Laila Sari Masyhur Thaghut dalam Perspektif Al Quran

THÂGHÛT DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

( Kajian Tafsîr dengan Pendekatan Maudhû’î )

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Magister Agama (MA)

Oleh :

LAILA SARI MASYHUR NIM : 02.2.00.1.05.01.0006

DOSEN PEMBIMBING :

PROF. DR. NASARUDDIN UMAR, MA DR. YUSUF RAHMAN, MA

KONSENTRASI TAFSIR - HADITS PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1426 H/2005 M

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul " Thághût dalam Perspektif al-Qur'ân : (Kajian

Tafsîr dengan Pendekatan Maudhû’î)" yang di tulis oleh : Nama

: Laila Sari Masyhur

NIM

Program Studi : Pengkajian Islam Konsentrasi

: Tafsir – Hadits

Di setujui untuk dibawa ke dalam sidang ujian penilaian tesis dengan persetujuan kedua pembimbing sebagai berikut :

Pembimbing I, Pembimbing II,

PROF. DR. NASARUDDIN UMAR, MA DR. YUSUF RAHMAN, MA Tanggal :

Tanggal :

" Dan carilah pada segala apa yang telah dianugerahkan Allah swt kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah swt telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. al-Qashash/28 : 77)

Persembahan :

Ananda persembahkan tesis ini untuk : Papa H. Dadang Masyhur, Mama Hj. Salcho Irza, Kakak Yacita Editya Masyhur, dan Adek Achmad Maulana Masyhur.

☺ in Love, Gratitude and Respect. ☺

PENGESAHAN SIDANG

Tesis dengan judul : " Thághût dalam Perspektif al-Qur'ân : (Kajian

Tafsîr dengan Pendekatan Maudhû’î)" yang di tulis oleh : Nama

: Laila Sari Masyhur

NIM

Program Studi : Pengkajian Islam Konsentrasi :

Tafsir – Hadits

Telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Program Pascasarjana

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Jum'at

tanggal 22 Juli 2005 dan telah diperbaiki sesuai dengan permintaan Dewan Sidang Munaqasyah. Dengan demikian Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Agama Islam (MA).

Jakarta, 8 Agustus 2005

Dewan Sidang Munaqasyah

Penguji I Penguji II

Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA Dr. Yusuf Rahman, MA

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, berkat rahmat, hidayah dan inayah dari Allah swt, penelitian penulis yang bertajuk " Thághût dalam Perspektif al-Qur'ân : (Kajian Tafsîr dengan Pendekatan Maudhû’î)" telah dapat terwujud dalam bentuk tesis. Penulis patut bersyukur dan bertahmid kehadirat-Nya atas segala nikmat dan karunia yang telah dilimpahkan kepada penulis. Shalawat serta salam semoga senantiasa selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw.

Penulis yakin atas petunjuk-Nya pula, sehingga berbagai pihak berkenan memberikan bantuan dan bimbingan serta kemudahan kepada penulis dalam penyelesaian studi di Program Pascasarjana ini, khususnya dalam penyelesaian tesis. Untuk itu penulis menyatakan penghargaan yang setinggi-tingginya dan menghaturkan ucapan terima kasih yang setulus- tulusnya kepada semua pihak baik yang secara langsung maupun secara tidak langsung, telah membantu dalam penyelesaian tugas ini.

Sembah sujud dan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis haturkan khusus kepada kedua orang tua penulis; Papa H. Dadang Masyhur dan Mama Hj. Salcho Irza yang tiada henti-hentinya memanjatkan do'a kehadirat Ilahi untuk memohon keberkahan dan kesuksesan bagi anak- anaknya. Semoga Allah swt mengampuni dosa keduanya dan senantiasa selalu diberi kemudahan dalam segala hal. Âmîn …

I am lucky to have you al l ☺

Terima kasih penulis haturkan kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; Kepada Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA selaku

Ketua Konsentrasi Tafsir-Hadits; Kepada kedua pembimbing tesis penulis

yakni, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA dan Dr. Yusuf Rahman, MA yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan tesis; Kepada kedua penguji dalam sidang Munaqasyah penulis yakni, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA dan Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA yang telah banyak memberikan masukan untuk penyempurnaan tesis ini; Kepada segenap Dosen Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan berbagai ilmu pengetahuan dan memperluas cakrawala berpikir penulis; Kepada Pimpinan Perpustakaan Utama, Perpustakaan Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Umum Islam Iman Jama yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan penelitian studi kepustakaan; juga Kepada seluruh karyawan/ pegawai Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi kemudahan dalam segala urusan kelancaran administrasi.

Terima kasih penulis haturkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkalis dan Pemerintah Daerah Propinsi Riau, atas beasiswa yang telah diberikan kepada penulis selama menempuh studi di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan khusus buat saudara-saudaraku tersayang, kakakku Yacita Editya Masyhur, serta Adekku Achmad Maulana Masyhur, yang senantiasa selalu memberikan motivasi dan survive kepada penulis untuk menyelesaikan kuliah di Pascasarjana. Juga ucapan terima kasih khusus kepada "kakakku my love " tersayang, kepada kalian semua kupersembahkan tesis ini. i miss u…!! ☺

Serta kepada seluruh sahabat-sahabatku di Program Pascasarjana

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya pada Konsentrasi Tafsir-Hadits angkatan 2002, yang telah banyak membantu selama dalam perkuliahan maupun dalam penyelesaian tesis ini; juga sahabat- sahabatku alumni al-Mawaddah, alumni S-1 angkatan 2002 Universitas Islam Negeri Sulthan Syarif Qasim Pekanbaru serta seluruh sahabat-sahabatku yang masih setia mendharma-bhaktikan dirinya pada pramuka Pekanbaru, yang telah banyak memberikan motivasi kepada penulis untuk selalu semangat dalam menyelesaikan tesis!! thanks for all ☺

Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan dan bimbingannya, baik kepada mereka yang telah disebutkan namanya diatas maupun yang tiada disebutkan namanya, kepada Allah swt penulis mohon semoga mereka dilimpahkan pahala yang berlipat ganda dan segala bantuan yang telah diberikan tersebut dicatat sebagai ibadah disisi-Nya. Âmîn yâ Mujîb al-Sâ'ilîn …

Akhirnya, penulis berharap tesis ini dapat berguna bagi pengembangan wacana Islam dan turut menjadi sumber inspiratif bagi penelitian tentang pengembangan pemikiran mengenai kajian tafsir selanjutnya.

Wassalam . Jakarta, 8 Agustus 2005

Penulis,

LAILA SARI MASYHUR

PEDOMAN TRANSLITERASI

ﺕ = t ﻙ = k ﺙ = ts ﻝ = l ﺝ = j ﻡ = m

ﺡ = h ﻥ = n ﺥ = kh ﻭ = w ﺩ = d = h ﺫ = dz ﺀ = ’ ﺭ = r ﻱ = y

ﺱ = s untuk Madd dan Diftong : ﺵ = sy â

a panjang

ﺹ = sh

i panjang ﺽ = dh û = u panjang ﻁ = th ﻭﺍ = aw ﻅ = zh ﻱﺍ = ay

ﻍ = gh

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah swt, untuk seluruh umat manusia. Islam membawa ajaran yang lengkap, mencakup

seluruh aspek kehidupan. Tiada satu aspek pun dari permasalahan kehidupan umat manusia yang lepas dari perhatian al-Qur'an. Begitu juga

halnya dengan aspek kehidupan yang sangat penting mengenai kaitan antara hal kemasyarakatan dan aqidah. Semua ini untuk dipahami dan ditarik manfaatnya oleh umat manusia, sesuai kapasitas ilmu masing- masing.

al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang memiliki sekian banyak kelebihan; satu-satunya wahyu yang masih ada hingga sekarang disebabkan adanya jaminan Allah swt akan ke- orisinalan -nya. 1 Kitab yang tidak bercampur dengan kebathilan dari segi apapun. 2 al-Qur’an juga berfungsi sebagai petunjuk bagi semua umat manusia. 3 Artinya al-Qur’an menjadi pedoman kebutuhan dasar manusia dalam mengarungi hidup dan

1 QS. al-Hijr/ 15: 9 2 QS. al-Baqarah/ 2: 2 3 QS. al-Baqarah/ 2: 185 1 QS. al-Hijr/ 15: 9 2 QS. al-Baqarah/ 2: 2 3 QS. al-Baqarah/ 2: 185

Sebagai pedoman hidup bagi manusia, pembicaraan al-Qur’an tentang satu masalah dapat dikatakan tidaklah tersusun secara sistematis seperti halnya kitab-kitab ilmu pengetahuan yang dikarang manusia. Pada umumnya pembicaraan al-Qur’an tentang suatu masalah bersifat global dan seringkali menampilkan suatu masalah dalam prinsip-prinsip pokok saja. Namun demikian, hal itu sama sekali tidak berarti mengurangi nilai yang terkandung dalam al-Qur’an. Sebaliknya, justru disanalah letak keunikan al- Qur’an sekaligus keistimewaannya. Sebab, dengan keadaan seperti itu, al- Qur'an menjadi obyek kajian yang tiada hentinya oleh para cendekiawan muslim dan non-muslim, sehingga ia tetap aktual sejak diturunkan empat

belas abad yang silam. 4

Penampilan al-Qur’an yang global tersebut membuat setiap tema yang dikandungnya tidak dapat dipahami secara serta merta tetapi diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dan berdasarkan kaedah-kaedah yang telah disepakati. Namun secara bersamaan, sebagai - way of life- segala sesuatu yang terkandung dalam al-Qur’an haruslah dipahami.

Adapun upaya memahami kandungan al-Qur’an itu, para ulama tafsir pada umumnya menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan

4 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Qur’an; Sebuah Kajian Teologis dengan

Pendekatan Tafsir Tematik , (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 5 Pendekatan Tafsir Tematik , (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 5

Diantara banyak tema yang diteliti dalam kerangka methode tafsir tematik, salah satunya mengenai thâghût yang terkandung dalam al-Qur’an, karena ia cenderung termasuk dalam suatu bentuk kekufuran kepada ketauhidan (Allah swt). Tauhid merupakan kunci utama untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sebaliknya sikap thâghût dapat merusak pondasi keimanan seorang muslim dan keselamatannya dalam kehidupan dunia dan akhirat. Allah swt telah memperingati setiap insan akan adanya

bahaya dari thâghût , salah satunya pada firman Allah swt :

“ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat untuk menyerukan agar menyembah Allah swt saja dan menjauhi thâghût. Maka di antara

5 Abd. Al-Hay al-Farmawî, al-Bidây ah fî al-Tafsîr al-M audhû’î , (Kairo: al-Hadârah al- 'Arabiyah, 1997), h. 23 5 Abd. Al-Hay al-Farmawî, al-Bidây ah fî al-Tafsîr al-M audhû’î , (Kairo: al-Hadârah al- 'Arabiyah, 1997), h. 23

mendustakan rasul-rasul.” (QS. al-Nahl/16: 36)

Thâghût merupakan suatu istilah Qur'ani yang lahir lebih dari 14 abad lalu, yang merupakan ujud sosok tandingan dari keesaan Allah swt. Baik itu berupa sesembahan maupun keyakinan yang selalu bertentangan dengan Kitabullah dan menjadi pagar pembatas antara hakekat tauhid dengan syirik antara iman dengan kufur .

Pernyataan al-Qur’an tentang watak dan temperamen thâghût baik sebagai individu yang memegang kekuasaan maupun sebagai kelompok atau kaum yang mengorbitkannya, tetap saja relevan dengan kondisi kekinian.

Dengan kata lain sekalipun contoh thâghût secara individual ditujukan salah satunya kepada Fir’aun sementara yang berbentuk kelompok atau kaum ditujukan kepada umat yang terdahulu, namun prilaku ini tetap saja eksis dalam perjalanan kehidupan manusia. Hal ini dapat dipahami melalui pernyataan al-Qur’an yang melarang untuk mengikuti thâghût, bahkan terdapat beberapa anjuran agar supaya mengingkarinya. Adapun indikasi yang lainnya dapat dipahami melalui ancaman bagi yang mengikuti thâghût dan imbalan bagi yang mengingkarinya.

Anjuran untuk mengingkari thâghût sebagaimana yang digambarkan al-Qur’an tidak lain karena prilaku mereka sangat membahayakan keutuhan

suatu bangsa, bahkan sampai mampu memporak-porandakan tatanan kehidupan masyarakat yang sudah mapan. Bahaya ini tidak hanya ditimbulkan oleh thâghût sebagai individu yang kebetulan memiliki kekuasaan akan tetapi bahaya yang sama pula dapat muncul dalam bentuk kelompok atau kaum.

Menurut Râghib al-Ishfahânî dalam bukunya Mu'jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân bahwa thâghût adalah ungkapan dari setiap orang yang melampaui batas dan setiap yang disembah selain Allah swt. 6 Kemudian istilah ini dapat dipakaikan untuk masing-masing individu dan juga kelompok. Akan tetapi dalam al-Qur’an kata thâghût ini selalu diidentikkan kepada individu, yang secara kebetulan individu dimaksud sedang dalam memegang kekuasaan.

Namun pada realitanya sekarang, makna ini kemudian berkembang sehingga dapat saja digunakan untuk segala sikap yang melampaui batas, baik terhadap tuhan maupun terhadap manusia. Kekufuran, kedurhakaan, pembangkangan serta kesewenang-wenangan semuanya dilukiskan dengan thughyân . Dinamai dengan thâghût karena ia telah mencapai puncak kekufuran dan pembangkangan terhadap Allah swt. Dalam al-Qur’an Allah swt berfirman :

6 Râghib al-Ishfahânî, Mu'jam M ufradât Alfâzh al-Qur’ân , Tahqiq Nadîm Mar’asylî, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth), h. 314

“ Allah swt adalah Pelindung bagi orang-orang yang beriman; Dia terus-menerus mengeluarkan mereka dari aneka kegelapan (kekufuran) kepada cahaya (keimanan). Dan bagi orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung mereka adalah thâghût, semua terus-menerus mengeluarkan mereka dari cahaya (keimanan) kepada aneka kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. al-Baqarah/2: 257)

Secara garis besar juga, ayat-ayat yang mencantum kata thâghût dapat bermakna dengan suatu tindak penyembahan kepada selain Allah swt, oleh karena itu, sering pula diterjemahkan sebagai “ berhala” atau “ syaithân ”. Akan tetapi bila ditinjau dari makna lebih luasnya dapat dilihat pada firman Allah swt lainnya :

“ Tidakkah engkau melihat (wahai Muhammad saw) orang-orang (munafik) yang mendakwa bahawa mereka telah beriman kepada al-Qur’an yang telah diturunkan kepadamu dan kepada (Kitab-kitab) yang telah diturunkan dahulu daripadamu? Mereka suka hendak berhakim kepada thâghût, padahal mereka telah diperintahkan supaya kufur ingkar kepada thâghût tersebut. Dan syaithân pula sentiasa hendak

menyesatkan mereka dengan kesesatan yang amat jauh” .(QS. al-Nisa’/4: 60)

Pada ayat di atas ini, maknanya dapat berarti mengacu pada tindakan berhakim pada thâghût , yang berarti segala bentuk dari otoritas-otoritas

duniawi yang telah menggantikan Allah swt.

al-Sya'rawi dalam tafsirnya ketika menjelaskan makna thâghût yang berasal dari lafazh ﻰ ﻐﻃ "melampaui batas". Thâghût sendiri merupakan kata superlatif dalam pengertian sesuatu tingkat yang tertinggi, yang paling al-Sya'rawi dalam tafsirnya ketika menjelaskan makna thâghût yang berasal dari lafazh ﻰ ﻐﻃ "melampaui batas". Thâghût sendiri merupakan kata superlatif dalam pengertian sesuatu tingkat yang tertinggi, yang paling

tingkah seseorang yang melampaui batas dalam segala sesuatu. 7 Dengan demikian, thâghût memiliki beragam makna, yakni syaithân, kâhin , bahkan terkadang juga bisa dalam artian penguasa yang arogan dan berlebihan dalam kekuasaannya.

Abû A’lâ al-Maudûdî, salah seorang ideolog muslim, mendefinisikan thâghût dalam tafsirnya, sebagai sesosok makhluk yang telah melampaui batas-batas kemakhlukan dan telah menempelkan sifat ketuhanan kepada dirinya sendiri–orang yang tidak hanya membangkang kepada Allah swt, tetapi juga memaksakan kehendaknya kepada orang lain tanpa

mengindahkan kehendak Allah swt. 8

7 Muhammad Mutawallî al-Sya'rawî, Tafsîr al-Sya'rawî , (ttp: Dâr al-Akhbâr al-Yaum, 1991), Jilid. 2, h. 1120-1121

8 Abu A’lâ al-Maudûdî, Towards Understanding the Qur'ân; English Version of Tafhîm

al-Qur’ân , (Leicester: the Islamic Foundation, 1989) Jilid. 1, h. 199-200

Ulama Syi'ah Modern, Muhammad Husain Thabâthabâ'î dalam tafsir al-Qur'annya Mîzân , bersama-sama dengan definisi umum tentang berhala,

setan, mendefinisikan thâghût sebagai "para pemimpin yang menyesatkan manusia dan yang dita'ati meskipun Allah tidak meridhainya." 9 Sedangkan Sayyid Quthb berpendapat bahwa thâghût merupakan pecahan kata dari al-thughyân , berlaku bagi segala yang menyeleweng dari kesadaran dan melanggar kebenaran serta melampaui batasan yang telah Allah swt gariskan bagi umat-Nya, sementara ia tidak memiliki pedoman dari aqidah “ di jalan Allah swt” dan syari’at yang ditetapkan oleh Allah swt. Di antara contohnya adalah setiap metode yang tidak bersumber dari Allah swt, demikian juga di setiap persepsi, disiplin, etika dan tradisi yang tidak

bersumber dari Allah swt. 10

Jadi, menurutnya yang dimaksud dengan thâghût dapat berupakan sesuatu atau segala kekuasaan yang tidak bersandar pada kekuasaan Allah swt, segala hukum yang tidak ditegakkan di atas syari’at Allah swt, dan segala permusuhan yang melanggar pada kebenaran dan bersikap pada melampaui pada batasan-batasan yang telah ditentukan. Adapun permusuhan terhadap kekuasaan Allah swt, uluhiyah dan pemerintahan

9 Muhammad Husain Thabâthabâ'i, al-M îzân fî Tafsîr al-Qur'an , (Beirût: Mu'assasah al-A'lamy lil-Mathbû'ât, tth), Jilid. 2, h. 344

10 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân , (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992), Jilid. 1, h. 292

Allah swt adalah suatu permusuhan dan pelanggaran yang amat berat dan dapat menggolongkan para pelakunya pada kategori thâghût .

Perubahan masa ke masa, dari suatu generasi ke generasi yang lain, juga perkembangan dan kebudayaan manusia, semakin banyak pula hal-hal yang menjerumuskan mereka pada sikap thâghût ini. Namun banyak di antara mereka menganggap ada sesuatu di alam ini yang dapat memberikan manfaat dan mudhârat kepada mereka, sehingga dipuja dan dihormati dengan tidak menyadarinya, bahkan mewariskan perbuatan itu kepada generasi selanjutnya. Kelak, generasi sesudahnya menganggap itulah jalan

untuk senantiasa dapat mendekatkan diri kepada Allah swt. 11 Lebih dari itu, sikap thâghût dapat mempengaruhi sikap dan kepribadian manusia, baik dari keyakinannya, tingkah laku, perbuatannya dan juga bisa memberikan dampak dalam kehidupan bermasyarakat. Jika melihat pada fakta yang terjadi dalam masyarakat sekarang, ternyata masih terdapat sebahagian orang yang kurang memperhatikan pada masalah ini. Hal ini terbukti dengan masih terdapatnya orang-orang yang melampaui batas dalam hal beraqidah, dalam hal kepemimpinan maupun dalam hal bermu’amalat lainnya hingga mereka merasa bahwa mereka lebih unggul daripada ketentuan-ketentuan yang telah disyari’atkan dalam ajaran Islam.

11 al-Shan’ânî, Tathhîr al-I’tiqâd ‘an Adran al-Ilhâd , (Shan’â: Dâr al-Hijrah, 1411 H), h. 33 11 al-Shan’ânî, Tathhîr al-I’tiqâd ‘an Adran al-Ilhâd , (Shan’â: Dâr al-Hijrah, 1411 H), h. 33

hubungan sosial kemasyarakatan. Tentunya, Islam telah memberikan tuntunan dalam menghadapi mereka, Islam datang sebagai rahmatan lil ‘âlamîn . Seorang muslim yang ber- tauhid haruslah memahami bagaimana beradaptasi dan ber- mu’amalah dengan mereka yang terjebak dalam perbuatan tersebut (sikap thâghût ) baik karena ketidak-tahuannya ataupun keyakinannya yang telah menyeleweng atau menyimpang.

Tulisan ini berupaya untuk melihat bagaimana konsep al-Qur'an dalam menjelaskan makna dari sikap thâghût baik secara individu maupun kelompok atau suatu kaum serta pengaruh dan konsekwensi yang akan muncul di tengah kehidupan bermasyarakat, merupakan kajian khusus dalam tulisan ini. Jawaban dari persoalan ini akan dilacak melalui ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan tentang thâghût. Dengan demikian diharapkan dapat ditarik suatu pandangan al-Qur’an mengenai thâghût secara jelas sesuai dengan fenomena dan realita yang ada ditengah kehidupan umat sekarang.

B. Permasalahan

Seperti telah dijelaskan di atas, pembahasan ini akan dibatasi pada tinjauan terhadap penelusuran makna thâghût dalam al-Qur'an, yaitu Seperti telah dijelaskan di atas, pembahasan ini akan dibatasi pada tinjauan terhadap penelusuran makna thâghût dalam al-Qur'an, yaitu

Lafazh thâghût di dalam al-Qur’an selalu bermakna dan berkonotasi negatif, al-Qur’an juga mengecam akan perbuatan dan prilaku dari thâghût tersebut.

Pengertian thâghût dalam al-Qur’an sangat bervariasi seperti sesat, durhaka, melampaui batas, membuat kerusakan dan berprilaku sewenang-

wenang. Sifat-sifat yang seperti ini terkadang digambarkan oleh al-Qur’an sebagai sifat individu dan terkadang pula sebagai sifat kelompok atau kaum. Sekalipun sifat thâghût ini dikaitkan dengan individu dan kelompok namun al-Qur’an mensinyalir bahwa kedua-duanya saling berkoalisi untuk memadukan programnya. Berdasarkan adanya koalisi inilah maka kecaman al-Qur’an terhadap thâghût selalu ditujukan kepada pemimpin dan juga kelompok atau kaum yang mendukungnya, justru itulah kiprah thâghût dapat menjadi bahaya latent dalam setiap kehidupan manusia khususnya lagi dalam setiap kehidupan bernegara dan berbangsa.

Begitu pentingnya permasalahan mengenai sikap-sikap dari para pelaku thâghût ini, sehingga al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk memperhatikan serta berusaha untuk menghindari dari perbuatan- perbuatan yang dapat mendorong untuk berbuat mengarah pada perbuatan Begitu pentingnya permasalahan mengenai sikap-sikap dari para pelaku thâghût ini, sehingga al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk memperhatikan serta berusaha untuk menghindari dari perbuatan- perbuatan yang dapat mendorong untuk berbuat mengarah pada perbuatan

Pada penelitian awal penulis telah merujuk pada Kitab al-Mu’jam al- Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, dalam kitabnya di terangkan bahwa kata thâghût baik dari penggunaan kata kerja ( madhi, mudhari', nahyi’ ) maupun yang berbentuk mashdar atau isim fa'il dipaparkan secara jelas sebanyak 39 ayat, sedangkan jumlah ayat al-Qur’an

yang berbicara mengenai kata thâghût itu sendiri terdiri dari 8 ayat. 12 Untuk penelitian ini penulis mencoba untuk memaparkan berbagai ayat-ayat diatas yang berkaitan dengan pembahasan pada penelitian ini.

Salah satunya sebagaimana dicontohkan dalam al-Qur’an; pada (QS. al-Nâzi’at/ 79:17), jelas tergambar bahwa dalam tataran ini Fir’aun merupakan salah satu tokoh individual yang berwatak thâghût , karena Fir’aun dianggap sosok yang paling komplit menginternalisasi watak-watak thâghût. Maka pada ayat tersebut dengan tegas al-Qur’an menyatakan bahwa Fir’aun adalah thâghût . Adapun watak thâghût dalam konteks kelompok atau kaum maka al-Qur’an mencontohkan kaum ‘Âd , Kaum Tsamûd dan kelompok Fir’aun sendiri.

12 Muhammad Fuad Abd. Al-Baqi, M u’jam al-M ufahras lî Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm , (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1996), h. 524-525

Dengan kata lain bahwa para pemimpin-pemimpin maupun bangsa- bangsa serta kelompok yang memiliki watak seperti Fir’aun adalah thâghût ,

akan tetapi pada kali yang lain al-Qur’an juga menyebutkan bahwa thâghût merupakan bagian dari syaithân yang senantiasa selalu mengajak manusia untuk berbuat segala hal yang menjurus kepada kemungkaran dan kesesatan.

Berdasarkan pengkajian sementara penulis ( Preliminary Research ), maka permasalahan dalam penelitian ini seputar thâghût dengan mengkaji

dan mempelajarinya dalam kaitan perspektif al-Qur’an yang sebenarnya, dibatasi pada identifikasi klasifikasi dari thâghût tersebut, serta pada sikap manusia itu sendiri dan pengaruh thâghût di kehidupan masyarakat, selain itu penulis juga menggunakan Sunnah Nabi saw sebagai bahan pendukung.

Dari permasalahan tersebut pertanyaan pokok penelitian ( Major Research Question ) yang bersifat mengarahkan pada pengumpulan data ini adalah : " Bagaimana konsep al-Qur’an mengenai thâghût ?"

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui konsep thâghût menurut al-Qur’an.

2. Untuk mengetahui sikap manusia pada nilai-nilai yang berbicara mengenai thâghût serta pengaruh dan konsekwensinya di kehidupan masyarakat, terutama atas reaktualisasi makna-maknanya sesuai 2. Untuk mengetahui sikap manusia pada nilai-nilai yang berbicara mengenai thâghût serta pengaruh dan konsekwensinya di kehidupan masyarakat, terutama atas reaktualisasi makna-maknanya sesuai

manusia untuk bersikap melampaui batas dalam agama, sebab sikap melampaui batas dalam agama akan merubah tujuan diturunkannya ajaran agama islam itu sendiri, yaitu untuk memudahkan manusia dalam menjalani kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan sikap melampaui batas dapat merubah kemudahan itu menjadi kesulitan, maka sikap melampaui batas dapat menyebabkan manusia mendapatkan berbagai kesulitan dalam kehidupan dunia maupun akhirat.

2. Kegunaan Penelitian

1. Hasil penelitian ini berguna dalam memperkaya khazanah pengetahuan keislaman, terutama yang berhubungan dengan kajian ayat-ayat al-Qur’an dan tafsir dengan tidak mengabaikan aspek-aspek lain yang terkait dengan kajian yang dimaksud.

2. Berguna dalam melahirkan suatu kerangka konseptual yang mana menyangkut pada kajian pandangan al-Qur’an mengenai thâghût terutama sikap manusia terhadap fenomena dan realita yang ada ditengah umat sekarang ini.

3. Berguna sebagai sumbangan pemikiran penulis terhadap tuntunan dinamika masyarakat Islam khususnya di Indonesia yang sedang 3. Berguna sebagai sumbangan pemikiran penulis terhadap tuntunan dinamika masyarakat Islam khususnya di Indonesia yang sedang

referensi dan standar moral bagi umat dalam menatap dan membangun kehidupannya terutama di era global ini serta dapat menambah wawasan yang konstruktif dalam membina dan mendidik masyakarat melalui pendidikan yang bersifat Qur’ani.

4. Sebagai salah satu persyaratan mendapatkan gelar Magister Agama (MA) pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Metodologi Penelitian

1. Sumber Penelitian

Penelitian ini bercorak Library Research (Studi Kepustakaan), sumber data berasal dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan topik yang dibahas, sesuai dengan tujuan penelitian maka yang menjadi obyek utama penelitian ini adalah Mushaf al-Qur’an yang diterbitkan oleh Dâr al-Fajr al-Islâmî, Beirût, 1403 H. Dari data utama ini dihimpun ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung informasi tentang thâghût . Untuk kesempurnaan informasi diupayakan teks-teks ayat dipahami juga berdasarkan interpretasi mufassir terhadap ayat-ayat tersebut dan jika diperlukan akan didukung oleh hadits-hadits Nabi saw yang relevan Penelitian ini bercorak Library Research (Studi Kepustakaan), sumber data berasal dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan topik yang dibahas, sesuai dengan tujuan penelitian maka yang menjadi obyek utama penelitian ini adalah Mushaf al-Qur’an yang diterbitkan oleh Dâr al-Fajr al-Islâmî, Beirût, 1403 H. Dari data utama ini dihimpun ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung informasi tentang thâghût . Untuk kesempurnaan informasi diupayakan teks-teks ayat dipahami juga berdasarkan interpretasi mufassir terhadap ayat-ayat tersebut dan jika diperlukan akan didukung oleh hadits-hadits Nabi saw yang relevan

Sebagai bahan rujukan untuk memahami maksud term tertentu dari ayat al-Qur’ân dalam mengidentifikasi ayat-ayat yang berbicara tentang thâghût, penulis menggunakan Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân yang ditulis oleh M. Fuad Abdul Bâqî, untuk Asbâb al-Nuzûl pada ayat- ayat al-Qur’an diacu dengan Kitab Asbâb al-Nuzûl yang ditulis oleh al- Wahidî (w. 648 H). Sedangkan untuk pendalaman pada kajian bahasan, kitab-kitab tafsir yang dijadikan rujukan adalah kitab tafsir baik tafsîr bi al-ma’tsûr maupun tafsîr bi al-ra’yi . Bahkan informasi dari kitab-kitab hadits serta kitab-kitab yang relevan dengan pembahasan yang akan diteliti tetap digunakan sebagai sumber sekunder pada kajian ini.

2. Metode Pendekatan dan Analitis

Karena objek studi ini adalah ayat-ayat al-Qur'an, maka pendekatan yang dipilih didalamnya adalah pendekatan ilmu tafsir. Dalam ilmu tafsir, dikenal beberapa corak atau metode penafsiran al-Qur'an yang masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri.

Menurut al-Farmawî, setidaknya terdapat empat macam metode utama dalam penafsiran al-Qur'an, yaitu metode tahlilî , 13 metode ijmalî , 14

13 Metode Tahlilî adalah : metode tafsir yang berusaha untuk menerangkan ayat-ayat al- Qur'an dari berbagai seginya berdasarkan urutan ayat atau surat dari mushaf dengan

cenderung menonjolkan pengertian dan kandungan lafadz, munâsabah ayat-ayatnya, munâsaba h dengan surat-suratnya, asbâb al-nuzûl , hadits-hadits yang berhubungan dengannya, pendapat cenderung menonjolkan pengertian dan kandungan lafadz, munâsabah ayat-ayatnya, munâsaba h dengan surat-suratnya, asbâb al-nuzûl , hadits-hadits yang berhubungan dengannya, pendapat

masalah tertentu dengan jalan menghimpun seluruh ayat-ayat yang dimaksud, lalu menganalisakannya melewati ilmu-ilmu yang relevan dengan masalah yang akan dibahas, untuk kemudian melahirkan konsep

yang utuh dari al-Qur'an tentang suatu masalah. 17

Sedangkan metode yang dipilih untuk studi ini adalah maudhû’î , karena menurut penulis metode inilah tepat untuk digunakan dalam

mengkaji berbagai tema al-Qur’an sehingga dapat menghasilkan suatu kajian yang utuh dan komprehensif.

Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif 18 . Data penelitian diperoleh melalui teknik pengumpulan data kepustakaan serta materi-materi lain yang berkaitan dengan penulisan tesis ini.

para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri yang tentunya dilatar belakangi dengan latar belakang pendidikan dan keahliannya, lihat al-Farmawî, al-Bidây ah , h. 52

14 Metode Ijmalî adalah penafsiran al-Qur'an berdasarkan urutan ayat secara ayat per- ayat dengan suatu uraian yang sederhana sehingga dapat dikomunikasikan baik oleh kaum

awam maupun oleh kaum intelektual, Ibid ., h. 25 15 Metode Muqarran adalah penafsiran sekelompok ayat al-Qur'an atau suatu surat

tertentu, dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, ayat dengan hadits atau antara pendapat ulama tafsir dengan cenderung menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari objek yang dibandingkan tersebut, lihat al-Farmawî, al-Bidâyah , h. 45

16 al-Farmawî, al-Bidâyah , h. 52 17 al-Farmawî, al-Bidâyah , h. 52 18 Kualitatif artinya : Pendekatan yang digunakan dengan melakukan pengumpulan

data yang berupa pernyataan verbal dan bukan data dalam bentuk angka-angka; Lihat Lexy Moleong, M etodologi Penelitian Kualitatif , (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), h. 2

Data-data yang diperlukan, baik data primer maupun data sekunder diperoleh dari kepustakaan baik yang berbahasa Indonesia, Arab

maupun Inggris. Untuk methode penulisan tesis serta transliterasi, penulis merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2002 .

Hasil dari studi kajian tentang thâghût diatas, kemudian penulis idealkan sebagai satu hasil karya yang dapat dijadikan masukan dan

bahan bagi kaum muslimin dalam rangka pengaplikasian ayat-ayat al- Qur’an tersebut.

E. Tinjauan Pustaka

Di awali dengan proses merancang penelitian ini, sebagai kajian mengenai “ Thâghût dalam Perspektif al-Qur’an” ,-sejauh penelusuran penulis-terhadap karya-karya tesis dan desertasi di perpustakaan yang ada khususnya pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, belum menemukan karya-karya berupa tesis dan disertasi yang secara khusus membahas ayat-ayat al-Qur’an yang bertema thâghût, apalagi yang lebih detail lagi membahas ayat al-Qur’an yang didalamnya terdapat term-term tentang thâghût dan dikaji dengan menggunakan metode tafsir maudhû’î. Maka sebab itu, penulis dalam tesis ini akan membahas ayat-ayat al-Qur’an yang bertema thâghût.

Dalam penyusunan tesis sebagai sebuah karya ilmiah, diperlukan beberapa literatur yang relevan dan berkaitan dengan tema yang dibahas,

sebagai pedoman dasar dan kerangka acuan, sehingga dalam penyusunannya dapat mengarah pada tujuan dan sasaran penelitian.

Dalam al-Qur’an dan didalam berbagai kitab-kitab Tafsir pembahasan mengenai thâghût juga telah dibahas , dengan berbagai tingkat penjabaran dan interpretasi yang berbeda-beda, dengan secara terpencar atau secara acak dalam berbagai tempat dan dalam bentuk penyajian tafsir tahlilî karena mengikuti susunan mushaf, sehingga hasil yang diperoleh pun masih bersifat parsial dan tidak utuh.

Tulisan yang membahas mengenai thâghût , yang diuraikan oleh Syaikh Ahmad al-Qathan Muhammad Zein dalam bukunya al-Thâghût . Dalam bukunya tersebut, beliau hanya membahas pandangan secara umum mengenai thâghût . Namun tulisan ini, belum mendekati pada penyajian bahasan dengan menggunakan metode tematik yang ada dalam al-Qur’an.

Begitu pula pada buku karya Abdul Karîm Zaidân dengan judul al- Sunan al-Ilâhiyah fî al-Umam wa al-Jamâ’ât wa al-Afrâd fî al-Syarî’ah al-Islâmiyah , yang didalamnya membahas mengenai Sunnatullah dalam Kezhaliman dan orang-orang yang zhalim ( Qânûn al-Thughyân ).

Nurcholish Madjid dalam bukunya yang bertajuk Pesan-Pesan Takwa; Kumpulan Khutbah Jum'at di Paramadina. Di dalam buku tersebut Nurcholish Madjid dalam bukunya yang bertajuk Pesan-Pesan Takwa; Kumpulan Khutbah Jum'at di Paramadina. Di dalam buku tersebut

Juga dalam bukunya yang berjudul Pintu-Pintu Menuju Tuhan , karangan Nurcholish Madjid. Beliau didalam bukunya tersebut juga telah menyinggung akan adanya banyak bahaya laten terhadap thughyân.

Muhammad al-Ghazalî dalam bukunya Kaifa Nata’amal ma’a al-Qur’ân , juga membahas mengenai cara-cara untuk mengubah para pemimpin yang memiliki sifat otoriter (tirani) atau diktator dalam kepemimpinannya di bidang politik, serta memberikan langkah dan beberapa cara untuk menghadapi politik yang otoriter baik dari segi penguasa yang zhalim maupun dari segi bidang ekonomi dan penganiayaan pada masyarakat. Namun kajian pada kitab ini belum menyeluruh, karena bukan merupakan kajian utama, hanya merupakan bab pembahasan yang tidak ditulis dengan menggunakan pola penafsiran maudhû’î , serta pembahasannya terkesan ringkas hingga tidak mengulas secara tuntas.

Muhammad Syahrur dalam bukunya Dirâsâh Islâmiyyah Mu'âshirah fi al-Daulah wa al-Mujtama' , yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Tirani Islam ; Genealogi Masyarakat dan Negara, juga dalam satu babnya membahas mengenai tirani-tirani beserta produk-produk yang Muhammad Syahrur dalam bukunya Dirâsâh Islâmiyyah Mu'âshirah fi al-Daulah wa al-Mujtama' , yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Tirani Islam ; Genealogi Masyarakat dan Negara, juga dalam satu babnya membahas mengenai tirani-tirani beserta produk-produk yang

Sedangkan buku al-Nizhâm al-Siyâsî fî al-Islâm , karangan Muhammad Abdul Qadîr Abû Fariz, juga menguraikan tentang hakekat dalam negara dan kedudukannya dalam ajaran Islam. Buku ini mengajak untuk berfikir tentang perlunya pembahasan wacana politik Islam dalam kehidupan zaman sekarang, serta bahasan mengenai sikap para thâghût terhadap prinsip persamaan dalam bernegara.

Penelitian yang akan penulis lakukan adalah berupaya mengungkapkan pemahaman thâghût dalam al-Qur'an secara khusus dan menyeluruh dengan menekankan penelusuran makna-makna thâghût yang ditunjukkan secara langsung oleh al-Qur'an serta ayat-ayat lain yang berkaitan dengan pembahasan agar menjadi jelas dalam pemahamannya.

F. Sistematika Penulisan

Agar penelitian ini terpapar secara terarah, sistematis dan sesuai dengan tujuan serta kegunaannya, maka sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut :

Bab pertama berisi tentang rancangan penelitian yang mencakup : Latar Belakang Masalah, Permasalahan, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian yang digunakan, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan.

Bab kedua merupakan landasan teoritis atau tinjauan umum mengenai thâghût , terdiri dari bahasan : definisi dan makna dari thâghût baik

dari segi etimologi maupun terminologi, kemudian klasifikasi dari thâghût tersebut .

Bab ketiga adalah pembahasan tentang studi konsep al-Qur’an mengenai thâghût , sebagai gambaran pada bab ini penulis akan membahas ditinjau dari pengungkapan thâghût dalam al-Qur’an, identifikasi term thâghût dalam al-Qur'an; anjuran untuk tidak mempercayai thâghût , thâghût menuntun umat manusia dari cahaya keimanan kepada kekufuran, mempersekutukan Allah swt dengan mengimani jibt dan thâghût , mereka (orang-orang munafik) berhukum kepada thâghût , mereka (orang-orang kafir) berperang di jalan thâghût , ganjaran Allah swt bagi mereka yang menyembah thâghût , perintah agar senantiasa menyembah Allah swt serta menjauhkan diri dari penyembahan thâghût , Allah swt memberi berita gembira ( busyra ) bagi mereka yang menjauhi penyembahan thâghût , faktor manusia berbuat thâghût / thughyân .

Bab keempat merupakan analisis mengenai makna hakikat kisah thâghût dalam al-Qur’an, pada bab ini membahas mengenai kisah umat manusia yang memiliki watak dan temperamen thâghût dalam al-Qur’an baik secara kelompok atau kaum maupun secara individu; seperti Kaum Nabi Nûh as, Kaum Nabi Hûd as (Kaum 'Âd) , Kaum Nabi Shâleh as (Kaum

Tsamûd ), Fir'aun, Qârûn, Hâmân, serta sikap manusia terhadap prilaku thâghût , kemudian pengaruh dan konsekwensinya pada kehidupan masyarakat.

Bab kelima adalah penutup yang berisi : kesimpulan dari seluruh bahasan sebelumnya, serta saran dari penulis.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG THÂGHÛT

A. Pengertian Thâghût

1. Etimologi

Sebelum membahas lebih jauh mengenai thâghût menurut perspektif al-Qur'an, maka esensi thâghût sebagai tema sentral dalam kajian ini, perlu diungkapkan lebih dahulu. Hal ini penting, mengingat bahwa pemahaman terhadap esensi thâghût akan membantu memahami pada pembahasan selanjutnya.

Thâghût dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah merupakan kata benda yang menunjukkan pada arti pelaku ( isim fâ'il ), yang bermakna : yang menyuruh orang untuk senantiasa berbuat jahat, atau yang disembah

orang, namun bukan Tuhan; melainkan berhala. 1

Kata thâghût berasal dari bahasa Arab yang tersusun dari huruf Tha-

Gha'-Waw-Ta' ( ﺕ - ﻭ - ﻍ - ﻁ ) .

Secara etimologi, menurut Ibn Fâris dalam Mu'jam Maqâyîs al-Lughah , 2

perkataan thâghût berasal dari thaghâ yang terdiri dari huruf ﻰ ـﻐﻃ Tha , Gha'

dan salah satu huruf mu'tal , yakni bermakna : melampaui batas dari kedurhakaan atau melewati batas dari ketidak-ta'atan. Dapat juga disebut

1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. II, h. 882

2 Abû Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, M u'jam M aqâyîs al-Lughah , (Kairo: Maktabah al-Khabâkhî, 1981), Jilid. 3, h. 412 2 Abû Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, M u'jam M aqâyîs al-Lughah , (Kairo: Maktabah al-Khabâkhî, 1981), Jilid. 3, h. 412

istakbara secara harfiah berarti menjadi besar, menyombongkan diri dengan kebanggaan, 3 yang memainkan peranan penting dalam al-Qur'an. Nama bagi setiap yang melampaui batas dan yang merusak.

Dalam Lisân al-Arab dijelaskan 4 : ﺎـﻧﺎﻴﻐﻃ - ﻮـﻐﻄﻳﻭ - ﺎﻴﻐﻃ - ﻰﻐﻄﻳ - ﻰ ﻐﻃ , yakni ﺭﺪـﻘﻟﺍ ﺯﻭﺎـﺟ bermakna melampaui batas atau ﻝﻮﺒﻘﳌﺍﺪـﳊﺍﺯﻭﺎﺟ yakni melampaui batas ketentuan yang telah disepakati. ﺮـﻔﻜﻟﺍ ﰱ ﻼـﻏﻭ ﻊـﻔﺗﺭﺍﻭ bermakna keterlaluan dalam kekufuran, ﺎـﻴﻏﺎﻃ ﻪﻠﻌﺟ ﻱﺍ ﻝﺎﳌﺍ ﻩﺎﻐﻃﺃ bermakna harta menjadikannya melampaui batas atau menjadi lalim. ﻪﺟﺍﻮﻣﺃ ﺖﺟﺎﻫ ﻰﻐﻃ ﻥﻼﻓ yakni ﻢﻠﻈﻟﺍ ﰱﻑ ﺮﺳﺃﻭﱪﲡﻭﺃ , ﻥﺎﻴﺼﻌﻟﺍ ﰱ ﻼﻏ keterlaluan dalam kedurhakaan

(kemaksiatan) atau dalam ketidak-ta'atan pada kezhaliman. Thaghâ al-Bahru (laut), artinya : meluap bergelombang dan berombak. Segala sesuatu yang melampaui batas, disebut thaghâ , sebagaimana air yang

3 kata Istakbara merupakan kata kerja yang menunjukkan pada watak kesombongan, sebenarnya adalah fenomena dinamis yang dapat muncul sewaktu-waktu. Yakni ledakan emosi

yang muncul secara tiba-tiba dari amarah yang menghinakan. Dalam bahasa Arab ada sejumlah kata lain yang lebih kurang memiliki arti yang hampir sama dengan istakbara yang berkenaan dengan kesombongan manusia terhadap Allah swt. Di antaranya; baghâ : perbuatan yang melanggar aturan yang berlaku dan tidak bijaksana terhadap orang lain, contoh: (QS. al-Syura: 26-27), batira (QS. al-Qashash: 58), 'ata : keangkuhan dan di luar batas menunjukkan sikap tinggi hati/ pemberontak terhadap peraturan, sikap ini cenderung pada hal yang konkret manifestasi dari lahiriah, baik dalam perilaku maupun dalam ekspresi keangkuhan, contoh : (QS. al-Furqan: 21), thaghâ (QS. al-Syams:11-12), istaghnâ : menunjukkan pada kepercayaan diri yang berlebihan dari manusia dan menegaskan pengertian tentang orang yang berada atau kaya raya, contoh :

(QS. (QS. al-Lail: 5-11), lebih lanjutnya lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the

Qur'an , Terj. Mansuruddin Djoely, Etika Beragama dalam Qur'an , (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 231-244

4 Ibn Manzhûr, Lisân al-Arab , (Beirût: Dâr Ihya al-Turâts al-Arabî, 1991), Jilid VIII, h. 169-170 4 Ibn Manzhûr, Lisân al-Arab , (Beirût: Dâr Ihya al-Turâts al-Arabî, 1991), Jilid VIII, h. 169-170

“ Sesungguhnya Kami, ketika air (banjir) melampaui had-nya (thaghâ) (serta telah menenggelamkan gunung-gunung), telah mengangkut (serta menyelamatkan nenek moyang) kamu ke dalam bahtera Nabi Nûh (yang bergerak laju pelayarannya).” (QS. al-Hâqqah/69: 11)

Bermula dari gambaran tentang yang memancar begitu tinggi hingga melewati batas dan melimbahi bendungan, kemudian mengandung arti yang metaforis, berkenaan dengan sikap yang sombong yang suka dilakukan oleh seseorang yang telah menyimpang atau telah memberontak

dan berbuat sewenang-wenang dalam berkuasa (tirani). 5

al-Thâghût bisa juga berlaku untuk lafal mufrad seperti firman Allah swt dalam al-Qur'an :

“ Tidakkah engkau melihat (wahai Muhammad saw) orang-orang (munafik) yang mendakwa bahawa mereka telah beriman kepada al-Qur'an yang telah diturunkan kepadamu dan kepada (Kitab-kitab) yang telah diturunkan dahulu daripadamu? Mereka suka hendak berhakim kepada thâghût, padahal mereka telah diperintahkan supaya kufur ingkar kepada thâghût itu. Dan syaithân pula sentiasa hendak menyesatkan mereka dengan kesesatan yang amat jauh” . (QS. al-Nisa'/ 4: 60)

5 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur'an, h. 239

Dapat juga digunakan untuk lafal jamak seperti firman Allah swt dalam al-Qur'an :

“ Allah swt Pelindung (yang mengawal dan menolong) bagi orang-orang yang beriman. Ia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekufuran) kepada cahaya (keimanan). Dan bagi orang-orang yang kafir, penolong-penolong mereka ialah thâghût yang mengeluarkan mereka dari cahaya (keimanan) kepada kegelapan (kekufuran). Mereka itulah ahli neraka, mereka kekal di dalamnya” . (QS. al- Baqarah/2: 257)

Serta bisa juga berlaku untuk mudzakkar atau muannats . Timbangan wazan nya adalah fa'alut . Asalnya adalah thayaghût , dengan didahului huruf ya sebelum huruf ghain yang di- fathah -kan dan sebelumnya juga fathah , lalu huruf ya itu diganti dengan alif , sehingga menjadi : thâghût .

Jamak kata thâghût adalah al-thawâghî . Dalam hadits disebutkan :

" Dari Abdu al-Rahman ibn Samurah, Bahwasanya Nabi saw bersabda : " Janganlah kalian bersumpah atas nama bapak-bapak kalian dan atas nama al-thawâghî." (HR. Sunan al-Nasâ'i)

al-Thawâghî adalah jamak dari thâghiyah , yakni segala yang mereka sembah berupa berhala-berhala dan yang lainnya. Misalnya : thâghiyah Banî Daus dan thâghiyah Banî Khats'am, yakni berhala dan sesembahan mereka. Tetapi bisa juga yang dimaksud dengan al-Thawâghî adalah mereka orang-

6 CD. al-Kitâb al-Tis'ah wa Syurûhuhâ, diriwayatkan oleh al-Nasâ'i, dalam Sunan al-Nasâ'i , Kitab al-Îmân wa al-Nudzûr, Bab al-Hilf bi Thawâghî, No. Hadits 3714 6 CD. al-Kitâb al-Tis'ah wa Syurûhuhâ, diriwayatkan oleh al-Nasâ'i, dalam Sunan al-Nasâ'i , Kitab al-Îmân wa al-Nudzûr, Bab al-Hilf bi Thawâghî, No. Hadits 3714

Jadi thâghût berasal dari akar kata thaghâ yang secara bahasa berarti melanggar batas, berbuat sewenang-wenang, kejam atau menindas, melebihi ketentuan yang ada, meninggi dan melampaui batas dalam hal pengingkaran.

Sedangkan dalam Mu'jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân 7 dijelaskan :

ﺍﺬﻛ ﻩﺎﻐﻃﺃﻭ , yakni ﻥﺎﻴﻐﹼﻄﻟﺍ ﻪﻠﲪ membawa kepada kelaliman, begitu juga bisa dikatakan terhadap sesuatu yang melampaui batas dalam kemaksiatan.

Menurut al-Raghib, thughyân yang berakar dari kata thaghâ , berarti: melampaui batas dalam hal kejahatan, kedurhakaan atau semua yang disembah selain Allah swt.

Dari kata thughyân ini pula terbentuk kata thâghût . Serta dapat berarti setiap makhluk yang melebihi batas kelaknatan. Thâghût di ibaratkan sebagai setiap yang ditaati dan setiap segala sesuatu yang disembah selain Allah swt, lafadz ini bisa dipergunakan dalam bentuk mufrad maupun jamak . Dan di ibaratkan pula dengan setiap yang ditaati, sebagaimana telah

7 Râghib al-Ishfahânî, M u'jam M ufradât Alfâzh al-Qur’ân , Tahqîq Nadîm Mar’asyalî, (Beirût: Dâr al-Fikr, tth), h. 314 7 Râghib al-Ishfahânî, M u'jam M ufradât Alfâzh al-Qur’ân , Tahqîq Nadîm Mar’asyalî, (Beirût: Dâr al-Fikr, tth), h. 314

2. Terminologi

Makna thâghû t menurut terminologi tidak terlepas dari maknanya menurut etimologi. Dari segi terminologinya, t hâghû t merupakan sesuatu yang cenderung mempunyai sikap telah melampaui batas dalam bentuk yang disembah, diikuti atau yang ditaati, setiap kaum yang menjadikan rujukan perkara mereka selain Allah swt dan Rasul-Nya serta mengikuti

sesuatu tanpa dasar ilmu dari Allah atau menta'atinya. 8

Jadi dapat dikatakan sebagai manusia yang melampaui batas dan ukurannya. Yang dimaksud dengan batas (had) itu adalah batas-batasan Allah swt yang telah ditetapkan dan tidak boleh dilalui.

Adapun yang dimaksud dengan ukuran (had) itu sendiri adalah, bahwa manusia itu berada dalam eksistensinya sebagai makhluk Allah swt,

8 Muhammad ibn 'Alî ibn Muhammad ibn 'Atiq, Ibthâl al-Tandîd bikhtishâr Syarh al-

Tauhîd , (Riyadh: Maktabah al-Hadîtsah, 1389 H), h. 80 Tauhîd , (Riyadh: Maktabah al-Hadîtsah, 1389 H), h. 80

Jika ia melampaui batas yang telah digariskan oleh Allah swt yang tidak boleh dilalui, atau ia melampaui ukurannya, maka ia telah terjerumus kepada kemaksiatan dan membangkang kepada Tuhannya. Untuk menguatkan apa yang penulis kemukakan diatas dari definisi menurut terminologi ini, sebagaimana firman Allah swt :

“ Oleh itu, hendaklah engkau (wahai Muhammad) sentiasa tetap teguh di atas jalan yang benar, sebagaimana yang diperintahkan kepadamu, dan hendaklah orang-orang yang telah taubat kembali kepada kebenaran mengikutmu berbuat demikian; dan janganlah kamu melampaui batas hukum-hukum Allah swt; sesungguhnya Allah swt Maha Melihat akan segala apa yang kamu kerjakan." (QS. Hûd/11: 112)

al-Zamakhsyarî menafsirkan ayat ﺍﻮـﻐﹾﻄﺗ ﹶﻻ ﻭ (dan janganlah kamu

melampaui batas), yakni janganlah kamu keluar dari batas-batas Allah 9 .

al-Alusî berkata : ﺍﻮـﻐﹾﻄﺗ ﹶﻻ ﻭ , yakni janganlah kamu berpaling dari batas-batas kalian dengan melakukan keteledoran atau berlebih-lebihan 10 . ( ٢٤ : ﻪﻃ ) ﻰﻐﹶﻃ ﻪﻧِﺇ ﹶﻥﻮﻋﺮِﻓ ﻰﹶﻟِﺇ ﺐ ﻫﹾﺫﺍ

" Pergilah kepada Fir’aun: “ sesungguhnya ia telah melampaui batas." (QS. Thâha/20: 24)

9 Abû Qasîm Mahmûd ibn Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf 'an Haqâ'iq al-Tanzîl wa

'Uyun al-Awaqil fî W ujûh al-Ta'wîl , (Kairo: Mushtafa al-Bâb al-Halabî, 1966), Jilid. 2, h. 433

10 Abû Al-Sana’ Syihab al-Dîn, al-Sayyid Afandi al-Alûsî al-Baghdadî, Rûh al-M a’ânî fî

Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzhîm w a Sab’u al-M atsanîy , (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), Jilid. 12, h. 153 Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzhîm w a Sab’u al-M atsanîy , (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), Jilid. 12, h. 153

telah melampaui batas), yakni sesungguhnya dia (Fir’aun) berdosa, takabur,

kufur, congkak dan melampaui batas. 11

al-Alûsî berkata : ﻰ ـ ﻐﹶﻃ ﻪـﻧِﺇ , yakni melampaui batas dalam takabur,