Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Jeruk Siam di Kabupaten Garut (Studi Kasus : Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat)

(1)

17

ABSTRACT

Indonesia has potential to become fruits exporter country. One of the fruits in Indonesia which has a good prospect is citrus. However, the export of citrus in Indonesia still very few and even Indonesia still imports. Garut Regency as one production center of citrus in Indonesia has chance to compete with citrus imports and to expand the market by exports. There is different kind of technology about citrus cultivation in Garut Regency. The objective of this study are to analyze the effect of technology in competitiveness of citrus in Garut Regency, to analyze government policy effect in competitiveness of citrus in Garut Regency, and to analyze the change effect of exchange rate rupiah, citrus price, and fertilizer price in competitiveness of citrus in Garut Regency. Data were analyzes using Policy Analysis Matrix (PAM). The results suggest that modern technology have more comparative advantage than traditional technology. But, the traditional technology have more competitive advantage than modern technology. The government is expected to support for increasing the comparative and competitive advantage in citrus cultivation in Garut Regency, such as provide the credit facilities.


(2)

34

I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang memiliki kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang sangat berpotensi untuk dikembangkan. Pertanian merupakan salah satu sektor penting yang menjadi andalan dalam menggerakkan perekonomian Indonesia. Salah satu sub-sektor pertanian yang memiliki peranan penting adalah hortikultura. Buah-buahan merupakan salah satu komoditas hortikultura yang menjadi unggulan Indonesia. Data Badan Pusat Statistika (2010) menunjukkan adanya peningkatan ekspor buah-buahan pada tahun 2009 hingga 2010. Tercatat jumlah ekspor buah-buahan pada tahun 2009 sebesar 101.129 ton, dengan nilai sebesar US$ 49,0 juta. Sedangkan pada tahun 2010 jumlah ekspor buah-buahan sebesar 105.672 ton, dengan nilai sebesar US$ 59,2 juta. Berdasarkan hal tersebut Indonesia memiliki peluang yang sangat besar dalam memposisikan diri sebagai negara penghasil buah-buahan. Hal ini didukung juga karena Indonesia memiliki kondisi iklim dan geografis yang sedemikian rupa sehingga cocok untuk membudidayakan buah-buahan.

Salah satu komoditas buah-buahan yang menguntungkan dan berpotensi untuk dikembangkan adalah jeruk. Jeruk merupakan komoditas buah yang cukup menguntungkan untuk diusahakan saat ini dan mendatang, dapat mulai dipanen pada tahun kedua dengan nilai keuntungan usahataninya yang bervariasi berdasarkan lokasi dan jenis jeruk yang diusahakan. Beberapa jenis jeruk lokal yang dibudidayakan di Indonesia adalah jeruk Keprok (Citrus reticulata/nobilis L.), jeruk Siam (C. Microcarpa L. dan C. Sinesis. L ) yang terdiri atas Siam Pontianak, Siam Garut, Siam Lumajang, jeruk manis (C. Auranticum L. dan C. Sinensis L.), jeruk sitrun/lemon (C. medica), dan jeruk besar (C. Maxima Herr.). Beberapa sentra produksi jeruk di Indonesia tersebar meliputi daerah Garut (Jawa Barat), Tawangmangu (Jawa Tengah), Batu (Jawa Timur), Tejakula (Bali), Selayar (Sulawesi Selatan), Pontianak (Kalimantan Barat), dan Medan (Sumatera Utara).

Salah satu jenis jeruk yang paling banyak diusahakan di Indonesia adalah jeruk siam. Jeruk siam memiliki aroma yang khas, menyegarkan, memiliki rasa


(3)

35 yang lezat, manis dengan kombinasi asam yang menyegarkan, warna kulit yang kekuning-kuningan dan daging buah yang mudah terkelupas dari kulit. Tanaman jeruk siam dapat tumbuh dan diusahakan petani di dataran rendah hingga dataran tinggi dan dapat dikonsumsi oleh masyarakat berpendapatan rendah hingga yang berpenghasilan tinggi. Jeruk siam merupakan komoditas buah yang cukup terkenal dan digemari bagi masyarakat Indonesia. Hal ini dibuktikan berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (2010) yang menunjukkan adanya peningkatan konsumsi akan jeruk siam dalam masyarakat. Pada Tabel 1 berikut akan ditampilkan mengenai perkembangan produksi, konsumsi, dan pengeluaran rata-rata buah jeruk siam di Indonesia.

Tabel 1. Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Pengeluaran Rata-rata Per Kapita Jeruk Siam di Indonesia Tahun 2008-2009

Keterangan 2008 2009

Produksi (Ton) 2.391.011 2.025.840

Konsumsi (Kg/Kap/Th) 3,58 4,62

Pengeluaran Rata-rata Per Kapita (Rp) 18.720 30.888

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009e (Diolah)

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui adanya peningkatan konsumsi akan jeruk siam dalam masyarakat, namun peningkatan konsumsi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan akan produksi jeruk siam. Hal ini akan memicu pemerintah untuk melakukan impor jeruk siam guna memenuhi kebutuhan konsumsi jeruk siam di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2009), menunjukkan bahwa ekspor jeruk siam pada tahun 2008 sebesar 2,08 ton, sangat jauh jika dibandingkan dengan volume impor jeruk siam Indonesia, yakni sebesar 20.359,7 ton. Pada tahun 2009 ekspor jeruk siam Indonesia mengalami peningkatan menjadi 9,79 ton, namun peningkatan ekspor ini diikuti juga dengan peningkatan volume impor, yakni sebesar 31.859,5 ton. Berikut akan disajikan mengenai perkembangan produksi, ekspor dan impor jeruk siam di Indonesia.


(4)

36 Tabel 2. Perkembangan Produksi, Ekspor, dan Impor Jeruk Siam di Indonesia

Tahun 2007-2010

Tahun Produksi

(Ton)

Ekspor (Ton)

Impor (Ton)

2007 2.551.635 - -

2008 2.391.011 2,08 20.359,71)

2009 2.025.840 9,79 31.859,52)

2010 1.939.727 - -

Sumber : 1) per Mei 2008

2)

per Januari 2009

Badan Pusat Statistika, 2009c,d

Berdasarkan data pada Tabel 2, dapat diketahui bahwa neraca ekspor impor jeruk siam di Indonesia negatif, hal ini menunjukkan jumlah impor yang lebih besar dari pada ekspor. Tingginya angka impor ini menimbulkan kekhawatiran bagi petani jeruk siam karena akan terjadi persaingan dengan produk-produk jeruk siam impor. Selain itu dikhawatirkan juga bahwa produk impor bisa menguasai pasar jeruk di Indonesia, sehingga akan mengancam produksi jeruk siam di Indonesia dan petani sebagai produsen jeruk siam akan merasakan dampak yang hebat akibat adanya impor ini.

Hal ini dapat menjadi peluang bagi Kabupaten Garut sebagai salah satu sentra produksi jeruk siam di Jawa Barat pada khususnya dan Indonesia pada umumnya untuk memenuhi dan mensubstitusi jeruk impor tersebut. Pada era perdagangan bebas saat ini produsen jeruk siam di dalam negeri dituntut untuk meningkatkan daya saing produk jeruk siamnya agar mampu bertahan menghadapi persaingan dengan jeruk siam impor lainnya. Meskipun angka impor jeruk di Indonesia besar, namun tidak menutup kemungkinan Indonesia menjadi negara pengekspor jeruk.

1.2. Perumusan Masalah

Kabupaten Garut merupakan salah satu sentra produksi jeruk siam yang berada di propinsi Jawa Barat. Jumlah produksi jeruk siam Kabupaten Garut pada tahun 2010 sebesar 9.180,4 ton atau 38,68 persen dari total produksi jeruk keprok Jawa Barat sebesar 23.732 ton. Tanaman jeruk telah diproduksi sejak lama di


(5)

37 Kabupaten Garut, sebelum tahun 1964 Kabupaten Garut merupakan sentra produksi jeruk terbesar di Jawa Barat dan sejak itu pula Garut merupakan daerah endemis CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration) yang mengakibatkan produksi jeruk dari tahun ke tahun terus menurun. Berdasarkan data pada tahun 1987 populasi jeruk di Kabupaten Garut tercatat sebanyak 1.300.000 pohon dengan areal seluas 2.600 ha, namun akibat adanya serangan CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration) dalam kurun waktu 5 tahun terjadi penurunan yang sangat tajam, tercatat pada tahun 1992 populasinya hanya tinggal 52.000 pohon. Pemerintah menerapkan kebijakan penanaman kembali tanaman jeruk dengan target 1.000.000 pohon pada tahun 2014. Berikut perkembangan produksi tanaman jeruk siam di Kabupaten Garut.

Tabel 3. Perkembangan Produksi, Jumlah Tanaman dan Tanaman yang menghasilkan Jeruk Siam di Kabupaten Garut Tahun 2006-2010 Tahun Jumlah Tanaman

(Pohon)

Tanaman yang Menghasilkan

(Pohon)

Produksi (Kw)

2006 - 162.374 81.190

2007 - 191.201 96.170

2008 - 215.555 109.729

2009 621.453 208.305 107.581

2010 662.593 200.922 91.804

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut, 2010

Berdasarkan Tabel 3 mengenai perkembangan produksi dapat diketahui bahwa jumlah tanaman yang menghasilkan dan jumlah produksi jeruk siam di Kabupaten Garut mengalami peningkatan dari tahun 2006 hingga tahun 2008. Tercatat peningkatan jumlah tanaman yang menghasilkan dari tahun 2006 hingga 2008 meningkat sebesar 32,75 persen menjadi 215.555 pohon tanaman yang menghasilkan. Meningkatnya jumlah tanaman yang menghasilkan diikuti pula dengan meningkatnya jumlah produksi jeruk siam dari tahun 2006 hingga tahun 2008 yaitu sebesar 35,15 persen. Namun pada tahun 2009 hingga tahun 2010 produksi jeruk siam mengalami penurunan. Hal ini disebabkan penurunan jumlah


(6)

38 tanaman yang menghasilkan sebesar 7,28 persen yang mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah produksi sebesar 19,52 persen, yakni menjadi 91.804 kw.

Kecamatan Samarang merupakan salah satu sentra produksi dan penghasil jeruk siam terbesar di Kabupaten Garut. Pada tahun 2010 produksi jeruk siam di Kecamatan Samarang adalah sebesar 3.314 ton. Tercatat peningkatan jumlah tanaman jeruk siam dari tahun 2006 hingga 2010 meningkat menjadi 148.977 pohon. Sedangkan tanaman yang menghasilkan mengalami penurunan pada tahun 2007 menjadi 35.096 pohon dan meningkat hingga tahun 2010 sebesar 87,17 persen menjadi 65.689 pohon tanaman yang menghasilkan. Meningkatnya jumlah tanaman yang menghasilkan diikuti pula dengan meningkatnya jumlah produksi jeruk siam dari tahun 2007 hingga tahun 2009 yaitu sebesar 90,02 persen menjadi 33.502 kw. Namun pada tahun 2009 hingga tahun 2010 produksi jeruk siam mengalami penurunan sebesar 1,08 persen menjadi 33.140 kw. Berikut perkembangan produksi jeruk siam di Kecamatan Samarang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Perkembangan Produksi, Jumlah Tanaman dan Tanaman yang menghasilkan Jeruk Siam di Kecamatan Samarang Tahun 2006-2010 Tahun Jumlah Tanaman

(Pohon)

Tanaman yang Menghasilkan

(Pohon)

Produksi (Kw)

2006 65.747 47.797 23.990

2007 86.047 35.096 17.630

2008 124.247 63.742 33.350

2009 134.797 - 33.502

2010 148.977 65.689 33.140

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut, 2010

Pemerintah memiliki peran yang strategis dalam rangka mengembangkan pengusahaan jeruk siam di Kabupaten Garut. Banyak upaya yang telah dilakukan pemerintah demi memajukan pengusahaan jeruk siam di Kabupaten Garut, seperti bantuan input, pembimbingan, dan penyuluhan. Kebijakan tersebut akan berpengaruh terhadapa input maupun output pengusahaan komoditas jeruk siam di Kabupaten Garut. Daya saing komoditas jeruk siam akan meningkat jika


(7)

39 kebijakan yang ada mengakibatkan biaya input menurun dan menambah nilai guna output. Begitu juga sebaliknya, apabila kebijakan pemerintah yang berlaku mengakibatkan biaya input naik dan menurunkan nilai guna output, maka akan menurunkan daya saing.

Pemerintah Kabupaten Garut secara tidak langsung menganjurkan bagi produsen jeruk siam untuk menggunakan bibit jeruk siam yang berasal dari penangkar dengan tujuan untuk meningkatkan produksi, kualitas dan daya tahan terhadap penyakit. Namun, pada kenyataannya masih terdapat beberapa petani jeruk siam yang menggunakan bibit dengan batang bawah hasil tebasan tanaman jeruk siam yang tidak produktif lagi. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan teknologi dalam bentuk penggunaan bibit pada pengusahaan jeruk siam di Kabupaten Garut. Teknologi modern dimana pengusahaan jeruk siam menggunakan bibit penangkaran dan teknologi tradisional dimana pengusahaan jeruk siam menggunakan bibit batang bawah sendiri. Maka menjadi pertanyaan jenis teknologi pengusahaan jeruk siam mana yang unggul secara komparatif dan kompetitif.

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa potensi jeruk siam perlu mendapatkan perhatian serius dalam upaya pengusahaanya. Oleh karena itulah dalam rangka pengembangan jeruk siam di Kabupaten Garut, maka diperlukan suatu penelitian mengenai daya saing sekaligus dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan jeruk siam di Kabupaten Garut, sehingga peranannya dalam perekonomian nasional dapat diandalkan. Maka masalah yang akan dikaji sehubungan dengan penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaruh teknologi terhadap keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif Jeruk Siam di Kabupaten Garut?

2. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing pengusahaan Jeruk Siam di Kabupaten Garut?

3. Bagaimana keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif Jeruk Siam apabila terdapat perubahan nilai tukar rupiah, harga jeruk siam domestik dan kenaikan harga pupuk di Kabupaten Garut?


(8)

40 1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1) Menganalisis pengaruh teknologi terhadap keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif Jeruk Siam di Kabupaten Garut.

2) Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing pengusahaan Jeruk Siam di Kabupaten Garut.

3) Menganalisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif Jeruk Siam apabila terdapat perubahan nilai tukar rupiah, harga jeruk siam domestik dan kenaikan harga pupuk di Kabupaten Garut.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, informasi, atau masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan, yaitu antara lain:

1) Bagi petani jeruk siam, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui pendapatannya dengan cara memperbaiki dan meningkatkan kualitas dan produktivitas jeruk siam, serta melestarikan komoditas kebanggaan mereka ini.

2) Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam mendukung kegiatan usahatani jeruk siam sebagai komoditas unggulan di Kabupaten Garut.

3) Bagi pemerintah diharapkan penelitian ini dapat dipakai sebagai masukan atau rujukan dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan pengusahaan Jeruk Siam.

4) Bagi kalangan mahasiswa dan perguruan tinggi, penelitian ini dapat bermanfaaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan yang berguna sehingga dapat dijadikan bahan masukan dan pertimbangan dalam penelitian selanjutnya.

5) Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk mengaplikasikan segala ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan, serta dapat melatih dan mengembangkan kemampuan dalam berpikir dan menganalisis permasalahan yang ada di lapangan.


(9)

41 1.5. Ruang Lingkup

Mengacu pada permasalahan dan tujuan penelitian serta mengingat adanya keterbatasan sumberdaya, maka ruang lingkup pada penelitian ini diantaranya yakni, analisis dilakukan pada tingkat usahatani, responden utama dalam penelitian ini adalah petani jeruk siam di Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut dan studi terbatas pada data yang tersedia dari berbagai aspek ekonomi pada usahatani jeruk siam yang ada di Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut. Selain itu diberikannya batasan-batasan berupa asumsi dimaksudkan untuk memudahkan proses analisis dan diharapkan dengan batasan ini tidak merubah ataupun mengurangi esensi yang hendak disampaikan.


(10)

42

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk

Studi mengenai jeruk telah dilakukan oleh banyak pihak, salah satunya oleh Sinuhaji (2001) yang melakukan penelitian mengenai Pengembangan Usahatani Jeruk dan Dampaknya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Kabupaten Karo Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini memperlihatkan bagaimana dampak dari pengembangan usahatani jeruk terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa nilai tambah bruto yang diciptakan oleh sektor komoditas jeruk, dapat memberikan keuntungan bagi pelaku ekonomi yang terkait, terutama bagi pemilik modal. Namun keterkaitan sektor jeruk terhadap perekonomian yang lain masih rendah atau masih dibawah ukuran rata-rata, dengan kata lain daya tarik dan daya dorong terhadap perekonomian yang lain tidak terlalu kuat. Pada penelitian Sinuhaji (2001) ini dapat diambil kesimpulan bahwa dampak yang ditimbulkan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh produksi buah jeruk masih belum optimal.

Studi mengenai jeruk yang dilakukan oleh Sinuhaji (2001) yang menyatakan bahwa komoditas jeruk dapat memberikan keuntungan bagi pelaku ekonomi yang terkait didukung oleh Nurasa dan Hidayat (2005) pada penelitiannya mengenai Analisis Usahatani dan Keragaan Margin Pemasaran Jeruk di Kabupaten Karo bahwa adanya keuntungan dalam pengusahaan komoditas jeruk. Berdasarkan hal tersebut, secara ekonomi jeruk masih menguntungkan untuk diusahakan. Keuntungan tersebut masih dapat ditingkatkan dengan memperbaiki sistem produksi, sehingga produktivitas dapat ditingkatkan. Diperkirakan dengan proses produksi ini dapat memperbaiki kualitas dan kuantitas, terutama pada tingkat lebih tinggi lagi, sehingga memiliki peluang mengakses pasar lebih luas, khususnya pasar luar negeri (ekspor).

Berdasarkan studi yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa komoditas jeruk memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri ataupun pasar luar negeri (ekspor). Untuk mewujudkan hal tersebut maka diperlukan suatu usaha agar kualitas dan kuantitas


(11)

43 jeruk tetap terjaga, sehingga diharapkan komoditas jeruk dapat menjadi peluang dalam memperbaiki perekonomian dalam negeri.

2.2. Studi Empiris Tentang Daya Saing

Studi mengenai daya saing telah dilakukan sejak waktu yang lama. Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan penilitian terkait dengan daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas jeruk siam, studi mengenai penelitian terdahulu penting untuk dilakukan. Konsep daya saing dilihat melalui pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif. Metode yang digunakan untuk mengetahui daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap suatu komoditas pada umumnya adalah metode Policy Analysis Matrix (PAM) dan analisis sensitivitas.

Wiji (2007) melakukan penelitian mengenai Analisis Pengembangan Sentra Jeruk Siam Pontianak Di Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan usahatani pegembangan jeruk Siam Pontianak meliputi kelayakan finansial dan ekonomi, menganalisis daya saing (kompetitif dan komparatif) terhadap pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak di Provinsi Kalimnatan Barat, dan menganalisis sistem pemasaran jeruk Siam Pontianak. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data primer terutama dari salah satu kabupaten sentra pengembangan jeruk Siam Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat, dengan Policy Analysis Matrix (PAM).

Hasil penelitian yang didapat menunjukkan bahwa usahatani Jeruk Siam Pontianak berdasarkan analisis pendapatan usahatani, kelayakan finansial dan ekonomi layak untuk dikembangkan, mempunyai daya saing (kompetitif dan komparatif) yang cukup tinggi sehingga mampu bersaing di pasar international, dan mampu membiayai faktor domesiknya, dan dapat meningkatkan pendapatan pemerintah serta sistem pemasaran jeruk Siam Pontianak cukup efisien. Namun intervensi berupa pengembangan jaminan mutu produk, peningkatan efisiensi pemasaran dan promosi, usaha perbaikan infrastruktur fisik dan kelembagaan pasar masih perlu dilakukan untuk mengurangi fluktuasi harga yang terjadi. Implikasi secara makro, memproduksi sendiri buah unggulan tersebut lebih efisien dibandingkan dengan mengimpornya. Analisis daya saing terhadap


(12)

44 pengembangan sentra jeruk Siam Pontianak terhadap struktur biaya produksi, biaya yang diinvestasikan oleh petani jeruk siam lebih besar daripada nilai tambah yang dapat diterimanya. Hal tersebut akan mengakibatkkan pendapatan petani jeruk Siam Pontianak menjadi berkurang.

Nuryanti (2010) melakukan penelitian mengenai Analisis Pengaruh Intensifikasi Usahatani terhadap Daya Saing Kakao (Theobroma cacao L.) di Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Tujuan dari penelitian ini antara lain menganalisis pengaruh intensifikasi usahatani kakao terhadap daya saing kakao di Kabupaten Ciamis, menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap pengaruh intensifikasi usahatani kakao pada daya saing kakao di Kabupaten Ciamis, dan menganalisis dampak perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, harga kakao domestik, pajak ekspor biji kakao, dan harga pupuk bersubsidi, ceteris paribus, terhadap pengaruh intensifikasi usahatani kakao pada perubahan daya saing kakao di Kabupaten Ciamis. Penelitian ini menggunakan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM) untuk mengukur keunggulan kompetitif dan komparatif (daya saing) serta dampak kebijakan pemerintah pada suatu sistem komoditas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan produksi yang terjadi karena adanya program intensifikasi usahatani meningkatkan keunggulan kompetitif komoditas kakao di Kabupaten Ciamis. Namun, adanya peningkatan penggunaan input tradable yang mengandung komponen impor pada usahatani yang semakin intensif menyebabkan keunggulan komparatif komoditas kakao di Kabupaten Ciamis semakin menurun. Kebijakan pemerintah terhadap input-output pada sistem komoditas kakao di Kabupaten Ciamis, intensifikasi usahatani kakao berpengaruh terhadap peningkatan keunggulan kompetitif dan penurunan keunggulan komparatif komoditas kakao di Kabupaten Ciamis.

Aliyatillah (2009) melakukan penelitian mengenai Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Kakao. Tujuan dari penelitian ini yakni untuk menganalisis daya saing komoditas kakao di PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala Jawa Barat sebagai produsen kakao berkualitas, menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas kakao PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala Jawa Barat, dan mempelajari pengaruh perubahan produktivitas, harga kakao, dan kurs rupiah


(13)

45 terhadap daya saing komoditas kakao di PTPN VIII Kebun Cikumpay Afdeling Rajamandala Jawa Barat.

Pengusahaan kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala efisien secara privat dan memiliki keunggulan kompetitif. nilai keuntungan sosial yang positif menunjukkan pengusahaan komoditas kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala menguntungkan secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif dan efisien secara ekonomi. Secara umum kebijakan pemerintah yang ada menguntungkan bagi pengembangan dan peningkatan daya saing kakao di Perkebunan Afdeling Rajamandala. Penurunan produktivitas lebih dari 10 persen dan penurunan harga kakao sebesar 5 persen akan menyebabkan komoditas kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala tidak berdaya saing baik dari segi keunggulan komparatif maupun kompetitifnya sedangkan depresiasi dan apresiasi mempengaruhi daya saing kakao dalam segi keunggulan komparatifnya.

Berdasarkan analisis yang dilakukan, kakao Indonesia dinilai masih berdaya saing lemah karena adanya berbagai kendala. Kendala tersebut diantaranya adalah rendahnya kualitas kakao karena belum memenuhi standar internasional, bibit bermutu rendah, penanganan pascapanen yang tidak memadai terutama fermentasi, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, kurangnya daya dukung sarana infrastruktur, dan kurangnya peran industri terkait. Kebijakan pemerintah terhadap komoditas kakao juga telah diupayakan namun belum dapat dilihat dampaknya terkait dengan masih berjalannya program kebijakan tersebut. Kebijakan pemerintah dalam rangka mendukung daya saing komoditas kakao nasional baik dari keunggulan komparatif maupun kompetitifnya antara lain peningkatan produktivitas melalui program intensifikasi tanaman terutama dalam pengadaan bibit dan penggunaan bibit kakao unggul, pelatihan dan pendampingan petani dalam rangka pencegahan meluasnya serangan hama PBK, dan kebijakan pemantapan infrastruktur di wilayah pengembangan kakao. Pada penelitian Irnawati (2008) menyebutkan bahwa keunggulan komparatif komoditas kakao Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan komoditas kakao Kamerun dan Nigeria yang produksi kakaonya di bawah Indonesia. Menurut Irnawati (2008) hal tersebut disebabkan karena Indonesia belum tergabung ke dalam


(14)

46 organisasi kakao internasional (International Cocoa Organization), yang berdampak sedikitnya informasi yang diperoleh oleh Indonesia.

Meryana (2007) menganalisis daya saing kopi Robusta Indonesia di pasar kopi Internasional. Berdasarkan hasil penelitian, kopi Robusta Indonesia memiliki keunggulan komparatif walaupun daya saingnya masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara Pantai Gading dan Uganda. Menurut Meryana (2007), hal tersebut terjadi disebabkan karena masih rendahnya kualitas kopi, produktivitas lahan, sumberdaya modal, sumberdaya infrastrukrur, dan tidak insentifnya harga. Keunggulan kompetitif industri kopi Robusta Indonesia menunjukkan bahwa faktor sumberdaya, kondisi permintaan domestik, dan struktur kopi domestik mendukung komoditas ini untuk berkembang terutama dengan adanya dukungan oleh pemerintah dan adanya faktor kesempatan. Keunggulan komparatif kopi Robusta nasional perlu ditingkatkan, salah satu upaya nyata yang dapat dilakukan adalah berupaya untuk merubah kondisi dimana keluar dari predikat negara pengekspor biji kopi menjadi negara pengekpor kopi olahan. Keunggulan kompetitif ditingkatkan melalui perbaikan budidaya dan penggunaan infrastuktur yang pada akhirnya dapat menghasilkan biji kopi berkualitas terbaik. Penelitian mengenai daya saing kopi robusta penting untuk dikaji karena ada asumsi bahwa daya saing komoditas jeruk siam sebagai salah satu tanaman tahunan dan termasuk tanaman pangan lainnya tidak akan jauh berbeda dengan daya saing kopi robusta.

Rahmiati (2007) menganalisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan manggis dengan sistem perkebunan pada CV Buah Asi di Kecamatan Sukamakmur Bogor. Manggis merupakan komoditas pertanian yang potensial untuk dikembangkan. Permintaan manggis dari luar negeri terus meningkat dari tahun ke tahun namun karena kualitas manggis Indonesia yang rendah hanya sebagian kecilnya saja yang layak diekspor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengusahaan manggis dengan sistem perkebunan pada CV Buah Asi tidak memiliki daya saing. Hal ini tercermin dari nilai keuntungan privat dan ekonomi yang bernilai negatif. Salah satu penyebabnya adalah dari 2000 pohon manggis yang ada, hanya 10 persennya saja yang telah berbuah. Oleh karena itu, biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada


(15)

47 penerimaannya. Indikator lain yang mencerminkan pengusahaan manggis di lokasi penelitian tidak berdaya saing baik dari keunggulan komparatif maupun kompetitifnya adalah rasio biaya privat dan rasio biaya sumberdaya domestik. Hasil analisis mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah lebih meningkatkan efisiensi produsen dalam berproduksi manggis. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input dianalisis dari indikator transfer input, transfer faktor, dan Koefisien nominal proteksi input efektif. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input tradable menguntungkan produsen manggis yang menggunakan input tersebut. Begitu juga dangan input domestik, tidak ada kebijakan pemerintah yang melindungi produsen input domestik. Kebijakan input dan output mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah dalam melindungi produsen manggis berjalan dengan efektif. Selain itu, kebijakan pemerintah yang ada menyebabkan produsen manggis membayar biaya produksi lebih rendah dari harga ekonominya.

Indriyati (2007), meneliti mengenai Analisis Daya Saing Buah Nenas Model Tumpang Sari dengan Karet, Kasus di Desa Sungai Medang, Kecamatan Cambai, Prabumulih dan di Desa Payaraman, Kecamatan Tanjung Batu, Ogah Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daya saing pengusahaan buah nenas di Kota Prabumulih dan Kabupaten Ogah Ilir, dan menganalisis dampak kebijakan pemerintah serta perubahan harga input output terhadap daya saing pengusahaan buah nenas di Kota Prabumulih dan Kabupaten Ogah Ilir. Alat analisis yang digunakan yakni Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil penelitian menunjukkan pengusahaan nenas di kedua lokasi penelitian memiliki daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif). Dampak kebijakan terhadap output-input yang ada selama ini kurang menguntungkan bagi petani nenas di kedua desa. Berdasarkan analisis sensitivitas yang menggunakan asumsi bila terjadi penurunan harga output sebesar Rp 100,00 harga input pupuk mengalami peningkatan sebesar 10% dan nilai tukar rupiah menguat terhadap dollar Amerika menjadi Rp 8.500,00 serta analisis sensitivitas gabungan, menunjukkan bahwa pengusahaan nenas di kedua lokasi penelitian masih memiliki daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) serta layak untuk diusahakan.


(16)

48 Berdasarkan studi yang telah dilakukan mengenai daya saing dan dampak kebijakan pemerintah pada komoditas hortikultura tanaman tahunan, diperoleh kesimpulan sementara bahwa pada umumnya komoditas hortikultura tanaman tahunan memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, namun pada umumnya berdaya saing rendah, bahkan pada penelitian Rahmiati (2007) yang menganalisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan manggis tidak memiliki daya saing. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah dampak dari kebijakan pemerintah yang berlaku. Hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa kebijakan pemerintah dapat meningkatkan dan juga menurunkan keunggulan komparatif dan kompetitif suatu komoditas hortikultura.

Metode yang digunakan berdasarkan studi yang telah dilakukan pada umumnya adalah metode Policy Analysis Matrix (PAM), dengan pertimbangan bahwa dengan metode ini dapat menjawab tujuan yang ingin dicapai, yaitu dapat diketahui keunggulan kompetitif dan keunggulan komperatif serta dampak kebijakan pemerintah terhadap suatu komoditas. Analisis sensitivitas sebagian besar juga diperlukan dalam menganalisis daya saing suatu komoditas tertentu, hal ini disebabkan untuk mengatasi kelemahan PAM yang dalam analisisnya hanya memberlakukan satu tingkat harga padahal dalam keadaan sebenarnya harga tersebut sangat variatif. Selain itu, analisis ini juga digunakan untuk melihat pengaruh kebijakan pemerintah terhadap kondisi daya saing komoditas tertentu.

Daya saing sangat erat kaitannya dengan kualitas dan produktivitas yang tidak terlepas dari peranan pemerintah di dalamnya. Untuk menunjukkan hal tersebut, maka penelitian mengenai daya saing dan dampak kebijakan pemerintah khususnya pada komoditas jeruk siam ini penting untuk dilakukan.


(17)

49

III

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing

Perdagangan Internasional pada dasarnya merupakan perdagangan yang terjadi antara suatu negara tertentu dengan negara yang lainnya. Setiap negara akan memproduksi apa yang menjadi kebutuhannya dan mengimpor apa yang tidak negara tersebut produksi. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan suatu negara melakukan perdagangan internasional. Pertama, yakni adanya keragaman sumberdaya alam yang dimiliki oleh suatu negara. Hal ini berhubungan dengan faktor-faktor yang secara alamiah dimiliki oleh suatu negara tertentu. Selanjutnya adalah karena adanya perbedaan selera (preferensi) pada masing-masing negara. Perdagangan internasional yang saling menguntungkan masih bisa berlangsung atas dasar perbedaaan preferensi permintaan atau selera di masing-masing negara. Kemudian yang terakhir karena adanya perbedaan biaya. Hal ini berkaitan erat dengan biaya produksi. Setiap negara yang melakukan perdagangan bertujuan untuk mencapai skala ekonomi. Hal ini akan menyebabkan setiap negara cenderung untuk melakukan spesialisasi. Jika negara-negara melakukan spesialisasi, maka skala ekonomis akan tercapai dan biaya produksi per unit akan semakin murah.

Daya saing merupakan kemampuan produsen dalam menghasilkan produk yang sesuai dengan permintaan konsumen dan memiliki biaya produksi yang rendah. Biaya produksi yang rendah disini diasumsikan apabila terjadi di pasar internasional, sehingga produk atau komoditas tersebut dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen sehingga dapat mempertahankan kelangsungan produksinya. Menurut Kuraisin dalam Septiyorini, (2009) menyebutkan bahwa pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur dayasaing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan komoditas


(18)

50 dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.

3.1.2. Keunggulan Komparatif

Hukum keunggulan komparatif pertama kali diperkenalkan oleh David Ricardo pada tahun 1817, yang mengatakan bahwa meskipun salah satu negara kurang efisien dibanding negara lainnya dalam memproduksi kedua komoditi, masih terdapat dasar dilakukannya perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak, dengan asumsi proporsi kerugian absolut satu negara pada kedua komoditi tersebut tidak sama (Salvatore 1997). Kelemahan pada teori keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo adalah keunggulan komparatif ini hanya didasarkan pada perbedaan produktivitas setiap tenaga kerja saja, padahal masih banyak faktor yang mempengaruhi seperti teknologi, modal, tanah, dan sumberdaya lainnya.

Pada tahun 1936, hukum keunggulan komparatif disempurnakan dengan teori biaya imbangan (Oppurtunity Cost Theory) yang dikemukakan oleh Haberler. Menurut teori biaya imbangan, biaya sebuah komoditi adalah jumlah komoditi kedua yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumber daya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditi pertama. Artinya negara yang memiliki biaya imbangan lebih rendah dalam memproduksi sebuah komoditi akan memiliki keunggulan komparatif dalam komoditi tersebut dan memiliki kerugian komparatif dalam komoditi kedua (Salvatore 1997).

Teori keunggulan komparatif yang lebih modern dikemukakan oleh Hecksler dan Ohlin yang diberi nama dengan teori Hecksler-Ohlin. Teori tersebut menyatakan bahwa setiap negara akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor komoditi yang banyak menyerap faktor produksi yang tersedia di negara itu dalam jumlah dan berharga relatif murah, serta mengimpor komoditi banyak menyerap faktor produksi yang di negara itu relatif langka dan mahal (Salvatore 1997).

Keunggulan komparatif akan menjadi ukuran daya saing, apabila perekonomian tidak mengalami gangguan atau distorsi. Seperti yang telah disebutkan, bahwa keunggulan komparatif akan menjadi tolak ukur daya saing


(19)

51 komoditas tertentu dari segi efisiensi. Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dapat dikatakan komoditas tersebut telah mencapai efisiensi secara ekonomi. Oleh karena itu keunggulan komparatif terkait dengan kelayakan secara ekonomi. Artinya kelayakan ekonomi menilai aktivitas ekonomi bagi masyarakat secara general atau menyeluruh, tanpa melihat siapa yang terlibat dalam aktivitas ekonomi tersebut.

3.1.3. Keunggulan Kompetitif

Pada keunggulan komparatif disebutkan akan menjadi ukuran daya saing suatu komoditas dengan asumsi perekonomian tidak mengalami gangguan atau distorsi sama sekali. Namun, pada kenyataannya sulit sekali ditemukan kondisi perekonomian yang tidak mengalami gangguan atau distorsi, misalnya seperti di Indonesia sebagai negara berkembang. Keunggulan komparatif digunakan hanya untuk mengukur manfaat aktivitas ekonomi dari segi masyarakat keseluruhan atau general. Oleh karena itu dalam perkembangannya konsep yang sesuai untuk mengukur kelayakan secara finansial, digunakanlah konsep keunggulan kompetitif. Konsep keunggulan kompetitif dapat mengukur manfaat yang diterima oleh pihak-pihak yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi. Oleh karena itu keunggulan kompetitif terkait langsung dengan kelayakan finansial dari suatu aktivitas.

Konsep keunggulan kompetitif ini secara operasional bukan untuk menggantikan konsep keunggulan komparatif, namun saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Artinya jika suatu komoditas memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, maka komoditas tersebut layak dan menguntungkan untuk diproduksi dan dapat bersaing dengan pasar internasional. Jika keunggulan komparatif berfungsi sebagai alat untuk mengukur keuntungan sosial dan dihitung berdasarkan harga sosial dan harga bayangan nilai tukar uang, maka keunggulan kompetitif berfungsi sebagai alat untuk mengukur keuntungan privat dan dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku (Septiyorni 2009).

Menurut Grey et al. (1993), suatu perhitungan dikatakan perhitungan privat atau analisis finansial, bila yang berkepentingan langsung dalam benefit dan biaya proyek adalah individu atau pengusaha. Dalam hal ini yang dihitung sebagai


(20)

52 benefit adalah apa yang diperoleh orang-orang atau badan swasta yang menanamkan modalnya dalam proyek tersebut. Sebaliknya suatu perhitungan dikatakan perhitungan sosial atau ekonomi, bila yang berkepentingan langsung dalam benefit dan biaya proyek adalah pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini, yang dihitung adalah seluruh benefit yang terjadi dalam masyarakat sebagai hasil dari proyek dan semua biaya yang terpakai terlepas dari siapa saja yang menikmati benefit dan siapa yang mengorbankan sumber-sumber tersebut.

3.1.4. Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah biasanya diterapkan untuk melindungi produk dalam negeri terhadap produk luar negeri dan juga biasanya untuk meningkatkan ekspor produk dalam negeri. Kebijakan tersebut biasanya bertujuan untuk memperbaiki kegagalan pasar, yang biasanya diberlakukan untuk input dan output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Secara garis besar kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah terdiri dari dua bentuk, yaitu berupa subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi ini terdiri dari dua bentuk, yakni subsidi positif dan subsidi negatif atau biasa disebut dengan pajak. Kemudian kebijakan hambatan perdagangan yakni berupa tarif dan kuota.

Kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi sektor pertanian dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu kebijakan harga, kebijakan makroekonomi, dan kebijakan investasi publik. Kebijakan harga komoditas pertanian merupakan kebijakan yang bersifat spesifik komoditas. Setiap kebijakan diterapkan untuk satu komoditas. Kebijakan harga juga bisa mempengaruhi input pertanian. Kebijakan makroekonomi mencakup seluruh wilayah dalam satu negara, sehingga kebijakan makroekonomi akan mempengaruhi seluruh komoditas. Kebijakan investasi publik mengalokasikan pengeluaran investasi (modal) yang bersumber dari anggaran belanja negara. Kebijakan ini bisa mempengaruhi kelompok seperti produsen, pedagang, dan konsumen dengan dampak yang berbeda karena dampak tersebut bersifat spesifik pada wilayah dimana investasi itu dilakukan (Pearson et al. 2005).


(21)

53 Monke dan Pearson (1989) menjelaskan bahwa kebijakan harga (price policies) dibedakan menjadi tiga tipe kriteria, yaitu tipe instrument, penerimaan yang akan diperoleh, dan tipe komoditi. Implementasi dari kebijakan ini nantinya akan dapat mempengaruhi kemampuan negara dalam memanfaatkan peluang ekspor suatu komoditi dan kemampuan negara tersebut untuk melindungi konsumen dan produsen dalam negeri.

1) Tipe Instrumen

Pada tipe instrumen ini terdapat dua kebijakan, yaitu kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan. Subsidi merupakan pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah atau untuk pemerintah. Pembayaran yang berasal dari pemerintah disebut dengan subsidi positif, sedangkan pembayaran untuk pemerintah disebut dengan subsidi negatif atau biasa disebut dengan pajak. Subsidi dilakukan untuk melindungi baik konsumen maupun produsen dengan menciptakan harga dalam negeri atau domestik agar berbeda dengan harga yang berlaku di internasional. Kebijakan perdagangan merupakan pembatasan yang diterapkan oleh pemerintah pada ekspor atau impor suatu komoditi tertentu. Kebijakan perdagangan yang dapat diterapkan dapat berupa tarif dan kuota. Menurut Salvatore (1997) tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diimpor atau diekspor. Tarif merupakan bentuk kebijakan perdagangan yang paling tua dan secara tradisional telah digunakan sebagai sumber penerimaan pemerintah sejak lama. Sedangkan kuota merupakan bentuk hambatan perdagangan non-tarif yang paling penting, dimana dimana adanya pembatasan secara langsung terhadap jumlah impor atau ekspor. Kuota dapat digunakan untuk melindungi sektor industri domestik tertentu, atau bisa juga untuk melindungi sektor pertanian. Tujuan dilakukannya kebijakan tersebut adalah untuk menciptakan perbedaan harga yang terjadi di pasar domestik dengan harga yang terjadi di pasar internasional dan juga untuk membatasi kuantitas barang yang masuk ke dalam negeri (barang impor).

2) Kelompok Penerimaan

Monke dan Pearson (1989) menjelaskan bahwa klasifikasi kelompok penerimaan adalah kebijakan yang dikenakan pada produsen dan konsumen.


(22)

54 Suatu kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan menyebabkan terjadinya transfer antara produsen, konsumen, dan anggaran pemerintah.

3) Tipe Komoditi

Tujuan dengan adanya pengklasifikasian tipe komoditi adalah untuk membedakan komoditi mana yang dapat diekspor dan komoditi yang dapat diimpor. Tidak adanya kebijakan harga, maka harga domestik akan sama dengan harga internasional, sehingga harga yang digunakan untuk ekspor adalah fob atau harga pelabuhan, sedangkan harga yang digunakan untuk impor adalah cif atau harga di pelabuhan pengekspor. Namun apabila diberlakukan kebijakan untuk barang ekspor dan impor maka harga yang terjadi di pasar domestik akan berbeda dengan harga fob dan cif.

3.1.4.1. Kebijakan Output

Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient on Output/NPCO). Kebijakan terhadap output dapat diterapkan pada barang ekspor maupun impor baik berupa subsidi positif maupun subsidi negatif atau pajak. Berikut dampak yang diberikan dengan adanya subsidi positif terhadap produsen pada barang impor dan ekspor dapat dilihat pada Gambar 1.

P P

Pp H B S

S Pw G E F A

Pp A

Pw C B

D D

Q1 Q2 Q3 Q Q2 Q1 Q3 Q4 Q

(a) S+/PI (b) S+/PE

Gambar 1. Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen Barang Impor dan Ekspor Sumber : Monke and Pearson (1989)


(23)

55 Gambar 1(a) merupakan gambar subsidi positif yang ditujukan untuk produsen barang impor. Adanya subsidi positif ini menyebabkan output produksi dalam negeri meningkat, sedangkan jumlah impor akan menurun. Hal ini disebabkan barang yang seharusnya diimpor menjadi diproduksi sendiri di dalam negeri. Pada Gambar 1(a) output produksi dalam negeri meningkat dari Q1 menjadi Q2 dan jumlah impor menurun dari Q3-Q1 menjadi Q3-Q2, sedangkan konsumsi tetap pada Q3. Besarnya subsidi per output sebesar (Pp - Pw) pada tingkat output Q2, sehingga transfer total dari pemerintah kepada produsen sebesar Q2 x (Pp - Pw) atau PpABPw. Biaya korbanan jika barang yang seharusnya diimpor menjadi diproduksi sendiri di dalam negeri adalah sebesar Q1CAQ2, sedangkan jika barang tersebut diimpor adalah sebesar Q1CBQ2. Sehingga efesiensi yang hilang dengan adanya subsidi tersebut adalah sebesar CAB.

Gambar 1(b) menunjukkan subsidi untuk produsen barang ekspor. Adanya subsidi dari pemerintah menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar dunia. Harga yang tinggi mengakibatkan output produksi dalam negeri dan jumlah ekspor meningkat yakni dari Q3 ke Q4, sedangkan konsumsi menurun dari Q1 ke Q2. Tingkat subsidi yang diberikan pemerintah adalah sebesar GABH.

3.1.4.2. Kebijakan Input

Kebijakan pemerintah dapat diterapkan pada input asing (Tradable) dan input domestik (Non Tradable). Kebijakan pada kedua input tersebut dapat berupa subsidi positif maupun subsidi negatif atau pajak, sedangkan kebijakan hambatan perdagangan hanya berlaku pada input asing (Tradable) karena input domestik (Non Tradable) hanya diterapkan pada komoditas yang diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri.

a) Kebijakan Input Tradable

Kebijakan pada input Tradable dapat berupa subsidi, pajak, dan hambatan perdagangan. Pengaruh subsidi dan pajak pada input Tradable ditunjukkan pada Gambar 2 berikut ini.


(24)

56

P P

S’ S’

S C S

Pw A C Pw A B

B D D

Q2 Q1 Q Q1 Q2 Q

(a) S-/Pt (b) S+/Pt

Gambar 2. Pajak dan Subsidi pada Input Tradable

Sumber : Monke and Pearson (1989)

Gambar 2(a) menunjukkan pengaruh pajak terhadap input Tradable yang digunakan. Pajak pada input akan menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga output domestik turun, yakni dari Q1 menjadi Q2 dan kurva penawaran (supply) bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang yaitu Q1CAQ2 dengan biaya produksi output sebesar Q2BCQ1.

Gambar 2(b) menunjukkan dampak subsidi pada input Tradable yang digunakan. Adanya subsidi pada input Tradable menyebabkan biaya produksi semakin rendah sehingga produksi meningkat, yakni dari Q1 menjadi Q2 dan kurva penawaran bergeser ke bawah (S’). Efisiensi yang hilang dari produksi adalah sebesar ABC yaitu perbedaan antara biaya produksi yang betambah setelah menigkatnya output dengan peningkatan nilai output.

b) Kebijakan Input Non Tradable

Kebijakan input Non Tradable dapat berupa kebijakan subsidi positif dan subsidi negatif (pajak). Dampak kebijakan subsidi dan pajak pada input Non Tradable dapat dilihat pada gambar 3.


(25)

57

P P

C S S

Pc Pp C

Pd B A Pd A B

Pp E Pc E

D D

Q2 Q1 Q Q1 Q2 Q

(a) S-/Pnt (b) S+/Pnt

Keterangan :

Pd : Harga domestik sebelum diberlakukan subsidi dan pajak Pc : Harga konsumen setelah diberlakukan subsidi dan pajak

Pp : Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan subsidi dan pajak Gambar 3. DampakSubsidi Dan Pajak Pada Input Domestik

Sumber: Monke and Pearson (1989)

Gambar 3(a) menunjukkan dampak pajak pada input Non Tradable, dimana sebelum diberlakukannya kebijakan subsidi tingkat harga keseimbangan yang terjadi berada pada Pd dan dengan tingkat output keseimbangan sebesar Q1. Pajak sebesar Pd-Pp menyebabkan produk yang dihasilkan turun menjadi Q2, begitu juga harga yang diterima produsen turun menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc. Besaran efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen yakni sebesar BEA dan dari konsumen yang hilang sebesar BCA.

Gambar 3(b) menunjukkan dampak subsidi pada input Non Tradable, dimana sebelum diberlakukannya kebijakan subsidi tingkat harga keseimbangan yang terjadi berada pada Pd dan dengan tingkat output keseimbangan sebesar Q1. Adanya subsidi ini akan menyebabkan produksi meningkat dari dari Q1 menjadi Q2. Harga yang diterima produsen akan meningkat menjadi Pp sedangkan harga yang diterima oleh konsumen akan turun menjadi Pc. Efisiensi yang hilang dari produsen sebesar ACB dan dari konsumen sebesar ABE.

3.1.5. Teori Policy Analysis Matrix (PAM)

Penelitian ini menggunakan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM), yaitu matrik yang berfungsi untuk mengetahui daya saing dan dampak kebijakan


(26)

58 pemerintah terhadap suatu komoditi. Metode Policy Analysis Matrix (PAM) dikemukakan oleh Monke dan Pearson pada tahun 1989. Menurut Monke dan Pearson (1989), Metode Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan suatu alat analisis yang digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Empat aktivitas yang terdapat dalam sistem komoditas yang dapat dipengaruhi terdiri dari tingkat usahatani, penyampaian dari usahatani ke pengolah, pengolah, dan pemasaran.

Menurut Indriyati (2007), metode PAM dapat mengidentifikasi tiga analisis, yaitu analisis keuntungan (privat dan sosial), analisis daya saing (keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif), dan analisis dampak kebijakan. Dalam metode PAM terdapat asumsi-asumsi yang digunakan, antara lain :

1) Perhitungan berdasarkan Harga Privat (Privat Cost), yaitu harga yang benar-benar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang benar-benar terjadi setelah adanya kebijakan.

2) Perhitungan berdasarkan Harga Sosial (Sosial Cost) atau Harga Bayangan (Shadow Price), yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau harga yang terjadi apabila tidak ada kebijakan. Pada komoditas yang dapat diperdagangkan (Tradable), harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar internasional.

3) Output bersifat Tradable dan input dapat dipisahkan ke dalam komponen asing (Tradable) dan domestik (Non Tradable).

4) Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan.

Tiga tujuan utama dari metode PAM yakni memungkinkan seseorang untuk menghitung tingkat keuntungan privat atau sebuah ukuran dayasaing usahatani pada tingkat harga pasar atau harga aktual. Sehingga dengan melakukan hal yang sama untuk berbagai sistem usahatani lainnya memungkinkan kita untuk melakukan urutan daya saing pada tingkat harga aktual untuk berbagai sistem usahatani tersebut. Kemudian tujuan kedua dari anallisis PAM ialah menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani, dimana dihasilkan dengan menukar output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (sosial opportunity cost). Tujuan terakhir dari analisis PAM ialah menghitung transfer effect, sebagai dampak dari


(27)

59 sebuah kebijakan. Dengan membandingkan pendapatan dan biaya sebelum dan sesudah penerapan kebijakan kita bisa menentukan dampak dari kebijakan tersebut. Metode PAM menghitung dampak kebijakan yang mempengaruhi output maupun faktor produksi (lahan, tenaga kerja dan modal) (Pearson et al. 2005).

Tabel 5. Matriks Analisis Kebijakan (PAM)

Uraian Penerimaan Output

Biaya Input

Keuntungan Tradable Non Tradable

Harga Privat A B C D

Harga Sosial E F G H

Dampak

Kebijakan I J K L

Sumber : Monke and Pearson, 1989 Keterangan :

A : Penerimaan Privat G : Biaya Input Non Tradable Sosial

B : Biaya Input Tradable Privat H : Keuntungan Sosial

C : Biaya Input Non Tradable Privat I : Transfer Output

D : Keuntungan Privat J : Transfer Input Tradable

E : Penerimaan Sosial K : Transfer Faktor

F : Biaya Input Tradable Sosial L : Transfer Bersih

3.1.5.1. Analisis Keuntungan

1) Keuntungan Privat (PP) PP = D = A - B - C

Secara finansial kegiatan usahatani akan layak untuk diteruskan, jika keuntungan privat lebih besar atau sama dengan nol, sebaliknya bila kurang dari nol maka usahatani tersebut rugi.

2) Keuntungan Sosial (PS) PS = H = E - F - G

Secara ekonomi pengusahaan suatu komoditas layak untuk diteruskan, jika nilai keuntungan sosial lebih dari satu atau sama dengan nol dan jika nilainya kurang dari nol maka kegiatan usahatani tersebut tidak layak untuk diteruskan karena dapat menimbulkan kerugian.


(28)

60 3.1.5.2. Analisis Efisiensi (Keunggulan Komparatif dan Kompetitif)

1) Rasio Biaya Privat (PCR) PCR

Jika PCR memiliki nilai lebih kecil dari satu, maka suatu komoditas akan memiliki keunggulan kompetitif, yang berarti untuk meningkatkan nilai tambah sebesar satu satuan diperlukan tambahan biaya faktor domestik yang dikeluarkan lebih kecil dari satu satuan.

2) Rasio Biaya Sumber Daya (DRC) DRC

Jika DRC memiliki nilai lebih kecil dari satu, maka suatu pengusahaan komoditas tertentu akan memiliki keunggulan komparatif, yang berarti pengusahaan komoditas tersebut memiliki efisiensi secara ekonomi.

3.1.5.3. Dampak Kebijakan Pemerintah

1) Kebijakan Output a) Transfer Output (TO)

TO = I = A - E

Transfer Output menunjukkan kebijakan pemerintah yang diterapkan pada output yang menyebabkan harga output privat dan sosial berbeda. Nilai Transfer Output menunjukkan besarnya intensif masyarakat terhadap produsen. Nilai transfer Output yang positif berarti masyarakat harus membeli dengan harga yang lebih mahal dari harga yang seharusnya dibayarkan dan produsen menerima harga yang lebih besar dari harga yang seharusnya diterima.

b) Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) NPCO


(29)

61 Koefisien Proteksi Output Nominal digunakan untuk mengukur dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output yang diukur dengan harga privat dan sosial. Apabila nilai NPCO lebih kecil dari satu maka menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang menghambat ekspor output yang berupa pajak.

2) Kebijakan Input a) Transfer Input (TI)

TI = J = B - F

Nilai Transfer Input yang positif menunjukkan kebijakan pemerintah pada input tradable menyebabkan keuntungan yang diterima lebih besar dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Nilai TI negatif menunjukkan kebijakan pemerintah keuntungan yang diterima secara finansial llebih kecil dibandingkan tanpa adanya kebijakan.

b) Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI)

NPCI =

Nilai Koefisien Proteksi Input Nominal lebih dari satu menunjukkan adanya proteksi terhadap produsen input, sementara sector yang menggunakan input tersebut akan dirugikan dengan tingginya biaya produksi. Jika nilai NPCI lebih kecil dari satu menunjukkan adanya hambatan ekspor input, sehingga produksi menggunakan input local.

c) Transfer Faktor (TF) TF = K = C - G

Nilai Transfer Faktor menunjukkan besarnya subsidi terhadap input non tradable, dimana jika nilai TF positif maka terdapat subsidi negatif atau pajak pada input non tradable, sedangkan jika TF memiliki nilai negatif maka terdapat subsidi positif pada input non tradable.


(30)

62 3.1.5.4. Kebijakan Input - Output

1) Koefisien Proteksi Efektif (EPC)

EPC =

Nilai Koefisien Proteksi Efektif menunjukkan arah kebijakan pemerintah apakah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. Nilai EPC lebih besar dari satu menunjukkan tingginya proteksi pemerintah dalam sistem produksi suatu komoditas, sedangkan jika nilai EPC kurang dari satu menunjukkan proteksi pemerintah terhadap sistem produksi sangat rendah.

2) Transfer Bersih (TB) TB = L = D – H

Nilai transfer bersih menunjukkan ketidakefisienan dalam sistem produksi. Jika TB memiliki nilai lebih besar dari nol maka nilai tersebut menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang dilakukan pada input dan output. Nilai TB yang lebih kecil dari nol akan menunjukkan keadaan yang sebaliknya.

3) Koefisien Keuntungan (PC) PC =

Nilai koefisien keuntungan menunjukkan dampak kebijakan pemerintah terhadap keuntungan yang diterima oleh produsen. Jika nilai PC kurang dari satu menunjukkan kebijakan pemerintah yang mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen lebih kecil dari pada tanpa adanya kebijakan. Sebaliknya, jika nilai PC lebih dari satu berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima oleh produsen lebih besar.

4) Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP)

SRP =


(31)

63 Nilai SRP kurang dari nol menunjukkan kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih kecil dari biaya imbangan untuk berproduksi. Namun jika nilai SRP lebih dari nol menunjukkan kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produsen lebih besar dari biaya imbangan untuk berproduksi.

3.1.6. Analisis Sensitivitas

Sifat dari metode Policy Analysis Matrix (PAM) yang kaku atau statis, menyebabkan tidak bisa dilakukannya simulasi untuk kemungkinan perubahan-perubahan pada faktor usahatani, misalnya perubahan-perubahan pada variabel-variabel biaya atau penerimaan. Sehingga untuk mereduksi kelemahan dari metode ini maka dilakukanlah analisis sensitivitas.

Analisis sensitivitas merupakan suatu alat dalam menganalisis pengaruh-pengaruh risiko yang ditanggung dan ketidakpastian dalam analisa proyek (Gittinger 1986). Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana hasil dari suatu kegiatan ekonomi apabila terjadi perubahan-perubahan terhadap faktor-faktor dalam perhitungan biaya atau benefit. Menurut Kadariah (1988), analisis sensitivitas dilakukan dengan cara mengubah besarnya variabel-variabel yang penting, masing terpisah atau dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut, dan menentukan dengan berapa suatu unsur harus berubah sampai hasil perhitungan yang membuat proyek tidak dapat diterima.

Pada bidang pertanian, kegiatan ekonomi atau proyek-proyek biasanya sensitif akibat empat masalah utama, yaitu harga, keterlambatan pelaksanaan, kenaikan biaya, dan hasil (Gittinger 1986). Analisis sensitivitas membantu dalam menentukan unsur-unsur sensitif yang berperan dalam menentukan hasil dan proyek. Menurut Yusran (2006), Analisis sensitivitas dilakukan dengan mengubah suatu unsur atau kombinasi unsur kemudian menentukan pengaruh dari perubahan tersebut terhadap hasil analisis. Kelemahan analisis sensitivitas adalah :

1) Analisis sensitivitas tidak digunakan untuk pemilihan proyek, karena merupakan analisis parsial yang hanya mengubah satu parameter pada suatu saat tertentu.


(32)

64 2) Analisis sensitivitas hanya mencatatkan apa yang terjadi jika variabel berubah-ubah dan bukan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Mengacu pada permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis bagaimana pengaruh teknologi terhadap keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif jeruk siam di Kabupaten Garut, serta menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing pengusahaan jeruk siam di Kabupaten Garut.

Tahap pertama dalam penelitian ini adalah menganalisis bagaimana daya saing pada komoditas jeruk siam di Kabupaten Garut. Analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis daya saing adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Melalui hasil PAM tersebut dapat diketahui keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas jeruk siam. Keunggulan kompetitif tercermin dari nilai keuntungan privat (PCR) dan rasio biaya privat sedangkan keunggulan komparatif tercermin dari keuntungan sosial dan rasio biaya sumberdaya domestik (DRC).

Kemudian tahap selanjutnya adalah menaganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas jeruk siam di Kabupaten Garut. Pendekatan yang dilakukan juga melalui Matriks Kebijakan pemerintah (PAM). Pada analisis tersebut akan diketahui kebijakan yang berkaitan dengan input antara lain Transfer Input (TI), Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI), dan Transfer Faktor (TF). Kebijakan output ditunjukkan oleh nilai Transfer Output (OT) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Kebijakan gabungan antara input dan output ditunjukkan oleh nilai Transfer Bersih (TB), Keofisien Proteksi Efektif (EPC), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsisi Produsen (SRP).

Tahap terakhir yang dapat dilakukan adalah melakukan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas perlu dilakukan karena metode PAM hanya memberlakukan satu harga sedangkan harga yang terjadi sebenarnya sangat bervariasi. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat konsistensi kelayakan dari suatu kegiatan ekonomi secara sistematis atau untuk melihat apa yang akan


(33)

65 terjadi pada hasil suatu kegiatan ekonomi apabila terdapat perubahan pada variabel-variabel biaya atau benefit. Analisis sensitivitas dilakukan dengan cara mengubah variabel input output yang berdasarkan asumsi kondisi yang mungkin terjadi di tempat penelitian dan dengan mengubah besaran masing-masing variabel dengan besaran persentase perubahan yang sama. Adapun penetapan skenario yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1)

Pelemahan nilai mata uang rupiah (depresiasi) dan penguatan nilai mata uang rupiah (apresiasi) sebesar lima persen. Depresiasi dan apresiasi sebesar lima persen ditetapkan berdasarkan kondisi fluktuasi kurs mata uang rupiah terhadap mata uang Dollar Amerika pada tahun 2010.

2)

Kenaikan dan penurunan harga jeruk siam sebesar sepuluh persen. Fluktuasi harga jeruk siam ditetapkan berdasarkan kondisi fluktuasi harga yang terjadi di tempat penelitian pada tahun 2010.

3)

Kenaikan harga pupuk bersubsidi ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 32/Permentan/SR.130/4/2010 mengenai kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi, dimana kenaikan harga pupuk urea sebesar 33 persen, pupuk SP-36 sebesar 29 persen dan pupuk ZA sebesar 33 persen.

Skema kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.


(34)

i

Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional

1. Persaingan dengan jeruk siam impor dan peluang ekspor 2. Potensi Kabupaten Garut sebagai sentra produksi Jeruk Siam

3. Peran Pemerintah dalam mengembangkan Jeruk Siam di Kabupaten Garut

Teknologi Modern (Bibit Penangkaran)

Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani Buah Jeruk Siam di Kecamatan

Samarang

PAM

(Policy Analysis Matrix)

Analisis Daya Saing Jeruk Siam Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Analisis Keunggulan Kompetitif (PP, PCR) Analisis Keunggulan Komparatif (SP, DRC) Analisis Kebijakan Input (TI,TF,NPCI) Analisis Kebijakan Output (TO,NPCO) Analaisis Kebijakan Input-Output (TB,EPC,PC,SRP)

Daya Saing Jeruk Siam dan Dampak

Kebijakan Pemerintah

Analisis Sensitivitas

Teknologi Tradisional (Bibit Batang Bawah Sendiri)


(35)

IV

METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat tepatnya di Kecamatan Samarang. Pemilihan lokasi ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Garut merupakan sentra produksi jeruk dan juga sentra produksi jeruk siam di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah produksi jeruk keprok/siam sebesar 10.758,1 Ton dari total produksi jeruk keprok/siam Jawa Barat sebesar 23.732 Ton.

Selanjutnya dipilihnya Kecamatan Samarang sebagai lokasi penelitian karena lokasi tersebut merupakan sentra utama jeruk siam di Kabupaten Garut. Berdasarkan data realisasi luas tanam (sisa tanaman akhir) dan produksi jeruk siam di Kabupaten Garut pada tahun 2010, Kecamatan Samarang merupakan sentra utama jeruk siam terbesar dengan jumlah 148.977 pohon atau 22,48 persen dari luas tanam total di Kabupaten Garut. Selain itu jumlah produksi jeruk siam di Kecamatan Samarang pada tahun 2010 mencapai 3314 Ton atau meliputi 36,09 persen dari total produksijeruk siam di Kabupaten Garut. Penelitian ini dilakukan pada bulan April hingga Mei 2011.

4.2. Metode Penentuan Sampel

Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan pada kelompok tani, petani, pedagang perantara/pengumpul, serta pedagang input-input pertanian. Pengambilan sampel terhadap kelompok tani dilakukan dengan menggunakan metode purposive yaitu metode pengambilan sampel secara sengaja. Metode ini digunakan dengan tujuan untuk mendapatkan responden petani jeruk siam dengan umur tanaman yang diinginkan. Pada Kecamatan Samarang dipilih dua kelompok tani yang masing-masing mewakili desa pengembangan jeruk siam di wilayah yang bersangkutan, yakni kelompok Karya Tani (Desa Cintaasih) dan kelompok Gemar Maju (Desa Sukarasa). Pengambilan sampel terhadap petani juga dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling terhadap anggota kelompok tani yang sudah terpilih sebelumnya dalam kelompok tani. Jumlah


(36)

petani yang yang dibutuhkan untuk menjadi sampel dalam penelitian ini sebanyak 49 orang. Penentuan jumlah tersebut dilakukan untuk memenuhi syarat minimal data statistik yaitu 30 ditambah dengan 10 untuk mengantisipasi adanya error data. Tabel 6 menyajikan sebaran petani sampel di Kecamatan Samarang.

Tabel 6. Sebaran Petani Sampel di Kecamatan Samarang

Desa Jumlah Petani Sampel

Cintaasih 26

Sukarasa 23

Total 49

Penentuan jumlah sampel dan teknik pengambilan data dalam penelitian ini berdasarkan pada Pearson et al. (2004), bahwa data yang diambil untuk PAM bisa dari contoh yang tidak terlampau besar, baik dari segi petani, pedagang, pelaku usaha, maupun pengolahan, karena data yang dimasukkan dalam PAM merupakan modus, bukan parameter yang diestimasi melalui model dengan jumlah contoh yang valid secara statistik. Sehingga penelitian ini dirangsang untuk mengumpulkan lebih banyak informasi baik dari segi aspek maupun kedalaman, dibanding jumlah petani yang diwawancara.

4.3. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder, baik data yang bersifat kualitatif maupun data yang bersifat kuantitatif. Data primer diperoleh melalui wawancara, pengisisan kuesioner serta pengamatan langsung di lapangan. Wawancara dilakukan kepada petani jeruk siam serta beberapa narasumber yang terkait dengan bidang ini. Data sekunder dikumpulkan dari literatur-literatur yang relevan seperti buku, internet, Dinas Pertanian Kabupaten Garut, Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, Departemen Perdagangan, situs resmi departemen terkait, perpustakaan IPB, serta instansi lainnya yang dapat mendukung dan membantu untuk ketersediaan data.


(37)

4.4. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis Policy Analysis Matrix (PAM) dengan pertimbangan bahwa dengan metode ini dapat menjawab tujuan yang ingin dicapai, yaitu dapat diketahui keunggulan kompetitif dan keunggulan komperatif serta dampak kebijakan pemerintah terhadap input dan output pengusahaan jeruk siam di Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan software Microsoft Excell. Diperlukan beberapa langkah pendekatan dalam melakukan analisis daya saing. Adapun tahapan yang dilakukan dalam penyusunan PAM ini antara lain :

1) Penentuan komponen fisik baik faktor input maupun faktor output secara lengkap dari aktivitas ekonomi komoditas jeruk siam selama enam tahun. Data jumlah komponen fisik untuk faktor input dan output merupakan rata-rata dari jumlah sampel yamg diperoleh.

2) Mengklasifikasikan seluruh biaya ke dalam komponen domestik yaitu input yang dihasilkan di pasar domestik dan tidak diperdagangkan secara internasional dan komponen asing, yaitu input yang dapat diperdagangkan di pasar internasional, baik diekspor maupun diimpor.

3) Penentuan harga privat dan penafsiran harga bayangan (sosial) atas input-output.

4) Penyusunan budget privat dan budget sosial yang kemudian dipisahkan ke dalam biaya input asing privat, biaya input asing sosial, biaya input domestik privat dan biaya input domestik sosial.

5) Proses pendiskontoan (discounting) untuk menentukan Net Present Value (NPV) dari masing-masing bagian tersebut, karena menurut Pearson et al. (2004), perhitungan untuk komoditas dengan rentang waktu yang panjang, seperti komoditas jeruk siam memerlukan tabel PAM untuk setiap periode, kemudian menghitung Net Present Value (NPV) seluruh periode tersebut. Proses diskonto (discounting) diperlukan dalam kasus ini karena nilai penerimaan dan biaya yang akan diterima atau dikeluarkan pada masa yang akan datang akan lebih kecil nilainya dibanding nilai pada saat ini. Rumus untuk menghitung NPV penerimaan atau biaya menurut Pearson et al. (2004) adalah sebagai berikut :


(38)

NPV =

∑

Dimana i adalah tingkat suku bunga, Rt adalah penerimaan atau biaya pada tahun ke-t, t adalah period eke- dan x adalah jumlah periode.

6) Kemudian langkah terakhir adalah tabulasi dan analisis indikator-indikator yang dihasilkan tabel PAM.

Selain itu beberapa asumsi yang mendasari penyusunan tabel PAM dalam penelitian ini antara lain :

1) Perhitungan didasarkan pada hasil produksi jeruk siam pada tahun 2010 dengan membedakan penggunaan teknologi pada bibit, yakni teknologi modern (bibit penangkaran) dan teknologi tradisional (bibit batang bawah sendiri).

2) Harga yang terjadi dalam usahatani jeruk siam merupakan harga rata-rata pada tingkat petani.

3) Tingkat kematian tanaman jeruk siam nol persen.

4) Nilai tukar resmi adalah nilai tukar rata-rata yang berlaku pada tahun 2010 yakni sebesar Rp 9.062,12 per US Dollar.

5) Tingkat suku bunga yang digunakan adalah tingkat suku bunga deposito yang berlaku di Bank BRI Cabang Samarang pada tahun 2010, yakni sebesar enam persen per tahun.

Seperti yang diutarakan pada bagian kerangka pemikiran bahwa sifat PAM yang kaku, maka untuk mengatasinya yakni dengan melakukan analisis sensitivitas. Analisis ini dilakuakan untuk mengatasi kelemahan PAM yang dalam analisisnya hanya memberlakukan satu tingkat harga padahal dalam keadaan sebenarnya harga tersebut sangat variatif. Selain itu, analisis ini juga digunakan untuk melihat pengaruh kebijakan pemerintah terhadap kondisi daya saing komoditas jeruk siam di Kabupaten Garut.


(39)

4.5. Metode Pengalokasian Komponen Biaya Domestik (Non Tradable) dan Komponen Biaya Asing (Tradable)

Terdapat dua metode pendekatan dalam pengalokasian biaya ke dalam komponen asing dan domestik, yaitu metode pendekatan langsung (Direct Approach) dan pendekatan total (Total Approach). Metode pendekatan langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input yang dapat diperdagangkan baik impor maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat diperdagangkan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Input non tradable yang berasal dari pasar domestik ditetapkan sebagai komponen biaya domestik dan input asing yang dipergunakan dalam proses produksi dihitung sebagai komponen biaya asing (Monke dan Pearson, 1989).

Sedangkan pendekatan total mengasumsikan setiap biaya input tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing, dan penambahan input tradable dapat dipenuhi dari produksi domestik jika input tersebut memiliki kemungkinan untuk diproduksi di dalam negeri. Pendekatan ini lebih tepat digunakan apabila produsen lokal dilindungi sehingga tambahan input didatangkan dari produsen lokal atau pasar domestik (Monke dan Pearson, 1989). Sehingga pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan total karena dianggap tepat untuk digunakan dalam menganalisis dampak kebijakan dan memperkirakan biaya ekonomi (biaya sosial) dalam analisis keunggulan komparatif.

4.5.1. Alokasi Biaya Produksi

Biaya produksi merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan secara tunai maupun secara diperhitungkan untuk menghasilkan suatu produk akhir yang siap dipasarkan maupun dikonsumsi. Penentuan alokasi biaya produksi kedalam komponen domestik dan asing berdasarkan atas jenis input, penilaian biaya input asing dan domestik dalam biaya total input. Alokasi biaya produksi atas komponen domestik dan asing dapat dilihat pada Tabel 7.


(40)

Tabel 7. Alokasi Biaya Produksi ke dalam Komponen Domestik dan Asing pada Sistem Komoditas Jeruk Siam di Lokasi Penelitian, Tahun 2010

No. Jenis Biaya Domestik (%) Asing (%)

1 Bibit Jeruk Siam 100,00 0,00

2 Pupuk Urea* 95,00 5,00

3 Pupuk SP-36* 95,00 5,00

4 Pupuk KCL* 95,00 5,00

5 Pupuk ZK* 95,00 5,00

6 Pupuk ZA* 95,00 5,00

7 Pupuk Organik 100,00 0,00

8 Pestisida** 0,00 100,00

9 Tenaga Kerja 100,00 0,00

10 Penyusutan Peralatan 100,00 0,00

11 Bunga Modal 100,00 0,00

12 Sewa Lahan 100,00 0,00

13 PBB 100,00 0,00

Keterangan :

* Tabel Input-Output (BPS) dalam Nuryanti (2010)

** Tabel Input-Output (BPS) dalam Novianti (2003)

Data pada Tabel 7, menunjukkan bahwa input produksi yang tidak mengandung komponen asing dalam usahatani jeruk siam dalam penelitian ini adalah bibit, pupuk organik, pestisida, tenaga kerja, penyusutan peralatan, bunga modal, sewa lahan dan PBB. Sedangkan input produksi yang mengandung komponen asing (tradable) yang digunakan dalam penelitian ini adalah pupuk anorganik dan pestisida.

4.6. Penentuan Harga Bayangan Input dan Output

Menurut Gittinger (1986), penggunaan harga pasar dalam melakukan analisis ekonomi seringkali tidak menggambarkan opportunity cost-nya. Oleh karena itu, setiap input dan output yang digunakan dalam analisis ekonomi harus disesuaikan terlebih dahulu dengan tingkat harga sosial. Harga sosial atau harga bayangan adalah harga yang terjadi dalam suatu perekonomian apabila pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna dan dalam kondisi keseimbangan.


(1)

Lampiran 17. Policy Analysis Matrix Sistem Komoditas Jeruk Siam Teknologi Tradisional (Bibit Batang Bawah Sendiri)

Uraian Penerimaan Output

Biaya

Keuntungan Input

Tradable

Faktor Domestik

Harga Privat 224.175.450,95 43.504.203,43 144.692.509,52 35.978.738,00 Harga Sosial 241.229.084,71 43.838.143,03 147.082.752,75 50.308.188,94 Efek Divergensi (17.053.633,76) (333.939,60) (2.390.243,23) (14.329.450,93)

Keunggulan Kompetitif

1. Keuntungan Privat (PP) 35.978.738,00

2. Rasio Biaya Privat (PCR) 0,80

Keunggulan Komparatif

1. Keuntungan Sosial (PS) 50.308.188,94

2. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) 0,75

Kebijakan Output

1. Transfer Output (TO) (17.053.633,76)

2. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) 0,93

Kebijakan Input

1. Transfer Input (TI) (333.939,60)

2. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 0,99

3. Transfer Faktor (TF) (2.390.243,23)

Kebijakan Input-Output

1. Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 0,92

2. Transfer Bersih (TB) (14.329.450,93)

3. Koefisien Keuntungan (PC) 072


(2)

Lampiran 18. Policy Analysis Matrix Sistem Komoditas Jeruk Siam di Kecamatan Samarang dalam Analisis Sensitivitas (Rp/Ha) a) Bila Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika yang Melemah Sebesar

Lima Persen, Ceteris Paribus

Uraian Penerimaan Output Biaya Keuntungan

Input Tradable Faktor Domestik

Teknologi Modern (Bibit Penangkaran)

Harga Privat 263.844.112,11 39.961.668,05 187.353.946,41 36.528.497,64 Harga Sosial 300.221.968,52 40.302.852,34 173.690.018,08 86.229.098,10 Efek Divergensi (36.377.856,42) (341.184,28) 13.663.928,33 (49.700.600,46)

Teknologi Tradisional (Bibit Batang Bawah Sendiri)

Harga Privat 224.175.450,95 43.504.203,43 144.692.509,52 35.978.738,00 Harga Sosial 255.083.938,17 43.873.591,57 147.798.813,32 63.411.533,28 Efek Divergensi (30.908.487,22) (369.388,14) (3.106.303,80) (27.432.795,27)

b) Bila Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika yang Menguat Sebesar Lima Persen, Ceteris Paribus

Uraian Penerimaan Output Biaya Keuntungan

Input Tradable Faktor Domestik

Teknologi Modern (Bibit Penangkaran)

Harga Privat 263.844.112,11 39.961.668,05 187.353.946,41 36.528.497,64 Harga Sosial 267.608.928,22 40.237.120,85 172.441.119,88 54.930.687,49 Efek Divergensi (3.764.816,11) (275.452,80) 14.912.826,53 (18.402.189,85)

Teknologi Tradisional (Bibit Batang Bawah Sendiri)

Harga Privat 224.175.450,95 43.504.203,43 144.692.509,52 35.978.738,00 Harga Sosial 227.374.231,26 43.802.694,49 146.366.692,18 37.204.844,60 Efek Divergensi (3.198.780,31) (298.491,06) (1.674.182,66) (1.226.106,59)


(3)

Lampiran 18. Lanjutan

c) Bila Harga Jeruk Siam Domestik Meningkat Sebesar 10 Persen, Ceteris Paribus

Uraian Penerimaan Output Biaya Keuntungan Input Tradable Faktor Domestik

Teknologi Modern (Bibit Penangkaran)

Harga Privat 290.228.523,32 39.961.668,05 187.353.946,41 62.912.908,85 Harga Sosial 283.915.448,37 40.269.986,59 173.065.568,98 70.579.892,80 Efek Divergensi 6.313.074,94 (308.318,54) 14.288.377,43 (7.666.983,94)

Teknologi Tradisional (Bibit Batang Bawah Sendiri)

Harga Privat 246.592.996,05 43.504.203,43 144.692.509,52 58.396.283,10 Harga Sosial 241.229.084,71 43.838.143,03 147.082.752,75 50.308.188,94 Efek Divergensi 5.363.911,33 (333.939,60) (2.390.243,23) 8.088.094,16

d) Bila Harga Jeruk Siam Domestik Menurun Sebesar 10 Persen, Ceteris Paribus

Uraian Penerimaan Output Biaya Keuntungan

Input Tradable Faktor Domestik

Teknologi Modern (Bibit Penangkaran)

Harga Privat 237.459.700,90 39.961.668,05 187.353.946,41 10.144.086,43 Harga Sosial 283.915.448,37 40.269.986,59 173.065.568,98 70.579.892,80 Efek Divergensi (46.455.747,48) (308.318,54) 14.288.377,43 (60.435.806,36)

Teknologi Tradisional (Bibit Batang Bawah Sendiri)

Harga Privat 201.757.905,86 43.504.203,43 144.692.509,52 13.561.192,91 Harga Sosial 241.229.084,71 43.838.143,03 147.082.752,75 50.308.188,94 Efek Divergensi (39.471.178,86) (333.939,60) (2.390.243,23) (36.746.996,03)


(4)

Lampiran 18. Lanjutan

e) Bila Terjadi Kenaikan Harga Pupuk Urea Sebesar 33 Persen, Pupuk SP-36 Sebesar 29 Persen dan Pupuk ZA Sebesar 33 Persen, Ceteris Paribus

Uraian Penerimaan Output Biaya Keuntungan

Input Tradable Faktor Domestik

Teknologi Modern (Bibit Penangkaran)

Harga Privat 263.844.112,11 40.041.915,93 188.974.953,44 34.827.242,74 Harga Sosial 283.915.448,37 40.269.986,59 173.065.568,98 70.579.892,80 Efek Divergensi (20.071.336,27) (228.070,67) 15.909.384,45 (35.752.650,05)

Teknologi Tradisional (Bibit Batang Bawah Sendiri)

Harga Privat 224.175.450,95 43.586.778,95 144.948.493,64 35.640.178,35 Harga Sosial 241.229.084,71 43.838.143,03 147.082.752,75 50.308.188,94 Efek Divergensi (17.053.633,76) (251.364,08) (2.134.259,10) (14.668.010,59)


(5)

18 RINGKASAN

OKKY PANDU DEWANATA. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Jeruk Siam di Kabupaten Garut (Studi Kasus : Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan NUNUNG KUSNADI)

Jeruk siam merupakan komoditas buah yang cukup terkenal dan digemari bagi masyarakat Indonesia. Hal ini dibuktikan berdasarkan Data Badan Pusat Statistika (2010) yang menunjukkan bahwa adanya peningkatan konsumsi akan jeruk siam dalam masyarakat. Namun, peningkatan konsumsi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan akan produksi jeruk siam. Hal tersebut akan memicu pemerintah untuk mengimpor jeruk siam guna memenuhi kebutuhan konsumsi jeruk siam di Indonesia. Hal ini dapat menjadi peluang bagi Kabupaten Garut sebagai salah satu sentra produksi jeruk siam di Indonesia untuk memenuhi dan mensubstitusi jeruk impor tersebut.

Pemerintah Kabupaten Garut menganjurkan bagi produsen jeruk siam untuk menggunaan bibit jeruk siam yang berasal dari penangkar dengan tujuan untuk meningkatkan produksi, kualitas dan daya tahan terhadap penyakit. Namun, pada kenyataanya masih terdapat petani jeruk siam yang menggunakan bibit dengan batang bawah hasil tebasan tanaman jeruk siam yang tidak produktif lagi. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan pengusahaan jeruk siam dalam bentuk teknologi penggunaan bibit pada pengusahaan jeruk siam di Kabupaten Garut. Maka menjadi pertanyaan bentuk pengusahaan jeruk siam mana yang unggul secara komparatif dan kompetitif. Berdasarkan fakta tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah 1) Menganalisis pengaruh teknologi terhadap keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif Jeruk Siam di Kabupaten Garut, 2) Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing pengusahaan Jeruk Siam di Kabupaten Garut, dan 3) Menganalisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif Jeruk Siam apabila terdapat perubahan nilai tukar rupiah, harga jeruk siam domestik dan kenaikan harga pupuk di Kabupaten Garut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Policy Analysis Matrix (PAM), dengan pertimbangan bahwa dengan metode ini dapat menjawab tujuan yang ingin dicapai, yaitu dapat diketahui keunggulan kompetitif dan keunggulan komperatif serta dampak kebijakan pemerintah terhadap suatu komoditas.

Daya saing komoditas jeruk siam dapat dilihat dari analisis keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatifnya. Berdasarkan hasil analisis diketahui nilai Rasio Biaya Privat (PCR) pengusahaan jeruk siam yang diperoleh dengan teknologi modern (0,84) lebih tinggi daripada nilai PCR yang diperoleh dengan teknologi tradisional (0,80). Hal ini mengindikasikan bahwa komoditas jeruk siam dengan teknologi tradisional memiliki keunggulan kompetitif lebih besar dibandingkan komoditas jeruk siam dengan teknologi modern. Sedangkan nilai Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) pengusahaan jeruk siam yang diperoleh dengan teknologi modern (0,71) lebih rendah daripada nilai DRC yang diperoleh dengan teknologi tradisional (0,75). Hal ini mengindikasikan bahwa komoditas jeruk siam dengan teknologi modern memiliki keunggulan komparatif lebih besar dibandingkan dengan komoditas jeruk siam teknologi tradisional.


(6)

19

Dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan komoditas jeruk siam di Kabupaten Garut secara keseluruhan dapat dilihat dari nilai Koefisien Proteksi Efektif (Effective Protection Coefficient/EPC), Koefisien Keuntungan (Profitability Coefficient/PC), Transfer Bersih (TB), dan Rasio Subsidi Produsen (SRP). Berdasarkan nilai EPC yang kurang dari satu menunjukkan proteksi pemerintah terhadap sistem produksi sangat rendah. Petani responden tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah sehingga harga jeruk siam yang berlaku di Kecamatan Samarang (Rp 5000,00 per kilogram) berada di bawah harga efisiennya (Rp 5.380,36 per kilogram). Nilai TB yang negatif menunjukkan bahwa dampak kebijakan pemerintah terhadap input dan output yang berlaku menyebabkan kehilangan keuntungan. Nilai PC yang kurang dari satu mengindikasikan kebijakan pemerintah yang ada mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen jeruk siam lebih kecil dari pada tanpa adanya kebijakan. Nilai SRP yang negatif menggambarkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen jeruk siam baik teknologi modern maupun teknologi tradisional mengeluarkan biaya lebih tinggi dari opportunity cost untuk berproduksi. Secara keseluruhan kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini masih belum mendukung dalam hal pengembangan dan peningkatan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif pengusahaan komoditas jeruk siam di Kabupaten Garut.

Analisis sensitivitas dilakukan untuk mensubstitusi kelemahan metode Policy Analysis Matrix yang hanya memberlakukan satu tingkat harga padahal dalam keadaan sebenarnya harga tersebut sangat variatif. Berdasarkan hasil analisis, perubahan nilai tukar rupiah, harga jeruk siam, dan harga pupuk bersubsidi, memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap pengusahaan jeruk siam modern dibandingkan pengusahaan jeruk siam tradisional. Artinya pengusahaan jeruk siam modern akan mengalami peningkatan keuntungan yang besar jika terjadi perubahan dimana nilai tukar rupiah melemah, harga jeruk siam meningkat dan harga pupuk bersubsidi menurun. Namun disisi lain, pengusahaan jeruk siam modern juga akan mengalami penurunan keuntungan yang besar jika terjadi perubahan dimana nilai tukar rupiah menguat, harga jeruk siam menurun dan harga pupuk bersubsidi meningkat. Hal sebaliknya dialami pada pengusahaan jeruk siam tradisional, dimana jika terjadi perubahan pada nilai tukar rupiah, harga jeruk siam, dan harga pupuk bersubsidi tidak memberikan keuntungan dan kerugian yang terlampau besar.