Kajian penggunaan unsur N dan P pada tanaman legum pakan dan non legum untuk sistem integrasi

(1)

DALAM SISTEM INTEGRASI

RAHMI DIANITA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kajian Penggunaan Unsur Nitrogen dan Fosfor pada Tanaman Legum dan Non Legum dalam Sistem Integrasi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

Rahmi Dianita D 061050051


(3)

RAHMI DIANITA. Study of Nitrogen and Phosphorus Utilization on Legume and non Legume Plants in Integrated System. Under supervised of LUKI ABDULLAH, SOEDARMADI H, IRDIKA MANSUR and HADI SUMARNO.

Sustainable forage production is one of the most important factors in livestock production. Food and fodder supply program may be supported by managing intercropping system in the fields, as the land owned by farmer becomes limited. Knowledge in nutrient-competition and transfer in integrated forage-tree and forage-crops system is very crucial to set up management strategy in establishing such production system. This experiment was to study the utilization of N and P on legume and non legume plants in integrated system. The first experiment was conducted to examine the effect of nitrogen on growth of some shade-tolerant forage species. The second experiment was conducted to reveal the utilization of P and N between shrubby legume Indigofera zollingeriana and food crops plant Setaria italica(L.) Beauv (Hotong) in intercropping model. The first experiment showed thatAxonopus compressus proved more persistence and reached the best growth among other introduced species. In this experiment, nitrogen application did not significantly affect the growth of the creeping forages. Due to N application A. compressus shoot showed higher N concentration compared to other grass species. The second experiment showed that utilization of biological input such as arbuscular mycorrhizal fungi (FMA) had positive effect on phosphorous and nitrogen utilization in leguminous forage Indigofera zollingeriana (Indigofera) and Hotong which were grown in intercropping. Mycorrhizal hyphae played important role in P and N transfer between I. ZollingerianaandS.Italica that took place after 90 days after establihment

Keywords: nitrogen, phosphorous, creeping forages, mycorrhiza, integrated system


(4)

RAHMI DIANITA. Kajian Penggunaan Unsur N dan P pada Tanaman Legum Pakan dan Non Legum untuk Sistem Integrasi. Dibimbing oleh LUKI ABDULLAH, SOEDARMADI H, IRDIKA MANSUR dan HADI SUMARNO.

Produksi hijauan pakan berkelanjutan merupakan salah satu faktor penting dalam pengembangan produksi ternak. Program penyediaan pangan dan pakan harus didukung oleh manajemen penanaman sistem tumpangsari di lapangan, karena terbatasnya lahan yang dimiliki oleh petani. Pengetahuan tentang kompetisi dan transfer unsur hara dalam sistem integrasi tanaman pakan-tanaman pohon dan tanaman pakan dan tanaman pangan sangat krusial untuk mendesain strategi manajemen dalam pengembangan sistem produksi tersebut. Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam mengintegrasikan dua komponen tanaman yang terkait langsung dengan kualitas dan akumulasi bahan kering adalah adalah penambahan unsur hara ke dalam sistem, khususnya unsur hara nitrogen dan fosfor. Mengingat pentingnya peranan nitrogen dan fosfor pada tanaman, tetapi disisi lain belum begitu jelas proses penyediaannya di dalam tanah dan penggunaannya oleh individu tanaman dan komunitas tanaman, maka penelitian tentang kajian penggunaan unsur nitrogen dan fosfor dalam suatu sistem integrasi perlu dilakukan.

Penelitian ini terdiri atas 2 (dua) penelitian. Penelitian pertama untuk mengetahui respon karakteristik morfologi dan produksi berat kering dari beberapa tanaman hijauan menjalar terhadap pemupukan nitrogen. Penelitian ini dilakukan dalam skala rumah kaca. Penelitian didesain dengan menggunakan rancangan acak lengkap dengan pola faktorial; 4 spesies tanaman hijauan menjalar (stoloniferous); PN = Paspalum notatum, BH = Brachiaria humidicola,AC = Axonopus compressus dan AP = Arachis pintoi, dan 2 level pemupukan nitrogen/urea, yaitu (-N) = tanpa pupuk dan (+N) = 300 Kg urea/ha). Pengamatan pertumbuhan tanaman meliputi: panjang tanaman, pertambahan panjang tanaman, jumlah daun, bobot kering tajuk tanaman, bobot kering akar, rasio tajuk-akar, senescense, status N, P dan K tanah. Data yang diperoleh dianalisis ragam. Perbedaan antar perlakuan dianalisis dengan Uji Beda Nyata Terkecil (Steel dan Torrie, 1989). Penelitian kedua untuk mengetahui penggunaan unsur P dan N antara tanaman legum pakan dan non legum dalam suatu model sistem tumpangsari. Penelitian dilaksanakan pada skala rumah kaca. Penelitian ini dirancang dengan desainPre-Experimental;static group comparison(Cooper dan Schindler, 2003). Level pemupukan pupuk P terdiri atas 0, 60, dan 120 Kg P/ha, sedangkan penggunaan mikoriza adalah tanpa mikoriza (-M) dan dengan mikoriza (+M), sebanyak 5 g/pot. Peubah yang diamati meliputi pertumbuhan dan kualitas, serta dinamika unsur hara dalam sistem tumpangsari. Data yang diperoleh dari pengamatan dianalisis secara deskriptif untuk melihat pengaruh dari perlakuan yang diberikan. Uji t dilakukan untuk melihat perbedaan antar pengaruh perlakuan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesies indigenous A. compressus terbukti lebih persisten dan mencapai pertumbuhan yang paling baik di antara spesies hijauan introduksi lainnya. Penggunaan unsur nitrogen yang diperoleh


(5)

tanaman dalam memfiksasi nitrogen bebas dengan pembetukan nodul pada akar. Kapasitas yang sama yang ada pada spesies tanaman non legum seperti A. compressus dengan asosiasi non simbiosisnya di dalam rhizosfer mengakibatkan tingginya kandungan nitrogen pada tajuk beserta serapannya. Respon terhadap unsur nitrogen berbeda pada setiap spesies. Hal ini memungkinkan adanya respon yang berbeda untuk unsur yang lain seperti fosfor. Ditambah lagi, jika terdapat dua atau lebih tanaman yang secara bersama mempunyai peluang untuk menggunakan unsur hara tersebut dalam suatu proses biologis yang bersifat sinergis, yaitu antara tanaman legum dan non legum. Dari rangkaian penelitian ini dapat diketahui bahwa penggunaan input biologi seperti fungi mikoriza arbuskula (FMA) memberikan pengaruh yang positif terhadap penggunaan unsur fosfor dan nitrogen pada tanaman legum pakan Indigofera zollingeriana (Indigofera) dan non legumSetaria italica(L.) Beauv (Hotong) yang ditanam secara tumpangsari. Hifa mikoriza yang berkembang pada tanaman non legum mampu membantu pelarutan fosfor yang berasal dari fosfat alam pada tanaman legum dan menjadi media/jembatan bagi proses transfer unsur fosfor dan nitrogen terhadap tanaman non legum. Mikoriza membutuhkan waktu untuk tumbuh, berkembang dan menjalankan fungsinya pada sistem perakaran baru dan berkembang dengan baik. Hubungan yang sinergis ini baru terlihat pada tanaman yang berumur 90 hari. Peran mikoriza sangat penting sebagai jembatan transfer unsur hara pada tanaman dalam sistem tumpangsari Indigofera dan Hotong, sehingga menciptakan sistem penyediaan nutrien berkelanjutan.

Kata kunci: fosfor, nitrogen, rumput menjalar (stoloniferous), mikoriza, sistem integrasi


(6)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

DALAM SISTEM INTEGRASI

RAHMI DIANITA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

(Staf Pengajar INTP Fapet, IPB)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Nurhayati D. Purwantari (Peneliti Balitnak, Ciawi) 2. Dr.Ir. Haryadi, MS.c


(9)

Judul Disertasi : : Kajian Penggunaan Unsur Nitrogen dan Fosfor pada Tanaman Legum dan Non Legum dalam Sistem Integrasi

Nama : Rahmi Dianita

NRP : D 061050051

Program Studi : Ilmu Ternak

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr. Ketua

Prof (EM) Dr.Ir. Soedarmadi H., M.Sc. Anggota

Dr.Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc. Anggota

Dr.Ir. Hadi Sumarno, MS. Anggota

Diketahui

Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan,

Dr.Ir.Idat Galih Permana, M.Sc.Agr.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr.Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(10)

rahmat dan petunjukNya sehingga karya ilmiah dengan judul Kajian Penggunaan Nitrogen dan Fosfor pada Tanaman Legum dan Non Legum dalam Sistem Integrasi, dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret 2010. Disertasi ini terdiri atas dua judul penelitian yang terdapat dalam Bab 2 dan Bab 3. Penelitian yang terdapat di dalam Bab 2 telah diterbitkan di Journal of Agricultural Science and Technology A 1dengan judulEffect of nitrogen fertilizer on growth characteristics and productivity of creeping forage plants for tree -pasture integrated system. Sebagian penelitian dari Bab 3 sedang dalam proses penelaahan pada jurnalMedia Peternakan.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Luki Abdullah, M.Sc. Agr. selaku ketua komisi pembimbing, Prof. (Em.) Dr.Ir. Soedarmadi, H, M.Sc., Dr.Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc., Dr.Ir. Hadi Sumarno, MS sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, dan atas kesabaran yang diberikan mulai dari persiapan proposal, pelaksanaan penelitian sampai selesainya penulisan laporan akhir. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Panca Dewi, MHKS.,MS dan Dr.Ir. Ahmad Darobin Lubis, M.Sc sebagai penguji luar komisi dalam ujian sidang tertutup, Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr. sebagai ketua dalam ujian sidang tertutup, Dr. nurhayati D Purwantari dari Balai Penelitian Ternak, Ciawi dan Dr.Ir. Haryadi, M.Sc. dari Fakultas Pertanian, IPB sebagai penguji luar komisi dalam ujian sidang terbuka.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Lembaga DIKTI yang telah memberikan beasiswa selama 3 tahun masa studi di IPB (semester Ganjil TA 2005 s/d semester Genap TA 2008) dan juga atas beasiswa program sandwich di Universitas Wageningen, Netherlands pada tahun 2008/2009. Ucapan terimakasih yang sama penulis ucapkan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Jambi dan Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi, Yayasan Toyota dan Astra, Indonesia yang telah memberikan bantuan dana kepada penulis setelah beasiswa DIKTI berakhir. Terima kasih kepada NUFFIC Netherlands Fellowship Program dan Fakultas Peternakan Universitas Jambi yang telah memberikan dana dan dukungan atas kegiatan penulis untuk short course dan berseminar serta memasukkan tulisan ke jurnal internasional semasa studi penulis.

Ungkapan terima kasih yang tak terhingga teruntuk Mama, kakak-kakak tercinta (Septi Maulina, Zakiah Martina, Agus Syafriadi, Mustamin, Abdul Malik, Amruddin, Hadi Sucipto) dan juga para keponakan (Noor Sholihin, Tania Salsabila, dan Insan Kamil) yang selalu memotivasi dan memberikan dukungan baik moral maupun materil, rasa damai, cinta dan doa yang tak henti-henti buat penulis. Kepada Ibu Dian Angraeni, Mbak Nur, Pak Ade, pak Jito dan mas Toni (teknisi laboratorium) yang telah ikut membantu kelancaran penelitian ini dan selama analisis di laboratorium. Kepada mas Supri sebagai staf Program Studi yang telah banyak membantu penulis dan juga selalu memberikan semangat baik bagi penulis maupun teman-teman pasca lainnya.

Terima kasih juga kepada teman-teman Pascasarjana, Suharlina, S.Pt., M.Si., Zahera S.Pt., M.Si., Meisji Liana Sari, S.Pt., M.Si, Dr. Efi Toding Tondok, SP.,M.Sc., Juang Gema Kartika, SP., M.Si., Dr.Ir. Agnitje Rumambi, MS.,


(11)

Terima kasih kepada teman-teman di Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Ir. Afzalani, MP selaku Dekan, Prof.Dr.Ir. RA. Muthalib, MS selaku ketua Lembaga Penelitian Universitas Jambi, Afriani H., S.Pt., MP., Dr.drh. Fahmida Manin, MS., Ir. Ella Hendalia, MS., teman-teman dari Lab. Hijauan dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Ir. Ubaidillah, MP., Dr.Ir. A. Rahman Sy., M.Sc., Dr.Ir. Hutwan Syarifudin, MP atas semua dukungan dan motivasi yang diberikan untuk penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2012


(12)

anak terakhir dari pasangan (alm) Drs. Sadino dan Nurdina. Pendidikan sarjana yang ditempuh di Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Jambi, lulus pada tahun 1995. Program Pascasarjana – Master Degree diperoleh dari Georg-August University of Goettingen, Jerman melalui beasiswa DAAD-GTZ dan menamatkannya pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke program doktor diperoleh pada tahun 2005. Beasiswa program doktor diperoleh dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-DIKTI. Selain itu, penulis juga mendapat dukungan dana dari Pemerintah Daerah Provinsi Jambi dan Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi, Yayasan Toyota dan Astra, Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Peternakan Universitas Jambi sejak tahun 1997. Bidang penelitian dan pengajaran yang menjadi tanggung jawab penulis adalah hijauan makanan ternak (agrostology).

Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota himpunan Asosiasi Ilmu Nutrisi Indonesia (AINI). Sebelum itu, penulis telah menjadi anggota himpunan Alumni Jerman se-Asia Tenggara (SEAG Alumni Network). Selama mengikuti program S3, penulis berkesempatan mengikuti beberapa seminar dan pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh himpunan profesi AINI dan SEAG. Pada tahun 2007, penulis mengikuti seminar AINI di Yogyakarta dan membawakan makalah dengan judul Komposisi botani dan hijauan yang diberikan pada ternak ruminansia di Kabupaten Muara Jambi, Provinsi Jambi dan dipublikasi dalam Proceedings Seminar Nasional AINI VI: Kearifan Lokal dalam Penyediaan serta Pengembangan Pakan dan Ternak di Era Globalisasi. Pada tahun 2009, penulis mengikuti pertemuan ilmiah dan seminar alumni SEAG dan membawakan makalah dengan judul Potential native species for silvopastoral system in un-managed Paraserianthes falcataria plantationdan dipublikasi dalam prosiding Promoting Biodiversity, Rainforest Protection, and Economic Development in Indonesia. Pada tahun 2011, penulis berkesempatan mengikuti seminar Sustainable Animal Agriculture for Developing Countries (SAADC 2011) dan membawakan makalah dengan judul Effect of nitrogen fertilizer on growth characteristics and productivity of creeping forage plants for tree -pasture integrated systemdan diterbitkan pada jurnalJournal of Agricultural Science and Technology A1.

Karya ilmiah yang kedua dan ketiga merupakan hasil dari penelitian yang penulis lakukan semasa menjalankan studi program doktor di IPB. Karya ilmiah yang terakhir merupakan bagian dari disertasi penulis. Selama mengikuti program S3, pada tahun 2009, penulis juga berkesempatan mengikutishort coursemelalui beasiswa dari NUFFIC-Netherlands Fellowship Program dengan judul “Agriculture in transition: analyses, design, and management of sustainable farming systems”. Pada tahun yang sama penulis mengikuti program sandwich dari DIKTI pada Wageningen University, Netherlands.


(13)

DAFTAR TABEL ……….. xiii

DAFTAR GAMBAR ………. xiv

DAFTAR LAMPIRAN ……….………. xv

1 PENDAHULUAN ….……….. 1

Latar belakang ……….………. 1

Tujuan penelitian ……….. 4

Manfaat enelitian ………..……… 4

Ruang Lingkup Penelitian ……… 4 2 PENGARUH PEMUPUKAN NITROGEN TERHADAP PERTUMBUHAN BEBERAPA TANAMAN HIJAUAN MENJALAR UNTUK INTEGRASI TANAMAN PAKAN - TANAMAN POHON TAHUNAN ………. 5

Pendahuluan ………. 5

Bahan dan Metode ……… 8

Hasil ………. 11

Pembahasan ………. 16

Simpulan ……….. 21

3 PENGGUNAAN UNSUR FOSFOR DAN NITROGEN PADA TANAMAN PAKANINDIGOFERA ZOLLINGERIANADAN SETARIA ITALICA(L.) BEAUV DALAM MODEL SISTEM TUMPANGSARI………. 22

Pendahuluan ... 22

Materi dan Metode ………... 27

Hasil ………. 35

Pertumbuhan tanaman ……….………….. 35

Kandungan hara dan serapan P dan N tajuk ………….………. 39

Status unsur hara P dan N tanah ……… 41

Pembahasan ... 45

Pertumbuhan tanaman ……….. 45

Kandungan hara dan serapan P dan N tajuk ………. 46

Status unsur hara P dan N tanah ……… 47

Simpulan ... 50

PEMBAHASAN UMUM ... 51 SIMPULAN DAN SARAN ……….………… 55


(14)

1. Kriteria penilaian kimia tanah

………...

9

2. Pertambahan tinggi, tinggi tanaman, jumlah daun, bobot kering tajuk dan akar, rasio tajuk-akar dansenescensetanaman hijauan menjalar selama 3 bulan penelitian ...

12

3. N-tanah, serapan N aktual, N-tajuk dan kandungan P and K tanah pada akhir penelitian….………...

15

4. Analisis kandungan N hara tanah sebelum perlakuan ……….. 29 5. Bobot kering tajuk dan akarIndigoferadan Hotong selama

penelitian………... 35

6. Infeksi akar pada tanaman Hotong dan Indigofera pada perlakuan (+M) ………..

38

7. Jumlah nodulIndigoferadan bobot kering malai Hotong selama penelitian ..………

38

8. Kandungan P dan N tajukIndigoferadan Hotong selama penelitian ... 39 9. Serapan P dan N tajukIndigoferadan Hotong selama penelitian…... 40 10. Kandungan P total dan P tersedia media tanam pada akhir penelitian .. 41 11. Kandungan P larutan tanah dan biomassa bakteri pelarut P (SPK/ml)

media tanam pada akhir penelitian …..………. 42

12 Kandungan N total, N-NH4+N-NO3- media tanam pada akhir

penelitian ..……… 43


(15)

Halaman 1. Tren pertumbuhan panjang spesies rumput menjalar selama 3 bulan

penelitian (PN =P. notatum, BH =B. humidicola,AC= A.

compressusdan AP =A. pintoi; (-N) = tanpa pupuk dan (+N) = 300 kg urea/ha)………...

11

2. Struktur akar tanaman hijauan menjalar (-N = tanpa pupuk dan +N =

300 kg Urea/ha) ………..

13

3. Daun menua dan mati sisa dari pemotongan awal dari bahan tanam (dalam lingkaran). (PN =P. notatum, BH =B. humidicola,AC= A. compressusdan AP =A. pintoi) ………...

14

4. Desain pot percobaan ………... 28 5. Lay out penelitian ………... 29 6. Proses penyemaian ... 31 7. Desain proses transfer hara P dan N tanaman legum pakanIndigofera

dan tanaman non legum Hotong dalam sistem tumpangsari……... 32

8. Aplikasi pupuk N dan K ………. 32 9. Akar Hotong dan Indigoferadengan perlakuan pupuk P(+M) umur 60

hari ………... 36


(16)

1. Lay outpenelitian I ………... 65

2. B. humidicolatanpa N (A),B. humidicoladenganN (B),P. notatum tanpa N (C),P. notatumdengan N (D), A. compressustanpa N (E),A.compressusdengan N (F),A. pintoitanpa N (G), andA. pintoidengan N (H) ………... 66 3. Pembuatan pot penelitian .………. 67

4. Prosedur analisis kandungan P tajuk.……….. 68

5. Prosedur analisis kandungan N tajuk (metodeKjeldahl) ………... 69

6. Pengamatan infeksi akar ……… 70

7. Prosedur analisis pH tanah ……… 71

8. Prosedur analisis P-total (HCl 25%) ………. 72

9. Prosedur analisis P-tersedia (P-Bray I) ………. 73

10. Prosedur analisis P larutan tanah (water soluble phosphate) ……… 74

11. Prosedur analisis bakteri pelarut P (dilution plate method………… 75

12. Prosedur analisis N-tersedia (N-NH4+dan N-NO3-)………... 76

13. Serangan hama dan penyakit periode panen pertama ……… 77


(17)

1 PENDAHULUAN

Latar belakang

Produksi hijauan yang berkelanjutan merupakan salah satu faktor penting dalam pengembangan sistem produksi ternak. Di daerah pedesaan di Indonesia, kegiatan peternakan biasanya tidak terlepas dari kegiatan pertanian. Lahan terbatas yang dimiliki petani mengakibatkan lahan yang ada lebih banyak ditanami dengan tanaman pangan dan hanya sedikit atau bahkan tidak ada lahan yang diperuntukan bagi penanaman hijauan pakan. Pemanfaatan hasil limbah pertanian yang dihasilkan dari kegiatan pertanian merupakan hal yang biasa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak, meskipun kualitas nutrisi dari pakan hasil limbah pertanian sudah relatif menurun. Disisi lain, fluktuasi produksi pertanian yang diakibatkan musim yang selalu berubah juga menjadi keterbatasan dalam penyediaan pakan. Hal ini menjadi faktor pembatas bagi pengembangan ternak pada skala peternak rakyat. Integrasi sistem produksi hijauan pakan-ternak dengan tanaman pertanian dan atau dengan tanaman pohon tahunan pada area yang sama (tumpangsari) menjadi hal perlu dipertimbangkan sebagai solusi bagi penyediaan pakan yang berkelanjutan, mengingat sistem ini sudah secara luas dipraktekan oleh petani/peternak di Indonesia. Seperti yang dilaporkan oleh Devendra dan Thomas (2002) bahwa di Asia, tanaman pangan dan tanaman pohon tahunan ditanam, dan ternak ruminansia maupun non ruminansia diintegrasikan ke dalam sistem ini. Hal ini dipicu oleh penurunan ketersediaan lahan dan meningkatnya kebutuhan manusia akan produk ternak (Devendra 2007).

Berdasarkan prinsip pengembangan proses biologi bagian atas dan bawah tanah, sistem integrasi ini memberikan kombinasi yang menguntungkan antara lain menurunkan erosi, meningkatkan hasil produksi, aktivitas biologi tanah dan daur ulang unsur hara, intensifikasi penggunaan lahan, meningkatkan keuntungan dan memperkuat keberlanjutan lingkungan (Rato 2009). Peningkatan hasil produksi dari komponen yang dikombinasikan dalam sistem integrasi ternak-tanaman pangan dan ternak-tanaman pohon tahunan mengakibatkan meningkatnya


(18)

kapasitas tampung ternak di dalam sistem. Menurut Purnomo (2006) pastura hutan dapat meningkatkan biomassa pakan ternak pada saat musim kering 3 kali sebesar 10.7 t/ha/3 bulan dibandingkan dengan pastura alami yang menghasikan 3.6 t/ha/3 bulan. Pada saat musim hujan, biomassa pakan ternak meningkat baik pada pastura hutan maupun pada pastura alami masing-masing sebesar 18.2 t/ha/3 bulan dan 11.9 t/ha/3 bulan. Kapasitas tampung pastura hutan pada musim hujan dan musim kering masing-masing 1.32 dan 0.99 ekor/ha/tahun, sementara pada pastura alami pada musim hujan dan musim kering sebesar 1.16 dan 0.72.

Ketika dua atau lebih tanaman ditanam secara bersamaan, maka setiap tanaman harus mempunyai ruang yang cukup untuk memaksimumkan kerjasama dan meminimumkan kompetisi antara tanaman tersebut. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi untuk mengakomodasinya yaitu 1) jarak tanam, 2) kepadatan tanaman, 3) waktu yang tepat bagi tanaman untuk ditanam, dan 4) arsitektur tanaman 5) pemupukan yang optimal (Sullivan 2003). Integrasi tanaman pakan-tanaman pohon tahunan dan tanaman pakan-tanaman pangan perlu memperhatikan aspek agronomis yang berhubungan dengan kondisi ekofisiologis sistem integrasi. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah karakteristik tumbuh tanaman yang akan diintegrasikan. Karakteristik pertumbuhan akar dan pertumbuhan tajuk tanaman perlu mendapat perhatian, agar tanaman dapat tumbuh dan menghasilkan produksi yang optimum. Hal ini disebabkan dengan meningkatnya umur tanaman pohon mengakibatkan rendahnya intersepsi cahaya matahari ke permukaan tanah. Spesies tanaman pakan tahan naungan diperlukan untuk integrasi dengan tanaman kehutanan, sedangkan integrasi dengan tanaman pangan dibutuhkan spesies yang kompatibel ditanam bersama dengan tanaman pangan sehingga kompetisi akan unsur hara dapat diminimumkan.

Aspek lain yang perlu dipertimbangkan yang terkait langsung dengan kualitas dan akumulasi bahan kering adalah adalah penambahan unsur hara ke dalam sistem, khususnya unsur hara nitrogen dan fosfor. Kedua unsur hara ini sangat dibutuhkan tanaman selama fase pertumbuhannya. Nitrogen merupakan komponen yang penting untuk beberapa struktur penting, genetik, senyawa metabolis di dalam sel tanaman. Tanaman yang sehat biasanya mengandung 3 -4% nitrogen pada jaringan bagian atasnya (Eckert 2009). Nitrogen merupakan


(19)

unsur yang diperlukan dalam pembentukan asam amino, amida (protein). Kandungan protein pakan merupakan indikator penting bagi nutrisi ternak ruminansia. Nitrogen juga diperlukan dalam jalur sintesis glutamine dan glutamate (Marschner 1999; Whitehead 2000).

Reaksi reduksi nitrogen sampai preparasi asam amino menjadi protein pada tanaman dipengaruhi oleh cahaya. Reduksi nitrogen berhubungan erat dengan hasil fotosinthesis, mulai dari NH3 dan hasil fotosinthesis dari asam amino dan senyawa nitrogen organik lainnya. Melalui photophosphorilasi dan cahaya, tanaman memproduksi ATP untuk proses akumulasi nitrogen menjadi nitrogen organik yang dapat digunakan oleh tanaman. Selain itu, cahaya juga bekerja untuk mengaktivasi enzim nitrat reduktase (Pradnyawan 2004). Namun menurut hasil penelitian Latifa dan Anggarwulan (2009), perlakuan naungan memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap aktivitas enzim reduktase dari X. sagittifolium. Pada naungan 75 %, ektivitas enzim reduktase masih tetap tinggi. Hal ini dikarenakan tanaman efisien menangkap cahaya melalui luas area permukaan daun. Peningkatan laju fotosintesis diikuti dengan meningkatnya laju respirasi yang menghasilkan energi untuk menurunkan NO3 menjadi NO2. Dias-Filho (2000) menegaskan bahwa naungan secara nyata meningkatkan luas daun spesifik dan rasio luas daun pada rumput C3dan C4. Menurut Kephart dan Buxton (1993) terdapat korelasi yang nyata antara luas daun spesifik dengan kecernaanin vitrobahan organik dan kandungan nitrogen dalam daun.

Fosfor (P) merupakan unsur hara penting yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman (Richardson et al. 2009) dan hanya dapat diasimilasi sebagai fosfat terlarut (Duponnois et al. 2005). Unsur fosfor berfungsi secara langsung dalam metabolisme energi sel dan menjadi energi kaya fosfat (ATP dan ADP) yang dibutuhkan dalam biosintesis pati atau untuk pengambilan ion oleh akar tanaman. Fosfor juga merupakan konstituen struktur molekul makro yang paling penting yaitu asam nukleat yang merupakan unit molekul DNA, sebagai pembawa informasi genetik dan RNA yang bertanggung jawab untuk menterjemah informasi genetik (Marschner 1999; Whitehead 2000). Namun, pada kondisi alami, kebanyakan kandungan fosfat tanah (mineral fosfat tanah-batuan fosfat dan fosfat organik) sangat rendah kelarutannya. Tanaman mengakses P tanah


(20)

lebih jauh dipengaruhi oleh karakteristik akar (seperti laju pertumbuhan, spesifik panjang akar, dan kepadatan dan panjang rambut-rambut akar) dan proses biokimia yang terjadi pada ruang tanah-akar (Richardsonet al.2009).

Beberapa studi menunjukkan adanya kelompok mikroba yang diidentifikasi yang dapat melarutkan mineral fosfat dan meningkatkan nutrisi fosfat tanaman. Diantara mikroorganisme tanah, fungi mikoriza arbuskula (FMA) telah diketahui sebagai komponen dari sistem tanah-tanaman yang berkelanjutan (Smith dan Read 1997), yang mampu meningkatkan serapan fosfat tanaman (Bolan 1991) dan nitrogen (Barea et al. 1991). Peningkatan kemampuan akar tanaman bermikoriza sepertinya meningkatkan serapan NH4+ yang dilepaskan dari proses mineralisasi dari residu organik di dalam tanah (Hamel 2004).

Mengingat pentingnya peranan nitrogen dan fosfor pada tanaman, tetapi disisi lain belum begitu jelas proses penyediaannya di dalam tanah dan penggunaannya oleh individu tanaman dan komunitas tanaman, maka penelitian tentang kajian penggunaan unsur nitrogen dan fosfor dalam suatu sistem tumpangsari perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengkaji penggunaan unsur hara nitrogen pada beberapa spesies hijauan rumput menjalar yang diperuntukkan pada sistem integrasi pastura-hutan dan 2) mengkaji penggunaan fosfor dan nitrogen pada tanaman legum pakan dan non legum dalam model sistem tumpangsari.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat sebagai dasar bagi pengembangan sistem produksi hijauan pakan-ternak yang diintegrasikan dengan tanaman pohon tahunan dan tanaman pangan.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pada skala rumah kaca yang diharapkan dapat menjadi model bagi pengembangan sistem pada skala lapangan.


(21)

2 PENGARUH PEMUPUKAN NITROGEN TERHADAP

PERTUMBUHAN BEBERAPA TANAMAN HIJAUAN

MENJALAR UNTUK SISTEM PASTURA-HUTAN

Pendahuluan

Latar belakang

Berbagai faktor dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman seperti cahaya, CO2, air dan unsur hara mineral (Marschner 1999). Nitrogen merupakan unsur hara utama yang dibutuhkan seluruh tanaman untuk pertumbuhan dan produksi yang optimum. Ketidakcukupan atau kekurangannya akan menyebabkan terhentinya pertumbuhan dan menunjukkan gejala defisiensi unsur hara (Ipinmoroti et al. 2008).

Nitrogen di dalam tanah terdapat dalam berbagai bentuk yang berbeda seperti senyawa nitrogen organik, ion ammonium (NH4+), dan ion nitrat (NO3-) (Eckert 2009; Marxet al.1999), yang berinteraksi antara satu dengan lainnya dan dengan tanaman, ternak, dan mikroorganisme. Kebanyakan tanaman menggunakan nitrogen dengan cepat. Tanaman menyerap nitrogen dalam bentuk ion nitrat (NO3-) atau amonium (NH4+), yang keduanya merupan ion yang larut dalam air. Ion nitrat merupakan ion yang larut dalam air. Ion nitrat diserap dengan cepat oleh akar tanaman tetapi tercuci dengan mudah dari tanah dengan adanya curah hujan yang tinggi atau irigasi berlebihan (CFF 2009; Marxet al.1999). Ion ammonium terjerap dalam partikel tanah dan bergerak dengan lambat melalui akar tanaman (CFF 2009). Nitrogen total tidak menunjukkan ketersediaan nitrogen tanaman (Marx et al. 1999). Kandungan nitrogen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan yang optimum bervariasi antara 2 dan 5% dari berat kering tanaman, bergantung pada spesies tanaman, fase perkembangan tanaman dan bagian organ tanaman (Marschner 1999).

Kebanyakan tanaman mengambil nitrogen dari tanah secara berkelanjutan dalam daur hidupnya dan kebutuhan nitrogen biasanya meningkat dengan meningkatnya ukuran tanaman. Tanaman yang mempunyai ketersediaan nitrogen yang cukup akan tumbuh dengan cepat dan menghasilkan sejumlah sukulen, bagian tanaman yang hijau (Eckert 2009). Penambahan pupuk N umumnya


(22)

meningkatkan rasio akar-tajuk (Barbar 1984). Rasio akar-tajuk merupakan rasio berat akar terhadap tajuk suatu tanaman. Tanaman dengan proporsi akar yang lebih besar dapat berkompetisi lebih efektif untuk mendapatkan unsur hara tanah, sedangkan tanaman dengan proporsi tajuk yang lebih besar dapat mengumpulkan lebih banyak energi (Allaby 2004). Terdapat suatu karakteristik rasio tajuk-akar untuk setiap spesies pada setiap fase pertumbuhan. Rasio tajuk-akar cenderung meningkat dengan meningkatnya ukuran tanaman (menurunkan akar tanaman), mencerminkan meningkatnya asimilasi bagian atas tanaman. Rasio tajuk-akar dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti cahaya, ketersediaan unsur hara, suhu dan ketersediaan air. Perubahan ini biasanya mencerminkan keuntungan adaptasi dari tanaman dalam menyesuaikan diri pada sumber yang terbatas (Marschner 1999)

Beberapa spesies rumput dan legum mempunyai keuntungan secara morfologi tumbuh di bawah kondisi ternaungi. Stür (1998) menyatakan bahwa spesies hijauan yang berhasil tumbuh dalam tanaman perkebunan harus beradaptasi tidak hanya dengan rendahnya level cahaya tetapi juga dengan iklim (curah hujan, suhu, variasi panjang hari), tanah (pH, kesuburan, tekstur dan drainase) dan manajemen (cekaman defoliasi atau penggembalaan dan input pupuk). Rendahnya produksi potensial seluruh spesies pada kondisi cahaya rendah merupakan hambatan utama terhadap produktivitas sistem tanaman pohon-pakan dengan adanya penutupan kanopi sejalan dengan pertambahan umur tanaman pohon (Wong 1991; Addison 2003). Beberapa penelitian telah menemukan beberapa spesies rumput dan legum yang mampu beradaptasi terhadap naungan, mulai dari naungan rendah sampai sangat tinggi, seperti Brachiaria humidicola, Arachis pintoi, Axonopus compressusandPaspalumsp (Reynolds 1995; Wong, 1991).

Respon produksi beberapa spesies hijauan tropis terhadap naungan menggambarkan kuatnya hubungan antara produktivitas dan cahaya, tetapi lebih sering juga digabungkan dengan ketersediaan nitrogen tanah (Wong 1991). Unsur hara harus ada di dalam tanah dan tersedia melalui sumber yang sesuai dalam jumlah yang cukup dan dalam bentuk yang siap digunakan oleh tanaman dalam mencapai produksi yang tinggi. Nitrogen merupakan unsur hara utama yang dibutuhkan oleh seluruh tanaman untuk pertumbuhan dan produksi. (Ipinmorotiet


(23)

al. 2008) dan nitrogen secara normal merupakan unsur hara yang sangat memengaruhi untuk pertumbuhan tanaman yang optimum (Espinozaet al.2007).

Beberapa spesies hijauan toleran naungan diteliti responnya dalam hal karakteristik morfologi dan produksi berat kering terhadap pemupukan nitrogen. Perbedaan pola pertumbuhan tanaman menyebabkan perbedaan manajemen dan strategi dalam pengembangannya. Informasi ini berguna untuk mendesain komponen sistem yang kompatibel untuk meningkatkan produktivitas sistem integrasi tanaman pohon-pakan.


(24)

Bahan dan Metode

Waktu dan tempat

Penelitian ini dilakukan dalam skala rumah kaca mulai dari Agustus 2010 sampai dengan Desember 2010. Penelitian dilakukan di dalam rumah plastik didesain dengan konstruksi bamboo. Atap plastik dilapisi dengan net plastik untuk menciptakan kondisi naungan, dengan dinding yang separuh tertutup (separuh dari bagian bawah ditutup dengan plastik), separuh bagian atas ditutup dengan net plastik. Kondisi ini memungkinkan sirkulasi udara yang akan mengurangi panasnya rumah plastik. Temperatur minimum dan maksimum selama penelitian berkisar 24°C sampai dengan 34°C dengan kelembaban minimum dan maksimum berkisar 67% sampai 89%.

Bahan dan alat

Dalam penelitian ini digunakan beberapa spesies tanaman hijauan menjalar dan nitrogen (bersumber dari urea) sebagai pupuk. Alat yang digunakan dalam penelitian ini pot bulat datar dengan diameter 43 cm dan tinggi 12 cm, gunting, pisau danthermohygrometerdigital.

Penelitian ini didesain dengan menggunakan rancangan acak lengkap dengan pola faktorial 4 spesies, 2 level pemupukan dengan 3 kali ulangan. Spesies tanaman hijauan menjalar (stoloniferous) yang digunakan adalah PN =Paspalum notatum, BH = Brachiaria humidicola, AC = Axonopus compressusdan AP = Arachis pintoi. Level pemupukan nitrogen/urea, yaitu (-N) = tanpa pupuk dan (+N) = 300 Kg urea/ha.

Prosedur penelitian

Tanaman hijauan di tanam di tengah pot bulat datar yang berisikan 5 kg tanah. Bahan tanam berasal dari anakan untuk rumput dan stek untuk legum. Pemupukan nitrogen diaplikasikan 3 hari setelah tanam. Pemupukan dilakukan 2 kali; 150 kg urea/ha diberikan pada 3 hari setelah tanam dan pemupukan kedua diberikan pada bulan awal kedua pertumbuhan tanaman. Selama penelitian tanaman disiram setiap hari. Komposisi unsur hara hasil analisis tanah sebelum penanaman adalah


(25)

pH 4.5 – 6.5, 0.10% nitrogen, 84 mg/100g P2O5 dan 10 mg/100g K2O (BPT 2010). Hasil analisis tanah awal ini mengindikasikan bahwa kondisi tanah sebelum penanaman rendah akan nitrogen dan kalium, namun akan fosfor, dengan pH yang sedikit masam ke netral (acuan Tabel 1).

Tablel 1 Kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah

Elemen

Kisaran Sangat

rendah Rendah Sedang Tinggi Kelebihan

N (%) <0.10 0.10 - 0.20 0.21–0.50 0.51–0.75 > 0.75 P2O5(HCl 25%)

(mg/100g) <15.0 15.0–20.0 21.0–40.0 41.0–60.0 > 60.0 K2O (HCl 25%)

(mg/100g) <10 10.0–20.0 21.0–40.0 41.0 - 60.0 > 60.0 Sangat masam Cukup masam Sedikit masam Netral Cukup alkalin pH (H2O) < 4.5 4.5–5.5 5.6 -6.5 6.6–7.5 7.6–8.5 Sumber: BPT (2005)

Peubah yang diamati

Pengamatan pertumbuhan tanaman selama 90 hari meliputi:

a. Panjang tanaman (cm/tanaman); dengan mengukur tanaman mulai dari permukaan tanah sampai ujung daun paling panjang dan diukur pada akhir penelitian.

b. Pertambahan panjang tanaman (cm/tanaman); diukur dengan menghitung perbedaan pengukuran pengamatan minggu satu dengan pengamatan minggu berikutnya.

c. Jumlah daun (helai/tanaman); diukur pada akhir penelitian.

d. Bobot kering tajuk tanaman (g/tanaman); bobot kering akar tanaman dengan mengeringkan sampel dalam oven 80°C selama 48 jam. Kemudian sampel kering digiling untuk analisis N tajuk (metode Kjeldahl).

e. Rasio tajuk-akar.

f. Senescense; bagian tanaman yang menua dan jatuh di permukaan tanah. g. Status N, P dan K tanah.


(26)

Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis sidik ragam berdasarkan RAL faktorial. Perbedaan antar perlakuan dianalisis dengan Uji Beda Nyata Terkecil (Steel dan Torrie 1989).


(27)

Hasil

Pertumbuhan tanaman

Tiga bulan periode penelitian tercatat bahwa pertumbuhan spesies hijauan menjalar tidak nyata dipengaruhi oleh pemupukan, tetapi pertumbuhan hijauan menjalar berbeda secara nyata menurut spesies. Beberapa pot penelitian, khususnya pada P. notatum, diduga menderita ketidakcukupan akan unsur hara tertentu. Hal ini ditunjukkan oleh warna kuning kecoklatan pada bagian ujung daun pada minggu ke-6 periode penelitian. Berdasarkan pengamatan, P. notatum menunjukkan pertumbuhan yang paling rendah dibandingkan dengan spesies lainnya.

Tinggi bibit hijauan menjalar pada saat awal penelitian adalah 5 cm di atas permukaan tanah. Pada bulan pertama, pertumbuhan seluruh tanaman menunjukkan adanya peningkatan pada panjang tanaman, akan tetapi pada bulan kedua, A. pintoi menunjukkan pertumbuhan yang menurun. A. compressus pada perlakuan (-N) dan (+N) rata-rata mencapai panjang 126.8 cm. Pada bulan ketiga, kebanyakan spesies menunjukkan peningkatan pertambahan panjang, kecuali P. notatumcenderung menurun (Gambar 1).

Gambar 1 Tren pertumbuhan panjang spesies hijauan menjalar selama 3 bulan penelitian (PN = P. notatum, BH = B. humidicola, AC = A. compressusdan AP =A. pintoi; (-N) = tanpa pupuk dan (+N) = 300 kg urea/ha)


(28)

Tabel 2 menunjukkan beberapa peubah pertumbuhan tanaman hijauan menjalar selama 3 bulan periode penelitian. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat pengaruh yang sangat nyata dari spesies terhadap pertumbuhan.

Tabel 2 Pertambahan panjang, panjang tanaman, jumlah daun, bobot kering tajuk dan akar, rasio tajuk-akar dan senescense tanaman hijauan menjalar selama 3 bulan penelitian

Pupuk N Spesies B. humidicola P. notatum A.

compressus A. pintoi Rata-rata Pertambahan panjang tanaman (cm/minggu/tanaman)

(-) N 5.1 4.6 9.9 1.6 5.30

(+) N 5.4 4.9 10.3 1.6 5.60

Rata-rata 5.3b 4.7bc 10.1a 1.6d

Panjang tanaman (cm/tanaman)

(-) N 65.93 59.97 124.3 24.4 68.65

(+) N 70.37 63.6 128.1 23.4 71.36

Rata-rata 68.15b 61.78b 126.18a 23.90c

Jumlah daun (helai/tanaman)

(-) N 31 14 119 15 45

(+) N 35 16 152 15 54

Rata-rata 33b 15b 135a 15b

Bobot kering tajuk (g/tanaman)

(-) N 1.73 0.96 2.57 1.68 1.74

(+) N 1.70 1.38 3.47 1.56 2.03

Rata-rata 1.72b 1.17b 3.02a 1.62b

Bobot kering akar (g/tanaman)

(-) N 0.50 1.32 1.31 0.92 1.01

(+) N 0.66 2.43 1.71 0.77 1.39

Rata-rata 0.58c 1.88a 1.51a 0.85b

Rasio tajuk akar

(-) N 3.08 1.26 1.97 1.63 1.98

(+) N 2.66 0.57 2.01 1.83 1.77

Rata-rata 2.87a 0.91c 1.99ab 1.73bc

Senecense (g/tanaman)

(-) N 0.08 0.37 0.13 0.22 0.20

(+) N 0.05 0.25 0.13 0.13 0.14

Rata-rata 0.07c 0.31a 0.13bc 0.18b

Keterangan: huruf yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf 0.05 % dengan uji BNT. (-N) = tanpa pupuk dan (+N) = 300 Kg urea/ha

Dari Tabel 2 terlihat A. compressus secara nyata menunjukkan pertumbuhan yang terbaik dibandingkan spesies lainnya dalam hal pertambahan panjang


(29)

tanaman per minggu, panjang tanaman, jumlah daun, bobot kering tajuk dan akar. Semakin panjang tanamanA. compressus, maka semakin banyak buku terbentuk yang menjadikan tanaman ini mempunyai jumlah daun yang banyak. Daun tumbuh pada setiap buku baru. Pertumbuhan bagian atas tanaman yang baik pada A. compressus juga diikuti dengan pertumbuhan akar yang baik. Meskipun perlakuan pemberian pupuk tidak memberikan pengaruh yang nyata, namun tanaman A. compressus yang diberi pupuk terlihat mempunyai akar yang lebih banyak (Gambar 2). Kondisi ini diikuti oleh B. humidicola, P. notatum, and A. pintoi. Stolon dariA. compressusmenyebar dengan cepat dan jika masih terdapat area untuk bertumbuh, tanaman ini akan menutupinya.

Gambar 2 Struktur akar tanaman hijauan menjalar (-N = tanpa pupuk dan +N = 300 kg Urea/ha)

P. notatum menghasilkan bobot kering akar dan senescence yang tertinggi yaitu masing-masing 1.88 dan 0.33 g/tanaman, sedangkan yang terendah ditunjukkan oleh B. humidicola yaitu masing-masing sebesar 0.58 dan 0.07 g/tanaman. Daun tua dan mati disepanjang pertumbuhan tanaman merupakan daun yang berasal dari sisa pemotongan bahan tanam awal (Gambar 3).


(30)

Gambar 3 Daun menua dan mati sisa dari pemotongan awal dari bahan tanam (dalam lingkaran). (PN =P. notatum, BH =B. humidicola, AC= A. compressusdan AP =A. pintoi)

Status N, P dan K tanah dan serapan N

Serapan hara N oleh tanaman hijauan menjalar dan status unsur hara tanah pada pot penelitian setelah penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3 di atas terlihat bahwa hasil analisis tanah pada akhir penelitian untuk kandungan nitrogen tanah terlihat sama dengan sebelum aplikasi nitrogen, tetapi tidak untuk konsentrasi P dan K tanah. Penurunan konsentrasi P dan K selama 3 bulan periode penelitian dari nilai yang tinggi menjadi rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman menggunakan N, P dan K dari dalam tanah untuk pertumbuhannya. Hijauan pakan menjalar mengunakan P dalam proporsi yang hampir sama, sehingga konsentrasi P tidak nyata berbeda diantara spesies. Konsentrasi kalium padaA. pintoi terlihat yang paling tinggi. Konsentrasi N tajuk yang paling tinggi terlihat padaA. Pintoi dan diikuti oleh A. compressus, yaitu masing-masing 3.71 dan 2.9%. Kandungan N tajuk dan K tanah tertinggi sampai terendah terlihat pada spesies legumA. pintoi, A. compressus, B. humidicoladanP. notatum.Serapan N tertinggi sampai terendah terlihat padaA. compressus, B. humidicola, P. notatum danA. pintoi.


(31)

Tabel 3 N-tanah, serapan N aktual, N-tajuk dan kandungan P and K tanah pada akhir penelitian

Pupuk N

Spesies B.

humidicola

P. notatum

A. compressus

A. pintoi

Rata-rata N tanah (%)

(-) N 0.09 0.11 0.10 0.13 0.11

(+) N 0.12 0.11 0.11 0.10 0.11

Rata-rata 0.10 0.11 0.10 0.11

Serapan N aktual (g BK/tanaman)

(-) N 0.076 0.037 0.096 0.031 0.060

(+) N 0.072 0.055 0.140 0.062 0.082

Rata-rata 0.074ab 0.046b 0.118a 0.046b

N tajuk (%)

(-) N 2.58 2.45 2.97 4.04 3.01

(+) N 2.77 2.34 2.83 3.39 2.83

Rata-rata 2.68bc 2.39cd 2.90b 3.71a

P tanah (mg/100g)

(-) N 56 53 54 57 55

(+) N 53 49 58 56 54

Rata-rata 54 51 56 57

K tanah (mg/100g)

(-) N 5.5 5.5 5.5 6.5 5.8

(+) N 6.0 6.0 5.0 6.0 5.8

Rata-rata 5.8ab 5.8ab 5.3b 6.3a

Keterangan: huruf yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf 0.05 % dengan uji BNT. (-N) = tanpa pupuk dan (+N) = 300 Kg urea/ha


(32)

Pembahasan

Pertumbuhan tanaman

Produksi tajuk merupakan gabungan panjang tanaman dan jumlah daun. Sejalan dengan panjang tanaman dan jumlah daun, bobot kering tajuk dan akar A.compressus terlihat paling tinggi dibandingkan dengan spesies lainnya seperti B. humidicola, P. notatumdanA. pintoiyang terlihat sama.

Jumlah daun yang paling rendah terdapat padaP. notatumdanA. pintoidengan rata-rata 15 helai daun masing-masingnya selama 3 bulan penelitian (Tabel 2). Pakiding (1998) menemukan tidak ada pengaruh terhadap jumlah daun per anakan dengan meningkatnya level nitrogen dan tinggi pemotongan. Hirata (2000) juga menemukan level nitrogen mempunyai pengaruh yang kecil terhadap laju pemunculan daun (LAR) dari P. notatum, LAR sedikit meningkat dengan meningkatnya level nitrogen.

Anakan merupakan sumber potensial bagi produksi jumlah daun. Anakan yang banyak tumbuh, mengakibatkan jumlah daun semakin meningkat. Jumlah daun yang rendah pada P. notatum disebabkan oleh rendahnya respon P. notatum terhadap pemupukan nitrogen. Anakan pertama dari P. notatum (+N) muncul sekitar minggu ke-10 dari periode penelitian. Hirata (1993) melaporkan bahwa jumlah anakan rumput Bahia membutuhkan waktu 3 bulan untuk menunjukkan respon yang nyata terhadap tinggi pemotongan. Respon pembentukan anakan dapat dipengaruhi oleh faktor seperti genotip, suhu, intensitas cahaya, ketersediaan air, nutrisi mineral, photoperiod dan pengatur pertumbuhan. Penelitian lebih jauh dari rumput Bahia oleh Hirata and Pakiding (2001) menemukan bahwa level N memberikan pengaruh yang rendah terhadap jumlah anakan dan anakan anak, laju pemunculan daun (LAR), laju daun yang mati (LDR) dan yang jatuh, kecuali untuk anakan pada rumput Bahia pada musim anakan aktif (Mei – Juni). Kepadatan anakan rumput Bahia sangat stabil karena tingginya longevitas anakan (rendah laju kematian anakan) disamping juga rendahnyalaju pemunculan anakan(TAR). Relatif TAR yang rendah pada rumput Bahia disebabkan oleh rendahnya laju pengisian anakan. Islam dan Hirata (2005) bahwa melaporkan pertumbuhan anakan anak pada axil daun adalah nihil atau


(33)

sangat jarang terjadi pada rumput centipede (Eremochloa ophiuroides)dan Bahia pada pertumbuhan daun muda pertama sampai ke-tiga. Aktivitas pembentukan anakan pada rumput Bahia juga nihil atau sangat rendah ketika pertumbuhan daun muda ke-empat dan ke-enam, kecuali pada bulan Mei dan Juni, ketika pembentukan anakan terjadi dengan level pemupukan nitrogen yang tinggi. Bogdan (1977) menyatakan rumput Bahia tumbuh mencapai tinggi maksimum antara 15-70 cm (kira-kira 6-28 inchi), terkadang mencapai tinggi 100 cm (sekitar 40 inchi)

Pada spesies B.humidicola (-N) dan A. compressus (+N), pemunculan anakan pertama terjadi pada minggu pertama periode penelitian. A. compressus menyebar dengan cepat melalui stolon dan rhizome di bawah kondisi yang memungkinkan dibandingkan Axonopus affinis (FAO). Manidool (1992) menyatakan bahwa tanaman muda dariA. compressus mulai tumbuh dalam jalur melingkar. Dengan sedikit kompetisi, jalur dapat mencapai sampai diameter 1 meter dalam satu musim. Tanaman ini tumbuh seperti gulma dan membentuk hamparan rumput yang padat. Wong (1991) menambahkan bahwa spesies indigenous tahan naungan seperti Axonopus compressus, Stenotaphrum secundatum, Brachiaria miliiformis dan Paspalum conjugatum menunjukkan lebih persisten dan produktif di bawah kondisi cahaya rendah.

Menurut Abdullah (2009) jumlah anakan B. humidicola (Rendle) Schweick bergantung pada jumlah buku dan panjang stolon, sehingga pola pertumbuhan anakan mengikuti pola dinamik keduanya. Pada penelitian ini panjang stolon dari B. humidicola dan P. notatum nyata lebih rendah dibandingkan dengan A. compressus.

Panjang tanaman dan jumlah daun merupakan sumber potensial bagi fotosintesis tanaman. Lebih banyak daun, lebih luas area untuk fotosintesis. Dengan demikian akan menghasilkan lebih banyak fotosintat untuk akumulasi produksi bagian atas tanaman. Ditambah lagi, pertambahan biomassa bagian atas tanaman yang tinggi, ditunjang oleh pertumbuhan struktur akar yang baik.Gastal dan Durand (1999) menyatakan bahwa sintesis struktur tajuk akar bergantung pada keseimbangan antara permintaan morphogenetik dan ketersediaan substrat karbohidrat. Permintaan morphogenetik ditentukan oleh potensi morphogenetik


(34)

tanaman (pertumbuhan potensial daun, batang, akar, anakan dan organ reproduksi), di bawah kontrol genom dan di bawah pengaruh ekspresinya yang diakibatkan faktor lingkungan (suhu, kualitas cahaya). Gastal dan Durand (1999) juga menambahkan fotosintesis kanopi bergantung pada luas area daun yang menghasilkan perluasan daun. Davidson dan Robson (1985) menyatakan laju fotosintesis yang lebih tinggi dari Clover dapat dihasilkan dari tingginya potensial fotosintesis daun atau lebih besarnya intersepsi cahaya.

Pembentukan anakan di bawah suplai nitrogen sedang terlihat tertekan pada rumput pendek, akan tetapi pemanjangan daun tetap terjadi meskipun lajunya mengalami penurunan (Nelson 2000). Hirata (2000) juga mengamati bahwa pemanjangan daun terjadi secara cepat ketika masih daun pertama dan ke-dua tetapi berhenti memanjang ketika daun ke-empat. Hirataet al.(2009) menemukan bahwa panjang anakan yang paling tinggi terjadi pada pemotongan yang tinggi pada periode musim panas dengan nitrogen yang rendah, sedang dan tinggi yaitu masing-masing 399, 396, 365 mm.

Meningkatnya panjang tanaman, jumlah daun dan biomassa berat kering bagian atas tanaman mengakibatkan tingginya rasio tajuk-akar pada A. compressus, meskipun berbeda tidak nyata denganB.humidicola. Rasio tajuk-akar cenderung meningkat dengan meningkatnya ukuran tanaman (menurun untuk akar), mencerminkan meningkatnya asimilat bagian atas tanaman (Marschner 1999).

Davidson (1994) menemukan bahwa di dalam akar terdapat spektrum yang luas dari respon berbagai komponen morphogenetik terhadap nitrogen. Terdapat kisaran respon yang sangat luas antara spesies. Wong (1991) melaporkan meningkatnya berat kering terhadap komponen daun yang disebabkan oleh pengaruh akar menghasilkan rasio tajuk akar, rasio daun batang, rasio berat daun dan luas daun yang lebih tinggi, khususnya pada rumput. Allaby (2004) menyatakan tanaman dengan proporsi akar yang lebih banyak dapat berkompetisi lebih efektif untuk unsur hara tanah, sedangkan tanaman dengan proporsi tajuk yang lebih tinggi dapat mengumpulkan lebih banyak cahaya energi.

Berat kering tajuk B. humidicola tidak meningkat dengan aplikasi pupuk nitrogen, akan tetapi lebih tinggi pada perlakuan tanpa pemupukan nitrogen.


(35)

Variasi dalam bobot biomassa hijauan (berkisar antara 23–560 g BK/m) merupakan akibat dari variasi berat anakan (Hirata dan Pakiding 2002). Ditegaskan oleh Nakamura et al. (2002) bahwa B. humidicola lebih baik beradaptasi pada kondisi terbatas nitrogen dibandingkan dengan dua spesies rumput lainnya, B. decumbens dan B. Brizantha. Subarao et al. (2009) menemukan bahwa B. humidicola melepaskan Braquialactona oleh akar yang mengakibatkan menurunnya dan bahkan tertekannya nitrifikasi dalam rhizosfer tanah. Hambatan nitrifikasi merupakan strategi untuk memperpanjang waktu keberadaan N di dalam tanah dan meningkatkan efisiensi penggunaan N (Rodgers 1986).

Dalam penelitian ini, berat kering akar B. humidicola terlihat yang paling rendah dibandingkan dengan spesies lainnya. Dias-Filho (2000) dalam penelitiannya menemukan bahwa spesies B. humidocola dan B. brizantha menghasilkan biomassa bagian bawah yang rendah dengan meningkatnya naungan.

Laju fotosintesis dan ekspor gula (energi) dari daun menurun pada daun yang mulai menua. Penurunan kandungan klorofil (klorosis) merupakan gejala yang telihat pada daun yang menua (Marschner 1999). Daun tua dan mati yang terbanyak terdapat padaP.notatum, sedangkan yang terendah padaB. humidicola. Daun yang menua dan mati merupakan daun yang tertinggal dari pemotongan awal (bibit). Ditambah lagi, lebih banyak daun P. notatum yang menunjukkan warna kuning kecoklatan. Hodgson (1990) menyatakan tanda yang nampak dari proses penuaan daun adalah warna kuning yang sangat progresif dan bahkan kecoklatan dan dehidrasi. Kehilangan karena daun yang menua dan mati dan dekomposisi awalnya meningkat namun lambat, bergantung pada jumlah jaringan tua yang tertinggal setelah pemotongan dan kemudian meningkat dengan progresif dan akan sampai pada laju pertumbuhan yang sama.

Status N, P dan K tanah dan serapan N

Kandungan kalium tanah yang ditanamCynodon nlenfluensismeningkat ketika ditambahkan serasahA.pintoi, khususnya pada pengamatan terhadap rumput yang ditanam secara monokultur. Legum ini mempunyai laju dekomposisi yang lebih


(36)

cepat dan lebih besar melepas unsur hara (Olivieraet al. 2002). Pelepasan unsur hara (N, P, K, dan Ca) dari serasahA.pintoisangat cepat (Thomas 1994).

Konsentrasi N tajuk yang paling tinggi terlihat pada A. pintoi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan A. pintoi untuk memfiksasi nitrogen bebas sebagaimana spesies legum lainnya. Cook (1992) melaporkan bahwa kandungan N dalam A. pintoi berkisar antara 2.5 – 3 %, dan P berkisar antara 0.18 – 0.37. A.pintoimempunyai toleransi terhadap naungan yang tinggi (sampai dengan 50% cahaya) dan menunjukkan potensi yang tinggi sebagai cover crops. Tanaman ini menunjukkan kemampuan yang baik mengontrol gulma dan dapat memfiksasi sejumlah besar nitrogen (Rika 1995).

Manidool (1992) menemukan bahwa konsentrasi N pada A. compressus berkisar antara 1-2%. Meningkatnya konsentrasi nitrogen pada daun tanaman rumput berhubungan dengan efisiensi dari konversi energi matahari (Sophanodora 1989). Beberapa penelitian menunjukkan bahwaA. compressusdapat memfiksasi nitrogen atmosfer dan menambahkannya ke dalam tanah (Saoet al. 2007). Pekerja CSIRO telah menemukan bahwa rumput ini mempunyai sistem nitrogenase aktif yang mampu memfiksasi 13 kg N/ha/hari selama 12 minggu periode pertumbuhan selama musim panas (FAO). Secara relatif terdapat sejumlah nitrogen yang dapat difiksasi melalui asosiasi non simbiosis dalam rhizosferA.compressus. Meskipun demikian, rendahnya level nitrogen dapat membantu bertahan pada musim pertumbuhan yang pendek dan mempertahankan rumput pada fase vegetatif. A. compressus tidak terlihat berespon dengan baik terhadap fosfor, karena dapat tumbuh dengan baik pada tanah rendah fosfor (Tropical Forages).

Serapan N tanaman diukur dengan mengalikan berat kering dengan konsentrasi hara yang ada, sehingga serapan N yang tertinggi terlihat pada A.compressus. Serapan N ini berbeda sangat nyata dibandingkan dengan spesies lainnya karena tingginya bobot kering A.compressus dibandingkan dengan spesies lainnya. Touraine et al. (1994) menemukan serapan nitrogen diatur oleh status fisiologis tanaman secara keseluruhan.


(37)

Simpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan tanaman hijauan menjalar berbeda disebabkan oleh spesies. Pengaruh pemupukan nitrogen berbeda tidak nyata terhadap keempat spesies tanaman menjalar yang diuji.A. compressus nyata menunjukkan pertumbuhan terbaik diantara spesies yang lain dalam hal panjang tanaman, jumlah daun, bobot tajuk dan akar, N tajuk dan serapan N aktual, kemudian diikuti oleh spesies B. humidicola, P. notatum, dan A. pintoi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengamati kompabiliti setiap spesies dalam sistem tanaman pohon-ternak.


(38)

3 PENGGUNAAN UNSUR FOSFOR DAN NITROGEN

PADA TANAMAN LEGUM PAKAN

Indigofera

zollingeriana

DAN NON LEGUM

Setaria italica

(L.)

BEAUV DALAM MODEL SISTEM

TUMPANGSARI

Pendahuluan

Latar Belakang

Tumpangsari merupakan penanaman dua atau lebih tanaman secara berdekatan untuk mendukung interaksi antar tanaman tersebut (Sullivan 2003) pada tempat dan waktu yang sama secara terus-menerus (Andrews dan Kassam 1976). Di Indonesia, praktek tumpangsari ini banyak dilakukan terutama selain untuk menyiasati keterbatasan lahan, juga bertujuan untuk penganekaragaman hasil panen dan ketahanan pangan keluarga petani. Kegiatan peternakan biasanya tidak terlepas dari kegiatan pertanian di daerah pedesaan di Indonesia,. Hasil limbah pertanian yang dihasilkan biasanya juga dimanfaatkan untuk pakan ternak, meskipun kualitas nutrisi dari pakan hasil limbah pertanian sudah relatif menurun. Salah satu upaya yang perlu diuji coba untuk menjaga ketahanan pangan dan sekaligus pakan dalam keluarga petani/peternak dengan tetap mempertahankan status nutrisi yang baik dari tanaman dapat dilakukan dengan tumpangsari antara tanaman hijauan pakan ternak dengan tanaman pangan alternatif, misalnya pertanaman campuran antaraIndigofera zollingeriana(Indigofera) denganSetaria italica(L.) Beauv (Hotong).

Legum pemfiksasi nitrogen dapat menjadi bagian dari sistem tumpangsari. Legum berkontribusi dalam menjaga kesuburan tanah melalui peningkatan fiksasi nitrogen dalam sistem sehubungan dengan karakter kompetitif yang lebih dari tanaman sereal (biji-bijian) terhadap nitrogen inorganik tanah. Hal ini akan memicu pada pelengkapan dan penggunaan yang lebih efisien dari sumber N tanah. Tumpangsari tanaman legum dan sereal membuka kesempatan untuk meningkatkan input fiksasi N ke dalam agroekosistem tanpa mempertimbangkan penggunaan N oleh sereal, tingkat produksi dan stabilitas (Intercrop 2002). Indigofera merupakan suatu genus dari Famili Fabaceae (Leguminosae) yang


(39)

potensial, namun belum banyak dieksplorasi di Indonesia. Indigoferamerupakan tanaman semak tahunan atau semak tumbuh rendah dengan tinggi dari 1 – 4 m dengan daun yang menyirip dan karakter bunga Papilionaceous dari famili Fabaceae. Spesies yang berbeda beradaptasi pada kisaran iklim tropik dan subtropik (Bechtol dan Rita 2009). I. zollingeriana merupakan salah satu jenis Indigofera yang banyak terdapat di daerah di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Tanaman ini toleran terhadap kekeringan, genangan air, dan tahan terhadap salinitas. Kandungan protein kasar dan mineral yang tinggi menjadikan tanaman ini berpotensi sebagai sumber protein pengganti konsentrat disamping juga sebagai sumber mineral. Menurut Abdullah dan Suharlina (2010) kandungan protein kasarIndigofera20.4–27.60%, serat kasar 10.97–21.40%, NDF sebesar 49.40–59.97%, ADF sebesar 26.23–37.82% dengan KCBK dan KCBO masing-masing sebesar 67.39 – 81.80% dan 65.77 – 80.47%. Hassen et al (2007) menyatakan bahwa kandungan CaIndigoferasebesar 0.97–4.52%, 0.19–0.33% P, dan 0.21 – 1.07% Mg. Penggunaan Indigofera pada ternak kambing mampu meningkatkan produksi susu sampai 18% dan meningkatkan bobot kambing perah dara sampai 75% (Tarigan 2009). Studi yang dilakukan oleh Hassenet al.(2007) mendapatkan spesiesIndigoferajuga dapat memenuhi Ca, Mg, Zn dan Mn ternak ruminansia, tetapi penting untuk mensuplementasi P dan Cu dari sumber lainnya untuk memenuhi kebutuhan mineral ternak ruminansia.

S. italica(L) Beauv yang di daerah asalnya lebih dikenal dengan nama Hotong, merupakan komoditas sumber karbohidrat harapan baru yang saat ini sedang dikembangkan, terutama di Pulau Buru (Maluku). Hotong dapat tumbuh pada daerah semi arid, tropis, subtropis dengan kondisi tanah mulai dari tanah pasir sampai liat (Brink 2006). Tanaman Hotong dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, namun tanaman ini bereaksi positif terhadap fosfor (P) dan nitrogen (N), sehingga tanah dengan kandungan fosfor dan nitrogen yang cukup akan menghasilkan produksi yang lebih baik (Krishiworld 2005). Hotong merupakan alternatif pengganti beras yang baik, tercatat mengandung karbohidrat sebesar 63.2–81.32%, protein 11.2–14.05%, lemak 2.4 - 4%, kalsium 31% dan Fe 2.8% per 100g (Brink 2006; Herodian 2008). Biji hotong mengandung komponen bioaktif yang mempunyai sifat antioksidan, antara lain adalah tanin dan vitamin


(40)

E. Tanin merupakan polifenol, salah satu antigizi yang terkandung di dalam bahan makanan. Komponen ini terutama banyak terkandung pada kulit arinya (Herodian 2008). Komposisi asam amino per 100 g biji adalah 103 mg tryptophan, 233 mg lysine, 296 mg methionin, 708 mg phenylalanine, 328 mg threonin, 728 mg valine, 1764 mg leucine dan 803 mg isoleucine (FAO 1970). Bijinya digunakan untuk konsumsi manusia dan juga sebagai pakan ternak unggas dan burung yang dikandangkan (FAO). Penanaman Hotong dengan sistem irigasi di China tercatat dapat memproduksi biji sekitar 11 t/ha dengan hasil jerami Hotong sekitar 2.5 t/ha/tahun. Sebagai hijauan, Hotong dapat menghasilkan sekitar 15 – 20 ton hijauan segar/ha atau 3.5 t/ha dalam bentuk hay (Brink 2006).

KeunggulanIndigoferasebagai pakan sumber protein dan mineral dan Hotong baik sebagai pangan berkualitas maupun pakan yang berproduktivitas tinggi menjadikan kedua tanaman ini sangat berpotensi untuk dikembangkan.

Berdasarkan penelitian sebelumnya ditemukan bahwa respon terhadap nitrogen berbeda pada setiap tanaman. Hal yang sama diduga terjadi pada penggunaan hara fosfor. Fosfor merupakan unsur hara yang sangat dibutuhkan tanaman legum dan biji-bijian/sereal (Marchner 1999) dan hanya dapat diserap akar sebagai fosfat terlarut. Fosfor secara normal merupakan unsur hara yang paling sedikit pada tanah tropis (Souchie et al. 2006). Fosfor, di dalam tanah tersedia bagi tanaman kurang dari 1% P total tanah. Konsentrasi P dalam larutan tanah rendah (0.05– 0.3 µgP/ml) (Bolan 1991) dan 1.5 µM dalam bentuk P-PO4- (Marchner 1999). Kecepatan pengambilan hara oleh sistem perakaran tanaman bergantung pada kecepatan hara tanah mencapai permukaan akar tanaman. Efisiensi P dengan pupuk yang berbeda yang digunakan dalam sistem pertanian bergantung pada kapasitasnya untuk menyediakan P dalam bentuk terlarut dan tersedia untuk diambil tanaman, salah satu contohnya anion orthophosphate (Whitehead 2000). Ion P secara kimiawi berikatan dengan ion Fe dan Al pada permukaan tanah berliat yang bereaksi masam. Fosfor yang diaplikasikan dalam bentuk pupuk yang larut dalam air (water-soluble fertilizer) sangat cepat dikonversi ke dalam bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman. Pada kondisi ini, keberadaan sumber organik yang mempunyai kandungan hara yang tinggi dapat dimanfaatkan lebih optimum. Limbah cair hasil pengolahan Monosodium Glutamat (sipramin) mempunyai


(41)

kandungan hara yang cukup baik yaitu pH 5.6, C organik 6.11%, N total 4.28%, P2O5 0.15%, K2O 0.40%, (Suharlina 2010). Efisiensi penggunaan nitrogen pada tanaman tebu keprasan (Saccharum officininarum L.) yang dipupuk dengan Sipramin 3.500 l ha-1 (18,47 kg kristal gula kg N-1) lebih besar dari efisiensi penggunaan nitrogen dengan pemupukan Sipramin dosis tinggi maupun ZA (Rusprasitaet al. 2008). Penggunaan sipramin dengan penambahan unsur P dari rock phosphate- fosfat alam yang murah dan mudah tersedia akan menghasilkan pupuk sumber P yang murah, tinggi kandungan hara N, namun lambat tersedia bagi tanaman.

Kemampuan tanaman untuk mengekstrak P sangat dipengaruhi oleh karakteristik akar dan kinerja mikoriza. Sehubungan dengan penyerapan P, Souchie et al. (2006) menyatakan bahwa kelompok komunitas mikroba tanah yang paling penting adalah mikroba pelarut P dan FMA-fungi mikoriza arbuskula. Fungi mikoriza arbuskular (FMA) merupakan komponen esensial pada sistem tanah-tanaman yang berkelanjutan (Smith dan Read 1997). FMA mempunyai kemampuan melarutkan mineral P dan meningkatkan ketersediaannya bagi tanaman (Dupponoiset al. 2005) dan beberapa unsur hara mikro seperti Cu, Zn dan Bo, sehingga penggunaan FMA dapat digunakan sebagai alat biologis untuk mengefisienkan penggunaan pupuk buatan terutama P (Setiadi 1998). Hifa fungi mikoriza arbuskula dapat memediasi transfer unsur hara antara tanaman (Bethlenfalvay et al. 1996). Mikroorganisme ini menyediakan unsur hara bagi tanaman dengan mensekuestrasi/menangkap unsur hara dari tanah dan mentranslokasikannya ke tanaman dan kemudian mikroorganisme ini mendapatkan energi dari tanaman inangnya. Hal ini akan mengakibatkan penggunaan unsur hara yang sangat efisien dan menurunkan ketergantungan terhadap input kimia dari luar (Uppal et al. 2008). Peningkatan penyerapan P dengan adanya mikoriza tanaman diketahui karena adanya peningkatan luas permukaan penyerapan (Abbot dan Robson 1977).

Sejauh ini, studi tentang absorbsi P (bersumber dari fosfat alam) dan fungsi mikoriza pada tanaman pakan telah banyak dilakukan. Namun studi yang dilakukan lebih banyak terfokus pada respon tanaman terhadap aplikasi P dan mikoriza pada satu jenis tanaman (Manjunath et al. 1988; Liu et al. 2003;


(42)

Duponnois et al. 2005, Karanja et al. 2004; Sabannavar dan Lakshman 2009), tetapi belum mempelajari banyak tentang proses transfer dan pertukaran hara dalam sistem tumpangsari. Hingga saat ini, dasar fisiologi cendawan mikoriza arbuskula terhadap pertumbuhan tanaman belum sepenuhnya dimengerti.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini menguraikan proses transfer hara pada tanaman legum dan non legum dalam model sistem tumpangsari. Dalam penelitian ini diaplikasikan penggunaan mikoriza pada tanaman Hotong dan pemberian pupuk P buatan (slow release P- dari fosfat alam) pada tanaman legum pakan Indigoferayang ditanam secara bersamaan dalam model sistem tumpangsari.


(43)

Bahan dan Metode

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca di Bagian Ilmu Tumbuhan Pakan dan Pastura dan Laboratorium Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan di Laboratorium Kimia dan Biologi Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor selama 6 bulan mulai dari Agustus 2011 sampai Januari 2012.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: benih I. zollingeriana dan S.italica (L.) Beauv yang berasal dari Bagian Ilmu Tumbuhan Pakan dan Pastura, Fakultas Peternakan IPB, fungi mikoriza arbuskula yang diperoleh dari Laboratorium Teknologi Hutan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, IPB yang berisi 4 jenis fungi (Gigaspora sp, Glomus manihotis, Glomus etunicatum, dan Acaulospora sp), pupuk P (fosfat alam, sipramin, abu jerami padi, dan tepung tapioka) fungisida tanah (nematisida, insektisida dan fungisida) berbahan aktif dazomet 98%, pestisida alami (bawang putih, cabe rawit dan deterjen), plastic fiber, screen nylon dengan bukaan lubang (aperture) berukuran 18 µm. Screen nylon ini tidak tembus air, namun bisa ditembus oleh hifa mikoriza yang berukuran berkisar 2 - 4 µm.

Alat yang digunakan selama penelitian antara lain: penggaris/meteran, jangka sorong,thermohydrometer, flux meter, gunting, timbangan digital (ketelitian 0.01 dan 0.001) saringan tanah, plastik, oven, amplop kertas,object glass,cover glass, pinset, dan mikroskop.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini dirancang dengan Desain Pre-Experimental; static group comparison (Cooper dan Schindler 2003). Desain penelitian ini dipilih dengan pertimbangan bahwa dalam mempelajari proses transfer hara dari tanah ke tanaman tentunya tidak dapat dilakukan pada penelitian secara massal di lapangan, sehingga desain True Experimental tidak dapat digunakan. Perlakuan


(44)

yang diterapkan adalah beberapa level pemupukan pupuk P [fosfat alam Ca3(PO4)2] dan penggunaan mikoriza.

Level pemupukan pupuk P terdiri atas 0, 60, dan 120 Kg P/ha, sedangkan penggunaan mikoriza adalah (-M) tanpa mikoriza dan (+M) dengan mikoriza, 5 g/pot. Kombinasi perlakuan terdiri atas 6 kombinasi yaitu: (1) 0 kg P/ha dan (-M), (2) 60 kg P/ha dan (-M), (3) 120 kg P/ha dan (-M), (4) 0 kg P /ha dan (+M), (5) 60 kg P/ha dan (+M) dan (6) 120 kg P/ha dan (+M)

Tiga puluh enam pot percobaan yang dirancang khusus terdiri atas 2 (dua) kompartemen dipisahkan oleh screen nylon (Gambar 4) digunakan untuk penanaman Indigofera dan Hotong secara bersamaan. Masing-masing kompartemen berukuran tinggi 40 cm dan diameter 20 cm.

Gambar 4. Desain pot percobaan

Perlakuan pemupukan pupuk P diberikan pada kompartemen tanaman Indigofera sedangkan perlakuan penggunaan mikoriza diberikan pada kompartemen tanaman Hotong. Penambahan pot percobaan (sebagai kontrol) juga dilakukan untuk penanaman setiap spesies secara monokultur yang bertujuan untuk membandingkan produktivitas tumpangsari dalam penelitian ini. Terdapat 6 (enam) pot percobaan lain yang diberikan perlakuan pupuk P dan mikoriza secara bersamaan pada masing-masing tanaman. Level pupuk P dan mikoriza untuk pertanaman monokultur ini adalah dosis terbaik dari pupuk P dan mikoriza berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan teori. Keseluruhan unit pot percobaan dalam penelitian ini berjumlah 42 pot. Seluruh pot diletakkan secara random di rumah kaca (Gambar 5)


(45)

Gambar 5.Lay outpenelitian

Penelitian ini berlangsung selama 90 hari dengan 2 (dua) kali waktu pemanenan. Panen pertama dilakukan pada hari ke-60, yang merupakan waktu pemanenan yang terbaik untuk Indigofera sp (Suharlina 2010), sedangkan pada hari ke-60 itu Hotong masih dalam fase vegetatifnya. Panen pertama ini dilakukan pada 21 unit pot percobaan. Sedangkan sisa 21 pot percobaan dipanen pada hari ke-90.

Prosedur penelitian

Penelitian ini diawali persiapan media tanam yang dilakukan dengan mengambil tanah pada kedalaman 20 cm dari permukaan tanah. Tanah berasal dari kebun penelitian Bagian Ilmu Tumbuhan Pakan dan Pastura, IPB. Tanah kemudian dikeringanginkan sekitar satu minggu dalam rumah kaca dan kemudian disaring dengan menggunakan saringan dengan ukuran 2.0 mm. Sampel tanah diambil secara komposit untuk dianalisis kandungan awal unsur haranya secara lengkap. Hasil analisis tanah awal dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Analisis kandungan unsur hara tanah sebelum perlakuan*)

pH C-Org (%) N-total (%) P-tersedia (ppm) P (HCl 25%) (ppm) KTK (me/ 100g)

Al H NH4+ (ppm)

NO3 -(ppm)

H2O KCl (me/100g)

4.40 3.50 0.95 0.09 5.30 52.82 9.36 7.82 0.45 178.20 1166.22 Keterangan:*)hasil analisis Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian IPB

Pembuatan pupuk P buatan berbahan fosfat alam, sipramin, abu jerami padi, dan tepung tapioka dilakukan sebelum penelitian dimulai. Pembuatan pupuk P dilakukan dengan mencampurkan larutan sipramin dan fosfat alam dengan


(46)

perbandingan 1 : 2 (1 bagian sipramin dan 2 bagian fosfat alam).Kemudian, abu jerami padi (sebanyak 3%) dan tepung tapioka (sebanyak 2 %) dari total campuran sipramin dan fosfat alam ditimbang dan dicampur rata. Campuran diaduk sampai rata dan kemudian ditambahkan dengan larutan sipramin yang sudah ditimbang dan disiapkan terlebih dahulu. Setelah campuran teraduk rata, lalu dicetak dengan menggunakan cetakan plastik berlubang hingga menjadi butiran. Pupuk P buatan dikeringanginkan selama beberapa hari. Penambahan abu jerami padi pada pupuk ditujukan untuk menetralkan pH pupuk sebagai akibat pemakaian sipramin yang bersifat masam. Penggunaan tepung tapioka ditujukan sebagi filler. Komposisi unsur hara pupuk P buatan terdiri atas pH 6.20, 16.91% C-Organik, 1.42% N total, C/N rasio 11.91, 8.57 – 10.0 mg/100g P2O5, 1.86 mg/100g K2O, KTK 35.10 me/100g dan kadar air sebesar 9.31% (hasil analisis Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian IPB 2012).

Pada saat penanaman, media tanam (tanah) yang telah dimasukkan ke pot difumigasi dengan menggunakan larutan fungisida berbahan aktif dazomet 98%. Kemudian dibiarkan (diinkubasi) selama 2 minggu. Fumigasi tanah bertujuan untuk mengkondisikan tanah menjadi steril, bebas dari mikroorganisme, khususnya fungi. Penanaman kedua individu tanaman dilakukan dengan menggunakan biji melalui penyemaian terlebih dahulu. Sebelum penyemaian, benih disterilkan dengan merendamnya dengan larutan kaporit selama 15 menit dengan suhu 70°C. Kemudian benih ditabur di bak penyemaian dan ditutupi selapis tanah. Penyemaian dengan metode ini menghasilkan perkecambahan yang rendah dan pertumbuhan kecambahIndigoferayang kurang baik karena terserang jamurAspergillus flavus pada media tanam steril. Metode penyemaian yang lain dilakukan dengan menyemai benih dalam bak penyemaian yang berisi tanah, pasir dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1:1 (Gambar 6).


(47)

Gambar 6. Proses Penyemaian

Sebelum penanaman, bibit Indigofera dan Hotong (dengan 3 daun awal) dengan yang siap ditransplantasi ke pot percobaan diambil dari bak penyemaian dengan hati-hati. Kemudian akar bibit tanaman Indigofera dan Hotong dicuci dengan air mengalir untuk membersihkan akar dari media tanam awal yang tersangkut di akar.

Tanaman Hotong diberi perlakuan inokulasi mikoriza yang diletakan pada dasar lubang tanam, sehingga akar Hotong diberi ruang untuk bersentuhan langsung dengan mikoriza pada saat penanaman. Perlakuan pemupukan pupuk organik P (sesuai level perlakuan pemupukan) pada tanamanIndigoferapada saat tanam dengan mengaplikasikannya di bagian dasar lubang tanam. Proses yang diharapkan terjadi dalam penelitian ini, mikoriza dapat mempercepat mineralisasi P pada kompartemen Indigofera dan membantu penyerapan P pada tanaman Hotong melalui hifa yang berkembang dalam rhizosfer dan dapat menembus screen nylon dan tanaman Indigofera dapat memberikan kontribusi N fiksasi terhadap Hotong. Proses ini diharapkan dapat meningkatkan produksi tanaman secara keseluruhan (Gambar 7)


(48)

Gambar 7 Desain proses transfer hara P dan N tanaman legum pakan Indigofera dan tanaman non legum Hotong dalam sistem tumpangsari

Setelah tiga hari penanaman, penambahan pupuk N dan K sebagai pupuk dasar dilakukan dengan dosis 30 Kg N/ha (Urea 46% N) dan 30 Kg K2O /ha [Muriate of Potash (MOP) 60.05% K2O] pada seluruh kompartemen, termasuk pada pot kontrol. Aplikasi kedua pupuk ini dilakukan dengan membuat lubang di kedua sisi permukaan media tanam (Gambar 8).

Gambar 8. Aplikasi pupuk N dan K

Pemeliharaan

Selama periode penelitian, penyiraman tanaman dilakukan setiap hari pada sore hari. Tanaman Hotong yang tumbuh meninggi diberi penyangga agar tidak jatuh


(49)

dan patah. Pada periode pertumbuhan tanaman panen pertama, terdeteksi adanya serangan hama (serangga dan kutu) dan penyakit (diduga gejala defisiensi). Tindakan yang dilakukan hanya tindakan mekanis; menyingkirkan hama dengan cara membuang satu per satu kutu yag menyerang tanaman, karena hama kutu dan serangga yang menyerang masih sedikit.

Pada periode pertumbuhan tanaman panen kedua, serangan hama tidak dapat lagi dilakukan dengan mekanis, tetapi secara biologis dengan menyemprotkan hama kutu menggunakan pestisida alami yang terbuat dari bawang putih, cabe rawit dan deterjen. Setelah penyemprotan, tanaman yang disemprot dibiarkan selama 15–30 menit, kemudian tanaman dibilas dengan air mengalir sampai sisa pestisida bersama dengan hama kutu yang sudah mati menjadi bersih.

Peubah yang diamati

Dalam penelitian ini, peubah yang diamati meliputi pertumbuhan dan produksi Indigoferadan Hotong. Peubah pertumbuhan yang diamati meliputi :

a. Bobot kering tajuk dan bobot kering akar (g/tanaman); dilakukan pada setiap panen dengan cara memanen tanaman dekat dengan permukaan tanah. Kemudian ditimbang dan dikeringkan dalam oven pada suhu 60⁰C selama + 3 hari.

b. Jumlah nodul untukIndigoferapada setiap panen.

c. Bobot kering malai untuk Hotong pada setiap panen (g/tanaman).

Untuk peubah kualitas meliputi:

a. Analisis kandunan P tajukIndigoferadan Hotong pada setiap panen. b. Analisis kandungan N tajukIndigoferadan Hotong pada setiap panen.

Untuk peubah dinamika unsur hara tanah dalam sistem tumpangsari a. Infeksi akar setiap panen pada kedua kompartemen.

b. Serapan N dan P tajuk setiap panen pada kedua kompartemen. c. Analisis pH tanah setiap panen pada kedua kompartemen. d. P-total tanah (HCl 25%) setiap panen pada kedua kompartemen. e. P-tersedia tanah (P-Bray I) setiap panen pada kedua kompartemen.


(50)

f. P larutan tanah (WSP-Water Soluble Phosphate) setiap panen pada kedua kompartemen.

g. N total tanah setiap panen pada setiap kompartemen.

h. N-tersedia (N-NH4+dan N-NO3-) tanah setiap panen pada setiap kompartemen. i. Bakteri pelarut P (dengan menggunakandilution plate method).

(Cara kerja dan prosedur analisis terlampir dalam Lampiran 4–12).

Analisis data

Data yang diperoleh dari pengamatan dianalisis secara deskriptif untuk melihat pengaruh dari perlakuan yang diberikan. Uji T (paired two sample for means) untuk data berpasangan dilakukan untuk melihat perbedaan antar perlakuan secara umum. Uji T satu arah (P(T<=0.16) one tail) dilakukan untuk melihat apakah perlakuan dengan mikoriza lebih baik dibandingkan dengan perlakuan tanpa mikoriza pada tanamanIndigoferadan Hotong.


(51)

Hasil

Pertumbuhan tanaman

Pertumbuhan Indigoferadan Hotong selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa pada umur 60 hari,Indigoferamenunjukkan akumulasi bobot kering tajuk yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan umur 90 hari dan relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Bobot kering tajuk Indigofera (+M) pada kompartemen Hotong bahkan relatif masih lebih rendah dibandingkan denganIndigofera(-M) pada kompartemen Hotong.

Tabel 5 Bobot kering tajuk dan akarIndigoferadan Hotong selama penelitian

Pupuk P (kg/ha)

Bobot kering tajuk (g/tanaman)

Bobot kering akar (g/tanaman)

(-M) (+M) (-M) (+M)

Panen 60 hari

Indigofera 0 0.07 0.25 0.02 0.03

60 0.19 0.07 0.02 0.01

120 0.19 0.03 0.04 0.01

Rata-rata 0.15 0.12 0.03 0.02

Kontrol 1.4 0.15

Hotong 0 0.06 0.19 0.02 0.05

60 1.09 0.45 0.19 0.09

120 2.28 0.57 0.43 0.13

Rata-rata 1.15 0.40 0.21 0.09

Kontrol 4.36 0.77

Panen 90 hari

Indigofera 0 0.33 0.82 0.07 0.17

60 2.50 5.40 0.23 1.43

120 1.33 1.42 0.53 0.19

Rata-rata 1.39b 2.55a 0.28 0.59

Kontrol 1.91 0.27

Hotong 0 1.97 3.44 0.64 2.3

60 2.21 1.77 1.00 1.03

120 0.46 1.21 0.13 0.38

Rata-rata 1.55 2.10 0.59b 1.24a

Kontrol 6.91 2.45

Keterangan: Kontrol = (diberikan pupuk P dan mikoriza secara bersamaan pada setiap jenis tanaman), (-M) tanpa mikoriza dan (+M) dengan mikoriza. Huruf (a,b) pada kolom yang berbeda menunjukkan perlakuan (+M) lebih tinggi [P(T<=0.16)one tail] dibandingkan dengan perlakuan (-M).


(52)

Pada periode ini belum terlihat pola pertumbuhan akibat perlakuan yang diberikan. Pada umur 60 hari mikoriza belum dapat memengaruhi pertumbuhan Indigofera, karena belum berkembangnya hifa (Gambar 9).

Gambar 9 Akar Hotong dan Indigoferadengan perlakuan pupuk P(+M) umur 60 hari

Pertambahan bobot kering tajuk terjadi sangat drastis pada potIndigofera(+M) pada kompartemen Hotong berumur 90 hari, dengan penambahan 20 kali dibandingkan dengan umur 60 hari. Penambahan ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan Indigofera (-M) pada kompartemen Hotong umur 90 hari yang hanya mencapai penambahan sebesar 8 kali dibandingkan dengan umur 60 hari. Uji t berpasangan yang dilakukan terhadapIndigoferaumur 90 hari (-M) dan (+M) pada kompartemen Hotong memperlihatkan bahwa bobot kering tajuk Indigofera (+M) pada kompartemen Hotong berumur 90 hari lebih tinggi (2.55 g/tanaman) dengan [P(T<=0.16) one tail] dibandingkan dengan bobot kering tajuk Indigofera (-M) pada kompartemen Hotong berumur 90 hari (1.39 g/tanaman).


(53)

Indigofera (+M) pada kompartemen Hotong yang berumur 90 hari diduga sudah terinfeksi oleh hifa mikoriza (Gambar 10) yang berasal dari kompartemen Hotong. Mikoriza yang terdapat pada kompartemen Hotong sudah berkembang dan sudah bekerja dengan baik, sehingga mampu menyeberang ke kompartemen Indigofera melalui screen nylon. Keberadaan mikoriza yang menginfeksi sistem perakaran Indigofera membantu penguraian P, sehingga menjadi tersedia bagi tanamanIndigofera. Selain itu, kejadian infeksi ini terbukti dengan adanya infeksi sebesar rata-rata 15% (Tabel 6) pada sistem perakaran Indigofera (+M) pada kompartemen Hotong.

Gambar 10 Akar Hotong dan Indigofera perlakuan pupuk P(+M) umur 90 hari


(1)

Lampiran 9 Prosedur analisis P-tersedia (P-Bray I)

1. Larutan ekstrak Bray and Kurtz P-1 (0.025 M HCl dalam 0.03 M NH4F); 11.11 g of reagen ammonium fluoride (NH4F) dilarutkan dalam 9 L air destilasi. 2. Kemudian ditambahkan 250 mL 1M HCl (yang sudah distandarisasi lebih

dulu) dan dibuat menjadi volume 10 L dengan air destilasi.

3. Campur dan kocok menyeluruh. pH hasil larutan sekitar 2.6 ± 0.05. 4. Penyesuaian pH dilakukan dengan penambahan HCl atau NH4OH.

5. Analisis P-tersedia dilakukan dengan menimbang 1.5 g tanah kering udara dan kemudian ditambahkan dengan 15 ml larutan P-Bray 1 dalam 50 ml labu erlenmeyer.

6. Setelah itu, larutan dikocok selama 15 menit dengan mesin pengocok dan kemudian disaring dengan kertas Whatman 41.

7. Hasil saringan ditampung dalam labu Erlenmeyer 120 ml.

8. Sebanyak 5 ml hasil saringan dipipet dan dimasukkan dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan dengan pereaksi pewarna fosfat sebanyak 10 ml, dikocok dan dibiarkan selama 15 menit.

9. Absorbansinya diukur dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm.


(2)

Lampiran 10 Prosedur analisis P larutan tanah (water soluble phosphate)

1. Analisis P larutan tanah (water soluble phosphate) dilakukan dengan mengeksktrak tanah dengan menggunakan air bebas mineral (deionized water). 2. Rasio tanah dan air bebas mineral sebesar 1 : 20 dengan waktu ekstraksi 2 jam. 3. Lima gram tanah dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml dan dicampur

dengan 100 ml air bebas mineral, kemudian di kocok dengan shaker dengan 150 rpm.

4. Setelah itu, larutan tadi disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman 41.

5. Tiga ml supernatan dipipet dan di pindahkan ke dalam tabung reaksi dan ditambah dengan Cl3La.7H2O, kemudian divortex. Absorbansinya diukur dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm,


(3)

Lampiran 11 Prosedur analisis bakteri pelarut P (dilution plate method)

1. Sebanyak 90 ml larutan fisiologi dengan menggunakan labu Erlenmeyer 250 ml dan 10 ml laruan fisiologi dalam tabung reaksi, kemudian ditutup dengan penutup gabus.

2. Larutan ini diautoklaf selama 25 menit pada suhu 121 °C. Setelah itu larutan dikeluarkan dan didinginkan.

3. Sebanyak 10 g tanah ditambahkan ke dalam 90 ml larutan fisiologi dan dikocok + 30 menit.

4. Setelah itu, sebanyak 1 ml larutan suspensi dipipet dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan fisiologi.

5. Dengan menggunakan pipet steril, dipipet 1 ml larutan dan di tuangkan ke dalam cawan petri yang sudah disiapkan (steril) dan diratakan.

6. Kemudian, 10 – 15 ml media agar (media pickovskaya) diambil dan dituangkan ke dalam cawan yang sudah berisi sampel dan diratakan (dengan memutar cawan ke kiri dan ke kanan untuk menjadi rata).

7. Setelah padat, cawan petri ditutup dan kemudian diinkubasi selama + 3 hari. Setelah itu, dilakukan pengamatan pertumbuhan bakteri.

8. Perhitungan koloni bakteri pelarut P dilakukan dengan rumus:

Jumlah mikroorganisme = koloni yang terbentuk pada setiap cawan total/g tanah (SPK) petri X faktor pengenceran


(4)

Lampiran 12 Prosedur analisis N-tersedia (N-NH4+dan N-NO3-)

1. Sebanyak 5 g sampel tanah ditimbang dan ditambahkan ke dalam larutan KCl 2M, 25 ml dalam tabung.

2. Kemudian larutan dikocok selama 30 menit dan disaring dengan menggunakan kertas saring dalam labu Erlenmeyer 120 ml.

3. Kemudian sebanyak 5 ml hasil saringan dipipet dan dimasukkan dalam labu destilasi dan ditambahkan dengan pewarna aloy.

4. Sebanyak 1 ml etanol, 100 ml aquades dan 5 ml NaOH 50%, kemudian didestilasi.

5. Hasil destilasi ditampung ke dalam Erlenmeyer yang sudah berisi 10 ml H3Bo3 1 % sampai kurang lebih 50 ml hasil destilasi.

6. Hasil destilasi dititrasi dengan HCl yang sudah diketahui normalitasnya. Kemudian dititrasi sampai warna menjadi merah jambu. Kemudian dicatat HCl yang dipakai untuk titrasi.


(5)

(6)

Lampiran 14 Serangan hama dan penyakit periode panen kedua

Prosedur pembuatan pestisida alami:

1. Bawang putih dan cabe rawit masing-masing satu bagian diblender, kemudian dilarutkan dalam 1 liter air.

2. Larutan ditambahkan dengan 1–2 sendok makan deterjen, kemudian di aduk. 3. Lautan didiamkan 2–3 jam, dan bisa dipakai untuk penyeprotan hama kutu