2.3 Perencanaan Pembangunan Wilayah
Pemikiran dan praktik perencanaan pembangunan wilayah mengalami pergeseran sejak beberapa tahun terakhir. Secara tradisional, pada awalnya perencanaan wilayah
berorientasi pada bagaimana mewujudkan suatu bentuk kota atau urban form tertentu Setiawan, 1993: 7. Dalam pemikiran ini, perencanaan adalah suatu kegiatan teknis-
estetis untuk memproyeksikan dan memaksakan satu wujud kota tertentu pada masa yang akan datang. Karena itu, proses penataan wilayah cenderung menjadi kegiatan yang
rasionalistik, sentralistik, dan elitis. Konsep-konsep perencanaan wilayah yang sifatnya tradisional tersebut, dikritik
oleh kalangan modern, antara lain dikemukakan oleh Forester dalam Setiawan, 1993: 7 dalam bukunya Planning in the Face of Power, yang mengatakan bahwa sesungguhnya
yang dapat dilakukan perencana adalah lebih pada bagaimana memfasilitasi suatu proses perubahan yang tidak selalu dapat diantisipasi. Dengan demikian, perencanaan bukanlah
suatu kegiatan yang semata-mata bersifat rasionalistik, teknis, dan estetis tapi juga merupakan proses sosial politik yang dinamis dan sarat dengan konflik.
Dimensi wilayah mempunyai arti penting dalam pembangunan karena setiap kegiatan pembangunan pasti akan berlangsung dan membutuhkan sumber daya yang
berupa lahan. Dalam dimensi spatial, lahan merupakan sumber daya lingkungan yang menjadi ruang bagi berlangsungnya kegiatan dan juga pendukung struktural wadah
kegiatan regional Hermanislamet, 1993: 16. Karena sifat dan posisinya inilah maka perencanaan wilayah yang berdimensi spatial dapat memainkan posisi strategis dalam
menjembatani persoalan desentralisasi dan otonomi daerah terutama yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan.
Dalam perencanaan pengembangan wilayah region development planning, konsep-konsep wilayah mempunyai arti penting. Terdapat beberapa konsepsi tentang
wilayah region. Masing-masing konsepsi mempunyai arti dan batasan ditinjau dari bidang studi dan lingkupnya, antara lain yang dikemukakan oleh Bryson, 1999: 15 :
1. T.J. Woofter.
Suatu wilayah adalah daerah tertentu yang di dalamnya tercipta homogenitas struktur ekonomi dan sosial sebagai perwujudan kombinasi antar faktor-faktor lingkungan dan
demografis. 2.
R.S. Platt. Wilayah adalah daerah tertentu yang keberadaannya dikenal berdasarkan
homogenitas umum, baik atas dasar karakter lahan maupun huniannya. 3.
R.E. Dickinson Wilayah adalah daerah tertentu yang terdapat sekelompok kondisi-kondisi fisik yang
telah memungkinkan terciptanya tipe kehidupan ekonomi tertentu. Dengan demikian, terdapat tiga komponen dalam pengertian wilayah atau daerah,
yaitu : 1.
Adanya gejala-gejala kemanusiaan human phenomena. 2.
Adanya gejala-gejala alamiah natural phenomena. 3.
Adanya gejala-gejala geografi geographycal phenomena yang mengaitkan faktor- faktor alamiah dan manusiawi dalam jalinan yang harmonis.
Konsep mengenai wilayah menjadi penting karena ini adalah pemahaman dasar untuk menyusun suatu strategi perencanaan, pengembangan, dan penataan wilayah.
Dalam konteks pemerintahan, wilayah juga dapat diartikan sebagai daerah otonom
sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pengertian ini, daerah otonom juga terbentuk dari komponen manusia,
alam, dan geografi. Menurut Yunus 1997, ada dua elemen yang berpengaruh terhadap dinamika
perkembangan wilayah, yakni unsur manusia penduduk dan fungsi-fungsi wilayah. Penduduk yang bergerak menuju ke daerah pinggiran umumnya bertujuan untuk
membangun tempat tinggal sedangkan fungsi-fungsi wilayah yang menuju ke daerah pinggiran berkaitan dengan kegiatan perluasan usaha.
Rondinelli 1985: 77 mengemukakan tiga konsep yang dapat digunakan untuk melihat perkembangan wilayah, yaitu :
1. Konsep kutub pertumbuhan, yaitu bahwa pertumbuhan tidak terjadi di sembarang
tempat dan juga tidak secara serentak. Perubahan terjadi pada titik atau kutub-kutub perkmbangan dengan intensitas yang berubah-ubah. Dalam suatu daerah, arus
polarisasi titik pusat dan tingkat kepadatan akan berkurang seiring dengan semakin jauhnya jarak dengan titik pusat. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan, demikian juga
dengan tingkat perkembangan ekonomi dan sosial. Strategi titik pertumbuhan ditafsirkan sebagai upaya mengkombinasi ciri-ciri tempat sentral yang mempunyai
orde tinggi dan lokasi potensial. Konsep ini merupakan mata rantai penghubung antara struktur wilayah modal yang berkembang alamiah dengan perencanaan fisik
dan wilayah.
2. Konsep integrasi fungsional, mendasarkan pada adanya konsep sistem settlements
yang terakumulasi dengan baik dan terintegrasi dari pusat-pusat pertumbuhan growth center. Sistem ini berperan penting dalam memfasilitasi proses penyebaran
pembangunan wilayah, diasumsikan bahwa rangsangan pembangunan pada negara yang sedang berkembang cenderung dilakukan melalui kegiatan pertanian. Adanya
sistem settlements yang tertata dengan baik dan terintegrasi dalam bentuk penempatan dan penataan fasilitas dan jasa pelayanan secara efisien akan memberikan
kemungkinan masyarakat pedesaan mendapatkan kemudahan untuk mengakses pelayanan. Selain itu dapat memaksimalkan fungsi pelayanan bagi masyarakat dan
meminimalkan biaya yang dikeluarkan masyarakat. 3.
Konsep teritorial yang terdesentralisasi, mendasarkan pada anggapan bahwa pusat- pusat pertumbuhan bersifat parasitik, dalam arti menyedot dan mengeksploitasi
sumber daya alam dan masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengakhiri sifat parasitik ini, maka sudah seharusnya ada investasi prasarana dan sarana fasilitas pelayanan
masyarakat yang tidak hanya dilakukan di pusat-pusat pertumbuhan saja tapi harus disebarkan sampai ke daerah-daerah terpencil dan desa-desa sehingga masyarakat di
daerah-daerah itu dapat langsung mengakses fasilitas tersebut. Yang terpenting adalah bagaimana membangun daerah berdasarkan kemampuan internal self reliance
sehingga meminimalkan ketergantungan daerah-daerah dengan pusat-pusat pertumbuhan.
Ketiga konsep yang ditawarkan Rondinelli ini menggabungkan antara penataan perkembangan wilayah dengan perluasan akses masyarakat terhadap fasilitas
pelayanan yang pada gilirannya akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi di daerah-
daerah. Dengan kata lain, dampak perencanaan, pengembangan, dan penataan wilayah sebenarnya mencakup tiga hal, yakni pola pertumbuhan wilayah baik secara
demografis, ekonomi, maupun penguasaan teknologi; pola produksi barang dan jasa; serta pola pemukiman dan distribusi layanan publik.
2.4 Evaluasi Kebijakan Perencanaan Wilayah