Syaithân ( ﻥﺎﻄﻴﺷ )

1. Syaithân ( ﻥﺎﻄﻴﺷ )

al-Qur'an menjelaskan bahwa salah satu klasifikasi dari syaithân di

antaranya adalah thâghût . Lafazd syaithân bentuk jamaknya adalah ﲔﻃﺎﻴـﺷ

(syayâthîn) , yang berarti sesat karena dia menjauh dari segala bentuk kebenaran dan kebaikan atau menjauh dari rahmat Allah swt. Yang jelas

lafadz ini selalu digunakan untuk menunjukkan makhluk yang membangkang atau yang melampaui batas akan perintah Allah swt dan mengajak kepada kedurhakaan, baik itu berupa sesuatu yang tercela,

manusia maupun jin. 22

Kekufuran, kedurhakaan, pembangkangan serta kesewenang- wenangan dilukiskan dengan thughyân . Syaithân dinamakan juga dengan thâghût , karena ia telah mencapai puncak kekufuran dan pembangkangan

terhadap Allah swt. Sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur'an : 23

" Allah swt merupakan Pelindung bagi setiap orang-orang yang beriman; Dia telah mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (keimanan). Dan

21 Fakhru al-Dîn al-Râzî, Tafsîr al-Kabîr, Jilid. 5, h. 133; Wahbah Zuhailî, Tafsîr al-

M unîr , Jilid. 13, h. 128 22 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-M ishbah , (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Jilid. 12,

h. 41

23 Muhammad Quraish Shihab, Yang tersembuny i Jin, Iblis, Syaithân dan M alaikat

dalam al-Qur'an, al-Sunnah serta wacana pemikiran ulama masa lalu dan masa kini , (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 73 dalam al-Qur'an, al-Sunnah serta wacana pemikiran ulama masa lalu dan masa kini , (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 73

Thâghût yang berwujud ( syaithân ) ini senantiasa selalu menyeru ibadah kepada selain Allah swt. Dalilnya firman Allah swt yang bermaksud :

" Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaithân? Sesungguhnya syaithân tersebut merupakan musuh yang nyata bagi kamu." (QS. Yâsin/36: 60)

Quraish Shihab dalam tafsirnya, mengutip pendapat pakar tafsir al- Biqa'i, bahwa lafadz ini dapat berarti juga lambang dari puncak keburukan

dan kejahatan. 24 Karena keburukan syaithân serta segala apa yang

berhubungan dengannya diyakini oleh jiwa kita sebagai sesuatu yang merupakan keburukan murni, tanpa sedikit kebaikan.

Penamaan orang-orang durhaka atau pemimpin-pemimpin kaum munafik dengan syaithân untuk menggambarkan akan kedurhakaan mereka yang telah mencapai puncak tertinggi dari mana pun, sehingga kedurhakaan tersebut tidak terbatas pada diri mereka saja, tetapi telah menyentuh pada

orang lain. 25 Syaithân senantiasa selalu mengajak kepada mendurhakai Allah swt dan selalu menyeru kepada perpecahan antar para hamba serta putusnya tali kebenaran dengan mereka. Tiada satu kejahatan maupun keburukan di

24 Shihab, Tafsir al-M ishbah , Jilid. 1, h. 106 25 Shihab, Tafsir al-M ishbah , Jilid. 1, h. 107 24 Shihab, Tafsir al-M ishbah , Jilid. 1, h. 106 25 Shihab, Tafsir al-M ishbah , Jilid. 1, h. 107

" Demi Allah! Sesungguhnya kami juga telah mengutus Rasul-rasul kepada umat- umat terdahulu daripadamu (wahai Muhammad saw), lalu syaithân memperelokkan

pada pandangan mereka yang ingkar akan amal-amal mereka yang jahat itu; maka dia-lah menjadi pemimpin mereka pada hari ini; dan mereka akan beroleh azab siksa yang tiada terperi sakitnya." (QS. al-Nahl/16: 63)

2. Penguasa yang zhalim dalam berkuasa (Tirani). Kewajiban rakyat bila penguasa memberikan perintah yang tidak bertentangan dengan perintah Allah swt dan Rasul-Nya adalah mematuhi dan mentaati. Karenanya, kita harus memperhatikan ketika melaksanakan segala yang diperintahkan penguasa, dengan itu berarti kita telah menghamba kepada Allah swt, sehingga kita melaksanakan perintah itu dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Firman Allah swt dalam al-Qur'an :

" Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah swt dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri diantara kamu." (QS. al-Nisâ'/4: 59)

Sesungguhnya ketaatan itu hanya dibenarkan pada hal yang ma’ruf atau dalam hal yang dibenarkan syari’at, karena taat kepada Allah swt harus

didahulukan dari ketaatan lainnya. Jika seseorang mentaati penguasa dalam bermaksiat terhadap Allah swt, berarti ia dapat digolongkan sebagai orang-

orang yang telah melampaui batas. 26

Karena Allah swt telah menjadikan “ ketaatan terhadap penguasa” penyerta ketaatan terhadap Allah swt dan Rasul-Nya. Sebagaimana yang

difahami dari makna firman Allah swt di atas, Allah swt tidak menyebutkan " dan taatilah Ulil Amri" , ini berarti bahwa ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri tapi mengikut pada ketaatan terhadap Allah swt dan Rasul- Nya. Sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur'an :

" Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat, di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang- orang Yahudi oleh nabi-nabi yang berserah diri kepada Allah swt, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kalian takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan, janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah swt, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. al-Mâidah/5: 44)

26 Muhammad Syahrur, Dirâsâh Islâmiy yah Mu'âshirah fî al-Daulah wa al-M ujtama' , Terj. Saifuddin Zuhri Qudsy, dkk, Tirani Islam; Genealogi M asyarakat dan Negara ,

(Yogyakarta: Lkis, 2003), h. 428-429

Setiap hukum syari'at yang telah termaktub dalam al-Qur'an merupakan syari'at Allah swt. Ia harus dijadikan tauladan dan diamalkan.

Dalam mengamalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syari'at, tidak ada keistimewaan bagi siapa pun, baik kalangan orang yang memegang kekuasaan, orang mukmin, hakim, masyarakat dan perorangan, karena Ia

merupakan kitab hidayah, kebajikan, kemaslahatan dan tuntunan. 27 Banyak ayat yang menyerukan untuk berpegang teguh pada al-

Qur'an dalam hal akidah, syari'ah , etika berbudi pekerti dan berperangai (bersikap). Ayat pertama dalam surat al-Baqarah merupakan kunci amalan dan dasar kebajikan, firman Allah swt dalam al-Qur'an :

" Alif Lâm Mîm. Kitab (al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yang yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan merekalah orng-orang yang beruntung." (QS. al- Baqarah/2: 1-5)

27 Adapun tujuan menafsirkan al-Qur'an diantaranya : 1. memperbaiki aspek keyakinan umat Islam dan mengajarkannya dengan akidah-akidah yang benar, 2. membina akhlak, 3.

menggelarkan hukum syar'i , 4. mengkonstruksi kehidupan sosial dalam bingkai keumatan, 5. mengisahkan dan melaporkan kehidupan umat-umat terdahulu, 6. mengajarkan nilai-nilai Qur'ani yang relevan dengan konteks masyarakat seiring dengan perkembangan zaman yang dilaluinya, 7. menyampaikan nasihat, 8. serta membuktikan kemukjizatan al-Qur'an; lihat Khalid Abdurrahman al-'Akk, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ'iduhu , (Beirût: Dâr al-Nukhais, 1986),

h. 64-65 h. 64-65

ketajaman perasaan panca indranya, menjelaskan kepada umat manusia bahwa al-Qur'an merupakan hidayah dan pertolongan bagi manusia yang mengikutinya. Ia menjadi cahaya dan rahmat bagi manusia yang teguh dalam menjalankan petunjuknya. Sebagaimana firman Allah swt dalam al- Qur'an :

" Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah swt, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah swt menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhoan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah swt mengeluarkan orang-orang itu dari kegelapan kepada cahaya keimanan dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." (QS. al-Mâidah/5: 15-16)

Apabila perasaan orang yang beriman tidak responsif terhadap gejala sosial di sekelilingnya maka seruan al-Qur'an merupakan kewajiban yang harus diikuti, sebagai peringatan dan ketetapan yang baku. Sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur'an :

" Dan taatlah kamu kepada al-Qur'an dan taatlah kamu kepada Rasul-Nya dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah swt) dengan terang." (QS. al-Mâidah/5: 92)

Ketaatan itu menunjukkan dasar kemurnian iman seseorang dan sebagai indikator bahwa orang tersebut benar-benar beriman. Apabila hati

seseorang mengaku beriman, namun tidak taat kepada perintah-perintah Tuhannya maka ia telah berdusta pada iman yang diyakininya, dan telah melanggar terhadap ketetapan hukum Ilahi dan syari'at ketuhanan.

Dalam hal ketaatan tersebut, Nabi Muhammad saw memperkokoh perintah ayat di atas melalui hadits-nya :

" Bersumber dari Malik, ia mendengar Rasulullah saw bersabda : " Kepadamu kutinggal dua perkara, tidak ada kesesatan sepanjang kamu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah Rasul-Nya (HR. Imam

Malik)."

Apabila kita hendak memperbaiki diri dan kita membandingkan syari'at al-Qur'an dengan syari'at yang diberlakukan pada masa Nabi Mûsa as dan Nabi Isa as, maka kita akan mendapati semua anugerah terdahulu telah termaktub dalam al-Qur'an. al-Qur'an merupakan syari'at Allah swt yang wajib bagi hamba-hamba-Nya untuk dijadikan pegangan hidup, Allah swt menurunkan wahyu kepada Rasulullah saw bertujuan untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Ia merupakan sosok panutan yang sesuai dengan peraturan hukum bagi setiap individu dalam menjalin

28 CD. al-Kitâb al-Tis'ah wa Syurûhuhâ, diriwayatkan oleh Imam Malik ibn Anas, dalam al-Muwaththa' , Kitab al-Jâmi', Bab larangan memastikan Takdir, No. Hadits 1395 28 CD. al-Kitâb al-Tis'ah wa Syurûhuhâ, diriwayatkan oleh Imam Malik ibn Anas, dalam al-Muwaththa' , Kitab al-Jâmi', Bab larangan memastikan Takdir, No. Hadits 1395

ekonomi dan sebagainya. 29

Sedangkan bagi mereka yang mengaku mengikuti syari'at lain selain syari'at Allah swt, atau lebih condong mempraktikkan hukum dan landasan pikiran yang bukan berasal dari syari'at Allah swt maka perbuatan mereka tersebut amatlah tercela, karena upaya mempraktikkan selain syari'at Allah swt sama saja dengan kembali kepada hukum thâghût (suatu ketentuan hukum yang dibuat oleh manusia dengan tidak mengikuti ketentuan yang

telah digariskan oleh Allah swt), perilaku syaithân , dan jahiliyah . 30

Sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur'an : ( ٥٠ : ﺓﺪﺋﺎﳌﺍ ) ﹶﻥﻮﻨِﻗﻮﻳ ٍﻡﻮﹶﻘ ﱢﻟ ﺎﻤﹾﻜﺣ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ﻦِﻣ ﻦﺴﺣﹶﺃ ﻦﻣﻭ ﹶﻥﻮﻐﺒﻳ ِﺔﻴِﻠِﻫﺎ ﺠﹾﻟﺍ ﻢﹾﻜﺤﹶﻓﹶﺃ

" Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (hukum) Allah swt bagi orang-orang yang yakin." (QS. al-Mâidah/5:

50) Allah menolak iman mereka yang bertahkim kepada selain syari'at Islam dalam segala aspek kehidupan, firman Allah swt dalam al-Qur'an :

" Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman sehingga mereka bertahkim kepadamu (Muhammad saw) terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuh hati." (QS. al-Nisa'/4: 65)

29 Yûsuf al-Qardhâwî, M in Fiqh al-Daulah fî al-Islâm; M akânatuhâ, M a'âlimuhâ, Thabî'atahâ, M auqifuhâ min al-Dîmaqrâtiyah wa al-Ta'addudiy ah wa M ar'ah wa Ghair al-

M uslimîn , Terj. Syafril Halim, Fiqh Negara , (Jakarta: Robbani Press, 1997), h. 144

30 al-Maudûdî, Towards Understanding the Q ur'ân , Jilid. 1, h. 205

Maka menjadikan syari'at Islam sebagai satu-satunya hukum merupakan

konsekwensi logis dari keimanan yang murni. 31

3. Kâhin Kâhin (perdukunan) juga termasuk ke dalam kategorisasi thâghût , di mana pelakuknya sering disebut dengan kahin yaitu orang yang dapat meramal sesuatu yang ghaib dan menceritakannya. al-Kâhin juga sering disebut dengan al-Arrâf ( tukang ramal) atau orang yang meramal dengan melempar batu ( al-Munajjimun ) ahli nujum atau orang yang mengurus

perkara orang lain dan berusaha memenuhi kebutuhannya. 32 Kâhin ini tidaklah datang kecuali hanya membawa segala macam berita kebohongan yang besar belaka dan tiada arti sama sekali, yang mana tujuannya tidak lain hanyalah untuk menyebarkan segala bentuk tindakan kezaliman dan kebatilan bagi seluruh umat manusia yang ada di muka bumi ini. Maka barang siapa yang diberi amanah kekuasaan dalam suatu wilayah, wajiblah baginya untuk selalu mencegah segala bentuk dari perbuatan yang cenderung mengarah pada perbuatan tersebut.

Para kâhin ini hendaklah diberantas hingga ke akar-akarnya, supaya seluruh umat manusia yang ada di muka bumi ini selamat dari segala

31 Abdul Karîm Zaidân, al-Sunnan al-Ilâhiy ah fî al-Umam wa al-Jamâ'ât wa al-Afrâd

fî al-Syarî'ah al-Islâmiy ah , (Beirût: Mu'assasah al-Risâlah, 1998), h. 194

32 Yusuf Qardhawi, M auqif al-Islam min al-Ilham wa al-Kasy f wa al-Ru'ya wa min

al-Tamaim wa al-Riqa , (Kairo: Maktabah Wahbah, 1994), h. 251.

bentuk tindakan kemusyrikan, kezaliman dan kekufuran. Sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur'an :

" Sesungguhnya aku adalah Tuhan selain Allah swt. Maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang- orang zalim." (QS. al-Anbiya'/21: 29)

Ajaran agama Islam telah menekankan bahwa sesuatu yang gaib tersebut merupakan perkara yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah

swt. Tidak seorangpun dari makhluk ciptaannya yang mengetahui tentang hal-hal tersebut, karena merupakan hak prerogatif Allah swt. Di dalam al- Quran banyak sekali ayat-ayat yang menerangkan tentang perkara tersebut, seperti firman-Nya:

“ Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) ” (QS. al-An’am/6: 59)

Ayat di atas dengan jelas menerangkan bahwa perkara ghaib tidak mungkin dapat diketahui oleh setiap makhluk-Nya termasuk para kâhin atau ahli nujum. Nabi Muhammad saw, sendiri pun mengakui dirinya yang tidak mampu mengetahui perkara yang ghaib itu. Allah swt berfirman :

“ Katakanlah: " Aku tidak berkuasa menarik kemanfa`atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah swt. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman" . (QS. al- A’raf/7: 188)

Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw melarang semua hambanya untuk mendekati para kâhin apalagi mempercayai segala bentuknya dari ramalannya tersebut. Bahkan Nabi Muhammad saw, menggolongkan perbuatan mereka itu kepada tindak kekufuran terhadap segala apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Sebagaimana Rasulullah saw dalam haditsnya :

Dari Abi Hurairah dan al-Hasan mengatakan, bahwa Rasulullah saw bersabda : " Barang siapa mendatangi tukang ramal atau dukun kemudian membenarkan segala apa yang dikatakannya, maka orang tersebut telah digolongkan dengan kufur terhadap apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. (HR. Imam Ahmad)

4. Sahir (Ahli Sihir) Termasuk dalam klasifikasi thâghût juga adalah para tukang sihir atau dikenal dengan istilah ( Sahir ). Sihir secara bahasa dapat diartikan sebagai upaya memperlihatkan suatu kebathilan agar terlihat seperti benar adanya. 34

33 CD. al-Kitâb al-Tis'ah wa Syurûhuhâ , diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dalam Musnad Imam Ahmad , Kitâb Bâqî Musnad al-Mukatstsirîn , Bab Bâqî Musnad al-Sâbiqi , No. Hadits. 9171

34 Lous Makluf, al-M unjîd fîal-Lughah wa al-I’lâm , (Beirût: Dâr al-Masyrîq, tth), h. 323

Sedangkan secara terminologi sihir adalah jampi-jampi dan tangkal- tangkal (penolak bala) yang senantiasa dipergunakan untuk memalingkan

hati seseorang atau secara tidak langsung dapat merusak dan mengubah jasadnya, sehingga seseorang dapat bercerai dari suaminya, sakit dan

sebagainya. 35 al-Quran telah mengakui bahwasanya sihir itu bersifat ada, sebagaimana firman Allah swt dalam al-Quran :

“ Tidakkah engkau perhatikan (dan merasa pelik wahai Muhammad saw) kepada orang-orang yang telah diberikan sebahagian dari Kitab (Taurat)? Mereka percaya kepada benda-benda yang disembah selain dari Allah swt, dan kepada thâghût, dan mereka pula berkata kepada orang-orang kafir (kaum musyrik di Makkah) bahawa mereka (kaum musyrik itu) lebih benar jalan agamanya daripada orang-orang yang beriman (kepada Nabi Muhammad saw)” .(QS. al-Nisa'/4: 51)

Umar bin al-Khattab menjelaskan sebagaimana dikutip oleh al- Thabari dalam tafsirnya mengatakan; bahwasanya yang dimaksud dengan al-Jibt adalah sihir, sedangkan thâghût berarti syaithân . 36 Dalam ayat lain Allah swt menjelaskan tentang sihir dalam pembicaraan antara Musa as, dan para ahli sihir :

35 Muhammad bin Abdul Wahhab, (Terj. Bey Arifin, dkk), Bersihkan Tauhid anda dari

Noda Sy irk , (Surabaya: Bina Ilmu, 1982), h. 79 36 al-Thabarî, Ibn Jarîr, Jâmî' al-Bayân 'an Ta'wîl Âyat al-Qur'ân , (Kairo: Dâr al-Ma'ârif,

1966 ) Jilid 3, h. 47

ﺍﹶﺫِﺈـﹶﻓ ﻙﺎﺼﻋ ِﻖﹾﻟﹶﺃ ﹾﻥﹶﺃ ﻰﺳﻮﻣ ﻰﹶﻟِﺇ ﺂ ﻨﻴﺣﻭﹶﺃﻭ ( ١١ ٦ ) ٍﻢﻴِﻈﻋ ٍﺮﺤِﺴِﺑ ﻭ ﺂُﺀ ﻢﻫﻮﺒﻫﺮﺘﺳﺍﻭ ِﺱﺎﻨﻟ ﺍ ﻦﻴﻋﹶﺃ ( ١١ ٧ - ١١ ٥ : ﻑ ﺍﺮﻋﻷﺍ ) ﹶﻥﻮﹸﻜِﻓﹾﺄﻳ ﺎﻣ ﻒﹶﻘﹾﻠﺗ ﻰ ِﻫ

" Ahli-ahli sihir berkata: " Hai Musa as, kamukah yang akan melemparkan lebih dahulu, ataukah kami yang akan melemparkan? " kemudian Musa as, menjawab: " Lemparkanlah (lebih dahulu)!" Maka tatkala mereka melemparkan, mereka

menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (mena`jubkan). Dan kami wahyukan kepada Musa as

: " Lemparkanlah tongkatmu!" Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan” . (QS.al-A’raf/7: 115-117)

Melakukan sihir termasuk dalam perbuatan yang tidak di ridhoi oleh Allah swt, karena sihir itu sendiri telah mengandung suatu bentuk

kemusyrikan dan di dalamnya terdapat berbagai pelanggaran-pelanggaran pada aqidah serta adanya campur tangan syaithân . Oleh karenanya ahli sihir juga dapat diklasifikasikan dalam bagian thâghût . Tingkat ketidak ridho-an Allah swt pada sihir ini amatlah berat karena ia termasuk dalam salah satu bagian dari dosa besar.

Bagi mereka yang tergolong dalam bagian kâhin serta ahli sihir ini, sudah tentu tergolong pada perkara pengrusak yang dapat membinasakan setiap orang yang mengerjakannya di dunia dan menyebabkan azab (siksa) di akhirat kelak. Oleh karenanya Rasulullah saw mensejajarkan mereka dan segala hal yang berkaitan dengannya, semua itu termasuk dalam syirik kepada Allah swt :

" Dari Abi Hurairah mengatakan, bahwa Rasulullah saw bersabda : " Jauhilah tujuh perkara pengrusak. Mereka bertanya : " Apakah itu ya Rasulullah saw?" . Beliau bersabda : " Syirik kepada Allah swt, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah swt kecuali dengan haq, makan riba, makan harta anak yatim, meninggalkan barisan tempur dalam peperangan dan menuduh zina terhadap wanita yang telah bersuami lagi beriman yang tidak tahu menahu." (HR. Imam Bukhârî)

Sesungguhnya agama Islam menolak segala praduga dan anggapan

serta sangkaan dusta. Islam memerangi segala bentuk prilaku kejahatan.

Kâhin dan ahli sihir disebut juga sebagai thâghût, karena mereka telah mengklaim bahwasanya diri merrka tersebut memiliki suatu kemampuan yang dapat menimbulkan berbagai pengaruh pada banyak hal; Semua ini adalah merupakan istilah-istilah dari ramalan yang dipergunakan oleh orang-orang yang mengambil suatu firasat yang akan terjadi nanti. Dan di balik perbuatan dari para kâhin , ahli sihir tersebut, sesungguhnya mereka hanyalah mendapat bantuan dari syaithân, mereka mampu menurunkan bala kepada siapa saja yang dia kehendaki, serta menolak berbagai macam bentuk bala atas siapa saja yang dia kehendaki; sementara itu semua hal tersebut termasuk hak-hak uluhiyah yang dimiliki oleh Allah swt.

37 CD. al-Kitâb al-Tis'ah wa Syurûhuhâ , diriwayatkan oleh al-Bukhârî, dalam Shohih Bukhârî , Kitab al-W ashâyâ , Bab Inna al-ladzîna Yakulûna A mwâl al-Yatâmâ Zulman , No. Hadits. 2560

5. al-Ashnâm Adapun klasifikasi dari bagian thâghût selanjutnya adalah al-Ashnâm (penyembahan terhadap berhala) . Kebiasaan tersebut sudah berlangsung lama dikalangan masyarakat pra-Islam, di mana setiap orang menjadikan sesuatu, tempat atau orang tertentu sebagai tuhan yang mereka sembah. Tradisi ini bagi pandangan masyarakat Arab pada zaman jahiliyah ,

38 merupakan sebagai perantara untuk berdo’a kepada sang pencipta. Abu Hasan al-Nadwi menjelaskan penyebab orang-orang kafir

menyembah berhala adalah karena pikiran yang ada dalam benak mereka tidak dapat memahami ajaran tauhid yang jernih, murni dan tinggi. Sebagaimana yang mereka telah sekian lama terpisahkan dari risalah kenabian dan ajaran agama, tidak dapat meyakini bahwa do’a seorang manusia dapat menembus lapisan-lapisan langit tinggi dan langsung didengar dan diterima oleh Allah swt, tanpa perantara dan bantuan apapun juga. Sebab mereka membayangkan bahwa alam ini amat sempit dan terbatas. Lebih-lebih dengan adanya kebiasaan dan keadaan kekuasaan yang

sedemikian rusak, yang mereka saksikan dalam kehidupan sehari-hari. 39

38 Musa Sueb, Urgensi Keimanan dalam Abad Globalisasi, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 15

39 Abu Hasan Ali Hasany al-Nadwi, (Terj. Abu Laila dan Muhammad Thahir), Kerugian

Apa yang Diderita Dunia Akibat Kemerosotan Kaum M uslim , (Bandung: al-Ma’arif, 1993), h. 30.

Karenanya mereka lalu mencari-cari perantara yang dianggap dapat mendekatkan mereka kepada Allah swt, dan dapat memperkuat do’a yang

mereka panjatkan. Benda-benda yang dipandang sebagai perantara itulah yang mereka sembah dengan pikiran mempercayai kemampuan benda-

benda itu memberi pertolongan dan bantuan kepada mereka. 40 Tentu hal tersebut tidak dibenarkan dalam ajaran Islam karena perbuatan itu tergolong kepada menpersekutukan Allah swt atau syirik. Sedangkan syirik adalah termasuk dari dosa besar yang tidak akan diampuni oleh Allah swt, sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur'an :

“ Sesungguhnya Allah swt tidak akan mengampuni dosa syirik, namun Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki- Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah swt, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” . (QS. al-Nisa'/4: 48)

Pada hakikatnya setiap orang yang mempersekutukan Allah swt dengan makhluk apapun atau siapapun, atau memberikan sifat ketuhanan kepada makhluk tersebut baik secara keseluruhan maupun sebagian saja, baik dalam tingkat yang sebanding maupun berbeda. Tentu saja perbuatan seperti ini dipandang sebagai telah merendahkan Allah swt dan tidak meyakini akan ke uluhiyah an-Nya, sekaligus dapat digolongkan pada perbuatan syirik juga dapat merendahkan martabat manusia apalagi jika

40 Abu Hasan Ali Hasany al-Nadwi, (Terj. Abu Laila dan Muhammad Thahir), Kerugian

Apa yang Diderita Dunia Akibat Kemerosotan Kaum M uslim , h. 31 Apa yang Diderita Dunia Akibat Kemerosotan Kaum M uslim , h. 31

Oleh karena itu setiap orang di antara kita harus waspada dengan thâghût semacam ini, yang pada hakikatnya tidak dapat memberikan manfaat maupun mudharat untuk manusia kecuali kehinaan dan ancaman dari Allah swt. Sangat banyak kita saksikan di depan mata kita, orang-orang yang telah mempertuhankan berhala ataupun simbol-simbol dalam kehidupan. Maka kita sebagai umat Islam haruslah berhati-hati agar tidak terjebak oleh godaan thâghût ini.

BAB III

KONSEP AL-QUR’AN MENGENAI THÂGHÛT

A. Pengungkapan Thâghût dalam al-Qur'an

Dalam mengemukakan masalah yang berkaitan dengan suatu bentuk kekufuran kepada ke tauhid an (Allah swt), al-Qur'an selalu menggunakan beragam macam ungkapan. Salah satu pengungkapan al-Qur'an terhadap

hal ini adalah kata thâghût (thughyân) . Karena tauhid merupakan kunci utama untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sebaliknya sikap thâghût dapat merusak pondasi keimanan seorang muslim dan keselamatannya dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya, term thâghût dengan berbagai kata jadiannya ( isytiqaq ) dalam al-Qur'an terulang sebanyak

39 kali yang tersebar dalam 39 ayat dan 27 surat yaitu 1 : QS. al-Baqarah/ 2:

15, 256-257; QS. al-Nisâ'/ 4: 51, 60, 76; QS. al-Mâidah/ 5: 60, 64, 68; QS. al- An'âm/ 6: 110; QS. al-A'râf/ 7: 186; QS. Yunus/ 10: 11; QS. Hud/ 11: 112; QS. al-Nahl/ 16: 36; QS. al-Isrâ'/ 17: 60; QS. al-Kahfi/ 18: 80; QS. Thâhâ/ 20: 24, 43,

45, 81; QS. al-Mu'minûn/ 23: 75; QS. al-Shâffât/ 24: 30; QS. Shâd/ 38: 55; QS. al-Zumar/ 39: 17; QS. Qâf/ 50: 27; QS. al-Dzâriyât/ 51: 53; QS. al-Thûr/ 52: 32; QS. al-Najm/ 53: 17, 52; QS. al-Rahmân/ 55: 8; QS. al-Qalam/ 68: 31; QS. al-

1 Muhammad Fuad Abd. al-Baqi, M u’jam al-M ufahras lî Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm , (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1996), h. 524-525

Hâqqah/ 69: 5, 11; QS. al-Naba'/ 78: 22; QS. al-Nâzi'ât/ 79: 17, 37; QS. al- Fajr/ 89 : 11; QS. al-Syams/ 91: 11; QS. al-'Alaq/ 96 : 6.

Dilihat dari segi struktur atau bentuknya, term thâghût yang tersebar di dalam al-Qur'an tersebut muncul dalam 5 bentuk pengungkapan kata jadian ( isytiqaq ), yaitu :

1) Fi'il Madhi (kata kerja yang menunjukkan waktu masa lampau), dengan bentuk sebagai berikut :

a. Thaghâ ( ﻰﻐﻃ ) , disebutkan sebagai fi'il madhi lil-mujarrad , terulang sebanyak enam kali.

b. Athghâ ( ﻰ ـﻐﻃ ﺃ ) , disebutkan sebagai fi'il madhi lil-mazid bi- harfin

wahidin , terulang sebanyak satu kali

c. Thaghaw ( ﺍﻮﻐ ﻃ ) , disebutkan sebagai fi'il madhi lil-jam'i hum (orang ketiga jamak ), terulang sebanyak satu kali.

d. Athghaituhu ( ﻪـﺘﻴﻐﻃﺃ ) , disebutkan sebagai fi'il madhi lil-mazid bi-

harfin wahidin , terulang sebanyak satu kali.

2) Fi'il Mudhari' (kata kerja yang menunjukkan waktu masa kini dan yang akan datang), dengan bentuk sebagai berikut :

Yathghâ ( ﻰﻐﻄﻳ ) , terulang sebanyak dua kali

3) Fi'il Nahyi (kata kerja yang menunjukkan untuk larangan), dengan bentuk sebagai berikut :

Tathghaw ( ﺍﻮـﻐﻄﺗ ) , disebutkan sebagai fi'il nahyi lil-jam'i (orang ketiga

jamak ), terulang sebanyak tiga kali.

4) Masdar (kata benda abstrak; Infinitif ), dengan bentuk sebagai berikut :

a. Thughyânân ( ﺎﻧﺎﻴﻐﻃ ) , terulang sebanyak empat kali.

b. Thughyânihim ( ﻢﺎـﻴﻐﻃ ) , disebutkan sebagai mashdar lil-jam'i hum

(orang ketiga jamak ), terulang sebanyak lima kali.

c. bi Thaghwâhâ ( ﺎﻫﺍﻮﻐﻄﺑ ) , terulang sebanyak satu kali

d. bi Thâghiyah ( ﺔﻴﻏﺎﻄﻟﺎﺑ ) , terulang sebanyak satu kali.

5) Isim Fa'il (kata benda yang menunjukkan arti pelaku), dengan bentuk sebagai berikut :

a. Thâghût ( ﺕﻮﻏﺎﻃ ) , terulang sebanyak delapan kali.

b. Thâghûn ( ﻥﻮﻏﺎﻃ ) , terulang sebanyak dua kali.

c. Thâghîn ( ﲔﻏﺎﻃ ) , terulang sebanyak empat kali.

Kata thâghût dalam bentuk madhi (kata kerja lampau) dari satu segi mengandung makna bahwa objek yang ditunjuk adalah orang-orang yang telah berbuat melampaui batas dari kedurhakaan, ketidak-ta'atan atau sewenang-wenang dalam berkuasa, baik umat-umat terdahulu (sebelum datangnya Nabi Muhammad saw) maupun yang hidup di zaman setelah turunnya al-Qur'an.

Selain itu, term-term thâghût juga merujuk kepada umat-umat terdahulu yang ingkar kepada Allah swt dan membangkang terhadap rasul- Selain itu, term-term thâghût juga merujuk kepada umat-umat terdahulu yang ingkar kepada Allah swt dan membangkang terhadap rasul-

Berbagai kisah dan peristiwa kaum Kafir terdahulu, termasuk orang- orang ahl Kitab , serta beberapa kisah mengenai orang-orang yang telah dilaknat oleh Allah swt dan orang-orang yang telah berpaling kepada agama Allah swt serta mereka yang berpaling pada hukum dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah swt, yang banyak diungkap oleh al-Qur'an; justru dimaksudkan sebagai tamsil dan peringatan kepada kaum Muhammad saw.

Kata thâghût dalam al-Qur'an menurut berbagai bentuknya ini senantiasa selalu menggambarkan perbuatan yang cenderung kepada sifat negatif dan bentuknya pun sangatlah beragam. Namun dari segala makna tersebut intinya hanyalah satu, yakni segala sesuatu yang lebih cenderung untuk selalu melakukan penolakan terhadap adanya Allah swt, Rasul-Rasul- Nya, ayat-ayat-Nya dan pada hari kemudian.

B. Identifikasi Term Thâghût dalam al-Qur’an

al-Qur'an telah berulang kali menyebut perkataan thâghût , di antaranya : memerintahkan supaya untuk menjauhi thâghût , ingkar dan tiada pernah memuja thâghût (berhala), Allah swt merupakan pemimpin bagi setiap orang-orang yang beriman sedangkan pemimpin bagi orang- orang yang kafir tak lain adalah thâghût (pemuka-pemuka kejahatan dan syaithân ), Barang siapa yang tiada mempercayai thâghût (berhala) dan hanya

beriman kepada Allah swt maka mereka tersebut telah berpegang teguh pada agama Allah swt.

Thâghût ( syaithân ) tersebut senantiasa membawa manusia dari cahaya keimanan kepada segala kegelapan (kekufuran), oleh karena itu thâghût serta pengikut-pengikutnya sudah barang tentu akan menjadi penghuni neraka. Sebagaimana telah diterangkan dalam al-Qur'an bahwasanya setiap Rasul telah memperingatkan kepada umat-umatnya supaya menyembah Allah swt dan jangan senantiasa menyembah thâghût (berhala).

Adapun perintah agar manusia senantiasa menjauhi dan tidak mempercayai thâghût , tidak melakukan penyembahan kepada thâghût , berarti tidak boleh bertuhan kepada selain Allah swt dan tidak boleh menyembah para penyembahan yang sesat, karena menyembah selain Allah swt sama artinya dengan penyembahan yang sia-sia belaka.

Larangan berhukum kepada thâghût , berarti tiada boleh mematuhi segala perintah pemimpin-pemimpin yang jahat tersebut, baik berupa Larangan berhukum kepada thâghût , berarti tiada boleh mematuhi segala perintah pemimpin-pemimpin yang jahat tersebut, baik berupa

Untuk bahasan kali ini penulis akan mengurai dan membahas mengenai term thâghût dalam perspektif al-Qur'an, yang mana term tersebut berjumlah delapan.

1. Anjuran untuk tidak mempercayai Thâghût

“ Tiada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); kerana sesungguhnya telah nyata kebenaran (Islam) dari kesesatan (kufur). Oleh karena itu, sesiapa yang tidak percayakan thâghût, dan ia pula beriman kepada Allah swt, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada simpulan (tali agama) yang teguh yang tidak akan putus. Dan (ingatlah), Allah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui.” (QS. al- Baqarah/2: 256)

Surat al-Baqarah ini diturunkan di Madinah. Sebelum penulis membahas ayat ini, terlebih dahulu penulis akan jelaskan bahwasanya di antara relevansi ayat sebelum ini atau yang biasanya disebut Ayatul Kursi dengan ayat ini (ayat 255 dan ayat 256) tidaklah berpisah maknanya antara satu dengan yang lainnya.

Ayat 255 menjelaskan intisari ajaran Islam tentang tauhid . Tauhid yang diuraikan dalam ayat tersebut meliputi makna Ketuhanan seluruhnya, yang dengan dia sesuai fitrah manusia. Sebab itu kalau hati seseorang tulus dan Ayat 255 menjelaskan intisari ajaran Islam tentang tauhid . Tauhid yang diuraikan dalam ayat tersebut meliputi makna Ketuhanan seluruhnya, yang dengan dia sesuai fitrah manusia. Sebab itu kalau hati seseorang tulus dan

Maka dalam ayat 256 ini telah tersirat bahwa di antara jalan yang sesat, juga ada jalan yang bijaksana, dan itu sudah jelas berbeda dengan jalan yang sesat, sehingga tidak perlu dipaksakan lagi. Asal orang satu kali sudah mau melemparkan pengaruh thâghût dari dirinya, dan terus beriman kepada Allah swt, kebenaran itu pasti diterimanya dengan tidak usah dipaksakan, yang memaksa orang menganut suatu faham, walaupun faham tersebut tidak benar tidak lain adalah thâghût . Inilah yang akan kita perhatikan pada ayat-ayat dan penafsiran selanjutnya.

Pada ayat ini menurut Hamka 2 dalam tafsirnya, dijelaskan bahwa apabila orang tidak percaya lagi kepada thâghût dan telah mulai beriman kepada Allah swt, waktu itulah dia telah mulai memegang tali agama Allah swt yang teguh dan tidak akan pernah lepas lagi selama-lamanya.

Ayat ini pada hakikatnya mengandung satu makna, yakni janganlah sekali-kali kalian (setiap manusia) memaksakan seseorang pun untuk memeluk agama Islam, karena sesungguhnya dalil-dalil dan bukti-bukti yang ada itu sudah demikian jelas dan gamblang, sehingga tidak perlu ada suatu bentuk pemaksaan terhadap seseorang untuk memeluk suatu agama

2 Hamka, Tafsîr al-Azhar , (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996), Jilid. XXIV, h. 26 2 Hamka, Tafsîr al-Azhar , (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996), Jilid. XXIV, h. 26

pandangannya, 3 maka tidak akan ada satu manfaat baginya suatu paksaan

maupun tekanan untuk memeluk agama Islam. 4

Agama Islam memberi kesempatan buat mempergunakan fikirannya yang murni, guna mencari kebenaran. Asal orang tersebut sudi mau

membebaskan diri daripada hanya memperturut pengaruh hawa-nafsunya, niscaya dia akan bertemu dengan kebenaran itu. Apabila inti kebenaran sudah didapat, niscaya Iman kepada Allah swt mesti timbul, dan kalau Iman kepada Allah swt telah tumbuh, sudah barang tentu segala pengaruh dari yang lain, dari sekalian pelanggaran batas mesti hilang. Tetapi suasana yang

3 Sesungguhnya kewajibanmu adalah menyajikan Islam melalui keyakinan Islam yang toleran, memberi petunjuk, dan menunjukkan manusia. Dan tugas manusia adalah

merenungkan akidah tersebut, menelaah dalil-dalil, hujjah-hujjah, dan argumentasinya yang merupakan konsepsi sempurna dan tidak mengandung keraguan. Karena Allah Ta'ala menjadikan Islam itu mudah dan toleran sampai pada batas kemampuan manusia merenungkannya dengan menggunakan akal dan pemahaman yang telah dianugerahkan Allah swt kepadanya selaras dengan variasi tingkat pemahamannya tersebut. Apabila mereka memegang Islam sebagai agama, niscaya Allah swt akan memudahkan dan membantu mereka dalam memahaminya. Barang-siapa yang membanggakan kebatilannya walaupun dia memahami dalil-dalil, dan berpaling dari Islam, maka Allah swt akan membalas kesesatan mereka tersebut. Allah swt akan membutakan mata hatinya dan mengunci mati pendengaran dan penglihatannya sebagai pembalasan yang sempadan. Itulah yang dikemukakan Allah swt dalam firman-Nya : " Adapun orang yang memberikan hartanya (di jalan Allah swt) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar ." (QS. al-Lail: 5-10)

4 Sayyid Quthb, Tafsîr Fî Zhilâl al-Qur'an , (Beirût: Dâr al-Syurûq, 1992), Jilid. I, h. 291- 296 4 Sayyid Quthb, Tafsîr Fî Zhilâl al-Qur'an , (Beirût: Dâr al-Syurûq, 1992), Jilid. I, h. 291- 296

manusia. Ayat ini adalah dasar teguh dari Islam. 6

Râzî menukil, dengan beberapa kesetujuan pandangan al-Qaffal dan Abû Muslîm, yang menurut dia, sesuai dengan dasar-dasar fiqh Mu'tazilah. Menurutnya, ini berarti bahwa Allah tidak menyandarkan masalah keimanan pada paksaan dan pengharusan, tetapi mendasarinya dengan kehendak bebas serta kemampuan untuk memilih. Inilah yang dimaksudkan pada ayat diatas ketika Allah swt membuat jelas bukti-bukti keesaan Ilahi ( tauhid ). Dia menyatakan bahwa tidak ada alasan lagi bagi kaum kafir untuk bertahan dengan penolakannya. Bahwa dia harus dipaksa untuk menerima agama adalah tidak halal di dunia ini, yang merupakan dunia cobaan.

5 Sayyid Quthb, Tafsîr Fî Zhilâl al-Q ur'an , Jilid. I, h. 291-296 6 Hamka, Tafsîr al-Azhar, Jilid. 3, h. 22

Karena paksaan, dalam masalah keyakinan, adalah pembatalan makna

cobaan dan ujian itu. 7

Pernyataan diatas ini dapat didukung dengan firman Allah swt : " Sudah jelas jalan yang benar dari yang sesat ." Yang berarti bukti-bukti telah dinyatakan dari penjelasan telah dibuat terang dan jelas. Tiada lain yang tertinggal kecuali suatu paksaan, penyerahan dan pewajiban. Namun semua ini tidak halal, karena bertentangan dengan persepsi mengenai tuntunan

keagamaan ( taklif ). 8

Sikap mengingkari memang patut diarahkan kepada sesuatu yang layak diingkari, yaitu thâghût 9 , dan keimanan memang patut diarahkan kepada yang memang layak diimani yaitu Allah swt. Aturan thâghût berlawanan dengan aturan yang dibuat Allah swt, seperti sistem atau konsep yang tidak bersumberkan dari ajaran Ilahi. Siapa yang menolak semua ini dilukiskan dengan seseorang yang berpegang dengan buhul tali

yang amat kuat dan tidak akan pernah putus. 10

Jika diamati dalam ayat ini Allah swt mendahulukan kufur terhadap thâghût daripada beriman kepada Allah swt. Hal ini menunjukkan bahwa

7 Fakhru al-Dîn al-Râzî, M afâtih al-Ghaib , (Beirût: Dâr al-Fikr, 1995), Jilid. VII, h. 15 8 Fakhru al-Dîn al-Râzî, M afâtih al-Ghaib , Jilid. VII, h. 15; lihat juga Abdul Qasîm

Jarullah Mahmûd ibn 'Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasy sy âf 'an Haqâiq al-Tanzîl wa 'Uyun al-

Aqawil fi W ujûh al-Ta'wil , (Kairo: Mushthafa al-Bâb al-Halabi, 1966), Jilid. I, h. 378 9 Quraish Shihab menjelaskan bahwa segala prilaku yang telah melampaui batas dalam

hal keburukan, seperti syaithân , sihir , serta penguasa yang menetapkan hukum bertentangan dengan ketentuan Ilahi, tirani, semuanya bisa diklalifikasikan dengan prilaku thâghût , lihat Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-M ishbah , (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Jilid. 1, h. 516

10 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl , Jilid. 1, h. 28-29 10 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl , Jilid. 1, h. 28-29

Maksudnya, kekafiran kepada thâghût didahulukan daripada keimanan kepada Allah swt. Perbuatan demikian mengandung isyarat yang halus bahwa yang pertama kali harus dilakukan ialah membersihkan kalbu dan membuang kepercayaan kepada thâghût yang ada dalam kalbu. Jika kalbu telah kosong dan bersih, maka dapat diisi dengan keimanan kepada Allah swt. Dengan demikian, keimanan dapat meresap di dalam kalbu. Keimanan tidak akan melekat kecuali jika memilih Allah swt sebagai pemeliharaannya. Maka, tidak ada seorang pun yang mampu mencabut keimanan yang mengakar ke dalam kalbu dan yang memegang teguh tali

agama Allah swt yang kokoh, (maksud tali di sini adalah iman dan Islam). 11 Di sini, kita berhadapan dengan suatu gambaran konkrit tentang hakikat perasaan dan hakikat nilai. Sesungguhnya beriman kepada Allah swt bagaikan berpegang dengan buhul yang amat kuat, yang tidak akan

11 Muhammad Mutawallî al-Sya'raw î, Tafsîr al-Sy a'rawî , (ttp: Dâr al-Akhbâr al-Yaum, 1991), Jilid. 2, h. 1120-1121 11 Muhammad Mutawallî al-Sya'raw î, Tafsîr al-Sy a'rawî , (ttp: Dâr al-Akhbâr al-Yaum, 1991), Jilid. 2, h. 1120-1121

Bagi pemeluk agama Islam haruslah menolak semua ajakan mereka tersebut. Semua penolakan terhadap ajakan mereka ini haruslah didahului

sebelum mengakui keesaan Allah swt. Bukankah ayat di atas ini mendahului pengingkaran terhadap thâghût , baru kemudian menyatakan percaya kepada Allah swt? Bukankah syahadat yang diajarkan adalah mendahulukan penegasan bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah, baru segera disusul dengan kecuali Allah swt? Memang menyingkirkan keburukan harus lebih dahulu daripada menghiasi diri dengan keindahan.

Ibadah kepada Allah swt tidak akan terwujud dengan sebenar-benarnya kecuali dengan mengingkari thâghût . Karena ibadah tersebut merupakan suatu penghambaan diri kepada Allah swt dengan menta'ati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw.

Inilah hakikat agama Islam, karena Islam maknanya ialah merupakan penyerahan diri kepada Allah swt, semata-mata yang disertai dengan kepatuhan mutlak kepada-Nya dengan penuh rasa rendah diri dan cinta.

Ibadah juga berarti segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin, yang dicintai dan diridhai Allah swt. Dan suatu amal diterima oleh Allah swt sebagai suatu ibadah apabila diniati dengan ikhlas, semata-mata karena Allah swt; dan mengikuti tuntunan Rasulullah saw. Sebagaimana firman-Nya :

" Aku menciptakan jin dan manusia, tiada lain hanyalah untuk beribadah kepada- Ku." (QS. al-Dzâriyât/51: 56)

Ayat ini merupakan dalil bahwa ibadah kepada Allah swt sama sekali tidak bermanfa'at, kecuali dengan menjauhi beribadah kepada selain-Nya.

Rasulullah saw menegaskan hal ini dalam hadits-nya :

" Bersumber dari Abî Mâlik, dari ayahnya yang berkata : Aku mendengar Rasulullah saw bersabda : " Barang siapa mengucapkan Lâ Ilâha Illallah, dan mengingkari segala apa yang disembah selain Allah swt, maka haram atas harta dan darahny, sedangkan perhitungannya ada pada Allah. " (HR. Muslim)

Beriman kepada Allah swt selanjutnya bila dikontraskan dengan iman kepada thâghût (tirani). Penyerahan diri (Islam) kepada Allah swt adalah bagai berpegang pada keimanan yang kuat atau kokoh yang tak akan pernah

dapat diputuskan oleh ketakutan. 13 Dengan kata lain, jika beriman

12 CD. al-Kitâb al-Tis'ah wa Syurûhuhâ , diriwayatkan oleh Imâm Muslim, dalam Shohîh Muslim, Kitab. al-Îmân , Bab. Perintah memerangi manusia sampai mereka mengucap Lâ Ilâha

Illallah Muhammad Rasulullah , No. Hadits. 34 13 Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi' al-Bay ân 'an Ta'wîl Âyat al-Qur'ân , (Kairo: Dâr al-Ma'ârif,

1966), Jilid. V, h. 421-422 1966), Jilid. V, h. 421-422

imanan. Jadi kalau mewarisi suatu adagium : ﺮﻔﻜﻟﺍ ﻦﻣ ﺕﻮﻏﺎﹼﻄﻟﺎﺑ ﻥﺎﳝﻹﺍ berarti

mendukung tirani adalah bagian dari kekafiran. 14

Abdûh menjelaskan dalam tafsirnya bahwa thâghût ini sesungguhnya cenderung mengungkapkan segala bentuk kebohongan untuk menyesatkan manusia. 15 Karena keterkaitan inilah maka thâghût menjadi gelar umum bagi siapa saja atau kelompok mana saja yang dituduh akan memimpin seluruh manusia menjauh dari Islam.

Menghancurkan thâghût , yakni kekuatan kekuasaan politik yang fasad , yang menguasai negeri muslim, merupakan kewajiban semuanya. Dalam al- Qur'an, Allah swt telah melarang untuk menta'ati thâghût dan kekuatan kekuasaan politik yang fasad , serta mendukung masyarakat yang memerangi kekuatan tersebut. Sebagaimana telah dicontohkan dalam al-Qur'an mengenai kisah Mûsa as, dalam menghadapi Fir'aun.

2. Thâghût menuntun manusia dari cahaya keimanan kepada kekufuran

“ Allah merupakan Pelindung (Yang Maha mengawal dan menolong) bagi setiap orang-orang yang beriman. Ia menuntun mereka dari kegelapan (kekufuran) kepada cahaya (keimanan). Dan bagi setiap orang-orang yang kafir, penolong-penolong

14 Abû 'Alî al-Fadhl Ibn Hasan al-Tabarsî, M ajma' al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân , (Beirût: Dâr Maktabah al-Hayat, 1961), Jilid. II, h. 307; lihat juga Nurcholis Madjid, Pesan-Pesan Takwa ,

(Jakarta: Paramadina, 2000), h. 192-193 15 Muhammad Abdûh, Tafsîr al-M anâr) , (Beirût: Dâr al-Fikr, 1973), Jilid. 4, h. 157 (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 192-193 15 Muhammad Abdûh, Tafsîr al-M anâr) , (Beirût: Dâr al-Fikr, 1973), Jilid. 4, h. 157

Allah Ta'ala dalam ayat ini menyatakan, bahwa Dia akan memimpin dan memberikan hidayah kepada siapa saja yang mengikuti tuntunan serta keridhaan-Nya ke jalan yang benar, melepaskan mereka dari segala bentuk kegelapan kekufuran serta keraguan, kepada cahaya hak dan kebenaran yang telah benar-benar jelas, mudah bersinar terang. Sedang pelindung bagi

setiap orang-orang kafir yang tidak percaya pada ajaran Allah swt terpimpin oleh thâghût ( syaithân ) yang menjadikan kebodohan dan kesesatan itu serta menghalau mereka dari cahaya keimanan kepada kegelapan, sesat, syirik dan berbagai kejahatan yang hanya merisaukan kehidupan dalam

bermasyarakat dan merusak dalam pergaulan. 16

Dalam ayat di atas, pelanggar batas tersebut disebut thâghût . Lebih lanjut lagi Hamka menerangkan bahwa segala pimpinan yang bukan berdasar atas iman kepada Allah swt, pimpinan yang seperti ini pasti menuntun manusia dari kebenaran kembali kepada kebathilan

(kekufuran). 17 Konteks ayat ini menggambarkan suatu kehidupan tentang jalan yang benar dan jalan yang sesat. Serta menggambarkan bahwa Allah swt

16 Abû A’lâ al-Maudûdî, Tow ards Understanding the Qur'ân ; English Version of Tafhîm al-Qur’ân , (Leicester: the Islamic Foundation, 1989), Jilid. 1, h. 199; lihat juga al-Rifa'i, Taisîru al-

Aliyy al-Qadir, Jilid. 1, h. 430 17 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid. 3, h. 26 Aliyy al-Qadir, Jilid. 1, h. 430 17 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid. 3, h. 26

Oleh karena itu Allah swt menjadikan kata al-nûr sebagai kata mufrad (tunggal) dan menjadikan kata al-zhulumât sebagai kata jama' , karena kebenaran itu hanyalah bersifat satu atau tunggal ( al-haq min rabb ) sedangkan kekufuran tersebut telah jelas mempunyai beraneka jenis-jenis yang beragam yang mana dari semuanya itu bersifat bathil, salah satunya

yakni thâghût . 18

Dalam ayat ini, Allah swt menyebutkan kalimat thâghût dalam bentuk tunggal/ mufrad untuk mubtada' dalam bentuk majemuk yaitu awliya . Para pelindung/ awliya tersebut disifati dengan mufrad ( thâghût ) karena walaupun para pelindung itu beraneka ragam, tapi hakekatnya mereka satu. Misi mereka, yakni mengeluarkan manusia dari cahaya keimanan menuju

kegelapan (kekufuran). 19 Mengapa Allah swt tidak membuat redaksi thâghût dengan majemuk, yakni thawaghit / para thâghût ? sebab kata ini sekalipun bentuknya tunggal tapi dapat dipergunakan untuk menunjukkan arti jamak .

Iman merupakan satu-satunya cahaya yang menuntun seseorang ke jalan yang benar. Sedangkan kesesatan dan kekafiran yang merupakan

18 al-Maudûdî, Towards Understanding the Qur'ân , Jilid. 1, h. 200; Ibn Katsîr, Tafsîr al-

Qur'ân al-'Azhîm , (Kairo: Dâr Misr li al-Thiba'ah, tth), Jilid. 1, h.518 19 al-Sya'rawî, Tafsîr al-Sya'rawî , Jilid. 2, h. 2110-2111 Qur'ân al-'Azhîm , (Kairo: Dâr Misr li al-Thiba'ah, tth), Jilid. 1, h.518 19 al-Sya'rawî, Tafsîr al-Sya'rawî , Jilid. 2, h. 2110-2111

masuk ke dalam beraneka ragam kegelapan kekufuran. 20 Semua ini karena cahaya keimanan adalah bersifat tunggal dalam hakikat dan substansinya, sedang kekufuran beraneka ragam bentuk dan

rupanya. Cahaya iman, apabila telah meresap ke dalam kalbu seseorang, maka cahaya itu akan menerangi jalannya, dan dengannya ia akan mampu menangkal segala macam bentuk kegelapan, bahkan dengannya ia mampu

menjangkau sekian banyak hakikat dalam perjalanan hidupnya. 21 Sebagai firman Allah berikut ini :

" Dan bahwasanya (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang yang lurus maka ikutilah dia olehmu; Dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lainnya),karena niscaya kalian akan terpisah jauh dari jalan yang diridhoi Allah swt. Yang demikian itu diperintahkan Allah swt kepada kamu agar kalian bertakwa." (QS. al-An'am/6: 153)

20 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl, Jilid. 1, h. 30-31 21 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl, Jilid. 1, h. 32; lihat juga Shihab, Tafsir al-M ishbah, Jilid. 1, h.

Karena perwalian Allah swt telah diganti dengan perwalian thâghût , niscaya mereka kembali kebathilan. Kita akan dapat pula merasakan

suasana kekufuran tersebut, dalam satu negeri yang di dalam statistik di sebut daerah Islam, tetapi pimpinan mereka adalah thâghût .

Pada tafsiran ayat ini pun kita jumpai bahwa kita berjumpa dengan dua wali : Pertama , Allah swt sebagai wali dari orang yang beriman. Kedua , adalah thâghût sebagai wali dari orang yang kafir (sesat). Maka yang memimpin langsung orang yang beriman adalah Allah

swt. Lain halnya dengan orang yang tidak beriman, pemimpin mereka adalah thâghût , yaitu sekalian pemimpin yang akan membawa keluar dari batas yang ditentukan Allah swt. Telah ditegaskan lagi adanya perwalian

dari syaithân , sumber yang asli dari segala macam thâghût . 22 Ini seperti tersebut dalam QS. Ali Imran/ 3: 175, QS. al-A'raf/ 7: 30. Dengan demikian di samping orang-orang mukmin berusaha mengambil pimpinan dan bimbingan Allah swt, syaithân pun berusaha memasukkan pimpinannya yang sesat kepada orang-orang yang memang sengaja mengelak dari pimpinan Allah swt.

Sebaliknya, orang-orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan sebagian menjadi wali dari sebahagiaan yang lain; menyuruh berbuat amar ma'ruf nahi mungkar , mendirikan sholat dan mengeluarkan

22 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl, Jilid. 1, h. 33 22 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl, Jilid. 1, h. 33

dalam QS. al-Taubah/ 9: 71, dikuatkan dengan QS. al-Anfal/ 8: 72, bahwa orang yang beriman sanggup hijrah, dan sanggup pula berjuang (jihad). Begitulah luasnya daerah yang tercakup dalam kalimat wali tersebut. Baik

wali Allah swt maupun wali thâghût . 23

Dengan ayat yang tengah dibahas ini, dan setelah mengukurnya dengan keadaan dalam masyarakat, dapatlah di mengerti bahwa thâghût

tersebut, demikian juga manusia yang menjual kebebasan jiwanya kepada thâghût ada bermacam-macam bentuknya. Setengah menyembah berhala, setengah menyembah para penguasa yang dipandang sebagai pemimpin kemudian mereka menggantungkan nasib kepadanya, dan setengahnya lagi

menyembah kepada benda-benda yang dianggap dapat mendatangkan keuntungan.

Memang, sebelum mereka disentuh oleh thâghût , mereka berada dalam cahaya keimanan. Cahaya iman yang bersemi dalam hati setiap manusia sejak kelahirannya, seperti dalam hadits Rasulullah saw telah diriwayatkan :

" Bersumber dari Abî Hurairah yang berkata : Aku mendengar Rasulullah saw bersabda :" Bahwasanya semua orang dilahirkan dalam keadaan fitrah kesucian." (HR. Bukhârî)

23 Hamka, Tafsir al-Azhar , Jilid. 3, h. 27-28 24 CD. al-Kitâb al-Tis'ah wa Syurûhuhâ , diriwayatkan oleh Imâm Bukhârî, dalam Shohîh Bukhârî, Kitab. Al-Janâiz , Bab. Mâ Qîla fî Aulâd al-Musyrikîn , No. Hadits 1296 23 Hamka, Tafsir al-Azhar , Jilid. 3, h. 27-28 24 CD. al-Kitâb al-Tis'ah wa Syurûhuhâ , diriwayatkan oleh Imâm Bukhârî, dalam Shohîh Bukhârî, Kitab. Al-Janâiz , Bab. Mâ Qîla fî Aulâd al-Musyrikîn , No. Hadits 1296

" (Setelah jelas kesesatan syirik itu) maka hadapkanlah dirimu (engkau dan pengikut-pengikutmu, wahai Muhammad) ke arah agama yang jauh dari kesesatan; (turutlah terus) agama Allah swt, yaitu agama yang Allah swt menciptakan manusia (dengan keadaan bersedia dari semula jadinya) untuk menerimanya; tidaklah patut ada sebarang perubahan pada ciptaan Allah swt itu; itulah ugama yang betul lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. al-Rûm/30: 30)

Di sisi lain, tanda-tanda kebenaran yang diterangkan Allah swt telah sedemikian jelas, sehingga sebenarnya mereka semua mengetahuinya dan berpotensi untuk berada dalam kebenaran, tetapi thâghut yang beraneka ragam tersebut mengeluarkan mereka dari kebenaran, sehingga keterangan yang telah jelas mereka abaikan, selanjutnya mereka dibawa oleh thâghut tersebut menuju aneka kegelapan. Ayat ini juga bisa dipahami sebagai berbicara tentang orang-orang yang berbuat murtad, jelas sebelum murtad mereka berada dalam cahaya keimanan, kemudian begitu mereka terperdaya dan keluar dari Islam, maka ketika itu mereka telah dikeluarkan

oleh thâghut menuju kegelapan. 25

Dari penjelasan ini dapat disimpulkan, bahwa keluar dari cahaya iman menuju gelapnya kekafiran dapat dipahami dalam dua bentuk: Pertama , mereka telah masuk lalu keluar, yakni murtad.

25 Shihab, Tafsir al-M ishbah, Jilid 1, h. 518

Kedua , mereka belum dan tidak pernah masuk dalam cahaya iman, kaum kafir secara umum.

Ayat ini bukannya bermaksud membandingkan antara thâghut dengan Allah swt, atau memperhadapkannya dengan Yang Maha Kuasa, karena tidak secuil pun sisi perbandingannya, bahkan membandingkan dan memperhadapkan-Nya adalah bertentangan dengan kewajiban menyucikan dan mengagungkan-Nya. Itu pula sebabnya sehingga ketika berbicara tentang perlindungan terhadap orang-orang kafir, ayat ini tidak memperhadapkan Allah swt dengan thâghut . Ketika berbicara tentang perlindungan Allah swt, ayat ini memulai dengan menyebut nama-Nya: Allah swt pelindung orang-orang beriman; tetapi ketika berbicara tentang perlindungan thâghut , disebutnya orang-orang kafir kemudian, dilanjutkan

dengan menyatakan pelindung-pelindung mereka adalah thâghut . 26 Bahwasanya tauhid ialah untuk membebaskan jiwa manusia daripada pengaruh thâghût tersebut. Karena pengaruh thâghût dapat menghilangkan nilai kemanusiaan pada diri manusia itu sendiri.

Lafal ini – thâghût - menunjukkan kepatuhan yang berlebihan hingga menyebabkan orang yang dipatuhi bersikap melampaui batas. Ketika kamu mematuhinya untuk memenuhi kebutuhannya dia semakin angkuh terhadapmu hingga melampaui batas.

26 Shihab, Tafsir al-M ishbah, Jilid. 1, h. 519

Mereka semua para thâghût dan manusia yang menjadikan thâghût sebagai pelindung kelak akan menjadi penghuni neraka, dan mereka kekal

di dalamnya. Alah swt berfrman : " Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah swt, adalah umpan Jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya." (QS. al-Anbiyâ'/21: 98)

3. Mempersekutukan Allah swt dengan mengimani Jibt dan Thâghût

“ Tidakkah engkau perhatikan (dan merasa pelik wahai Muhammad saw) kepada orang-orang yang telah diberikan sebahagian dari Kitab (Taurat)? Mereka percaya kepada benda-benda yang disembah selain dari Allah swt, dan kepada thâghût, dan mereka pula berkata kepada orang-orang kafir (kaum musyrik di Makkah) bahawa mereka (kaum musyrik itu) lebih benar jalan agamanya daripada orang-orang yang beriman (kepada Nabi Muhammad saw)” .(QS. al-Nisa'/4: 51)

Surat al-Nisa' ini diturunkan di Madinah. Menurut Hamka 27 dalam tafsirnya, dijelaskan bahwa ayat ini menerangkan mengenai setengah orang yang mendapat bahagian dari kitab, yaitu kitab Taurat atau injil atau kitab dari para al-Anbiya' yang dahulu. Ada di kalangan mereka tersebut yang percaya kepada jibt dan thâghût .

Adapun sebab turunnya ayat ini sebagaimana telah dikemukakan oleh al-Wâhidî al-Naisâbûrî dalam kitabnya Asbâb al-Nuzûl 28 ; Ibn Ishaq meriwayatkan dari Ibn 'Abbâs, bahwa orang-orang dari kaum Quraisy,

27 al-Thabathaba'i, al-M izân ., Jilid. 4, h. 402-403; lihat juga Hamka, Tafsir al-Azhar , Jilid XXIV, h. 26

28 Abû Hasan 'Alî ibn Ahmad al-Wâhidî al-Naisâbûrî, Asbâb al-Nuzûl , (ttp: Dâr al- Diyân li-Turâts, tth), h. 128-129, lihat juga Sayyid Quthb, Fî Zhilâl , Jilid. 2, h. 281

Ghathfan dan Banî Quraizhah, Huyay ibn Akhtab, Salam ibn Abû Haqîq, Abû Amîr dan Abû Rafî' sedang sisanya adalah dari Banî Nadhîr. Ketika mereka datang kepada kaum Quraisy, mereka (salah satunya Ka'ab ibn Asyrâf) berkata, "Mereka adalah orang-orang alim Yahudi dan orang-orang yang mengerti tentang kitab terdahulu. Maka tanyakanlah kepada mereka, apakah agama kalian lebih baik ataukah agama Muhammad saw?" Setelah ditanya, mereka menjawab, "Agama kalian lebih baik daripada agamanya, dan kalian lebih berpetunjuk daripada dia dan orang-orang yang mengikutinya".

Ayat ini mengisahkan kembali perbuatan orang-orang Yahudi yang telah diberi kitab, telah memahami dan mendalami isi kitab yang pada dasarnya menyeru berbakti dan menyembah kepada Allah swt, namun mereka

masih juga bersujud dan menyembah berhala dan mempersekutukan Allah swt. Hal ini juga secara tak langsung merupakan kutukan kepada mereka dan pemberitahuan bahwa mereka tidak akan ditolong di dunia dan di akhirat karena mereka meminta pertolongan kepada orang musyrik.

Sesungguhnya orang-orang yang diberi bagian dari Kitab Suci semestinya lebih layak mengikuti kitab tersebut, lebih layak mengingkari kemusyrikan yang dianut orang-orang yang tidak memberlakukan kitab Allah swt di dalam kehidupan mereka, dan tidak mengikuti thâghût . Akan Sesungguhnya orang-orang yang diberi bagian dari Kitab Suci semestinya lebih layak mengikuti kitab tersebut, lebih layak mengingkari kemusyrikan yang dianut orang-orang yang tidak memberlakukan kitab Allah swt di dalam kehidupan mereka, dan tidak mengikuti thâghût . Akan

kemusyrikan dengan mengikuti jibt . 29

Mereka beriman kepada hukum yang tidak didasarkan pada syari'at Allah swt. Hukum semacam ini termasuk dalam bahagian thâghût karena merupakan tindakan melampaui batas-karena memberikan kepada manusia salah satu hak prerogatif uluhiyah , yaitu hak hakimiyah "membuat hukum"- dan tidak berpedoman pada hukum-hukum yang telah disyari'atkan Allah swt. Maka, hukum dan tindakan semacam itu termasuk bahagian yang telah melampaui batas. Hal ini termasuk dalam prilaku thâghût dan orang-orang yang tidak mengikutinya adalah musyrik atau kafir. Di samping beriman kepada jibt dan thâghût, mereka juga berpihak kepada barisan kaum musyrik dan kaum kafir untuk menentang kaum mukmin yang juga diberi Kitab Suci

oleh Allah swt. 30

Pada ayat ini terdapat dua perkataan sebagai kepercayaan mereka, pertama jibt dan kedua thâghût . Di sini jibt dapat dikatakan dengan kesesatan sedangkan thâghût sebagaimana telah dibahas pada bahasan sebelumnya, berumpun dari kata thâghiyah (thughyân) diartikan dengan kesewenang-wenangan, melampaui batas khususnya kepada manusia yang telah lupa atau sengaja keluar dari batasnya sebagai insan, lalu mengambil

29 Wahbah Zuhailî, Tafsîr al-Munîr; fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj , (Beirût: Dâr al-Fikr, 1998), Jilid. 5, h. 132

30 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl , Jilid. 2, h. 280-281 30 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl , Jilid. 2, h. 280-281

bertemu dengan perbuatan, termasuklah dalam makna ini. 31 Yang mana selalu identik dengan kejelekan yang tidak ada nilainya. 32 Bahwasanya keberanian dan sikap pengecut merupakan tabiat yang melekat pada diri manusia. Sesungguhnya kemuliaan seseorang adalah agamanya dan kehormatannya adalah akhlaknya. Adapun makna yang diberikan Umar ra bahwa thâghût berarti syaithân mempunyai landasan yang kuat, ia mencakup segala macam kejahatan yang dilakukan oleh orang- orang Jahiliyah , yakni berupa penyembahan berhala, berhukum dan

memohon bantuan kepadanya. 33

31 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid. V, h. 105 32 al-Râzî, Tafsîr al-Kabîr, Jilid. 5, h. 132-133 33 Ada beberapa pendapat tentang makna al-Jibt dan Thâghût, Ibn 'Abbâs, Ikrimah dan

Abû Malîk berkata : al-Jibt asal maknanya adalah sesuatu yang hina yang tidak mengandung kebaikan sama sekali; maksudnya seperti hal-hal yang khurafat atau syaithân . Ibn 'Abbâs juga

berkata bahwa al-Jibt itu syirik , berhala . Sedangkan Ibn Jauzî berkata : thâghût ialah sikap melampaui batas dalam bentuk yang disembah, diikuti atau yang dita'ati, maka setiap kaum yang dijadikan rujukan perkara mereka selain Allah swt atau mengikuti sesuatu tanpa dasar ilmu dari Allah swt atau menta'atinya. Atau sesuatu yang jika diimani akan menyebabkan

seseorang berbuat aniaya dan keluar dari kebenaran. (Lihat Muhammad ibn 'Atiq, Ibthal al-

Tandîd bi-Ikhtishâr Syarh al-Tauhîd , (Riyadh: Maktabah al-Hadîtsah, 1389), h. 80; Ibn Katsîr mengatakan bahwa istilah Jibt dapat berarti " sihir dan segala hal yang terkait dengannya". Semua ini adalah merupakan istilah-istilah dari ramalan yang dipergunakan oleh orang-orang yang mengambil suatu firasat yang akan terjadi nanti, sedangkan Ibn Abî Hatîm meriwayatkan dari Abû Zubeir bahwa dia mendengar Jabîr ibn 'Abdillah pernah ditanya ihwal thâghût . Maka dia mengatakan : " thâghût adalah para dukun yang diberi informasi oleh syaithân ." Imam Malîk berkata, " thâghût adalah setiap perkara selain Allah swt yang disembah." lebih lanjut lihat Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-Adzîm,

Jilid. I, h. 553; al-Zamakhsyarî menjelaskan thâghût dapat berarti syaithân maupun berhala, al-Zamakhsyarî, Tafsîr al-Kasysyâf , Jilid. I, h. 387

Adanya campur aduk dalam aqidah orang Yahudi, meskipun orang- orang Yahudi tersebut beriman kepada Tuhan dan mereka memiliki kitab

samawi, namun mereka juga beriman kepada jibt dan thâghût yakni berhala. Hal ini terlihat jelas dari perkataan sebagian pembesar-pembesar mereka yakni, Ka'ab ibn Asyrâf dan Huyay ibn Akhtab, dengan dalil QS. al-Nisa'/ 4:

60 di atas, dan perkataan mereka terhadap orang-orang kafir Quraisy, bahwasanya orang-orang kafir Quraisy tersebut lebih benar petunjuknya

daripada orang-orang yang beriman terhadap Muhammad saw, sebagaimana telah dijelaskan pada Asbâb al-Nuzûl ayat ini. 34 Di dalam ayat ini dapat dijumpai adanya tiga kesalahan umat keturunan ahl kitab , karena mereka memahami hanya sebahagian dari isi

kitab tersebut : 35

Pertama , mereka telah mencampur adukkan antara kebenaran agama dengan kesesatan atau jibt . Sehingga dibangsakan kepada agama, hal-hal yang sama sekali ditolak oleh agama, sehingga timbul bid'ah , khurafat yang menunjukkan kebodohan.

Kedua , mereka telah menuhankan manusia, sampai memberikan kepadanya pemujaan yang mendekati pemujaan kepada Tuhan. Begitulah mereka perbuat kepada ulama dan pimpinan mereka.

34 Wahbah Zuhailî, Tafsîr al-M unîr, Jilid. 5, h. 115 35 Wahbah Zuhailî, Tafsîr al-Munîr, Jilid. 5, h. 116-117; lihat juga al-Maudûdî, Towards

Understanding the Qur'ân , Jilid. 2, h. 47

Ketiga , mereka berani berani memutar balikkan kebenaran karena mengharapkan kemenangan pengaruh dan politik.

4. Mereka yang berhukum kepada Thâghût

“ Tidakkah engkau melihat (wahai Muhammad saw) orang-orang (munafik) yang mendakwa bahawa mereka telah beriman kepada Al-Quran yang telah diturunkan kepadamu dan kepada (Kitab-kitab) yang telah diturunkan dahulu daripadamu? Mereka suka hendak berhakim kepada thâghût, padahal mereka telah diperintahkan supaya kufur ingkar kepada thâghût itu. Dan syaithân pula sentiasa hendak menyesatkan mereka dengan kesesatan yang amat jauh” . (QS. al-Nisa'/4: 60)

Islam merupakan agama yang benar, adil dan memperhatikan persamaan, ia datang sambil membawa ajaran-ajarannya yang luas dan menyeluruh kepada keadilan di antara semua makhluk, tak seorang pun diperlakukan secara zhalim karena kelemahan dan ketidak-berdayaannya, hak manusia tidak boleh dilanggar, bila dengan alasan karena mereka bukan orang muslim dan bukan orang beriman. Karena Islam adalah agama Allah swt yang abadi, yang menghargai hak orang kecil dan orang besar, yang memerintahkan untuk menyerahkan amanat kepada orang yang berhak menerimanya, tanpa harus melihat apakah yang bersangkutan orang muslim atau non-muslim, tidak boleh ada kezhaliman dan peniadaan hak manusia, siapapun dia.

Sebab semua manusia dalam pandangan agama adalah sama, setiap orang harus mendapatkan haknya secara sempurna dan tidak boleh

dikurangi, mereka semua harus diperlakukan secara adil dan merata. Setelah ayat sebelumnya yang menyuruh kaum muslimin untuk taat kepada Allah swt, Rasul-Nya dan Ulil Amri (para penguasa), kemudian Allah swt menyingkap posisi orang-orang munafik yang tidak ta'at kepada Rasulullah saw dan tidak menerima hukum yang telah diputuskan oleh beliau. Tetapi mereka malah menginginkan keputusan hukum dari selain beliau, seperti kepada kâhin Abû Barzah al-Aslamî atau thâghût Ka'ab bin al-

Asyrâf. 36 Secara tersirat dapat dipahami bahwa ayat ini, maknanya dapat berarti mengacu pada tindakan berhakim pada thâghût -yang sudah menjadi tradisi jahiliyah-, yang berarti otoritas-otoritas duniawi yang telah

menggantikan Allah swt.

Ayat ini juga merupakan pengingkaran Allah swt terhadap orang- orang yang mengaku beriman kepada apa yang telah diturunkan Allah swt kepada Rasul-Nya dan kepada para nabi yang terdahulu. Walaupun pengakuannya demikian, tetapi mereka dalam waktu yang sama tetap

36 Abû Barzah al-Aslamî dan Ka'ab ibn al-Asyrâf merupakan seorang Yahudi yang dikenal sebagai thâghût karena sering berbuat sewenang-wenang dalam mengambil keputusan

dan senantiasa memusuhi Rasulullah saw, serta selalu melakukan provokasi terhadap beliau

untuk menjauhi kebenaran; Wahbah Zuhailî, Tafsîr al-M unîr, Jilid. 5, h. 132; al-Thabarî, Jamî'

al-Bay ân , Jilid. 5, h. 213-214 al-Bay ân , Jilid. 5, h. 213-214

thâghût di sini. 37

Ungkapan yaz'umûna ( ﻥﻮﻤﻋﺰﻳ ) berasal dari ﻢﻋﺯ , arti asalnya adalah

suatu ucapan (perkataan), baik ucapan itu benar atau salah. Akan tetapi kata ini banyak dipakai untuk menunjukkan suatu ucapan yang mengandung unsur kebohongan. Di sini ungkapan ini bermakna " mereka menyangka " adalah isyarat atas kebohongan dakwaan mereka. Sebagaimana telah di jelaskan diatas " thâghût " adalah pertolongan yang mereka minta dari selain Allah swt baik itu dari manusia, setan atau benda mati lainnya. Maka tuntutan iman adalah mengingkari thâghût dan menjauhi segala bentuk dari

gangguan serta godaannya. 38

37 Wahbah Zuhailî, Tafsîr al-M unîr, Jilid. 5, h. 132; lihat juga Hamka, Tafsir al-Azhar , Jilid. XXIV, h. 26

38 Abdûh, Tafsîr al-M anâr, Jilid. 5, h. 224-225; lihat juga al-Râzî, Tafsîr al-Kabîr , Jilid. 5, h. 159; Muhammad al-Ghazâlî, Nahwa Tafsîr M audhû'i li Suwâr al-Qur'ân al-Karîm , Terj. Safir

al-Azhar Mesir Medan, " Tafsir al-Ghazali; Tafsir Tematik al-Qur'an 30 Juz (Surat 1-26) ", (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2004), h. 93

Di sini di dalam ayat ini kata " thâghût " bermakna sebagai orang yang selalu banyak berbuat sewenang-wenang dalam mengambil keputusan,

yakni tertuju pada Ka'ab bin al-Asyrâf dan Abû Barzah al-Aslamî. al-Kilabi meriwayatkan dari ibn 'Abbâs r.a, 39 : ayat ini turun kepada orang munafik yang berselisih dengan orang Yahudi namun mereka hendak berhakim kepada hakim-hakim Jahiliyah ( thâghût ), Lalu orang Yahudi tersebut itu berkata: "mari kita pergi ke Nabi Muhammad saw". Namun orang munafik itu berkata: tidak, tetapi mari kita datang kepada Ka'ab bin al-Asyrâf. Dialah orang yang disebut Tuhan sebagai thâghût . Namun orang Yahudi itu menolaknya. Dia tetap untuk mengadukan permasalahannya kepada Rasulullah saw.

Ketika orang munafik melihat hal tersebut (keinginan yang kuat orang Yahudi itu), akhirnya dia bersama dengan orang Yahudi tersebut datang kepada Rasulullah saw dan mereka berdua mengadukan perselisihan yang terjadi kepada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw memutuskan untuk orang Yahudi itu yang benar. Ketika mereka berdua keluar, orang munafik itu tidak terima dengan keputusan yang didengarnya, dan tetap mengikuti orang Yahudi tersebut dan berkata: mari kita pergi ke Umar bin Khattab ra.

h. 132-134; Wahbah Zuhailî, Tafsîr al-M unîr, Jilid. 5, h. 131-132; dan lihat juga pada Ibn Arabîy, Ahkâm al-Qur'ân , (Beirût: Dâr al-Kutub al- 'Ilmiyah, tth), Jilid. 1, h. 577

39 al-Wâhidî al-Naisâbûrî, Asbâb al-Nuzûl ,

Kemudian mereka mendatangi Umar bin Khattab ra, lalu orang Yahudi itu berkata; saya dan dia telah mengadukan masalah ini kepada Nabi

Muhammad saw dan Ia (Nabi Muhammad saw) telah memutuskannya, namun dia (orang munafik) tetap tidak mau menerima keputusan itu. Dia tetap menahan saya dan mengajak untuk mengadukannya kepadamu.

Karena itu, saya datang kepadamu bersamanya. Lalu Umar bin Khattab ra berkata kepada orang munafik itu: apakah memang begitu?

orang munafik itu menjawab: ya. Kemudian Umar ra berkata kepada keduanya: tunggu sebentar sampai saya kembali lagi kepadamu. Lalu Umar ra pun masuk dan mengambil pedang kemudian membawanya. Dan umar

keluar kembali menemui kedua orang itu. Kemudian Umar ra memukul orang munafik dengan pedang tersebut sampai mati.

Maka, turunlah ayat ini. Dan jibril as, pun berkata: sesungguhnya Umar ra, adalah orang yang membedakan / memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Karena itulah Umar ra dijuluki al-Faruq .

Ringkasnya; Imam Ibn Jarîr al-Thabarî berpendapat bahwa ayat ini turun kepada orang Munafik dan Yahudi. 40 Pada dasarnya mencela orang- orang yang berpaling atau berpindah dari hukum Allah swt dan Sunnah Rasulullah saw kepada kebathilan selain keduanya, kebathilan itulah yang

disebut dengan thâghût. 41

40 al-Thabarî, Jamî' al-Bayân , Jiild. 5, h. 212 41 Muhammad Abdûh, Tafsîr al-Manâr , Jilid. 5, h. 223; lihat juga al-Maudûdî, Towards

Understanding the Qur'ân , Jilid. 2. h. 53

Padahal di dalam al-Qur'an telah dijelaskan satu hakikat yang tidak

boleh dilalaikan bagi orang Mukmin, bahwa iman tidak dianggap benar dan sempurna kecuali dengan ber tahkim kepada Kitab Allah swt dan Sunnah Rasul-Nya, ridha kepada ketetapan Allah swt dan ketetapan Rasulullah saw. Sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur'an :

" Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. al-Nisa'/4: 65)

Islam, sebagaimana dipahami oleh generasi awal adalah aqidah dan syari'ah, dua hal yang tidak terpisahkan. Sebab, iman menjadi absah hanya dengan aqidah sedangkan meninggalkan syari'ah tentu saja dapat dihukumi dengan kufur. Begitu pula melaksanakan syari'ah tetapi meninggalkan aqidah juga dihukumi dengan kufur. Sebagaimana firman Allah swt pada QS. al-Nisa'/ 4: 60 diatas tadi.

Tidaklah seorang rasul diutus oleh Allah swt hanya sekedar untuk memberikan kesan kejiwaan dan mencontohkan lambang-lambang peribadahan. Yang demikian ini adalah pemahaman yang salah terhadap agama dan tidak sesuai dengan kebijaksanaan Allah swt dalam mengutus para rasul. Pengutusan para rasul adalah untuk menegakkan manhaj tertentu bagi kehidupan dalam kenyataan hidup.

Para rasul dan terutama penutup para al-Anbiya' , Nabi Muhammad saw memberi satu jawaban tegas bahwa kedaulatan itu mutlak milik Allah

swt. al-Qur'an menegaskan mengenai realitas ini dalam firman-nya :

" Apa yang kamu sembah, yang lain dari Allah swt, hanyalah nama-nama yang kamu menamakannya, kamu dan datuk nenek kamu, Allah swt tidak pernah menurunkan sebarang bukti yang membenarkannya. Sebenarnya hukum (yang

menentukan amal ibadat) hanyalah bagi Allah swt. Ia memerintahkan supaya kamu jangan menyembah melainkan Dia. Yang demikian itulah Agama yang lurus (benar), tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." QS. Yûsuf/12: 40)

Dengan demikian bahwa semua yang dibuat oleh para thâghût berupa undang-undang dan peraturan untuk kehidupan manusia dan pemerintahan mereka di pandang oleh agama Islam sebagai hal yang bathil secara mendasar, tidak mengikat siapapun, bahkan bagi manusia berkeharusan menentang semua itu dan dituntut agar berupaya menghapusnya. Allah swt menegaskan dalam satu kecaman terhadap orang-orang yang membuat undang-undang sendiri untuk mengatur kehidupan :

" Patutkah mereka mempunyai sekutu-sekutu (sembahan-sembahan) yang menentukan - mana-mana bahagian dari agama mereka - sebarang undang-undang yang tidak diizinkan oleh Allah swt? Dan kalaulah tidak kerana kalimah ketetapan yang menjadi pemutus (dari Allah swt, untuk menangguhkan hukuman hingga ke suatu masa yang tertentu), tentulah dijatuhkan azab dengan serta-merta kepada " Patutkah mereka mempunyai sekutu-sekutu (sembahan-sembahan) yang menentukan - mana-mana bahagian dari agama mereka - sebarang undang-undang yang tidak diizinkan oleh Allah swt? Dan kalaulah tidak kerana kalimah ketetapan yang menjadi pemutus (dari Allah swt, untuk menangguhkan hukuman hingga ke suatu masa yang tertentu), tentulah dijatuhkan azab dengan serta-merta kepada

Sayyid Quthb 42 menjelaskan, tidak seorang pun di antara manusia yang berhak membuat aturan selain di gariskan oleh Allah swt dan telah diberi wewenang untuk itu. Hanya Allah swt sendiri yang membuat undang-undang untuk para hamba-Nya, sebab Dialah pencipta dan pengatur alam ini dengan hukum-hukum universal. Dan kehidupan manusia tidak lebih dari bagian kecil dalam perputaran roda jagat raya ini. Oleh sebab itu seharusnya kehidupan manusia ini diatur oleh undang- undang yang bersesuaian dengan hukum-hukum universal itu. Yang demikian itu akan terwujud kecuali ketika Allah Yang Maha Meliputi mensyari'atkan dengan hukum-hukum itu. Semua pembuat undang-undang tidak ada yang sempurna selain Allah swt. Oleh sebab itu perundang- undangan buatan manusia tidak dapat diandalkan dengan adanya kekurangan tersebut.

Kendati demikian jelasnya realitas ini, masih banyak juga yang memperdebatkan syari'ah atau tidak puas dengannya. Mereka berani membuat perundang-undangan di luar ketentuan dari Allah swt dengan anggapan bahwa mereka memilih yang terbaik bagi bangsa mereka. Mereka mencari dalih dengan adanya kondisi obyektif dan perundang-undangan yang mereka buat sendiri. Seolah mereka merasa lebih mengetahui dan lebih

42 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl , Jilid. 2, h. 2152 42 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl , Jilid. 2, h. 2152

Sebagaimana diketahui bahwa setiap Rasul yang telah diutus oleh Allah swt pastilah mengemban tugas untuk menjahui manusia dari perilaku thâghût. Sebagaimana telah ditegaskan allah pada QS. al-Baqarah/ 2 : 256). 43 Mereka sejak awal telah mengetahui pengaruh agama ini terhadap kekuasaan mereka, ketika mendengar kalimat tauhid yang dibawa oleh para Rasul, serta kalimat Lâ ilâha illallah Muhammad Rasûl Allâh , telah dipahami realitasnya oleh masyarakat awam sekalipun.

Seorang Arab dengan kepolosannya dan hati bersihnya ketika mendengar Rasulullah saw mengajak umat manusia agar bersaksi bahwa tiada ada sesembahan yang patut disembah selain Allah dan bahwa

Muhammad saw ialah utusan Allah swt; dia mengatakan : "ini merupakan suatu masalah yang tidak disukai oleh para raja atau para penguasa!, mengapa tidak disukai oleh para raja atau penguasa tersebut?, sebab kesaksian ini memberi dampak negatif bagi pengaruh dan kekuasaan

43 Abdûh, Tafsîr al-M anâr , Jilid.5, h. 225 43 Abdûh, Tafsîr al-M anâr , Jilid.5, h. 225

dengan aturan hukum yang tidak dibuat oleh Allah swt. 45 Karena itu da'wah tauhid yang melahirkan kedaulatan Allah swt ini memiliki potensi besar dalam mengancam kekuasaan para thâghût serta hak- hak istimewa mereka yang mereka raih dengan mengorbankan masyarakat luas, sedangkan para rasul beserta para pengikut mereka membawa misi membebaskan masyarakat luas yang terbelenggu ini dari kezaliman; lain halnya dengan para thâghût (thughyân) serta merta mengerahkan segala kekuatan untuk memerangi para rasul beserta para pengikut mereka. Bahkan setiap rasul senantiasa menghadapi persekongkolan mereka dari waktu ke waktu dan dari negeri ke negeri terhadap kehidupan rasulnya. Realitas ini telah di abadikan dalam al-Qur'an dengan firman Allah swt :

44 Muhammad 'Abdul Qâdir Abû Fâris, al-Nizhâm al-Siyâsî fi al-Islâm , Terj. Sistem

Politik Islam , Maufur, Musthalah Maufur, (Jakarta: Robbani Press, 2000), h. 17 45 Ahmad Faiz, Tharîq al-Da'wah fî Zhilâl al-Qur'ân , (Beirût: Mu'assasah al-Risâlah,

1992), h. 33

" Sebelum mereka, kaum Nabi Nûh as dan golongan-golongannya yang bergabung - sesudah kaum Nabi Nûh as itu - telah mendustakan (Rasul-rasulnya), dan tiap-tiap umat di antaranya telah merancangkan rancangan jahat (makar) terhadap Rasul mereka untuk menawannya (dan membinasakannya); dan mereka pula telah membantah dengan perkara (alasan) yang bathil untuk menghapuskan kebenaran dengan perkara (alasan) yang bathil itu; sebab itu Aku binasakan mereka. Maka (lihatlah) bagaimana kesan azabKu!" (QS. al-Mu'min/40: 5)

Sebab setiap rasul membawa kitab yang diturunkan kepadanya dari Allah swt agar menghukumi manusia dengan ajarannya. Allah swt berfirman:

" Pada mulanya manusia itu ialah umat yang satu (menurut agama Allah swt yang satu, tetapi setelah mereka berselisihan), maka Allah swt mengutuskan Nabi-nabi sebagai pemberi khabar gembira (kepada orang-orang yang beriman dengan balasan Syurga, dan pemberi amaran atau peringatan (kepada orang-orang yang ingkar dengan balasan azab neraka); dan Allah swt menurunkan bersama Nabi-nabi itu Kitab-kitab Suci yang (mengandungi keterangan-keterangan yang) benar, untuk menjalankan hukum di antara manusia mengenai apa yang mereka perselisihkan dan (sebenarnya) tidak ada yang melakukan perselisihan melainkan orang-orang yang telah diberi kepada mereka Kitab-kitab Suci itu, iaitu sesudah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang jelas nyata, - mereka berselisih semata-mata kerana hasad dengki sesama sendiri. Maka Allah swt memberikan petunjuk kepada orang- orang yang beriman ke arah kebenaran yang diperselisihkan oleh mereka (yang derhaka itu), dengan izinNya. Dan Allah swt sentiasa memberi petunjuk hidayahNya kepada sesiapa yang dikehendakiNya ke jalan yang lurus (menurut undang-undang peraturanNya)." (QS. al-Baqarah/2: 213)

al-Marâghî dalam menafsirkan ayat ini mengemukakan bahwa di sini terdapat isyarat bahwa kitab Allah swt yang menghakimi antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Asal masih mengacu pada fondasi syari'at yang kokoh. Hakikat syari'at tidak akan ditemukan di luar al-Marâghî dalam menafsirkan ayat ini mengemukakan bahwa di sini terdapat isyarat bahwa kitab Allah swt yang menghakimi antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Asal masih mengacu pada fondasi syari'at yang kokoh. Hakikat syari'at tidak akan ditemukan di luar

mengubahnya serta dengan menyelewengkan maksudnya. 46

5. Mereka (orang-orang kafir) berperang di jalan Thâghût

“ Orang-orang yang beriman, berperang pada jalan Allah swt; dan bagi orang-orang yang kafir pula berperang pada jalan thâghût (syaithân). Oleh sebab itu, perangilah kamu akan pengikut-pengikut syaithân itu, kerana sesungguhnya tipu daya syaithân itu adalah lemah” . (QS. al-Nisa'/ 4: 76)

Sebuah sentuhan yang menghentikan manusia di persimpangan jalan. Dalam satu kesempatan terlukiskan beberapa tujuan dengan jelas. Bahwa manusia terbagi menjadi dua golongan, di bawah kibaran dua bendera yang

berbeda yakni : 47

Pertama , bagi orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah swt, untuk mengaplikasikan manhaj-Nya, memantapkan syariat-Nya, dan menegakkan keadilan "di antara manusia" dengan nama-Nya, bukan di bawah alamat lain yang mana pun, sebagai pengakuan bahwa hanya Allah swt sendirilah " Ilah " yang notabene adalah al-Hakîm" yang menetapkan hukum".

46 Muhammad Musthafa al-Marâghî, Tafsîr al-M arâghî , Jilid 2, (Kairo: Mushthafa al- Bâb al-Halabî, 1974), h. 123

47 al-Thabarî, Jamî' al-Bay ân, Jilid. 5, h. 233; lihat juga Sayyid Quthb, Fî Zhilâl, Jilid. 2, h. 149-151

Kedua , bagi orang-orang yang kafir berperang di jalan thâghût , untuk mengaplikasikan manhaj-manhaj lain selain manhaj Allah swt,

memantapkan syari'at-syari'at lain selain syari'at Allah swt, menegakkan tata nilai lain selain yang diizinkan Allah swt, dan memberlakukan norma- norma lain selain norma dari Allah swt.

Orang-orang yang beriman bersandar kepada perlindungan dan penjagaan serta pemeliharaan Allah swt, sedang orang-orang kafir

bersandar kepada perlindungan setan dengan macam-macam benderanya, manhaj, syari'at, jalan, tata nilai dan norma-nya-yang semuanya adalah

ikhwan syaithân . Allah swt memerintahkan bagi setiap orang-orang yang beriman supaya senantiasa memerangi ikhwan syaithân tersebut, serta supaya jangan takut terhadap tipu daya mereka. Jadi thâghût tersebut apakah dia syaithân ?, atau apakah dia suatu tindakan yang sewenang-wenang yang dapat menjerumuskan pada kesesatan atau kezaliman?, atau tindakan yang cenderung membawa seseorang pada kesesatan dan menjauhkannya pada syari'at tuhan atau sesuatu yang diimani akan menyebabkan seseorang keluar dari kebenaran?, keseluruhan dari soalan di atas ini adalah benar dan semua ini pun merupakan salah satu klasifikasi bagian dari thâghût itu sendiri.

Sifat thâghût mencakup seluruh apa yang jauh dari Allah swt dan menghalangi jalan-Nya serta menentang syari'at-Nya. Di sini kaum munafik

mendengarkan nasehat yang disampaikan oleh kaum mukmin untuk mengikuti Allah swt dan Rasul-Nya, tetapi mereka tetap berjalan pada jalan

thâghût . 48 Setiap kali mereka melangkah maka kesesatan akan menguasai, sehingga mereka menempuh jarak yang jauh dalam jalan yang membingungkan. Mereka telah banyak mendengar nasehat yang disampaikan kepada mereka.

Allah swt menghimbau kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin agar berjihad di jalan-Nya dan senantiasa berusaha melepaskan diri dari segala bentuk kezaliman.

Jadi inti dari ayat ini, bahwa orang-orang yang beriman berperang dalam rangka ketaatan kepada Allah swt, sedangkan bagi orang-orang kafir berperang dalam rangka ketaatan kepada thâghût . Dan Allah swt juga telah memotivasi kaum mukmin agar senantiasa memerangi setiap pengikut- pengikut thâghût tersebut, dan bahwasanya tipudaya thâghût sangatlah

lemah. 49 Pada ayat lanjutan diperintahkan kepada orang yang beriman,

hendaklah perangilah wali-wali syaithân tersebut. 50

48 al-Marâghî, Tafsîr al-M arâghî , Jilid. 2, h. 92-93 49 al-Rifa'i , Taisîru al-Aliyy al-Qadir, Jilid. 1, h. 751-752 50 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid. XXIV, h. 26

Kemudian juga di dalam ayat ini Allah swt membuat dua perbandingan antara tujuan berperang orang-orang muslim dan menurut

orang-orang kafir : 51

Pertama , adapun bagi orang-orang muslim, tujuan mereka berperang demi menegakkan kalimat tauhid yaitu kalimat kebenaran, keadilan, dan bukan untuk menjajah, mengambil keuntungan serta berbuat kezhaliman sebagaimana terjadi sekarang.

Kedua , sedangkan bagi orang-orang kafir, tujuan mereka berperang hanya dengan satu tujuan yang bias, materi atau semata-mata mengikuti hawa nafsu atau bisikan setan dan untuk menegakkan paganisme dan menolong kekafiran, ketamakan dan untuk pemperoleh hasil dari rampasan perang atau untuk sekedar mewujudkan suatu ketenaran di kalangan kabilah Arab.

Akan tetapi, akhir yang sudah pasti adalah kemenangan kebenaran atas kebathilan karena kebenaran itu kuat dan para pejuang kebenaran itu lebih punya harga diri sedangkan kebathilan itu lemah dan pasti akan kalah dan para pejuang kebathilan tersebut lebih lemah dan pengecut, karena kebenaran itu tinggi dan tidak ada yang bisa lebih tinggi dari-Nya. Oleh karena itu Allah swt memerintahkan dalam firman-Nya yang maknanya "wahai orang-orang mukmin, perangilah para penolong syaithân , karena

51 Wahbah Zuhailî, Tafsîr al-Munîr, Jilid. 5, h. 154; lihat juga al-Maudûdî, Towards

Understanding the Qur'ân , Jilid. 2, h. 59-60 Understanding the Qur'ân , Jilid. 2, h. 59-60

kalian dan tentara Allah swt, merekalah yang akan menang." 52

6. Ganjaran Allah swt bagi mereka yang menyembah Thâghût

“ Katakanlah: " Maukah, aku khabarkan kepada kamu tentang yang lebih buruk balasannya di sisi Allah swt daripada yang demikian itu? Ialah orang-orang yang dilaknat oleh Allah swt dan dimurkai-Nya, dan orang-orang yang dijadikan di antara mereka sebagai kera dan babi, dan penyembah thâghût. Mereka inilah yang lebih buruk kedudukannya dan yang lebih sesat dari jalan yang betul (lurus)" . (QS. al-Maidah/5: 60)

Surat al-Mâidah ini diturunkan di Madinah. Pada ayat ini diterangkan mengenai orang yang akan mendapat ganjaran yang sangat buruk di sisi Allah swt, yaitu tentang kemurkaan dan kutukan Allah swt terhadap orang-orang yang terdahulu yang berbuat fasik sehingga dijadikan

setengah dari mereka menyerupai kera dan babi dan penyembah thâghût . 53

52 al-Sya'râwî, Tafsîr al-Sya'râwî, Jilid. 4, h. 2421-2423 53 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid. XXIV, h. 26

Maksud dari ayat ini, maukah aku akan beritahukan kepada kalian tentang pembalasan yang lebih buruk di sisi Allah swt pada hari kiamat

kelak, yang kalian menganggap bahwa pembalasan itu akan ditimpakan kepada kami? Ataukah (siksa itu akan menimpa) kalian, yang mana kalian telah disifati dengan sifat-sifat berikut, yaitu yang dijauhkan dari rahmat- Nya, dan dimurkai setelah itu tidak akan diridhai untuk selamanya.

Sufyân al-Tsaurî mengatakan dari Ibn Mas'ud, ia berkata : "Rasulullah saw pernah ditanya mengenai kera dan babi, "Apakah ia merupakan

makhluk yang dialih-rupakan atau dirubah wajahnya oleh Allah swt? Maka beliau menjawab :

" Bersumber dari Abdullah Ibn Mas'ud, dia berkata : " Ummu Habibah pernah berdo'a, " Ya Allah, panjangkanlah usia suamiku Rasulullah saw, usia ayahku Abî Sufyân dan saudaraku Mu'âwiyah" , Rasulullah saw lalu bersabda kepada isterinya tersebut : " Itu artinya kamu memohon kepada Allah swt ajal-ajal yang sudah dibuat,

54 CD. al-Kitâb al-Tis'ah wa Syurûhuhâ , diriwayatkan oleh Imâm Muslim, dalam Shohîh Muslim, Kitab. al-Qadr , Bab. menerangkan bahwa A jal, Rizki dan lainnya itu sudah ditetapkan oleh

Takdir , No. Hadits 4815 Takdir , No. Hadits 4815

Di sini terdapat dua perbedaan pendapat; apakah bentuk rupa mereka yang dirubah menjadi kera dan babi atau hati dan pikiran mereka

saja. Menurut Abdûh dalam tafsirnya, sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa hal ini merupakan suatu perubahan yang secara hakiki, mereka dirubah rupanya menjadi seperti kera dan babi, kemudian wafat semua.

Karena, manusia yang dirubah bentuknya takkan punya keturunan lagi. 55 Sedangkan didalam Tafsîr al-Marâghî , 56 al-Marâghî mengambil perkataan dari Ibn Jarîr yang menukilkan dari Mujahîd; adapun maksud dari kata dilaknat mereka menjadi kera dan babi adalah, yang dirubah bukanlah bentuk rupa mereka atau perubahan secara hakiki, melainkan hati

dan perangai mereka dijadikan serupa dengan hati kedua binatang tersebut. Karena itu hanyalah sebuah perumpamaan saja yang dicontohkan Allah

55 Abdûh, Tafsîr al-M anâr, Jilid. 6, h. 448; Lihat juga Abû Hayyân al-Andalusîy al- Gharnâthî, al-Bahr al-M uhîth fî Tafsîr , (Beirût; Dâr al-Fikr, tth), Jilid. 4, h. 306-307; al-Marâghî,

Tafsîr al-M arâghî, Jilid. 2, h. 148, Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid. VI, h. 301-302 56 al-Marâghî, Tafsîr al-M arâghî, Jilid. 2, h. 149: lihat juga Abdûh, Tafsîr al-M unîr, Jilid.

6, h. 448 6, h. 448

" adalah seperti keledai yang memikul atau membawa kitab-kitab yang tebal." (QS. al-Jum'ah/62: 5)

Namun menurut penulis yang perlu digaris bawahi adalah adapun binatang ditunjuk oleh Allah swt tersebut; seperti kera dan babi ini, karena mencerminkan pada orang-orang Yahudi yang dikecam oleh al-Qur'an, mereka tidak mau tunduk dan taat kepada Allah swt kecuali setelah dijatuhi sanksi atau diperingatkan dengan ancaman, sebagaimana telah diuraikan pada ayat-ayat yang lalu. Selanjutnya juga mencerminkan pada sifat orang Yahudi. Mereka tidak mau menyembah Allah swt dengan secara benar, tetapi mereka hendak menyembah juga, akhirnya thâghût -lah yang mereka sembah, yakni segala tingkah laku yang telah melampaui batas aturan.

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab II dalam definisi thâghût diatas. Thâghût meliputi semua kekuasaan yang tidak mengacu pada kekuasaan dari Allah swt, semua hukum yang tidak berpijak atau yang tidak berlandaskan pada syari'at Allah swt, dan semua bentuk permusuhan yang telah melampaui batas kebenaran. Jadi, memusuhi kekuasaan uluhiyah dan hakimiah Allah swt merupakan permusuhan dan penentangan paling buruk serta melampaui batas yang paling ekstrem. Perbuatan ini termasuk dalam ketegori thâghût menurut lafal dan makna. Ahl Kitab menyembah pendeta Sebagaimana telah dijelaskan pada bab II dalam definisi thâghût diatas. Thâghût meliputi semua kekuasaan yang tidak mengacu pada kekuasaan dari Allah swt, semua hukum yang tidak berpijak atau yang tidak berlandaskan pada syari'at Allah swt, dan semua bentuk permusuhan yang telah melampaui batas kebenaran. Jadi, memusuhi kekuasaan uluhiyah dan hakimiah Allah swt merupakan permusuhan dan penentangan paling buruk serta melampaui batas yang paling ekstrem. Perbuatan ini termasuk dalam ketegori thâghût menurut lafal dan makna. Ahl Kitab menyembah pendeta

pendeta dan rahib serta menyebut mereka sebagai kaum musyrik. 57 Kalimat ini secara halus telah terkandung didalamnya, makna tersirat. Mereka menyembah thâghût , yakni kekuasaan-kekuasaan yang melampaui batas wewenang. Mereka tidak menyembahnya dalam arti kata bersujud maupun rukuk kepadanya. Tetapi, menyembahnya dalam arti mengikuti dan menaatinya. Perbuatan ini mengeluarkan pelakunya dari peribadatan kepada Allah swt dan dari Rasul-Nya.

Dalam penggalan ayat ini dibaca " ﺕﻮﹸﻏﺎﱠﻄﻟﺍﺪـﺒﻋﻭ ", yakni Allah swt

menjadikan sebagian mereka sebagai hamba thâghût. Penggalan ini dibaca dengan beberapa versi, dalam kedudukannya sebagai fi'il madhi (kata kerja

lampau) dan kata thâghût , mansub ( berharakat fathah ) karenanya. Maksudnya Allah swt jadikan di antara mereka itu orang-orang yang menyembah thâghût .

Dibaca pula " ﺕﻮﹸﻏﺎﱠﻄﻟﺍﺪــﺒﻋَ ﻭ " dengan idhafah , yang mana hal itu bermakna, bahwa Allah swt menjadikan dari mereka itu budak-budak thâghût . namun seluruh maknanya berpulang pada, "Hai Ahl Kitab , kamu adalah orang yang mencela agama kami yaitu agama yang mengesakan

57 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl, Jilid. 2, h. 219-220; untuk lebih lanjut baca buku al-

M ushthalahat al-Arba'ah , karya Abû A'lâ al-Maudûdî, Amir Jamâ'at Islâmiyah Pakistan, pasal

" al-Ibadah ", baca pula buku Hadzâ al-Dîn pasal " Manh â j Mutafarrid ", serta buku Khashâish al-

Tashawwûr al-Islâmi wa M uqawwimâtuhu pasal " al-Tauhîd ", terbitan Dâr al-Syurûq, Beirût.

Allah swt dan mengkhususkan aneka ibadah kepada-Nya, bukan kepada selainnya; bagaimana mungkin hal ini muncul dari dirimu sedang di antara kamu terdapat aneka penyembah thâghût ?" oleh karena itu Allah swt berfirman, "mereka itu lebih buruk tempatnya" daripada yang kamu kira

akan ditimpakan kepada kami" dan lebih tersesat dari jalan yang lurus". 58 Penggalan ini merupakan pemakaian tingkat perbandingan tanpa menyebutkan perkara yang dibandingkannya seperti yang terjadi pada firman Allah swt, "Pada hari itu penghuni surga lebih baik tempatnya dan lebih bagus perkataannya."

Abdûh menjelaskan bahwa makna thâghût atau thughyân di sini, mengandung makna dari segala sumber yang telah melewati batas dari ketentuan yang telah ditetapkan dan cenderung membawa kepada

kebathilan serta kemungkaran. 59

Jadi penghambaan kepada thâghût merupakan suatu ketaatan dari seorang hamba dengan orang yang diagungkannya, baik itu yang menyuruhnya untuk melakukan suatu perintah dan pelarangan akan sesuatu hal yang harus ditaati. Hal ini suatu kenyataan bahwa mereka hidup dalam kesesatan, karena mereka senantiasa mempengaruhi orang lain pada

hal-hal kejelekan serta menjerumuskan pada kesesatan. 60

58 al-Thabarî, Jamî' al-Bayân, Jilid. 6, h. 396-398; lihat juga Abdûh, Tafsîr al-M anâr, Jilid. 6, h. 448

59 Abdûh, Tafsîr al-M anâr, Jilid. 6, h. 449 60 al-Sya'raw i, Tafsîr al-Sy a'rawi, Jilid. 6, h. 3255

Abû Hayyân dalam tafsirnya al-Bahr al-Muhith , mengambil pendapat Zamakhsyarî, Adapun pendapat Mu'tazilah yang mengatakan bagaimana

bisa Allah menjadikan diantara mereka menjadi hamba-hamba thâghût ,

disebabkan dua hal, yakni: 61

Pertama , Allah swt tidak memberi pertolongan/ menelantarkan seluruh hamba-hambanya sehingga mereka menyembah kepada-Nya serta meninggalkan penyembahan thâghût .

Kedua, Sesungguhnya mereka divonis telah mempunyai sifat-sifat seperti itu. Intinya segala apa yang terjadi terhadap para pembangkang itu merupakan peringatan yang sangat berharga untuk dihindari oleh mereka yang tidak ditimpa sanksi tersebut, baik yang hidup ketika itu maupun generasi selanjutnya. Sekaligus ia merupakan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Sekali lagi, apakah perubahan bentuk secara hakiki atau bentuk jasmani mereka yang diubah atau bukan, dewasa ini tidaklah terlalu penting untuk dibuktikan. Yang pasti adalah akhlak mereka dan cara

berpikir mereka tidak lurus dan tidak sesuai dengan kaidah moral agama. 62 Allah swt telah memberikan pengarahan kepada Rasul-Nya supaya menghadapi Ahl Kitab dengan mengemukakan sejarah ini beserta balasan Allah swt yang mereka dapatkan sepanjang sejarahnya. Hal ini seakan-akan

61 Abû Hayyân al-Gharnâthî, al-Bahr al-M uhîth fî Tafsîr , Jilid. 4, h. 309 62 al-Thabathaba'i, al-M izân, Jilid. 6, h. 30 61 Abû Hayyân al-Gharnâthî, al-Bahr al-M uhîth fî Tafsîr , Jilid. 4, h. 309 62 al-Thabathaba'i, al-M izân, Jilid. 6, h. 30

7. Perintah agar senantiasa menyembah Allah swt dan menjauhi diri dari

penyembahan Thâghût

“ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus dalam kalangan tiap-tiap umat seorang Rasul (dengan memerintahkannya menyeru mereka): " Hendaklah kamu menyembah Allah swt dan jauhilah thâghût " . Maka di antara mereka (yang menerima seruan Rasul itu), ada yang diberi hidayah petunjuk oIeh Allah swt dan ada pula yang berhak ditimpa kesesatan. Oleh itu mengembaralah (berjalanlah) kamu di bumi, kemudian lihatlah bagaimana buruknya kesudahan umat-umat yang mendustakan Rasul-rasulnya” . (QS. al-Nahl/16: 36)

Surat al-Nahl ini diturunkan di Makkah. Ayat ini menjelaskan mengenai pokok utama tugas dari seorang Rasul jika dia diutus oleh Allah swt kepada suatu umat sesuai dengan Sunnatullah , ialah supaya menyeru, Surat al-Nahl ini diturunkan di Makkah. Ayat ini menjelaskan mengenai pokok utama tugas dari seorang Rasul jika dia diutus oleh Allah swt kepada suatu umat sesuai dengan Sunnatullah , ialah supaya menyeru,

dan menjauhkan diri dari penyembahan thâghût . 63

Allah swt tidak menginginkan perbuatan syirik dari hamba-hamba- Nya dan tidak meridhai mereka untuk mengharamkan apa yang telah dihalalkan-Nya dari segala hal kebaikan. Iradah -Nya ini telah termaktub dalam syari'at-Nya melalui lisan para rasul yang hanya dibebankan menyampaikan dakwah kepada seluruh manusia.

Sesungguhnya iradah sang Pencipta Yang Maha Bijaksana menginginkan penciptaan setiap manusia dengan segala kesiapannya untuk menerima petunjuk atau kesesatan. Dia membiarkan mereka bebas dalam memilih salah satu dari dua jalan di atas, membekali mereka akal pikiran agar ia bisa menentukan dengan akalnya itu salah satu di antara dua pilihannya. Namun, hal itu setelah Allah swt memperlihatkan ayat-ayat petunjuk-Nya di seluruh jagat raya yang bisa dijangkau oleh mata, telinga, hati dan akal manusia-kapan saja pekatnya malam dan gemilaunya cahaya siang berputar.

Kemudian rahmat Allah swt berkehendak kepada hamba-hamba-Nya agar tidak membiarkan mereka mengandalkan akalnya semata. Maka, Dia meletakkan bagi akal itu barometer yang kuat ( mizan tsabit ) pada syari'at- syari'at-Nya yang dibawa oleh para Rasul-Nya. Akal akan merujuk ke barometer tersebut setiap kali terasa samar pada urusan manusia di tengah

63 al-Râzî, Tafsîr al-Kabîr, Jilid. 10, h. 29; lihat juga Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid. XXIV, h. 26 63 al-Râzî, Tafsîr al-Kabîr, Jilid. 10, h. 29; lihat juga Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid. XXIV, h. 26

melalui mizan tsabit yang tidak akan sirna oleh manisnya dorongan dari hawa nafsu.

Allah juga tidak menjadikan para Rasul-Nya itu sebagai hamba- hamba yang senantiasa menuntun umat manusia agar mereka beriman. Akan tetapi, para Rasul itu dijadikan-Nya hanya sebagai penyampai ( muballigh ) misi-Nya, tidak lebih dari itu. Mereka mengajak manusia untuk

beribadah hanya kepada-nya dan menjauhi setiap selain-Nya seperti berhala-berhala, hawa nafsu, syahwat dan kekuasaan.

Maka ada kelompok yang merespons, dan ada pula kelompok yang enggan untuk merespons malah berpaling ke jalan kesesatan. Kedua kelompok ini sama-sama tidak lepas dari masyiatillah (kehendak Allah swt) Keduanya sama-sama tidak dipaksakan untuk mendapatkan hidayah atau kesesatan oleh Allah swt. Hanya saja orang-orang yang menempuh jalan- Nyalah yang akan Allah swt jadikan iradah -Nya tampak pada akhlaknya setelah Allah swt bekali mereka rambu-rambu jalan menuju petunjuk, baik yang terdapat pada diri mereka sendiri maupun yang tersebar di setiap ufuk

jagat raya ini. 64 Demikianlah al-Qur'an menafikan kekeliruan beberapa kaum pembangkang yang menolak dari ajaran Allah swt. Akidah Islamiyah adalah

64 Sayyid Quthb , Fî Zhilâl, Jilid 4, h. 2170-2171; lihat juga Wahbah Zuhailî, Tafsîr al-

Munîr , Jilid. 13, h. 135-136; al-Maudûdî, Towards Understanding the Qur'ân, Jilid. 4, h. 327-328 Munîr , Jilid. 13, h. 135-136; al-Maudûdî, Towards Understanding the Qur'ân, Jilid. 4, h. 327-328

untuk melakukan kebaikan dan melarang mereka melakukan kejahatan. Ayat ini menerangkan bahwa pada masing-masing setiap umat telah diutus seorang rasul, yang mana semua rasul tersebut mengajak untuk menyembah Allah swt. Seruan ini diberlakukan semenjak timbulnya kemusyrikan di tengah-tengah manusia dan sejak terjadinya manusia mempersekutukan Allah swt dengan yang lain, yaitu bermula pada zaman

kaum Nûh as. 65 Senada dengan ayat ini ialah firman Allah swt :

" Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun, sebelummu (wahai Muhammad saw), seseorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; sesungguhnya tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku; oleh karena itu maka beribadatlah kamu kepadaku." (QS. al-Anbiya'/21: 25)

Ajakan para rasul itu telah diketahui oleh umat masing-masing rasul. Allah swt tidak akan membiarkan suatu umat pun tanpa mengutus seorang pemberi petunjuk kepada mereka, dan melarang mereka melakukan kesesatan serta kemusyrikan. Di antara mereka ada orang yang memenuhi seruannya, ada pula yang disesatkan Allah swt berdasarkan kehendak-Nya,

sehingga mereka pasti menerima ketetapan Allah, dan mendapat azab. 66

65 Muhammad Nasib al-Rifa'i, Taisîru al-Aliyy al-Qadir, Jilid. 2, h. 1027; lihat juga Hamka, Tafsir al-Azhar , Jilid. XIII-XIV, h. 242-243

66 al-Marâghî, Tafsîr al-M arâghî, Jilid. 5, h. 80-81; lihat juga Shihab, Tafsir al-M ishbah,

Jilid. 7, h. 223-224; al-Thabarî, Jamî' al-Bay ân, Jilid. 13, h. 103

Ketika berbicara mengenai hidayah 67 , secara tegas ayat di atas menyatakan bahwa Allah swt telah menganugerahkan kepada seluruh

manusia, berbeda ketika menguraikan tentang kesesatan. Redaksi yang digunakan pada ayat ini adalah telah pasti atasnya sanksi kesesatan, tanpa menyebut siapa yang menyesatkan. Hal ini mengisyaratkan bahwa kesesatan tersebut pada dasarnya bukan bersumber pertama kali dari Allah swt, tetapi dari mereka sendiri. Memang di dalam al-Qur'an juga terdapat ayat yang menyatakan bahwa " Allah swt menyesatkan siapa yang Dia kehendaki" , tetapi kehendak-Nya itu terlaksana setelah (manusia) yang

bersangkutan sendiri sesat. 68

" Maka ketika mereka berpaling dari kebenaran, Allah swt memalingkan hati mereka dan Allah swt tidak memberi hidayah orang-orang fasik." (QS. al-Shaf/61: 5)

8. Allah swt memberi berita gembira (busyra) bagi mereka yang menjauhi diri dari penyembahan Thâghût

“ Dan orang-orang yang menjauhi dirinya dari menyembah atau memuja thâghût serta mereka telah kembali taat sepenuhnya kepada Allah swt, mereka akan beroleh berita yang mengembirakan (sebaik-baik sahaja mereka mulai meninggal dunia); oleh itu sampaikanlah berita tersebut kepada hamba-hambaKu” . (QS. al-Zumar/39: 17)

67 Hidayah (petunjuk) yang dimaksud di sini adalah hidayah khusus dalam bidang agama yang telah dianugerahkan Allah swt kepada mereka yang hatinya cenderung untuk

beriman dan berupaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya, lihat Shihab, Tafsir al-M ishbah,

Jilid. 7, h. 224 68 Shihab, Tafsir al-M ishbah, Jilid. 7, h. 225

Surat al-Zumar ini diturunkan di Makkah. Dalam suatu riwayat yang dikeluarkan oleh Ibn Abî Hâtim dari Zaid ibn Aslam, dikemukakan bahwa

yang dimaksud dengan 69 ﺕﻮﹸﻏﺎــﱠﻄﻟﺍ ﺍ ﻮــﺒ ﺍﺟ ﻦﻳِﺬــﱠﻟﺍﻭ (orang–orang yang

menjauhkan diri dari thâghût ) dalam ayat ini adalah Zaid ibn 'Amr ibn Nafil, Abî Dzar al-Ghiffâri dan Salmân al-Fârisî. Mereka ini di zaman Jahiliyah telah

mengaku atau berikrar bahwa ﷲ ﺍﻻﺇ ﻪـﻟﺇﻻ " tiada Tuhan kecuali Allah ". Maka

kemudian Allah swt memberikan kabar gembira kepada mereka dengan

menurunkan ayat di atas ini. 70

Ayat di atas ini telah menggabungkan antara menafikan penyembahan thâghût dengan penegasan kepada seluruh manusia tentang kembali kepada Allah swt. Hal ini mengisyaratkan bahwa sekedar menafikan dan tidak menyembah, belumlah cukup untuk menyelamatkan manusia, tetapi bersama itu haruslah disertai dengan adanya upaya

beribadah dan patuh secara murni kepada Allah swt. 71

Lafal thâghût telah menunjukkan pada suatu kepatuhan yang berlebihan hingga menyebabkan orang yang dipatuhi melampaui batas. Jika ditujukan kepada manusia bermakna sangat zalim. Ketika kamu mematuhinya untuk memenuhi kebutuhannya dia semakin angkuh

69 Orang-orang yang menjauhkan diri dari thâghût ialah orang-orang yang tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah swt.

h. 306; Wahbah al-Zuhailî, Tafsîr al-M unîr , Jilid. 23, h. 264 71 Shihab, Tafsir al-M ishbah, Jilid. 12, 206

70 al-Wâhidî al-Naisâbûrî, Asbâb al-Nuzûl, 70 al-Wâhidî al-Naisâbûrî, Asbâb al-Nuzûl,

" Maka Fir'aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik." (QS. al- Zukhruf/43: 54)

Tidak ada orang yang langsung melampaui batas dalam berbuat zalim, tetapi kezalimannya itu berakumulasi sehingga pada suatu masa

mencapai klimaksnya. Seperti hukum diktator yang bertangan besi, dimulai dari yang kecil dan sederhana. Jika masyarakatnya tahan dan bersabar, peraturan dan undang-undang diktator itu semakin keras hingga akhirnya menjadi thâghût.

Ayat ini juga menerangkan bahwa Allah swt telah berfirman dengan memberi berita gembira ( busyra ) kepada orang-orang yang meninggalkan persembahan kepada berhala-berhala dan tuhan-tuhan selain Allah swt dengan kembali kepada jalan yang benar dan lurus, yaitu mengesakan Allah swt dan melakukan ibadah dan bertakwa hanya kepada-Nya. Allah swt pun memberi berita gembira ( busyra ) pula kepada hamba-hamba-Nya yang apabila mendengarkan perkataan dan ucapan, mereka menyaringnya lalu mengikuti dan menerima apa yang paling baik dan paling benar. Orang- orang yang demikian itulah yang termasuk golongan ahli pikir yang

sempurna. 72

72 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-Azhîm , Jilid. 4, h. 60

Kita tidak akan mampu menjauhi thâghût, bila kita tidak bertekad untuk senantiasa selalu beriman dan yakin kepada Allah swt. Jikalau telah

berkembang beberapa sikap untuk menuhankan manusia, maka segeralah imbangi dengan kembali beriman kepada Allah swt. Karena kalau misalnya orang sedang bergerak maju menempuh jalan untuk memuja thâghût , kalau semangat kembali kepada Allah swt tidak berkobar-kobar, maka gerak kita akan kalah oleh gerakan memuja thâghût tersebut. Oleh karena itu bagi mereka yang menjauhi thâghût dari menyembahnya lalu segera kembali kepada Allah swt, maka Tuhan menyediakan kegembiraan baginya, sebab

dia telah mencapai kemerdekaan jiwa yang sejati. 73

Demikian juga dalam bernegara, bermasyarakat sesama manusia di peringatkan pula supaya selalu melakukan musyawarah. Jangan sampai musyawarah ditinggal karena menurutkan kehendak seorang pemimpin. Kepada pemimpin sendiri diperintahkan supaya dia mengajak musyawarah. Dengan demikian terhindar dan terjauhlah men- thâghût -kan seseorang karena bagaimana pintarnya seseorang itu tidaklah fikirannya mencakup segala soal. Bertambah tinggi kedudukan seseorang, bertambah jelaslah kelihatan di mana segi kelemahannya.

Sebab itu di dalam surat Thâha ada tersebut bahwa Nabi Mûsa as, diperintahkan oleh Allah swt pergi kepada Fir'aun menyampaikan dakwah,

73 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid. XXIV, h. 28-29 73 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid. XXIV, h. 28-29

" Pergilah kepada Fir'aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas" . (QS. Thâha/20: 24)

Dari segala uraian tersebut telah difahamkan bahwasanya orang- orang berkuasa yang sudah tidak memperdulikan lagi peraturan serta ketentuan dari Allah swt kemudian telah membuat undang-undang sendiri menurut kehendaknya guna memelihara kekuasaannya, dapat dikatakan dengan thâghût . Negara-negara tirani ( thughyân ) yang memuja-muja para pemimpinnya, kepala negara, hingga diberi gelar-gelar yang menyerupai

Tuhan, dapat juga digolongkan menjadi bahagian dari thâghût . 74 Bila menilik dari kitab-kitab tafsir al-Qur'an yang disusun oleh para ulama mutaqaddimin , seperti al-Thabarî, al-Râzî, Ibn Katsîr dan lain-lain, thâghût pada umumnya diartikan dengan bersifat berhala atau benda-benda yang dianggap dapat disembah saja. Padahal dalam perkembangan negara- negara di zaman modern, kita terkadang melihat negara-negara itu sendiri telah diberhalakan, kemudian memuja para pemimpin dan sebagainya sehingga mereka tidak sadar dengan secara tidak langsung telah me- nuhan - kan.

74 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid. XXIV, h. 28

Sebagai contoh seperti yang terjadi pada kaum komunis, tidak mengakui akan adanya Tuhan, tetapi disiplin untuk memuja para pemimpin

menyebabkan komunis menjadi satu "agama" menyembah tuhan pemimpin. Jerman Nazi memberi gelar pada Hitler " Der Feuhrer " yang berarti "pemimpin". Fascist Italia memberi gelar kepada Musollini " Il Duce " yang berarti pemimpin juga (gelar kehormatan kepada Musollini).

Bagaimanapun, tak seorang pun meragukan bahwa seorang tiran ( thughyân ) adalah penguasa tunggal. Sekali kekuasaannya telah berurat akar,

seorang tiran ( thughyân ) terang-terangan akan menggunakan teror (ancaman) untuk menyurutkan setiap usaha menggulingkannya. Taktik "memecah belah dan melumpuhkan" digunakan para tiran ( thughyân ) agar ia tetap bertahan pada kekuasaannya. Ia selalu memelihara pertentangan golongan di bawah payung kesatuan sehingga mereka tidak mampu menggabungkan kekuatan dan kemudian menyerangnya. Namun kesudahan hidup dari para pemimpin-pemimpin yang dituhankan tersebut sangatlah menyedihkan. Ada yang mati bunuh diri dan ada juga yang mati

dibunuh dengan sangat hina. 75

75 Jules Archer, The Dictators, Fascits, Communists, Despots and Tyrants-The Biographies of " The Great Dictators" of The M odern W orld, Terj. Dimyati AS, Kisah Para

Diktator; Biografi Politik Para Penguasa Fasis, Komunis, Despotis dan Tiran , (Yogyakarta: Narasi, 2004), h. 18-19

Sebab itu maka dengan tuntunan ayat ini, kaum beriman diberi suatu peringatan agar selalu senantiasa menjauhi dari thâghût atau thughyân , dan

senantiasa selalu mengingat kepada Allah swt.

C. Faktor Manusia berbuat Thâghût/Thughyân

Adapun faktor utama yang menyebabkan manusia berbuat thâghût atau thughyân, dapat dilihat dari segi ibadah serta merasa memiliki banyak harta atau merasa memiliki kekuasaan yang dipatuhi. 76 Keempat faktor thughyân di bawah ini, bila tidak ditanggulangi sesuai dengan Sunnatullah Ta'ala, dapat dengan mudah menghancurkan dan membinasakan seluruh umat manusia, di antaranya adalah :

1. Timbulnya penyembahan terhadap thâghût . Di antara faktor yang terpenting dalam sejarah jahiliyah dahulu adalah adanya para thâghût dari kalangan manusia dan mengendalikan manusia untuk memenuhi syahwat mereka. Mereka menolak untuk kembali dengan segera apa yang Allah swt telah turunkan.

Mereka menetapkan aturan atau syari'at yang tidak ditetapkan oleh Allah swt sehingga mereka menghalalkan dan mengharamkan sesuatu dengan kemauannya sendiri, karena mengikuti hawa nafsunya, dan mereka memaksakan aturan atau syari'at mereka yang palsu kepada manusia dengan kekuasaan yang dimilikinya. Mereka para thughyân itu secara nyata

76 'Abdul Karîm Zaidân, al-Sunnan al-Ilâhiy ah fî al-Umam wa al-Jamâ'ât wa al-Afrâd

fî al-Syarî'ah al-Islâmiy ah , (Beirût: Mu'assasah al-Risâlah, 1998), h. 209-210 fî al-Syarî'ah al-Islâmiy ah , (Beirût: Mu'assasah al-Risâlah, 1998), h. 209-210

sesungguhnya Dia Maha Mengetahui. 77

" Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah swt yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan

malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah- Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah swt, Rabb semesta alam." (QS. al-A'raf/7: 54)

" Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah swt mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." QS. al-Baqarah/2: 216)

Allah swt dengan hak uluhiyah dan rububiyah -Nya kepada seluruh makhluk, dan dengan kesempurnaan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu. Dia-lah yang lebih berhak untuk mengatakan ini haram dan itu halal, ini baik dan itu jelek, ini boleh dan tidak boleh.

Maka apabila datang seseorang, siapa pun dia, dan mengaku dirinya memiliki hak penghalalan dan pengharaman akan sesuatu hal, melarang

77 Muhammad Qutb, M uqarrar Ilm al-Tauhîd , Terj. Ali Maskuri " M elawan Syirik dan

Ilhad ", (Jakarta: Harakah, 2002), h. 11 Ilhad ", (Jakarta: Harakah, 2002), h. 11

2. Thughyân Mâl (harta). Yakni thughyân yang disebabkan oleh harta, al-mâl (harta) merupakan

segala sesuatu yang hati kita condong kepadanya, jiwa menjadi nyaman dan dapat dijadikan sebagai perantara untuk mencapai segala keinginan hawa nafsu (baca, hasrat duniawi) berupa berbagai kenikmatan.

Bentuk zahir pengaruh thughyân mâl ini adalah seseorang menjadi orang yang mutraf (bermewah-mewah dengan kehidupan dunia dan segala syahwatnya sehingga dengan nikmat itu menjadikannya lalim). Kebiasaan ini dipengaruhi oleh gaya hidup mereka yang penuh kesenangan melimpah dan menjadikannya sombong serta tenggelam dalam kenikmatan dan syahwat, menjadikan mereka lebih cepat daripada yang lain dalam mendustakan para rasul Allah swt dan menolak kebenaran yang dibawanya dengan dalil yang bathil, karena mereka bangga dengan apa yang mereka miliki berupa harta dan anak, merasa punya kedudukan dan kekuasaan yang tertinggi, banyak pengikut serta terpandangnya status sosial mereka di masyarakat.

Orang-orang yang berpikiran seperti ini pikirannya hanya tertuju kepada kenikmatan dunia serta menumpuk-numpuk harta, mereka tidak

perduli dengan kemungkaran yang merajalela pada manusia. Mereka tidak merasa terganggu dan tidak berusaha untuk mencegahnya, karena kesibukan dan perhatiannya hanya tertuju kepada kenikmatan duniawi.

Jika kebiasaan orang-orang yang hidup seperti ini menolak kebenaran dan manhaj hidupnya selalu mengutamakan kesenangan, kemewahan dan

kehidupan yang makmur dan tidak terusik oleh kemungkaran masyarakat, maka sungguh tidak mengherankan jika sikap mereka terhadap kaum muslim khususnya dan umat manusia pada umumnya selalu menghalang- halangi dan menolak apa yang diserukannya, karena seruan kaum muslim adalah ajakan kepada Islam yang membongkar keterpedayaan mereka oleh harta dan kesesatannya.

Sunnatullah telah berlaku bagi orang-orang yang thughyân mâl , dengan kenikmatan tersebut telah menjadikannya takabur sehingga mendustakan para rasul Allah swt dan menolak dakwahnya. Mereka pasti akan dibinasakan dan akan merasakan azab dari Allah swt. Sebagaimana firman Allah swt:

" Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang zalim yang telah Kami binasakan, dan Kami adakan sesudah mereka itu kaum yang lain (sebagai penggantinya). Maka tatkala mereka merasakan azab Kami, tiba-tiba mereka melarikan diri dari negerinya. Janganlah kamu lari tergesa-gesa; kembalilah kamu kepada nikmat yangtelah kamu rasakan dan kepada tempat-tempat kediamanmu (yang baik), supaya kamu ditanya." (QS. al-Anbiya'/21: 11-13)

Dalam tafsiran ayat ini, sesungguhnya kaum yang zalim yang hidup dalam kemewahan, dimana kenikmatannya itu menjadikannya takabur dan lalim serta menolak kebenaran yang dibawa oleh para rasul, sungguh mereka telah menzalimi diri mereka sendiri dan menzalimi orang lain

dengan kelakuannya tersebut, maka mereka berhak mendapatkan azab. 78

3. Thughyân Sulthân (kekuasaan). Maksudnya di sini adalah manusia melampaui batas dan ukurannya disebabkan oleh kekuasaan yang dimilikinya, sebagai alat untuk memerintah atau melarang kepada orang lain yang harus dipatuhi, meskipun dengan cara paksa. Thughyân semacam ini banyak menjangkiti para hakim dan penguasa, karena kekuasaan dan thughyân mereka berinteraksi dengan manusia, yang mana mereka dicoba oleh buruknya thughyân sendiri.

Untuk gambaran contoh dari thughyân sulthân , sebagaimana telah dikisahkan dalam al-Qur'an. Seperti fenomena yang terjadi pada Fir'aun, maupun kaum-kaum yang telah diutus nabi untuk menyebarkan ajarannya. Sifat-sifat ( thughyân ) yang seperti ini kadang-kadang digambarkan oleh al-

78 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-Adzîm , Jilid. 3, h. 213-214

Qur’an sebagai sifat individu dan kadang-kadang sebagai sifat kaum/ kelompok.

Di antara thughyân sulthân adalah menzhalimi para manusia, sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur'an :

" Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat kepada kaum 'Âd? (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamûd yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Fir'aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka azab, sesungguhnya tuhanmu benar-benar mengawasi." (QS. al-Fajr/89: 6-14)

Ibn Katsîr menafsirkan mengenai firman Allah swt ِﺩ ﹶﻼ ِﺒﹾﻟﺍ ﻰ ِﻓ ﺍﻮﻐﹶﻃ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ ( ١ ٢ ) ﺩﺎﺴﹶﻔﹾﻟﺍ ﺎﻬﻴِﻓ ﺍﻭﺮﹶﺜﹾﻛﹶﺄﹶﻓ ( ١١ ) (yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu

mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu.) maksudnya, mereka membangkang, congkak dan takabur di muka bumi dengan berbuat

kerusakan dan menyakiti manusia. 79

al-Alûsî berkata mengenai ayat ( ١٠ ) ﺩ ﺎﺗﻭ ﺍَﻷ ﻯ ِﺫ ﹶﻥﻮﻋﺮِﻓﻭ , yaitu Fir'aun

disifati demikian karena terlalu banyaknya tentaranya, atau karena dia yang memukul orang yang disiksanya dengan empat tiang dan menganiayanya

79 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-Adzîm , Jilid. 4, h.508 79 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-Adzîm , Jilid. 4, h.508

tentara, pasukan perang, dan kelompok yang menyokong kekuasaannya. Ini

sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn 'Abbâs, ( ١١ ) ِﺩ ﹶﻼ ِﺒﹾﻟﺍ ﻰ ِﻓ ﺍﻮﻐﹶﻃ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ yakni,

kaum 'Âd, Tsamûd dan Fir'aun. Thaghaw , yakni mereka yang membangkang, congkak dan melampaui batas dalam kezhaliman dan

permusuhan. ( ١

٢ ) ﺩﺎﺴﹶﻔ ﹾﻟﺍﺎﻬﻴِﻓ ﺍ ﻭﺮﹶﺜﹾﻛﹶﺄﹶﻓ , yakni lalim dan menyiksa.

Adapun balasan dari thughyân sulthân ini, dalam ayat di atas telah penulis sebutkan dari surat al-Fajr, setelah menceritakan thughyân Fir'aun dan orang-orang yang sebelumnya dinyatakan, " yang berbuat sewenang- wenang dalam nengeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka azab, sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi."

Dalam tafsiran ayatnya disebutkan, yakni diturunkan kepada mereka siksaan dari langit dan ditimpakan kepada mereka balasan yang tidak bisa ditolak oleh orang-orang yang berbuat

dosa. 82

80 al-Alûsî al-Baghdadî, Rûh al-M a’ânî fî Tafsîr al-Qur'ân al-Azhîm , (Beirût: Dâr al- Fikr, 1994), Jilid. 30, h. 124

81 Muhammad ibn Ahmad ibn Abu Bakar al-Farh al-Qurthubî, al-Jâmi' li Ahkâm al-

Qur'ân , (Kairo: Dâr al-Sya'b, 1327 H), Jilid. 30, h. 48 82 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-Adzîm , Jilid. 4, h. 508

Dalam Tafsir al-Qurthubî dijelaskan mengenai ayat ِﺩﺎﺻﺮِﻤﹾﻟﺎِﺒﹶﻟ ﻚﺑﺭ ﱠﻥِﺇ ( ١٤ ) , yakni Allah swt mengawasi perbuatan setiap orang sehingga Dia

membalasnya. 83

Sedangkan al-Alûsî ketika menjelaskan ayat ( ١٤ ) ِﺩﺎﺻﺮِﻤﹾﻟﺎِﺒﹶﻟ ﻚﺑﺭ ﱠﻥِﺇ

(sesungguhnya tuhanmu benar-benar mengawasi,) bahwa ayat ini adalah sebagai alasan bagi ayat sebelumnya, dan sebagai pemberitahuan bahwasanya orang-orang kafir dari kaumnya akan ditimpa siksaan yang telah disebutkan dalam ayat itu sebagaimana yang telah ditimpakan kepada mereka (Fir'aun dan kaumnya.)

Ayat di atas sebagai ancaman mutlak bagi orang-orang yang berlaku maksiat. Menurut sebagian ulama, sebagai ancaman bagi kekufuran. Sementara menurut sebagian ulama lainnya, sebagai ancaman bagi orang-

orang yang berlaku berbuat maksiat dan bagi yang lainnya. 84

4. Zhâlim Kata zhâlim , seperti yang sering kita lihat, biasanya senantiasa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai makna " wrong doer" atau " evil doer" , demikian pula dengan bentuk nominalnya zhulm senantiasa pula diterjemahkan dengan berbagai cara dan makna seperti " wrong" , " evil" , " injustice" dan " tiranny" . Akar kata zhulm tersebut memainkan peranan yang sangat penting dalam al-Qur'an. Ia merupakan salah satu makna yang

83 al-Qurthubî, al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân , Jilid. 20, h. 50-51 84 al-Alûsî, Rûh al-M a’ânî , Jilid. 30, h. 121 83 al-Qurthubî, al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân , Jilid. 20, h. 50-51 84 al-Alûsî, Rûh al-M a’ânî , Jilid. 30, h. 121

membuat hati seseorang menjadi gelap. 86

Indikasinya ialah jika dia berbuat jahat, dia tidak lagi merasa berbuat jahat dan selalu mendapatkan jalan untuk membenarkan dirinya. Inilah yang disebutkan dalam al-Qur'an, orang itu telah dihiaskan oleh syaithân perbuatan jahatnya sehingga nampak seperti baik.

" Maka apakah orang yang dijadikan (syaithân) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia menyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak

ditipu oleh syaithân)? Maka sesungguhnya Allah swt menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (QS. Fâthir/35: 8)

85 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur'an , Terj. Mansuruddin Djoely, Etika Beragama dalam Qur'an , (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 265

86 Untuk makna lebih lanjut dapat merujuk pada QS. al-Nisa'/ 4: 40-44, 49-52; Lihat Nurcholish Madjid, Pesan-Pesan Takwa; Kumpulan Khutbah Jum'at di Paramadina, (Jakarta:

Paramadina, 2000), h. 130-131

Dunia ini hancur karena adanya orang-orang yang berbuat jahat tapi merasa berbuat baik. Hatinya tidak lagi nurani tetapi sudah zhulm.

Kebiasaan itu menjadi watak kedua. Kalau kita sudah biasa jahat maka itu menjadi watak kita dan tidak terasa. Itulah yang disebut dengan kebangkrutan ruhani.

Kata zhulm, sebagaimana telah dikemukakan pada permulaan di atas, bermakna beberapa bentuk perilaku manusia yang melampaui batas

yang telah disepakati secara umum dan melanggar hak orang lain. Namun yang kita harapkan bersama, justru sudah menjadi kewajiban bagi suatu negara haruslah mencegah tindakan kezhaliman dan melindungi orang- orang yang senantiasa dizhalimi, di samping menghukum orang yang berbuat zhalim.

Bentuk kezhaliman yang paling sadis adalah melindungi orang yang senantiasa berlaku kelaliman dan melampaui batas dalam hal berkuasa. Bentuk kezhaliman seperti ini dan yang lainnya, jika "diciptakan" oleh suatu negara, dilindungi atau disokong, maka akan memberikan efek psikis negatif dalam jiwa rakyatnya berupa putus harapan pada negara dan menimbulkan krisis kepercayaan. Jika keadaan ini semakin parah, maka sudah dipastikan rakyat akan bersikap masa bodoh terhadap negara, lemah Bentuk kezhaliman yang paling sadis adalah melindungi orang yang senantiasa berlaku kelaliman dan melampaui batas dalam hal berkuasa. Bentuk kezhaliman seperti ini dan yang lainnya, jika "diciptakan" oleh suatu negara, dilindungi atau disokong, maka akan memberikan efek psikis negatif dalam jiwa rakyatnya berupa putus harapan pada negara dan menimbulkan krisis kepercayaan. Jika keadaan ini semakin parah, maka sudah dipastikan rakyat akan bersikap masa bodoh terhadap negara, lemah

melindunginya dari serangan pihak luar. 87

Keadaan ini akan semakin buruk berupa "senangnya" rakyat terhadap kehancuran dan musnahnya negara, meskipun negara lain menguasainya (dari pihak musuh), ucapan mereka menggambarkan kesenangan

dengan mengatakan, "sesungguhnya negara ini bukan rumah idaman kami yang di dalamnya

terdapat keamanan, perlindungan, ketenangan terhadap hak-hak kami, dan tidak ada pembalasan bagi orang-orang yang berlaku zhâlim .

Jika kezhaliman terus-menerus dilakukan dan tersebar luas yang diciptakan oleh negara, atau sengaja dilindungi dan tidak ada tindakan pencegahan serta pura-pura menutup mata, maka persoalannya akan berbalik arah, yakni akan membantu pihak musuh untuk bersama-sama menghancurkan negara yang mereka anggap sebagai musuh.

Maka, wajib bagi setiap manusia untuk menjelaskan kepada individu yang lainnya bahwa roda kehidupan berjalan atas aturan Sunnatullah yang global, di antaranya Sunnatullah dalam pertarungan antara yang hak dan yang bathil. Oleh karenanya, perlu diketahui bagi setiap manusia bahwa untuk menumpas para thaghût dan penguasa yang zhâlim , diperlukan suatu

87 'Abdul Karîm, Zaidân, al-Sunnan al-Ilâhiyah fî al-Umam wa al-Jamâ'ât wa al-

Afrâd fî al-Syarî'ah al-Islâmiyah , h. 139 Afrâd fî al-Syarî'ah al-Islâmiyah , h. 139

BAB IV HAKIKAT KISAH THÂGHÛT DALAM AL-QUR’AN

A. Kisah Umat Manusia yang memiliki Watak dan Temperamen Thâghût dalam al-Qur’an

Kisah-kisah al-Qur'an bukanlah buku sejarah yang menampilkan peristiwa-peristiwa secara kronologis dan hanya memuat berita tentang perilaku-perilaku manusia semata. Namun kisah-kisah al-Qur'an tersebut

merupakan interpretasi atas sejarah dan hukum-hukumnya, pola pergerakan sejarah dengan pengetahuan-pengetahuan dan legislasi-legislasi, sembari mengemukakan fenomena-fenomena pemikiran, politik dan ekonomi yang tidak termasuk dalam hukum-hukum temporal sebagaimana peristiwa- peristiwa sejarah, tetapi ia adalah seperti hukum-hukum sejarah itu sendiri. Salah satu contohnya adalah fenomena Fir'aun, Hâmân, Qârûn dan beberapa kaum dimana para nabi-nabi telah diutus untuk menyebarkan ajarannya.

al-Qur’an ketika berbicara mengenai thâghût , pada awalnya ini banyak menyoroti pada bentuknya wathaniyyat ( paganisme ) atau keberhalaan. Thâghût dalam bentuk paganisme 1 tersebut, sebenarnya telah lama muncul di kalangan umat manusia, kemudian dengan bergeraknya zaman lalu berkembang menjadi suatu tindakan yang sewenang-wenang dalam

1 Paganisme telah mengantarkan manusia ke dalam satu sistem kehidupan yang teramat keji, berbagai pola kehidupan jahiliyah pun berkembang karena sarananya telah disediakan oleh

penguasa la’natullah ( thâghût ). Jika yang haq sedikit saja muncul ke permukaan, maka mereka langsung ingin memusnahkannya dengan tindak kebathilan mereka.

berkuasa (tirani), Sikap-sikap mengabaikan dan melanggar hukum serta aturan adalah tiranisme ( thughyân ) yang dalam berbagai kisah dalam al- Qur'an digambarkan sebagai permusuhan kepada Allah swt. 19 2 sebagaimana yang telah terjadi di zaman Fir'aun, dan zaman-zaman yang lain. Dari penuturan al-Qur'an, diketahui bahwa jauh sebelum datangnya Nabi Muhammad saw, paham keberhalaan ini telah dianut oleh manusia. Para al-Anbiya' yang diutus kedunia ini, sejak Nabi Nûh as hingga Nabi Muhammad saw, pada umumnya bertemu dengan masyarakat penganut paganisme tersebut. Karena itu, dakwah mereka yang pertama dan utama adalah menanam-kokohkan akidah tauhid dan mengikis habis paham

keberhalaan itu. 3

" Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun, sebelummu (wahai Muhammad saw), seseorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; sesungguhnya tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku; oleh karena itu maka beribadatlah kamu kepadaku." (QS. al-Anbiya'/21: 25)

" Dan sesungguhnya Kami telah mengutus dalam kalangan tiap-tiap umat seorang Rasul (dengan memerintahkannya menyeru mereka): " Hendaklah kamu menyembah Allah dan jauhilah thâghût " . Maka di antara mereka (yang menerima seruan Rasul itu), ada yang diberi hidayah petunjuk oIeh Allah swt dan ada pula yang berhak

2 Adapun salah satu prototipe tokoh tiran ( thâghût ) yang memusuhi Tuhan ialah Fir'aun, yang ceritanya dituturkan berulang kali dalam al-Qur'an

3 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Qur'an; Suatu kajian Teologis dengan

Pendekatan Tafsir Tematik , (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 136 Pendekatan Tafsir Tematik , (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 136

Dengan demikian, misi utama para Rasul-Allah tersebut adalah menanamkam akidah tauhid kepada seluruh umatnya sebagai benteng untuk melawan seluruh bentuk kemusyrikan.

Pengertian thâghût dalam al-Qur’an sangat bervariasi seperti sesat, durhaka, melampaui batas, membuat kerusakan dan berprilaku sewenang-

wenang. Sifat-sifat yang seperti ini kadang-kadang digambarkan oleh al- Qur’an sebagai sifat individu dan kadang-kadang sebagai sifat kelompok. Sekalipun sifat thâghût ini dikaitkan dengan individu dan kelompok namun al-Qur’an mensinyalir bahwa kedua-duanya saling berkoalisi untuk memadukan programnya. Berdasarkan adanya koalisi inilah maka kecaman al-Qur’an terhadap thâghût selalu ditujukan kepada pemimpin dan juga kelompok yang mendukungnya, dan justru itulah kiprah thâghût dapat menjadi bahaya latent dalam setiap kehidupan manusia khususnya lagi dalam setiap kehidupan bernegara dan berbangsa.

Dalam al-Qur'an digambarkan mengenai celaan atau sanksi yang akan diterima oleh para para penguasa yang mengaku sebagai penguasa yang melebihi dari kekuasaan Allah swt, dan mereka pun menjadikan hamba-hamba Allah swt sebagai hamba-hamba mereka, seperti Fir'aun dan pengikut-pengikutnya.

Namun di dalamnya pun (al-Qur'an) bukan hanya mencela orang- orang takabur yang mengaku Tuhan saja, tapi juga mencela bangsa-bangsa

yang senantiasa tunduk kepada orang-orang yang takabur dan zalim tersebut. al-Qur'an membebankan tanggung jawab ke pundak berbagai bangsa tersebut berikut dengan para pemimpin mereka. Sebagaimana firman Allah swt dalam QS. Nûh/ 71: 21, QS. Hûd/ 11: 59, QS. Hûd/ 11: 97-

98. Dengan cermat sekali al-Qur'an pun mengaitkan antara kezaliman

dengan tersebarnya kerusakan, yang merupakan penyebab runtuhnya berbagai bangsa di masa lalu. Seperti firman Allah swt dalam QS. al-Fajr/ 89: 6-14. Kadang-kadang al-Qur'an juga senantiasa mengkaitkan hubungan antara "kezaliman" dengan kata "keangkuhan", yaitu kesombongan dan keangkara-murkaan dengan menghina dan merendahkan hamba-hamba Allah swt. Sebagaimana firman Allah swt mengenai Fir'aun dalam QS. al- Dukhân/ 44: 31 dan QS. al-Qashash/ 28: 4.

Untuk mengetahui lebih jauh akan sikap dan prilaku dari thâghût tersebut, dalam penulisan ini penulis memaparkan akan beberapa contoh dari sifat thâghût bila dikaitkan dengan individu dan kelompok (masyarakat).

Sebagaimana dalam lembaran sejarah para al-Anbiya' , Nabi Nûh as, menemukan berhala-berhala, yang selalu dipuja oleh umatnya. Di antara Sebagaimana dalam lembaran sejarah para al-Anbiya' , Nabi Nûh as, menemukan berhala-berhala, yang selalu dipuja oleh umatnya. Di antara

" Dan (ketua-ketua) mereka (menghasut dengan) berkata: `Jangan kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu, terutama (penyembahan) Wadd, dan Suwâ', dan Yaghûtsa, dan Ya'ûq, serta Nasrâ." (QS. Nûh/71:23).

Sedangkan Nabi Hûd as, mendapati kaumnya yakni kaum 'Âd, bergelimang dalam kemusyrikan. Mereka menyembah berbagai tuhan-tuhan

yang amat banyak. Ketika Nabi Hûd as, menyeru mereka untuk bertauhid, mereka menjawab:

" Mereka berkata: " Wahai Hûd as! Engkau tidak membawa kepada kami sebarang keterangan yang membuktikan kebenaranmu, dan kami tidak akan meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan kami dengan sebab kata-katamu itu! Dan kami tidak sekali-kali percaya kepadamu!" (QS. Hûd/11: 53).

Nabi Shâleh as, dengan kaumnya yakni kaum Tsamûd, bergelimang dengan kemusyrikan. Serta menolak ajaran yang telah diturunkan oleh Allah swt. Sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur'an :

" Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamûd saudara mereka, Shâleh as. Ia berkata : " Hai kaumku, sembahlah Allah swt, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina Allah swt ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di " Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamûd saudara mereka, Shâleh as. Ia berkata : " Hai kaumku, sembahlah Allah swt, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina Allah swt ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di

Nabi Muhammad saw sendiri, pada periode pertama dari kerasulannya, atau lebih dari separoh masa perjuangannya, dihabiskan untuk menghadapi kaum musyrikin, penyembah berhala. Bahkan ketika Nabi saw sudah berhijrah ke Madinah, kaum musyrik tersebut masih merupakan musuh utama yang harus dihadapinya. Perlawanan mereka baru dapat dipadamkan ketika kaum Muslim, berhasil menaklukan Mekkah

pada tahun kedelapan hijriyah . 4

Jadi kemusyrikan dalam bentuk keberhalaan, tampaknya merupakan ciri budaya dari masyarakat jahiliyah dahulu, seperti halnya umat para al- Anbiya' diatas. Berhala-berhala tersebut, baik dalam wujud patung maupun bentuk-bentuk lainnya, dijadikan sebagai sembahan, obyek pemujaan dan tempat menggantungkan harapan yang di dambakan, karena dianggap dapat mendatangkan manfaat dan menolak berbagai mara-bahaya. Karena disembah dan dipuja, jadi dapat dikatakan bahwa berhala-berhala tersebut

berfungsi sebagai tuhan ( âlihât ). 5

Tuhan-tuhan kecil inilah yang dijadikan oleh orang-orang musyrik sebagai sekutu ( syuraka' ) dan tandingan ( andad ) bagi Allah swt, baik dalam hal rububiyyat maupun dalam hal uluhiyyat -Nya. Dengan kata lain, sembahan-sembahan itu dianggap sebagai tandingan ( andad ) bagi Allah swt

4 Muhammad Sa'id Ramadhân al-Buhthy, Fiqh al-Sîrah , (Beirût: Dâr al-Fikr, 1397), h. 45 5 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Qur'an , h. 138 4 Muhammad Sa'id Ramadhân al-Buhthy, Fiqh al-Sîrah , (Beirût: Dâr al-Fikr, 1397), h. 45 5 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Qur'an , h. 138

dikatakan sebagai menentang kekuasaan dan kesempurnaan-Nya. 6 al-Qur'an sebagai petunjuk telah memberikan banyak contoh yang menjelaskan akan perbuatan thâghût atau thughyân yang dilakukan oleh kaum dimana para Nabi telah diutus untuk menyebarkan ajarannya.

a. Kaum Nabi Nûh as.

Nabi Nûh as, merupakan Nabi yang pertama mengemban amanat dakwah Islam, sedangkan Nabi Adam as, tidak dijelaskan dalam al-Qur'an pengemban risalah ilahi, tapi beliau adalah " Abû Basyar " sebagai seorang pendidik bagi anak-anak serta cucu-cucunya dan petunjuk akan eksistensi

Sang Pencipta Alam. 7

Nabi Nûh as mengajak kaumnya untuk senantiasa selalu menyembah Allah swt, sebagaimana tersebut dalam al-Qur'an :

6 Lihat misalnya pada QS. al-Baqarah/ 2: 22 yang memerintahkan manusia menyembah Tuhan dan melarang mereka menjadi andad bagi-Nya, lihat pula pada QS. al-Nisa'/ 4: 36, QS. al-

An'am/ 6: 151, QS. Luqman/ 31: 13 dan lain-lain. 7 Samih 'Athif al-Zain, Qashâsh al-Anbiy a' fî al-Qur'ân al-Karîm , (Beirût: Dâr al-Kutub

Libnanî, 1988), h. 102

" Sesungguhnya Kami telah mengutuskan Nabi Nûh as kepada kaumnya, lalu berkatalah ia: " Wahai kaumku! Sembahlah kamu akan Allah swt, (sebenarnya) tidak ada Tuhan bagi kamu selain daripada-Nya. Sesungguhnya aku bimbang, kamu akan ditimpa azab hari yang besar yakni (hari kiamat)." (QS. al-A'raf/7: 59)

Nabi Nûh as, datang dengan membawa ajaran kebenaran, kesetaraan manusia dan persaudaraan yang kesemuanya ini tercakup di dalam konsep tauhid.

Namun kaumnya senantiasa mendustakannya, membantah seruan dan nasehatnya. Nabi Nûh as, memohon agar orang-orang kafir tersebut dimusnahkan dari permukaan bumi ini; dan memohon agar orang-orang yang beriman bersamanya di selamatkan dari adzab. Sebagaimana firman Allah swt :

“ Dan kaum Nabi Nûh as sebelum itu (telah juga dibinasakan). Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sangat zalim dan sangat melampaui batas” . (QS. al-Najm/53: 52)

Yakni kelaliman mereka lebih hebat daripada umat-umat yang setelah mereka.

Nabi Nûh as menerima wahyu untuk membuat kapal yang besar; banyak caci maki dan berbagai olokan yang dilontarkan oleh kaumnya yang mendustakan agama Allah swt; Nabi Nûh as menerima wahyu untuk memuatkan binatang-binatang secara berpasangan di atas kapal yang dibuat. Langit menurunkan air hujan dan bumi pun memancarkan air dari permukaannya; Nabi Nûh as berlayar bersama kaumnya, dan memanggil- Nabi Nûh as menerima wahyu untuk membuat kapal yang besar; banyak caci maki dan berbagai olokan yang dilontarkan oleh kaumnya yang mendustakan agama Allah swt; Nabi Nûh as menerima wahyu untuk memuatkan binatang-binatang secara berpasangan di atas kapal yang dibuat. Langit menurunkan air hujan dan bumi pun memancarkan air dari permukaannya; Nabi Nûh as berlayar bersama kaumnya, dan memanggil-

Sebagaimana dalam QS. Nûh/ 71: 25-28, QS. al-Syu'arâ'/ 26: 117-122, QS. Hûd/ 11: 37, 40-41, QS. al-Mu'minûn/ 23: 26-31, QS. al-Qamar/ 54: 11-15, QS. al-Shâffât/ 37: 78-82.

Allah swt menenggelamkan orang-orang yang tidak beriman itu dalam limpahan air yang telah melampaui batasnya (banjir) yang melanda

seluruh negeri; dengan izin Allah swt lantaran do'a yang dipanjatkan oleh Nabi Nûh as, agar menjadi hukuman bagi kaumnya yang telah mendustakannya dan menyalahinya, lalu bagi mereka yang menyembah selain Allah swt, maka Allah swt mengabulkan permohonannya tersebut dan meratakan penduduk negeri melalui badai kecuali orang-orang yang bersama Nabi Nûh as dalam perahu. Oleh karena itu, maka semua manusia yang ada sekarang adalah keturunan generasi Nabi Nûh as dan para pengikutnya.

Demikianlah akibat bagi kaum yang mendustakan Allah swt dan Rasul-Nya; semoga kejadian yang demikian tersebut dapat dijadikan sebagai ibroh bagi mereka yang hidup dikemudian hari; Hal ini digambarkan dalam firman Allah swt :

“ Sesungguhnya Kami,-ketika air (banjir) tersebut telah melampaui had(batas)nya (serta menenggelamkan gunung-gunung),-telah bawa (serta menyelamatkan nenek moyang) kamu ke dalam bahtera Nabi Nûh as (yang bergerak laju pelayarannya)” . (Qs. al-Hâqqah/69: 11)

" Mereka terus mendustakannya, lalu Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami karamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya daripada melihat kebenaran)" . (QS al-A'raf/7: 64)

" Mereka tetap juga mendustakan Nabi Nûh as, lalu Kami selamatkan dia bersama- sama pengikut-pengikutnya yang beriman di dalam bahtera, dan kami jadikan mereka pengganti-pengganti (yang memakmurkan bumi) serta Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami (dengan banjir dan taufan sehingga punah-ranah semuanya). Maka lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang (yang mendustakan ayat-ayat kami) setelah diberi amaran." (QS. Yûnus/10: 73)

b. Kaum Nabi Hûd as. (Kaum 'Âd)

Sifat yang cukup menonjol pada diri manusia adalah pembangkangan terhadap kebenaran yang tidak relatif (kebenaran mutlak) yang digariskan oleh Allah swt. Guna menyampaikan kebenaran mutlak kepada para hamba-Nya, Allah swt mengutus para nabi dari zaman ke zaman. Sebagaimana Nabi Muhammad saw, yang memperjuangkan tauhid di tengah-tengah masyarakat jahiliyah yang penuh dengan kemusyrikan, begitu pulalah nabi-nabi terdahulu menghadapi umatnya yang durhaka kepada

Allah swt. Mereka menghambakan diri kepada berhala-berhala hasil buatan mereka sendiri.

Jauh sebelum masa Fir'aun, hiduplah suatu kaum yang mental dan fisiknya amat kokoh bernama 'Âd. Mereka merupakan kabilah Arab kuno yang amat fanatik menghambakan diri dan menyembah berhala.

al-Qur'an ketika berbicara tentang kaum 'Âd yang kepada mereka diutus Nabi Hûd as. al-Qur'an banyak menguraikan perihal tentang kaum

ini, baik dari segi kemampuan dan kekuatan mereka, maupun kedurhakaan dan pembangkangan mereka terhadap Tuhan dan utusan-Nya. Mereka akhirnya dihancurkan Allah swt dengan angin ribut yang sangat dingin lagi

kencang. 8 Hal ini dilukiskan oleh Allah swt dalam firman-Nya :

" Adapun 'Âd (kaum Nabi Hûd as), maka mereka telah dibinasakan dengan angin ribut yang sangat dingin lagi kencang. Allah swt menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari secara terus menerus, maka kamu lihat kaum 'Âd ketika itu, mati bergelimpangan bagaikan tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk)." (QS. al-Hâqqah/69: 6-7)

Ibn 'Abbâs mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "kosong" di sini adalah rusak binasa. Sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur'an :

" Dan bahawa sesungguhnya, Dia lah yang membinasakan kaum 'Âd yang pertama

(kaum Nabi Hûd as)" . (QS. al-Najm/53: 50)

8 Muhammad Nasib al-Rifa'i, Taisiru al-'Aliyy al-Qadir li Ikhtishar al-Tafsir Ibn

Katsir , (Riyadh: Maktabah Ma'arif , 1989), Jilid. 4, h. 519

Dan telah diuraikan pula dalam al-Qur'an bahwa kaum 'Âd memiliki kemampuan yang luar biasa sehingga mereka telah membangun negerinya

dengan tiang-tiang yang tinggi dan belum pernah dibangun di negeri lain

sehebat dan seindah itu sebelumnya. 9

" Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Âd. Yaitu, penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. Yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain." (QS. al-Fajr/89: 6-8)

Namun setelah mereka maju, mereka tak pandai bersyukur kepada Allah swt, bahkan Nabi Hûd as sendiri mereka lecehkan. Sejarah sepeninggalan Nabi Nûh as ternyata terulang kembali di lingkungan kaum di mana Nabi Hûd as diutus oleh Allah swt untuk memerangi kemungkaran kaum tersebut. Kaum 'Âd adalah kaum yang terkenal paling durhaka di zamannya. Mereka hidup di negeri Ahqâf, antara Yaman dan Oman sekarang ini.

Konon, bangsa 'Âd termasyhur karena kemampuan dan kekuatan yang mereka miliki. Hidup di tanah yang subur dan di tumbuhi dengan berbagai pepohonan yang bermanfaat. Hidup mereka demikian makmurnya, dengan hasil bumi yang melimpah tersebut, mereka mampu membuat bangunan yang megah. Justru berkat harta kekayaan melimpah ruah tersebut, mereka pun menjadi lupa diri akan cikal-bakalnya. Mereka

9 Muhammad Quraish Shihab, M ukjizat al-Qur'an; ditinjau dari Aspek Kebahasaan

Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib , (Bandung: Mizan, 2001), h. 196-197 Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib , (Bandung: Mizan, 2001), h. 196-197

Kesesatan hidup mereka akhirnya telah melampaui batas-batas kemanusiaan. Kekayaan dan kemakmuran menjadikan tatanan sosial

masyarakat terpecah, mereka pun menyebarkan kejahatan di muka bumi.

c. Kaum Nabi Shâleh as. (Kaum Tsamûd)

Kisah kaum Tsamûd bersama nabi mereka, Shâleh as, disebutkan dalam beberapa tempat di dalam al-Qur'an. Nabi Shâleh as, adalah seorang manusia yang bertaqwa dan mulia. Dia adalah seorang pemimpin besar dan seorang Nabi yang berjuang melawan kekuatan dan ke-arogansi-an kaumnya dalam menentang risalah yang diembannya. al-Qur'an telah mensinyalir akan perjuangan Nabi Shâleh as. Sebagaimana firman Allah swt :

" Dan sesungguhnya Kami telah mengutus kepada (kaum) Tsamûd Saudara mereka Shâleh as (yang berseru) : " Sembahlah Allah swt" . Tetapi tiba-tiba mereka (jadi) dua golongan yang saling bermusuhan. Dia berkata : " Hai kaumku mengapa kamu " Dan sesungguhnya Kami telah mengutus kepada (kaum) Tsamûd Saudara mereka Shâleh as (yang berseru) : " Sembahlah Allah swt" . Tetapi tiba-tiba mereka (jadi) dua golongan yang saling bermusuhan. Dia berkata : " Hai kaumku mengapa kamu

Seperti yang kita ketahui, kaum Tsamûd mewarisi kebudayaan dan peradaban, kemakmuran dan kemewahan kaum 'Âd. Generasi sebelum mereka disebut Tsamûd. Kaum Tsamûd berdiam di daerah bebatuan di sebelah utara Jazirah Arab di antara Madinah dan Syam. Mereka memotong-

motong (membelah) batu besar dan membangun bangunan yang megah, sebagaimana mereka membuat benteng-benteng dan gua-gua di gunung-

gunung. Tanah-tanah kaum Tsamûd terletak di bagian barat-laut Arabia. 10 Tanah yang subur dan terdiri dari ladang-ladang rumput, dan berbagai sumber-sumber daya alam milik umum. Kekayaan dan kemakmuran menjadikan tatanan sosial masyarakat terpecah menjadi dua kelas sosial yang besar; golongan berada dan golongan bawah. Golongan atas memonopoli semua sumber daya alam, dan karenanya selalu menindas mereka yang tidak memiliki apapun.

Nabi Shâleh as, menentang monopoli yang dilakukan oleh kelompok berkuasa. Beliau menekankan bahwa menguasai milik umum adalah sebuah sifat egoisme, dosa, perbuatan yang sewenang-wenang dan termasuk tindak kejahatan melawan seluruh komunitas. Segala hal yang diperuntukkan bagi kemaslahatan seluruh makhluk Allah swt tidak boleh dimiliki oleh

10 Sayyid Quthb, Tafsîr fî Zhilâl al-Qur'ân , (Beirût: Dâr al-Syurûq, 1992), Jilid 6, h. 3904 10 Sayyid Quthb, Tafsîr fî Zhilâl al-Qur'ân , (Beirût: Dâr al-Syurûq, 1992), Jilid 6, h. 3904

" Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamûd saudara mereka, Shâleh as. Ia berkata : " Hai kaumku, sembahlah Allah swt, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina Allah swt ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah swt, dan janganlah kamu mengganggunya, dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih." (QS. al-A'raf/7: 73)

Orang-orang kafir dari kaum Tsamûd telah kehilangan semua nilai- nilai luhur, mereka telah jatuh ke dalam kejahatan, kesombongan dan keangkuhan. Mereka tidak mengindahkan segala ajaran yang di bawa oleh Nabi Shâleh as. Mereka menolak kebenaran, kejujuran dan ketulusan. Mereka tidak dapat memahami dan mengapresiasikan kebenaran dan kebijaksanaan yang dibawa Nabi-nya kepada mereka. Inilah sifat-sifat orang yang senantiasa mengingkari, menindas dan selalu berbuat sewenang- wenang atau melampaui batas, yang akan binasa. Adapun akibat atau ganjaran dari segala perbuatan yang telah mereka perbuat tersebut, sesuai dengan firman Allah swt :

" (Ingatlah), Kaum Tsamûd telah mendustakan (rasulnya) karena perbuatan durhaka mereka yang melampaui batas. Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka. Lalu Rasul-Allah (Shâleh as) berkata kepada mereka : " (biarkanlah) unta betina Allah dan meminumnya." Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta tersebut, maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah swt menyama-ratakan mereka (dengan tanah). Dan Allah swt tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu." (QS. al-Syams/91: 11-15)

" Maka (masing-masing menerima azab dunianya)-adapun kaum Tsamûd (kaum Nabi Shâleh as), maka mereka telah dibinasakan dengan (petir) kejadian luar biasa yang melampaui batas dahsyatnya." (QS. al-Hâqqah/69: 5)

Akibat dari sikap mereka yang melampaui batas, maka mereka mendustakan nabinya. Tindakan melampaui batas ini di cerminkan dengan bangkitnya orang yang paling celaka di antara mereka. Dialah yang

menyembelih unta tersebut, dan dia pula orang yang paling celaka dan sengsara akibat dosa yang dilakukannya. Padahal, sebelum melakukan tindakannya itu, dia telah diperingatkan oleh Rasul-Allah (yaitu Nabi Shâleh as) sebagaimana firman Allah swt pada ayat di atas. Namun mereka pun (orang-orang yang mengetahui perbuatan tersebut) juga turut bertanggung jawab dan dianggap sebagai turut menyembelih bersama-sama. Karena mereka tidak mencegahnya, bahkan mereka menganggap baik perbuatan itu.

Demikianlah salah satu hal dari prinsip Islam yang mendasar mengenai tanggung jawab sosial didalam kehidupan dunia, tanpa mengesampingkan tanggung jawab pribadi untuk mendapatkan pembalasan ukhrawi di mana seseorang tidak memikul dosa orang lain.

Karena, di antara perbuatan dosa ialah tidak mau memberi nasehat, mengabaikan tanggung jawab sosial dan tidak menganjurkan orang supaya

berbuat baik dan mencegahnya dari kezaliman dan kejahatan. 11 Demikianlah yang terjadi dalam peristiwa Nabi Shâleh as, dengan kaumnya yang menolak ajaran yang telah diturunkan oleh Allah swt. Allah swt menyama-ratakan negeri mereka yang tinggi dan rendah. Dan mereka semua dibinasakan, sehingga tidak ada seorang pun yang tersisa. Ini adalah pemandangan yang tidak terbayangkan, setelah dihancurkan dengan sangat keras dan dahsyat. Sebagaimana telah disinyalir dalam al-Qur'an :

" Dan kaum " Tsamûd" (kaum Nabi Shâleh as). Maka tidak ada seorangpun (dari kedua-dua kaum itu) yang dibiarkan hidup" . (QS. al-Najm/53: 51)

Ancaman kematian, kehancuran dan kemusnahan adalah suatu makna yang akan senantiasa akan terjadi yang selalu didengar oleh para pembawa kebenaran. Hakikat jiwa manusia berhubungan dengan hakikat- hakikat alam yang besar dan pemandangan-pemandangan yang ada. Semua itu juga berhubungan dengan Sunnatullah di dalam menyiksa orang-orang yang mendustakan dan melampaui batas ( thâghût). Namun, semuanya masih dalam batas-batas ukuran Yang Maha Bijaksana, yang menjadikan segala sesuatu ada batas waktunya, segala peristiwa ada waktunya, segala urusan ada tujuannya dan setiap qadar ada hikmahnya.

11 Sayyid Quthb, Tafsîr fî Zhilâl al-Qur'ân , Jilid 6, h. 3918-3919

Adapun mengenai kisah individu dari para penguasa yang memiliki watak dan temperamen thâghût , di antaranya adalah :

a. Fir'aun 12 Salah satu contoh dari thughyân sulthan adalah thughyân Fir'aun yang terlihat dari keterlaluan dan kedurhakaan yang melewati batas ia terhadap sang Pencipta, sehingga ia pun mengaku sebagai tuhan dan takabur kepada makhluk dengan memperbudak, menzhalimi dan merampas hak-haknya.

al-Qur'an menggambarkan Fir'aun sebagai contoh dari lambang preseden abadi bagi manusia yakni, seorang tokoh bersejarah yang paling otoriter dan bersikap amat korup terhadap kepemimpinannya. Fir'aun yang maruk akan kekuasaan, akhirnya wafat dan menjadi debu sejarah, peristiwa ini menjadi salah satu persoalan kemanusiaan yang universal. Dengan adanya pengaruh kekuasaan mutlak dalam dirinya akan mudah terjangkit dan tumbuh sikap untuk menang sendiri dan sikap arogansi kekuasaan, sehingga ia cenderung bertingkah laku sewenang-wenang terhadap masyarakatnya. Fir'aun menjadi lambang seorang anak manusia yang memiliki nafsu yang sangat serakah, akan kekuasaannya ( power

sovereignity ). 13

12 Fir'aun diisyaratkan di sini adalah penguasa yang zalim dan diktator (tirani) yang hidup pada zaman Nabi Mûsa as dengan kecongkakannya.

13 Abd. Shabur Syahin, Abi Adam; Qishshash al-Khaliqah , Terj. Hanif Anwari, Penciptaan Nabi Adam; M itos atau Realitas , (Yogyakarta: Elsaq Press, 2004), h. 122 13 Abd. Shabur Syahin, Abi Adam; Qishshash al-Khaliqah , Terj. Hanif Anwari, Penciptaan Nabi Adam; M itos atau Realitas , (Yogyakarta: Elsaq Press, 2004), h. 122

yang merupakan simbol penguasa tirani yang zhalim dan mengaku dirinya sebagai Tuhan. 14 Terkadang thughyan sulthan yang menjangkiti manusia, dapat menjadikannya hingga kepada pengakuan sebagai tuhan, baik dengan lisan secara terang-terangan ataupun dengan segala tindak tanduk dari perbuatannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Fir'aun. Firman Allah swt dalam al-Qur'an :

" (Lalu diperintahkan kepadanya): " Pergilah kepada Fir'aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas (dalam kekufuran dan kezalimannya).Dengan berkata: " Akulah tuhan kamu, yang tertinggi" . (QS. al-Nâzi'at/79: 17,24)

Telah diuraikan pada bab sebelumnya, makna thaghâ yang berarti "melampaui batas" adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi dan tidak boleh dibiarkan. Ia termasuk sesuatu yang sangat dibenci, karena secara tidak langsung selalu menimbulkan kerusakan di muka bumi, berlawanan dengan segala apa yang dicintai Allah swt, dan menyebabkan kebencian-Nya. Maka, untuk mencegah perbuatan tersebut, Allah swt memberi amanat pada setiap Rasul-Nya untuk berusaha senantiasa menghentikan kejahatan, mencegah kerusakan dan menghentikan tindakan sewenang-wenang atau melampaui batas ini sebelum Allah swt menghukumnya di dunia dan di akhirat.

al-Qur'an tidak menyebutkan nama lengkap dari Fir'aun, tetapi mencukupkan dengan gelar kebesaran, sebagai sebuah simbol yang dapat

14 Mushthafa Murâd, al-Tsalâtsûna al-M ubasysyirûn bi-Nar , (Kairo: Dâr al-Fajr li- Turâts, 2000), h. 36 14 Mushthafa Murâd, al-Tsalâtsûna al-M ubasysyirûn bi-Nar , (Kairo: Dâr al-Fajr li- Turâts, 2000), h. 36

Term Fir'aun telah disebut dalam al-Qur'an sebanyak 74 kali. 15 Allah swt telah berulang-ulang menceritakan kisah Fir'aun ini dalam beberapa ayat-Nya untuk dijadikan pelajaran, karena sangat diperlukan bagi orang lain untuk mengetahui bagaimana kisah perjalanan sang thughyân dan apa yang menimpanya sebagai balasan atas ke- thughyân - annya tersebut, serta akibatnya kepada manusia dari sikap seorang penguasa yang thughyân . Sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur'an :

" Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. al-Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi

membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala bentuk sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman." (QS. Yûsuf/12: 111)

Term Fir'aun dalam bahasa Arab terbentuk dari kata kerja, yang merupakan akar kata yang valid. Dari lafazh fara'a yang menunjukkan makna akan ketinggian, keagungan dan melangit, kemudian lafazh itu muncul term al-far'u yang berarti sesuatu yang tinggi dan tingginya sesuatu ketika saya meninggikannya. Misalnya, dikatakan bahwa fulan itu meminta

15 Mushthafa Murâd, al-Tsalâtsûna al-Mubasysyirûn bi-Nar , h. 36 15 Mushthafa Murâd, al-Tsalâtsûna al-Mubasysyirûn bi-Nar , h. 36

menggunduk. 16 Jadi, Fir'aun merupakan puncak tertinggi pada piramida kekuasaan yang mencakup karakteristik tiranis (penindasan dan represi). Fir'aun merupakan gelar bagi para tirani politik atau resim tunggal. Level tirani dan penguasa ini tujuannya tak lain adalah pengklaiman sebagai mempunyai

sifat Tuhan rubûbiyyah dan Tuhan ulûhiyyah . 17

Dua sifat ini (mengklaim diri sebagai Tuhan rubûbiyyah dan Tuhan ulûhiyyah ) adalah sifat kekuasaan tirani-absolut dan karakteristik fenomena Fir'aun yang masih bertahan hingga saat ini. Fenomena ini telah ada dan terjadi sebelum masa Nabi Mûsa as, dan masih akan tetap berlanjut setelahnya. Karakteristik tersebut ditempelkan pada tirani politik yang melakukan penindasan dan represi sebelum dan sesudah masa Nabi Mûsa as, terlepas dari nama lengkap mereka seperti halnya orang biasa, misalnya,

Ramses, Tahtamis dan Amnahautab. 18

16 Abû Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, M aqây îs al-Lughah , (Kairo: Maktabah al- Khâbakhî, 1981), h. 491

17 Adapun pengakuannya sebagai telah mempunyai sifat Tuhan rubûbiyyah , sebagaimana telah tersebut dalam QS. al-Nâzi'at/ 79: 24, dan QS. al-Burûj/ 85: 12, 16; sedangkan

pengakuannya sebagai telah mempunyai sifat Tuhan ulûhiyyah, sebagaimana telah tersebut dalam QS. al-Kahfi/ 18: 26, dan QS. al-Anbiya'/ 21: 23. Dalam hal ini, rezim penguasa tiran akan mengklaim bahwa seluruh negara adalah miliknya sendiri. Klaim ulûhiyyah ini menuntut manusia untuk patuh kepada Fir'aun dengan tidak melakukan perbuatan menurut kehendaknya sendiri tanpa persetujuan dari Fir'aun.

18 Muhammad Syahrur, Dirâsâh Islâmiy yah Mu'âshirah fî al-Daulah wa al-M ujtama' , Terj. Saifuddin Zuhri Qudsy, dkk, Tirani Islam; Genealogi M asyarakat dan Negara ,

(Yogyakarta: Lkis, 2003), h. 281-282

Corak kekuasaannya (Fir'aun), dalam perjalanan sejarah sering

ditampilkan dengan watak yang cenderung pada kesewenang-wenangan (korup), totaliter dan geloran berkuasa yang membara. Kesempatan berkuasa Fir'aun karena adanya pengaruh yang luar biasa dari masyarakat terhadap dirinya sebagai Tuhan.

Kekuasaan sesungguhnya dapat menciptakan kondisi psikologis tersendiri, maka kekuasaan cenderung pada kondisi sewenang-wenang.

Kebimbangan dan ketakutan akan munculnya kekuatan yang berasal dari orang lain ( phobia ), timbul dalam diri Fir'aun dan hal ini akan mengganggu tujuan dan kebebasannya. Gejala neurosis kekuasaan ini dengan tidak menginginkan adanya orang-orang yang menunjukkan kesetaraan dengannya, maka setiap gejala muncul tokoh lain, segera dihancurkannya. Dengan ketakutan yang berlebihan semacam ini membuat ia sangat membenci kehadiran tuhan di tengah-tengah masyarakat, karena dianggap memiliki posisi kekuasaan di atasnya.

Fir'aun memusatkan kekuasaannya pada dirinya sebagai sentrum kekuasaan mutlak ( absolute-power ). Keterjerumusan manusia semacam ini dijadikan rekaman penting bagi manusia, sehingga menjadikannya sebagai salah satu tema sentral bagi manusia. Kasus semacam ini mungkin saja akan terjadi atau berulang dalam beberapa sejarah kehidupan di masyarakat. Kekuasaan, dalam ajaran agama Islam dianggap sebagai suatu anugerah yang perlu pertanggung jawaban dari para pemimpin, berhubungan dengan Fir'aun memusatkan kekuasaannya pada dirinya sebagai sentrum kekuasaan mutlak ( absolute-power ). Keterjerumusan manusia semacam ini dijadikan rekaman penting bagi manusia, sehingga menjadikannya sebagai salah satu tema sentral bagi manusia. Kasus semacam ini mungkin saja akan terjadi atau berulang dalam beberapa sejarah kehidupan di masyarakat. Kekuasaan, dalam ajaran agama Islam dianggap sebagai suatu anugerah yang perlu pertanggung jawaban dari para pemimpin, berhubungan dengan

dapat terwujud dalam bentuk, fase, cara dan pola yang berbeda-beda dalam

setiap masyarakat. 19

Sebagai kesimpulan dari ke- thughyân -an Fira'un dalam al-Qur'an dapat ditemukan melalui Firman-Nya :

" Sudahkah sampai kepadamu (ya Muhammad saw) kisah Nabi Mûsa as. Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci, ialah lembah Thuwa; " Pergilah kamu

kepada Fira'un, sesungguhnya dia telah melampaui batas." (QS. al-Nâzi'at/79: 15- 17)

Imam al-Râzî dalam kitab tafsirnya ketika menerangkan mengenai

ayat " ﻰﻐﹶﻃ ﻪﻧِﺇ " (sesungguhnya dia telah melampaui batas) , bahwa sebagian

mufassir berkata, "Makna ayat ini telah menerangkan bahwasanya Fir'aun telah takabur kepada Allah swt dan telah mengkufurinya." Sebagian lagi berkata, "Sesungguhnya Fir'aun telah takabur kepada Bani Isra'il." Namun menurut Imam al-Râzî sendiri, yang lebih utama adalah kedua-duanya bisa dijadikan tafsirannya. Jadi, Fir'aun telah bersikap thagha kepada sang Pencipta dengan cara mengkufuri-Nya dan telah bersikap thagha pula kepada seluruh makhluk dengan cara menyombongkan diri kepada mereka

(Bani Isra'il) serta telah memperbudak mereka." 20

19 Abd. Shabur Syahin, Abi Adam,

h. 122-123

20 Fakhru al-Dîn al-Râzî, M afâtih al-Ghaib , Jilid. 31, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1995), h. 39

Adapun maksud dengan pengakuannya sebagai tuhan, Fir'aun mengaku dirinya sebagai tuhan, maka ia telah sampai pada puncak thughyân

dan kekufuran. Inilah pengakuannya yang bathil tersebut, bahwasanya wajib bagi semua bawahannya untuk ta'at dan loyal kepadanya, dan tidak

menyibukkan diri dengan keta'atan pada selainnya. 21

Sedangkan Imam al-Râzî menafsirkan dalam kitabnya, mengenai maksud pengakuan dirinya sebagai tuhan, "Yakni akulah tuhan kalian.

Dengan kata lain, akulah yang mengurus dan berbuat baik kepada kalian. Tidak ada seorang tuhan pun yang berhak untuk memerintah dan melarang

atas kalian kecuali aku." 22

Betapa pun manusia mengaku tinggi dan hebat, namun tidak mungkin akan menandingi ketinggian dan kehebatan Allah swt, dan tingkatannya hanya sebagai hamba yang mengabdi kepada-Nya. Bila pemahaman ini sudah mantap dalam diri seseorang, maka dia akan menyadari posisinya sebagai seorang hamba Allah swt. Di samping itu, rasa keangkuhan dan kesombongannya akan hilang, bahkan dia akan merasa takut kepada Allah swt dan gentar dengan keagungan dan kehebatan-Nya. Manusia itu akan menghormati batas-batas yang telah digariskan Allah swt

21 Abû al-Sana’ Syihâb al-Dîn, al-Sayyid Afandi al-Alûsî al-Baghdadî, Rûh al-M a’âni fi

Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa Sab’u al-M atsânîy Jilid. 16, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), h. 203 22 al-Râzî, M afâtih al-Ghaib, Jilid. 31, h. 42 Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa Sab’u al-M atsânîy Jilid. 16, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), h. 203 22 al-Râzî, M afâtih al-Ghaib, Jilid. 31, h. 42

b. Qârûn

Kisah lain dari tokoh yang memiliki watak dan temperamen thâghût yang dilukiskan dalam al-Qur'an adalah Qârûn yang hidup di zaman Nabi Mûsa as. Ia merupakan cerminan seorang tokoh yang kaya raya, penuh kemegahan dan glamorisme dengan watak yang sangat tamak (rakus) akan kekayaan. Ketamakan ini merupakan simbol struktur penyakit mental yang labil. Arogansi terhadap kekayaan pada diri Qârûn diyakini sebagai usaha dari dirinya sendiri dan didukung juga karena kolusi, korupsi dan sistem

yang tertutup. 23

al-Qur'an tidak menyebutkan nama lengkap dari Qârûn, tetapi mencukupkan dengan gelar kebesaran saja sebagai sebuah simbol yang menunjukkan atas fenomena-fenomena tirani (thâghût ) dalam bidang ekonomi dan penganiayaan masyarakat.

23 Lihat pleidoi dari arogannya Qârûn telah berkata :

” Qârûn menjawab (dengan sombongnya): " Aku diberikan harta kekayaan ini hanyalah disebabkan pengetahuan dan kepandaian yang ada padaku" . (Kalaulah Qârûn bijak pandai) tidakkah ia mengetahui dan pandai memahami, bahawa Allah swt telah membinasakan sebelumnya, dari umat-umat yang telah lalu, orang-orang yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta kekayaan? Dan

(ingatlah) orang-orang yang berdosa (apabila mereka diseksa) tidak lagi ditanya tentang dosa-dosa

mereka, (kerana Allah swt sedia mengetahuinya)." (QS. al-Qashash/8: 78)

Term Qârûn dalam bahasa arab, berasal dari kata kerja qarana , yaitu

kata dasar yang memiliki arti jama'a . 24

Allah swt memperkenalkan Qârûn sebagai orang tercela yang berlimpah hartanya, sebagaimana firman Allah swt :

" Sesungguhnya Qârûn adalah termasuk kaum Nabi Mûsa as, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya : " Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri." (QS. al-Qashash/28: 76)

Qârûn merupakan salah satu bagian dari kaumnya Nabi Mûsa as, tetapi Allah swt mengategorikan segala sifatnya sama sebagai Fir'aun dan Hâmân, 25 sebagaimana firman Allah swt :

" Dan demi sesungguhnya! Kami telah mengutuskan Nabi Mûsa as membawa ayat- ayat Kami dan bukti (mukjizat) yang jelas nyata. Kepada Fir'aun dan Hâmân serta Qârûn; maka mereka (menuduhnya dengan) berkata: " Ia seorang ahli sihir, lagi pendusta!" QS. Ghâfir/40: 23-24)

24 Muhammad Syahrur, Dirâsâh Islâmiy yah Mu'âshirah fî al-Daulah wa al-M ujtama' , h. 283

25 Yûsuf al-Qardhâwî, M in Fiqh al-Daulah fî al-Islâm; M akânatuhâ, M a'âlimuhâ, Thabî'atahâ, M auqifuhâ min al-Dîmaqrâtiyah wa al-Ta'addudiy ah wa M ar'ah wa Ghair al-

M uslimîn , Terj. Syafril Halim, Fiqh Negara , (Jakarta: Robbani Press, 1997), h. 170

Sebagaimana telah dinyatakan Allah swt bahwa ketiganya merupakan a'wân (para pembantu) yang memiliki sawâbiq (para pendahulu)

dan lawâhiq (para penerus/ pengikut) mereka. 26

Qârûnnya, Fir'aun pada masa sekarang ini bisa berbentuk korporasi-korporasi besar yang monopolis, tidak memiliki kebangsaan dan menguasai, tetapi hal itu tidak selalu berarti kekuasaan kapitalisasi negara atau kekayaan yang dianjurkan. Sebab, Qârûn merupakan gelar yang

diberikan atas dasar kekayaan tertentu, yaitu monopoli kekayaan, bukan kekayaan pada umumnya. Juga karena, relativitas kekayaan dan kemiskinan

merupakan dialektika sosial masyarakat. 27

Format tokoh semacam Qârûn ini banyak ditemukan dalam masyarakat yang selalu saja mengagungkan harta benda dalam sistem kehidupan dewasa ini.

Filsafat meterialisme yang dipengaruhi oleh sistem kapitalis ini telah membawa efek negatif yang sangat dalam terhadap kesadaran manusia dalam segala stratum dan lingkungan kehidupan. Jadi, sangat beralasan jika fenomena kelemahan filsafat materialisme ini sejak dahulu diangkat oleh al-Qur'an sebagai tema wacana, karena fenomena ini merupakan kasus umum dan kecenderungan alamiah masyarakat terhadap

26 Muhammad Syahrur, Dirâsâh Islâmiy yah Mu'âshirah fî al-Daulah wa al-M ujtama' , h. 283

27 Muhammad Syahrur, Dirâsâh Islâmiy yah Mu'âshirah fî al-Daulah wa al-M ujtama' , h. 283-284 27 Muhammad Syahrur, Dirâsâh Islâmiy yah Mu'âshirah fî al-Daulah wa al-M ujtama' , h. 283-284

negara maju maupun di negara berkembang. 28

Qârûn merupakan seorang tokoh konglomerat yang melegenda dalam sejarah kehidupan manusia, karena ia mampu mengumpulkan harta yang melimpah, sehingga tanpa ia sadari, ia telah diperbudak kepada hal yang bersifat kebendaan, atau orang yang mabuk akan harta.

Sifatnya yang terlalu cinta secara berlebihan (melampaui batas) kepada harta yang ia miliki dan terus menumpuk-numpuk (harta), membuat ia hanya disibukkan dengan menghitung harta kekayaannya, sehingga tanpa ia sadari akhirnya maut menjemput, sedangkan harta melimpah ruah yang ditinggalkannya diperebutkan oleh mereka yang tidak memiliki hubungan dengan dirinya dan memiliki hak atas harta tersebut. Pada akhir hayatnya, Qârûn meninggalkan harta kekayaan dengan sia-sia dan harta tersebut pun tidak menolong dirinya. Di dalam al-Qur'an telah dinyatakan bahwa hartanya akan menyiksa dirinya dalam kehidupan di dunia karena dia terjerumus dalam kekikiran, sehingga ia akan mendapat siksa di hari akhir

kelak. 29

28 Abd. Shabur Syahin, Abi Adam,

h. 127-128

29 Mushthafa Murâd, al-Tsalâtsûna al-Mubasysyirûn bi-Nar , h. 50-51 29 Mushthafa Murâd, al-Tsalâtsûna al-Mubasysyirûn bi-Nar , h. 50-51

Hâmân adalah simbol teknokrat dan juga sebagai ilmuwan pintar yang paling berpengaruh di zamannya, namun ia mengarahkan ilmu yang

dimilikinya kepada sistem kehidupan yang zalim. 30

al-Qur'an tidak menyebutkan nama lengkap dari Hâmân, tetapi mencukupkan dengan gelar kebesaran saja sebagai sebuah simbol yang menunjukkan atas fenomena-fenomena tirani agama atau dalam hal teologi.

Term Hâmân dalam bahasa Arab, berasal dari lafazh hamana . Hâmân merupakan gelar perorangan yang menjaga urusan-urusan Allah swt dan mengawasi penerapannya di antara manusia, 31 sebagaimana firman Allah swt :

" Dan (ketua-ketua) mereka (menghasut dengan) berkata:" Jangan kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu, terutama (penyembahan) Waddâ, dan Suwâ'â, dan Yaghûtsa, dan Ya'ûq, serta Nasrâ.Dan sesungguhnya ketua-ketua itu telah menyesatkan kebanyakan (dari umat manusia); dan (dengan yang demikian) janganlah Engkau (wahai Tuhanku) menambahi orang-orang yang zalim itu melainkan kesesatan jua" . (QS. al-Nûh/71: 23 - 24)

30 Mushthafa Murâd, al-Tsalâtsûna al-Mubasysyirûn bi-Nar , h. 46-47 31 Muhammad Syahrur, Dirâsâh Islâmiy yah Mu'âshirah fî al-Daulah wa al-M ujtama' ,

h. 282

Penyebutan kata âlihah dalam bentuk jamak itu menunjukkan pada politeisme (kepercayaan akan tuhan yang banyak), dan bahwa setiap tuhan

itu memiliki Hâmân sendiri. Sesungguhnya kaum Nûh as, itu memiliki lima tuhan dan lima Hâmân, atau yang kemudian kita sebut dengan rijâl ad-dîn yang mengklaim dirinya sebagai para penjaga ajaran-ajaran Tuhan dan pengawas penerapan ajarannya di antara manusia. Artinya, mereka menjaga urusan-urusan penting dari Tuhan, sekaligus mengawasi penerapan manusia atas ajaran-ajaran tersebut. Ketika manusia bertambah banyak, mereka memiliki seseorang yang dianggap Hâmân. Hâmân akhirnya diangkat menjadi seorang petinggi militer pada masa kekuasaan kerajaan

Fir'aun. 32 Dengan latar belakang sebagai seorang ilmuwan yang diangkat, menjadi teknokrat dalam sebuah kerajaan terkenal, ia telah mengabaikan dan mengorbankan etika dan moralitas professionalnya dalam hidup karena dengan ilmu dan kepintarannya ia menciptakan sebuah sistem kehidupan yang sangat represif dan pengekang kebebasan masyakarat.

Kepintaran yang dipengaruhi oleh penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan secara mendalam, tidak memberi pengaruh sedikitpun terhadap masyarakat sekeliling dan lingkungan kehidupannya. Karena ilmu pengetahuan yang dimiliki Hâmân selalu digunakan untuk menunjang

32 Muhammad Syahrur, Dirâsâh Islâmiy yah Mu'âshirah fî al-Daulah wa al-M ujtama' , h. 282 32 Muhammad Syahrur, Dirâsâh Islâmiy yah Mu'âshirah fî al-Daulah wa al-M ujtama' , h. 282

kekuasaan yang mutlak ( absolute ). 33

Seyogyanya, keilmuan dan kepintaran yang dimilikinya dapat berperan sebagai Resi yang menjembatani antara raja dan rakyat. Tetapi Hâmân malah ikut memperkuat sistem kekuasaan menjadi lebih absolute dan lebih bersistem sebagai suatu tirani bagi bangsanya. Tanpa didasari bahwa secara nyata sistem sosial dan kehidupan yang diciptakannya kepada masyarakat dan lingkungannya telah menjerumuskan kehidupan dalam sistem yang menghancurkan. Sistem sosial yang diciptakan mendorong kepada kondisi yang anarkhi karena sifat anomali sehingga masyarakat

terjebak dalam proses dehumanisasi secara total. 34

Hâmân tidak sadar melihat kenyataan masyarakat yang terhanyut dalam sistem sosial dan kehidupan, kemasyarakatan dan politik yang tirani.

33 Lihat keterangan firman Allah swt dalam al-Qur'an :

" Dan Fir'aun pula berkata: " Hai Hâmân! Binalah untukku sebuah bangunan yang tinggi, semoga aku sampai ke jalan-jalan (yang aku hendak menujunya). (Yaitu) ke pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Mûsa as; dan sesungguhnya aku percaya Mûsa as itu seorang pendusta!" Demikianlah diperhiaskan (oleh syaithân) kepada Fir'aun akan perbuatannya yang buruk itu untuk dipandang baik, serta ia dihalangi dari jalan yang benar; dan tipu daya Fir'aun itu tidak membawanya melainkan ke dalam kerugian dan kebinasaan." (QS. Ghâfir/40: 36-37)

34 Abd. Shabur Syahin, Abî Adam , h. 126

Tanpa disadari, ia telah menjadi tokoh arsitek utama dari sistem sosial dan

politik yang berbentuk tirani tersebut. 35

Pimpinan yang tidak berdasarkan pada kebenaran Tuhan tadi dinamai dengan pimpinan thâghût . Sebab itu maka penguasa zalim sebagaimana telah dicontohkan pada bahasan di atas, dalam bahasa Arab biasa disebut juga dengan thâghiyah ( thughyân ), sedangkan bila di Barat disebut dengan tirani.

Dari penjelasan mengenai kisah-kisah di atas tadi, telah jelas bahwa al-Qur'an telah mengungkapkan adanya aliansi antara tiga pihak yang keji dan tercela : 36 Pertama , Penguasa angkuh yang mengaku tuhan di bumi Allah swt, yang berlaku diktator terhadap hamba-hamba-Nya, penguasa seperti ini diwakili oleh Fir'aun.

Kedua , Politikus oportunis yang menggunakan kepintaran dan pengalamannya untuk melayani kepentingan penguasa tiran, untuk memantapkan kekuasaan dan meningkatkan popularitasnya, sehingga dia selalu dipatuhi oleh rakyat. Politikus seperti ini diwakili oleh Hâmân.

Ketiga , Kapitalis dan feodalis yang mengambil manfaat dari pemerintah yang zalim. Mereka mendukung pemerintahan ini dengan mengeluarkan sebagian hartanya untuk mendapatkan harta yang lebih

35 Abd. Shabur Syahin, Abî Adam , h. 126

36 Yûsuf al-Qardhâwî, M in Fiqh al-Daulah fî al-Islâm, h. 169 36 Yûsuf al-Qardhâwî, M in Fiqh al-Daulah fî al-Islâm, h. 169

Pada dasarnya semua dari kisah-kisah di atas mengenai kepemimpinan para penguasa tersebut tidak memungkiri tentang adanya wujud Allah swt, tapi mereka hanya mengingkari sifat wahdaniyah , uluhiyah dan rubbubiyah Allah swt dalam mengelola dan menata alam semesta. Hal ini sama dengan orang-orang jahiliyah yang menyimpang, di mana mereka mengakui wujud Allah swt, tapi mereka juga membuat sekutu-sekutu lain untuk mendampingi-Nya, serta menganggap berbagai sekutu itu mempunyai kekuatan dan pengaruh terhadap kehidupan mereka. Begitu pula orang yang menolak berhukum hanya kepada syari'at Allah swt dalam menata semua urusan di muka bumi ini.

Sesungguhnya keingkaran dan kekerasan para penguasa tersebut didorong oleh sesuatu yang sepatutnya membuatnya bersyukur, yaitu kekuasaan yang diberikan Allah swt kepadanya. Allah swt telah menganugerahkan kepadanya pemerintahan. Sesuatu yang seharusnya membuatnya bersyukur dan mengakui bahwa di atas sana ada yang lebih berkuasa.

Bila orang yang berkuasa berlaku zalim dan bersikap takabur , itu dikarenakan mereka tidak menghargai nikmat Allah swt dan tidak mengetahui sumber nikmat tersebut. Karena itu mereka menggantikan rasa Bila orang yang berkuasa berlaku zalim dan bersikap takabur , itu dikarenakan mereka tidak menghargai nikmat Allah swt dan tidak mengetahui sumber nikmat tersebut. Karena itu mereka menggantikan rasa

Banyak cerita atau kisah-kisah sejarah masa lalu tentang manusia dan tokoh tertentu yang diambil oleh al-Qur'an dan diangkat menjadi tema

refleksi bagi manusia yang ingin sadar dan memetik hikmah tentang kenyataan atau kasus-kasus dan peristiwa yang menjadi sejarah. Dan kenyataan ini mungkin akan selalu muncul dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia. Kenyataan tersebut sungguhpun terjadi pada kasus periode sebelum datang agama Islam, historis itu diharapkan akan menjadi suatu pelajaran yang paling berharga bagi seluruh umat manusia khususnya bagi kaum Muslim. Peristiwa tersebut juga dapat dijadikan sebagai hikmah, sebagai pertimbangan untuk melakukan upaya rekonstruksi dalam bidang kehidupan sosial masyarakat pada masa yang akan datang.

Dengan adanya pemaparan dari peringatan dan pengungkapan sejarah di dalam al-Qur'an ini, diharapkan akan adanya kesadaran baru bagi manusia untuk membentuk sebuah format sosial dan masyarakat yang lebih ideal dari cerminan sejarah masa lalu yang pernah terjadi dalam tatanan Dengan adanya pemaparan dari peringatan dan pengungkapan sejarah di dalam al-Qur'an ini, diharapkan akan adanya kesadaran baru bagi manusia untuk membentuk sebuah format sosial dan masyarakat yang lebih ideal dari cerminan sejarah masa lalu yang pernah terjadi dalam tatanan

telah mereka alami. 37

Kisah-kisah yang telah dikemukakan al-Qur'an di atas tersebut, haruslah kita perhatikan dengan seksama bila berbicara tentang suatu sistem tirani ( thâghût ) serta akibat-akibat dan cara menghadapinya. Dan untuk di jadikan contoh bagi seluruh bangsa, juga untuk seluruh umat yang ada di bumi ini khususnya untuk orang-orang mukmin dalam menghadapi kezaliman.

Diungkapkannya kisah ini dengan tujuan, antara lain, agar masyarakat khususnya umat Islam dapat terlindungi dari perlakuan dan tindakan sistem tirani ( thâghût ) yang sewenang-wenang. Di samping itu juga sebagai peringatan bagi para thâghût dan para tirani (diktator) yang telah sewenang-wenang bahwa mereka pada akhirnya akan mendapatkan kehancuran. Ini semua dapat digunakan sebagai sebuah metode pendidikan kepribadian merdeka, yang tercermin dari cerita-cerita yang ada di

37 Sebagaimana firman Allah swt : ( ٢٢١ : ﺓﺮـﻘﺒﻟﺍ ) ﹶﻥﻭﺮﱠﻛﹶﺬﺘﻳ ﻢﻬﱠﻠﻌﹶﻟ ِﺱﺎﻨﻠِﻟ ِﻪِﺗﺎﻳ ﺍَﺀ ﻦﻴﺒﻳﻭ

" Dan Allah swt menjelaskan ayat-ayat-Nya (keterangan-keterangan hukum-Nya) kepada umat manusia, supaya mereka dapat mengambil pelajaran (daripadanya)." (QS. al-Baqarah/2: 221) , serta lihat juga firman Allah swt :

" Demi sesungguhnya, kisah Nabi-nabi itu mengandung pelajaran yang mendatangkan ikhtibar bagi orang-orang yang mempunyai akal fikiran. (Kisah Nabi-nabi yang terkandung dalam al-Qur'an) bukanlah ia cerita-cerita yang diada-adakan, tetapi ia mengesahkan apa yang tersebut di dalam Kitab-kitab agama yang terdahulu daripadanya, dan ia sebagai keterangan yang menjelaskan tiap-tiap sesuatu, serta menjadi hidayah petunjuk dan rahmat bagi kaum yang (mau) beriman." (QS. Yûsuf/12: 111) " Demi sesungguhnya, kisah Nabi-nabi itu mengandung pelajaran yang mendatangkan ikhtibar bagi orang-orang yang mempunyai akal fikiran. (Kisah Nabi-nabi yang terkandung dalam al-Qur'an) bukanlah ia cerita-cerita yang diada-adakan, tetapi ia mengesahkan apa yang tersebut di dalam Kitab-kitab agama yang terdahulu daripadanya, dan ia sebagai keterangan yang menjelaskan tiap-tiap sesuatu, serta menjadi hidayah petunjuk dan rahmat bagi kaum yang (mau) beriman." (QS. Yûsuf/12: 111)

B. Sikap Manusia Terhadap Prilaku Thâghût

Hubungan dan interaksi sosial dalam masyarakat merupakan hal yang mutlak, karena pemenuhan kebutuhan sebagian besar dapat diperoleh melalui hubungan dengan orang lain. Secara umum, hal ini pun telah dijelaskan dalam firman Allah swt :

" Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seseorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah swt ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu . Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. al-Hujurât/49: 13)

Setiap manusia membutuhkan hubungan interaksi dengan manusia yang lain. Karena manusia adalah makhluk sosial. Hal ini merupakan salah satu definisi manusia yang diberikan oleh para sosiolog. Sifat sosial manusia merupakan salah satu aspek yang sangat penting dan sangat istimewa dari makhluk ini. Manusia tidak dapat hidup secara layak dan normal tanpa

berinteraksi dengan sesama manusia. 38

38 Untuk uraian lengkap tentang hal ini dapat ditemui dalam buku-buku sosiologi. Misalnya, M. Spencer dan A. Inkeles, Foundation of M odern Sosiology , (New Jersey; Prentice

Hall, 1982), h. 87-88 Hall, 1982), h. 87-88

" Wahai sekalian manusia! Bertaqwalah kepada Tuhan kamu yang telah menjadikan kamu (bermula) dari diri yang satu (Adam), dan yang menjadikan daripada (Adam) itu pasangannya (isterinya - Hawa), dan juga yang membiakkan dari keduanya - zuriat keturunan - lelaki dan perempuan yang ramai. Dan bertaqwalah kepada Allah swt yang kamu selalu meminta dengan menyebut-nyebut nama-Nya, serta peliharalah hubungan (silaturrahim) kaum kerabat; kerana sesungguhnya Allah swt sentiasa memerhati (mengawas) kamu." (QS. al-Nisâ'/4: 1)

kemudian berkembang biak melalui hubungan perkawinan, membentuk keluarga kecil yang kemudian meningkat menjadi keluarga besar :

" Dan Dia-lah Tuhan yang menciptakan manusia dari air, lalu dijadikannya (mempunyai) titisan baka dan penalian keluarga (persemendaan); dan sememangnya tuhanmu berkuasa (menciptakan apa jua yang dikehendakiNya)." (QS. al-Furqân/25: 54)

lalu berkembang terus dalam bentuk suku, ras dan bangsa :

" Wahai umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku puak, supaya kamu berkenal-kenalan (dan beramah mesra antara satu dengan yang lain). Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah swt ialah orang yang lebih taqwanya di antara kamu, (bukan yang lebih keturunan atau bangsanya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mendalam PengetahuanNya (akan keadaan dan amalan kamu)." (QS. al-Hujurât/49:13)

dan menjalin interaksi sosial dalam berbagai bidang kehidupan :

" (Mengapa pemberian Kami itu mereka ingkarkan? ) Adakah mereka berkuasa membahagi-bahagikan (perkara-perkara keruhanian dan keagamaan yang menjadi sebesar-besar) rahmat Tuhanmu (wahai Muhammad saw, seolah-olah Kami hanya berkuasa dalam perkara kebendaan dan keduniaan sahaja? Mereka tidak ingkarkan): Kami membahagi-bahagikan antara mereka segala keperluan hidup mereka dalam kehidupan dunia ini, (setengahnya Kami jadikan kaya raya dan setengahnya miskin menderita); dan juga Kami telah menjadikan derajat setengah mereka tertinggi dari derajat setengahnya yang lain; (semuanya itu) supaya sebahagian dari mereka senang mendapat kemudahan menjalankan kehidupannya dari (bantuan)

setengahnya yang lain. Dan lagi rahmat Tuhanmu (yang meliputi kebahagiaan dunia dan akhirat) adalah lebih baik dari kebendaan dan keduniaan semata-mata

yang mereka kumpulkan." (QS. al-Zukhruf/43: 32). Jalinan interaksi ini tidak saja dapat dibina antara sesama orang- orang Islam tetapi juga hendaknya dapat memisahkan garis dan dinding- dinding sekat keluarga, suku, ras, bangsa dan agama sekalipun. Dengan kata lain al-Qur'an, sama sekali tidak menghalangi umat Islam untuk membina

hubungan sosial dengan orang-orang non-Islam. Kehidupan manusia di atas bumi akan berjalan secara langsung sekiranya semua manusia mengikuti petunjuk dan tuntunan yang diturunkan Allah swt pada Rasul-Nya. Namun dalam kenyataannya mereka yang melanggar aturan-aturan Allah swt jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tunduk dan patuh mengikuti tuntunan dan ketentuan-ketentuan Allah swt.

Islam sendiri telah mengajarkan pada umatnya agar berlaku adil dan sentiasa berbuat baik kepada semua dalam kehidupan bermasyarakat tanpa membeda-bedakan kedudukan mereka. Bahkan Islam menganjurkan Islam sendiri telah mengajarkan pada umatnya agar berlaku adil dan sentiasa berbuat baik kepada semua dalam kehidupan bermasyarakat tanpa membeda-bedakan kedudukan mereka. Bahkan Islam menganjurkan

" Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu semua sentiasa menjadi orang- orang yang menegakkan keadilan kerana Allah swt, lagi menerangkan kebenaran; dan jangan sekali-kali kebencian kamu terhadap sesuatu kaum itu mendorong kamu kepada tidak melakukan keadilan. Hendaklah kamu berlaku adil (kepada sesiapa jua) kerana sikap adil itu lebih hampir kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah swt, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dengan mendalam akan apa yang kamu lakukan." (QS. Al-Mâidah/5: 8)

Bahwa manusia wajib berlaku adil tidak hanya terbatas pada orang-orang yang tidak disenangi. Karenanya dapat dipahami bahwa ayat tersebut berusaha menghapus kebiasaan yang dilakukan seseorang dengan tidak berbuat adil terhadap orang yang dibenci, karena adanya rasa kejengkelan di

hati, sehingga sebenarnya dia benar tetapi dipersalahkan. 39 Namun perlu dipahami bahwa untuk menghadapi orang-orang yang membangkang terhadap perintah Allah swt, walaupun secara umum mereka harus diperlakukan secara adil, juga memerlukan pula sikap yang seharusnya perlu diambil terhadap mereka. Pembangkangan mereka terhadap Allah swt dan Rasul-Nya jangan sampai berdampak negatif terhadap orang-orang yang beriman dan berjalan di atas petunjuk Allah swt.

Lantas bagaimana pula halnya dengan sikap manusia sendiri terhadap segala tindakan dari prilaku-prilaku thâghût tersebut ?

39 Umar Syihab, al-Q ur'an dan Rekayasa Sosial , (Jakarta: Pustaka Kartini, 1990), h. 124 39 Umar Syihab, al-Q ur'an dan Rekayasa Sosial , (Jakarta: Pustaka Kartini, 1990), h. 124

kedaulatan kepada-Nya :

" (Katakanlah kepada mereka wahai Muhammad saw): " Turutilah apa yang telah diturunkan kepada kamu dari Tuhan kamu dan janganlah kamu menurut pemimpin-pemimpin yang lain dari Allah swt (yang membawamu kepada kesesatan); amatlah sedikit kamu mengambil peringatan (pelajaran daripadanya)" . (QS. al-A'râf/7: 3)

Ayat ini disambut oleh orang-orang yang beriman dengan mematuhi perintah-perintah-Nya dengan patuh dan ta'at. Allah swt berfirman :

" Sesungguhnya jawaban perkataan yang diucapkan oleh orang-orang yang beriman ketika mereka diajak kepada Kitab Allah swt dan Sunnah Rasul-Nya, supaya menjadi hakim memutuskan sesuatu di antara mereka, hanyalah mereka berkata: " Kami dengar dan kami taat" : dan mereka itulah orang-orang yang beroleh kejayaan." (QS. al-Nûr/24: 51)

Jika kedaulatan diakui milik Allah swt, pada semua bidang kehidupan maka manusia pastilah akan merasakan bahagia, tentram dan sejahtera dalam hidupnya, karena aturan-aturan yang disyari'atkan oleh Allah swt telah diterapkan terhadap mereka dan bersesuaian dengan fitrah asli yang dikaruniakan Allah swt kepada manusia. Aturan-aturan Allah swt ini seiring dengan syari'at bersifat robbaniah ( devine ) dan universal, meliputi ilmu Ilahi tanpa batas, melingkupi persoalan-persoalan manusia dengan cakupan dari yang Maha Mengetahui,

Jika kaum muslim menghadapi seorang penguasa yang mempunyai sikap thûghyân , yang terkadang karakternya sama dengan Fir'aun dalam hal

kekejaman, kebengisan, kezhaliman serta kecongkakan, dan sekelilingnya ada para pembesar yang memprovokasi, maka wajiblah bagi kaum muslim untuk menasihati penguasa yang lalim ini, karena agama adalah nasihat dan penerang umat. Sebagaimana hadits Rasulullah saw :

Bersumber dari Tamîm al-Dâriy, bahwasanya Nabi saw bersabda : " Agama itu adalah nasehat (kehendak baik)" , kami (para sahabat) bertanya: " kepada siapa?" , Rasulullah saw bersabda : " kepada Allah swt, kepada kitab-kitab-Nya, kepada Rasul- Nya, kepada seluruh para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin secara umum." (HR. Muslim)

Adapun sikap (tahapan-tahapan) yang harus dilakukan oleh setiap manusia untuk memperbaiki segala tingkah laku terhadap adanya

perbuatan thâghût tersebut antara lain : 41

1. Menasihati para Penguasa yang lalim serta memberi petunjuk jalan kebaikan pada mereka, dengan disertai cara yang dapat menjadikan mereka mau merenungi semua nasehat yang kita berikan dan menjadikan hati serta jiwa mereka luluh ketika mendengar nasehat tersebut. Nasihat ini bisa

40 CD Mausu'ah al-Kutub al-Tis'ah wa Syurûhuhâ, Shohîh M uslim , Kitâb al-Îmân , Bab Bayân Anna al-Dîn al-Nashîhat , No. Hadîts 82

41 Wahbah Zuhailî, Tafsir al-M unir; fî al-'Aqîdah wa al-Sy arî'ah wa al-M anhaj , Jilid. 5, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1998), h. 134-136 41 Wahbah Zuhailî, Tafsir al-M unir; fî al-'Aqîdah wa al-Sy arî'ah wa al-M anhaj , Jilid. 5, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1998), h. 134-136

yang lebih efektif dan dibolehkan oleh syara'. 42

Sebagai umat manusia sudah seharusnya kita mesti berani untuk menghadapi para penguasa yang lalim guna memberikan nasihat dan

wejangan yang baik serta mengingatkan akan siapa ia sebenarnya, bahwa ia- para penguasa-juga akan kembali pada hadirat Allah swt. Jika demikian, maka tidak pantas baginya untuk berbuat sewenang-wenang, takabur di muka bumi, dan berlaku kejam kepada manusia. Kemudian hendaknya ia- para penguasa-tersebut diingatkan pula, bahwa ia hanyalah seorang hamba Allah swt yang tidak layak untuk berbuat semena-mena dan lalim kepada sesama hamba Tuhannya, ia dan mereka adalah sama-sama sebagai hamba- Nya. Janganlah ia berlaku lalim dan menzaliminya, karena Allah lebih kuat

dan lebih besar keagungannya. 43

Perlu kita ingat bersama, bahwa Allah Ta'ala membiarkan (menangguhkan siksaan) orang yang zalim karena hilm -Nya (sifat kasih

42 'Abdul Karîm Zaidân, al-Sunnan al-Ilâhiy ah fî al-Umam wa al-Jamâ'ât wa al-Afrâd

fî al-Syarî'ah al-Islâmiy ah , h. 196

43 'Abdul Karîm Zaidân, al-Sunnan al-Ilâhiy ah fî al-Umam wa al-Jamâ'ât wa al-Afrâd

fî al-Syarî'ah al-Islâmiy ah , (Beirût: Mu'assasah al-Risâlah, 1998), h. 196 fî al-Syarî'ah al-Islâmiy ah , (Beirût: Mu'assasah al-Risâlah, 1998), h. 196

Perkataan ini layak dijadikan suatu nasihat yang harus disampaikan oleh setiap manusia, agar nasihat itu bisa menyadarkan dan membangkitkan kembali rasa keimanan yang masih ada dalam hatinya atau rasa takutnya kepada Allah swt. Nasihat itu harus disampaikan dengan cara yang bijaksana dan lemah lembut.

Allah Ta'ala berfirman kepada Nabi Mûsa as dan saudaranya-Nabi Hârûn-ketika mengutusnya kepada Fir'aun :

" Kemudian hendaklah kamu berkata kepadanya, dengan kata-kata yang lemah- lembut, semoga ia beringat atau takut" . (QS. Thâha/20: 44)

2. Menyadarkan umat akan segala kewajibannya; setiap manusia harus menerangkan kepada umat tentang kewajibannya dalam menghadapi penguasa yang lalim dan yang senantiasa berbuat thughyân.

Bahwasanya Allah Ta'ala mengharamkan kerjasama dalam kezaliman, bahkan melarang keras untuk menopangnya dengan bentuk apapun; baik dengan ucapan atau perbuatan, dengan pujian atau menganggap baik perbuatan zalimnya kepada manusia, atau dengan hadir di majelisnya menampakkan kegembiraan dan kesenangan ketika bertemu dengannya, karena semua itu termasuk dalam pemahaman kerjasama dalam Bahwasanya Allah Ta'ala mengharamkan kerjasama dalam kezaliman, bahkan melarang keras untuk menopangnya dengan bentuk apapun; baik dengan ucapan atau perbuatan, dengan pujian atau menganggap baik perbuatan zalimnya kepada manusia, atau dengan hadir di majelisnya menampakkan kegembiraan dan kesenangan ketika bertemu dengannya, karena semua itu termasuk dalam pemahaman kerjasama dalam

" Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang berlaku zalim maka (kalau kamu berlaku demikian), api neraka akan membakar kamu, sedang kamu tidak ada sebarang penolong pun yang lain dari Allah swt. Kemudian (dengan sebab kecenderungan kamu itu) kamu tidak akan mendapat pertolongan." (QS. Hûd/11: 113)

Sebagai bentuk penyadaran setiap manusia kepada umat tentang kewajibannya terhadap pemerintah yang tirani ( thughyân) adalah dengan menerangkan bahwa seorang pemimpin tidak akan bisa berbuat thughyân kepada umat tanpa bantuan dari para pendukungnya, yakni individu umat itu sendiri.

Umat adalah sarana (alat/ media) dari kezaliman dan thughyân itu sendiri. Maka siapa saja yang menjadi pengikut atau alat (media) dari kezaliman, maka dia telah bersekongkol (berkomplotan) dalam kezaliman dan telah melakukan tindak kejahatan thughyân .

Allah swt telah menyifati Fir'aun dan para pengikutnya dengan sifat yang sama. Sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur'an :

44 'Abdul Karîm Zaidân, al-Sunnan al-Ilâhiy ah fî al-Umam wa al-Jamâ'ât wa al-Afrâd

fî al-Syarî'ah al-Islâmiy ah , h. 197

" Setelah itu dia dipungut oleh orang-orang Fir'aun; kesudahannya dia akan menjadi musuh dan menyebabkan dukacita bagi mereka; sesungguhnya Fir'aun dan Hâmân serta orang-orangnya adalah golongan yang bersalah." (QS. al-Qashash/28: 8)

Ketika Allah swt membinasakan Fir'aun, maka mereka pun dibinasakan pula bersamanya. Firman Allah swt dalam al-Qur'an :

" Maka Fir'aun pun mengejar mereka bersama-sama dengan tentaranya, lalu ia dan orang-orangnya diliputi oleh air laut yang menenggelamkan mereka semuanya

dengan cara yang sedahsyat-dahsyatnya." (QS. Thâha/20: 78)

" Dengan sebab itu Kami mengepungnya bersama-sama tentaranya serta Kami hembankan mereka ke dalam laut; maka perhatikanlah bagaimana buruknya kesudahan orang-orang yang zalim." (QS. al-Qashash/28: 40)

Sebagian bentuk penerangan umat adalah menerangkan bahwa para pengikut kezaliman sama dengan pelaku kezaliman itu sendiri (penguasa yang lalim), karena mereka telah membantu kebijakannya yang zalim, maka mereka sama saja dengan membantu kelaliman dan telah menzalimi manusia. al-Qur'an telah mensiyalir kezaliman para pengikut Fir'aun dengan firman-Nya :

" Dan berlaku sombong takaburlah Fir'aun dan tentaranya di negeri itu dengan tiada alasan yang benar, dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami." (QS. al-Qashash/28: 39)

Bertolak dari sini, kita harus memperlakukan para pengikut orang- orang yang zalim dengan semestinya pada jalur tidak mendukung mereka dan terus-menerus memperingatkan dan menasihatinya.

Sebagian bentuk penyadaran pada umat adalah dengan mengatakan kepada mereka bahwa seorang muslim punya kepribadian

yang sama, yaitu kepribadian yang islami yang dilandasi oleh hukum Islam yang integral dan terpadu. Maka, tidak terlontar dari seorang muslim suatu ucapan atau perbuatan kecuali harus sesuai dengan makna-makna Islam dan hukum-hukumnya, dengan tujuan mencari ridha Allah swt semata. Sebagaimana firman Allah swt berfirman :

" Katakanlah: " Sesungguhnya sembahyangku dan ibadatku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk Allah swt, Tuhan yang memelihara dan mentadbirkan sekalian alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan yang demikian sahaja aku diperintahkan, dan aku (di antara seluruh umatku) adalah orang Islam yang awal pertama -(yang berserah diri kepada Allah swt dan mematuhi perintah-Nya)." (QS. al-An'âm/6: 162-163)

Maka tidak boleh bagi seorang muslim mempunyai dua kepribadian: kepribadian islami ketika ia sedang di masjid; dan kepribadian yang menolong untuk berkhidmat kepada penguasa yang zalim dan thughyân , kepribadian semacam ini bertentangan dengan kepribadian Islami. Bagi setiap muslim harus selalu menjaga kepribadian islaminya dengan jelas, dan segala tindak-tanduknya harus selaras dengan kepribadian islami tersebut.

3. Mencegah/ menegur mereka dengan teguran yang paling keras, yaitu dengan perkataan keras yang dapat membekas dalam hati mereka, 3. Mencegah/ menegur mereka dengan teguran yang paling keras, yaitu dengan perkataan keras yang dapat membekas dalam hati mereka,

Hal seperti ini dapat dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi maupun terus terang. Kita juga dapat mengatakan kalau mereka itu seperti layaknya orang kafir, bahkan melebihi orang kafir. Karena itulah hukuman bagi mereka adalah berada pada dasar neraka yang paling bawah.

4. Berpaling dari mereka, tidak mau perduli terhadap siksaan atau hukuman yang mereka terima, tidak menerima permintaan ma'af mereka dan tidak usah menampakkan wajah ceria dan penghormatan ketika bertemu dengan mereka

Meskipun misi Rasulullah saw tidak dimaksudkan untuk mengislamkan dan memukminkan seluruh umat manusia, namun prinsip dakwah Islam menggariskan bahwa kemungkaran, penyelewengan, penyimpangan dan perbuatan-perbuatan yang jahat lainnya, haruslah diberantas.

Kadar pengingkaran, kedengkian, makar dan tipu daya yang ada dalam hati orang-orang munafik tersebut sangatlah besar dan tidak dapat diukur kecuali oleh zat yang maha mengetahui segala rahasia dan hal yang tersembunyi.

Paling tidak penyimpangan-penyimpangan tersebut haruslah diperangi dengan berbagai cara. Menghilangkan berbagai bentuk tindak

kejahatan dan ketimpangan yang berlaku ditengah masyarakat yang dimaksud, juga merupakan salah satu bentuk upaya dan sikap yang harus ditempuh untuk mencapai salah satu tujuan Islam, yakni menciptakan tata sosial moral yang egalitarian dan berkeadilan.

Padahal di sisi lain, dalam al-Qur'an orang-orang munafik ini diperintahkan untuk mengingkari para thâghût dan menjauhinya. Nah, jika

mereka tidak mau menerima perintah ini, maka itu menunjukkan kalau tidak ada rasa iman dalam diri mereka. Memang, mereka mengaku beriman kepada Allah swt dan mengaku beriman kepada setiap ayat-ayat yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Tetapi perbuatan mereka yang percaya

kepada para thâghût dan mengutamakan keputusannya, dibandingkan keputusan Rasulullah saw, ini menunjukkan kalau sebenarnya mereka tidak beriman kepada Allah swt dan ayat-ayat-Nya. Dan ini merupakan dalil kalau mereka telah keluar dari agama islam.

Dengan perbuatan mereka ini, yaitu perbuatan mengikuti thâghût maka mereka juga dapat dikategorikan termasuk ikhwan syaithân . Mereka ingin agar para syaithân menyesatkan dan menjauhkan mereka dari kebenaran.

Adapun dalil untuk hal ini adalah; jika dikatakan kepada orang- orang yang mengaku beriman: "marilah kita berhukum dengan ayat yang

diturunkan Allah swt dalam al-Qur'an dan berhukum kepada Rasul-Nya yaitu jalan yang lurus, maka engkau wahai Muhammad saw, akan melihat kaum munafik itu berpaling dan menghindarkan diri dari ajakanmu. Mereka juga akan membenci segala keputusanmu dan menentangnya dengan segala cara serta berusaha dengan sengaja untuk berpaling dari keputusan tersebut.

Ayat ini menguatkan informasi tentang apa yang telah mereka lakukan, yaitu berperkara kepada para thâghût dan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya serta kepada orang-orang bodoh. Karena itulah, barang siapa yang berpaling dari hukum Allah swt secara sengaja, maka tidak diragukan lagi kalau orang tersebut adalah orang munafik.

Bagaimana keadaan orang-orang munafik jika Allah swt memberi tahu kepadamu (wahai Muhammad saw) tentang diri mereka yang berpaling dari hukum Allah swt dan Rasul-Nya. Di mana ketika mereka tertimpa musibah atau hukuman disebabkan karena dosa-dosa yang mereka lakukan, yang berupa kekufuran, banyak berbuat maksiat dan melakukan perbuatan tidak senonoh. Lalu, mereka terpaksa akan kembali kepadamu untuk meminta pertolongan menghilangkan berbagai musibah yang menimpanya karena mereka tidak mampu untuk berpaling dan lari dari musibah tersebut.

Ketika itu,-yaitu ketika mereka datang-,maka mereka akan mengatakan suatu kebohongan. Mereka akan mengatakan; bahwa apa yang

sebenarnya mereka lakukan itu, yaitu berhukum kepada selain rasul, tidak lain hanyalah demi untuk menjalin hubungan yang baik dan menyelesaikan perselisihan di antara mereka dengan musuh-musuh mereka dengan cara damai.

Atau jika tidak begitu, mereka akan meminta ma'af kepadamu (wahai Muhammad saw) dan berjanji: "kami tidak akan pergi untuk

meminta suatu keputusan kepada selain engkau. Adapun perbuatan kami yang berhukum kepada musuh-musuhmu tidak lain adalah demi untuk kebaikan dan menyelesaikan perkara itu dengan sempurna (dan kata-kata ini adalah termasuk kata-kata dari orang yang senantiasa suka mencari muka atau penjilat). Sebab, kami sebenarnya tidak percaya dengan kebenaran putusan itu".

Dan keadaan orang munafik ini cocok dengan apa yang telah diberitakan Allah swt kepada kami tentang mereka dalam firman-Nya yang berbunyi:

" Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang- orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: " Kami takut akan mendapat bencana" . Mudah-mudahan Allah swt akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari Sisi-

Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka" (QS. al-Mâidah/5:52).

Semua merupakan ancaman yang sangat keras atas segala apa yang telah mereka lakukan. Dan mereka akan menyesal ketika rasa penyesalan itu sendiri sudah tidak bermanfa'at. Sebagai bukti lain dari apa yang mereka katakan adalah firman Allah swt :

" Mereka sesungguhnya bersumpah, Kami tidak menghendaki selain kebaikan" (QS. al-Taubah/9: 107).

C. Pengaruh dan Konsekwensi dari perbuatan thâghût di kehidupan masyarakat zaman sekarang

Allah swt menghendaki agar manusia hidup dengan tertib, untuk itu Dia menurunkan al-Qur'an yang berisi petunjuk, hukum dan nilai-nilai kehidupan. 45 Pada sisi lain, Allah swt pun melarang adanya tindakan yang sewenang-wenang dan berbuat kezaliman dan kerusakan. Pembicaraan al-Qur'an mengenai tindakan sewenang-wenang, kezaliman dan kerusakan senantiasa disertai dengan sifat atau predikatnya yang paling buruk, dan pada sebahagian ayat dibarengi dengan menyebutkan akibat-akibat paling jelek yang ditimbulkannya, baik yang

akan dirasakan di dunia maupun di akhirat kelak. 46

45 Abdul Muin Salim, Konsepsi Hukum dalam al-Qur'an , (ttp: Uswah, 1992), h. 59

46 M. Rasyid Ridho , al-W ahyu at M uhammad , Terj. Josef C.D " W ahyu ilahi kepada

M uhammad ", (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), h. 478-479

Sayyid Quthb dalam tafsirnya telah mengatakan 47 , bahwa sifat thâghût ini merupakan salah satu dari sifat yang tidak baik, tentu saja selalu

menimbulkan pengaruh yang negatif baik terhadap pelakunya sendiri maupun terhadap orang lain, bahkan dapat mempengaruhi lingkungan alam sekitarnya. Dibelakang sifat thâghût (kesewenang-wenangan/ tirani), tidak ada lagi sesuatu selain kerusakan. Maka kesewenang-wenangan itu menjadikan sang diktator (tirani) itu sebagai tawanan hawa nafsunya sendiri.

Karena itu, ia tidak mau kembali kepada timbangan yang mantap, dan tidak mau berhenti pada batas yang jelas. Lalu, ia membuat kerusakan yang diawali dengan dirinya sendiri, dan menempatkan dirinya di bumi ini bukan sebagai hamba yang ditugasi mengemban tugas kekhalifahan.

Sebagaimana kisah-kisah para tirani atau diktator yang telah diuraikan pada bahasan sebelumnya, firman Allah swt :

" Akulah tuhanmu yang paling tinggi ." (QS. al-Nâzi'at/ 79 : 24) Pada ayat ini diterangkan bahwasanya Fir'aun telah berkata; ketika

dirinya sudah dirusak oleh kesewenang-wenangannya sendiri atau telah melampaui batas dalam berkuasa, sehingga melampaui kedudukannya sebagai hamba yang diciptakan, yang berlanjut dengan mengucapkan

47 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân , Jilid 24, h. 154-155 47 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân , Jilid 24, h. 154-155

Mereka yang paling besar tanggung jawabnya di samping para tiran yang takabur adalah "alat kekuasaan" yang dinamakan oleh al-Qur'an dengan junud , yaitu "kekuatan militer para pengikutnya" yang merupakan taring dan cakar kekuasaan politik, dan juga melawan atau memberontak. Firman Allah dalam al-Qur'an :

" Setelah itu dia dipungut oleh orang-orang Fir'aun; kesudahannya dia akan menjadi musuh dan menyebabkan dukacita bagi mereka; sesungguhnya Fir'aun dan

Hâmân serta orang-orangnya adalah golongan yang bersalah." (QS. al-Qashash/28 :8)

" Dengan sebab itu Kami mengepungnya bersama-sama tentaranya serta Kami hembankan mereka ke dalam laut; maka perhatikanlah bagaimana buruknya kesudahan orang-orang yang zalim." (QS. al-Qashash/28: 40)

Menurut Nurcholish Madjid 48 , bahwa sesungguhnya kekuasaan merupakan amanat yang paling penting untuk diawasi, karena di antara

semua fasilitas dan kemudahan dalam kehidupan ini yang paling mudah untuk disalahgunakan adalah kekuasaan. Dalam bahasa asing ada istilah- istilah yang sering memperingatkan kita tentang bahaya akan kekuasaan, seperti; power tends to corrupt , kekuasaan itu cenderung untuk bertindak curang. Absolute power corrupt absolutly , kekuasaan yang mutlak akan menjadi curang secara mutlak. Maka dari itu, dalam agama kita tidak diizinkan adanya kekuasaan yang bersifat mutlak ( absolute ). Dalam bahasa Arab biasanya disebut pula dengan thâghût, yang selanjutnya sering diterjemahkan sebagai tirani.

Adapun salah satu contoh thâghût sebagaimana telah diuraikan pada bahasan sebelumnya, yang paling banyak disebutkan dalam al-Qur'an adalah Fir'aun. Seperti firman Allah swt kepada Nabi Mûsa as :

" Pergilah kepada Fir'aun :" Sesungguhnya ia telah melampaui batas" . (QS. Thâhâ/20: 24)

Perjuangan Nabi Mûsa as merupakan perjuangan dari seorang pembebas melawan seorang penindas (Fir'aun). Exodus besar-besaran bangsa Israel dari Mesir ke Palestina adalah lambang dari pembebasan manusia dari

48 Nurcholish Madjid, Pesan Takwa , (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 45-47 48 Nurcholish Madjid, Pesan Takwa , (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 45-47

Ini semua mengandung pelajaran moral mengenai perjuangan abadi manusia melawan para thâghût (tirani) semenjak manusia mengenal kekuasaan, yang secara historis tersebut dimulai oleh bangsa Sumeria di lembah sungai Effrat dan Tigris-orang-orang Yunani menyebutkannya sebagai Mesopotamia, artinya lembah di antara dua sungai-sekitar 60.000 tahun yang lalu, sejak itu manusia menjalani penyalahgunaan kekuasaan,

dan menjadikan segala kekuasaan tersebut seperti sifat tirani. 49 Oleh sebab itu, Adapun konsekwensi konkrit yang harus ditempuh oleh masyakarat untuk menghindari adanya penyimpangan-penyimpangan para tiran atau thughyân dalam berkuasa salah satunya, dengan adanya suatu pengawasan dari masyarakat secara langsung maupun secara tidak langsung. Bahwasanya kekuasaan tidak bisa dibiarkan tanpa adanya suatu pengawasan. Pengawasan itu dapat dilakukan oleh masyarakat. Dalam perkembangannya kini pengawasan itu sudah ada dilembagakan dalam bentuk serikat-serikat independen, yang mana kemudian memperoleh nama

sebagai "masyarakat madani" ( civil society ). 50

49 Nurcholish Madjid, Pesan Takwa , h. 48 50 Civil society atau Masyarakat madani merupakan soko guru masyarakat yang sehat.

Civil society model masyarakat madani adalah pelaksana kewajiban untuk mengontrol pemerintah yang dalam bahasa al-Qur'an merupakan pelaksana amar ma'ruf nahi mungkar (menganjurkan yang baik dan mencegah yang salah). Ini semua dalam rangka penegakan keadilan tersebut sehingga terhindar dari para sikap tirani-tirani yang berkuasa; Nurcholish

Madjid, Pesan Takwa,

h. 49

Dalam al-Qur'an telah diingatkan bahwa salah satu bentuk penyalahgunaan kekuasaan adalah melindungi tindakan-tindakan yang

salah. Wujud penyalahgunaan kekuasaan tidak saja berupa tindakan salah dari seorang penguasa atau tiran secara langsung tetapi juga berupa langkah mereka untuk melindungi kesalahan orang lain melalui rekayasa kekuasaan. Rekayasa menutup kesalahan orang lain tersebut, misalnya tergambar dalam sebuah ayat dalam al-Qur'an tentang hubungan ekonomi :

" Dan janganlah kamu makan (atau mengambil) harta (orang-orang lain) di antara kamu dengan jalan yang salah, dan jangan pula kamu mengulurkan harta kamu (memberi riswah) kepada hakim-hakim kerana hendak memakan maupun menyogok (atau mengambil) sebahagian dari harta manusia dengan (berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (salahnya)." (QS. al-Baqarah/2: 188)

Kita cenderung melihat sesuatu itu baik jikalau sesuai dengan keinginan kita, dan kita pun cenderung melihat sesuatu itu benar jikalau sejalan dengan akal pikiran kita. Maka kita pun dapat dikatakan telah kehilangan akan suatu penilaian yang bersifat obyektifitas. Disitulah mulai berbahaya, kalau seseorang sudah mengklaim dirinya tahu mana yang baik, lalu minta diikuti, maka ia telah terperosok dalam otoritarianisme . Dan otoritarianisme adalah permulaan dari timbulnya thâghût (tirani).

Sunnatullah pada orang-orang yang berlaku thughyân adalah ditimpakan kepada mereka azab yang pedih ketika di dunia. Ini sudah menjadi Sunnatullah yang telah berlaku pada orang-orang yang berlaku Sunnatullah pada orang-orang yang berlaku thughyân adalah ditimpakan kepada mereka azab yang pedih ketika di dunia. Ini sudah menjadi Sunnatullah yang telah berlaku pada orang-orang yang berlaku

Sunnatullah terhadap orang-orang yang berlaku thughyân serta dengan segala apa yang ditimpakan kepada mereka berupa siksaan ketika di dunia, merupakan bahan pelajaran dan renungan bagi orang-orang yang takut kepada Alah dan siksaan-Nya dan dia tahu bahwa Sunnatullah adalah undang-undang yang kokoh dan tidak pilah-pilih kepada seorang pun.

Allah swt menggambarkan orang-orang yang mengambil pelajaran dengan Sunnah-Nya terhadap orang-orang yang berlaku thughyân setelah Dia menceritakan segala apa yang menimpa kepada Fir'aun berupa azab. Sebagaimana firman Allah swt dalam al-Qur'an :

" Maka Allah swt menyiksa Fir'aun di akhirat dan di dunia ini, dengan azab yang menakutkan sesiapa yang mengetahuinya. Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi pelajaran yang mendatangkan ikhtibar bagi orang-orang yang takut (melanggar perintah Tuhannya)." (QS. al-Nâzi'ât/79: 25-26)

Ibn Katsîr menafsirkan ayat ini, yakni Allah swt membalasnya (Fir'aun) dengan balasan yang setimpal, dan menjadikannya sebagai pelajaran bagi orang-orang yang takabur seperti dia di dunia ini. Yang

dimaksud dengan firman Allah swt : ﻰﹶﻟﻭ ُ ﻷ ﺍﻭ ِﺓﺮِﺧ ﺍَﻷ ﹶﻝﺎﹶﻜﻧ (mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia) , yakni di dunia dan akhirat. ﹰﺓﺮﺒِﻌﹶﻟ ﻚِﻟ ﹶﺫﺍ ﻰ ِﻓ ﱠﻥِﺇ ﻰﺸﺨﻳ ﻦﻤ ِّﻟ (sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang- dimaksud dengan firman Allah swt : ﻰﹶﻟﻭ ُ ﻷ ﺍﻭ ِﺓﺮِﺧ ﺍَﻷ ﹶﻝﺎﹶﻜﻧ (mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia) , yakni di dunia dan akhirat. ﹰﺓﺮﺒِﻌﹶﻟ ﻚِﻟ ﹶﺫﺍ ﻰ ِﻓ ﱠﻥِﺇ ﻰﺸﺨﻳ ﻦﻤ ِّﻟ (sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-

pelajaran dan bagi orang yang takut. 51

al-Râzî ketika menafsirkan ayat di atas, maknanya adalah segala apa yang menimpa kepada Fir'aun berupa siksaan, kemudian Allah swt memberikan kepada Nabi Mûsa as kemenangan yang gemilang, semua itu adalah sebagai bahan pelajaran bagi orang yang merasa takut dengan tidak melakukan pembangkangan kepada Allah Ta'ala dan mendustakan kepada para nabi, karena ia takut dari siksaan yang telah ditimpakan kepada Fir'aun. Maka oleh karena itu, ambillah pelajaran wahai orang-orang yang mendustakan Nabi Muhammad saw dengan segala apa yang telah Kami ceritakan di atas, yakni jika kalian melakukan perbuatan yang akan mendatangkan azab seperti mereka, maka kalian akan sama-sama

ditimpakan azab yang telah Kami timpakan kepada mereka. 52 Sunnah Nabawiyah juga mengecam para penguasa yang zalim dan arogan serta yang senantiasa berbuat thughyân , yang memerintah dengan kekerasan. Mereka itulah yang akan berada dalam siksaan neraka kelak. Sunnah pun mencela orang-orang yang mengikuti para tiran tersebut, orang-orang yang senantiasa menyanjung dan mengikutinya. Serta mengecam bangsa-bangsa yang sudah tersebar di kalangan mereka rasa

51 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm , (Kairo: Dâr Misr li al-Thibâ'ah, tth), Jilid. 4, h. 468

52 Fakhru al-Dîn al-Râzî, Tafsîr M afâtih al-Ghaib, Jilid. 31, h. 43 52 Fakhru al-Dîn al-Râzî, Tafsîr M afâtih al-Ghaib, Jilid. 31, h. 43

penguasa yang zalim. 53

Diriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah saw bersabda :

" Diriwayatkan dari Jâbir bahwa Nabi Muhammad saw bersabda kepada Ka'ab ibn 'Ujrah: " Semoga Allah melindungimu dari pemerintahan orang-orang yang bodoh, wahai Ka'ab!" Dia bertanya : " Apa itu pemerintahan orang-orang yang bodoh?" Beliau bersabda : " Para pemimpin yang datang sesudahku mereka tidak mengambil petunjuk dari petunjukku, mereka tidak mengikuti Sunnah-ku, siapa yang membenarkan kebohongan dan mendukung kezaliman mereka, maka orang-orang tersebut tidak termasuk golonganku, saya dan aku tidak masuk golongannya, serta juga tidak boleh mengambil air dari telagaku. Tapi, siapa yang tidak membenarkan kebohongan dan tidak mendukung kezaliman mereka, maka orang-orang tersebut termasuk golonganku, dan aku termasuk golongannya, serta boleh mengambil air dari telagaku." (HR. Ahmad ibn Hanbal)

Dari makna hadîts di atas ini, kita dapat melihat bagaimana Allah swt telah menyebutkan hukuman sosial atau konsekwensinya di dunia dan di

53 Yûsuf al-Qardhâwî, M in Fiqh al-Daulah fî al-Islâm,

h. 172

54 CD Mausu'ah al-Kutub al-Tis'ah wa Syurûhuhâ , M usnad Ahmad ibn Hanbal , Kitâb Baqîy Musnad al-Mukatstsirîn , Bab Musnad Jâbir ibn 'Abdullah , No. Hadîts 13919 54 CD Mausu'ah al-Kutub al-Tis'ah wa Syurûhuhâ , M usnad Ahmad ibn Hanbal , Kitâb Baqîy Musnad al-Mukatstsirîn , Bab Musnad Jâbir ibn 'Abdullah , No. Hadîts 13919

Dalam hal mentaati penguasa, manusia dengan para penguasanya

dalam hal ini terbagi menjadi empat bagian: 55

Pertama , adakalanya kekuatan iman dan pengaruh kekuasaan sama- sama kuat, ini tingkat yang paling sempurna dan paling tinggi. Kedua , adakalanya pula kekuatan imannya kuat namun pengaruh kekuasaannya lemah, ini tingkat menengah. Ketiga , adakalanya pengaruh kekuasaannya kuat namun kekuatan imannya lemah, ini kebalikan dari tingkatan kedua di atas. Keempat , adakalanya kekuatan imannya lemah dan pengaruh kekuasaan pun lemah, ini tingkat yang paling rendah dan paling berbahaya terhadap masyarakat, baik terhadap penguasa tersebut maupun terhadap rakyat, karena lemahnya kekuatan iman dan pengaruh kekuasaan akan menimbulkan banyak kekacauan pemikiran, moral dan perilaku.

Pada kenyataannya, jika pengaruh kekuasaan lebih kuat, biasanya lebih maslahat bagi umat, namun jika kekuatan iman melemah, jangan ditanya kondisi masyarakat dan buruknya perilaku mereka, itu karena pengaruh imannya lemah. Jika kekuatan imannya kuat sementara pengaruh kekuasaannya lemah, terkadang kondisinya lebih buruk dari tingkat yang

55 al-Maudûdî, Towards Understanding the Qur'ân , Jilid. 1, h. 204 55 al-Maudûdî, Towards Understanding the Qur'ân , Jilid. 1, h. 204

Jadi kemampuan untuk memimpin dan menguasa suatu negeri atau wilayah, serta menetapkan hukum, sebenarnya tidak selalu berarti negatif

atau mengandung unsur jahat. Jika berada di tangan orang yang saleh dan benar, kemampuan itu jelas akan memberikan suatu kemaslahatan dan kebaikan.

Dengan demikian sebaik-baiknya suatu kekuasaan adalah yang dikendalikan oleh orang yang saleh, jujur dan senantiasa selalu berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah-Nya. Sebaliknya, kemampuan berkuasa dan memimpin suatu negeri atau wilayah akan menjadi sangat buruk dan berbahaya jika berada di tangan orang yang berwatak serta bertemperamen jahat atau di tangan para penguasa yang senantiasa berbuat sewenang- wenang dan melampaui batas dalam hal kekuasaan karena selalu dipergunakan untuk merusak kehidupan dan menimbulkan berbagai malapetaka.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah dikemukakan bahasan mengenai konsep thâghût dalam perspektif al-Qur'an, maka dapat diambil beberapa kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :

1. Kata thâghût di dalam al-Qur’an menunjukkan kepada pelanggaran

terhadap ketentuan-ketentuan Allah karena selalu bermakna dan berkonotasi negatif. al-Qur’an mengecam segala perbuatan dan prilaku dari thâghût tersebut.

2. Pengertian thâghût dalam al-Qur’an sangat bervariasi seperti sesat, durhaka, melampaui batas, membuat kerusakan, tirani dan berprilaku yang senantiasa berbuat sewenang-wenang. Sifat-sifat yang seperti ini terkadang digambarkan oleh al-Qur’an sebagai sifat individu, terkadang pula sebagai sifat kaum/ kelompok. Sekalipun sifat thâghût ini dikaitkan dengan individu dan kaum/ kelompok namun al-Qur’an mensinyalir bahwa kedua-duanya saling berkoalisi untuk memadukan programnya. Berdasarkan adanya koalisi inilah maka kecaman al-Qur’an terhadap thâghût selalu ditujukan kepada pemimpin dan juga kaum/ kelompok yang mendukungnya, justru itulah kiprah thâghût yang senantiasa dapat 2. Pengertian thâghût dalam al-Qur’an sangat bervariasi seperti sesat, durhaka, melampaui batas, membuat kerusakan, tirani dan berprilaku yang senantiasa berbuat sewenang-wenang. Sifat-sifat yang seperti ini terkadang digambarkan oleh al-Qur’an sebagai sifat individu, terkadang pula sebagai sifat kaum/ kelompok. Sekalipun sifat thâghût ini dikaitkan dengan individu dan kaum/ kelompok namun al-Qur’an mensinyalir bahwa kedua-duanya saling berkoalisi untuk memadukan programnya. Berdasarkan adanya koalisi inilah maka kecaman al-Qur’an terhadap thâghût selalu ditujukan kepada pemimpin dan juga kaum/ kelompok yang mendukungnya, justru itulah kiprah thâghût yang senantiasa dapat

3. Thâghût dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, diantaranya Syaithân , Penguasa yang zhalim, Kâhin, Sahir (ahli sihir) dan al-Ashnâm . Adapun faktor penyebab dari timbulnya perbuatan ini, antara lain di karenakan telah timbulnya penyembahan terhadap thâghût dan telah berkembangnya sifat-sifat yang mengarah pada thughyân mâl serta pada thughyân sulthân serta zhalim .

4. Dari penjelasan mengenai kisah di atas, al-Qur'an telah mengungkapkan adanya aliansi antara tiga pihak keji dan tercela : Pertama , Penguasa angkuh yang mengaku tuhan di bumi Allah swt, berlaku diktator terhadap hamba-hamba-Nya, penguasa seperti ini diwakili oleh Fir'aun. Kedua , Politikus opportunis yang menggunakan kepintaran dan pengalamannya untuk melayani kepentingan penguasa tiran, untuk memantapkan kekuasaan dan meningkatkan popularitasnya, sehingga dia selalu dipatuhi oleh rakyat. Politikus seperti ini diwakili oleh Hâmân. Ketiga , Kapitalis dan feodalis yang mengambil manfaat dari pemerintah yang zalim. Mereka mendukung pemerintahan ini dengan mengeluarkan sebagian hartanya untuk mendapatkan harta yang lebih banyak lagi dengan merampas dari rakyat. Kelompok ini diwakili oleh Qârûn.

5. Segala kisah dalam al-Qur'an yang telah diuraikan diatas, mengandung satu pesan cukup mendasar, bahwa keserakahan sifat tirani ( thâghût )

yang melekat pada seseorang akan mendatangkan malapetaka baik bagi dirinya, masyarakat maupun lingkungan disekitarnya. Terlebih jika ia penguasa yang mendapatkan fasilitas ilmu dan kekuasaan politik, maka hubungan sosialnya cenderung bersifat struktural dan menindas. Dalam jargon ilmu sosial, yang muncul adalah relasi kekuasaan yang dominatif, bukannya liberatif. Pada dasarnya semua dari kisah mengenai kepemimpinan para penguasa tersebut, tidak memungkiri tentang adanya wujud Allah swt, namun mereka mengingkari sifat wahdaniyah , uluhiyah dan rubbubiyah Allah swt dalam mengelola dan menata alam semesta.

6. Sikap (tahapan-tahapan) yang harus dilakukan oleh setiap manusia untuk memperbaiki segala tingkah laku adanya perbuatan thâghût

tersebut antara lain : Pertama , menasihati penguasa. Nasihat bisa dengan cara ta'ridh (sindiran), tashrih (terang-terangan) sesuai situasi dan kaidah amar ma'ruf nahyi mungkar . Atau disampaikan lewat tulisan, melalui utusan, maupun pendekatan persuasif lewat orang terdekat penguasa atau cara lain yang lebih efektif dan dibolehkan oleh syara'. Kedua , Menyadarkan umat akan kewajibannya dalam menghadapi penguasa yang lalim serta yang senantiasa berbuat thughyân. Karena sesungguhnya tersebut antara lain : Pertama , menasihati penguasa. Nasihat bisa dengan cara ta'ridh (sindiran), tashrih (terang-terangan) sesuai situasi dan kaidah amar ma'ruf nahyi mungkar . Atau disampaikan lewat tulisan, melalui utusan, maupun pendekatan persuasif lewat orang terdekat penguasa atau cara lain yang lebih efektif dan dibolehkan oleh syara'. Kedua , Menyadarkan umat akan kewajibannya dalam menghadapi penguasa yang lalim serta yang senantiasa berbuat thughyân. Karena sesungguhnya

sendiri. Ketiga , Mencegah/ menegur mereka dengan teguran yang paling keras, hal ini bisa dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi maupun terus terang. Keempat , Berpaling dari mereka.

7. Adapun konsekwensi konkrit harus ditempuh masyakarat untuk menghindari penyimpangan para tiran (thughyân) dalam berkuasa,

dengan adanya suatu pengawasan dari masyarakat langsung maupun secara tak langsung. Kekuasaan tidak bisa dibiarkan tanpa adanya suatu pengawasan. Pengawasan dapat dilakukan masyarakat. Dalam perkembangannya, pengawasan sudah dilembagakan dalam bentuk serikat independen, yang lebih dikenal dengan sebutan "masyarakat madani" ( civil society ).

B. Saran-Saran

Penulis mengajukan beberapa saran sehubungan dengan hasil penelitian penulis dalam tesis ini di antaranya :

1. Bahwa pilar yang paling utama dalam kehidupan ini adalah dengan mengesakan Allah swt semata dalam hal peribadatan dan dalam segala bidang, serta senantiasa selalu menjauhi dan mengkafiri thâghût . Karena tanpa itu semua, kehidupan yang baik tidak akan dapat ditegakkan, dan tidak akan diterima segala amal perbuatan. Oleh karena itu, berpegang 1. Bahwa pilar yang paling utama dalam kehidupan ini adalah dengan mengesakan Allah swt semata dalam hal peribadatan dan dalam segala bidang, serta senantiasa selalu menjauhi dan mengkafiri thâghût . Karena tanpa itu semua, kehidupan yang baik tidak akan dapat ditegakkan, dan tidak akan diterima segala amal perbuatan. Oleh karena itu, berpegang

satu solusi yang diajarkan al-Qur'an kepada umatnya untuk keluar dari krisis yang dialami umat Islam.

2. Sifat thâghût atau thughyân dengan berbagai maknanya seperti diungkapkan dalam pembahasan di atas sangatlah identik dengan sifat- sifat sebagian anak bangsa pada zaman sekarang ini. Bila sifat-sifat ini tidak diantisipasi boleh jadi nasib yang akan menimpa bangsa ini sama dengan nasib yang menimpa bangsa-bangsa dahulu seperti kaum Fir'aun, kaum Tsamûd dan kaum 'Âd. Dengan demikian upaya pemerintah untuk memberantas segala macam bentuk thughyán di negara ini patut didukung oleh setiap lapisan masyarakat.

3. Kezaliman yang dilakukan oleh pelaku thâghût dapat merupakan bahaya laten dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekalipun al-Qur'an memberikan larangan untuk tidak mengikuti thâghût bukan berarti bahaya laten thâghût dapat dipangkas sampai ke akar-akarnya. Dengan demikian untuk menghadapi bahaya laten ini maka diperlukan koalisi yang sangat kuat untuk mencegah para thâghût agar jangan berkuasa, karena para thâghût memiliki sifat yang tidak baik, bahkan sanggup menghalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaannya.

4. Kebenaran, keadilan dan kebaikan akan selalu tetap hidup meskipun kadangkala di interupsi oleh kezaliman struktural maupun kultural

akibat ulah para penguasa atau para pemimpin yang senantiasa bersikap tiran ( thâghût ). Sejarah masih terus bergulir, Puluhan para pemimpin yang bersikap tiran ( thâghût ) akan mudah dijumpai di mana-mana. Mungkin juga tanpa disadari telah bertahta dalam diri Anda sendiri.

Akhirnya, besar harapan penulis, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya, serta ucapan terima kasih kepada seluruh pihak

yang senantiasa mencari kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam tesis ini. Âmîn .

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdûh, Muhammad, Tafsîr al-Manâr , Beirût: Dâr al-Fikr, 1973

Abû Fâris, Muhammad 'Abdul Qâdir, al-Nizhâm al- Siyâsî fi al-Islâm , Terj. Musthalah Maufur, Sistem Politik Islam , Jakarta: Robbani Press, 2000

al-'Akk, Khalid Abdurrahman, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ'iduhu , Beirût: Dâr al- Nukhais, 1986

al-Alûsî al-Baghdadî, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur'ân al- Azhîm , Beirût: Dâr al-Fikr, 1994

Archer, Jules, The Dictators, Fascits, Communists, Despots and Tyrants- The

Biographies of " The Great Dictators" of The Modern W orld, Terj.

Dimyati AS, Kisah Para Diktator; Biografi Politik Para Penguasa

Fasis, Komunis, Despotis dan Tiran , Yogyakarta: Narasi, 2004

Asad, Muhammad, The Message of The Qur'an , Gibraltar: Dâr al-Andalûs, 1980

al-Baghdadî, Abî Hasan 'Alî ibn Muhammad ibn Habib al-Bashri, Al-Ahkâm Al-

Sulthaniyyah wa al- W ilayât al-Diniyyah , Beirût: Dâr al-Kutub al- Ilmiyyah, tth

al-Baqi, Muhammad Fuad Abd, Mu’jam al- Mufahras lî Alfâzh al- Qur’ân al-

Karîm , Kairo: Dâr al-Hadîts, 1996

al-Buhthy, Muhammad Sa'id Ramadhân, Fiqh al- Sîrah , Beirût: Dâr al-Fikr, 1397

Cawidu, Hafruddin, Konsep Kufr dalam al-Qur’an, Sebuah Kajian Teologis

dengan Pendekatan Tafsir Tematik , Jakarta: Bulan Bintang , 1991

CD. al- Kitâb al-Tis'ah wa Syurûhuhâ

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Jakarta: Balai Pustaka, 1988

Faiz, Ahmad, Tharîq al-Da'wah fî Zhilâl al-Qur'ân , Beirût: Muassasah al- Risalah, 1992 Faiz, Ahmad, Tharîq al-Da'wah fî Zhilâl al-Qur'ân , Beirût: Muassasah al- Risalah, 1992

al-Gharnâthî, Abû Hayyân al-Andalusîy, al-Bahr al-Muhîth fî Tafsîr , Beirût: Dâr al-Fikr, tth

al-Ghazalî, Muhammad, Kaifa Nata’amal ma’a al- Qur’ân , Terj. Masykur Halim dan Ubaidillah, Berdialog dengan Al- Qur’an , Bandung: Penerbit Mizan, 1996

_________, Nahwa Tafsîr Maudhû'î li Suwâr al- Qur'ân al- Karîm , Terj. Safir al-

Azhar Mesir Medan, " Tafsîr al- Ghazalî; Tafsir Tematik al- Qur'an 30

Juz (Surat 1-26) ", Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2004

Hamka, Tafsir al-Azhar , Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996

Ibn Abdul Wahhab, Muhammad, Terj. Bey Arifin, dkk, Bersihkan Tauhid anda

dari Noda Syirk , Surabaya: Bina Ilmu, 1982

Ibn Arabî, Ahkâm al-Qur'ân , Beirût: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, tth

Ibn 'Atiq, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad, Ibthâl al- Tandîd bikhtishâr

Syarh al-Tauhîd , Riyadh: Maktabah al-Haditsah, 1389 H

Ibn Baz, Abdul Aziz ibn Abdullah, W ujûbu Tahkîm Syar’i- llâh , Terj. Muhammad Thalib, Kewajiban Menerapkan Syari’at Islam , Yogyakarta: Wihdah Press, 2003

Ibn Katsîr, Tafsîr al- Qur'ân al- 'Azhîm , Kairo: Dâr Misr li al-Thibâ'ah, tth

Ibn Manzhûr, Lisân al-Arab , Beirût: Dâr Ihya al-Turâts al-Arabî, 1991

Ibn Taimiyah, al-Dalîl wa al- Burhân ‘ala Shar’î Jin li Insân Risâlah fî Hukmî

al-Sihr wa al- Kâhin , Kuwait: Maktabah al-Sundûs, 1989

Ibn Zakariyâ, Abû Husain Ahmad ibn Fâris, Mu'jam Maqâyîs al-Lughah , Kairo: Maktabah al-Khabâkhî, 1981

al-Ishfahânî, Râghib, Mu'jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân , Tahqîq Nadîm Mar’asylî, Beirût: Dâr al-Fikr, tth

Izutsu, Toshihiko, Ethico-Religious Concepts in the Qur'an , Terj. Mansuruddin Djoely, Etika Beragama dalam Qur'an , Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995

al-Jauziyah, Ibn Qayyim, I'lâm al-Muwaqqî'în , Terj. Asep Saefulloh FM ,

Panduan Hukum Islam , Jakarta: Pustaka Azzam, 2000

al-Kholidy, Sholâh Abdul Fattah, al-Atbâ’u wa al-Matbû’ûn fî al-Qur’ân , ‘Amman: Dâr al-Manâr li Nasyr al-Tauzi’, 1996

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis

tentang Maslaah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan , Jakarta: Penerbit Paramadina, 1992

_______, Pintu- Pintu Menuju Tuhan , Jakarta: Penerbit Paramadina, 2002

_______, Islam Agama Kemanusiaan; Membangun Tradisi dan Visi Bari Islam

Indonesia , Jakarta: Penerbit Paramadina, 2003

_______, Masyarakat Religius; Membumikan Nilai-nilai Islam dalam

Kehidupan Masyarakat , Jakarta: Penerbit Paramadina, 2004

_______, Pesan-Pesan Takwa; Kumpulan Khutbah Jum'at di Paramadina , Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000

Makluf, Lous, al- Munjîd fîal-Lughah wa al- I’lâm , Beirût: Dâr al-Masyrîq, tth

al-Marâghî, Muhammad Musthafa, Tafsîr al- Marâghî , Kairo: Mushthafa al-Bâb al-Halabi, 1974

al-Maudûdî, Abû A’lâ, Towards Understanding the Qur'ân; English Version of

Tafhîm al- Qur’ân , Leicester: the Islamic Foundation, 1989

Moleong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif , Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001

Murâd, Mushthafa, Al- Tsalâtsûna al- Mubasysy irûn bi-Nar , Kairo: Dâr al-Fajr li-Turâts, 2000) Murâd, Mushthafa, Al- Tsalâtsûna al- Mubasysy irûn bi-Nar , Kairo: Dâr al-Fajr li-Turâts, 2000)

Kerugian Apa yang Diderita Dunia Akibat Kemerosotan Kaum

Muslim , Bandung: al-Ma’arif, 1993

al-Naisâbûrî, Abû Hasan 'Alî ibn Ahmad al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl , ttp: Dâr al- Diyân li-Turâts, tth

al-Qardhâwî, Yûsuf, Min Fiqh al- Daulah fî al- Islâm; Makânatuhâ, Ma'âlimuhâ, Thabî'atuhâ, Mauqifuhâ min al-Dîmaqrâtiyah wa al-

Ta'addudiyah wa Mar'ah wa Ghair al- Muslimîn , Terj. Syafril Halim, Fiqh Negara , Jakarta; Robbani Press, 1997

___________, Malâmih al- Mujtama’ al-Muslîm Alladzî Nansyuduhû , Kairo: Maktabah Wahbah , 1993

___________, Haqiqât al- Tauhîd , Terj. Musyaffa,

Hakikat Tauhid dan

Fenomena Kemusyrikan , Jakarta: Robbani Press, 1998

___________, Tsaqâfatuna baina al-Infitâh wa al-Inghilâb , Terj. Jasiman, Kebuday aan Islam Ekslusif atau Inklusif , Solo: Era Intermedia, 2001

___________, Mauqif al-Islam min al- Ilham wa al- Kasyf wa al- Ru'ya wa min

al-Tamaim wa al-Riqa , Kairo: Maktabah Wahbah, 1994

al-Qur'ân al-Karîm , Beirût: Dâr al-Fajr al-Islâmî, 1403 H

al-Qurthubî, Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakar al-Farh, al-Jâmi' li Ahkâm

al-Qur'ân , Kairo: Dâr al-Sya'b, 1327 H

Quthb, Muhammad, Muqarrar Ilm al-Tauhîd , Terj. Ali Maskuri, Melawan

Syirik dan Ilhad , Jakarta: Harakah, 2002

Quthb, Sayyid, Fî Zhilâl al- Qur’ân , Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992

Rahman, Fazlur, Major Themes of The Qur'ân , Chicago: Bibliotheca Islamic, 1980

al-Râzî, Fakhru al-Dîn, Tafsîr al-Kabîr (Tafsîr Mafâtih al- Ghaib) , Beirût: Dâr al- Fikr, 1995

Ridho , M. Rasyid, al-W ahyu at Muhammad , Terj. Josef C.D, W ahy u ilahi

kepada Muhammad , Jakarta: Pustaka Jaya, 1997

al-Rifa'i, Muhammad Nasib, Taisîru al- Aliyy al-Qadîr li Ikhtishâr Tafsîr Ibn

Katsîr , Riyadh: Maktabah Ma'arif , 1989

Salim, Abdul Muin, Konsepsi Hukum dalam al- Qur'an , ttp: Uswah, 1992

al-Shan’ânî, Tathhîr al-I’tiqâd ‘an Adran al- Ilhâd , Shan’â: Dâr al-Hijrah, 1411 H

Sherif, Faruq, Al-Qur'an Menurut al- Qur'an; Menelusuri Kalam Tuhan dari

Tema ke Tema , Terj. M.H. Assegaf, dkk, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001

Shihab, Muhammad Quraish, Tafsir al- Mishbah , Jakarta: Lentera Hati, 2000

______, Mukjizat al-Qur'an; ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isy arat Ilmiah

dan Pemberitaan Ghaib , Bandung: Mizan, 2001

______, Yang Tersembuny i Jin, Iblis, Syaithân dan Malaikat dalam al- Qur'an,

al-Sunnah serta wacana pemikiran ulama masa lalu dan masa kini , Jakarta: Lentera Hati, 2004

Sueb, Musa, Urgensi Keimanan dalam Abad Globalisasi, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996

Syahîn, Abd. Shabûr, Abî Adam; Qishshâsh al- Khalîqah , Terj. Hanif Anwari, Penciptaan Nabi Adam; Mitos atau Realitas , Yogyakarta: Elsaq Press, 2004

Syahrur, Muhammad, Dirâsat al-Islâmiyyat Mu'âsharah fî al- Daulah wa al- Mujtama' , Terj. Saifuddin Zuhri Qudsy, dkk, " Tirani Islam; Genealogi

Masy arakat dan Negara" , Yogyakarta: Lkis, 2003

Syaltut, Mahmud, Methodologi al-Qur’an dalam Membenahi Masyarakat , Terj. Lathur Suhardi, Jakarta: CV. Ramadhan, 1991

al-Sya'rawî, Muhammad Mutawallî, Tafsîr al- Sya'rawî , ttp: Dâr al-Akhbâr al- Yaum, 1991

Syihab,Umar, al- Qur'an dan Rekayasa Sosial , Jakarta: Pustaka Kartini, 1990 Syihab,Umar, al- Qur'an dan Rekayasa Sosial , Jakarta: Pustaka Kartini, 1990

al-Thabarî, Ibn Jarîr, Jâmî' al- Bayân 'an Ta'wîl Âyat al- Qur'ân , Kairo: Dâr al- Ma'ârif, 1966

al-Thabâthabâ'î, Muhammad Husain, al-Mîzân fî Tafsîr al- Qur'ân , Beirût: Mu'assasah al-A'lamy lil-Mathbû'ât, tth

Tohari, Ahmad, Berhala Kontemporer; Renungan Lepas Seputar Agama,

Kemanusiaan dan Budaya Masy arakat Urban , Surabaya: Risalah Gusti, 1996

Watt, Montgomery, Muhammad at Mecca , Oxford: tt, 1953

Zaidân, 'Abdul Karîm, al- Sunnan al-Ilâhiyah fî al- Umam wa al-Jamâ'ât wa al-

Afrâd fî al-Syarî'ah al-Islâmiy ah , Beirût: Mu'assasah al-Risâlah, 1998

al-Zain, Samih ‘Athif, Qashash al- Anbiyâ’ fî al-Qur’ân al- Karîm , Beirût: Dâr Kutub Libnanî, 1988

Zaini, Syahminan, Problematika Syirik di Abad Modern , Jakarta: Kalam Mulia, 1993

al-Zamakhsyarî, Abdul Qasîm Jarullah Mahmûd ibn 'Umar, al-Kasysyâf 'an Haqâiq al-Tanzil wa 'Uy un al- Aqawil fi W ujuh al-Ta'wil , Mesir: Mushthafa al-Bâb al-Halabi, 1966

Zein, Ahmad al-Qathan Muhammad, al- Thâghût , Kuwait: Maktab al-Sundûs, 1986

Zuhaili, Wahbah, Tafsîr al-Munîr; fî al- ‘Aqîdah wa al- Syarî’ah wa al-Manhaj , Beirût: Dâr al-Fikr, 1998

_______, al- Qur’ân al-Karîm Bunaituhû al- Tasyrî’iyy at wa Khashâ- ishuhû al-

Hadhâriyy at , Beirût: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 1993

_______, Tathbîq al- Syarî’ah al- Islâmiyah , Damaskus: Dâr al-Maktabi, 2000

DAFTAR LAMPIRAN AYAT

" Pergilah kepada Fir’aun: “ sesungguhnya ia telah melampaui batas" .(QS. Thâhâ/20:24)

" Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas dalam kekufurannya” . (QS. Thâhâ/20: 43)

“ Penglihatan (Nabi Muhammad saw) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampaui batasnya” . (QS. al-Najm/53; 17)

“ Sesungguhnya Kami, -ketika air (banjir) melampaui had(batas)nya (serta menenggelamkan gunung-gunung),- telah bawa (serta menyelamatkan nenek moyang) kamu ke dalam bahtera Nabi Nûh as (yang bergerak laju pelayarannya)” . (QS. al- Hâqqah/69: 11)

“ (Lalu diperintahkan kepadanya): " Pergilah kamu kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas (dalam kekufuran dan kezalimannya)” . (QS. al-Nâzi'at/79:17)

“ Maka (dapatlah masing-masing mengetahui kesudahannya); adapun orang yang melampaui batas (perbuatan durhakanya)” . (QS. al-Nâzi'ât/79: 37)

“ (Semuanya itu ialah) orang-orang yang telah berbuat sewenang-wenang dalam negeri (masing-masing)” . (QS. al-Fajr/89: 11)

“ Oleh itu, hendaklah engkau (wahai Muhammad saw) sentiasa tetap teguh di atas jalan yang benar, sebagaimana yang diperintahkan kepadamu, dan hendaklah orang-orang yang telah taubat kembali kepada kebenaran mengikutmu berbuat demikian; dan janganlah kamu melampaui batas hukum-hukum Allah swt; sesungguhnya Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan” (QS. Hûd/11: 112).

“ Serta Kami katakan: Makanlah dari diantara rezki (benda-benda) yang baik yang telah Kami kurniakan kepada kamu, dan janganlah kamu melampaui batas padanya, kerana

dengan yang demikian kamu akan ditimpa kemurkaanKu; dan sesiapa yang ditimpa kemurkaanKu, maka sesungguhnya binasalah ia” . (QS. Thâha/20: 81)

“ Supaya kamu tidak melampaui batas dalam menjalankan neraca keadilan” . (QS. al- Rahmân/55: 8)

“ Mereka berdua berkata: " Wahai Tuhan kami! Sesungguhnya kami takut bahawa ia akan segera menyiksa kami, atau ia akan bertambah melampaui batas" . (QS. Thâha/20: 45)

“ Ingatlah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas (yang sepatutnya atau yang sewajibnya)” . (QS. al-'Alaq/96: 6)

“ (Semasa ia dihumbankan ke dalam neraka Jahannam, ia mendakwa bahawa syaithân- lah yang menjadikan dia sesat; pada saat itu) syaithân yang sentiasa menyertainya (di dunia dahulu) berkata: " Wahai Tuhan kami, aku tidak menyesatkannya tetapi sememangnya dia sendiri berada di dalam kesesatan yang jauh" . (QS. Qâf/50: 27)

“ Adakah mereka semua telah berpesan-pesan (dan mencapai kata sepakat) untuk melemparkan tuduhan itu ? (Sudah tentu mereka tidak dapat berbuat demikian), bahkan sebenarnya mereka semuanya adalah kaum yang melampaui batas (dalam keingkarannya)” . (QS. al-Dzâriyât/51: 53)

“ Adakah mereka disuruh oleh akal fikiran mereka melemparkan tuduhan-tuduhan yang sedemikian itu, atau sememangnya mereka suatu kaum yang melampaui batas (dalam keingkaran dan kezalimannya)? ” (QS. al-Thûr/52: 32)

" Dan kami (selain daripada mengajak kamu (tidak mempunyai sebarang kuasa memerintah kamu, bahkan kamu sememangnya kaum yang melampaui batas” . (QS. al- Shâffât/24: 30)

“ Nikmat-nikmat ini (adalah untuk orang-orang yang bertaqwa). Dan Bahawa sesungguhnya bagi orang-orang yang zalim (dengan kekufuran atau kedurhakaannya) seburuk-buruk tempat kembali” . (QS. Shâd/38: 55)

“ Mereka berkata: " Aduhai celakanya kita! Sesungguhnya kita adalah orang-orang yang melampaui batas” . (QS. al-Qalam/68: 31)

“ Untuk orang-orang yang melampaui batas hukum Tuhan, sebagai tempat kembalinya

(Neraka Jahannam)” . (QS. al-Naba'/78: 22) ﻰﻐﹾﻃﹶﺃ

“ Dan kaum Nabi Nûh as sebelum itu (telah juga dibinasakan). Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sangat zalim dan sangat melampaui batas” . (QS. al-Najm/53: 52)

“ Maka (masing-masing menerima azab dunianya) - adapun Tsamûd (kaum Nabi Shâleh as), maka mereka telah dibinasakan dengan (petir) kejadian luar biasa yang melampaui dahsyatnya” . (QS. al-Hâqqah/69: 5)

“ (Ingatlah), kaum Tsamûd telah mendustakan (Rasulnya) dengan sebab perbuatan durhaka mereka yang melampaui batas” . (QS. al-Syams/91: 11)

“ Dan orang-orang Yahudi itu berkata: " Tangan Allah swt terbelenggu (bakhil - kikir)" , namun sebenarnya tangan merekalah yang terbelenggu dan mereka pula dilaknat dengan sebab apa yang mereka telah katakan itu, bahkan kedua tangan Allah swt sentiasa terbuka (nikmat dan kurnia-Nya luas melimpah-limpah). Ia belanjakan (limpahkan) sebagaimana yang Ia kehendaki; dan demi sesungguhnya, apa yang telah diturunkan kepadamu dari tuhanmu itu akan menjadikan kebanyakan dari mereka bertambah durhaka dan kufur; dan Kami tanamkan perasaan permusuhan dan kebencian di antara mereka hingga hari kiamat. Tiap-tiap kali mereka menyalakan api peperangan, Allah swt memadamkannya; dan mereka pula terus-menerus melakukan kerusakan di muka bumi, sedang Allah swt tidak suka kepada orang-orang yang melakukan kerusakan ”. (QS. al-Mâidah/5: 64)

“ Katakanlah: " Wahai Ahli Kitab! Kamu tidak dikira mempunyai sesuatu agama sehingga kamu tegakkan ajaran Kitab-kitab Taurat dan Injil (yang membawa kamu percaya kepada Nabi Muhammad saw) dan apa yang diturunkan kepada kamu dari Tuhan kamu (yaitu al-Quran)" Dan demi sesungguhnya, apa yang diturunkan kepadamu (wahai Muhammad saw) dari Tuhanmu itu, akan menambahkan kedurhakaan dan kekufuran kepada kebanyakan mereka. Oleh itu janganlah engkau bersedih hati (berdukacita) terhadap kaum yang kafir itu” . (QS. al-Mâidah/5: 68)

“ Dan (ingatlah) ketika Kami wahyukan kepadamu (wahai Muhammad saw), bahawa: “ Sesungguhnya Tuhanmu meliputi akan segala manusia (dengan ilmuNya dan kekuasaanNya; dan tiadalah Kami menjadikan pandangan (pada malam Mikraj) yang telah kami perlihatkan kepadamu melainkan sebagai satu ujian bagi manusia; dan (demikian juga Kami jadikan) pokok (pohon kayu zaqqum) yang dilaknat di dalam al- Quran; dan Kami beri mereka takut (dengan berbagai-bagai amaran) maka semuanya itu tidak menambahkan mereka melainkan dengan kekufuran yang melampaui batasnya” . (QS. al-Isrâ'/17: 60)

“ Dan adapun anak pemuda itu,maka kedua orangtuanya (ibu bapanya) adalah orang- orang yang beriman, maka kami khawatir bahawa ia akan mendesak mereka melakukan perbuatan yang zalim dan kufur” . (QS. al-Kahfi/18: 80)

“ Allah swt akan (membalas) memperolok-olok, dan membiarkan mereka terombang- ambing dalam kesesatan mereka (yang melampaui batas itu)” . (QS. al-Baqarah/2: 15)

“ Dan kami palingkan hati mereka dan pemandangan mereka sebagaimana mereka telah tidak (mahu) beriman kepada (ayat-ayat Kami ketika datang kepada mereka) pada awal mulanya, dan Kami biarkan mereka terombang-ambing di dalam kesesatannya dengan sangat bingung” . (QS. al-An'âm/6: 110)

“ Sesiapa yang disesatkan oleh Allah swt (kerana keingkarannya), maka tidak ada sesiapa pun yang akan dapat memberi petunjuk kepadanya; dan Allah swt membiarkan mereka terombang-ambing (dengan bingung) dalam kesesatan mereka sendiri” . (QS. al-A'râf/7: 186)

“ Dan kalau Allah swt menyegerakan bagi manusia azab sengsara seperti permintaan mereka, sebagaimana mereka minta disegerakan nikmat kesenangan, nescaya binasalah

mereka dan selesailah ajal mereka. Oleh itu, (Kami tidak menyegerakan azab yang dimintanya), Kami biarkan orang-orang yang tidak menaruh ingatan menemui Kami

itu terombang-ambing dalam kesesatannya” . (QS. Yûnus/10: 11)

“ Dan sekiranya Kami menaruh belas kasihan kepada mereka serta Kami hapuskan kesusahan yang menimpa mereka, nescaya mereka akan tetap terus terombang-ambing dalam kesesatan mereka yang melampaui batas perikemanusiaan itu” . (al- Mu'minûn/23: 75)

“ Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); kerana sesungguhnya telah nyata kebenaran (Islam) dari kesesatan (kekufuran). Oleh itu, sesiapa yang tidak percayakan thâghût, dan ia pula beriman kepada Allah swt, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada simpulan (tali agama) yang teguh yang tidak akan putus. Dan (ingatlah), Allah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui” . (QS. al-Baqarah/2: 256)

“ Allah swt adalah Pelindung bagi (yang mengawal dan menolong) orang-orang yang beriman. Ia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekufuran) kepada cahaya

(keimanan). Dan bagi orang-orang yang kafir, penolong-penolong mereka ialah thâghût yang mengeluarkan mereka dari cahaya (keimanan) kepada kegelapan (kekufuran). Mereka itulah ahli neraka, mereka kekal di dalamnya” . (QS. al-Baqarah/2: 257)

“ Tidakkah engkau perhatikan (dan merasa pelik wahai Muhammad saw) kepada orang- orang yang telah diberikan sebahagian dari Kitab (Taurat)? Mereka percaya kepada benda-benda yang disembah selain dari Allah swt, dan kepada thâghût, dan mereka pula berkata kepada orang-orang kafir (kaum musyrik di Makkah) bahawa mereka (kaum musyrik itu) lebih benar jalan agamanya daripada orang-orang yang beriman (kepada Nabi Muhammad saw)” . (QS. al-Nisâ'/4: 51)

“ Tidakkah engkau melihat (wahai Muhammad saw) orang-orang (munafik) yang mendakwa bahawa mereka telah beriman kepada al-Quran yang telah diturunkan kepadamu dan kepada (Kitab-kitab) yang telah diturunkan dahulu daripadamu? Mereka suka hendak berhakim kepada thâghût, padahal mereka telah diperintahkan supaya kufur ingkar kepada thâghût itu. Dan syaithân pula sentiasa hendak menyesatkan mereka dengan kesesatan yang amat jauh” . (QS. al-Nisâ'/4: 60)

“ Orang-orang yang beriman, berperang pada jalan Allah swt; dan orang-orang yang kafir pula berperang pada jalan thâghût (syaithân). Oleh sebab itu, perangilah kamu akan pengikut-pengikut syaithân itu, kerana sesungguhnya tipu daya syaithân itu adalah lemah” . (QS. al-Nisâ'/4: 76)

“ Katakanlah: " Mahukah, aku khabarkan kepada kamu tentang yang lebih buruk balasannya di sisi Allah swt daripada yang demikian itu? Ialah orang-orang yang dilaknat oleh Allah dan dimurkaiNya, dan orang-orang yang dijadikan di antara mereka sebagai kera dan babi, dan penyembah thâghût. Mereka inilah yang lebih buruk kedudukannya dan yang lebih sesat dari jalan yang betul (lurus)" . (QS. al-Mâidah/5: 60)

ﻢﻬﻨِﻣﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻯﺪﻫ ﻦ ﻣ ﻢﻬﻨِﻤﹶﻓ ﺕﻮﹸﻏﺎﱠﻄﻟﺍ ﺍ ﻮﺒِﻨﺘﺟﺍﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺍ ﻭﺪﺒﻋﹸﺍ ِﻥﹶﺃ ﹰﻻ ﻮﺳ ﺭ ٍﺔﻣﹸﺃ ﱢﻞﹸﻛ ﻰ ِﻓ ﺎﻨﹾﺜﻌﺑ ﺪﹶﻘﹶﻟﻭ ( ٣٦ : ﻞﺤﻨﻟﺍ ) ﲔِﺑﱢﺬﹶﻜﻤﹾﻟﺍ ﹸﺔﺒِﻗﺎﻋ ﹶﻥﺎﹶﻛ ﻒﻴﹶﻛ ﺍ ﻭﺮﹸﻈﻧﺎﹶﻓ ِﺽﺭ ﺍَﻷ ﻰ ِﻓ ﺍﻭﲑِﺴﹶﻓ ﹸﺔﹶﻠ ﹶﻠﻀﻟﺍ ِﻪﻴﹶﻠﻋ ﺖﱠﻘﺣ ﻦ ﻣ

“ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus dalam kalangan tiap-tiap umat seorang Rasul (dengan memerintahkannya menyeru mereka): " Hendaklah kamu menyembah Allahswt dan jauhilah thâghût" . Maka di antara mereka (yang menerima seruan Rasul itu), ada yang diberi hidayah petunjuk oIeh Allah swt dan ada pula yang berhak ditimpa kesesatan. Oleh itu mengembaralah (berjalanlah) kamu di bumi, kemudian lihatlah bagaimana buruknya kesudahan umat-umat yang mendustakan Rasul-rasulnya” . (QS. al-Nahl/16: 36)

( ١ ٧ : ﺮﻣ  ﺰﻟﺍ ) ِﺩﺎﺒِﻋ ﺮﺸﺒﹶﻓ ﻯﺮﺸﺒﹾﻟﺍ ﻢﻬﹶﻟ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﹶﻟِﺇ ﺁ ﻮﺑﺎﻧﹶﺃﻭ ﺎﻫﻭﺪﺒﻌﻳ ﹾﻥﹶﺃ ﺕﻮﹸﻏﺎﱠﻄﻟ ﺍ ﺍﻮﺒﻨﺘﺟﺍ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍﻭ

“ Dan orang-orang yang menjauhi dirinya dari menyembah atau memuja thâghût serta mereka telah kembali taat sepenuhnya kepada Allah swt, mereka akan beroleh berita yang mengembirakan (sebaik-baik sahaja mereka mulai meninggal dunia); oleh itu sampaikanlah berita tersebut kepada hamba-hambaKu” . (QS. al-Zumar/39: 17)