Fungi yang Berperan dalam Proses Biodelignifikasi pada Jaringan Kayu Mati Tanaman Eucalyptus sp. Di hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli
FUNGI YANG BERPERAN DALAM PROSES BIODELIGNIFIKASI
PADA JARINGAN KAYU MATI TANAMAN Eucalyptus sp. DI HUTAN
TANAMAN INDUSTRI PT. TOBA PULP LESTARI SEKTOR AEK
NAULI.
SKRIPSI
OLEH
TRI YANTO/071202018
BUDIDAYA HUTAN
PROGRAM STUDI ILMU KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2011
Universitas Sumatera Utara
Lembar Pengesahan
Judul Penelitian
Nama
NIM
Program Studi
:Fungi yang Berperan dalam Proses Biodelignifikasi pada
Jaringan Kayu Mati Tanaman Eucalyptus sp. Di hutan
Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli.
: Tri Yanto
: 071202018
: Budidaya Hutan
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS
NIP. 196412282000121002
Ketua
Luthfi Hakim, S.Hut, M.Si
NIP.197910172003121002
Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu kehutanan
Fakultas Pertanian-USU
Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D
NIP. 197104162001122001
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
TRI YANTO: Fungi yang Berperan dalam Proses Biodelignifikasi pada Jaringan
Kayu Mati Tanaman Eucalyptus sp. Di Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp
Lestari Sektor Aek Nauli, dibimbing oleh Dr. Ir. EDI BATARA MULYA
SIREGAR MS. dan LUTFI HAKIM S. Hut., M.Si.
Fungi pelapuk kayu secara ekologis dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu fungi pelapuk putih dan fungi pelapuk coklat. Fungi pelapuk putih dapat
mendegradasi lignin, hemiselulosa, maupun selulosa. Fungi pelapuk putih
memiliki keistimewaan yang unik, yaitu kemampuannya untuk mendegradasi
lignin. Berdasarkan kemampuan fungi tersebut sehingga perlu dilakukan studi
terhadap fungi yang berperan dalam proses pendegradasian lignin (delignifikasi).
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Program Studi Ilmu
Kehutanan Universitas Sumatera Utara pada April – Juli 2011. Sampel penelitian
didapat dari jaringan kayu mati di bawah tegakan Eucalyptus sp PT. Toba Pulp
Lestari, Tbk sektor Aek Nauli. Sampel dipisahkan berdasarkan tingkat
pelapukannya yaitu kelas baru, sedang, dan lanjut. Sampel diisolasi berdasarkan
tingkat pelapukannya dan dilakukan uji bavendamm untuk mengetahui fungi yang
termasuk fungi pelapuk putih. Setelah itu isolat fungi diidentifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 16 isolat fungi yang dilakukan
uji Bavendamm terdapat 4 isolat yang menunjukkan hasil positif. Dimana didapat
dari 2 isolat untuk pelapukan kelas baru, 1 isolat untuk pelapukan kelas sedang,
dan 1 isolat untuk pelapukan kelas lanjut. Setelah melakukan identifikasi fungi
pada isolat tersebut diketahui bahwa 2 isolat yang berasal dari pelapukan kelas
baru adalah Phanerochaete sp. sedangkan 1 isolat yang berasal dari kelas sedang
dan 1 isolat yang berasal dari kelas lanjut adalah Cryptococcus sp.
Kata kunci: Biodelignifikasi, Eucalyptus sp., Fungi Pelapuk Putih, Uji
Bavendamm.
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACK
TRI YANTO : The Fungi That Gets a Role in Biodelignification of Dead Wood
Tissue Of Eucalyptus sp. at PT. Toba Pulp Lestari, Aek Nauli Sector, under the
supervision Dr.Ir.EDY BATARA MULYA SIREGAR, M.S and LUTHFI
HAKIM, S.Hut,M.Si
Wood-rot fungi in ecological can be grouped in two part, which is white-rot fungi
and brown-rot fungi. White-rot fungi can degradate lignin, hemiselulose, and
selulose. White-rot fungi has special ability. It is to degradate lignin. Based on its
ability, need to be done a research about this fungi that gets a role in lignin
degradation (delignification). This research was conducted in Biotecnology
Laboratory of forestry department in North Sumatera University from April to
July 2011. The material of this research was got from dead wood tissue in
standing Eucalyptus sp. at PT. Toba Pulp Lestari, Aek Nauli sector. The material
was separated based on its corrosion level and can be done bavendamm test to
know the fungi that includes to the white-rot fungi. After that the isolate can be
identified.
The result shows that from 16 isolate that have been done with bavendamm test.
There are 4 isolate that showed positive mark. After identifiying of 4 isolate, the
result shows that the species white moldier fungi that have been got are
Phanerochaete sp. and Cryptococcus sp.
Key words : Biodelignification, Eucalyptus sp., White-Rot Fungi, Bavendamm
Test
Universitas Sumatera Utara
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di desa Suka Mulia pada tanggal 9 Nopember 1989 dari
ayah Sukroji dan ibu Kamsyah. Penulis merupakan putra ke 12 dari 12
bersaudara.
Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Swasta Patra Nusa, Rantau dan pada
tahun 2007 penulis masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur ujian tertulis
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih program studi
Budidaya Hutan Deoartemen Kehutanan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Badan
Kenaziran Mushollah (BKM) Baytul Asyjaar. Pada tahun 2010 dipilih sebagai
asisten Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan.
Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Perum Perhutani
Unit III Jawa Barat dan Banten, BKPH Pameungpeuk KPH Garut. Dilaksanakan
pada tanggal 03 Januari-03 Februari 2011.
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala
atas berkah rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini
dengan baik. Penelitian ini berjudul “Identifikasi Fungi yang Berperan dalam
Proses Biodelignifikasi pada Jaringan Kayu Mati Tanaman Eucalyptus spp. Di
hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli”. Penelitian ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Program
Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada orang tua,
kepada Bapak Dr. Edy Batara Mulya Siregar, MS dan Bapak Luthfi Hakim,
S.Hut., M.Si selaku komisi pembimbang yang telah banyak mengarahkan dan
memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Juga
kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.
Penulis berharap semoga semoga hasil penelitian ini berguna sebagai dasar
penelitian-penelitian selanjutnya dan sebagai bahan informasi bagi pihak yang
membutuhkan. Serta dapat menyumbangkan pengetahuan bagi kemajuan dunia
pendidikan.
Medan, Juli 2011
Penulis
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..................................................................................................... i
ABSTRACT ................................................................................................... ii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... ix
PENDAHULUAN
Latar Belakang .................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................ 4
Manfaat Penelitian............................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA
Eucalyptus sp ...................................................................................... 5
Syarat Tumbuh ......................................................................... 6
Penyebaran .............................................................................. 6
Deskripsi Fungi ................................................................................... 6
Fungi Sebagai Jasad Renik ....................................................... 7
Ciri-ciri Fungi .......................................................................... 8
Struktur Tubuh Fungi ............................................................... 8
Morfologi Fungi ....................................................................... 9
Habitat Fungi ........................................................................... 9
Hifa .......................................................................................... 10
Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan
Fungi........................................................................................ 11
Pelapukan Kayu................................................................................... 12
Fungi Pelapuk Kayu ............................................................................ 14
Pelapukan Oleh Fungi Pelapuk Coklat ................................................. 15
Pelapukan Oleh Fungi Pelapuk Putih ................................................... 16
Agaricales ........................................................................................... 18
Auriculariales ..................................................................................... 19
Aphylloporales .................................................................................... 19
Tremellales .......................................................................................... 20
Dacrymycetales .................................................................................. 20
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat .............................................................................. 21
Universitas Sumatera Utara
Alat dan Bahan .................................................................................... 21
Prosedur Penelitian .............................................................................. 21
Pengambilan Sampel ................................................................ 21
Isolasi Fungi............................................................................. 22
Uji Bavendamm ....................................................................... 23
Identifikasi Fungi ..................................................................... 23
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian ........................................................ 24
Proses Pelapukan ................................................................................. 24
Uji Bavendamm................................................................................... 27
Identifikasi Fungi Pelapuk putih .......................................................... 29
phanerochaete sp ..................................................................... 29
Cryptococcus sp ....................................................................... 31
Potensi Fungi Pelapuk Putih Sebagai Agen Biopulping ....................... 33
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ......................................................................................... 37
Saran ................................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 38
LAMPIRAN ................................................................................................... 41
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
1.
Karakteristik Pelapukan dan Jenis Fungi yang Didapat pada Pengamatan Di
Lapangan .................................................................................................... 24
2.
Karakteristik Fungi yang Didapat di Lapangan ............................................ 25
3.
Hasil Uji Bavendamm 16 Isolat Fungi ......................................................... 29
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
1.
Siklus Pelapukan dan Fotosintesis ...............................................................14
2.
Lokasi Pengambilan Sampel .......................................................................22
3.
Pelapukan Tipe Baru ...................................................................................26
4.
Pelapukan Tipe Sedang ...............................................................................26
5.
Pelapukan Tipe Lanjut ................................................................................27
6.
Isolat Fungi pada uji bavendamm ................................................................28
7.
Struktur mikroskopis phanerochaete sp .......................................................32
8.
Struktur mikroskopis Cryptococcus sp ........................................................33
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Flowsheet Pembuatan PDA .........................................................................41
2.
Gambar Tipe Pelapukan ..............................................................................42
3.
Fungi yang Ditemukan di Lapangan ............................................................44
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
TRI YANTO: Fungi yang Berperan dalam Proses Biodelignifikasi pada Jaringan
Kayu Mati Tanaman Eucalyptus sp. Di Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp
Lestari Sektor Aek Nauli, dibimbing oleh Dr. Ir. EDI BATARA MULYA
SIREGAR MS. dan LUTFI HAKIM S. Hut., M.Si.
Fungi pelapuk kayu secara ekologis dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu fungi pelapuk putih dan fungi pelapuk coklat. Fungi pelapuk putih dapat
mendegradasi lignin, hemiselulosa, maupun selulosa. Fungi pelapuk putih
memiliki keistimewaan yang unik, yaitu kemampuannya untuk mendegradasi
lignin. Berdasarkan kemampuan fungi tersebut sehingga perlu dilakukan studi
terhadap fungi yang berperan dalam proses pendegradasian lignin (delignifikasi).
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Program Studi Ilmu
Kehutanan Universitas Sumatera Utara pada April – Juli 2011. Sampel penelitian
didapat dari jaringan kayu mati di bawah tegakan Eucalyptus sp PT. Toba Pulp
Lestari, Tbk sektor Aek Nauli. Sampel dipisahkan berdasarkan tingkat
pelapukannya yaitu kelas baru, sedang, dan lanjut. Sampel diisolasi berdasarkan
tingkat pelapukannya dan dilakukan uji bavendamm untuk mengetahui fungi yang
termasuk fungi pelapuk putih. Setelah itu isolat fungi diidentifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 16 isolat fungi yang dilakukan
uji Bavendamm terdapat 4 isolat yang menunjukkan hasil positif. Dimana didapat
dari 2 isolat untuk pelapukan kelas baru, 1 isolat untuk pelapukan kelas sedang,
dan 1 isolat untuk pelapukan kelas lanjut. Setelah melakukan identifikasi fungi
pada isolat tersebut diketahui bahwa 2 isolat yang berasal dari pelapukan kelas
baru adalah Phanerochaete sp. sedangkan 1 isolat yang berasal dari kelas sedang
dan 1 isolat yang berasal dari kelas lanjut adalah Cryptococcus sp.
Kata kunci: Biodelignifikasi, Eucalyptus sp., Fungi Pelapuk Putih, Uji
Bavendamm.
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACK
TRI YANTO : The Fungi That Gets a Role in Biodelignification of Dead Wood
Tissue Of Eucalyptus sp. at PT. Toba Pulp Lestari, Aek Nauli Sector, under the
supervision Dr.Ir.EDY BATARA MULYA SIREGAR, M.S and LUTHFI
HAKIM, S.Hut,M.Si
Wood-rot fungi in ecological can be grouped in two part, which is white-rot fungi
and brown-rot fungi. White-rot fungi can degradate lignin, hemiselulose, and
selulose. White-rot fungi has special ability. It is to degradate lignin. Based on its
ability, need to be done a research about this fungi that gets a role in lignin
degradation (delignification). This research was conducted in Biotecnology
Laboratory of forestry department in North Sumatera University from April to
July 2011. The material of this research was got from dead wood tissue in
standing Eucalyptus sp. at PT. Toba Pulp Lestari, Aek Nauli sector. The material
was separated based on its corrosion level and can be done bavendamm test to
know the fungi that includes to the white-rot fungi. After that the isolate can be
identified.
The result shows that from 16 isolate that have been done with bavendamm test.
There are 4 isolate that showed positive mark. After identifiying of 4 isolate, the
result shows that the species white moldier fungi that have been got are
Phanerochaete sp. and Cryptococcus sp.
Key words : Biodelignification, Eucalyptus sp., White-Rot Fungi, Bavendamm
Test
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
Eucalyptus sp.
Eucalyptus
sp.
termasuk
anggota
famili
Myrtaceae,
subgenus
Symphyomyrtus, merupakan salah satu jenis pohon yang tumbuh secara alami di
Indonesia. Jenis tanaman ini tumbuh di daerah Nusa Tenggara Timur dan Timor
Timur. Eucalyptus urophylla tumbuh pada daerah dengan ketinggian 300 – 3.000
m di atas permukaan laut. Tinggi pohon dapat mencapai lebih dari 50 meter,
diameter batang dapat mencapai 2 meter, dengan tinggi bebas cabang dapat
mencapai setengah atau sepertiga dari tinggi total pohon. Daunnya relatif tipis,
memanjang dengan ujung daun yang meruncing (Darwo, 1997).
Eucalyptus sp. Merupakan tumbuhan endemik di Australia dan kepulauan
sebelah utara pulau Irian dan Philipina. Nama Eucalyptus urophylla diberi oleh
Dr. Blake. Nama urophylla berasal dari bahasa Yunani yaitu auro yang berarti
ekor dan phyla yang berarti daun (Khaerudin, 1993).
Tanaman Eucalyptus merupakan family Myrtaceae, terdiri atas lebih
kurang 700 jenis. Jenis Eucalyptus dapat berupa semak, perdu dan pohon
mencapai ketinggian 100 meter. Batang umumnya bulat, lurus, tidak berbanir dan
sedikit bercabang. Pohon pada umumnya bertajuk sedikit ramping, ringan dan
banyak meloloskan cahaya matahari. Cabangnya lebih banyak membuat sudut ke
atas, jarang-jarang dan daunnya tidak begitu lebat. Daunnya berbentuk lanset
hingga bulat telur memanjang dan bagian ujungnya runcing membentuk kait
(Latifah, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Syarat tumbuh
Jenis-jenis Eucalyptus terutama menghendakim iklim bermusim (daerah
arid) dan daerah yang beriklim basah dari tipe hutan hujan tropis. Eucalyptus
dapat tumbuh pada tanah yang dangkal, berbatu-batu, lembab, berawa-rawa,
secara periodik digenangi air, dengan variasi kesuburan tanah mulai dari tanahtanah kurus gersang sampai pada tanah yang baik dan subur. (Dirjen Kehutanan,
1980).
Penyebaran
Marga Eucalyptus terdiri atas 500 jenis kebanyakan endemik di Australia.
Beberapa jenis menyebar dari Australia bagian Utara menuju Malesia bagian
timur. Jenis Eucalyptus
banyak tersebar di daerah-daerah pantai New South
Wales dan Australia bagian Barat Daya. Daerah penyebaran Eucalyptus spp.
Meliputi Australia, Tanzania, New Britania, dan Papua. Beberapa jenis juga
ditemukan di Irian Jaya, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Timor-timur
(Latifah, 2004). Daerah penyebaran alami tanaman Eucalyptus berada di sebelah
Timur garis Wallace mulai 70 LU sampai 43039’ LS (Irwanto, 2007).
Deskripsi Fungi
Jamur (fungi) merupakan tumbuhan tingkat rendah yang tidak mempunyai
zat hijau (chlorophyl). Untuk hidupnya mereka berperan sebagai parasit atau
saprofit
yang tidak dapat menghasilkan makanannya sendiri (Tambunan dan
Nandika, 1989).
Jamur merupakan organisme eukariota yang digolongkan kedalam
kelompok cendawan sejati. Dinding sel jamur terdiri atas kitin, sel jamur tidak
Universitas Sumatera Utara
mengandung klorofil. Jamur mendapatkan makanan secara heterotrof dengan
mengambil makanan dari bahan organik. Bahan organik disekitar tempat
tumbuhnya diubah menjadi molekul-molekul sederhana dan diserap langsung oleh
hifa, jadi jamur tidak seperti organisme heterotrof lainnya yang menelan
makanannya kemudian mencernanya sebelum diserap (Gunawan, 2000).
Mikroorganisme ini dapat dibedakan dalam empat golongan tergantung
pada sifat perkembangan didalam dan pada kayu, dan tipe kerusakan yang
ditimbulkan olehnya. Golongan-golongan tersebut adalah cendawan perusak kayu,
pewarna kayu, cendawan buluk dan bakteri penyerang kayu (Hunt dan Garrat,
1986).
Fungi sebagai jasad renik
Jasad renik merupakan salah satu faktor yang banyak menimbulkan
kerusakan pada kayu. Jasad renik tersebut terdiri dari jamur dan bakteri, dimana
bagian vegetatifnya secara individu hanya dapat dilihat dengan jelas dibawah
mikroskop karena ukurannya sangat kecil. Jasad renik adalah sejenis tumbuhan
tingkat rendah yang tidak mengandung klorofil, oleh karena itu mereka
mempertahankan hidupnya dengan energi dan bahan organik yang dihasilkan oleh
tumbuhan hijau. Dengan demikian kayu sebagai produk terbesar dari tumbuhan
hijau merupakan sumber makanan bagi berbagai jenis jamur dan bakteri.
Berdasarkan medium tempat jasad renik itu berkembang dan sifatnya yang
saprofit dan parasit, jasad renik berbeda dengan tanaman hijau (Tambunan dan
Nandika, 1989).
Universitas Sumatera Utara
Ciri-ciri fungi
Fungi merupakan tumbuhan yang tidak mempunyai klorofil sehingga
bersifat heterotrof, tipe sel eukarotik. Jamur ada yang uniseluler dan multiseluler.
Tubuhnya terdiri dari benang-benang yang disebut hifa yang dapat membentuk
anyaman bercabang-cabang (miselium). Fungi pada umumnya multiseluler (bersel
banyak). Ciri-ciri fungi berbeda dengan organisme lainnya dalam hal cara makan,
struktur tubuh, pertumbuhan, dan reproduksinya (Gandjar et al, 1999).
Fungi benang terdiri atas massa benang yang bercabang-cabang yang
disebut miselium. Miselium tersusun dari hifa (filamen) yang merupakan benangbenang tunggal. Badan vegetatif jamur yang tersusun dari filamen-filamen disebut
thallus. Berdasarkan fungsinya dibedakan dua macam hifa, yaitu hifa fertil dan
hifa vegetatif. Hifa fertil adalah hifa yang dapat membentuk sel-sel reproduksi
atau spora-spora. Apabila hifa tersebut arah pertumbuhannya keluar dari media
disebut hifa udara. Hifa vegetatif adalah hifa yang berfungsi untuk menyerap
makanan dari substrat (Sumarsih, 2003).
Berdasarkan bentuknya dibedakan pula menjadi dua macam hifa, yaitu
hifa tidak bersepta dan hifa bersepta. Hifa yang tidak bersepta merupakan ciri
jamur yang termasuk Phycomycetes (Jamur tingkat rendah). Hifa ini merupakan
sel yang memanjang, bercabang-cabang, terdiri atas sitoplasma dengan banyak
inti (soenositik). Hifa yang bersepta merupakan ciri dari jamur tingkat tinggi, atau
yang termasuk Eumycetesi (Sumarsih, 2003).
Morfologi fungi
Bagian vegetatif pada jamur umumnya berupa benang-benang halus
memanjang, bersekat (septa) atau tidak, dinamakn dengan hifa. Kumpulan-
Universitas Sumatera Utara
kumpulan benang-benang hifat tersebut dinamakan dengan miselium. Miselium
dapat dibedakan menjadi dua tipe pokok. Pertama mempunyai hifa senositik
(coenocytic), yaitu hifa yang mempunyai banyak inti dan tidak mempunyai sekat
melintang, jadi hifa ini berbentuk tabung halus yang mengandung protoplas
dengan banyak inti. Pembelahan intinya tidak diikuti oleh pembelahan sel. Kedua
mempunyai hifa seluler (celluler), hifa terdiri dari sel-sel, yang masing-masing
mempunyai sat atau dua inti (Semangun, 1996).
Habitat fungi
Semua jenis jamur bersifat heterotrof. Namun, berbeda dengan organisme
lainnya, jamur tidak memangsa dan mencernakan makanan. Untuk memperoleh
makanan, jamur menyerap zat organik dari lingkungan melalui hifa dan
miseliumnya, kemudian menyimpannya dalam bentuk glikogen. Oleh karena
jamur merupakan konsumen maka jamur bergantung pada substrat yang
menyediakan karbohidrat, protein, vitamin, dan senyawa kimia lainnya. Semua zat
itu diperoleh dari lingkungannya. Sebagai makhluk heterotrof, jamur dapat
bersifat parasit obligat, parasit fakultatif, atau saprofit Habitat (tempat hidup)
jamur terdapat pada air dan tanah. Cara hidupnya bebasatau bersimbiosis, tumbuh
sebagai saprofit atau parasit pada tanaman, hewan dan manusia (Sumarsih, 2003).
Hifa
Hifa dapat dibedakan atas dua tipe hifa yang fungsinya berbeda, yaitu
yang menyerap unsur hara dari substrat dan yang menyangga alat-alat reproduksi.
Hifa umumnya rebah pada permukaan substrat atau tumbuh ke dalam substrat dan
fungsinya untuk mengabsorbsi unsur hara yang diperlukan bagi kehidupan fungi
Universitas Sumatera Utara
disebut hifa vegetatif. Hifa yang umumnya tegak pada miselium yang terdapat di
permukaan substrat yang disebut hifa fertil, karena berperan untuk reproduksi.
Hifat-hifat yang telah menjalin suatu jaringan miselium makin lama makin tebal
dan membentuk suatu koloni yang dapat dilihat mata telanjang (Semangun, 1996).
Hifa adalah struktur menyerupai benang yang tersusun dari dinding
berbentuk pipa. Dinding ini menyelubungi membran plasma dan sitoplasma hifa.
Sitoplasmanya mengandung organel eukariotik. Kebanyakan hifa dibatasi oleh
dinding melintang atau septa. Septa mempunyai pori besar yang cukup untuk
dilewati ribosom, mitokondria, dan kadangkala inti sel yang mengalir dari sel ke
sel. Akan tetapi, adapula hifa yang tidak bersepta atau hifa senositik (Semangun,
1996).
Struktur hifa senositik dihasilkan oleh pembelahan inti sel berkali-kali
yang tidak diikuti dengan pembelahan sitoplasma. Hifa pada jamur yang bersifat
parasit biasanya mengalami modifikasi menjadi haustoria yang merupakan organ
penyerap makanan dari substrat; haustoria dapat menembus jaringan substrat
(Semangun, 1996).
Faktor yang mempergaruhi pertumbuhan dan perkembangan fungi
Menurut Tambunan dan Nandika (1989), ada beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan fungi antara lain:
1. Temperatur
Jamur perusak kayu dapat berkembang pada interval suhu yang cukup lebar,
tetapi pada kondisi-kondisi alami perkembangan yang paling cepat terjadi selama
periode-periode yang lebih panas dan lebih lembab dalam setiap tahun. Suhu
optimum berbeda-beda untuk setiap jenis, tetapi pada umumnya berkisar antara
Universitas Sumatera Utara
220C sampai 350C. Suhu maksimumnya berkisar antara 270C sampai 390C dengan
suhu minimum kurang lebih 50C.
2. Oksigen
Oksigen sangat dibutuhkan oleh jamur untuk melakukan respirasi yang
menghasilkan CO2 dan H2O. sebaliknya untuk pertumbuhan yang optimum,
oksigen harus diambil secara bebas dari udara. Tanpa adanya oksigen, tidak ada
jamur yang dapat hidup.
3. Kelembaban
Kebutuhan jamur akan kelembaban berbeda-beda, namun hampir semua jenis
jamur dapat hidup pada substrat yang belum jenuh air. Kadar air subtrat yang
rendah sering menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan jamur. hal ini terutama
berlaku bagi jenis jamur yang hidup pada kayu atau tanah. Kayu dengan kadar air
kurang dari 20% umumnya tidak terserang jamur perusak, sebaliknya kayu
dengan kadar air 35-50% sangat disukai oleh jamur perusak.
4. Konsentrasi hidrogen (pH)
Pada umumnya jamur akan tumbuh dengan baik pada pH kurang dari 7
(dalam suasana asam sampai netral). Pertumbuhan yang optimum akan dicapai
pada pH 4,5 sampai 5,5.
5. Bahan makanan (nutrisi)
Jamur memerlukan makanan dari zat-zat yang terkandung dalam kayu
seperti selulosa, hemiselulosa, lignin dan zat-zat isi sel lainnya. Selulosa,
hemiselulosa dan lignin yang menyusun kayu terdapat sebagai makromolekul
yang terlalu besar dan tidak larut dalam air untuk diasimilasi langsung oleh
cendawan. Secara umum pertumbuhan fungi dipengaruhi oleh substrat,
Universitas Sumatera Utara
kelembaban, suhu, derajat keasaman substrat (pH), dan senyawa kimia
dilingkungannya.
Pelapukan Kayu
Dekomposisi kayu/tanaman adalah bagian terpenting dalam siklus karbon di
alam. Proses dekomposisi disebabkan oleh jamur, insekta yang menggunakan
kayu sebagai makanan atau shelter. Kandungan Lignin dalam kayu menjadi bahan
utama untuk proses dekomposisi enzim dari selulosa dan hemiselulosa. Pada
prinsipnya, kayu mengandung bahan organik tertinggi, dan kayu tidak dapat
dipisahkan dari tanaman yang selalu mengikuti siklus dan proses fotosintesis
alam. Ketika kayu sudah mati, maka jamur dan organisme pengurai lainnya
berperan dalam penguraian bahan kayu tersebut melalui proses biosintetik dan
biodekomposisi (Murtihapsari, 2008).
Ketika kayu dibelah menjadi potongan dan batangan-batangan kecil maka
sel hidup getah (sapwood) bersama jamur dan bakteri lainnya akan dengan cepat
mengkonversi sapwood (stored food reserve) langsung menjadi karbon dioksida
(CO2), air dan langsung mengalami pemanasan seperti pada Gambar 1. Jika proses
metabolik ini tidak sempurna, maka potongan-potongan kecil kayu tersebut akan
menjadi panas dan oleh bantuan tidak adanya pori respitator akan mempercepat
proses pembakaran dan pada akhirnya semua sel hidup kayu akan mati seketika.
Namun dalam beberapa observasi, para ilmuwan sepakat bahwa kayu basah masih
memiliki getah/sel kayu dalam kategori masih hidup.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Siklus pelapukan dan fotosintesis (Prasetya, 2005).
Secara umum kerusakan kayu terjadi karena pembebanan (mekanik) dan
faktor biologi (jamur, rayap, dll). Jamur merupakan salah satu mikroorganisme
yang tidak mempunyai klorofil sehingga dalam mempertahankan hidupnya akan
mengambil energy atau bahan-bahan organik yang dihasilkan oleh tumbuhan hijau
baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati (Iswanto,2009).
Peristiwa pelapukan pada umumnya dipengaruhi oleh reaksi biokimia
antara komponen kimia kayu (biomassa) dengan enzim yang diproduksi oleh
mikroorganisme. Kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan komponen
kimia bahan tersebut sangat dipengaruhi oleh genetik dan kondisi lingkungan.
Fungi pelapuk umumnya berfungsi sebagai pembuka jalan pelapukan lain oleh
mikroba yang lebih rendah tingkatannya seperti bakteri. Pada umumnya mikroba
yang sangat berperan dalam pendegradasian kayu adalah fungi pelapuk putih
(white rot fungi) dan fungi pelapuk coklat (brown rot fungi), dan keduanya
sebagian besar tergolong Basidiomycetes (Prasetya, 2005).
Berdasarkan tingkat urutan-urutan penguraian komponen kimia biomassa,
degradasi dapat dibagi kedalam tiga katagori. Pertama, lignin yang didegradasi
Universitas Sumatera Utara
kemudian diikiuti dengan selulosa dan hemiselulosa. Kedua, sebaliknya degradasi
diawali dengan selulosa dan hemiselulosa kemudian degradasi lignin. Ketiga,
degradasi lignin dan selulosa berjalan bersamaan. Proses degradasi pada
umumnya berjalan bertahap dan pada umumnya terjadi pemotongan rantai
panjang dari polimer selulosa menjadi lebih pendek (Prasetya, 2005).
Fungi Pelapuk Kayu
Dekomposisi kayu/tanaman adalah bagian terpenting dalam siklus karbon
di alam. Proses dekomposisi disebabkan oleh fungi, insekta yang menggunakan
kayu sebagai makanan atau shelter. Kandungan Lignin dalam kayu menjadi bahan
utama untuk proses dekomposisi enzim dari selulosa dan hemiselulosa. Pada
prinsipnya, kayu mengandung bahan organik tertinggi, dan kayu tidak dapat
dipisahkan dari tanaman yang selalu mengikuti siklus dan proses fotosintesis
alam. Ketika kayu sudah mati, maka fungi dan organisme pengurai lainnya
berperan dalam penguraian bahan kayu tersebut melalui proses biosintetik dan
biodekomposisi. Istilah dekomposisi dan degradasi disini digunakan lebih
menekankan pada proses konversi satu atau lebih struktur polimer dari kayu
menjadi partikel atau struktur yang lebih sederhana (Murtihapsari, 2008).
Fungi pelapuk kayu secara ekologis dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu fungi pelapuk putih (FPP) dan fungi palapuk coklat. Fungi pelapuk putih
dapat mendegradasi lignin, hemiselulosa, maupun selulosa. Kayu yang
didegradasi oleh FPP akan menjadi putih/keputih-putihan, lunak, tetapi tidak
menyusut. Sedangkan fungi pelapuk coklat dapat mendegradasi hemiselulosa, dan
selulosa, tetapi tidak dapat mendegradasi lignin. Kayu yang didegradasi oleh fungi
Universitas Sumatera Utara
pelapuk coklat akan berwarna merah kecoklatan dan hancur (Lyon, 1991). Di
alam presentase fungi pelapuk coklat lebih sedikit daripada fungi pelapuk putih.
Pelapukan oleh fungi pelapuk cokelat
Pelapukan yang disebabkan oleh fungi ini menyebabkan terjadinya
degradasi polisakarida yang agak selektif dan juga lignin yang menjadi sasaran
utama. Dalam kayu yang mengalami pembusukan cokelat berat, kerangka lignin
tetap utuh. Penembusan kayu oleh hifa terjadi melalui jari-jari, kemudian
menyebar ke noktah kayu kemudian menembus dinding-dinding sel dengan cara
melubangi atau melalui mikrohifa. Hifa yang tumbuh dalam lumina sel sangat
berdekatan dengan dinding tersier (Murtihapsari, 2008).
Semua fungi pelapuk coklat termasuk dalam Basidiomycetes yang
umumnya Polyporales dan sebagian besar berasosiasi dengan konifer. Tidak
kurang terdapat 125 spesies fungi pelapuk coklat dan dikelompokkan ke dalam
empat
ordo,
yaitu:
Aphullophorales
(Corticiaceae,
Coniophoraceae,
Fistulinaceae, dan Polyoraceae), Agaricales, Tremellales, dan Dacrymycetales.
Sebagian besar fungi pelapuk coklat tersebut merupakan kelompok Polyporaceae.
Sekitar 85% fungi pelapuk coklat berasosiasi dengan inang kayu Gymnospermae
(Nakasone, 1993).
Pelapukan oleh fungi pelapuk putih
Fungi pelapuk putih menyerang kayu lunak dan terutama kayu keras
dengan pilihan pada lignin. Ada beberapa enzim-enzim pendegradasi lignin
berkembang biak dan enzim-enzim untuk mendegradasi pectin, poliosa dan
bahkan selulosa. Hifa fungi-fungi masuk ke dalam jaringan kayu melalui selaput
Universitas Sumatera Utara
noktah dan melalui dinding-dinding sel dengan membentuk lubang-lubang
pengeboran. Dalam kayu akar spruce dapat dilihat bahwa hifa Heterobasidion
annosum cenderung tumbuh dari jari-jari floem masuk ke dalam jari-jari kayu dan
dari sini kearah lateral masuk ke dalam trakeid di dekatnya (Murtihapsari, 2008).
Tahap awal dalam pelapukan kayu yang dilakukan oleh white rot
fungi akan menyebabkan perubahan warna dan pengerasan pada permukaan kayu.
Hifa berkembang pada permukaan kayu atau bagian-bagian kayu yang retak
kemudian miselium menghisap zat makanan. Sifat fisik kayu, warna kayu dan
strukturnya akan berubah. Tahap ini disebut pelapukan tingkat lanjut (Advanced
decay) yang ditandai dengan berkurangnya kekuatan kayu sehingga mudah
hancur. Jamur pelapuk putih akan meninggalkan warna putih pada kayu
(Hardjo dkk., 1989). Heygren dan Bowyer (1989) menjelaskan bahwa jamur
pelapuk putih mengambil zat-zat makanan dari unsur-unsur sel kayu dengan
bantuan enzim-enzim tersebut kemudian dirombak secara kimia ke dalam bentukbentuk molekul yang lebih sederhana sehingga dapat dimetabolisir.
Meskipun demikian, tidak semua strain mempunyai kedua jenis enzim
tersebut. Beberapa strain dari phanerochaete chrysosporium tidak mampu
memproduksi LiP jika ditanam pada media cair. MnP tidak hanya diproduksi oleh
P. chrysosporium, tetapi juga oleh beberapa fungi. Mekanisme dari reaksi MnP
pada dasarnya mengoksidasi ion Mn2+ menjadi Mn3+ dengan kehadiran H2O2 dan
chelator asam organic seperti asam laktat (Prasetya, 2005).
Fungi pelapuk putih dikelompokkan ke dalam lima ordo, yaitu:
Aphlyllophorales, Agaricales, Auriculariales, Tremellales, dan Dacrymycetales.
Universitas Sumatera Utara
Fungi pelapuk putih lebih banyak dijumpai pada kayu Angiospermae atau kayu
keras (Nakasone, 1993).
Agaricales
Agaricales adalah sebuah ordo jamur darat (humikolous atau lignicolous),
yang umumnya saprotrof dari sub klas Holobasidiomycetidae. Sebagian besar
berbentuk cendawan, gymnokarpik atau semiangiokarpik. Badan buah berdaging
tempat hymenium yang disimpan dalam insang-insang (lamella) yang tersusun
radial di bagian bawah pileus. Pileus dan stipa (jika ada) tidak memuat
sphaerosista (Spring, 2007).
Ordo ini dibagi menjadi beberapa familia berdasarkan warna basidiospora,
struktur trama, dan sifat lapisan kortikal di pileus. Familinya antara lain: a).
Agaricaceae basidiokarp: stipitata, khususnya dengan sebuah anulus saat dewasa;
basidiospora: khususnya coklat gelap atau tanpa warna, namun tidak berwarna
karat atau cinnamon. Generanya antara lain Agaricus dan Lepiota. b).
Amanitaceae basidiokarp: stipitata, lamela masing-masing memiliki trama
bilateral yang divergen; basidiospora: putih atau pucat. Beberapa spesies
membentuk tirai parsial dan tirai universal. Generanya antara lain Amanita
(membentuk volva), Limacella (tidak membentuk volva) dan Termitomyces. c).
Bolbitiaceae basidiokarp : stipitata; Basidiospora: ochre atau cinnamon hingga
coklat karat. Genera mencakup Agrocybe dan Conocybe. d). Coprinaceae
basidiokarp: stipitata; lapisan sel mirip pelisade di pellis; basidiospora: gelap atau
hitam, masing-masing biasanya mengandung pori pembiak. Genera mencakup
Coprinus dan Psathyrella. e). Cortinariaceae basidiokarp: stipitata, dicirikan
dengan cortina mirip sisir yang halus; basidiospora: berwarna karat atau arsiran
Universitas Sumatera Utara
coklat, halus hingga kasar. Genera mencakup Cortinarius, Galerina, Inocybe. f).
Crepidotaceae basidiokarp: non stipitata, atau dengan stipe lateral kasar;
basidiospora:
berwarna
cinnamon.
Generanya
Crepidotus.
g).
Hygrophoraceae (‘tudung lilin’) basidiokarp: stipitata, sering berwarna cerah,
lamella berlilin, dan basidia tegak; basidiospora: tanpa warna. Genera
mencakup Hygrocybe dan Hygrophorus (Spring, 2007).
Auriculariales
Auriculariales merupakan ordo dari kelas Agaricomycetes . Spesies yang
sebelumnya digolongkan pada "heterobasidiomycetes " atau "jamur jeli", karena
banyak memiliki gelatin basidiocarps (tubuh buah) yang menghasilkan spora pada
septate basidia . Sekitar 200 spesies yang dikenal di seluruh dunia, yang
dikelompokkan dalam enam atau lebih family, meskipun status family ini saat ini
tidak pasti. Semua spesies dalam Auriculariales diyakini saprotrphic yang tumbuh
di kayu mati. Buah dari beberapa badan Auricularia dibudidayakan untuk
makanan pada skala komersial, khususnya di Cina (Spring, 2007).
Family
dari
Heteroscyphaceae,
ordo
ini
adalah
Hyaloriaceae ,
Aporpiaceae, Auriculariaceae,
Oliveoniaceae ,
Patouillardinaceae ,
Tremellodendropsidaceae (Spring, 2007).
Aphlyllophorales
Fungi ini pada umumnya memiliki basidiocarps kasar berdaging karena
adanya hifa dimitic atau trimitic. Jamur ini sering disebut sebagai "conks" atau
"polypores". Basidiocarps dalam bentuk seperti hymenium, yang mungkin halus,
Universitas Sumatera Utara
memiliki lamella, pori-pori, teeths, dll. Spesies ini sering ditemukan sebagai
dekomposer di kayu. Salah satu spesies yang terkenal adalah
Ganoderma
australis, Sarcodon atroviridis, dan Schizophyllum komune (Spring, 2007).
Tremellales
Tremellales
merupakan
salah
satu
ordo
fungi
dari
kelas
Tremmellomycetes. Berisi teleomorphic dan anamorphic spesies , sebagian besar
berupa ragi . Semua jenis teleomorphic di Tremellales adalah parasit dari jamur
lain,
kelompok
ragi
sangat
luas
dan
tidak
terbatas
pada
satu
inang. Basidiocarps (tubuh buah), ketika diproduksi, adalah gelatin (Spring,
2007).
Saat ini terdiri dari 8 family, yang berisi sekitar 300 spesies yang valid.
Signifikan genera termasuk Tremella , dua spesies yang dapat
dimakan dan
dibudidayakan secara komersial, seperti pada genera ragi Cryptococcus dan
Trichosporon , beberapa spesies merupakan pathogen bagi manusia (Spring,
2007).
Dacrymycetales
Ordo adalah satu lagi urutan fungi jeli. Fungi ini berbeda dalam morfologi
basidium, yang disebut sebagai basidium garpu tala karena bentuknya
seperti garpu tala. Basidia dan basidiospora ditanggung pada hymenium (Spring,
2007).
Universitas Sumatera Utara
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan selesai.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Hutan Departemen
Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilaksanakan di
bawah tegakan Eucalyptus spp Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada Penelitian ini adalah kantong kertas, pisau
cutter, talenan, timbangan elektrik, gelas ukur, erlenmeyer, spatula kaca, hot plate,
corong kaca, kertas saring, alumunium foil, kapas, kompor gas, autoclave, pingset,
cawan petri, alat pelindung, alat dokumentasi, dan laminar flow. Bahan yang
digunakan adalah jaringan kayu tanaman Eucalyptus spp yang telah mati, PDA,
antiboitik (kalmicetin), asam tanin, alkohol.
Prosedur Penelitian
Kondisi umum lokasi penelitian
Kawasan Aek Nauli berada di Kecamatan Girsang Simpangan Bolon,
Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara. Aksesibilitas ke lokasi ini
sangat tinggi karena terletak di antara kota Parapat dan Pematangsiantar melalui
jalur lintas Sumatera.
Kawasan Aek Nauli berada pada ketinggian 1200 mdpl. Secara geografis
terletak pada 430 25' BT dan 40 89' LU. Hutan ini memiliki kelerengan 2 sampai
15% dan sebagian merupakan areal datar berbukit dan sebagian merupakan
lembah dangkal. Curah hujan kawasan Aek Nauli termasuk ke dalam tipe A
Universitas Sumatera Utara
menurut klasifikasi Smith dan Ferguson dengan curah hujan rata-rata berkisar
antara 2199-2452 mm/tahun, kelembaban udara rata-rata harian 84 mmHg dan
suhu rata-rata bulanan berkisar antara 23-240 C.
Pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilaksanakan di PT. Toba Pulp Lestari sektor Aek
Nauli Blok B001. Dimana lokasi tersebut merupakan petak percontohan yang
terdiri dari 25 spesies Ekaliptus berusia 5 tahun. Salah satu spesies yang ada pada
petak tersebut adalah Eucalyptus urophylla, E. Grandis, E. Hybrida, E.
Urograndis. Petak percontohan tersebut merupakan petak yang digunakan untuk
keperluan penelitian.
Gambar 2. Lokasi pengambilan sampel
Luasan areal yang digunakan untuk mengambil sampel adalah 100 m x
200 m, dengan metode sensus. Kriteria sampel yang akan digunakan adalah
ranting atau batang yang sudah lapuk. Sampel yang sudah diambil dipisahkan
menjadi tiga bagian berdasarkan tingkat pelapukannya yaitu baru, sedang, dan
lanjut. Sampel yang telah dibersihkan dimasukkan ke dalam kantung plastik dan
disimpan di dalam ruangan pada suhu kamar sampai proses isolasi.
Universitas Sumatera Utara
Isolasi Fungi
Sebelum dilakukan isolasi, media PDA dicampurkan antibiotik (kemicitin)
hal ini berfungsi untuk mencegah perkembangbiakan bakteri. PDA dituangkan ke
dalam cawan petri. Diisolasi dan dibiarkan selama 1 hari. Bagian batang kayu
yang terinfeksi diambil, kemudian dibersihkan dengan menggunakan aquades,
dipotong persegi. Selanjutnya bagian batang kayu tersebut ditanam pada media
PDA didiamkan selama 3-4 hari dilihat pertumbuhan jamurnya.
Setelah fungi tumbuh kemudian dilakukan pemurnian, tujuannya untuk
mendapatkan satu jenis fungi pada satu cawan petri. Fungi yang tumbuh
kemudian diisolasi berdasarkan warna dan bentuk koloni. Diletakkan fungi pada
media PDA. Diamati perkembangannya selama 7 hari. Diukur pertumbuhannya
meliputi diameter dan warna.
Uji bavendamm
Metode untuk menentukan tipe pelapukan kayu oleh jamur dikembangkan
83 tahun yang lalu oleh Bavendamm pada tahun 1928 dan diterbitkan di jurnal
Pflanzenschutz, karena itu test ini sering disebut dengan Bavendamm Test dan
media untuk mengujinya sering disebutkan hanya dengan nama media
Bavendamm (Nishida et al, 1988).
Untuk membedakan kultur fungi, apakah termasuk fungi pelapuk putih
atau fungi pelapuk coklat. digunakan uji Bavendamm yang menggunakan agar
tanin. Dalam medium PDA ditambahkan 0.1% asam galat (Nishida et al, 1988).
Bila terbentuk warna coklat pada permukaan agar yang mengindikasikan adanya
Universitas Sumatera Utara
aktivitas fenol oksidase, maka kultur fungi tersebut termasuk dalam kelompok
fungi pelapuk putih (Rayner & Boddy, 1988).
Identifikasi fungi
Fungi yang tumbuh pada media PDA dipindahkan dengan ukuran 3x3 mm
atau 4x4 mm ke dalam objek glass, sebanyak 2 buah. Ditutup fungi yang telah
dipindahkan tersebut dengan objek glass. Diamati dan diidentifikasi fungi yang
ada pada mikroskop yang menyangkut bentuk, warna, hyfa, miselia, konidia dan
jenis fungi. Kemudian dicocokkan dengan kunci identifikasi fungi Alexopoulus
(1952).
Universitas Sumatera Utara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan Kriteria Pelapukan
Pengamatan dilakukan pada jaringan kayu mati tanaman ekaliptus di PT.
Toba Pulp Lestari, Tbk. Sektor Aek Nauli. Lokasi pengamatan dan pengambilan
sampel di blok B001, dimana blok tersebut adalah blok yang dibuat untuk
keperluan penelitian terdiri dari sekitar 25 spesies ekaliptus dengan umur tegakan
5 tahun.
Setelah dilakukan pengamatan kemudian diklasifikasikan jenis pelapukan
berdasarkan tingkat pelapukannya yaitu baru, sedang, dan lanjut. Pengamatan di
lapangan juga mengamati fungi yang terdapat pada kayu yang telah lapuk. Pada
Tabel 1 menyajikan jumlah kayu dari masing-masing tingkat pelapukan dan fungi
yang terdapat pada kayu tersebut.
Tabel 1. Kriteria Pelapukan dan Fungi yang Didapat pada Pengamatan di
Lapangan
Kriteria
Jumlah Kayu
Jenis Fungi
Baru
8
Sedang
10
Lanjut
10
Kode Fungi
keterangan
1
trA
fungi berwarna putih
4
trB
fungi berwarna coklat tua
trC
fungi berwarna abu-abu
trA
fungi berwarna putih
trD
fungi berwarna putih
trA
fungi berwarna putih
trE
fungi berwarna hitam
trF
fungi berwarna coklat muda
trG
fungi berwarna putih
4
Pada pelapukan kelas baru, fungi yang didapat berupa benang-benang
halus dan tidak mempunyai tubuh buah. Pada pelapukan kelas baru hanya
ditemukan satu jenis fungi. Pada pelapukan kelas sedang didapatkan 4 jenis fungi
Universitas Sumatera Utara
yang berbeda dan fungi yang ditemukan memiliki bentuk dan warna yang
beragam. Sedangkan pada pelapukan kelas lanjut didapat 4 jenis fungi yang
memiliki perbedaan bentuk dan warna. Fungi yang ada pada pelapukan kelas baru
didapat juga pada pelapukan kelas sedang dan kelas lanjut yaitu fungi dengan
kode trA. Karakteristik fungi yang ditemukan dilapangan meliputi bentuk, warna,
dan ukuran disajikan pada Table 2.
Tabel 2. Karakteristik Fungi yang Didapat di Lapangan
No.
Kode
Karakteristik
Ditemukan pada
Bentuk
Warna
Ukuran
1
trA
benang-benang halus
putih
baru, sedang, lanjut
2
3
4
5
6
trB
trC
trD
trE
trF
seperti kipas
seperti payung
tidak beraturan
seperti kipas
seperti jarum
coklat tua
abu-abu
putih
hitam
coklat muda
2-3 cm
1-2 cm
5 cm
10-15 cm
3-5 cm
sedang
sedang
sedang
lanjut
lanjut
7
trG
tidak beraturan
putih
10 cm
lanjut
Fungi yang ditemukan berdasarkan bentuk dan, warna, dan ukuran
sebanyak tujuh dimana untuk fungi trA terdapat pada tiga tingkat pelapukan.
Untuk fungi dengan kode trD dan trG memiliki kesamaan bentuk dan warna
namun memiliki perbedaan dimana trG berbentuk seperti jelly sedangkan trD
tidak berbentuk jelly.
Kayu yang didapat pada pengamatan di lapangan memiliki ciri-ciri
terdapat bercak-bercak pada permukaan kayu, perubahan warna menjadi lebih
gelap. Hal ini sesuai dengan pendapat Murtihapsari (2008) dimana proses
pelapukan dapat disebabkan oleh hewan, serangga, fungi, alga, dan bakteri.
Pelapukan yang disebabkan oleh fungi berupa noda pada kayu, pucat warna,
lubang membran, dan dekomposisi (decay).
Universitas Sumatera Utara
Pada pelapukan kelas baru, terjadi perubahan warna kayu dimana kayu
menjadi pucat dan ditemukan hyfa jamur yang mengelilingi bagian permukaan
kayu tersebut. Struktur kayu tersebut masih sangat keras namun lebih ringan jika
dibandingkan oleh kayu yang masih segar. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.
a
b
Gambar 3 (a) dan (b) Pelapukan kayu kelas baru (pelapukan tahap awal).
Murtihapsari (2008) menyatakan kayu yang baru saja ditebang, dapat
dilihat bahwa potongan log tersebut masih segar, dan bergetah. Akibat adanya
kandungan yang terdapat pada kayu tersebut sehingga menjadi pencarian banyak
oganisme renik. Selanjutnya bahan makanan dalam material log kayu tersebut
digantikan oleh proses respirasi sel parenkim. Jika proses pengeringan lambat
(musim hujan) atau dengan kelembaban yang tinggi maka kayu log tersebut akan
ditumbuhi ratusan jamur, alga dan bakteri lainnya, selanjutnya jasad-jasad renik
tersebut tumbuh berkembang dan menjadi penetrasi (correspondence) antara
permukaan kayu dengan lapisan bagian dalam kayu log dimana tersimpan banyak
stok makanan (storage food) yang dapat menghidupi ratusan mikroba. Seiring
dengan waktu di bawah skenario fungal decomposition, kayu kemudian berubah
warna kemudian menjadi lapuk.
Pelapukan kayu kelas sedang ditandai oleh permukaan kayu yang sudah
ditumbuhi oleh jamur. Kayu lebih lunak dibandingkan dengan kayu pada tipe
Universitas Sumatera Utara
baru. Warna kayu menjadi lebih gelap atau warna menjadi coklat tua. Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 4.
a
Gambar 4 (a) dan (b). Pelapukan kayu kelas sedang
b
Menurut Murtihapsari (2008) pemucatan warna kayu atau perubahan
warna umumnya disebabkan oleh 2 proses yaitu: pewarnaan yang disebabkan oleh
spora fungi dan penimbunan alga pada permukaan kayu. Setelah proses
pemucatan warna kayu yang disebabkan oleh spora dan alga pada permukaan,
selanjutnya diikuti oleh jamur hifa yang menggerogoti bagian dalam dan menjadi
penetrasi hingga lapisan terdalam sapwood .Aspergilus spp. dan Penicillium spp.
adalah dua genera terbesar dalam proses perubahan warna bagian kulit kayu.
Selanjutnya
penetrasi
bagian
dalam
umumnya
diperankan
oleh
jamur
Ceratocystis.
Pelapukan kelas lanjut ditandai dengan struktur kayu yang mudah hancur
dan membusuk hampir menyerupai tanah, namun masih dapat dibedakan dengan
tanah. Kadar air yang terdapat pada kayu tersebut sangat tinggi, karena luas
penampang pada kayu tersebut lebih luas dibandingkan pada tipe baru dan sedang
sehingga apabila terjadi hujan kayu pada pelapukan lanjut mudah menangkap dan
menyimpan air. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 5.
Universitas Sumatera Utara
a
Gambar 5 (a) dan (b). Pelapukan kayu kelas lanjut
b
Menurut Johnson (1979) dalam Murtihapsari (2008) melaporkan bahwa
Bacillus polymyxa (Prazmowski) dan sederetan fungi lainnya seperti Trichoderma
viride merupakan pemicu terbesar dalam proses nonaktivasi sel kayu, dan mampu
membuat pori, lubang besar dan cepat, sehingga sangat memungkinkan adanya
intrusi air ke dalam sel kayu, dan dalam beberapa lama, kayu berubah menjadi
lapuk dan akhirnya menjadi bahan organik.
Uji Bavendamm
Uji bavendamm dilakukan untuk mengetahui jenis fungi, apakah termasuk
fungi pelapuk putih atau fungi pelapuk coklat. Dalam penelitian ini media yang
digunakan adalah media agar tannin dimana media PDA ditambahkan dengan
0,1% asam tannin. Menurut Rayner & Boddy (1988) uji Bavendamm dilakukan
untuk mengetahui kemampuan Fungi Pelapuk Putih (FPP) yang diperoleh dalam
menghasilkan enzim ekstraselular oksidase. Kemampuan tersebut digunakan
untuk membedakan antara FPP dengan fu
PADA JARINGAN KAYU MATI TANAMAN Eucalyptus sp. DI HUTAN
TANAMAN INDUSTRI PT. TOBA PULP LESTARI SEKTOR AEK
NAULI.
SKRIPSI
OLEH
TRI YANTO/071202018
BUDIDAYA HUTAN
PROGRAM STUDI ILMU KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2011
Universitas Sumatera Utara
Lembar Pengesahan
Judul Penelitian
Nama
NIM
Program Studi
:Fungi yang Berperan dalam Proses Biodelignifikasi pada
Jaringan Kayu Mati Tanaman Eucalyptus sp. Di hutan
Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli.
: Tri Yanto
: 071202018
: Budidaya Hutan
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS
NIP. 196412282000121002
Ketua
Luthfi Hakim, S.Hut, M.Si
NIP.197910172003121002
Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu kehutanan
Fakultas Pertanian-USU
Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D
NIP. 197104162001122001
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
TRI YANTO: Fungi yang Berperan dalam Proses Biodelignifikasi pada Jaringan
Kayu Mati Tanaman Eucalyptus sp. Di Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp
Lestari Sektor Aek Nauli, dibimbing oleh Dr. Ir. EDI BATARA MULYA
SIREGAR MS. dan LUTFI HAKIM S. Hut., M.Si.
Fungi pelapuk kayu secara ekologis dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu fungi pelapuk putih dan fungi pelapuk coklat. Fungi pelapuk putih dapat
mendegradasi lignin, hemiselulosa, maupun selulosa. Fungi pelapuk putih
memiliki keistimewaan yang unik, yaitu kemampuannya untuk mendegradasi
lignin. Berdasarkan kemampuan fungi tersebut sehingga perlu dilakukan studi
terhadap fungi yang berperan dalam proses pendegradasian lignin (delignifikasi).
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Program Studi Ilmu
Kehutanan Universitas Sumatera Utara pada April – Juli 2011. Sampel penelitian
didapat dari jaringan kayu mati di bawah tegakan Eucalyptus sp PT. Toba Pulp
Lestari, Tbk sektor Aek Nauli. Sampel dipisahkan berdasarkan tingkat
pelapukannya yaitu kelas baru, sedang, dan lanjut. Sampel diisolasi berdasarkan
tingkat pelapukannya dan dilakukan uji bavendamm untuk mengetahui fungi yang
termasuk fungi pelapuk putih. Setelah itu isolat fungi diidentifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 16 isolat fungi yang dilakukan
uji Bavendamm terdapat 4 isolat yang menunjukkan hasil positif. Dimana didapat
dari 2 isolat untuk pelapukan kelas baru, 1 isolat untuk pelapukan kelas sedang,
dan 1 isolat untuk pelapukan kelas lanjut. Setelah melakukan identifikasi fungi
pada isolat tersebut diketahui bahwa 2 isolat yang berasal dari pelapukan kelas
baru adalah Phanerochaete sp. sedangkan 1 isolat yang berasal dari kelas sedang
dan 1 isolat yang berasal dari kelas lanjut adalah Cryptococcus sp.
Kata kunci: Biodelignifikasi, Eucalyptus sp., Fungi Pelapuk Putih, Uji
Bavendamm.
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACK
TRI YANTO : The Fungi That Gets a Role in Biodelignification of Dead Wood
Tissue Of Eucalyptus sp. at PT. Toba Pulp Lestari, Aek Nauli Sector, under the
supervision Dr.Ir.EDY BATARA MULYA SIREGAR, M.S and LUTHFI
HAKIM, S.Hut,M.Si
Wood-rot fungi in ecological can be grouped in two part, which is white-rot fungi
and brown-rot fungi. White-rot fungi can degradate lignin, hemiselulose, and
selulose. White-rot fungi has special ability. It is to degradate lignin. Based on its
ability, need to be done a research about this fungi that gets a role in lignin
degradation (delignification). This research was conducted in Biotecnology
Laboratory of forestry department in North Sumatera University from April to
July 2011. The material of this research was got from dead wood tissue in
standing Eucalyptus sp. at PT. Toba Pulp Lestari, Aek Nauli sector. The material
was separated based on its corrosion level and can be done bavendamm test to
know the fungi that includes to the white-rot fungi. After that the isolate can be
identified.
The result shows that from 16 isolate that have been done with bavendamm test.
There are 4 isolate that showed positive mark. After identifiying of 4 isolate, the
result shows that the species white moldier fungi that have been got are
Phanerochaete sp. and Cryptococcus sp.
Key words : Biodelignification, Eucalyptus sp., White-Rot Fungi, Bavendamm
Test
Universitas Sumatera Utara
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di desa Suka Mulia pada tanggal 9 Nopember 1989 dari
ayah Sukroji dan ibu Kamsyah. Penulis merupakan putra ke 12 dari 12
bersaudara.
Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Swasta Patra Nusa, Rantau dan pada
tahun 2007 penulis masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur ujian tertulis
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih program studi
Budidaya Hutan Deoartemen Kehutanan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Badan
Kenaziran Mushollah (BKM) Baytul Asyjaar. Pada tahun 2010 dipilih sebagai
asisten Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan.
Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Perum Perhutani
Unit III Jawa Barat dan Banten, BKPH Pameungpeuk KPH Garut. Dilaksanakan
pada tanggal 03 Januari-03 Februari 2011.
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala
atas berkah rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini
dengan baik. Penelitian ini berjudul “Identifikasi Fungi yang Berperan dalam
Proses Biodelignifikasi pada Jaringan Kayu Mati Tanaman Eucalyptus spp. Di
hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli”. Penelitian ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Program
Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada orang tua,
kepada Bapak Dr. Edy Batara Mulya Siregar, MS dan Bapak Luthfi Hakim,
S.Hut., M.Si selaku komisi pembimbang yang telah banyak mengarahkan dan
memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Juga
kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.
Penulis berharap semoga semoga hasil penelitian ini berguna sebagai dasar
penelitian-penelitian selanjutnya dan sebagai bahan informasi bagi pihak yang
membutuhkan. Serta dapat menyumbangkan pengetahuan bagi kemajuan dunia
pendidikan.
Medan, Juli 2011
Penulis
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..................................................................................................... i
ABSTRACT ................................................................................................... ii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... ix
PENDAHULUAN
Latar Belakang .................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................ 4
Manfaat Penelitian............................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA
Eucalyptus sp ...................................................................................... 5
Syarat Tumbuh ......................................................................... 6
Penyebaran .............................................................................. 6
Deskripsi Fungi ................................................................................... 6
Fungi Sebagai Jasad Renik ....................................................... 7
Ciri-ciri Fungi .......................................................................... 8
Struktur Tubuh Fungi ............................................................... 8
Morfologi Fungi ....................................................................... 9
Habitat Fungi ........................................................................... 9
Hifa .......................................................................................... 10
Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan
Fungi........................................................................................ 11
Pelapukan Kayu................................................................................... 12
Fungi Pelapuk Kayu ............................................................................ 14
Pelapukan Oleh Fungi Pelapuk Coklat ................................................. 15
Pelapukan Oleh Fungi Pelapuk Putih ................................................... 16
Agaricales ........................................................................................... 18
Auriculariales ..................................................................................... 19
Aphylloporales .................................................................................... 19
Tremellales .......................................................................................... 20
Dacrymycetales .................................................................................. 20
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat .............................................................................. 21
Universitas Sumatera Utara
Alat dan Bahan .................................................................................... 21
Prosedur Penelitian .............................................................................. 21
Pengambilan Sampel ................................................................ 21
Isolasi Fungi............................................................................. 22
Uji Bavendamm ....................................................................... 23
Identifikasi Fungi ..................................................................... 23
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian ........................................................ 24
Proses Pelapukan ................................................................................. 24
Uji Bavendamm................................................................................... 27
Identifikasi Fungi Pelapuk putih .......................................................... 29
phanerochaete sp ..................................................................... 29
Cryptococcus sp ....................................................................... 31
Potensi Fungi Pelapuk Putih Sebagai Agen Biopulping ....................... 33
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ......................................................................................... 37
Saran ................................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 38
LAMPIRAN ................................................................................................... 41
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
1.
Karakteristik Pelapukan dan Jenis Fungi yang Didapat pada Pengamatan Di
Lapangan .................................................................................................... 24
2.
Karakteristik Fungi yang Didapat di Lapangan ............................................ 25
3.
Hasil Uji Bavendamm 16 Isolat Fungi ......................................................... 29
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
1.
Siklus Pelapukan dan Fotosintesis ...............................................................14
2.
Lokasi Pengambilan Sampel .......................................................................22
3.
Pelapukan Tipe Baru ...................................................................................26
4.
Pelapukan Tipe Sedang ...............................................................................26
5.
Pelapukan Tipe Lanjut ................................................................................27
6.
Isolat Fungi pada uji bavendamm ................................................................28
7.
Struktur mikroskopis phanerochaete sp .......................................................32
8.
Struktur mikroskopis Cryptococcus sp ........................................................33
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Flowsheet Pembuatan PDA .........................................................................41
2.
Gambar Tipe Pelapukan ..............................................................................42
3.
Fungi yang Ditemukan di Lapangan ............................................................44
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
TRI YANTO: Fungi yang Berperan dalam Proses Biodelignifikasi pada Jaringan
Kayu Mati Tanaman Eucalyptus sp. Di Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp
Lestari Sektor Aek Nauli, dibimbing oleh Dr. Ir. EDI BATARA MULYA
SIREGAR MS. dan LUTFI HAKIM S. Hut., M.Si.
Fungi pelapuk kayu secara ekologis dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu fungi pelapuk putih dan fungi pelapuk coklat. Fungi pelapuk putih dapat
mendegradasi lignin, hemiselulosa, maupun selulosa. Fungi pelapuk putih
memiliki keistimewaan yang unik, yaitu kemampuannya untuk mendegradasi
lignin. Berdasarkan kemampuan fungi tersebut sehingga perlu dilakukan studi
terhadap fungi yang berperan dalam proses pendegradasian lignin (delignifikasi).
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Program Studi Ilmu
Kehutanan Universitas Sumatera Utara pada April – Juli 2011. Sampel penelitian
didapat dari jaringan kayu mati di bawah tegakan Eucalyptus sp PT. Toba Pulp
Lestari, Tbk sektor Aek Nauli. Sampel dipisahkan berdasarkan tingkat
pelapukannya yaitu kelas baru, sedang, dan lanjut. Sampel diisolasi berdasarkan
tingkat pelapukannya dan dilakukan uji bavendamm untuk mengetahui fungi yang
termasuk fungi pelapuk putih. Setelah itu isolat fungi diidentifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 16 isolat fungi yang dilakukan
uji Bavendamm terdapat 4 isolat yang menunjukkan hasil positif. Dimana didapat
dari 2 isolat untuk pelapukan kelas baru, 1 isolat untuk pelapukan kelas sedang,
dan 1 isolat untuk pelapukan kelas lanjut. Setelah melakukan identifikasi fungi
pada isolat tersebut diketahui bahwa 2 isolat yang berasal dari pelapukan kelas
baru adalah Phanerochaete sp. sedangkan 1 isolat yang berasal dari kelas sedang
dan 1 isolat yang berasal dari kelas lanjut adalah Cryptococcus sp.
Kata kunci: Biodelignifikasi, Eucalyptus sp., Fungi Pelapuk Putih, Uji
Bavendamm.
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACK
TRI YANTO : The Fungi That Gets a Role in Biodelignification of Dead Wood
Tissue Of Eucalyptus sp. at PT. Toba Pulp Lestari, Aek Nauli Sector, under the
supervision Dr.Ir.EDY BATARA MULYA SIREGAR, M.S and LUTHFI
HAKIM, S.Hut,M.Si
Wood-rot fungi in ecological can be grouped in two part, which is white-rot fungi
and brown-rot fungi. White-rot fungi can degradate lignin, hemiselulose, and
selulose. White-rot fungi has special ability. It is to degradate lignin. Based on its
ability, need to be done a research about this fungi that gets a role in lignin
degradation (delignification). This research was conducted in Biotecnology
Laboratory of forestry department in North Sumatera University from April to
July 2011. The material of this research was got from dead wood tissue in
standing Eucalyptus sp. at PT. Toba Pulp Lestari, Aek Nauli sector. The material
was separated based on its corrosion level and can be done bavendamm test to
know the fungi that includes to the white-rot fungi. After that the isolate can be
identified.
The result shows that from 16 isolate that have been done with bavendamm test.
There are 4 isolate that showed positive mark. After identifiying of 4 isolate, the
result shows that the species white moldier fungi that have been got are
Phanerochaete sp. and Cryptococcus sp.
Key words : Biodelignification, Eucalyptus sp., White-Rot Fungi, Bavendamm
Test
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
Eucalyptus sp.
Eucalyptus
sp.
termasuk
anggota
famili
Myrtaceae,
subgenus
Symphyomyrtus, merupakan salah satu jenis pohon yang tumbuh secara alami di
Indonesia. Jenis tanaman ini tumbuh di daerah Nusa Tenggara Timur dan Timor
Timur. Eucalyptus urophylla tumbuh pada daerah dengan ketinggian 300 – 3.000
m di atas permukaan laut. Tinggi pohon dapat mencapai lebih dari 50 meter,
diameter batang dapat mencapai 2 meter, dengan tinggi bebas cabang dapat
mencapai setengah atau sepertiga dari tinggi total pohon. Daunnya relatif tipis,
memanjang dengan ujung daun yang meruncing (Darwo, 1997).
Eucalyptus sp. Merupakan tumbuhan endemik di Australia dan kepulauan
sebelah utara pulau Irian dan Philipina. Nama Eucalyptus urophylla diberi oleh
Dr. Blake. Nama urophylla berasal dari bahasa Yunani yaitu auro yang berarti
ekor dan phyla yang berarti daun (Khaerudin, 1993).
Tanaman Eucalyptus merupakan family Myrtaceae, terdiri atas lebih
kurang 700 jenis. Jenis Eucalyptus dapat berupa semak, perdu dan pohon
mencapai ketinggian 100 meter. Batang umumnya bulat, lurus, tidak berbanir dan
sedikit bercabang. Pohon pada umumnya bertajuk sedikit ramping, ringan dan
banyak meloloskan cahaya matahari. Cabangnya lebih banyak membuat sudut ke
atas, jarang-jarang dan daunnya tidak begitu lebat. Daunnya berbentuk lanset
hingga bulat telur memanjang dan bagian ujungnya runcing membentuk kait
(Latifah, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Syarat tumbuh
Jenis-jenis Eucalyptus terutama menghendakim iklim bermusim (daerah
arid) dan daerah yang beriklim basah dari tipe hutan hujan tropis. Eucalyptus
dapat tumbuh pada tanah yang dangkal, berbatu-batu, lembab, berawa-rawa,
secara periodik digenangi air, dengan variasi kesuburan tanah mulai dari tanahtanah kurus gersang sampai pada tanah yang baik dan subur. (Dirjen Kehutanan,
1980).
Penyebaran
Marga Eucalyptus terdiri atas 500 jenis kebanyakan endemik di Australia.
Beberapa jenis menyebar dari Australia bagian Utara menuju Malesia bagian
timur. Jenis Eucalyptus
banyak tersebar di daerah-daerah pantai New South
Wales dan Australia bagian Barat Daya. Daerah penyebaran Eucalyptus spp.
Meliputi Australia, Tanzania, New Britania, dan Papua. Beberapa jenis juga
ditemukan di Irian Jaya, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Timor-timur
(Latifah, 2004). Daerah penyebaran alami tanaman Eucalyptus berada di sebelah
Timur garis Wallace mulai 70 LU sampai 43039’ LS (Irwanto, 2007).
Deskripsi Fungi
Jamur (fungi) merupakan tumbuhan tingkat rendah yang tidak mempunyai
zat hijau (chlorophyl). Untuk hidupnya mereka berperan sebagai parasit atau
saprofit
yang tidak dapat menghasilkan makanannya sendiri (Tambunan dan
Nandika, 1989).
Jamur merupakan organisme eukariota yang digolongkan kedalam
kelompok cendawan sejati. Dinding sel jamur terdiri atas kitin, sel jamur tidak
Universitas Sumatera Utara
mengandung klorofil. Jamur mendapatkan makanan secara heterotrof dengan
mengambil makanan dari bahan organik. Bahan organik disekitar tempat
tumbuhnya diubah menjadi molekul-molekul sederhana dan diserap langsung oleh
hifa, jadi jamur tidak seperti organisme heterotrof lainnya yang menelan
makanannya kemudian mencernanya sebelum diserap (Gunawan, 2000).
Mikroorganisme ini dapat dibedakan dalam empat golongan tergantung
pada sifat perkembangan didalam dan pada kayu, dan tipe kerusakan yang
ditimbulkan olehnya. Golongan-golongan tersebut adalah cendawan perusak kayu,
pewarna kayu, cendawan buluk dan bakteri penyerang kayu (Hunt dan Garrat,
1986).
Fungi sebagai jasad renik
Jasad renik merupakan salah satu faktor yang banyak menimbulkan
kerusakan pada kayu. Jasad renik tersebut terdiri dari jamur dan bakteri, dimana
bagian vegetatifnya secara individu hanya dapat dilihat dengan jelas dibawah
mikroskop karena ukurannya sangat kecil. Jasad renik adalah sejenis tumbuhan
tingkat rendah yang tidak mengandung klorofil, oleh karena itu mereka
mempertahankan hidupnya dengan energi dan bahan organik yang dihasilkan oleh
tumbuhan hijau. Dengan demikian kayu sebagai produk terbesar dari tumbuhan
hijau merupakan sumber makanan bagi berbagai jenis jamur dan bakteri.
Berdasarkan medium tempat jasad renik itu berkembang dan sifatnya yang
saprofit dan parasit, jasad renik berbeda dengan tanaman hijau (Tambunan dan
Nandika, 1989).
Universitas Sumatera Utara
Ciri-ciri fungi
Fungi merupakan tumbuhan yang tidak mempunyai klorofil sehingga
bersifat heterotrof, tipe sel eukarotik. Jamur ada yang uniseluler dan multiseluler.
Tubuhnya terdiri dari benang-benang yang disebut hifa yang dapat membentuk
anyaman bercabang-cabang (miselium). Fungi pada umumnya multiseluler (bersel
banyak). Ciri-ciri fungi berbeda dengan organisme lainnya dalam hal cara makan,
struktur tubuh, pertumbuhan, dan reproduksinya (Gandjar et al, 1999).
Fungi benang terdiri atas massa benang yang bercabang-cabang yang
disebut miselium. Miselium tersusun dari hifa (filamen) yang merupakan benangbenang tunggal. Badan vegetatif jamur yang tersusun dari filamen-filamen disebut
thallus. Berdasarkan fungsinya dibedakan dua macam hifa, yaitu hifa fertil dan
hifa vegetatif. Hifa fertil adalah hifa yang dapat membentuk sel-sel reproduksi
atau spora-spora. Apabila hifa tersebut arah pertumbuhannya keluar dari media
disebut hifa udara. Hifa vegetatif adalah hifa yang berfungsi untuk menyerap
makanan dari substrat (Sumarsih, 2003).
Berdasarkan bentuknya dibedakan pula menjadi dua macam hifa, yaitu
hifa tidak bersepta dan hifa bersepta. Hifa yang tidak bersepta merupakan ciri
jamur yang termasuk Phycomycetes (Jamur tingkat rendah). Hifa ini merupakan
sel yang memanjang, bercabang-cabang, terdiri atas sitoplasma dengan banyak
inti (soenositik). Hifa yang bersepta merupakan ciri dari jamur tingkat tinggi, atau
yang termasuk Eumycetesi (Sumarsih, 2003).
Morfologi fungi
Bagian vegetatif pada jamur umumnya berupa benang-benang halus
memanjang, bersekat (septa) atau tidak, dinamakn dengan hifa. Kumpulan-
Universitas Sumatera Utara
kumpulan benang-benang hifat tersebut dinamakan dengan miselium. Miselium
dapat dibedakan menjadi dua tipe pokok. Pertama mempunyai hifa senositik
(coenocytic), yaitu hifa yang mempunyai banyak inti dan tidak mempunyai sekat
melintang, jadi hifa ini berbentuk tabung halus yang mengandung protoplas
dengan banyak inti. Pembelahan intinya tidak diikuti oleh pembelahan sel. Kedua
mempunyai hifa seluler (celluler), hifa terdiri dari sel-sel, yang masing-masing
mempunyai sat atau dua inti (Semangun, 1996).
Habitat fungi
Semua jenis jamur bersifat heterotrof. Namun, berbeda dengan organisme
lainnya, jamur tidak memangsa dan mencernakan makanan. Untuk memperoleh
makanan, jamur menyerap zat organik dari lingkungan melalui hifa dan
miseliumnya, kemudian menyimpannya dalam bentuk glikogen. Oleh karena
jamur merupakan konsumen maka jamur bergantung pada substrat yang
menyediakan karbohidrat, protein, vitamin, dan senyawa kimia lainnya. Semua zat
itu diperoleh dari lingkungannya. Sebagai makhluk heterotrof, jamur dapat
bersifat parasit obligat, parasit fakultatif, atau saprofit Habitat (tempat hidup)
jamur terdapat pada air dan tanah. Cara hidupnya bebasatau bersimbiosis, tumbuh
sebagai saprofit atau parasit pada tanaman, hewan dan manusia (Sumarsih, 2003).
Hifa
Hifa dapat dibedakan atas dua tipe hifa yang fungsinya berbeda, yaitu
yang menyerap unsur hara dari substrat dan yang menyangga alat-alat reproduksi.
Hifa umumnya rebah pada permukaan substrat atau tumbuh ke dalam substrat dan
fungsinya untuk mengabsorbsi unsur hara yang diperlukan bagi kehidupan fungi
Universitas Sumatera Utara
disebut hifa vegetatif. Hifa yang umumnya tegak pada miselium yang terdapat di
permukaan substrat yang disebut hifa fertil, karena berperan untuk reproduksi.
Hifat-hifat yang telah menjalin suatu jaringan miselium makin lama makin tebal
dan membentuk suatu koloni yang dapat dilihat mata telanjang (Semangun, 1996).
Hifa adalah struktur menyerupai benang yang tersusun dari dinding
berbentuk pipa. Dinding ini menyelubungi membran plasma dan sitoplasma hifa.
Sitoplasmanya mengandung organel eukariotik. Kebanyakan hifa dibatasi oleh
dinding melintang atau septa. Septa mempunyai pori besar yang cukup untuk
dilewati ribosom, mitokondria, dan kadangkala inti sel yang mengalir dari sel ke
sel. Akan tetapi, adapula hifa yang tidak bersepta atau hifa senositik (Semangun,
1996).
Struktur hifa senositik dihasilkan oleh pembelahan inti sel berkali-kali
yang tidak diikuti dengan pembelahan sitoplasma. Hifa pada jamur yang bersifat
parasit biasanya mengalami modifikasi menjadi haustoria yang merupakan organ
penyerap makanan dari substrat; haustoria dapat menembus jaringan substrat
(Semangun, 1996).
Faktor yang mempergaruhi pertumbuhan dan perkembangan fungi
Menurut Tambunan dan Nandika (1989), ada beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan fungi antara lain:
1. Temperatur
Jamur perusak kayu dapat berkembang pada interval suhu yang cukup lebar,
tetapi pada kondisi-kondisi alami perkembangan yang paling cepat terjadi selama
periode-periode yang lebih panas dan lebih lembab dalam setiap tahun. Suhu
optimum berbeda-beda untuk setiap jenis, tetapi pada umumnya berkisar antara
Universitas Sumatera Utara
220C sampai 350C. Suhu maksimumnya berkisar antara 270C sampai 390C dengan
suhu minimum kurang lebih 50C.
2. Oksigen
Oksigen sangat dibutuhkan oleh jamur untuk melakukan respirasi yang
menghasilkan CO2 dan H2O. sebaliknya untuk pertumbuhan yang optimum,
oksigen harus diambil secara bebas dari udara. Tanpa adanya oksigen, tidak ada
jamur yang dapat hidup.
3. Kelembaban
Kebutuhan jamur akan kelembaban berbeda-beda, namun hampir semua jenis
jamur dapat hidup pada substrat yang belum jenuh air. Kadar air subtrat yang
rendah sering menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan jamur. hal ini terutama
berlaku bagi jenis jamur yang hidup pada kayu atau tanah. Kayu dengan kadar air
kurang dari 20% umumnya tidak terserang jamur perusak, sebaliknya kayu
dengan kadar air 35-50% sangat disukai oleh jamur perusak.
4. Konsentrasi hidrogen (pH)
Pada umumnya jamur akan tumbuh dengan baik pada pH kurang dari 7
(dalam suasana asam sampai netral). Pertumbuhan yang optimum akan dicapai
pada pH 4,5 sampai 5,5.
5. Bahan makanan (nutrisi)
Jamur memerlukan makanan dari zat-zat yang terkandung dalam kayu
seperti selulosa, hemiselulosa, lignin dan zat-zat isi sel lainnya. Selulosa,
hemiselulosa dan lignin yang menyusun kayu terdapat sebagai makromolekul
yang terlalu besar dan tidak larut dalam air untuk diasimilasi langsung oleh
cendawan. Secara umum pertumbuhan fungi dipengaruhi oleh substrat,
Universitas Sumatera Utara
kelembaban, suhu, derajat keasaman substrat (pH), dan senyawa kimia
dilingkungannya.
Pelapukan Kayu
Dekomposisi kayu/tanaman adalah bagian terpenting dalam siklus karbon di
alam. Proses dekomposisi disebabkan oleh jamur, insekta yang menggunakan
kayu sebagai makanan atau shelter. Kandungan Lignin dalam kayu menjadi bahan
utama untuk proses dekomposisi enzim dari selulosa dan hemiselulosa. Pada
prinsipnya, kayu mengandung bahan organik tertinggi, dan kayu tidak dapat
dipisahkan dari tanaman yang selalu mengikuti siklus dan proses fotosintesis
alam. Ketika kayu sudah mati, maka jamur dan organisme pengurai lainnya
berperan dalam penguraian bahan kayu tersebut melalui proses biosintetik dan
biodekomposisi (Murtihapsari, 2008).
Ketika kayu dibelah menjadi potongan dan batangan-batangan kecil maka
sel hidup getah (sapwood) bersama jamur dan bakteri lainnya akan dengan cepat
mengkonversi sapwood (stored food reserve) langsung menjadi karbon dioksida
(CO2), air dan langsung mengalami pemanasan seperti pada Gambar 1. Jika proses
metabolik ini tidak sempurna, maka potongan-potongan kecil kayu tersebut akan
menjadi panas dan oleh bantuan tidak adanya pori respitator akan mempercepat
proses pembakaran dan pada akhirnya semua sel hidup kayu akan mati seketika.
Namun dalam beberapa observasi, para ilmuwan sepakat bahwa kayu basah masih
memiliki getah/sel kayu dalam kategori masih hidup.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Siklus pelapukan dan fotosintesis (Prasetya, 2005).
Secara umum kerusakan kayu terjadi karena pembebanan (mekanik) dan
faktor biologi (jamur, rayap, dll). Jamur merupakan salah satu mikroorganisme
yang tidak mempunyai klorofil sehingga dalam mempertahankan hidupnya akan
mengambil energy atau bahan-bahan organik yang dihasilkan oleh tumbuhan hijau
baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati (Iswanto,2009).
Peristiwa pelapukan pada umumnya dipengaruhi oleh reaksi biokimia
antara komponen kimia kayu (biomassa) dengan enzim yang diproduksi oleh
mikroorganisme. Kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan komponen
kimia bahan tersebut sangat dipengaruhi oleh genetik dan kondisi lingkungan.
Fungi pelapuk umumnya berfungsi sebagai pembuka jalan pelapukan lain oleh
mikroba yang lebih rendah tingkatannya seperti bakteri. Pada umumnya mikroba
yang sangat berperan dalam pendegradasian kayu adalah fungi pelapuk putih
(white rot fungi) dan fungi pelapuk coklat (brown rot fungi), dan keduanya
sebagian besar tergolong Basidiomycetes (Prasetya, 2005).
Berdasarkan tingkat urutan-urutan penguraian komponen kimia biomassa,
degradasi dapat dibagi kedalam tiga katagori. Pertama, lignin yang didegradasi
Universitas Sumatera Utara
kemudian diikiuti dengan selulosa dan hemiselulosa. Kedua, sebaliknya degradasi
diawali dengan selulosa dan hemiselulosa kemudian degradasi lignin. Ketiga,
degradasi lignin dan selulosa berjalan bersamaan. Proses degradasi pada
umumnya berjalan bertahap dan pada umumnya terjadi pemotongan rantai
panjang dari polimer selulosa menjadi lebih pendek (Prasetya, 2005).
Fungi Pelapuk Kayu
Dekomposisi kayu/tanaman adalah bagian terpenting dalam siklus karbon
di alam. Proses dekomposisi disebabkan oleh fungi, insekta yang menggunakan
kayu sebagai makanan atau shelter. Kandungan Lignin dalam kayu menjadi bahan
utama untuk proses dekomposisi enzim dari selulosa dan hemiselulosa. Pada
prinsipnya, kayu mengandung bahan organik tertinggi, dan kayu tidak dapat
dipisahkan dari tanaman yang selalu mengikuti siklus dan proses fotosintesis
alam. Ketika kayu sudah mati, maka fungi dan organisme pengurai lainnya
berperan dalam penguraian bahan kayu tersebut melalui proses biosintetik dan
biodekomposisi. Istilah dekomposisi dan degradasi disini digunakan lebih
menekankan pada proses konversi satu atau lebih struktur polimer dari kayu
menjadi partikel atau struktur yang lebih sederhana (Murtihapsari, 2008).
Fungi pelapuk kayu secara ekologis dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu fungi pelapuk putih (FPP) dan fungi palapuk coklat. Fungi pelapuk putih
dapat mendegradasi lignin, hemiselulosa, maupun selulosa. Kayu yang
didegradasi oleh FPP akan menjadi putih/keputih-putihan, lunak, tetapi tidak
menyusut. Sedangkan fungi pelapuk coklat dapat mendegradasi hemiselulosa, dan
selulosa, tetapi tidak dapat mendegradasi lignin. Kayu yang didegradasi oleh fungi
Universitas Sumatera Utara
pelapuk coklat akan berwarna merah kecoklatan dan hancur (Lyon, 1991). Di
alam presentase fungi pelapuk coklat lebih sedikit daripada fungi pelapuk putih.
Pelapukan oleh fungi pelapuk cokelat
Pelapukan yang disebabkan oleh fungi ini menyebabkan terjadinya
degradasi polisakarida yang agak selektif dan juga lignin yang menjadi sasaran
utama. Dalam kayu yang mengalami pembusukan cokelat berat, kerangka lignin
tetap utuh. Penembusan kayu oleh hifa terjadi melalui jari-jari, kemudian
menyebar ke noktah kayu kemudian menembus dinding-dinding sel dengan cara
melubangi atau melalui mikrohifa. Hifa yang tumbuh dalam lumina sel sangat
berdekatan dengan dinding tersier (Murtihapsari, 2008).
Semua fungi pelapuk coklat termasuk dalam Basidiomycetes yang
umumnya Polyporales dan sebagian besar berasosiasi dengan konifer. Tidak
kurang terdapat 125 spesies fungi pelapuk coklat dan dikelompokkan ke dalam
empat
ordo,
yaitu:
Aphullophorales
(Corticiaceae,
Coniophoraceae,
Fistulinaceae, dan Polyoraceae), Agaricales, Tremellales, dan Dacrymycetales.
Sebagian besar fungi pelapuk coklat tersebut merupakan kelompok Polyporaceae.
Sekitar 85% fungi pelapuk coklat berasosiasi dengan inang kayu Gymnospermae
(Nakasone, 1993).
Pelapukan oleh fungi pelapuk putih
Fungi pelapuk putih menyerang kayu lunak dan terutama kayu keras
dengan pilihan pada lignin. Ada beberapa enzim-enzim pendegradasi lignin
berkembang biak dan enzim-enzim untuk mendegradasi pectin, poliosa dan
bahkan selulosa. Hifa fungi-fungi masuk ke dalam jaringan kayu melalui selaput
Universitas Sumatera Utara
noktah dan melalui dinding-dinding sel dengan membentuk lubang-lubang
pengeboran. Dalam kayu akar spruce dapat dilihat bahwa hifa Heterobasidion
annosum cenderung tumbuh dari jari-jari floem masuk ke dalam jari-jari kayu dan
dari sini kearah lateral masuk ke dalam trakeid di dekatnya (Murtihapsari, 2008).
Tahap awal dalam pelapukan kayu yang dilakukan oleh white rot
fungi akan menyebabkan perubahan warna dan pengerasan pada permukaan kayu.
Hifa berkembang pada permukaan kayu atau bagian-bagian kayu yang retak
kemudian miselium menghisap zat makanan. Sifat fisik kayu, warna kayu dan
strukturnya akan berubah. Tahap ini disebut pelapukan tingkat lanjut (Advanced
decay) yang ditandai dengan berkurangnya kekuatan kayu sehingga mudah
hancur. Jamur pelapuk putih akan meninggalkan warna putih pada kayu
(Hardjo dkk., 1989). Heygren dan Bowyer (1989) menjelaskan bahwa jamur
pelapuk putih mengambil zat-zat makanan dari unsur-unsur sel kayu dengan
bantuan enzim-enzim tersebut kemudian dirombak secara kimia ke dalam bentukbentuk molekul yang lebih sederhana sehingga dapat dimetabolisir.
Meskipun demikian, tidak semua strain mempunyai kedua jenis enzim
tersebut. Beberapa strain dari phanerochaete chrysosporium tidak mampu
memproduksi LiP jika ditanam pada media cair. MnP tidak hanya diproduksi oleh
P. chrysosporium, tetapi juga oleh beberapa fungi. Mekanisme dari reaksi MnP
pada dasarnya mengoksidasi ion Mn2+ menjadi Mn3+ dengan kehadiran H2O2 dan
chelator asam organic seperti asam laktat (Prasetya, 2005).
Fungi pelapuk putih dikelompokkan ke dalam lima ordo, yaitu:
Aphlyllophorales, Agaricales, Auriculariales, Tremellales, dan Dacrymycetales.
Universitas Sumatera Utara
Fungi pelapuk putih lebih banyak dijumpai pada kayu Angiospermae atau kayu
keras (Nakasone, 1993).
Agaricales
Agaricales adalah sebuah ordo jamur darat (humikolous atau lignicolous),
yang umumnya saprotrof dari sub klas Holobasidiomycetidae. Sebagian besar
berbentuk cendawan, gymnokarpik atau semiangiokarpik. Badan buah berdaging
tempat hymenium yang disimpan dalam insang-insang (lamella) yang tersusun
radial di bagian bawah pileus. Pileus dan stipa (jika ada) tidak memuat
sphaerosista (Spring, 2007).
Ordo ini dibagi menjadi beberapa familia berdasarkan warna basidiospora,
struktur trama, dan sifat lapisan kortikal di pileus. Familinya antara lain: a).
Agaricaceae basidiokarp: stipitata, khususnya dengan sebuah anulus saat dewasa;
basidiospora: khususnya coklat gelap atau tanpa warna, namun tidak berwarna
karat atau cinnamon. Generanya antara lain Agaricus dan Lepiota. b).
Amanitaceae basidiokarp: stipitata, lamela masing-masing memiliki trama
bilateral yang divergen; basidiospora: putih atau pucat. Beberapa spesies
membentuk tirai parsial dan tirai universal. Generanya antara lain Amanita
(membentuk volva), Limacella (tidak membentuk volva) dan Termitomyces. c).
Bolbitiaceae basidiokarp : stipitata; Basidiospora: ochre atau cinnamon hingga
coklat karat. Genera mencakup Agrocybe dan Conocybe. d). Coprinaceae
basidiokarp: stipitata; lapisan sel mirip pelisade di pellis; basidiospora: gelap atau
hitam, masing-masing biasanya mengandung pori pembiak. Genera mencakup
Coprinus dan Psathyrella. e). Cortinariaceae basidiokarp: stipitata, dicirikan
dengan cortina mirip sisir yang halus; basidiospora: berwarna karat atau arsiran
Universitas Sumatera Utara
coklat, halus hingga kasar. Genera mencakup Cortinarius, Galerina, Inocybe. f).
Crepidotaceae basidiokarp: non stipitata, atau dengan stipe lateral kasar;
basidiospora:
berwarna
cinnamon.
Generanya
Crepidotus.
g).
Hygrophoraceae (‘tudung lilin’) basidiokarp: stipitata, sering berwarna cerah,
lamella berlilin, dan basidia tegak; basidiospora: tanpa warna. Genera
mencakup Hygrocybe dan Hygrophorus (Spring, 2007).
Auriculariales
Auriculariales merupakan ordo dari kelas Agaricomycetes . Spesies yang
sebelumnya digolongkan pada "heterobasidiomycetes " atau "jamur jeli", karena
banyak memiliki gelatin basidiocarps (tubuh buah) yang menghasilkan spora pada
septate basidia . Sekitar 200 spesies yang dikenal di seluruh dunia, yang
dikelompokkan dalam enam atau lebih family, meskipun status family ini saat ini
tidak pasti. Semua spesies dalam Auriculariales diyakini saprotrphic yang tumbuh
di kayu mati. Buah dari beberapa badan Auricularia dibudidayakan untuk
makanan pada skala komersial, khususnya di Cina (Spring, 2007).
Family
dari
Heteroscyphaceae,
ordo
ini
adalah
Hyaloriaceae ,
Aporpiaceae, Auriculariaceae,
Oliveoniaceae ,
Patouillardinaceae ,
Tremellodendropsidaceae (Spring, 2007).
Aphlyllophorales
Fungi ini pada umumnya memiliki basidiocarps kasar berdaging karena
adanya hifa dimitic atau trimitic. Jamur ini sering disebut sebagai "conks" atau
"polypores". Basidiocarps dalam bentuk seperti hymenium, yang mungkin halus,
Universitas Sumatera Utara
memiliki lamella, pori-pori, teeths, dll. Spesies ini sering ditemukan sebagai
dekomposer di kayu. Salah satu spesies yang terkenal adalah
Ganoderma
australis, Sarcodon atroviridis, dan Schizophyllum komune (Spring, 2007).
Tremellales
Tremellales
merupakan
salah
satu
ordo
fungi
dari
kelas
Tremmellomycetes. Berisi teleomorphic dan anamorphic spesies , sebagian besar
berupa ragi . Semua jenis teleomorphic di Tremellales adalah parasit dari jamur
lain,
kelompok
ragi
sangat
luas
dan
tidak
terbatas
pada
satu
inang. Basidiocarps (tubuh buah), ketika diproduksi, adalah gelatin (Spring,
2007).
Saat ini terdiri dari 8 family, yang berisi sekitar 300 spesies yang valid.
Signifikan genera termasuk Tremella , dua spesies yang dapat
dimakan dan
dibudidayakan secara komersial, seperti pada genera ragi Cryptococcus dan
Trichosporon , beberapa spesies merupakan pathogen bagi manusia (Spring,
2007).
Dacrymycetales
Ordo adalah satu lagi urutan fungi jeli. Fungi ini berbeda dalam morfologi
basidium, yang disebut sebagai basidium garpu tala karena bentuknya
seperti garpu tala. Basidia dan basidiospora ditanggung pada hymenium (Spring,
2007).
Universitas Sumatera Utara
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan selesai.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Hutan Departemen
Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilaksanakan di
bawah tegakan Eucalyptus spp Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada Penelitian ini adalah kantong kertas, pisau
cutter, talenan, timbangan elektrik, gelas ukur, erlenmeyer, spatula kaca, hot plate,
corong kaca, kertas saring, alumunium foil, kapas, kompor gas, autoclave, pingset,
cawan petri, alat pelindung, alat dokumentasi, dan laminar flow. Bahan yang
digunakan adalah jaringan kayu tanaman Eucalyptus spp yang telah mati, PDA,
antiboitik (kalmicetin), asam tanin, alkohol.
Prosedur Penelitian
Kondisi umum lokasi penelitian
Kawasan Aek Nauli berada di Kecamatan Girsang Simpangan Bolon,
Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara. Aksesibilitas ke lokasi ini
sangat tinggi karena terletak di antara kota Parapat dan Pematangsiantar melalui
jalur lintas Sumatera.
Kawasan Aek Nauli berada pada ketinggian 1200 mdpl. Secara geografis
terletak pada 430 25' BT dan 40 89' LU. Hutan ini memiliki kelerengan 2 sampai
15% dan sebagian merupakan areal datar berbukit dan sebagian merupakan
lembah dangkal. Curah hujan kawasan Aek Nauli termasuk ke dalam tipe A
Universitas Sumatera Utara
menurut klasifikasi Smith dan Ferguson dengan curah hujan rata-rata berkisar
antara 2199-2452 mm/tahun, kelembaban udara rata-rata harian 84 mmHg dan
suhu rata-rata bulanan berkisar antara 23-240 C.
Pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilaksanakan di PT. Toba Pulp Lestari sektor Aek
Nauli Blok B001. Dimana lokasi tersebut merupakan petak percontohan yang
terdiri dari 25 spesies Ekaliptus berusia 5 tahun. Salah satu spesies yang ada pada
petak tersebut adalah Eucalyptus urophylla, E. Grandis, E. Hybrida, E.
Urograndis. Petak percontohan tersebut merupakan petak yang digunakan untuk
keperluan penelitian.
Gambar 2. Lokasi pengambilan sampel
Luasan areal yang digunakan untuk mengambil sampel adalah 100 m x
200 m, dengan metode sensus. Kriteria sampel yang akan digunakan adalah
ranting atau batang yang sudah lapuk. Sampel yang sudah diambil dipisahkan
menjadi tiga bagian berdasarkan tingkat pelapukannya yaitu baru, sedang, dan
lanjut. Sampel yang telah dibersihkan dimasukkan ke dalam kantung plastik dan
disimpan di dalam ruangan pada suhu kamar sampai proses isolasi.
Universitas Sumatera Utara
Isolasi Fungi
Sebelum dilakukan isolasi, media PDA dicampurkan antibiotik (kemicitin)
hal ini berfungsi untuk mencegah perkembangbiakan bakteri. PDA dituangkan ke
dalam cawan petri. Diisolasi dan dibiarkan selama 1 hari. Bagian batang kayu
yang terinfeksi diambil, kemudian dibersihkan dengan menggunakan aquades,
dipotong persegi. Selanjutnya bagian batang kayu tersebut ditanam pada media
PDA didiamkan selama 3-4 hari dilihat pertumbuhan jamurnya.
Setelah fungi tumbuh kemudian dilakukan pemurnian, tujuannya untuk
mendapatkan satu jenis fungi pada satu cawan petri. Fungi yang tumbuh
kemudian diisolasi berdasarkan warna dan bentuk koloni. Diletakkan fungi pada
media PDA. Diamati perkembangannya selama 7 hari. Diukur pertumbuhannya
meliputi diameter dan warna.
Uji bavendamm
Metode untuk menentukan tipe pelapukan kayu oleh jamur dikembangkan
83 tahun yang lalu oleh Bavendamm pada tahun 1928 dan diterbitkan di jurnal
Pflanzenschutz, karena itu test ini sering disebut dengan Bavendamm Test dan
media untuk mengujinya sering disebutkan hanya dengan nama media
Bavendamm (Nishida et al, 1988).
Untuk membedakan kultur fungi, apakah termasuk fungi pelapuk putih
atau fungi pelapuk coklat. digunakan uji Bavendamm yang menggunakan agar
tanin. Dalam medium PDA ditambahkan 0.1% asam galat (Nishida et al, 1988).
Bila terbentuk warna coklat pada permukaan agar yang mengindikasikan adanya
Universitas Sumatera Utara
aktivitas fenol oksidase, maka kultur fungi tersebut termasuk dalam kelompok
fungi pelapuk putih (Rayner & Boddy, 1988).
Identifikasi fungi
Fungi yang tumbuh pada media PDA dipindahkan dengan ukuran 3x3 mm
atau 4x4 mm ke dalam objek glass, sebanyak 2 buah. Ditutup fungi yang telah
dipindahkan tersebut dengan objek glass. Diamati dan diidentifikasi fungi yang
ada pada mikroskop yang menyangkut bentuk, warna, hyfa, miselia, konidia dan
jenis fungi. Kemudian dicocokkan dengan kunci identifikasi fungi Alexopoulus
(1952).
Universitas Sumatera Utara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan Kriteria Pelapukan
Pengamatan dilakukan pada jaringan kayu mati tanaman ekaliptus di PT.
Toba Pulp Lestari, Tbk. Sektor Aek Nauli. Lokasi pengamatan dan pengambilan
sampel di blok B001, dimana blok tersebut adalah blok yang dibuat untuk
keperluan penelitian terdiri dari sekitar 25 spesies ekaliptus dengan umur tegakan
5 tahun.
Setelah dilakukan pengamatan kemudian diklasifikasikan jenis pelapukan
berdasarkan tingkat pelapukannya yaitu baru, sedang, dan lanjut. Pengamatan di
lapangan juga mengamati fungi yang terdapat pada kayu yang telah lapuk. Pada
Tabel 1 menyajikan jumlah kayu dari masing-masing tingkat pelapukan dan fungi
yang terdapat pada kayu tersebut.
Tabel 1. Kriteria Pelapukan dan Fungi yang Didapat pada Pengamatan di
Lapangan
Kriteria
Jumlah Kayu
Jenis Fungi
Baru
8
Sedang
10
Lanjut
10
Kode Fungi
keterangan
1
trA
fungi berwarna putih
4
trB
fungi berwarna coklat tua
trC
fungi berwarna abu-abu
trA
fungi berwarna putih
trD
fungi berwarna putih
trA
fungi berwarna putih
trE
fungi berwarna hitam
trF
fungi berwarna coklat muda
trG
fungi berwarna putih
4
Pada pelapukan kelas baru, fungi yang didapat berupa benang-benang
halus dan tidak mempunyai tubuh buah. Pada pelapukan kelas baru hanya
ditemukan satu jenis fungi. Pada pelapukan kelas sedang didapatkan 4 jenis fungi
Universitas Sumatera Utara
yang berbeda dan fungi yang ditemukan memiliki bentuk dan warna yang
beragam. Sedangkan pada pelapukan kelas lanjut didapat 4 jenis fungi yang
memiliki perbedaan bentuk dan warna. Fungi yang ada pada pelapukan kelas baru
didapat juga pada pelapukan kelas sedang dan kelas lanjut yaitu fungi dengan
kode trA. Karakteristik fungi yang ditemukan dilapangan meliputi bentuk, warna,
dan ukuran disajikan pada Table 2.
Tabel 2. Karakteristik Fungi yang Didapat di Lapangan
No.
Kode
Karakteristik
Ditemukan pada
Bentuk
Warna
Ukuran
1
trA
benang-benang halus
putih
baru, sedang, lanjut
2
3
4
5
6
trB
trC
trD
trE
trF
seperti kipas
seperti payung
tidak beraturan
seperti kipas
seperti jarum
coklat tua
abu-abu
putih
hitam
coklat muda
2-3 cm
1-2 cm
5 cm
10-15 cm
3-5 cm
sedang
sedang
sedang
lanjut
lanjut
7
trG
tidak beraturan
putih
10 cm
lanjut
Fungi yang ditemukan berdasarkan bentuk dan, warna, dan ukuran
sebanyak tujuh dimana untuk fungi trA terdapat pada tiga tingkat pelapukan.
Untuk fungi dengan kode trD dan trG memiliki kesamaan bentuk dan warna
namun memiliki perbedaan dimana trG berbentuk seperti jelly sedangkan trD
tidak berbentuk jelly.
Kayu yang didapat pada pengamatan di lapangan memiliki ciri-ciri
terdapat bercak-bercak pada permukaan kayu, perubahan warna menjadi lebih
gelap. Hal ini sesuai dengan pendapat Murtihapsari (2008) dimana proses
pelapukan dapat disebabkan oleh hewan, serangga, fungi, alga, dan bakteri.
Pelapukan yang disebabkan oleh fungi berupa noda pada kayu, pucat warna,
lubang membran, dan dekomposisi (decay).
Universitas Sumatera Utara
Pada pelapukan kelas baru, terjadi perubahan warna kayu dimana kayu
menjadi pucat dan ditemukan hyfa jamur yang mengelilingi bagian permukaan
kayu tersebut. Struktur kayu tersebut masih sangat keras namun lebih ringan jika
dibandingkan oleh kayu yang masih segar. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.
a
b
Gambar 3 (a) dan (b) Pelapukan kayu kelas baru (pelapukan tahap awal).
Murtihapsari (2008) menyatakan kayu yang baru saja ditebang, dapat
dilihat bahwa potongan log tersebut masih segar, dan bergetah. Akibat adanya
kandungan yang terdapat pada kayu tersebut sehingga menjadi pencarian banyak
oganisme renik. Selanjutnya bahan makanan dalam material log kayu tersebut
digantikan oleh proses respirasi sel parenkim. Jika proses pengeringan lambat
(musim hujan) atau dengan kelembaban yang tinggi maka kayu log tersebut akan
ditumbuhi ratusan jamur, alga dan bakteri lainnya, selanjutnya jasad-jasad renik
tersebut tumbuh berkembang dan menjadi penetrasi (correspondence) antara
permukaan kayu dengan lapisan bagian dalam kayu log dimana tersimpan banyak
stok makanan (storage food) yang dapat menghidupi ratusan mikroba. Seiring
dengan waktu di bawah skenario fungal decomposition, kayu kemudian berubah
warna kemudian menjadi lapuk.
Pelapukan kayu kelas sedang ditandai oleh permukaan kayu yang sudah
ditumbuhi oleh jamur. Kayu lebih lunak dibandingkan dengan kayu pada tipe
Universitas Sumatera Utara
baru. Warna kayu menjadi lebih gelap atau warna menjadi coklat tua. Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 4.
a
Gambar 4 (a) dan (b). Pelapukan kayu kelas sedang
b
Menurut Murtihapsari (2008) pemucatan warna kayu atau perubahan
warna umumnya disebabkan oleh 2 proses yaitu: pewarnaan yang disebabkan oleh
spora fungi dan penimbunan alga pada permukaan kayu. Setelah proses
pemucatan warna kayu yang disebabkan oleh spora dan alga pada permukaan,
selanjutnya diikuti oleh jamur hifa yang menggerogoti bagian dalam dan menjadi
penetrasi hingga lapisan terdalam sapwood .Aspergilus spp. dan Penicillium spp.
adalah dua genera terbesar dalam proses perubahan warna bagian kulit kayu.
Selanjutnya
penetrasi
bagian
dalam
umumnya
diperankan
oleh
jamur
Ceratocystis.
Pelapukan kelas lanjut ditandai dengan struktur kayu yang mudah hancur
dan membusuk hampir menyerupai tanah, namun masih dapat dibedakan dengan
tanah. Kadar air yang terdapat pada kayu tersebut sangat tinggi, karena luas
penampang pada kayu tersebut lebih luas dibandingkan pada tipe baru dan sedang
sehingga apabila terjadi hujan kayu pada pelapukan lanjut mudah menangkap dan
menyimpan air. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 5.
Universitas Sumatera Utara
a
Gambar 5 (a) dan (b). Pelapukan kayu kelas lanjut
b
Menurut Johnson (1979) dalam Murtihapsari (2008) melaporkan bahwa
Bacillus polymyxa (Prazmowski) dan sederetan fungi lainnya seperti Trichoderma
viride merupakan pemicu terbesar dalam proses nonaktivasi sel kayu, dan mampu
membuat pori, lubang besar dan cepat, sehingga sangat memungkinkan adanya
intrusi air ke dalam sel kayu, dan dalam beberapa lama, kayu berubah menjadi
lapuk dan akhirnya menjadi bahan organik.
Uji Bavendamm
Uji bavendamm dilakukan untuk mengetahui jenis fungi, apakah termasuk
fungi pelapuk putih atau fungi pelapuk coklat. Dalam penelitian ini media yang
digunakan adalah media agar tannin dimana media PDA ditambahkan dengan
0,1% asam tannin. Menurut Rayner & Boddy (1988) uji Bavendamm dilakukan
untuk mengetahui kemampuan Fungi Pelapuk Putih (FPP) yang diperoleh dalam
menghasilkan enzim ekstraselular oksidase. Kemampuan tersebut digunakan
untuk membedakan antara FPP dengan fu