Implementasitanggungjawab social perusahaan dalam pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat kasus di Provinsi Lampung

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan masyarakat merupakan tanggungjawab semua pihak, baik pemerintah, dunia usaha (swasta dan koperasi), serta masyarakat. Pemerintah dalam hal ini mencakup pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota) bertanggungjawab dalam mengkoordinasi-kan berbagai pihak yang bertujuan untuk membangun masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam pelaksanaan pembangunan tersebut dunia usaha juga dapat berperan secara langsung maupun tidak langsung melalui berbagai program yang dirancang secara mandiri ataupun melibatkan pihak lain (pemerintah dan masyarakat), namun semua itu tidak akan berhasilguna tanpa adanya partisipasi masyarakat sebagai obyek dan subyek pembangunan. Dunia usaha terutama perusahaan besar dan menengah yang berkembang dengan memanfaatkan sumberdaya alam maupun memanfaatkan masyarakat sebagai potensi pasar hasil produksinya, sudah sewajarnya mereka ikut berpartisipasi dalam membangun masyarakat.

Paradigma pembangunan saat ini telah diwarnai konsep pemberdayaan yang melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat, sehingga ketiga pihak memiliki tanggungjawab yang seimbang dalam mencapai tujuan pembangunan di segala bidang. Mereka harus bersinergi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian terhadap hasil-hasil pembangunan yang dilaksanakan. Pemerintah dan pemerintah daerah diharapkan mampu mengkoordinasikan berbagai program atau kegiatan yang ada, sehingga memungkinkan masyarakat berpartisipasi aktif, dan swasta (terutama perusahaan atau korporasi yang mengeksploitasi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di suatu wilayah) berkontribusi secara wajar di dalam pembangunan daerah sebagai implementasi tanggung-jawab sosialnya.

Pembangunan yang membutuhkan anggaran cukup besar dan cenderung selalu bertambah dari tahun ke tahun, selama ini hampir seluruhnya menjadi tanggungjawab pemerintah. Kecenderungan tersebut terjadi pada anggaran pembangunan nasional (APBN) dan anggaran pembangunan daerah (APBD). APBD Lampung tahun anggaran 2007 mencapai Rp1,6 triliun dengan total penerimaan sebesar Rp1,066 trilyun dan total PAD Rp485 juta, dari nilai tersebut


(2)

selama ini peran dan kontribusi perusahaan dan BUMN kurang optimal. Hal itu disebabkan peraturan yang mengatur keberadaan dan tanggungjawab social perusahaan dan BUMN belum dijalankan sebagaimana mestinya. Potensi perusahaan dan BUMN di Lampung cukup besar, mengingat jumlah perusahaan besar dan menengah yang beroperasi di Provinsi Lampung pada tahun 2005 mencapai 194 buah (BPS Lampung, 2005). Perusahaan-perusahaan tersebut telah lama beroperasi dan mengeksploitasi kekayaan setempat (terutama lahan pertanian) sebagai salah satu faktor produksi yang dominan, namun demikian perkembangan pembangunan wilayah belum selaras dengan pertumbuhan dan perkembangan perusahaan yang ada.

Pemerintah menegaskan bahwa setiap perusahaan yang mengelola sumberdaya alam memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab terhadap peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat di sekitarnya. Tanggung-jawab yang dibebankan kepada perusahaan tersebut dituangkan dalam Keputusan Menteri BUMN Nomer: KEP-236/ MBU/2003 tanggal 17 Juni 2003 dan Undang-Undang Nomer: 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang ditetapkan bulan Juli 2007. Pada pasal 74 dinyatakan:

“(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan;

(2) Tanggungjawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitung-kan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakudiperhitung-kan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.”

Hal tersebut ternyata masih memunculkan dua kelompok yang berseberangan dalam menafsirkan implikasi dari pasal tersebut. Di satu pihak mereka setuju terhadap kewajiban melaksanakan tanggungjawab sosial bagi perusahaan yang memanfaatkan sumberdaya alam, di lain pihak mereka tidak setuju terhadap formalisasi aturan tersebut seperti yang diminta kamar dagang dan industri (Kadin) untuk mencabut pengaturan tanggungjawab sosial dan lingkungan perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa di lingkup manajemen perusahaan masih terdapat perbedaan cara pandang maupun pemahaman terhadap tanggungjawab sosial perusahaan, meskipun jauh sebelum disahkannya Undang-undang tersebut beberapa perusahaan nasional dan multinasional telah melaksanakan tanggungjawab sosialnya (corporate social responsibility / CSR) melalui beragam program atau kegiatan yang dilakukan secara mandiri atau melibatkan pihak ketiga.


(3)

Pelaksanaan CSR oleh perusahaan tidak dapat dipisahkan dengan prinsip profit, planet, dan people (3 P). Untuk kelangsungan aktivitas sebagai badan usaha, perusahaan selalu berupaya mendapatkan keuntungan (profit) namun dalam aktivitasnya tidak boleh mengabaikan kelestarian sumberdaya alam lingkungan (planet) dan memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitarnya (people). Manfaat tersebut akan lebih opimal apabila mereka memiliki persepsi dan pemahaman yang benar terhadap konsep tanggungjawab sosial perusahaan sehingga mereka dapat berpartisipasi aktif dalam implementasi program CSR di wilayahnya. Dari tiga prinsip tersebut diharapkan secara ekonomi perusahaan mendapatkan keuntungan dengan cara yang jujur, terjadi keseimbangan antara jumlah keuntungan yang diperoleh dengan upaya perbaikan lingkungan, serta kehidupan bersama antara masyarakat dengan lingkungan yang serasi. Dengan demikian keberadaan perusahaan di suatu wilayah dapat membantu terwujudnya cita-cita pembangunan bekelanjutan.

Keberadaan perusahaan di suatu wilayah seharusnya juga memper-timbangkan manfaat yang dapat dirasakan masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan. Dalam perspektif social justice masyarakat sekitar perusahaan juga ikut diberdayakan, sehingga terjadi proses empowerment, melalui kegiatan-kegiatan pelatihan (capacity building) yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, masyarakat juga dibantu fasilitas (dana, sarana, dan prasarana) agar mereka dapat bekerja dan menciptakan peluang usaha (creating opportunities) untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Dari segi perspektif ”ecological” masyarakat diharapkan ikut menjaga keberlanjutan (sustainability) perusahaan tersebut.

Provinsi Lampung merupakan provinsi termiskin kedua di Pulau Sumatra dengan jumlah penduduk miskin mencapai 1.660.700 jiwa (BPS, 2007), namun di provinsi tersebut beroperasi sejumlah 194 perusahaan besar dan menengah, khususnya perusahaan yang bergerak di bidang pertanian dan industri berbasis pertanian (agroindustri). Data tersebut menggambarkan dua kondisi yang bertolak belakang, semestinya kehadiran perusahaan-perusahaan di suatu wilayah dapat mempercepat pembangunan daerah termasuk dalam mengurangi jumlah penduduk miskin. Perusahaan-perusahaan tersebut berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau government corporate seperti PTPN VII (dahulu PTP X dan PT Bunga Mayang Divisi Pabrik Gula PTP XXV), maupun perusahaan swasta atau private corporate seperti CV Bumi Waras Group, PT


(4)

Gunung Madu Plantation, PT GGP, dan sebagainya. Perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi dengan mengeksploitasi kekayaan setempat (terutama lahan pertanian) sebagai salah satu faktor produksi yang dominan. Perusahaan-perusahaan tersebut memproduksi bahan mentah, setengah jadi, atau bahan jadi yang berorientasi ekspor. Perusahaan-perusahaan agroindustri tersebut sudah beroperasi cukup lama, bahkan ada yang beroperasi sejak zaman penjajahan Belanda, seperti PTPN VII sebelum dinasionalisasi merupakan perkebunan (“onderneming”) milik penjajah Belanda.

Keberadaan perusahaan tersebut di lingkungan masyarakat membawa dampak fisik dan sosial ekonomi yang beragam baik yang bersifat positif maupun negatif. Dampak sosial ekonomi yang positif dirasakan seperti penyerapan tenaga kerja, peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat sekitar, dan sebagainya. Namun demikian, dampak negatif yang bersifat fisik terutama dirasakan adanya dampak lingkungan seperti pencemaran lingkungan, serta dampak sosial seperti munculnya konflik antara masyarakat sekitar dengan manajemen perusahaan.

Munculnya dampak sosial dari keberadaan perusahaan di suatu wilayah salah satunya disebabkan perusahaan tersebut tidak, belum, atau kurang peduli terhadap masyarakat sekitar. Masyarakat sekitar perusahaan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang dapat mendukung keberlanjutan keberadaan perusahaan tersebut. Bila perusahaan kurang peka terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar dapat memicu terjadinya konflik antara masyarakat sekitar dengan perusahaan. Kondisi sosial ekonomi yang kurang berpihak pada masyarakat tersebut mestinya dapat dijadikan media atau wahana bagi perusahaan untuk mempererat hubungan sosial dengan anggota masyarakat sekitar. Hubungan yang ada saat ini cenderung menjadikan masyarakat tidak atau kurang mandiri karena perusahaan melaksanakan program CSR dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat karitatif. Oleh karena itu, perusahaan dalam merancang program pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya semestinya mempertimbangkan kebutuhan masyarakat tersebut. Dengan kata lain implementasi CSR oleh perusahaan semestinya memperhatikan sasaran sebagai individu dan atau kelompok masyarakat yang memiliki latar latar belakang dan karakter yang cukup kompleks.

Perusahaan-perusahaan besar di Indonesia dan beberapa perusahaan agroindustri di Provinsi Lampung telah melaksanakan sebagian tanggungjawab sosialnya melalui upaya pembangunan wilayah maupun upaya pemberdayaan


(5)

ekonomi masyarakat, baik di sekitar perusahaan maupun di beberapa wilayah di Provinsi Lampung. Kegiatan tersebut berupa pemberian bantuan dana bagi pembangunan wilayah sekitar dalam bentuk prasarana umum, sarana-prasarana pendidikan, sarana-sarana-prasarana ibadah, maupun dalam bentuk pela-tihan, pendampingan, dan atau penyuluhan di bidang ekonomi produktif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar, dan sebagainya. Berbagai kegiatan tersebut oleh perusahaan dianggap sebagai bentuk tanggungjawab sosialnya dalam pembangunan masyarakat di sekitarnya. Beberapa kegiatan tersebut dimaksudkan agar masyarakat memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga melalui usaha yang bersifat produktif.

Proses pelaksanaan program CSR oleh perusahaan tersebut sampai saat ini belum melibatkan masyarakat sekitar sebagai sasaran program dalam perencanaan kegiatannya, sehingga keberhasilan program tersebut kurang optimal. Identifikasi kebutuhan masyarakat sekitar perusahaan belum dilakukan oleh perusahaan dalam memulai implementasi CSR tersebut. Keberhasilan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai peubah, baik peubah internal individu masyarakat maupun peubah eksternal seperti dinamika kelompok masyarakat, kualitas program, maupun kualitas pendukung lainnya. Masyarakat sekitar perusahaan sebagai sasaran program CSR juga merupakan bagian dari masyarakat suatu wilayah yang menjadi sasaran program pembangunan (pemberdayaan) dari pemerintah (pusat atau daerah), dengan demikian masyarakat sekitar perusahaan dimungkinkan terkena program yang bisa jadi saling tumpang tindih (overlapping). Kondisi tersebut dapat dihindari bila semua pihak dapat berkoordinasi, sehingga dapat dihindari adanya tumpang tindih kegiatan dan merancang program yang saling melengkapi (komplementer). Sampai saat ini masih jarang dilakukan penelitian akademis yang mengkaji pelaksanaan program CSR yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut, serta seberapa besar kontribusinya dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

Masalah Penelitian

(1) Bagaimana pemahaman masyarakat sekitar dan jajaran manajemen peru-sahan terhadap konsep tanggungjawab sosial perusahaan?


(6)

(2) Apakah implementasi CSR mampu mengubah pengetahuan, keterampilan, dan sikap masyarakat dalam berusaha?

(3) Apakah implementasi CSR dapat mempengaruhi tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga masyarakat sekitar perusahaan?

(4) Apa yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan dalam meningkatkan keberhasilan implementasi program CSR?

Tujuan Penelitian

(1) Mengkaji pemahaman konsep tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) oleh masyarakat sekitar perusahaan agroindustri dan manajemen perusahaan agroindustri.

(2) Mengkaji pengaruh pelaksanaan program CSR terhadap peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap masyarakat sasaran dalam berusaha ekonomi produktif.

(3) Mengkaji pengaruh kegiatan CSR terhadap tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga masyarakat sekitar perusahaan.

(4) Merumuskan model pemberdayaan ekonomi masyarakat berdasarkan peubah-peubah yang diteliti yang sesuai bagi pelaksanaan CSR oleh perusahaan di Provinsi Lampung.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dirinci sesuai dengan pemanfaatannya bagi pengem-bangan ilmu pengetahuan (akademik) dan pengempengem-bangan praktis, antara lain sebagai berikut.

Manfaat akademik

(1) Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu penyuluhan pem-bangunan dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat.

(2) Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan metode penelitian ilmu penyuluhan pembangunan melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Manfaat praktis

(1) Bagi perusahaan, sebagai masukan dan perbaikan dalam implementasi tanggungjawab sosial perusahaan dalam mengembangkan ekonomi masyarakat sekitarnya.


(7)

(2) Bagi pemerintah/pemerintah daerah, sebagai sumbangan pemikiran dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan pembangunan, pelayanan, dan pemberdayaan masyarakat di wilayah sekitar perusahaan.

Definisi Istilah

(1) Tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) adalah komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kontribusi dan program yang ditentukan dan atau dijalankan oleh perusahaan.

(2) Pemberdayaan masyarakat adalah upaya kapasitasi atau peningkatan kemampuan seseorang sehingga mampu (berdaya), tahu (mengerti), termotivasi, dapat memanfaatkan peluang, bersinergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil risiko, mamapu mencari dan menangkap informasi, serta mampu bertindak sesuai situasi.

(3) Pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah upaya peningkatan kemampuan seseorang sehingga mampu (berdaya), tahu (mengerti), termotivasi, mampu bekerjasama, dapat memanfaatkan peluang, mampu mengambil keputusan, dan berani mengambil risiko dalam berusaha ekonomi produktif yang dapat dilakukan melalui penguatan pemilikan faktor-faktor produksi, penguatan penguasaan distribusi dan pemasaran, penguatan masyarakat untuk mendapatkan gaji atau upah yang memadai, dan penguatan masyarakat untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan keterampilan.

(4) Masyarakat sekitar perusahaan adalah sekelompok warga negara yang secara formal bertempat tinggal di suatu wilayah administrasi tertentu (kampung/desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi) yang lokasinya berbatasan langsung atau tidak langsung dengan areal operasional (lahan, perkebunan, pabrik) suatu perusahaan.

(5) Persepsi merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh seseorang sehingga merupakan sesuatu yang berarti. Persepsi tentang CSR adalah penginterpretasian seseorang individu tentang apa, siapa, dimana, kapan, bagaimana dan mengapa suatu perusahaan melaksanakan program CSR bagi masyarakat di sekitarnya. (6) Perusahaan agroindustri adalah badan usaha milik swasta atau pemerintah


(8)

pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan).

(7) Pola kemitraan adalah pola kerjasama antara kelompok masyarakat sekitar perusahaan dengan perusahaan agroindustri, koperasi, atau pelaku usaha lain dalam rentang waktu tertentu.

(8) Stakeholders (pemangku kepentingan) adalah pihak-pihak terkait dalam suatu kerjasama antar berbagai pihak yang dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembagalembaga swadaya masyarakat, media massa, dan pemerintah selaku regulator.

(9) Fasilitator adalah seseorang yang bertindak atas nama individu dan atau lembaga dalam membantu pihak lain yang dapat berperan sebagai penyuluh, komunikator, pengajar, analisator, penasehat dan motivator serta memberikan bimbingan, arahan dan alternatif pemecahan masalah serta menjembatani kepentingan antar berbagai pihak melalui proses transfer pengetahuan, keterampilan dan sikap yang tertentu.

(10) Tingkat keberdayaan ekonomi rumah tangga adalah suatu ukuran untuk menggambarkan kemampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi usaha ekonomi produktifnya yang dilihat dari pendapatan usaha ekonomi produktif, kemandirian dalam mengambil keputusan, dan kemapanan usahanya. (11) Tingkat kesejahteraan masyarakat merupakan suatu kondisi seseorang

anggota masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhan minimal atau kebutuhan pokok yang meliputi pangan, pakaian, dan tinggal yang layak serta mendapatkan cukup asupan makanan yang bergizi sehingga mereka dapat hidup sehat dan melakukan aktivitas rutin dan atau bekerja.

(12) Model adalah abstraksi realitas yang menggambarkan suatu hubungan keterkaitan antar peubah yang disederhanakan dan merupakan penggam-baran atau penghampiran dari realita empirik untuk mempermudah analisis. Model diperoleh melalui perpaduan antara teori dan kondisi empiris yang didasarkan pada asumsi tertentu serta dapat diuraikan dengan jelas komponen-komponennya sehingga pengguna model dapat dengan mudah menerapkannya.


(9)

TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan Ekonomi Masyarakat dan Peran Korporasi

Menurut Bryant dan White (Ndraha, 1990:34), arti pembangunan bagi negara-negara dunia ketiga menyangkut tindakan (doing) dan kemampuan (being) dalam upaya menghilangkan kemiskinan dan mengurangi kebodohan, membebaskan dari perbudakan dan melepaskan dari ikatan cara hidup yang sia-sia untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat. Kemiskinan dan kebodohan serta semua ciri keterbelakangan tersebut dapat menurunkan derajad martabat kemanusiaan dan melemahkan semangat kerja serta kemampuan manusia. Oleh karena itu martabat dan kemampuan manusia perlu ditingkatkan melalui upaya pembangunan untuk menghadapi masa depannya. Dalam kaitan ini, Ndraha (1990:16) menyatakan adanya lima implikasi utama terhadap batasan pembangunan:

(1) Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan optimal manusia, baik individu maupun kelompok (capacity);

(2) Pembangunan berarti mendorong tumbuhnya kebersamaan dan kemerataan nilai dan kesejahteraan (equity);

(3) Pembangunan berarti menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Kepercayaan ini dinyatakan dalam bentuk kesempatan yang sama, kebebasan memilih, dan kekuasaan untuk memutuskan (empowerment); (4) Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan untuk membangun

secara mandiri dan berkelanjutan (sustainability); dan

(5) Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan negara yang satu dengan negara yang lain dan menciptakan hubungan saling menguntungkan dan saling menghormati (interdependence).

Indonesia sebagai negara berkembang telah berupaya melakukan pembangunan di segala bidang dan bertujuan untuk mencerdaskan bangsa dan memajukan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Pembangunan nasional tersebut mencakup upaya peningkatan semua segi kehidupan bangsa yang berupa pembangunan aspek fisik, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan keamanan, dan dapat pula berupa pembangunan ideologi (Adi, 2003:39). Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa pembangunan nasional tidak dapat dilepaskan dari pembangunan


(10)

ekonomi. Pembangunan ekonomi yang berhasil diharapkan menjangkau semua tataran sehingga terjadi perbaikan atau peningkatan pendapatan per kapita, pendapatan rumah tangga, dan pendapatan nasional.

Pembangunan ekonomi pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dengan pembangunan masyarakat, sebab Sugihen (2006) menyatakan bahwa pemba-ngunan masyarakat (community development) secara sederhana dirumuskan sebagai gabungan antara pembangunan organisasi masyarakat (community organization) dengan pembangunan ekonomi (economic development). Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa untuk mencapai tujuan pembangunan harus ada sinergi antara pembangunan organisasi-organisasi yang ada di masyarakat dan organisasi pelaksana pembangunan seperti pemerintah dan atau pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (NGO), koperasi, dunia usaha (perusahaan negara atau perusahaan swasta) yang mampu meningkatkan aktivitas perekonomian dan menyebabkan terjadinya pertumbuhan ekonomi baik di tingkat lokal maupun nasional.

Mubyarto dan Bromley (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tiga dekade terakhir yang mencapai dua sampai tujuh persen per tahun diakui telah banyak memberikan kemajuan materiil, tetapi mengandung dua masalah serius. Pertama, perekonomian Indonesia masih sangat rentan terhadap kondisi eksternal dan kondisi pasar finansial dan komoditas. Kedua, kemajuan ekonomi yang telah dicapai ternyata sangat tidak merata, baik antar daerah maupun antar kelompok sosial ekonomi. Banyaknya perusahaan (korporasi) yang tersebar di berbagai daerah diharapkan mampu memberi kontribusi nyata, sehingga kedua masalah tersebut dapat ditekan serendah mungkin.

Penetapan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas merupakan langkah positif dalam rangka mengatur keberadaan perusahaan (korporasi) yang beroperasi serta memanfaatkan sumberdaya alam di suatu wilayah untuk lebih berperan dalam pembangunan masyarakat dan wilayah di sekitarnya. Keberadaan korporasi di suatu wilayah diharapkan mampu memberikan dan mendatangkan dampak positif bagi masyarakat. Perusahaan yang relatif lebih kuat dalam penguasaan modal dan teknologi diharapkan mau berbagi dengan usaha kecil dan anggota masyarakat sekitarnya. Program kemitraan merupakan salah satu contoh kegiatan yang dapat dilakukan oleh perusahaan (korporasi) dalam berbagi pengalaman,


(11)

teknologi, dan modal dengan pengusaha kecil dan koperasi di sekitarnya. Kegiatan tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan dan perkenomian masyarakat. Dengan demikian perusahaan (korporasi) dapat berperan lebih besar dalam pembangunan daerah dan pembangunan nasional. Hal ini sejalan dengan pendapat Sembiring (2008:113) yang menyatakan bahwa Pembangunan masyarakat (CD) merupakan wujud nyata dari terjadinya sinergi program-program pembangunan yang dilakukan masyarakat, industri/swasta/ perusahaan/korporasi dengan pemerintah.

Program pembangunan komunitas dapat dikembangkan oleh korporasi di wilayah ketetanggaan pabrik atau aktivitas korporasi bersangkutan (Suparlan, 2005:13). Wilayah tersebut bisa dalam radius polusi pabrik maupun dalam area pemasaran produknya. Program itu sebaiknya mencakup pembangunan infra-struktur, tindakan afirmatif bagi komunitas setempat dalam turut mengelola kegiatan-kegiatan pelayanan sebagai bagian dari kegiatan pabrik atau korporasi (seperti katering, jasa transportasi barang atau karyawan, beasiswa pendidikan, hadiah prestasi kegiatan ilmiah, kesenian, olahraga atau lainnya). Tujuan program-program seperti ini adalah mengembangkan nilai-nilai budaya keman-dirian, berproduksi dan berprestasi.

Dalam praktiknya, program CSR umumnya lebih bersifat karitatif (charity) (Suparlan, 2005:12 dan Sugihen, 2006) umumnya kurang atau tidak bersifat mendidik sasaran. Hal ini berakibat sasaran menjadi tergantung atau memiliki ketergantungan kepada pihak lain. Pelaksanaan CSR belum memikirkan sasaran untuk mau berubah perilakunya (pengetahuan, keterampilan dan sikap) agar mereka mampu menolong dirinya sendiri. Perusahaan-perusahaan saat ini hanya memberikan bantuan material atau bantuan langsung tunai kepada sasaran tanpa dibarengi proses penyuluhan, bimbingan atau pelatihan yang dapat mengubah perilaku sasaran sehingga nantinya mereka dapat mandiri dan tidak lagi tergantung pada pihak lain. Bantuan yang berupa bantuan modal, fasilitas pendidikan, kesehatan, keagamaan, dan sebagainya lebih bersifat top down, dan kurang memperhatikan aspirasi masyarakat. Dengan kata lain implementasi CSR belum memperhatikan aspek kebutuhan masyarakat atau belum didasarkan pada need assesment.

Suparlan (2005:11) menyatakan bahwa ada anggapan umum jika sebuah perusahaan atau korporasi sudah memberi hadiah atau honor bulanan kepada tokoh masyarakat setempat yang dianggap menguasai dan mewakili masyarakat,


(12)

maka selesailah sudah berbagai masalah sosial dan politik yang mungkin muncul dari komunitas setempat, yang akan dihadapi dan akan merugikan perusahaan tersebut. Pandangan ini sebenarnya kurang tepat, karena di dalam suatu komunitas terdapat sejumlah tokoh yang saling bersaing dan berada dalam keadaan konflik untuk akumulasi kepemilikan sumber daya alam atau rezeki dan atau pendistribusiannya, serta untuk posisi-posisi sosial kunci yang terbatas dalam komunitas yang bersangkutan. Oleh karena itu manfaat pelaksanaan CSR seharusnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial.

Menurut Weeden (Suparlan, 2005:5) tanggungjawab sosial korporasi lebih tepat diganti dengan istilah investasi sosial korporasi (corporate social investing) sebab sejumlah korporasi telah menggunakan istilah strategic giving focused philantrophy. Tanggungjawab sosial korporasi dalam pembangunan masyarakat melalui pemberian bantuan diantaranya memiliki tujuan untuk memberdayakan masyarakat (community empowering), menjalin hubungan baik dengan masyarakat (community relations) dan memberikan pelayanan kepada masyarakat (community services). Kegiatan pengembangan atau pemberdayaan masyarakat umumnya ditangani oleh bagian atau departemen pengembangan masyarakat (community development departement). Dua hal terakhir lebih mudah dalam implementasinya oleh perusahaan, banyak perusahaan memiliki divisi atau bagian yang khusus menangani hubungan masyarakat (community relation department / CRD). Pelayanan masyarakat oleh perusahaan umumnya ditangani oleh public relation yang mewakili perusahaan dalam memberikan informasi dan pelayanan kepada masyarakat, meskipun secara teknis pelayanan tersebut ditangani oleh bagian teknis terkait di lingkup perusahaan. Banyaknya permasalahan yang dihadapi perusahaan yang terkait dengan masyarakat sekitar mengindikasikan kualitas program pemberdayaan yang dilakukan oleh perusahaan belum mengena pada sasaran, sehingga perlu disadari oleh setiap perusahaan bahwa dalam menginisiasi program pengem-bangan masyarakat yang berorientasi pemberdayaan masyarakat (community empowering) harus dilakukan lebih terencana, sistematis dan berkelanjutan.

Pengembangan masyarakat sebagai bagian dari implementasi tanggung-jawab sosial perusahaan memiliki arti strategis bagi sebuah korporat, sebab korporasi mempunyai potensi dan kapasitas untuk melaksanakan program-program pembangunan masyarakat (Suparlan, 2005:14). Pengembangan


(13)

masyarakat tidak lepas dari kerangka menciptakan kualitas kehidupan yang lebih baik secara bersama-sama antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah dari waktu ke waktu dan seiring dengan aktivitas perusahaan di wilayah tersebut. Implementasi CSR dalam pengembangan masyarakat dapat dilaksanakan dalam kerangka mentransformasikan kehidupan masyarakat yang pada awalnya bergantung pada sumberdaya alam yang tak terbarukan menjadi sebuah aktivitas ekonomi yang dilakukan secara berkelanjutan.

Tanggungjawab Sosial Perusahaan

(Corporate Social Responsibility/CSR)

Konsep tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Respon-sibility / CSR) merupakan suatu pendekatan perubahan atau pengembangan masyarakat khususnya peningkatan sumberdaya manusia yang dilakukan oleh suatu perusahaan sebagai bagian dari tanggungjawab sosialnya. Pendekatan ini bertujuan agar masyarakat turut terlibat atau menjadi bagian dari perusahaan tersebut dan menikmati manfaat dari keberadaan perusahaan di suatu wilayah tertentu. Pendekatan pengembangan masyarakat tersebut mengacu pada konsep Community Development yang kaitannya dapat dilihat dari perspektif ”economic”, ”social justice” maupun perspektif ”ecological”, sebagai konsep yang dikenalkan oleh European Union dimana perusahaan memadukan aspek sosial dan lingkungan dalam kegiatan bisnisnya serta dalam interaksinya dengan pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip sukarela (Anonim, 2005b:5).

Dalam perspektif social justice masyarakat sekitar perusahaan turut diberdayakan, sehingga terjadi proses empowerment, melalui kegiatan-kegiatan pelatihan (capacity building) yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, masyarakat juga dibantu fasilitas (dana, sarana, dan prasarana) agar mereka dapat bekerja dan menciptakan peluang usaha (creating opportunities) untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Dari segi perspektif ”ecological” masya-rakat diharapkan juga turut menjaga kelestarian lingkungan demi keberlanjutan (sustainability) perusahaan tersebut.

Kalangan industri Kanada menyatakan bahwa CSR merupakan upaya yang ditempuh perusahaan mencapai keseimbangan ekonomi, lingkungan, dan sosial sesuai harapan para pemegang saham dan pemangku kepentingan (CSR is the way a company achieves a balance or integration of economic, environmental, and social imperatives while at the same time addressing


(14)

shareholer and stakeholder expectations) (Anonim, 2005a). Hal ini sejalan dengan landasan teoritik dari Elkington (Pambudi, 2005:19) bahwa CSR adalah aktivitas yang mengejar triple buttom line yang terdiri dari profit, people, dan planet (3P). Selain mengejar keuntungan untuk kepentingan pemegang saham (profit), perusahaan juga harus memperhatikan pemangku kepentingan seperti pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people), serta berpartisipasi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Sebagai konsekuensinya implementasi program CSR di lingkungan masyarakat juga dapat didasarkan pada konsep ”local resource based” sebab kehadiran perusahaan di suatu wilayah memanfaatkan berbagai aset masyarakat, terutama prasarana transportasi. Hal ini terkait dan sejalan dengan prinsip community ownership. Dengan demikian diharapkan perusahaan juga ikut memelihara dan merasa memiliki kekayaan yang berupa prasarana di suatu wilayah. Pendekatan CSR diharapkan dapat menciptakan multiplier effect bagi masyarakat lokal secara luas. Keberadaan perusahaan diharapkan akan menjadi pendorong aktivitas dan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah.

Dari beberapa batasan tersebut dapat dipahami bahwa tanggung jawab perusahaan yang bersifat ekonomis, teknis (lingkungan), dan sosial dapat tercapai secara bersama-sama apabila perusahaan tersebut mau mengimple-mentasikan tanggungjawab sosialnya secara bijaksana. Semua manfaat yang dapat dipetik perusahaan pada akhirnya dapat membantu kelangsungan usaha (sustainability) perusahaan. Hubungan sosial perusahaan yang meningkat dengan masyarakat sekitar akan menambah rasa aman terhadap gangguan dari masyarakat sekitar.

Menurut Frederick et.al. (1988:28-29) ada dua prinsip yang mendasari ide moderen tentang CSR, yaitu prinsip karitatif (charity principle) dan prinsip pelayanan (stewardship principle). Prinsip karitatif menganjurkan agar dalam masyarakat si kaya membantu si miskin (yang kurang beruntung), dengan demikian perusahaan harus memberikan bantuan secara sukarela kepada perorangan dan kelompok yang membutuhkan. Hal ini dilakukan oleh perusa-haan melalui kedermawanan perusaperusa-haan (corporate philanthropy) dan aksi pemasaran sosial. Prinsip pelayanan mengajarkan agar pengelola perusahaan melihat dirinya sebagai pelayan untuk melakukan kegiatan di masyarakat yang berkepentingan dengannya, sehingga perusahaan harus bertindak sebagaimana dipercayakan oleh publik, serta memperhatikan keinginan semua pihak yang


(15)

terpengaruh oleh keputusan dan kebijakan perusahaan. Hal ini dilakukan perusahaan dengan membangun saling ketergantungan antara perusahaan dan masyarakat, serta berlaku adil terhadap keinginan dan kebutuhan berbagai kelompok di dalam masyarakat.

Kotler dan Lee (2005:3) menyatakan bahwa CSR merupakan suatu komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai pertimbangan dalam praktik bisnis dan kontribusi dari sumberdaya perusahaan. Inti dari pengertian tersebut tidak mengacu pada aktivitas bisnis yang diatur oleh peraturan perundangan yang berlaku, namun lebih pada komitmen kerelawanan perusahaan sehingga dipilih dan diimplementasikan dalam praktik bisnisnya.

Pandangan yang lebih komprehensif mengenai CSR yang kemudian disebut sebagai ”teori Piramida CSR” dikemukakan oleh Carrol (dalam Nursahid, 2006:7) bahwa tanggungjawab sosial perusahaan dapat dilihat berdasarkan empat jenjang (ekonomis, hukum, etis, dan filantropis) yang merupakan satu kesatuan. Untuk memenuhi tanggungjawab ekonomis, sebuah perusahaan harus menghasilkan laba sebagai pondasi untuk mempertahankan perkem-bangan dan eksistensinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Drucker (Nursahid, 2006:8) yang cukup terkenal bahwa ”business is business”, sebab inti kegiatan setiap perusahaan adalah berusaha mencari keuntungan. Namun demikian dalam menggapai keuntungan tersebut perusahaan harus bertanggungjawab secara hukum dengan mentaati aturan hukum yang berlaku. Perusahaan juga harus bertanggunjawab secara etis, perusahaan harus mempraktikkan hal-hal yang baik dan benar sesuai dengan nilai etika dengan nilai-nilai atau norma-norma masyarakat sebagai rujukan bagi perusahaan dalam menjalankan bisnisnya. Perusahaan juga mempunyai tanggungjawab filantropis yang mensyaratkan agar perusahaan memberikan kontribusi kepada masyarakat agar kualitas hidup masyarakat meningkat sejalan dengan perkembangan bisnis perusahaan.

Dalam pelaksanaannya, Nugraha dkk. (2005) menyatakan bahwa CSR mempunyai lima pilar aktivitas. Pertama, building human capital; secara internal perusahaan dituntut menciptakan dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang handal; secara eksternal perusahaan dituntut untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, yang biasanya dilaksanakan melalui community development. Kedua, strengthening economies; perusahaan dituntut untuk tidak kaya sendiri, komunitas di lingkungannya miskin. Mereka harus


(16)

memberdayakan ekonomi komunitas sekitar. Ketiga, assesing social cohesion; perusahaan dituntut untuk menjaga keharmonisan dengan masyarakat sekitarnya agar tidak menimbulkan konflik. Keempat, encouraging good governance; dalam menjalankan bisnisnya perusahaan harus menjalankan tata kelola bisnis dengan baik. Kelima, protecting the environment; perusahaan harus berusaha keras menjaga kelestarian lingkungan.

Dari pengertian tersebut, sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada pemangku kepentingan (stakeholders) dapat dipahami bahwa CSR memiliki empat sisi tanggungjawab:

(1) Tanggungjawab ekonomis, yakni setiap perusahaan melakukan kegiatan bisnis adalah untuk mendapatkan keuntungan atau profit.

(2) Tanggungjawab legal, yakni setiap perusahaan yang beroperasi memiliki kewajiban membayar pajak kepada pemerintah, memenuhi persyaratan perundangan seperti memiliki SITU, SIUP, NPWP, Dokumen Amdal, dan sebagainya.

(3) Tanggungjawab etika, yaitu perusahaan untuk berlaku jujur dan tidak diskriminatif kepada semua karyawan dan semua konsumen, serta tidak berlaku korup.

(4) Tanggungjawab discretionary, merupakan tanggungjawab yang seharusnya tidak dilakukan perusahaan namun perusahaan melakukannya atas kemauan sendiri.

Berdasarkan sifatnya, tanggungjawab tersebut dapat dibedakan menjadi sesuatu yang bersifat eksternal, misalnya tanggungjawab memenuhi regulasi pemerintah setempat, kewajiban menyisihkan pendapatan untuk usaha kecil menengah; dan sesuatu yang bersifat internal, misalnya perilaku pribadi pemilik perusahaan terhadap masyarakat sekitar, pemberian fasilitas dan kemudahan bagi masya-rakat sekitar terhadap akses dan transaksi produk perusahaan.

Dalam proses reformasi Indonesia menuju masyarakat sipil dan demo-krasi seperti sekarang ini, selayaknya korporasi mempunyai tanggung jawab sosial, melalui investasi sosial dalam bentuk pembangunan komunitas untuk turut mendemokratiskan masyarakat sipil. Untuk itu berbagai program pemberian dana bantuan seharusnya dilakukan secara selektif dengan prinsip bottom up. Dengan demikian program CSR semestinya dirumuskan dan dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat sekitar perusahaan sebagai sasaran kegiatan. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas melalui


(17)

pasal 74 berusaha mengatur pelaksanaan CSR. Hal tersebut mendapat tanggapan yang intinya dapat dikelompokkan menjadi dua, mereka yang setuju dan mereka yang tidak setuju dengan adanya pengaturan terhadap pelaksanaan CSR.

Sumarto (2007) menyatakan bahwa CSR sebagai bentuk kepedulian tidak mungkin diatur secara legal, namun bila CSR dianggap sebagai kewajiban dapat diatur oleh negara. Banyak perusahaan menganggap bahwa realisasi CSR yang selama ini diwujudkan dalam program pengembangan masyarakat (community development) dilakukan karena kepedulian perusahaan sebagai makhluk sosial (corporate citizenship). Karena CSR merupakan kepedulian, maka keberadaan peraturan yang mewajibkannya menjadi tidak relevan. Dalam realitanya, proses produksi perusahaan menciptakan externality, kehadirannya melegitimasi negara untuk mewajibkan perusahaan menginternalisasikan guna meminimalkan dampak negatif keberadaan perusahaan pada masyarakat. Dengan demikian, CSR dapat ditafsirkan sebagai kewajiban. Sebagai konsekuensinya, pilihan pemaknaan CSR sebagai kewajiban atau kepedulian menimbulkan implikasi yang berbeda.

Persepsi Perusahaan terhadap CSR

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan (Walgito, 2003:45). Proses penginderaan terjadi setiap saat indvidu menerima stimulus yang mengenai dirinya melalui alat indera (penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan pengecapan/perasaan). Stimulus tersebut kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan sehingga individu menyadari tentang apa yan diinderanya. Stimulus dapat berupa dapat berupa obyek yang besifat konkrit maupun abstrak. Obyek konkrit berupa benda dapat mengenai semua jenis indera manusia, sedangkan obyek yang abstrak dapat diindera setelah melalui proses audial dan atau visual.

Obyek yang diindera akan dipersepsi oleh seseorang dan menjadi dasar pemahaman seseorang terhadap sesuatu. Litterer (Asngari, 1982:16) menyata-kan bahwa persepsi seseorang individu dipengaruhi oleh keberadaannya dalam melihat situasi, fakta atau suatu aksi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa ketika seseorang menangkap informasi maka terjadilah pembentukan persepsi, kemudian diikuti pemilihan atau seleksi terhadap informasi, penutup, dan interpretasi terhadap obyek yang diindera. Dari pengertian tersebut bila program


(18)

CSR sebagai obyek dapat dipersepsi dan dipahami oleh seseorang ataupun perusahaan (sebagai individu yang direpresentasikan oleh manajernya) dalam perspektif yang berbeda, tergantung situasi atau keadaan yang melingkupinya.

CSR sebenarnya konsep merupakan konsep yang sudah lama (Yano, 2005), namun di Indonesia masih relatif baru. Namun, beberapa perusahaan yang mengeksploitasi sumberdaya alam (perusahaan pertambangan) sudah cukup lama memahami dan menerapkannya. Sejak ditetapkannya UU Nomer 40 Tahn 2007, CSR diyakini sebagai ekspresi kewajiban perusahaan yang peka terhadap pemangku kepentingan di lingkungan lokasi perusahaan melakukan aktivitasnya. Sampai saat ini memang belum ada formula hubungan langsung antara pengaruh praktik CSR terhadap keuntungan perusahaan. Hal ini pula yang mungkin menjadikan CSR dipandang negatif oleh beberapa perusahaan. Kontroversi ini terus berlanjut, sebagian pelaku usaha masih memandang CSR sebagai komponen biaya perusahaan yang akan mengurangi keuntungan. Kalaupun mereka melaksanakan parktik CSR lebih karena terpaksa didesak oleh masyarakat di lingkungannya, oleh lembaga swadaya masyarakat, atau bahkan oleh pemerintah. Di lain pihak, justru CSR akan membentuk citra positif bagi perusahaan, CSR sebagai investasi masa depan. Oleh karena itu CSR dapat dijadikan modal sosial perusahaan.

Pelaksanaan atau implementasi CSR di negara-negara maju sudah dibingkai dengan standar yang pasti. Sebagai contoh di Canada dengan Canada PLUS 9018 (Corporate Social Responsibility), di Jepang dengan Japan ECS 2000 (Corporate Ethics Compliance Standards) dan Japan Keidanren Implementation Guidline (Japan Business Federation), dan di Spanyol dengan Spain PEN (Ethics – Corporate Ethics Management System). Di negara-negara berkembang, seperti Thailand juga sudah memiliki Thai Labor Standards (CSR and its implementation). Dari data tersebut dapat kita pahami bahwa kesadaran di negara-negara maju maupun berkembang akan pentingnya imlementasi CSR sudah semakin nyata. Standar implementasi CSR di suatu negara diperlukan agar progam-program atau kegiatan CSR tidak menyimpang dari rencana pembangunan masyarakat di masing-masing negara. Dengan demikian, kita harus mulai menetapkan standar implementasi CSR agar bermanfaat bagi masyarakat dan selaras dengan keinginan pemerintah dalam pembangunan.

Kesadaran akan pentingnya CSR juga direspon oleh kalangan usahawan dari negara-negara di seluruh dunia, bahkan saat ini masih berlangsung upaya


(19)

pengumpulan bahan masukan untuk mewujudkan standar ISO 26000. Namun demikian, penerapan CSR di Indonesia masih jauh dari ideal, hal tersebut disebabkan lemahnya penegakan hukum (Jakarta Post, 21 Maret 2005). Pelaksanaan CSR umumnya tergantung pada persepsi Chief of Executive Organization (CEO), jika CEO memiliki kesadaran moral bisnis yang baik, besar kemungkinan perusahaan akan menerapkan kebijakan CSR secara layak; dan sebaliknya bila moral bisnisnya rendah maka penerapan kebijakan CSR hanya bersifat kosmetik.

CSR dapat dijadikan strategi bisnis di masa depan guna meningkatkan citra dan investasi masa depan bagi perusahaan. Bila citra perusahaan meningkat, umumnya keuntungan perusahaan juga akan meningkat. Demikian halnya perlakuan perusahaan terhadap masyarakat lingkungan, bila kontribusi perusahaan tidak memberikan kontribusi positif maka lingkungan yang ada juga tidak akan memberikan kontribusi positif terhadap perusahaan.

Sebagai strategi bisnis, CSR memiliki kesamaan pengertian dengan konsep pemasaran sosial (social marketing). Menurut Fox dan Kotler (Susanto, 1990), pemasaran sosial merupakan rancang bangun, implementasi, dan pengendalian program-program yang telah diperhitungkan untuk mempengaruhi penerimaan ide-ide sosial dan menyertakan pertimbangan-pertimbangan mengenai perancangan produk, aspek harga, komunikasi, dan riset pemasaran.

Perusahaan sebagai institusi bisnis selalu menginginkan keuntungan dari hasil penjualan produknya kepada konsumen. Melalui pemasaran sosial diharapkan terjadi perubahan perilaku konsumen (masyarakat sekitar perusa-haan khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya), sehingga akhirnya terjadi perubahan sosial seperti yang dikehendaki oleh perusahaan. Agar supaya perubahan sosial yang terjadi tidak merugikan masyarakat, seharusnya pemasaran sosial yang dilakukan oleh perusahaan mempertimbangkan aspek sosial budaya masyarakat, terutama untuk menghindari sifat konsumerisme.

Menurut Kavei, pakar manajemen Universitas Manchester (Pambudi, 2005:24), ada lima keuntungan mempraktekkan CSR: (1) profitabilitas dan kinerja finansial yang lebih kokoh, misalnya melalui efisiensi lingkungan; (2) meningkatkan akuntabilitas dan asesmen dari komunitas investasi; (3) mendorong komitmen karyawan karena mereka diperhatikan dan dihargai; (4) menurunkan kerentanan gejolak dengan komunitas; dan (5) mempertinggi reputasi dan corporate branding. Senada dengan Kavei, hasil riset SWA


(20)

tahun 2005 (Pambudi, 2005:24-25) menyatakan bahwa manfaat pelaksanaan program CSR bagi perusahaan adalah:

(1) Memelihara dan meningkatkan citra perusahaan (37,38 %). (2) Hubungan yang baik dengan masyarakat (16,82 %). (3) Mendukung operasional perusahaan (10,28 %).

(4) Sarana aktualisasi perusahaan dan karyawannya (8,88 %).

(5) Memperoleh bahan baku dan alat-alat untuk produksi perusahaan (7,48 %). (6) Mengurangi gangguan masyarakat pada operasional perusahaan (5,61 %). Memperhatikan hasil tersebut, cukup disayangkan bila sampai saat ini di Indonesia masih banyak perusahaan atau korporasi yang belum melaksanakan program CSR. Kondisi demikian sangat mungkin terjadi sebab persepsi dan pemahaman jajaran manajemen perusahaan terhadap konsep CSR yang beragam, kondisi perusahaan yang belum sehat, dan sebagainya.

Perkembangan Konsep dan Makna Pemberdayaan Masyarakat

Hutomo (2000:1) menyatakan istilah pemberdayaan merupakan terje-mahan dari kata “empowerment.” Di Indonesia, istilah ini mulai populer setelah krisis ekonomi pada 1998 dan terus berkembang pada era reformasi pasca Orde Baru. Menurut kamus Oxford, kata empower sinonim dengan memberi daya atau kekuatan kepada; sedangkan to empower sinonim dengan to authorize, commission, delegate, enable, entitle, licence, qualify. Kamus Merriam Webster online menyamakan empower dengan: (1) Memberi kewenangan resmi atau kekuasaan yang sah (to give official authority or legal power to), (2) memberi kemungkinan (to enable), atau (3) mempromosikan aktualisasi diri atau pengaruh dari (to promote the self-actualization or influence of). Your-dictionary.com menyamakan to empower dengan: (1) menanamkan kekuasaan, khususnya kekuasaan yang sah atau kewenangan jabatan (to invest with power, especially legal power or official authority); atau (2) melengkapi atau menye-diakan suatu kemampuan (to equip or supply with an ability).

Istilah pemberdayaan (empowerment) telah lahir semenjak pertengahan abad ke-17 dengan makna menanamkan kewenangan (to invest with authority) atau memberi kewenangan (authorize). Dalam pengertian umum pemberdayaan berarti untuk memungkinkan (to enable) atau mengijinkan (to permit), atau mengajarkan kepada seseorang unuk belajar memimpin dirinya sendiri (leading


(21)

the people to learn to lead themselves). Dari banyak batasan, ada yang memfokuskan kepada pemberdayaan individu, yang berarti suatu proses untuk meningkatkan kemampuan individu. Seseorang dikatakan telah empowered adalah ketika ia telah dapat memimpin dirinya sendiri (Syahyuti, 2006:209).

Pada abad ke-20, istilah pemberdayaan digunakan oleh aktivis Gerakan Black Panther dalam mobilisasi politik di USA pada 1960-an. Namun konsep ini seolah mengalami kemandegan (”dorman”) selama dekade 1970-an, dan baru pada pertengahan dekade 1980-an gerakan kaum wanita mempopulerkan kembali konsep pemberdayaan sehingga saat ini istilah pemberdayaan telah masuk ke berbagai disiplin ilmu, baik pada tataran teori maupun praktek (Jahi, 2006) .

Menurut Ledwith (2005:9), sejarah munculnya pemberdayaan diawali dari upaya pembangunan masyarakat yang terjadi di Nigeria antara tahun 1927 dan 1949 yang dikritik oleh Batten karena pembangunan tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan dominasi kolonial (Inggris). Suatu gerakan ke arah suatu filosofi pembebasan mendorong suatu perubahan terhadap kesadaran jenis kelamin dan kelas yang mengumpulkan daya gerak yang berkembang pada abad 20. Pergerakan untuk perubahan tersebut diberdayakan oleh adanya pemusatan kebebasan ideal dalam masyarakat sebagai suatu prinsip dalam bertindak.

Pemberdayaan adalah konsep kunci dalam jantung pembangunan masyarakat radikal (Ledwith, 2005:1). Dalam prosesnya, berkembanglah teori dan praktik secara seimbang. Praktik radikal menjadi titik awal yang menjemba-tani antara pengetahuan dan kekuatan (daya) dan komitmen untuk membangun bentuk kehidupan masyarakat yang berusaha secara serius untuk mendapatkan demokrasi dan keadilan sosial.

Suharto (2005:58) menyatakan bahwa pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam:

(a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan, dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, kebodohan, dan kesakitan;

(b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan


(22)

mempengaruhi mereka.

Beberapa pakar mengemukakan batasan yang beragam, pemberdayaan ditinjau dari tujuan, proses, dan cara-cara pemberdayaan:

• Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuatan orang-orang yang lemah (Ife, 1995)

• Pemberdayaan mengajarkan pada individu atau kelompok bagaimana bersaing dalam aturan-aturan (hukum) (Ife, 2002:56)

• Pemberdayaan adalah sebuah proses sehingga orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagi kontrol dan pengaruh terhadap kejadian-kejadian dan lembaga-lembaga yang mempengaruhi dirinya. Pemberda-yaan menekankan bagaimana seseorang memperoleh keterampilan, pengetahuan dan kekuatan (kemampuan) yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons, et.al., 1994).

• Pemberdayaan adalah suatu cara bagaimana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984).

Dengan demikian, pemberdayaan sebagai proses merupakan serangkaian kegiatan untuk memperkuat keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yakni masyarakat yang berdaya, memiliki kekuatan atau memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial (Suharto, 2005:60).

Bank Dunia memberikan batasan, empowerment sebagai proses untuk meningkatkan aset dan kemampuan secara individual maupun kelompok suatu masyarakat (the process of increasing the capacity of individuals or groups to make choices and to transform those choices into desired actions and outcomes). Masyarakat yang telah berdaya diindikasikan adanya pemilikan kebebasan dalam membuat pilihan dan tindakan sendiri tanpa pengaruh atau campur tangan pihak lain.

Ledwith (2005:xii) menyatakan bahwa pemberdayaan merupakan langkah memberdayakan seseorang yang memiliki martabat dan harga diri, sebagai konsekuensi dari kesadaran kritis: yang menyadari bahwa peluang kehidupan


(23)

ditentukan oleh adanya diskriminasi struktural, sebagai pengertian yang mendalam yang membawa serta kebebasan untuk mulai bertindak dalam menyempurnakan perubahan demi tercapainya keadilan sosial. Selanjutnya dikatakan bahwa urgensi dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk menyatakan adanya agenda yang radikal, sebagaimana disiitir pernyataan dari Reason (Ledwith, 2003:2) bahwa ”kita tidak bisa berjalan terus pada jalan yang sedang kita pikirkan ... gabungan tragedi manusia akan kekerasan dan kesengsaraan bahan bakar, seperti halnya kerusakan ekologis yang lebih lanjut ” (We cannot go on the way have been doing based on the way have been thinking … the resultant human tragedies will fuel misery and violence, as well as further ecological damage). Proses pemberdayaan masyarakat didasarkan atas keyakinan, kesadaran kritis, dan kebersamaan (kolektivitas), kesadaran tersebut menjadi pasak penjaga roda di antara poros keduanya.

Pembangunan selama ini telah melahirkan sejumlah "pelayanan kepada masyarakat"; sedangkan pembangunan yang berorientasi pemberdayaan masyarakat akan melahirkan "masyarakat ke dalam layanan." (Adjid, 2002:3). Oleh karena itu perlu ditempuh langkah-langkah yang membuat masyarakat merasa terlayani dengan penyediaan berbagai jaringan yang secara sadar atau tidak setiap anggota masyarakat akan masuk dalam jaringan yang telah disediakan. Memberdayakan masyarakat juga bukan sekedar "memobilisasi masyarakat untuk ambil bagian" dalam kegiatan; melainkan sebagai upaya untuk "mengejar jaringan kemitraan" sehingga masyarakat mampu berpartisipasi dalam kegiatan secara optimal.

Proses pemberdayaan masyarakat (community empowerment) merupakan upaya membantu masyarakat untuk mengembangkan kemampuannya sendiri sehingga bebas dan mampu untuk mengatasi masalah dan mengambil kepu-tusan secara mandiri. Proses pemberdayaan tersebut dilakukan dengan membe-rikan kewenangan (power), aksesibilitas terhadap sumberdaya dan lingkungan yang akomodatif (Perkins dan Zimmerman, 1995).

Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang diwujudkan dalam pemba-ngunan secara partisipatif sangat sesuai dan dapat dipakai untuk mengantisipasi timbulnya perubahan-perubahan dalam masyarakat beserta lingkungan strategis-nya. Sebagai konsep dasar pembangunan partisipatif adalah melakukan upaya pembangunan atas dasar pemenuhan kebutuhan masyarakat itu sendiri


(24)

sehingga masyarakat mampu untuk berkembang dan mengatasi permasalahan-nya sendiri secara mandiri dan berkelanjutan.

Lahirnya konsep pemberdayaan adalah sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan model industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas atau ”production centered development.” (Korten & Klauss dalam Nasdian, 2006:12). Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasan terbangun dari pemusatan penguasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun bangunan bagian atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum, dan ideologi yang manipulatif untuk memperkuat dan legitimasi; dan (4) kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum, sistem politik, dan ideologi, secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya. Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the powerless).

Konsep pemberdayaan telah masuk ke berbagai disiplin ilmu, baik pada tataran teori maupun praktik sehingga memiliki makna yang berbeda Dari sisi paradigma, pemberdayaan membahas cara individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengendalikan kehidupan mereka sendiri dan mengusa-hakan untuk mewujudkan masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Dari sisi ilmu sosiologi, pemberdayaan dimaknai sebagai upaya mengurangi diskriminasi sosial yang dialami sekelompok orang karena perbedaan ras, etnik, religi, dan atau gender. Dari sisi pembangunan ekonomi, pemberdayaan menfokuskan pada upaya memobilisasi kemampuan diri dari golongan miskin dengan menyediakan program kesejahteraan sosial untuk mereka. Di bidang politik, pemberdayaan adalah perjuangan untuk menegakkan hak-hak sipil serta kesetaraan gender. Saat ini, istilah “pemberdayaan” telah menjadi suatu kata yang bersifat plastis dan digunakan dalam berbagai konteks, sehingga dapat mengaburkan makna yang sebenarnya (Jahi, 2006).

Menurut teori Ilmu Jiwa, manusia memiliki berbagai daya, yakni daya atau kekuatan berpikir, bersikap, dan bertindak. Daya-daya itulah yang harus ditumbuhkembangkan pada manusia dan kelompok manusia agar tingkat


(25)

berdayanya optimal untuk mengubah diri dan lingkungannya. Pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya adalah sama dengan pembangunan masyarakat. Korten (Suparjan dan Hempri Suyatno, 2003:23) menyatakan bahwa pemba-ngunan masyarakat pada hakekatnya memiliki beberapa aspek berikut:

(1) Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dibuat di tingkat lokal.

(2) Fokus utama adalah memperkuat kemampuan masyarakat miskin dalam mengawasi dan mengerahkan asset-aset untuk memenuhikebutuhan sesuai dengan potensi daerah mereka sendiri.

(3) Memiliki toleransi terhadap perbedaan dan mengakui arti penting pilihan nilai individu dan pembuatan keputusan yang telah terdistribusi.

(4) Dalam mencapai tujuan pembangunan sosial dilakukan melalui proses belajar sosial (social learning), dalam proses tersebut individu berinteraksi satu sama lain menembus batas-batas organisatoris dan dituntun oleh kesadaran kritis individual.

(5) Budaya kelembagaan ditandai dengan adanya organisasi yang mengatur diri sendiri (adanya unit-unit local) yang mengelola dirinya sendiri.

(6) Jaringan koalisi dan komunikasi pelaku lokal dan unit-unit lokal yang mengelola diri sendiri mencakup kelompok penerima manfaat local, organisasi pelayanan daerah, pemerintah daerah, bank-bank pedesaan dan lain-lain akan menjadikan basis tindakan-tindakan local yang diserahkan untuk memperkuat pengawasan lokal yang mempunyai dasar luas atas sumber-sumber dan kemampuan lokal untuk mengelola sumberdaya mereka.

Konsep pemberdayaan masyarakat dalam pandangan UNICEF (1997) pendekatannya bertumpu pada risiko di keluarga, kebutuhan dan hak-haknya dalam rangka menentukan prioritas dan strategi pembangunan. Ada lima masalah pokok yang silih berganti, yakni tingkat kematian ibu yang tinggi, kekurangan gizi ibu dan anak, rendahnya tingkat pendidikan atau kualitas pendidikan yang rendah, penyakit HIV-AIDS dan psikotropika, serta anak-anak yang memerlukan upaya perlindungan khusus. Hasil kajian UNICEF menun-jukkan bahwa intervensi paling strategis adalah pada kelompok remaja, kelompok yang menempati posisi terbesar dari penduduk negara kita. Dalam pertimbangan sosial dan ekonomi, kelompok remaja (10-19 tahun) merupakan kelompok yang akan memasuki pasar kerja, sehingga potensinya untuk menjadi pekerja yang disiplin, terampil dan fleksibel harus dimaksimalkan. Kegagalan


(26)

intervensi pada fase ini akan menimbulkan biaya sosial (social cost) yang tinggi di kemudian hari sebagai akibat urbanisasi, pengangguran, frustrasi, yang berakibat pada peningkatan kriminalitas, penggunaan obat terlarang, dan sebagainya.

Dari pengertian tersebut dapat dianalogkan bahwa fokus pemberdayaan masyarakat semestiya berorientasi pada keluarga. Pemberdayaan berorientasi keluarga berarti berupaya: (1) membangun kapasitas internal keluarga (pengetahuan, keterampilan, sikap, dan sebagainya); (2) mengubah kepercayaan dan perilaku yang menghambat kemajuan (perkawinan usia dini, pelanggaran disiplin, dan kriminalitas); dan (3) memperkuat nilai-nilai tradisional yang kondusif untuk pembangunan (gotong royong, rasa hormat), dan penyaringan nilai-nilai baru.

Agar supaya pemberdayaan berorientasi keluarga dapat berhasil, strategi pemberdayaan masyarakat dan keluarga dalam membangun jaringan kemitraan perlu didasarkan pada hal-hal berikut:

(1) Analisis yang jelas tentang situasi masyarakat (yang sangat heterogen) yang akan diberdayakan.

(2) Pemilihan kelompok sasaran yang seksama; dengan mereka akan dikem-bangkan kemitraan untuk menjamin tidak memilih mereka yang telah diber-dayakan.

(3) Mekanisme dibentuk untuk menjamin keterlibatan anggota masyarakat yang tersisih (kelompok marjinal), misalnya kuota keanggotaan wanita dalam lembaga pembangunan setempat.

(4) Unit-unit organisasi lokal yang ada disesuaikan untuk mewadahi agar ikut dalam proses penciptaan struktur-struktur baru.

Kegiatan pembangunan yang bersifat multidimensional mengakibatkan adanya interdependensi antar aktor kunci menuntut adanya kemitraan yang kuat dan harus didasari rasa saling percaya dan saling menguatkan. Pola kemitraan hanya bisa diraih dengan berdayanya elemen dari individu, keluarga, dan masyarakat.

Dari sisi ilmu penyuluhan pembangunan, Slamet (2003:45) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat mencakup beberapa pengertian berikut: ƒ merupakan ungkapan lain dari tujuan penyuluhan pembangunan,


(27)

ƒ bagaimana membuat masyarakat mampu membangun dirinya sendiri (memperbaiki kehidupannya sendiri),

ƒ masyarakat mengerti, memahami, termotivasi, berkesempatan, melihat peluang, berenergi, mampu bekerjasama, mengetahui berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi risiko, mampu mencari dan menangkap informasi, dan mampu bertindak sesuai situasi.

Melalui program-program penyuluhan pembangunan segala macam informasi, teknologi, kesempatan berlatih dan berorganisasi serta bekerjasama dapat diakses relatif mudah oleh masyarakat, sehingga masyarakat bisa mendapatkan alternatif dan memiliki kebebasan untuk memilih yang terbaik bagi dirinya. Dengan demikian pemberdayaan pada akhirnya mampu menghasilkan masyarakat yang dinamis dan progresif secara berkelanjutan.

Pranarka dan Vidyandika (Tampubolon, 2006) mengemukakan bahwa proses pemberdayaan mengandung dua arti. Pertama, pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, dan kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Proses ini biasanya dilengkapi dengan upaya pemberian aset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Proses ini disebutnya sebagai kecenderungan primer. Kedua, proses menstimuli, mendorong, atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keber-dayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Proses ini sering disebut sebagai kecenderungan sekunder.

Dari beberapa kutipan di atas menunjukkan bahwa pemberdayaan ialah sebuah ide yang kompleks, yang mencakup transfer kekuasaan atau daya secara dinamis dalam kurun waktu tertentu. Daulay (2005:i) menggunakan istilah pemberdayaan masyarakat sebagai terjemahan dari community development. Di lain pihak banyak ahli menerjemahkan community development dengan istilah yang berbeda-beda seperti pengembangan masyarakat, pembangunan masya-rakat, pembangunan komunitas, pengembangan komunitas, dan sebagainya.

Payne (Adi, 2003:54) menyatakan bahwa proses pemberdayaan pada intinya ditujukan guna membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan


(28)

rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.

Shardlow (Adi, 2003:54) menyatakan bahwa berbagai pengertian pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengendalikan kehidupan mereka sendiri dan mengusaha-kan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Jahi (2006) menyatakan bahwa ada dua cita rasa pemberdayaan, yaitu:

(1) yang memberi manfaat baik kepada pihak yang memberi kuasa maupun ke-pada pihak yang mendapat kuasa. Tipe inilah yang disebut sebagai pember-dayaan (empowerment);

(2) kekuasaan didapat oleh pihak yang sebelumnya tidak berkuasa melalui per-juangan sendiri. Hal ini disebut sebagai “self-empowerment” atau memberda-yakan diri.

Kedua tipe pemberdayaan tersebut mengandung pemberdayaan sendiri, sebab: (a) tahap yang krusial pada pihak yang terlibat ialah perubahan alam pikiran dan situasi kehidupan mereka yang diberdayakan itu; (b) pemberdayaan mencakup peningkatan kesadaran. Ia juga mencakup lebih dari sekedar peru-bahan kekuasaan, sebagai akibat dari peruperu-bahan struktur dan tata-nilai lama; dan (c) elemen kesadaran dan pertimbangan yang tinggi dari kedua belah pihak yang terlibat, yang didapat dari solusi menang-menang (win-win) menye-diakan kesempatan bagi kemajuan untuk hidup yang lebih sejahtera bagi semua yang terlibat.

Berdasarkan uraian di atas, maka pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk membantu orang-orang agar dapat menolong diri mereka sendiri atau upaya untuk memimpin orang-orang agar belajar memimpin diri mereka sendiri dalam menggapai tujuannya. Agar tujuan pemberdayaan masyarakat dapat dicapai, Jahi (2006) menyatakan diperlukan beberapa persyaratan berikut: (1) Kemandirian masyarakat lokal, otonomi dalam pembuatan keputusan pada

tingkat desa, dan partisipasi langsung yang demokratis dalam proses pemerintahan melalui perwakilan. Hal ini menyiratkan bahwa masyarakat yang berdaya harus mempunyai kemandirian (bersifat mandiri), mampu membuat atau mengambil keputusan.

(2) Adanya ruang bagi ekspresi budaya dan kesejahteraan spiritual dan experiential social learning. Masyarakat yang berdaya harus memiliki kebebasan berekspresi, termasuk ekspresi budaya yang dimilikinya tanpa


(29)

adanya rasa khawatir terhadap pihak lain. Mereka mau dan mampu belajar dari pengalaman hidup bermasyarakat untuk memperbaiki sistem sosialnya. (3) Akses pada lahan dan sumberdaya lain, pendidikan untuk perubahan, dan

perumahan dan fasilitas kesehatan. Masyarakat yang berdaya memiliki akses pada lahan dan sumberdaya lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, akses pada pendidikan yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas berpikir; memiliki rumah yang layak untuk tinggal bersama keluarganya, serta memiliki akses pada pelayanan kesehatan yang memadai.

(4) Akses pada pengetahuan dan keterampilan (internal maupun eksternal) untuk menjaga stok modal alami dan lingkungan secara sinambung. Pengetahuan dan keterampilan merupakan modal utama bagi seseorang atau sekelompok orang agar dapat berdaya dan mandiri.

(5) Akses pada pelatihan keterampilan, teknik-teknik pemecahan masalah, teknologi tepat guna dan informasi. Pengetahuan dan keterampilan tersebut dapat digunakan untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi sehingga ia tidak tergantung pada pihak lain.

(6) Partisipasi dalam proses pembuatan keputusan oleh semua orang, terutama wanita dan pemuda. Keputusan yang diambil berdasarkan kesepakatan dan melibatkan semua elemen masyarakat akan menjamin terlaksa-nanya program pemberdayaan yang ditrencanakan.

Kemandirian masyarakat dapat dikategorikan sebagai kemandirian material, kemandirian intelektual, dan kemandirian manajemen (Nasdian, 2006:59). Kemandirian material merupakan kemampuan produktif untuk memenuhi kebutuhan dasar serta cadangan dan mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu kritis. Kemandirian intelektual merupakan pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh komunitas yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi yang lebih halus yang muncul di luar kontrol terhadap pengetahuan tersebut. Kemandiirian manajemen adalah kemampuan otonom untuk membina diri dan menjalani serta mengelola kegiatan kolektif agar ada perubahan dalam situasi kehidupan mereka. Sejalan dengan pemikiran tersebut, pemberdayaan dikatakan sebagai upaya menumbuhkan peranserta dan kemandirian sehingga masyarakat baik di tingkat individu, kelompok, kelembagaan, maupun komunitas memiliki tingkat kesejahteraan yang jauh lebih baik dari sebelumnya, memiliki akses pada sumberdaya, memiliki


(30)

kesadaran kritis, mampu melakukan pengorganisasian dan kontrol sosial dari segala aktivitas pembangunan yang dilakukan di lingkungannya.

Konsep pemberdayaan telah mewarnai paradigma pembangunan. Pada tataran kehidupan bernegara, pemberdayaan dimaknai sebagai partisipasi yang setara antara pemerintah, swasta, dan masyarakat (Syahyuti, 2006:212). Dengan demikian, pemerintah, swasta dan masyarakat memiliki tanggungjawab yang sama dalam upaya pencapaian tujuan pembangunan. Pemerintah sebagai institusi formal berperan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di segala sektor. Swasta dapat berperan sebagai patner pemerintah dalam pelaksanaan pada satu atau beberapa sektor pemba-ngunan. Masyarakat harus berperan sebagai subyek dan obyek pembangunan dengan pengertian bahwa masyarakat harus dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, melakukan evaluasi, dan menikmati hasil-hasil pembangunan.

Dari berbagai pandangan mengenai konsep pemberdayaan, maka dapat disarikan, bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah penguatan kepemilikan faktor-faktor produksi, penguatan penguasaan distribusi dan pemasaran, penguatan masyarakat untuk mendapatkan gaji/upah yang memadai, dan penguatan masyarakat untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan keterampilan, yang harus dilakukan secara multi aspek, baik dari aspek masyarakatnya sendiri, mapun aspek kebijakannya. Karena persoalan atau isu strategis perekonomian masyarakat bersifat lokal spesifik dan problem spesifik, maka konsep dan operasional pemberdayaan ekonomi masyarakat tidak dapat diformulasikan secara generik. Usaha memformulasikan konsep, pendekatan, dan bentuk operasional pemberdayaan ekonomi masyarakat secara generik memang penting, tetapi yang jauh lebih penting adalah pemahaman bersama secara jernih terhadap karakteristik permasalahan ketidakberdayaan masyarakat di bidang ekonomi. Dengan pemahaman yang jernih mengenai pemberdayaan ekonomi masyarakat, akan lebih produktif dalam memformulasikan konsep, pendekatan, dan bentuk operasional pemberdayaan ekonomi masyarakat yang sesuai dengan karakteristik permasalahan lokal.

Damanhuri (Suparjan dan Hempri Suyatno, 2003:12) menyatakan bahwa pemberdayaan ekonomi rakyat merupakan salah satu elemen strategis dalam paradigma baru pembangunan. Bila ekonomi rakyat berkembang, maka pendapatan dan kesejahteraan rakyat akan meningkat sebab kebutuhan ekonomi mereka semakin terpenuhi. Dengan pemberdayaan ekonomi rakyat


(31)

maka partisipasi aktif dalam pembagunan akan menjadi pendorong dari dalam (inner drive). Bila partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan meningkat maka tujuan akhir pembangunan akan lebih mudah dicapai.

Dari berbagai tulisan Sumodiningrat (1999), konsep pemberdayaan ekonomi secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:

(1) Perekonomian rakyat adalah pereknomian yang diselenggarakan oleh rakyat. Perekonomian yang diselenggarakan oleh rakyat adalah bahwa perekono-mian nasional yang berakar pada potensi dan kekuatan masyarakat secara luas untuk menjalankan roda perekonomian mereka sendiri. Pengertian rakyat adalah semua warga negara.

(2) Pemberdayaan ekonomi rakyat adalah usaha untuk menjadikan ekonomi yang kuat, besar, modern, dan berdaya saing tinggi dalam mekanisme pasar yang benar. Karena kendala pengembangan ekonomi rakyat adalah kendala struktural, maka pemberdayaan ekonomi rakyat harus dilakukan melalui perubahan struktural.

(3) Perubahan struktural yang dimaksud adalah perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi kuat, dari ekonomi subsisten ke ekonomi pasar, dari ketergantungan ke kemandirian. Langkah-langkah proses perubahan struktur, meliputi: (1) pengalokasian sumber pemberdayaan sumberdaya, (2) penguatan kelembagaan, (3) pengu-asaan teknologi, dan (4) pemberdayaan sumberdaya manusia.

(4) Pemberdayaan ekonomi rakyat, tidak cukup hanya dengan peningkatan produktivitas, memberikan kesempatan berusaha yang sama, dan hanya memberikan suntikan modal sebagai stumulan, tetapi harus dijamin adanya kerjasama dan kemitraan yang erat antara yang telah maju dengan yang masih lemah dan belum berkembang.

(5) Kebijakan yang harus dilaksanakan dalam pemberdayaan ekonomi rakyat adalah: (1) pemberian peluang atau akses yang lebih besar kepada aset produksi (khususnya modal), (2) memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat, agar pelaku ekonomi rakyat bukan sekadar price taker, (3) pelayanan pendidikan dan kesehatan, (4) penguatan industri kecil, (5) mendorong munculnya wirausaha baru, dan (6) pemerataan spasial. (6) Kegiatan pemberdayaan masyarakat mencakup: (1) peningkatan akses

terhadap bantuan modal usaha, (2) peningkatan akses terhadap pengem-bangan SDM, dan (3) peningkatan akses ke sarana dan prasarana yang


(32)

mendukung langsung sosial ekonomi masyarakat lokal.

Dari enam butir pokok mengenai konsep pemberdayaan masyarakat ini, dapat disarikan, bahwa: (1) pemberdayaan masyarakat tidak dapat dilakukan hanya melalui pendekatan daun saja, atau cabang saja, atau batang saja, atau akar saja; karena permasalahan yang dihadapi memang ada pada masing-masing aspek; (2) pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi tidak cukup hanya dengan pemberian modal bergulir, tetapi juga harus ada penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat, penguatan sumberdaya manusianya, penyediaan prasarananya, dan penguatan posisi tawarnya, (3) pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi atau penguatan ekonomi rakyat, harus dilakukan secara elegan tanpa menghambat dan mendiskriminasikan ekonomi kuat; untuk itu kemitraan antar usaha mikro, usaha kecil usaha menengah, dan usaha besar adalah jalan yang harus ditempuh, (4) pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi adalah proses penguatan ekonomi rakyat menuju ekonomi rakyat yang kokoh, modern, efisien, dan (5) pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi, tidak dapat dilakukan melalui pendekatan individu, melainkan harus melalui pendekatan kelompok.

Dinamika Kelompok Masyarakat

Sejalan dengan pendapat para pakar yang menyatakan bahwa pemberdayaan sebagai upaya menumbuhkan peranserta dan kemandirian sehingga masyarakat baik di tingkat individu, kelompok, kelembagaan, maupun komunitas memiliki tingkat kesejahteraan yang jauh lebih baik dari sebelumnya, memiliki akses pada sumberdaya, memiliki kesadaran kritis, mampu melakukan pengorganisasian dan kontrol sosial dari segala aktivitas pembangunan yang dilakukan di lingkungannya, maka untuk mencapai keberhasilan dalam program pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi, dapat dilakukan melalui pende-katan kelompok. Pendepende-katan tersebut menghendaki adanya kelompok-kelompok masyarakat yang mampu memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan sumber-daya manusia yang dimiliki. Kelompok-kelompok tersebut diharapkan mampu memanfaatkan setiap peluang yang ada sehingga bermanfaat bagi anggota (kemandirian manajemen), yang mendorong setiap anggota menjadi bersemangat dan energik serta penuh dinamika. Dengan demikian anggota masyarakat dapat melakukan usaha ekonomi produktif secara ekonomis, efektif, dan efisien.


(33)

Pengertian dinamika kelompok dapat diartikan melalui asal katanya, yaitu dinamika dan kelompok. Dinamika adalah sesuatu yang mengandung arti tenaga kekuatan, selalu bergerak, berkembang dan dapat menyesuaikan diri secara memadai terhadap keadaan. Dinamika juga berarti adanya interaksi dan saling ketergantungan antara anggota kelompok dengan kelompok secara keseluruhan. Keadaan ini dapat terjadi karena selama ada kelompok, semangat kelompok (group spirit) terus-menerus ada dalam kelompok itu, oleh karena itu kelompok tersebut bersifat dinamis, artinya setiap saat kelompok yang bersangkutan dapat berubah. Slamet (2003) meyatakan bahwa dinamika kelompok merupakan aktivitas, sepak terjang anggota, kekuatan-kekuatan yang terdapat di dalam atau luar lingkungan yang menentukan perilaku anggota dalam mencapai tujuan bersama atau kelompok.

Kelompok adalah kumpulan orang-orang yang merupakan kesatuan sosial yang mengadakan interaksi yang intensif dan mempunyai tujuan bersama. Beberapa pakar mendefinisikan kelompok sebagai beberapa orang yang bergaul satu dengan yang lain. Kurt Lewin berpendapat ”the essence of a group is not the similarity or dissimilarity of its members but their interdependence.” Kelompok adalah suatu unit yang terdapat beberapa individu, yang mempunyai kemampuan untuk berbuat dengan kesatuannya dengan cara dan dasar kesatuan persepsi. Interaksi antar anggota kelompok dapat menimbulkan kerja sama apabila masing-masing anggota kelompok:

(1) Mengerti akan tujuan yang dibebankan di dalam kelompok tersebut (2) Adanya saling menghomati di antara anggota-anggotanya

(3) Adanya saling menghargai pendapat anggota lain

(4) Adanya saling keterbukaan, toleransi dan kejujuran di antara anggota kelompok

Menurut Reitz (Santosa: 2004), kelompok mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) terdiri dari dua orang atau lebih, (2) berinteraksi satu sama lain, (3) saling membagi beberapa tujuan yang sama, dan (4) melihat dirinya sebagai suatu kelompok.

Dari berbagai pendapat ahli pengertian kelompok tidak terlepas dari elemen keberadaan dua orang atau lebih yang melakukan interaksi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Kelompok merupakan suatu kelompok yang terdiri dari dua atau lebih individu yang memiliki hubungan psikologi secara jelas antara anggota satu dengan yang lain yang dapat


(34)

berlangsung dalam situasi yang dialami secara bersama. Dinamika kelompok juga dapat didefinisikan sebagai konsep yang menggambarkan proses kelompok yang selalu bergerak, berkembang dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang selalu berubah-ubah. Dinamika kelompok mempunyai beberapa tujuan, antara lain:

(1) Membangkitkan kepekaan diri seorang anggota kelompok terhadap anggota kelompok lain, sehingga dapat menimbulkan rasa saling menghargai

(2) Menimbulkan rasa solidaritas anggota sehingga dapat saling menghormati dan saling menghargai pendapat orang lain

(3) Menciptakan komunikasi yang terbuka terhadap sesama anggota kelompok (4) Menimbulkan adanya itikad yang baik di antara sesama anggota kelompok.

Proses dinamika kelompok mulai dari individu sebagai pribadi yang masuk ke dalam kelompok dengan latar belakang yang berbeda-beda, belum mengenal antar individu yang ada dalam kelompok. Mereka membeku seperti es. Individu yang bersangkutan akan berusaha untuk mengenal individu yang lain. Es yang membeku lama-kelamaan mulai mencair, proses ini disebut sebagai “ice breaking.” Setelah saling mengenal, dimulailah berbagai diskusi kelompok, yang kadang diskusi bisa sampai memanas, proses ini disebut ”storming.” Storming akan membawa perubahan pada sikap dan perilaku individu, pada proses ini individu mengalami ”forming.” Dalam setiap kelompok harus ada aturan main yang disepakati bersama oleh semua anggota kelompok dan pengatur perilaku semua anggota kelompok, proses ini disebut ”norming.” Berdasarkan aturan inilah individu dan kelompok melakukan berbagai kegiatan, proses ini disebut ”performing.” Secara singkat proses dinamika kelompok dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Proses Dinamika Kelompok

Ada beberapa alasan pentingnya mempelajari dinamika kelompok dalam masyarakat:

(1) Individu tidak mungkin hidup sendiri di dalam masyarakat.

Individu Ice Breaking Storming Forming

Norming Performing


(35)

(2) Individu tidak dapat bekerja sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. (3) Dalam masyarakat yang besar, perlu adanya pembagian kerja agar

pekerjaan dapat terlaksana dengan baik.

Masyarakat yang demokratis dapat berjalan baik apabila lembaga sosial dapat bekerja dengan efektif.

Pendekatan-pendekatan Dinamika Kelompok

Dinamika kelompok telah menjadi bahan persaingan dari para ahli psikologi, ahli sosiologi, ahli psikologi sosial, maupun ahli yang menganggap dinamika kelompok sebagai eksperimen. Hal tersebut membawa pengaruh terhadap pendekatan-pendekatan yang ada dalam mempelajari dinamika kelompok:

(1) Pendekatan oleh Bales dan Homans

Pendekatan ini mendasarkan pada konsep adanya aksi, interaksi, dan situasi yang ada dalam kelompok. Homans menambahkan, dengan adanya interaksi dalam kelompok, maka kelompok yang bersangkutan merupakan sistem interdependensi, dengan sifat-sifat:

a) Adanya stratifikasi kedudukan warga.

b) Adanya diferensiasi dalam hubungan dan pengaruh antara anggota kelompok yang satu dengan yang lain.

c) Adanya perkembangan pada sistem intern kelompok yang diakibatkan adanya pengaruh faktor-faktor dari luar.

(2) Pendekatan oleh Stogdill

Pendekatan ini lebih menekankan pada sifat-sifat kepemimpinan dalam bentuk organisasi formal. Stogdill menambahkan bahwa yang dimaksud kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi aktivitas kelompok yang terorganisir sebagai usaha untuk mencapai tujuan kelompok. Kelompok terorganisir yang dimaksud disini adalah kelompok yang tiap-tiap anggotanya mendapat tanggungan dalam hubungannya dengan pembagian tugas untuk mencapai kerja sama dalam kelompok.

(3) Pendekatan dari ahli Psycho Analysis (Freud dan Scheidlinger)

Scheidlinger berpendapat bahwa aspek-aspek motif dan emosional memegang peranan penting dalam kehidupan kelompok. Kelompok akan terbentuk apabila didasarkan pada kesamaan motif antar anggota kelompok, demikian pula emosional yang sama akan menjadi tenaga pemersatu dala kelompok, sehingga kelompok tersebut semakin kokoh. Freud berpendapat


(1)

Model ini didasarkan atas beberapa pertimbangan berikut:

(1) Implementasi CSR akan berhasil bila direncanakan dengan baik. Proses perencanaan merupakan bagian program yang tidak dapat dihilangkan.

(2) Implementasi program CSR oleh perusahaan harus melibatkan semua pemangku kepentingan (stake holders) dalam setiap tahap kegiatan.

(3) Keberhasilan program CSR sangat ditentukan oleh kesesuaian program degan kebutuhan masyarakat, sehingga langkah identifikasi kebutuhan (need assesment) dan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan program tidak dapat diabaikan.

(4) Masyarakat diberi kewenangan untuk mengevaluasi keberhasilan atau kegagalan dari program yang sudah mereka jalankan.

(5) Optimalisasi peranan tenaga fasilitator dalam pelaksanaan program CSR. Tenaga fasilitator tersebut dapat berasal dari karyawan perusahaan atau pihak ketiga (perguruan tinggi yang ditunjuk oleh perusahaan) yang memiliki kompetensi di bidang yang sesuai dengan kebutuhan program..

Strategi Implementasi Model CSR Partisipatif

Mempertimbangkan hasil analisis yang telah dilakukan, implementasi model CSR dalam pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan lebih tepat menerapkan strategi ekonomi dengan faktor kritis berupa penyebab rendahnya pendapatan masyarakat sekitar perusahaan dan sistem manajemen program CSR oleh perusahaan. Pelaksanaan strategi pemberdayaan masyarakat tersebut dilakukan secara bertahap, dimulai dari tahap awal sampai pada tahap evaluasi keberhasilan (outcome dan impact).

Tahapan atau langkah pelaksanaan kegiatan diharapkan akan membantu keberhasilan tahap berikutnya.

¾ Tahap pertama, perlu dilakukan analisis secara seksama terhadap masalah kesenjangan yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat sekitar. Hal ini dilakukan sebagai langkah antisipasi terhadap perubahan sosial (terutama yang bersifat negatif dan destruktif).

¾ Tahap kedua, inisiasi program CSR yang dimulai dengan proses need assessment secara seksama dan sosialisasi program secara transparan. Analisis kebutuhan dijadikan dasar atau prioritas rencana program yang akan


(2)

pemerintah atau konsensus antar perusahaan bahwa setiap perusahaan menganggarkan dua persen dari keuntungan perusahaan untuk program CSR dapat menjadi tolok ukur seberapa besar komitmen perusahaan dalam melaksanakan tanggungjawab sosialnya. Namun demikian, kendala yang dihadapi adalah kejujuran manajemen perusahaan yang belum “go public” dalam melaporkan atau menginformasikan jumlah keuntungan perusahaan setiap tahunnya. Sebagai badan usaha yang belum “go public”, laporan pertanggungjawaban perusahaan (termasuk jumlah keuntungan) tidak ada keharusan untuk memberikan laporan secara terbuka.

¾ Tahap ketiga, langkah pengembangan, mediasi, fasilitasi, pembinaan, dan pendampingan kelompok sasaran. Masyarakat yang belum memiliki lembaga kelompok difasilitasi untuk membentuk dan membangun lembaga kelompok. Melalui kelompok-kelompok yang ada kegiatan fasilitasi, mediasi, pembinaan, dan pendampingan dan dilakukan secara efektif dan efisien. ¾ Tahap keempat, penetapan jenis usaha dan pelaksanaan usaha ekonomi

produktif yang dikembangkan. Melalui kelompok-kelompok yang sudah terbentuk, jenis usaha yang akan mereka kembangkan merupakan kesepakatan kelompok dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia kelompok.

¾ Tahap kelima, operasionalisasi usaha ekonomi produktif kelompok sasaran. Pelaksanaan dan pengelolaan usaha ekonomi produktif dilakukan dari, oleh, dan untuk anggota kelompok. Pada awalnya, pengelolaan dapat didampingi oleh tenaga fasilitatator, hal ini diarahkan agar secepatnya kelompok dapat mengelola usahanya secara mandiri.

¾ Tahap keenam, pengembangan inovasi bagi peningkatan produktivitas usaha ekonomi produktif. Agar usaha ekonomi produktif dapat bersaing, maka upaya pengembangan inovasi merupakan syarat yang tidak dapat ditawar lagi. Pengembangan inovasi dapat berasal dari dalam kelompok atau masukan dari luar kelompok.

¾ Tahap ketujuh, kegiatan evaluasi keberhasilan untuk melihat sejauh mana pencapaian tujuan program dari aspek sosial dan ekonomis. Langkah evaluasi dilakukan pada setiap tahap kegiatan, dimulai dari perencanaan, pelaksanaan (monitoring), sampai tahap evaluasi hasil.


(3)

Untuk mempermudah penerapan model yang diajukan, secara skematis disajikan pada Gambar 19. Penjabaran pelaksanaan model di lapangan dijabarkan dalam kerangka model strategi seperti disajikan pada Tabel 69.

Gambar 19. Diagram Model Implementasi CSR Partisipatif

Bila sasaran program yang teridentifikasi adalah kelompok masyarakat yang anggotanya tidak terlalu banyak (kurang dari 20 orang), penyusunan program dapat dilakukan dengan teknik perencanaan strategis partisipatif (Gaventa dan Valderama, 2004:68). Proses baku perencanaan strategis partisipatif (participatory strategic planning) merupakan sebuah terapan dari metode fasilitasi kelompok yang terdiri dari empat pertemuan (session) yakni identifikasi kebutuhan (real need), curah pendapat, perumusan visi, dan finalisasi

Analisis Kondisi Awal

dan Analisis Kebutuhan Masyarakat

Sekitar

Penyusunan Program CSR melibatkan

semua Pemangku Kepentingan (Partisipatif)

Fasilitasi, mediasi, pendamping-an, pelayanpendamping-an,

dan mobilisasi

Peningkatan pengetahuan, keterampilan,

sikap, dan produktivitas

usaha ekonomi

Peningkatan pendapatan

dan pemenuhan

kebutuhan dasar masyarakat Sosialisasi

Program CSR kepada kelompok

sasaran

Pembekalan tenaga

fasilitator Masyarakat

sekitar perusahaan

makin sejahtera


(4)

Tabel 69. Model Strategi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat melalui Implementasi Program CSR

Kondisi Awal Input Proses Output Outcome Impact

ƒKesenjang an ekonomi dan kecemburu an social antara masyarakat sekitar dengan perusahaa n. ƒ Undang-undang No. 47 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ƒAntisipasi perubahan sosial

Program aksi studi komunitas bersama masyarakat (participatory community study) ƒReorientasi partisipatif dalam penyusunan program CSR ƒSosialisasi program pada kelompok sasaran dan masyarakat ƒPendanaan program CSR perusahaan secara transparan. ƒIdentifikasi kelompok dan kebutuhan kelompok sasaran/masya rakat dengan teknik PRA. ƒIdentifikasi jenis

usaha ekonomi produktif yang dapat dikembangkan. ƒIdentifikasi kebutuhan dan rekruitmen fasilitator program CSR ƒPembekalan bagi tenaga fasilitator (pendekatan andragogi, komunikasi efektif, pengembangan motivasi, dsb) ƒPengembang an aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik bagi sasaran. ƒMenjembatan i kepentingan perusahaan dan kelompok sasaran (masyarakat sekitar perusahaan) serta dengan pihak lain. ƒFasilitasi demi kemudahan sarana prasarana usaha ekonomi produktif ƒMediasi kelompok sasaran dengan sumber modal ƒPendampinga n kelompok sasaran secara optimal ƒTingkat pengetahuan, keterampilan dan sikap yang optimal bagi usaha ekonomi produktif terpilih ƒBerkembangn ya dinamika kelompok sasaran binaan program CSR ƒMeningkatnya kemampuan modal usaha kelompok sasaran (masyarakat). ƒMeningkatnya produktivitas usaha ekonomi produktif ƒMeningkatnya pendapatan masyarakat sekitar perusahaan ƒMeningkatnya derajad kemandirian kelompok sasaran / masyarakat dalam berusaha ekonomi produktif. ƒBerkembangn ya usaha ekonomi produktif di sekitar perusahaan berbasis sumberdaya lokal. ƒ Berkurang-nya kesenjanga n social dan ekonomi antara masyarakat sekitar dengan perusahaan ƒMeningkatn ya kesejahtera an masyarakat sekitar perusahaan .


(5)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan disimpulkan:

(1) Persepsi masyarakat terhadap CSR merupakan kegiatan perusahaan membantu masyarakat di bidang fisik, sosial, budaya, dan atau ekonomi agar masyarakat lebih berdaya dan mandiri sehingga mereka terbantu dalam meningkatkan kesejahteraannya. Manajemen perusahaan memahami bahwa dengan memberikan bantuan di bidang fisik untuk pembangunan prasarana pendidikan, ibadah, dan sosial, bantuan pendidikan, dan menjalin kemitraan dengan masyarakat berarti perusahaan telah melaksanakan tanggungjawab sosialnya. Pengelolaan limbah cair dengan instalasi pengolahan limbah yang dimiliki perusahaan, berarti manajemen perusahaan telah melaksanakan tanggungjawab lingkungannya.

(2) Karakter individu masyarakat dan kualitas program CSR tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan perilaku berusaha, sedangkan kompetensi fasilitator dan faktor pendukung berpengaruh nyata terhadap perubahan perilaku berusaha masyarakat.

(3) Perilaku berusaha berpengaruh nyata terhadap tingkat keberdayaan ekonomi masyarakat.

(4) Model CSR Integratif dan CSR Partisipatif lebih tepat diterapkan dalam implementasi CSR di Provinsi Lampung. Model CSR Inegratif dapat meminimalkan konflik antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya, sedangkan Model CSR Partisipatif dapat menampung aspirasi dan kebutuhan dasar masyarakat sekitar perusahaan yang diakomodasi dalam program CSR yang akan dijalankan oleh perusahaan.

Saran

(1) Jajaran manajemen perusahaan seharusnya memahami implementasi

program CSR bukan sebagai program karitatif. Implementasi program CSR seharusnya diarahkan guna membangun kepekaan dan kepedulian perusahaan terhadap semua pemangku kepentingan, terutama masyarakat sekitar perusahaan. Pemahaman terhadap kewajiban pelaksanaan CSR


(6)

sehingga program CSR dapat terintegrasi dengan program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat.

(2) Banyaknya isu tuntutan masyarakat sekitar terhadap perusahaan agroindustri yang memanfaatkan sumberdaya lahan di Lampung dapat diantisipasi dengan penerapan model CSR yang sesuai. Pelaksanaan CSR oleh perusahaan disarankan mengikuti model CSR integratif melalui manajemen isu dan manajemen pemangku kepentingan.

(3) Pemerintah harus berperan dalam mendorong perusahaan yang mengelola sumberdaya alam untuk menerapkan tanggungjawab sosialnya, serta melibatkan masyarakat untuk aktif mengoreksi dampak pembangunan dengan mengembangkan prakarsa pembuatan aturan perilaku yang dapat menjadi pedoman masyarakat dalam menyampaikan aspirasi melalui mekanisme yang disepakati, sehingga mereka berifat kritis untuk menjaga akuntabilitas program CSR di wilayahnya.

(4) Agar Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas lebih mudah diimplementasikan, maka perlu ditetapkan rumusan penjabaran operasional pasal tersebut. Selain itu, perlu disepakati adanya keharusan bagi perusahaan pelaksana program CSR untuk siap diaudit oleh pihak ketiga dalam mengalokasikan dana CSR perusahaan yang bersumber dari keuntungan perusahaan.