejarnya, dengan benda yang ada didalam isi kantong pemberian kakek misterius itu, Timun Mas berjuang demi hidupnya.

3.2.11 Tema Sentral dan makna Cerita

Beberapa tema sentral yang diangkat dalam cerita ini, dipilih atas dasar kedalaman konteks, faktualitas, dan penyesuaiannya pada target demografis yang dituju, yaitu remaja dewasa, juga subjektifitas cara pandang. Diantaranya.

- Kegilaan, terutama pada karakteristik tokohnya, penyakit mental menjadi salah satu tema sentral yang ingin diangkat, Dalam cerita ini, kecemasan (anxiety) dan kekhawatiran si tokoh ibu membawanya pada

state mental yang rapuh, dan mempengaruhi perlakuannya pada orang lain, yaitu timun mas yang anaknya sendiri,

- Kekerasan pada anak atau Child Abuse, salah satu tema sentral lain yang diangkat adalah kekerasan orang tua pada anak, bagaimana akibat dan seberapa besar pengaruhnya pada perkembangan psikologis anak, yang digambarkan dengan hubungan tokoh Ibu-Timun Mas. Perlakuan tokoh ibu pada anaknya, menimbulkan trauma pada diri Timun Mas sendiri dan menyebabkan depresi mental parah padanya.

- Moralitas, dalam cerita ini, salah satu tema yang ingin diangkat adalah masalah moral, zaman sekarang nilai-nilai moral dan kebaikan tidak bisa dilihat dalam dikotomi hitam putih. Dan baik buruk hanyalah masalah perspektif siapa yang melihat, tidak seperti pada jaman dulu, moral tidak bisa lagi distandarkan secara absolut, karena nilai moral, apa yang dianggap bermoral selalu relatif dan berubah. Perlawanan


(57)

pada kemapanan moralitas dan dikotomi moral merupakan tema sentral yang ingin diangkat.

- Absurditas hidup, nihilisme, anihilasi makna hidup, dan penerimaan sang tokoh pada ketiadaan makna itu, dalam cerita ini, pencarian makna hidup dan adakah tujuan hidup menjadi salah satu tema yang diangkat, digambarkan dengan dialog antara Timun Mas dan petapa, filsafat absurdisme Albert Camus, nihilisme Nietzsche, dan konsep dan eksistensialisme Sartre memberi basis besar pada makna cerita dalam kisah ini.

- Psikoanalisa Freudian, konsepsi superego-ego-id Freud, dan hubungan ketiganya dalam alam bawah sadar manusia juga merupakan makna yang tersimpan dalam cerita ini, digambarkan dengan interaksi antar tokoh-tokohnya yang bila dimaknai dalam kacamata psikoanalisa, merupakan simbolisme dari superego, ego, dan id.

- Konsep tiga metamorfosa roh dan pertentangan ‘moralitas’ budak - ‘moralitas’ tuan Nietzsche, metamorfosa roh adalah konsep Nietzsche akan perjalanan sikap moral manusia menuju purnamanusia (ubermensch) yang dalam kisah ini disimbolkan oleh perjalanan eksistensialisme tokoh Timun Mas, Timun Mas awalnya terkekang oleh nilai sang ibu pada fase ini mengalami fase unta, atau fase moralitas budak, dimana nilai yang dipegang teguh olehnya adalah nilai sang ibu yang secara dominatif dipaksakan padanya, setelah lepas dari penjara nilai sang ibu, Timun Mas memasuki fase singa, dimana setelah nilai sang ibu dinihilkan, ia mencoba membangun nilainya sendiri, disimbolkan pada akhir kisah dimana ia bertarung dengan sang Raksasa. Pertarungan Timun Mas dan raksasa ini, merupakan simbolisme dari kehendak berkuasa (der will zur macht) bagaimana satu sama lain, antara tokoh raksasa dan Timun Mas, berusaha untuk saling menguasai satu sama lain, pada akhir kisah, sampailah Timun Mas pada fase bayi, fase bayi merupakan fase manusia purna, dimana akhirnya tokoh Timun Mas setelah menjalani pertarungan tanpa akhir yang bagai sebuah pengulangan abadi tanpa akhir dengan sang raksasa,


(58)

sampai pada pencerahan akan nihilisme hidup, dan penerimaan akan itu.

- Amor fati, sebuah frasa latin yang berarti kecintaan akan takdir, suatu sikap penerimaan (acceptance) dan afirmasi, berkata “Ya” pada kehidupan dan takdir, termasuk pada penderitaan, absurditas, dan kekosongan makna, yang disimbolkan secara implisit dengan dialog terakhir Timun Mas dengan Raksasa.

Seperti yang diutarakan di bab sebelumnya, pada cerita yang lebih diperuntukkan audiens dewasa, kedalaman makna biasanya dibuat berlapis-lapis, dalam artian makna dan tema yang ditangkap pembaca tergantung pada tingkat kognisi (kemampuan berfikir) yang juga sangat dipengaruhi oleh tingkat usia, pembaca yang lebih muda mungkin akan bisa menangkap tema-tema atau konflik dasar yang terkandung dalam isi cerita, seperti kekerasan pada anak, egoisme, prilaku overposesif, tema mental illness yang dialami dan sebagainya. Pembaca yang lebih dewasa mungkin bisa menangkap tema-tema psikoanalisa atau filsafat yang tersirat dalam narasi. Tentu saja, interpretasi yang ada akan cerita timun mas versi ini akan sangat subyektif tergantung siapa yang menafsirkan, buku ini memang mencoba untuk tidak terlalu eksplisist menarasikan nilai-nilai didalamnya, dan menyerahkan interpretasi cerita sepenuhnya pada pembaca.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)