Ototoksisitas

(1)

Oleh

dr. FERRYAN SOFYAN., M.Kes., Sp-THT-KL

NIP : 198109142009121002

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN

TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA DAN LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN USU


(2)

Halaman

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II FAKTOR GENETIK DARI OTOTOKSISITAS 5 BAB III OTOTOKSISITAS OBAT ANTIBIOTIK TOPIKAL TELINGA

BAB IV OTOTOKSISITAS DARI OBAT SISTEMIK

4.1 Aminoglikosid 13

4.1.1 Patofisiologi 13

4.1.2 Epidemiologi 15

4.1.3 Faktor resiko 15

4.1.4 Tanda dan Gejala 15

4.1.5 Pencegahan 16

4.1.6 Contoh aminoglikosida 17

4.1.6.1 Streptomisin 17

4.1.6.2 Gentamisin 17

4.1.6.3 Neomisin 17

4.1.6.4 Kanamisin 17

4.1.6.5 Amikasin 18

4.1.6.6 Tobramisin 18

4.2 Antibiotik lain 18

4.2.1 Eritromisin 18

4.2.2 Azitromisin dan clindamisin 19

4.2.3 Vankomisin 19

4.3 Loop Diuretik 20

4.3.1 Patofisiologi 20


(3)

4.4.2 Epidemiologi 23

4.4.3 Faktor resiko 23

4.4.4 Tanda dan Gejala 24

4.4.5 Pencegahan 24

4.5 Salisilat 24

4.5.1 Patofisiologi 25

4.5.2 Epidemiologi 25

4.5.3 Faktor resiko 25

4.5.4 Tanda dan Gejala 25

4.5.5 Terapi 26

4.6 Kinin 26

4.6.1 Tanda dan gejala 26

4.6.2 Terapi 26

BAB V HAL PENTING PADA OTOTOKSISITAS 27

5.1 Deteksi dini ototoksisitas 27

5.2 Terapi 29

5.3 Toksisitas terapetik 30


(4)

BAB I

PENDAHULUAN

Kerusakan pada telinga dalam yang disebabkan oleh penggunaan obat tertentu seringkali ditemukan dalam praktek kedokteran sehari-hari. Di negaranegara berkembang, dimana obat seperti aminoglikosid seringkali digunakan pada penyakit seperti pneumonia, diare dan tuberkulosis paru, angka kejadian ototoksisitas tinggi. Sebagai seorang klinisi, dokter harus mengetahui bahwa obat yang bersifat ototoksis dapat menyebabkan kerusakan pada sistem pendengaran dan keseimbangan yang sering kali tidak diperhatikan. Sehingga seorang dokter harus mengenali jenis obat-obatan yang bersifat ototoksik1.

Obat ototoksik dapat didefinisikan sebagai obat yang mempunyai potensi dapat menyebabkan reaksi toksik pada struktur-struktur di telinga dalam seperti kokhlea, vestibulum, kanalis semisirkularis dan otolith. Kerusakan pada strukturstruktur ini yang disebabkan oleh pemakaian obat dapat memberikan gejala berupa gangguan pendengaran, tinitus dan gangguan keseimbangan. Ototoksisitas didefinisikan sebagai kerusakan pada struktur kokhlea dan atau vestibuler di telinga akibat paparan zat kimia. 2

Ototoksisitas didefinisikan oleh American Speech-Language-Hearing

Association (ASHA) dan the National Cancer Institute Common Terminology Criteria

for Adverse Events (CTCAE) sebagai : 2

 Penurunan sebesar 20dB atau lebih pada audiometri nada murni pada satu frekuensi

 Penurunan sebesar 10dB atau lebih pada pada dua frekuensi yang berdekatan

 Tidak ada respon pada pemeriksaan dengan OAE atau BERA pada 3 kali pemeriksaan berulang dimana sebelumnya ada respon.


(5)

Adapun derajat ototoksisitas didefinisikan oleh CTCAE dan Brock sebagai berikut : 2

CTAE :

 Derajat 1 : ambang dengar turun 15-25dB dari pemeriksaan sebelumnya(1 tahun), dirata-rata pada 2 atau lebih frekuensi yang berurutan.

 Derajat 2 : ambang dengar turun 25-90dB dari pemeriksaan sebelumnya(1 tahun), dirata-rata pada 2 atau lebih frekuensi yang berurutan.

 Derajat 3 : penurunan pendengaran yang membutuhkan intervensi alat bantu dengar (>20dB bilateral pada frekuensi percakapan, > 30dB unilateral pada frekuensi percakapan)

 Derajat 4 : penurunan pendengaran yang membutuhkan intervensi alat bantu dengar dan implan kokhlea.

Brock’s :

 Derajat 0 : ambang dengar kurang dari 40dB pada semua frekuensi

 Derajat 1 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 8.000Hz

 Derajat 2 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 4.000-8.000Hz

 Derajat 3 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 2.000-8.000Hz

 Derajat 4 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 1.000-8.000Hz Ototoksisitas pertama kali mendapat perhatian oleh para klinisi sejak penemuan streptomisin pada tahun 1944 sebagai pengobatan utama penyakit tuberkulosis, dimana sebagian besar pasien yang mendapat terapi streptomisin ternyata mengalami disfungsi kokhlea dan vestibuler yang ireversibel. Temuan ini diikuti oleh temuan selanjutnya tentang ototoksisitas dari pemakaian obat-obatan seperti antibiotik golongan aminoglokosid dan makrolid, obat kemoterapi, salisilat, quinine dan loop diuretik. 2


(6)

Pada awal diperkenalkannya streptomisin, aminoglikosid yang pertama, pada tahun 1944 oleh Waxman, penerima hadial nobel untuk temuannya ini, mengawali babak baru dalam pengobatan tuberkulosis. Namun demikian, Hinshaw dan Feldman di

Mayo Clinic menemukan sejumlah pasien yang mengalami toksisitas vestibuler akibat penggunaan obat ini. Beberapa tahun kemudian, analog dari streptomisin, dihidrostreptomisin digunakan dengan harapan efek ototoksiknya lebih rendah dari streptomisin. Namun ternyata dihidrostreptomisin juga memiliki angka kejadian toksisitas terhadap koklea yang tinggi sehingga ditarik dari peredaran. 1

Sebagaimana obat-obatan golongan aminoglikosid lainnya, kanamisin dan neomisin juga memiliki efek toksisitas terhadap koklea bila digunakan secara sistemik, sehingga sekarang jarang digunakan. Gentamisin, golongan aminoglikosid yang lebih baru, menunjukkan angka kejadian toksisitas terhadap sistem vestibular sebesar 3%. Golongan aminoglikosid berikutnya seperti netilmisin, tobramisin, dan amikasin dikembangkan untuk mengurangi efek ototoksik. Bahkan netilmisin disebutkan sebagai obat golongan amoinoglikosid yang paling rendah efek ototoksiknya dari seluruh obat golongan aminoglikosid yang ada1.

Salisilat bila diberikan dalam dosis lebih dari 2.700mg/hari, dulu seringkali digunakan sebagai terapi artritis, ternyata dapat menyebabkan tinitus dan tuli sensorinural bilateral yang bersifat sementara,sebagian besar pasien mengalami perbaikan spontan dalam 2-3 hari. Belum pernah dilaporkan ada kejadian ganguan dengar permanen pada penggunaan salisilat selama masih dalam batas dosis terapetik. Kemudian di tahun 1960-an thalidomide, obat yang populer pada masa itu, sekarang telah diketahui dapat menyebabkan kerusakan di telinga dalam berupa aplasia selain dapat menyebabkan phocomelia dan amelia1.

Perhatian lain harus diberikan pada obat-obatan kemoterapi kanker seperti cisplatin, yang dilaporkan memiliki efek ototoksis sedang yang dapat mengakibatkan gangguan dengar bilateral yang permanen. Klinisi juga dihadapkan pada kejadian ototoksis yang rendah dan sifatnya sporadis pada penggunaan vankomisin dan


(7)

makrolid. Sebagian besar literatur mengenai efek ototoksis akibat penggunaan makrolid dilaporkan dapat sembuh kembali. Namun mekanisme ototoksisitas obatobatan ini masih belum diketahui. Dilaporkan juga penggunaan hydrocodone kombinasi dengan asetaminofen dapat menyebabkan gangguan dengan sensorineural yang progresif dengan mekanisme yang masih belum diketahui1.

Gangguan dengar atau keseimbangan yang permanen akibat penggunaan obat ototoksik dapat menimbulkan akibat yang serius pada aspek komunikasi, pendidikan dan sosial dari kehidupan pasien. Sehingga penggunaan obat ototoksik harus dipertimbangkan dengan baik manfaat dan resikonya dan penggunaan obat alternatif dapat dipertimbangkan. Penanganan ditekankan pada pencegahan karena sebagian besar gangguan dengar bersifat ireversibel. Pada gangguan dengar yang berat, amplifikasi adalah satu-satunya pilihan terapi. 2

Kriteria untuk vestibulotoksik belum dirumuskan dengan baik. Pemeriksaan vestibuler standar seperti tes kalori, VEMP dan VNG berguna untuk menentukan kelainan vestibuler. Namun pemeriksaan tersebut tidak praktis untuk dilakukan secara rutin pada pasien dalam jumlah besar di praktek sehari-hari. 2


(8)

BAB II

FAKTOR GENETIK DARI OTOTOKSISITAS

Sudah diketahui secara luas bahwa aminoglikosid adalah obat ototoksik yang paling sering menyebabkan gangguan pendengaran. Hasil penelitian menunjukkan banyak pasien yang mengalami gangguan dengar meskipun aminoglikosid diberikan dalam dosis rendah. Diketahui juga bahwa dalam suatu keluarga ditemui banyak anggota keluarganya yang mengalami ototoksisitas akibat penggunaan aminoglikosid. Berdasarkan hasil pengamatan ini dan dari penelitian yang terus berlangsung mengenai patofisiologi gangguan pendengaran, ada pendapat yang menyebutkan bahwa seorang individu tertentu mungkin memiliki predisposisi genetik atau lebih rentan terhadap efek ototoksisitas suatu obat khususnya aminoglokosid. Temuan baru-baru ini telah berhasil mengidentifikasi adanya mutasi tertentu pada DNA mitokondrial yang berhubungan dengan gangguan pendengaran, termasuk ototoksiksitas. 1

Pada awal tahun 1990 pertama kali ditemukan mutasi pada posisi 1555 pada nukleotida mitokondria 12S RNA ribosom yang bertanggung jawab atas ototoksisitas akibat aminoglikosid pada beberapa keluarga keturunan Cina, dan juga disebutkan sebagai penyebab dari sejumlah kasus ketulian nonsindromik pada pasien tanpa ada terapi aminoglikosid. Sejak temuan itu, penelitian serupa telah dilakukan pada sejumlah besar keluarga dan secara sporadik pada pasien dengan gangguan dengar sensorineural dengan riwayat pemberian aminoglikosid intravena. 1

Penelitian lanjutan ini menegaskan bahwa pada pasien-pasien ini ternyata ditemukan mutasi pada nukleotida dari DNA mitokondria yang identik. Dikatakan bahwa akibat mutasi tersebut ada reseptor yang khusus berikatan dengan aminoglikosid sehingga meningkatkan sensitifitas terhadap efek ototoksik dari aminoglikosid. Sebagian besar dari penelitian ini dilakukan secara internasional dimana infeksi berat seperti tuberkulosis seringkali masih membutuhkan penggunaan


(9)

aminoglikosid intravena. Penelitian serupa semakin banyak dilakukan. Dengan semakin banyak informasi yang didapatkan mengenai genetik dari kelainan gangguan dengar dan mutasi spesifik yang merupakan faktor predisposisi efek ototoksik dari obat tertentu, sehingga diharapkan dapat dikembangkan suatu metode pemeriksaan secara molekuler sebelum pemberian terapi antibiotik intravena. Sehingga jumlah pasien yang menderita efek ototoksik akibat penggunaan antibiotik bisa dikurangi. 1


(10)

BAB III

OTOTOKSISITAS OBAT ANTIBIOTIK TOPIKAL TELINGA

Sediaan obat topikal telinga dapat berupa serbuk, krim atau tetes. Sediaan serbuk dapat menempel dipermukaan yang lembab, dapat bertahan lebih lama di liang telinga luar, rongga telinga tengah atau rongga mastoid (dapat bertahan sampai dengan 1 bulan). Sediaan serbuk untuk telinga luar dapat terdiri dari chloramfenikol, sulfanamide, hidrokortisone. Sediaan serbuk untuk rongga mastoid dapat terdiri dari ciprofloksasin, clotrimazole atau deksametasone. Penelitian pada tikus membuktikan bahwa pemberian tetes telinga ciprofloksasin-dexametasone intratimpani selama 21 hari tidak menimbulkan efek ototoksik. 3 , 6

Sediaan krim biasanya digunakan untuk kelainan di liang telinga luar. Krim antibiotik biasanya terdiri dari neosporin atau tobramisin. Sediaan anti jamur juga biasanya dalam bentuk krim. Sediaan terbanyak obat topikal telinga adalah dalam bentuk tetes telinga. Tetes telinga dapat berupa agen tunggal atau kombinasi. Sediaan tetes telinga topikal sangat banyak dan dapat dikelompokkan berdasarkan ada tidaknya antibiotik, jenis antibiotik yang dikandung, pH, kekentalan dan apakah agen tunggal atau kombinasi. 3

Pada pengobatan infeksi telinga, preparat antibiotik topikal telinga memiliki kelebihan dibandingkan pemberian sistemik. Kelebihannya antara lain konsentrasi antibiotik yang lebih tinggi di daerah infeksi, tidak berefek sistemik, dapat memperbaiki keadaan sekitar daerah infeksi dan biasanya harganya lebih murah bila dibandingkan pemberian obat secara sistemik. 3


(11)

Larutan antibiotik 0,3% mengandung 3000mcg/mL antibiotik. Sebagai perbandingan berikut adalah konsentrasi antibiotik di telinga tengah setelah pemberian antibiotik oral : 3

 Amoksisilin dengan dosis 90 mg/kg (6-10 mcg/mL)

 Cefuroxime dengan dosis 500 mg (2-4 mcg/mL)

 Cefpodoxime dengan dosis 200 mg (1-2 mg/mL)

 Clarithromycin dengan dosis 500 mg (2-5 mcg/mL)

 Ceftriaksone intravena 35 mcg/mL

Konsentrasi yang tinggi di telinga tengah ini penting karena antibiotik terutama golongan aminoglikosid dan quinolone adalah obat yang tergantung pada konsentrasi. Sehingga kemampuan membunuh bakteri akan tergantung pada konsentrasi obat di tempat infeksi yang harus lebih tinggi dari ambang Minimal

Inhibitory Concentration (MIC). 3

Sehingga hasil laporan laboratorium yang menyatakan resistensi suatu kuman dapat menjadi suatu hal yang dapat diabaikan karena laboratorium melaporkan hasil resistensi kuman berdasarkan konsentrasi yang dicapai pada pemberian secara sistemik. Sebagai contoh pseudomonas dengan MIC 8mcg/mL untuk ciprofloxacin sudah dianggap resisten, namun organisme yang sama bila lokasinya berada di telinga akan dapat terbunuh dengan larutan antibiotik 0,3% yang mengandung 3000 mcg/mL. 3

Kelebihan obat tetes telinga antara lain tidak diabsorbsi secara sistemik, sehingga efek samping sistemik sangat sangat jarang dilaporkan. Penggunaan tetes telinga juga dapat memperbaiki kondisi di dalam rongga telinga. Di saluran telinga luar, pH normanya sedikit asam, sehingga pemberian antibiotik tetes telinga dalam larutan yang sedikit asam dapat mengembalikan dan memperkuat sistem pertahanan alami dari saluran telinga luar. Harga obat tetes telinga secara umum lebih murah bila dibandingkan dengan obat sistemik. Dan obat sistemik ini biasanya memiliki spektrum yang sempit terhadap patogen telinga. 3


(12)

Antibiotik tetes telinga juga memiliki beberapa kekurangan seperti efektifitas pencapaian obat tetes ke daerah infeksi yang cukup sulit, dapat menimbulkan efek toksik lokal di telinga tengah dan telinga dalam, dapat menimbulkan reaksi sensitifitas lokal dan dapat merubah kondisi di telinga tengah. 3

Apabila antibiotik tetes telinga tidak berhasil mencapai daerah infeksi maka hasilnya tidak akan efektif. Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal seperti cara pemberian atau penetesan yang tidak benar, liang telinga luar tertutup oleh serumen, sekret yang purulen, atau jaringan granulasi yang menghalangi masuknya obat tetes telinga kedalam ruang telinga tengah. Efektifitas tetes telinga dapat diperbaiki dengan pembersihan liang telinga luar dengan baik dengan irigasi telinga dan penggunaan hidrogen peroksida. 3

Sudah diketahui bahwa penggunaan aminoglikosid secara sistemik dapat menyebabkan toksisitas koklea dan vestibuler. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah obat-obatan ini, yang sering digunakan secara topikal pada telinga tengah, juga dapat menyebabkan ototoksisitas. Data yang diambil dari percobaan binatang menunjukkan hasil yang seragam bahwa hampir semua antibiotik golongan aminoglikosid yang digunakan sebagai preparat topikal telinga tengah bersifat ototoksik. Sehingga penggunaan antibiotik topikal golongan makrolid dibatasi pada kelainan di telinga luar saja dengan membran timpani yang intak namun masih dengan risiko ototoksik1.

Efek toksisitas dari obat tetes telinga dapat mengenai struktur telinga tengah dan telinga dalam. Pada telinga tengah efek yang terjadi dapat berupa iritasi pada mukosa telinga tengah diikuti edema mukosa. Propylene glycol dan hydrocortisone seringkali dapat menyebabkan iritasi dan inflamasi pada mukosa telinga tengah. 3

Efek toksisitas pada telinga dalam dapat berupa toksisitas kokhlea atau vestibuler. Pada percobaan binatang neomisin, polimiksin dan cloramfenikol bersifat sangat ototoksik bila mencapai telinga dalam. Namun pada manusia efek ototoksik ini jarang dilaporkan pada penggunaan tetes telinga yang mengandung neomisin. Hal


(13)

ini dapat disebabkan karena perbedaan struktur anatomis dari telinga dalam pada hewan coba dan pada manusia. Ototoksik pada tetes telinga diperkirakan terjadi melalui round window. Pada hewan round window ini lebih tipis dan terbuka, sedangkan pada manusia lebih tebal dan lebih terlindungi serta tertutupi oleh membran mukosa sehingga mencegah kontak langsung antara obat tetes telinga dan

round window. 3

Pada penelitian tercatat ada 54 kasus penggunaan gentamisin topikal telinga, digunakan pada telinga tengah atau rongga mastoid yang terbuka, yang menyebabkan ototoksisitas vestibuler. Dan 24 orang dari pasien-pasien ini menderita juga ototoksisitas auditori yang berkaitan. Penelitian tersebut juga menyebutkan 11 pasien yang mengalami ototoksisitas auditori akibat penggunaan neomisinpolimiksin tetes telinga. 1

Tabel 3.1. Ototoksisitas obat tetes telinga1

Obat Jumlah kasus

Efek ototoksisitas

Gentamisin 54 Semua dengan gangguan vestibuler dan 24 dengan gangguan koklea

Neomisin / polimiksin 11 11 kasus dengan gangguan koklea dan 2 kasus dengan gangguan vestibuler

Oleh karena itu direkomendasikan untuk menggunakan preparat antibiotik tetes telinga yang bebas dari efek samping ototoksik. Obat tetes telinga yang mengandung aminoglikosid tidak disetujui oleh FDA untuk digunakan pada telinga tengah atau rongga mastoid yang terbuka. Bahkan pada label informasi obat terdapat peringatan bahwa obat-obatan ini tidak boleh digunakan jika gendang telinga tidak utuh. Meskipun bukti-bukti yang menunjukkan adanya kerusakan telinga dalam akibat pemakaian aminoglikosid yang bersifat ototoksik masih jarang, namun juga


(14)

dilaporkan bahwa tidak ada kelebihan dari aminoglikosid yang ototoksik bila dibandingkan dengan aminoglikosid yang non ototoksik. Sehingga apabila obatobatan yang ototoksik ini terpaksa digunakan pada telinga tengah atau rongga mastoid maka penggunaannya harus diatasi pada infeksi telinga akut dan harus segera dihentikan setelah infeksinya reda, dan pasien atau keluarga pasien harus diberitahu tentang risikonya1.


(15)

BAB IV

OTOTOKSISITAS DARI OBAT SISTEMIK

Obat-obatan yang sering digunakan secara sistemik dalam bidang THT-KL yang memiliki efek ototoksik antara lain antibiotik golongan aminoglikosid, makrolid, loop diuretik, sisplatin dan salisilat. Sampai dengan saat ini belum ada penelitian meta-analisis yang membandingkan efek ototoksisitas obat-obatan ini. Obat lain yang juga memiliki efek ototoksisitas dengan angka kejadian yang rendah adalah kloroquin. 1

Dengan penyebab yang belum diketahui angka kejadian ototoksisitas akibat aminoglikosid pada anak lebih rendah dari dewasa. Pada anak, penting untuk didapatkan hasil audiogram sebelum diberikan terapi aminoglikosid untuk menyingkirkan adanya gangguan pendengaran yang ada sebelumnya, di Amerika Serikat, obat yang sering digunakan adalah gentamisin. 1

Beberapa kasus masih memerlukan penggunaan obat-obatan yang bersifat ototoksik untuk perawatan pasien yang lebih efektif. Sehingga dibutuhkan suatu mekanisme untuk dapat melindungi telinga dalam dari efek ototoksik obat-obatan seperti antibiotik intravena dan obat kemoterapi antara lain sisplatin. 1

Hasil penelitian terbaru berhasil membuktikan bahwa pemberian antibiotik golongan aminoglikosid menimbulkan terbentuknya suatu komplek senyawa besi yang terlibat dalam pembentukan radikal bebas yang mengakibatkan kematian sel rambut koklea sehingga terjadi gangguan dengar. Dari hasil temuan ini beberapa peneliti mencoba menggunakan deferoxamine (iron chelator) untuk mengurangi efek ototoksisitasnya. Hasil penelitian dengan percobaan pada binatang memberikan hasil yang cukup menjanjikan, namun harus dipertimbangkan untuk tidak merubah konsentrasi obat dalam serum dan pemahaman yang lebih baik diperlukan tentang efek samping dari pemberian iron chelator. 1


(16)

Berikut adalah contoh obat sistemik yang bersifat ototoksik. Antibiotik aminoglikosid ; streptomisin, gentamisin, neomisin, kanamisin, amikasin dan tobramisin. Antibiotik lain ; eritromisin, azitromisin, clindamisin, vankomisin. Obat lainnya ; diuretik, antineoplastik, salisilat dan kuinin. 2 , 8 

4.1 Aminoglikosid

Sejak awal penemuannya tahun 1944, berbagai aminoglikosid telah tersedia seperti streptomisisn, dihidrostreptomisisn, kanamisin, gentamisin, neomisin, tobramisin, netilmisin dan amikasin. Aminoglikosid adalah antibiotik yang bersifat bakterisidal yang terikat pada ribosom 30S dan menghambat proses sintesis protein bakteri. 2 

Meskipun efek ototoksik obat antibiotik golongan aminoglikosid sudah terbukti, obat golongan ini masih dipakai secara luas hingga hari ini pada kasus seperti septisemia, infeksi saluran kemih, infeksi saluran pernafasan, infeksi intra abdominal dan osteomielitis yang disebabkan oleh kuman aerob batang gram negatif. Efek ototoksik aminoglikosid dapat berupa kokhleotoksik dan atau vestibulotoksik. Kanamisin, amikasin, neomisin dan dihidrostreptomisin lebih cenderung kokhleotoksik. Gentamisin mempengaruhi sistem kokhlea dan vestibuler. Streptomisin, tobramisin dan netilmisin lebih cenderung vestibulotoksik. 2 , 5 

4.1.1 Patofisiologi

Target utama efek toksisitas aminoglikosid adalah sistem renal dan kokhleovestibuler. Namun tidak ada hubungan yang jelas antara derajat nefrotoksiksitas dan ototoksisitas. Toksisitas kokhlea menyebabkan gangguan pendengaran yang biasanya dimulai dari frekuensi tinggi dan adalah efek sekunder dari kerusakan ireversibel sel rambut luar pada organ korti, terutama di basal kokhlea. 2


(17)

Kadar aminoglikosid di cairan telinga dalam bertahan lebih lama dari kadar di serum sehingga ada efek ototoksik aminoglikosid bersifat laten. Sehingga gangguan pendengaran dapat dimulai atau bertambah parah setelah pemberian aminoglikosid dihentikan. Untuk itu pemeriksaan pasien untuk efek ototoksik dan vestibulotoksik sebaiknya tetap dilakukan sampai dengan 6 bulan setelah pemberian aminoglikosid dihentikan. 2 

Mekanisme ototoksisitas aminoglikosid terjadi melalui gangguan pada proses sistesis protein di mitokodria dan terbentuknya radikal bebas. Pada level seluler, gangguan dengar terjadi akibat kerusakan sel rambut kokhlea khususnya sel rambut luar. Aminoglikosid dapat menghasilkan radikal bebeas di telinga dalam dengan mengaktifkan nitric oxide synthetase sehingga meningkatkan konsentrasi nitric oxide. Kemudian terjadi reaksi antara oksigen radikal dengan nitric oxide membentuk

peroxynitrite radical yang bersifat destruktif dan mampu menstimulasi kematian sel

secara langsung. Apoptosis adalah mekanisme kematian sel yang utama dan terutama diperantarai oleh kaskade intrinsik yang diperantarai oleh mitokondria. Tampaknya interaksi aminoglikosid dengan zat besi dan tembaga semakin menambah pembentukan radikal bebas. Sebagai hasil akhir dari kaskade tersebut terjadi kerusakan permanen sel rambut luar kokhlea yang berakibat gangguan dengar

permanen.

Ototoksisitas aminoglikosid bersifat multifaktorial dan penelitian lebih lanjut masih diperlukan. Beberapa penelitian menyelidiki tentang pemberian iron chelators dan antioksidan selama terapi aminoglikosid sebagai agen yang mungkin dapat mencegah gangguan dengar. Sementara penelitian lain menyelidiki kemungkinan terapi gen sebagai alternatif terapi. Namun sekarang ini belum ada pilihan terapi yang ada selain amplifikasi dan implan kokhlea, maka dari itu pencegahan adalah hal yang sangat penting. 2 


(18)

4.1.2 Epidemiologi

Pada negara dimana antibiotik diresepkan secara luas atau bahkan dapat dibeli tanpa resep, aminoglikosid menyebabkan kasus gangguan dengar sampai dengan 66%. Dan pada pasien dewasa yang menerima terapi aminoglikosid terjadi perubahan audiogram sampai 33%. Toksisitas vestibuler tercatat terjadi pada 4% pasien dewasa. Sedangkan pada pasien neonatus toksisitas kokhlea sekitar 2%.

4.1.3 Faktor Risiko

Faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko ototoksik antara lain pemberian terapi dengan dosis tinggi, konsentrasi serum tinggi, terapi dalam waktu lama, pasien usia lanjut, pasien dengan insufisiensi renal, pasien dengan kondisi gangguan dengar sebelumnya, riwayat keluarga yang mengalami ototoksisitas dan pasien yang sedang menerima pengobatan loop diuretik. 2

4.1.4 Tanda dan Gejala

Secara klinis gejala yang muncul akibat kerusakan akut pada kokhlea adalah tinitus. Pada tahap awal penurunan pendengaran mungkin tidak disadari oleh pasien dan dapat berupa penurunan ambang dengar pada frekuensi tinggi (>4.000Hz) yang dapat semakin memberat dan mempengaruhi frekuensi bicara dan pasien dapat mengalami kurang dengar berat apabila terapi dilanjutkan. Apabila terapi dihentikan pada tahap awal, kerusakan lebih lanjut dapat dicegah dan perbaikan sebagian dari ambang dengar dapat terjadi meskipun sering kali kerusakan bersifat permanen. 2

Gejala toksisitas vestibuler biasanya berupa gangguan keseimbangan dan gejala gangguan visual. Gejala memberat pada keadaan gelap atau pada keadaan dimana pijakan kaki tidak stabil. Gejala gangguan visual berupa oscillopsia muncul ketika kepala bergerak yang berdampak pandangar kabur untuk sementara waktu


(19)

yang dapat meyebabkan gangguan melihat rambu lalulintas atau mengenali wajah orang ketika sedang berjalan. 2

4.1.5 Pencegahan

Penelitian pada binatang menunjukkan adanya manfaat dari pemberian antioksidan, vitamin E, alpha lipoic acid, ebselen, ginkgo biloba untuk mencegah efek ototoksik. Namun penelitian lebih lanjut masih diperlukan. 2

Pencegahan dilakukan dengan memonitor kadar obat dalam serum dan fungsi ginjal serta pemeriksaan pendengaran sebelum, selama dan sesudah terapi. Identifikasi pasien dengan faktor risiko dan gunakan obat alternatif pada pasien tersebut. Aminoglikosid bertahan lama di kokhlea sehingga pasien harus diedukasi untuk menghindari lingkungan yang bising sampai dengan 6 bulan sesudah terapi dihentikan karena mereka lebih rentan terjadi kerusakan kokhlea akibat bising. 2

Pada penggunaan aminoglikosid pembersihannya sebagian besar oleh ginjal, oleh karena itu gangguan fungsi ginjal akan memperlama pembersihan aminoglikosid sehingga konsentrasi dalam jaringan akan lebih tinggi dan meningkatkan risiko ototoksik. Maka fungi ginjal sebaiknya diawasi dengan jadwal sebagai berikut : 8

1. Pasien dengan kadar kreatinin serum normal dan :

a. Terapi selama 14 hari atau kurang : periksa kadar kreatinin 2 kali seminggu.

b. Terapi selama lebih dari 14 hari : periksa kadar kreatinin 3 kali seminggu

2. Pasien dengan kadar kreatinin serum yang meningkat namun stabil : periksa kadar kreatinin 2 hari sekali.


(20)

3. Pasien dengan kadar kreatinin serum yang naik dan turun secara tidak terduga : periksa kadar kreatinin setiap hari.

4.1.6 Beberapa contoh aminoglikosid : 2

4.1.6.1 Streptomisin : aminoglikosid yang pertama, efeknya terutama pada bakteri

gram negatif. Efek vestibulotoksik lebih dominan.kerusakan vestibuler lebih sering dijumpai padapenggunaan jangka panjang dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Sekarang sudah jarang digunakan.

4.1.6.2 Gentamisin : efek vestibulotoksik lebih dominan. Bila kadar dalam serum

masih dalam rentang terapi 10-12mcg/mL masih dianggap aman namun mungkin masih bisa berefek toksik pada beberapa pasien. Dosis harus disesuaikan dengan hati-hati bila digunakan pada pasien dengan gangguan ginjal. 4

4.1.6.3 Neomisin : Neomisin adalah aminoglikosid yang paling kokhleotoksik jika

diberikan secara oral dan dalam dosis tinggi, sehingga penggunaan secara sistemik tidak dianjurkan. Neomisin sangat lambat hilang dari perilimf sehingga toksisitas lambat setelah 1-2 minggu penghentian terapi dapat terjadi. Neomisin sekarang digunakan terutama sebagai obat antibiotik tetes telinga yang efektif. Meskipun neomisin dianggap aman untuk digunakan secara topikal pada telinga, alternatif yang sama efektifnya banyak tersedia.

4.1.6.4 Kanamisin : Meski efek toksiknya lebih rendah dibanding neomisin, efek

ototoksik kanamisin cukup tinggi. Kanamisin dapat menyebabkan kerusakan berat sel rambut kokhlea dan penurunan pendengaran berat pada frekuensi tinggi. Kanamisin sekarang sudah jarang digunakan, sebaiknya tidak diberikan secara parenteral.


(21)

4.1.6.5 Amikasin: Amikasin adalah produk turunan kanamisin dan efek

vestibulotoksiknya sangat minimal dibandingkan gentamisin. Pada penanganan infeksi berat amikasin diindikasikan apabila sesuai dengan hasil kultur dan resistensi dan respon pasien.

4.1.6.6 Tobramisin: Efek ototoksik tobramisin mirip dengan amikasin, terjadi kurang

dengar frekuensi tinggi. Tobramisin sering digunakan sebagai preparat ototopikal dan secara umum dianggap aman.

4.2 Antibiotik lain

4.2.1 Eritromisin

Eritromisin pertama kali dikenal dan digunakan secara luas sejak tahun 1952. Secara umum eritromisin dianggap sebagai obat yang aman. Eritromisin sudah digunakan sebagai pilihan utama pada kasus infeksi akibat streptokokus grup A dan pneumokokus pada individu yang masih sensitif terhadap penisilin. Efek ototoksik dari eritromisin pertama kali dilaporkan tahun 1973. Sejak itu hanya beberapa kasus ototoksisitas eritromisin yang dilaporkan secara sporadis dan umumnya bersifat reversibel. Pada kasus tersebut pasien umumnya memiliki faktor risiko lainnya sepertipenyakit ginjal kronis, penyakit hati kronis, penggunaan dosis lebih dari 4 gram/hari dan pemberian intravena. Penurunan pendengaran yang cukup berat pada frekuensi percakapan yang bersifat reversibel juga dilaporkan pada pasien penerima operasi transplantasi ginjal yang menerima terapi eritromisin intravena. Onset biasanya mulai sejak 3 hari setelah terapi dimulai. 2


(22)

4.2.2 Azitromisin dan Clindamisin

Azitromisin dan clindamisin adalah antibiotik makrolid generasi yang lebih baru. Antibiotik ini lebih luas dipakai secara klinis karena efek samping pada traktus gastrointestinal yang lebih sedikit dan spektrum antibiotik yang lebih luas daripada eritromisin. Namun demikian beberapa laporan yang menyebutkan tentang efek ototoksiknya mulai muncul. Namun laporannya masih bersifat sporadis dan penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan. 2

4.2.3 Vankomisin

Vankomisin adalah antibiotik glikopeptida yang pertama kali diperkenalkan tahun 1950. Sering digunakan pada kasus infeksi stafilokokus yang resiten terhadap methisilin. Beberapa kasus ototoksisitas yang biasanya muncul sebagai tinitus dilaporkan pada pasien dengan penginkatan kadar dalam serum akibat gagal ginjal atau pada pasien yang menerima obat antibiotik golongan aminoglikosid pada saat bersamaan. Data yang ada tidak lengkap namun pada beberapa kasus efek ototoksisitasnya bersifat sementara. Belum ada laporan yang memberikan bukti yang kuat bahwa pemberian vankomisin saja pada dosis terapeutik dapat menyebabkan efek ototoksik. Tidak ada rekomendasi yang diberikan untuk penggunaan vankomisin, namun perhatian harus diberikan pada pemberian vankomisn bersama obat ototoksik lainnya. 2


(23)

4.3 Loop Diuretik

Loop diuretik bekerja pada loop henle. Yang termasuk didalam golongan ini adalah sulfonamide, turunan asam fenoksiasetat, ethacrynic acid dan heterocyclic

compounds. Obat-obatan ini digunakan pada pengobatan gagal jantung kongestif,

gagal ginjal, sirosis dan hipertensi. Diuretik yang paling sering digunakan seperti

ethacrynic acid furosemide, bumetanide dapat menyebabkan ototoksisitas. Adapun

diuretik lain yang jarang digunakan seperti torsemide, azosemide, ozolinone,

indacrinone dan piretanide juga pernah dilaporkan dapat menimbulkan ototoksisitas.

2

Sekarang telah diketahui dengan baik bahwa antibiotik aminoglikosid memiliki efek sinergistik dengan obat tertentu sehingga meningkatkan efek ototoksitasnya. Sebagai contoh penggunaan aminoglikosid dengan loop diuretik dapat mengakibatkan kejadian ototoksik yang tinggi. Dan telah diketahui juga bahwa pemberian diuretik sebelum pemberian antibiotik aminoglikosid ternyata lebih tidak berakibat ototoksik dibandingkan apabila sebaliknya. 1

4.3.1 Patofisiologi

Efek ototoksisitas diuretik nampaknya berhubungan dengan stria vaskularis yang dipengaruhi oleh perubahan radien ion antara perilimfe dan endolimfe. Perubahan ini menyebabkan edema pada epitel stria vaskularis sehingga terjadi perubahan potensial pada endolimfe. Diuretik lain seperti ethacrynic acid, ternyata meningkatkan permeabilitas stria vaskularis, memungkinakan terjadinya difusi aminoglikosid ke endolimph. 1 , 2

Efek ototoksik yang disebabkan oleh ethacrynic acid terjadi secara bertahap dan efeknya bertahan lebih lama dibandingkan dengan furosemide atau bumetanide. Secara keseluruhan efek ototoksik akibat diuretik bersifat sementara. 2


(24)

4.3.2 Epidemiologi

Ototoksisitas terjadi pada 6-7% pasien dengan diuretik. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya ototoksisitas antara lain dosis, riwayat gagal ginjal, pemberian obat ototoksik lainnya pada saat bersamaan. 2

4.3.3 Tanda dan Gejala

Pasien biasanya mengeluhkan gejala gangguan dengar segera setelah terapi diberikan. Pasien kadang juga mengeluh tinitus dan gangguan keseimbangan. Penurunan pendengaran yang sifatnya permanen dilaporkan terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, menerima terapi dalam dosis tinggi atau menerima antibiotik aminoglikosid pada saat bersamaan. 2

4.3.4 Pencegahan

Pencegahan ototoksisitas akibat diuretik dapat dilakukan dengan penggunaa dosis yang terendah yang masih bisa mencapai efek terapi dan menghindari penggunaan intravena dengan tetesan cepat. Pasien dengan faktor risiko tinggi seperti gagal ginjal, penggunaan aminoglikosid pada saat bersamaan harus diperhatikan karena penggunaan obat aminoglikosid dan diuretik secara bersamaan tidak dianjurkan. 2


(25)

4.4 Obat kemoterapi (antineoplastik)

Sisplatin, obat kemoterapi yang sering digunakan pada keganasan di daerah kepala dan leher, sudah diketahui memiliki efek gangguan dengar sensori neural yang ireversibel. Hasil penelitian menunjukkan penurunan glutathione akibat terbentuknya radikal bebas pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan pada sel rambut kokhlea. 1

Selain sisplatin, carboplatin juga dilaporkan mempunyai efek ototoksik yang lebih rendah dibandingkan sisplatin. Obat ini sering digunakan pada keganasan di kebidanan, paru-paru, sistem saraf pusat, kepala dan leher dan keganasan testikuler. Obat kemoterapi bersifat nonspesifik pada siklus hidup sel, mempengaruhi DNA mengganggu proses replikasi sel. 2

Sisplatin terdistribusi secara luas ke seluruh tubuh dan konsentrasi tertinggi didapatkan di ginjal, hati dan prostat. Sisplatin membentuk ikatan yang reversibel dengan protein plasma dan masih dapat dideteksi sampai dengan 6 bulan setelah penghentian terapi. Carboplatin tidak berikatan dengan protein plasma dan dapat bersihkan lebih cepat melalui ginjal. Dosis dan efektifitas sisplatin dan karboplatin dibatasi oleh efek samping yang ditimbulkan. Efek samping yang paling utama dalah nefrotoksik dan ototoksik yang tergantung pada dosis. 2

4.4.1 Patofisiologi

Mekanisme ototoksik obat kemoterapi diperantarai oleh terbentuknya radikal bebas dan proses kematian sel. Kerusakan terjadi pada stria vaskularis di skala media dan menyebabkan kematian sel rambut luar kokhlea yang berawal dari bagian basal kokhlea. Radikal bebas diproduksi oleh NADPH oxidase di sel rambut dalam kokhlea setelah terpapar oleh sisplatin. NADPH oxidase adalah enzim yang mengkatalisasi pembentukan radikal superokside. Salah satu bentuk NADPH oxidase, NOX3, secara selektif diproduksi di telinga dalam dan adalah sumber yang penting dari pembentukan radikal bebas di kokhlea yang dapat menyebabkan


(26)

gangguan pendengaran. Radikal bebas ini nantinya akan memicu proses kematian sel secara apoptosis yang diperantarai oleh mitokondria dan caspase yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan dengar yang permanen. 2

4.4.2 Epidemiologi

Angka kejadian dan derajat keparahan ototoksisitas tergantung pada dosis, jumlah siklus terapi, keadaan ginjal dan pemberian obat ototoksik lainnya secara bersamaan. Angka kejadian yang lebih tinggi dilaporkan terjadi pada pasien pediatri dan pasien dengan keganasan daerah kepala leher yang menjalani terapi radiasi. Beberapa penelitian menyebutkan angka kejadian gangguan dengar sebesar 61% pada anak yang menerima kemoterapi sisplatin. 2

4.4.3 Faktor risiko

Beberapa faktor risiko terjadinya ototoksisitas pada pemberian obat kemoterapi telah berhasil dikenali, antara lain dosis dan jumlah siklus terapi yang semakin tinggi, riwayat terapi radiasi pada daerah kepala sebelumnya, pasien dengan usia yang ekstrim, dehidrasi, pemberian obat ototoksik lainnya pada waktu bersamaan dan gagal ginjal. 2

4.4.4 Tanda dan Gejala

Keluhan dapat berupa tinitus dan gangguan dengar. Gangguan dengar biasanya sensorineural, bilateral, progresif dan permanen. Frekuensi tinggi biasanya yang pertama kali terpengaruh. Gejala dapat muncul setelah pemberian dosis yang pertama atau bisa juga beberapa hari atau bahkan bulan setelah pemberian dosis terakhir. 2


(27)

4.4.5 Pencegahan

Pada pasien yang akan menerima obat kemoterapi usahakan untuk mendapatkan hasil pemeriksaan sebelum, selama dan sesudah terapi bahkan sampai 6 bulan kemudian. Anjurkan pasien untuk menghindari suasana yang bising sampai 6 bulan sesudah terapi selesai. 2

Berbagai obat kemoprotektor menunjukkan penggunaan antioksidan untuk mengurangi efek ototoksik dari sisplatin. Penelitian pada hewan dengan menggunakan vitamin E, L-N-Acetyl cysteine dan sodium thiosulfate, D-methionine, salisilat, iron chelators, caspase atau calpain inhibitors,dan bahkan terapi gen menunjukkan hasil yang bermanfaat memastikan teori ini. Sebagian besar penelitian dilakukan pada binatang, sehingga diperlukan penelitian lanjutan pada manusia untuk membuktikan apakah temuan ini dapat berarti secara klinis dapat mengurangi efek ototoksisitas sisplatin. 1 , 2

4.5 Salisilat

Asam asetil salisilat atau yang lebih dikenal dengan aspirin digunakan secara luas sebagai anti inflamasi, anti piretik dan analgetik. Aspirin adalah suatu penghambat agregasi platelet dan digunakan pada pasien dengan riwayat stroke, angina atau infark jantung. Asam asetil salisilat diserap dengan cepat setelah pemebrian melalui oral dan mengalami hidrolisis di hati menjadi bentuk aktifnya asam salisilat. Kadar terapetik dalam serum berkisar antara 25-50mcg/mL sebagai analgesik dan antipiretik, 150-300 mcg/mL sebagai terapi demam rematik. Gejala tinitus dilaporkan dapat muncul pada kadar serum 200mcg/mL. 2


(28)

4.5.1 Patofisiologi

Asam salisilat dapat masuk dengan cepat ke kokhlea dan kadar di perilimfe setara dengan kadar di serum. Kadar yang semakin meningkat dapat menyebabkan tinitus dan biasanya gangguan dengar sensorineral yang sementara dengan gambaran audiogram yang datar. Mekanismenya multifaktorial dan multilokasi. Kelainan morfologi minimal pernah dilaporkan, hasil OAE juga menunjukkan adanya abnormalitas sel rambut luar kokhlea, penurunan aliran darah kokhlea juga diduga mempunyai peranan. Perubahan biokimia, dan permeabilitas sel rambut luar yang tidak normal juga dapat berpengaruh. 2 , 5

4.5.2 Epidemiologi

Angka kejadiannya sekitar 1 % dan lebih umum terjadi pada pasien usia lanjut meskipun pada dosis rendah. 2

4.5.3 Faktor risiko

Faktor risiko yang diketahui antara lain pemberian dosis tinggi, usia lanjut dan dehidrasi.2

4.5.4 Tanda dan Gejala

Tinitus adalah gejala yang paling sering terjadi. Gejala lain seperti gangguan dengar, mual, muntah, nyeri kepala, juga pernah dilaporkan. Gangguan dengar yang terjadi biasanya derajat ringan sampai dengan sedang dan simetris bilateral. Pemulihan biasanya terjadi dalam 24-72 jam setelah penghentian obat. 2

Tinitus dulu dianggap sebagai tanda awal kejadian ototoksisitas. Penelitian lebih anjut menunjukkan bahwa kejadian tinitus sebaiknya tidak digunakan sebagai penanda kadar salisilat dalam serum karena efek ototoksik dapat terjadi meskipun pada kadar salisilat dalam serum yang rendah. 2


(29)

4.5.5 Terapi

Toksisitas akibat salisilat ditangani dengan pengawasan kadar elektrolit, pemberian cairan dan bila perlu pemberian diuresis. Pemberian oksigen dan ventilasi mekanik mungkin dibutuhkan pada kasus yang berat. 2

4.6 Kuinin

Kuinin awalnya digunakan sebagai terapi pada kasus malaria. Penggunaannya sekarang sudah mulai jarang karena adanya obat pilihan lain yang lebih tidak toksik. 2

4.6.1 Tanda dan Gejala

Toksisitas akibat kuinin dapat mengakibatkan tinitus, gangguan pendengaran dan vertigo. Gangguan dengarnya biasanya sensorineural dan sementara. Temuan khas audiogram berupa gangguan dengar sensorineural dengan penurunan di frekuensi 4.000Hz . Gangguan dengar yang permanen sangat jarang dilaporkan pada toksisitas akibat penggunaan kuinin. 2

4.6.2 Terapi

Terapi utama adalah penghentian terapi, amplifikasi mungkin diperlukan pada kasus gangguan dengar yang permanen meskipun jarang dilaporkan. 2


(30)

BAB V

HAL PENTING PADA OTOTOKSISITAS

5.1. Deteksi Dini Ototoksisitas

Deteksi dini dengan pemeriksaan pendengaran atau audiometri awal sebaiknya dilakukan sebelum pemberian obat kemoterapi seperti sisplatin dan karboplatin. Pada pasien yang menerima pengobatan amnoglikosid pemeriksaan audiometri awal dapat dilakukan dalam 72 jam sejak terapi diberikan. Keputusan untuk melakukan deteksi dini pada pasien dipengaruhi oleh pasien dengan faktor risiko tinggi ototoksik, keadaan pasien yang dengan penyulit, tingkat kesadaran, usia dan profesi khusus yang memerlukan fungsi pendengaran dan keseimbangan yang baik seperti penyetel nada alat musik (piano, gitar, dll), penyanyi, pilot, penari balet dan lainnya. 2

Pemeriksaan pendengaran awal yang dilakukan sebaiknya dilakukan selengkap mungkin, minimal dengan audiometri nada murni dengan frekuensi 0,25 – 8kHz. Lengkapi juga dengan riwayat pasien, riwayat keluarga, pemeriksaan otoskopi telinga dan audiometri tutur bila memungkinkan. 2

Pada pasien yang kurang kooperatif atau tidak dapat diperiksa dengan pemeriksaan audiometri standar, dapat dilakukan pemeriksaan Otoacoustic emission (OAE) dan atau Auditory Brainstem Response (ABR), pemeriksaan dilakukan untuk dokumentasi dan monitoring pasien. OAE khususnya sensitif dan dapat menggambarkan keadaan pada sel rambut luar kokhlea, dan dapat menilai kejadian kokhleotoksik secara objektif. OAE juga dilaporkan lebih sensitif bila dibandingkan dengan audiometri nada murni dalam mendeteksi gangguan kokhlea setelah pemberian gentamisin. Pemeriksaan ABR lebih memakan waktu dan stimulinya terbatas pada frekuensi 1- 4 kHz. 2 , 7


(31)

Monitoring harus dilakukan dengan interval waktu yang tetap. Apabila didapatkan gejala ototoksisitas maka harus dilakukan upaya untuk mengurangi efek ototoksik secepat mungkin. Pada penggunaan antibiotik aminoglikosid, pemeriksaan sebaiknya dilakukan 1 atau 2 minggu sekali. Pada penggunaan obat kemoterapi, pemeriksaan sebaiknya dilakukan 1 minggu sekali. Jarak waktu pemeriksaan dapat menjadi lebih singkat apabila ditemukan gejala ototoksisitas. Pemeriksaan harus dilanjutkan sampai dengan 3-6 bulan setelah terapi ototoksik diberikan. 2

Pemeriksaan vestibuler standar seperti tes kalori, VEMP dan VNG berguna untuk menentukan kelainan vestibuler. Namun pemeriksaan tersebut tidak praktis untuk dilakukan secara rutin pada pasien dalam jumlah besar di praktek sehari-hari. “Head-Shake Test” adalah cara mudah untuk mendeteksi adanya gangguan sistem vestibuler. Pasien dalam posisi duduk diperintahkan untuk menggelengkan kepalanya dengan cepat ke kanan dan ke kiri dengan sudut 10-20°. Pasien dengan gangguan vestibuler akan mengalami pandangan kabur atau rasa pening atau mual.

Pemeriksaan keseimbangan yang mudah dilakukan lainnya adalah tes romberg dimana pasien diminta untuk berdiri tegak dengan kedua kaki tertutup rapat, awalnya dengan kedua mata terbuka dan kedua tangan disamping badan atau terlipat didepan dada lalu pasien diminta untuk menutup mata dan diperintahkan untuk tetap berdiri tegak. Perhatikan apakah ada kecenderungan pasien untuk terjatuh atau condong ke salah satu sisi. apabila psien condong jatuh ke satu sisi maka hasilnya positif. Apabila hasilnya negatif dapat dilakukan pemeriksaan romberg dipertajam dimana kedua kaki penderita berada dalam posisi tumit salah satu kaki berada didepan ujung kaki lainnya dan dilakukan hal yang sama.


(32)

Apabila hasil tes positif pada Head-shake test dan atau romberg maka hal tersebut menunjukkan gejala awal terjadinya gangguan sistem vestibuler, sehingga terapi obat ototoksik harus dihentikan dan pemeriksaan sistem keseimbangan secara lebih lengkap harus dilakukan.2,8

5.2 Terapi

Hal yang menjadi perhatian utama adalah mempertahankan kemampuan komunikasi pasien dengan orang di sekitarnya. Pemeriksaan audiometri pada tahap awal penyakit diperlukan untuk mendapatkan gambaran audiogram awal sebelum terapi. Hal yang penting adalah memberikan informasi yang cukup pada pasien tentang risiko dari pengobatan yang bersifat ototoksik dan menekankan agar pasien secepat mungkin melaporkan adanya gejala seperti tinitus, gangguan pendengaran, oskilopsia atau gangguan keseimbangan. 2

Suara dengan frekuensi tinggi memegang peranan penting dalam proses percakapan dan gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi dapat mempengaruhi kemampuan berkomunikasi terutama dalam memahami percakapan. Apabila gangguan dengar telah terjadi maka untuk mencegah penurunan komunikasi, sosial dan edukasi, penggunaan alat bantu dengar sangat disarankan. 2


(33)

5.3 Toksisitas Terapetik

Dalam 10 tahun terakhir, pemberian gentamisin intratimpani telah diterima sebagai salah satu cara pengobatan penyekit Meniere yang sulit diobati. Pada masa awal ablasi vestibuler digunakan streptomisin, namun sekarang lebih ddipilih gentamisn karena efeknya yang lebih vetibulotoksik daripada kokhleotoksik sehingga dapat menghilangkan fungsi vestibuler dengan tetap mempertahankan fungsi pendengaran. Prinsipnya adalah bahwa gangguan vestibuler total unilateral memungkinkan kompensasi dari sistem vestibuler kontralateral, sehingga secara keseluruhan fungsi vestibuler masih berfungsi dengan baik. 2 

Gentamisin diberikan 30-40 mg setiap minggu sampai didapatkan tanda dan gejala gangguan vestibuler total unilateral. Biasanya dengan dosis ini efek vestibulotoksik sudah didapatkan pada hari ke 12. Dari meta-analisis 15 penelitian dan 627 pasien, didapatkan pada 74,7% pasien gejala vertigo dapat hilang total dengan terapi gentamisin intratimpani. Gejala hilang total atau sebagian didapatkan pada 92,7 % pasien. 2 


(34)

BAB VI KESIMPULAN

Obat ototoksik adalah obat yang mempunyai potensi dapat menyebabkan reaksi toksik pada struktur-struktur di telinga dalam seperti kokhlea dan sistem vestibuler. Ototoksisitas didefinisikan sebagai kerusakan pada struktur kokhlea dan atau vestibuler di telinga akibat paparan zat kimia. Kerusakan pada struktur-struktur ini yang disebabkan oleh pemakaian obat dapat memberikan gejala berupa gangguan pendengaran, tinitus dan gangguan keseimbangan. 2

Ototoksisitas didefinisikan oleh American Speech-Language-Hearing

Association (ASHA) dan the National Cancer Institute Common Terminology Criteria

for Adverse Events (CTCAE) sebagai : 2

 Penurunan sebesar 20dB atau lebih pada audiometri nada murni pada satu frekuensi

 Penurunan sebesar 10dB atau lebih pada pada dua frekuensi yang berdekatan

 Tidak ada respon pada pemeriksaan dengan OAE atau BERA pada 3 kali pemeriksaan berulang dimana sebelumnya ada respon.

Adapun derajat ototoksisitas didefinisikan oleh Brock sebagai berikut : 2

Brock’s :

 Derajat 0 : ambang dengar kurang dari 40dB pada semua frekuensi

 Derajat 1 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 8.000Hz

 Derajat 2 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 4.000-8.000Hz

 Derajat 3 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 2.000-8.000Hz


(35)

Kriteria untuk vestibulotoksik belum dirumuskan dengan baik. Pemeriksaan vestibuler standar seperti tes kalori, VEMP dan VNG berguna untuk menentukan kelainan vestibuler. Namun pemeriksaan tersebut tidak praktis untuk dilakukan secara rutin pada pasien dalam jumlah besar di praktek sehari-hari. 2

“Head-Shake Test” adalah cara mudah untuk mendeteksi adanya gangguan sistem vestibuler. Pasien dalam posisi duduk diperintahkan untuk menggelengkan kepalanya dengan cepat ke kanan dan ke kiri dengan sudut 10-20°. Pasien dengan gangguan vestibuler akan mengalami pandangan kabur atau rasa pening atau mual.

Pemeriksaan keseimbangan yang mudah dilakukan lainnya adalah tes romberg dimana pasien diminta untuk berdiri tegak dengan kedua kaki tertutup rapat, awalnya dengan kedua mata terbuka dan kedua tangan disamping badan atau terlipat didepan dada lalu pasien diminta untuk menutup mata dan diperintahkan untuk tetap berdiri tegak. Perhatikan apakah ada kecenderungan pasien untuk terjatuh atau condong ke salah satu sisi. apabila psien condong jatuh ke satu sisi maka hasilnya positif. Apabila hasilnya negatif dapat dilakukan pemeriksaan romberg dipertajam dimana kedua kaki penderita berada dalam posisi tumit salah satu kaki berada didepan ujung kaki lainnya dan dilakukan hal yang sama.

Apabila hasil tes positif pada Head-shake test dan atau romberg maka hal tersebut menunjukkan gejala awal terjadinya gangguan sistem vestibuler, sehingga terapi obat ototoksik harus dihentikan dan pemeriksaan sistem keseimbangan secara lebih lengkap harus dilakukan.2,8

Pada awal tahun 1990 pertama kali ditemukan mutasi pada posisi 1555 pada nukleotida mitokondria 12S RNA ribosom yang bertanggung jawab atas ototoksisitas akibat aminoglikosid pada beberapa keluarga keturunan Cina, dan juga disebutkan sebagai penyebab dari sejumlah kasus ketulian nonsindromik pada pasien tanpa ada


(36)

ini ternyata ditemukan mutasi pada nukleotida dari DNA mitokondria yang identik. Dikatakan bahwa akibat mutasi tersebut ada reseptor yang khusus berikatan dengan aminoglikosid sehingga meningkatkan sensitifitas terhadap efek ototoksik dari aminoglikosid.

Dengan semakin banyak informasi yang didapatkan mengenai genetik dari kelainan gangguan dengar dan mutasi spesifik yang merupakan faktor predisposisi efek ototoksik dari obat tertentu, sehingga diharapkan dapat dikembangkan suatu metode pemeriksaan secara molekuler sebelum pemberian terapi antibiotik intravena. Sehingga jumlah pasien yang menderita efek ototoksik akibat penggunaan antibiotik bisa dikurangi. 1

Pada pengobatan infeksi telinga, preparat antibiotik topikal telinga memiliki kelebihan dibandingkan pemberian sistemik. Kelebihannya antara lain konsentrasi antibiotik yang lebih tinggi di daerah infeksi, tidak berefek sistemik, dapat memperbaiki keadaan sekitar daerah infeksi dan biasanya harganya lebih murah bila dibandingkan pemberian obat secara sistemik. 3

Efek toksisitas obat tetes telinga pada telinga dalam dapat berupa toksisitas kokhlea atau vestibuler. Ototoksik pada tetes telinga diperkirakan terjadi melalui round window. Oleh karena itu direkomendasikan untuk menggunakan preparat antibiotik tetes telinga yang bebas dari efek samping ototoksik. Sehingga apabila obat-obatan yang ototoksik ini terpaksa digunakan pada telinga tengah atau rongga mastoid maka penggunaannya harus diatasi pada infeksi telinga akut dan harus segera dihentikan setelah infeksinya reda, dan pasien atau keluarga pasien harus diberitahu tentang risikonya1,3

Berikut adalah contoh obat sistemik yang bersifat ototoksik. Antibiotik aminoglikosid ; streptomisin, gentamisin, neomisin, kanamisin, amikasin dan tobramisin. Antibiotik lain ; eritromisin, azitromisin, clindamisin, vankomisin. Obat lainnya ; diuretik, antineoplastik, salisilat dan kuinin. 2 , 8 


(37)

Dua jenis obat yang bersifat ototoksik yang paling sering diberikan adalah gentamisin dan sisplatin. Pada kasus pemberian gentamisin, pemantauan yang dilakukan dengan mengawasi kadar obat serum. Apabila gentamisin harus diberikan dalam waktu lama, misalnya pada osteomielitis, perlu dipertimbangkan pemeriksaan genetik apakah pasien tersebut memiliki kerentanan terhadap ototksisitas akibat pemberian gentamisin, dan dokter harus memberikan pemahaman kepada pasien tentang risiko yang harus dihadapi. Penentuan dosis yang tepat pada pemberian obat kemoterapi juga dapat mengurangi kejadian ototoksisitas. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui apakah obat kemopreventif sama efektifnya pada percobaan binatang dan percobaan pada manusia sehingga dapat mengurangi kejadian

ototoksisitas akibat ini. 1

penggunaan obat-obatan

Penggunaan audiometri frekuensi tinggi (8.000-12.000Hz) sebagai prediktor ototoksisitas akibat penggunaan obat, namun seringkali sulit dilakukan secara rutin pada praktek sehari-hari. Audiometri konvensional (250-8.000Hz) masih sering digunakan untuk memantau pasien sebelum dan sesudah penggunaan obat ototoksik seperti gentamisin dan sisplatin. Beberapa pusat penelitian melakukan satu kali pemeriksaan audiometri sebelum terpi dan beberapa pemeriksaan audiometri serial dan pemantauan kadar obat dalam serum. 1

Pada pasien yang kurang kooperatif atau tidak dapat diperiksa dengan pemeriksaan audiometri standar, dapat dilakukan pemeriksaan Otoacoustic emission (OAE) dan atau Auditory Brainstem Response (ABR), pemeriksaan dilakukan untuk dokumentasi dan monitoring pasien. OAE khususnya sensitif dan dapat menggambarkan keadaan pada sel rambut luar kokhlea, dan dapat menilai kejadian kokhleotoksik secara objektif. OAE juga dilaporkan lebih sensitif bila dibandingkan dengan audiometri nada murni dalam mendeteksi gangguan kokhlea setelah pemberian gentamisin. Pemeriksaan ABR lebih memakan waktu dan stimulinya terbatas pada frekuensi 1- 4 kHz. 2 , 7


(38)

Suara dengan frekuensi tinggi memegang peranan penting dalam proses percakapan dan gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi dapat mempengaruhi kemampuan berkomunikasi terutama dalam memahami percakapan. Apabila gangguan dengar telah terjadi maka untuk mencegah penurunan komunikasi, sosial dan edukasi, penggunaan alat bantu dengar sangat disarankan. 2


(39)

DAFTAR PUSTAKA

1. Schuman RM. Ototoxicity. In Bailey BJ. Head & Neck Surgery - Otolaryngology, 4th Edition. 2006 Lippincott Williams & Wilkins. Chapter 148. p645.

2. Mudd PA. Inner Ear, Ototoxicity. Article in emdicine. 2008. Available from : http: //emedicine.medscape. com/article/857679-overview

3. Billings KR. Antibiotics, Ototopical. Article in emedicine. 2009. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/873963-overview

4. Hain TC. Gentamicin Toxicity. Article in Dizziness-and-balance.com. 2009 available from :

http://www. dizzinessandbalance. com/disorders/bilat/gentamicin%20toxicity.ht m

5. Roland PS. Ototoxicity. Canada. 2004. BC Decker.

6. Kavanagh KR et all. Auditory Function After a Prolonged Course of Ciprofloxacin-Dexamethasone Otic Suspension in a Murine Model. 2009. Arch Otolaryngology Head Neck Surgery.

7. Stavroulaki P et all. Otoacoustic Emissions for Monitoring Aminoglycoside-Induced Ototoxicity in Children With Cystic Fibrosis. 2002. Arch Otolaryngology Head Neck Surgery.

8. Faibanks DNF. Antimicrobial Therapy in Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 13th edition. 2007. American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Foundation, Inc.ChV,p73.


(1)

BAB VI KESIMPULAN

Obat ototoksik adalah obat yang mempunyai potensi dapat menyebabkan reaksi toksik pada struktur-struktur di telinga dalam seperti kokhlea dan sistem vestibuler. Ototoksisitas didefinisikan sebagai kerusakan pada struktur kokhlea dan atau vestibuler di telinga akibat paparan zat kimia. Kerusakan pada struktur-struktur ini yang disebabkan oleh pemakaian obat dapat memberikan gejala berupa gangguan pendengaran, tinitus dan gangguan keseimbangan. 2

Ototoksisitas didefinisikan oleh American Speech-Language-Hearing Association (ASHA) dan the National Cancer Institute Common Terminology Criteria for Adverse Events (CTCAE) sebagai : 2

 Penurunan sebesar 20dB atau lebih pada audiometri nada murni pada satu frekuensi

 Penurunan sebesar 10dB atau lebih pada pada dua frekuensi yang berdekatan

 Tidak ada respon pada pemeriksaan dengan OAE atau BERA pada 3 kali pemeriksaan berulang dimana sebelumnya ada respon.

Adapun derajat ototoksisitas didefinisikan oleh Brock sebagai berikut : 2

Brock’s :

 Derajat 0 : ambang dengar kurang dari 40dB pada semua frekuensi  Derajat 1 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 8.000Hz

 Derajat 2 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 4.000-8.000Hz  Derajat 3 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 2.000-8.000Hz  Derajat 4 : ambang dengar > 40dB pada frekuensi 1.000-8.000Hz


(2)

Kriteria untuk vestibulotoksik belum dirumuskan dengan baik. Pemeriksaan vestibuler standar seperti tes kalori, VEMP dan VNG berguna untuk menentukan kelainan vestibuler. Namun pemeriksaan tersebut tidak praktis untuk dilakukan secara rutin pada pasien dalam jumlah besar di praktek sehari-hari. 2

“Head-Shake Test” adalah cara mudah untuk mendeteksi adanya gangguan sistem vestibuler. Pasien dalam posisi duduk diperintahkan untuk menggelengkan kepalanya dengan cepat ke kanan dan ke kiri dengan sudut 10-20°. Pasien dengan gangguan vestibuler akan mengalami pandangan kabur atau rasa pening atau mual.

Pemeriksaan keseimbangan yang mudah dilakukan lainnya adalah tes romberg dimana pasien diminta untuk berdiri tegak dengan kedua kaki tertutup rapat, awalnya dengan kedua mata terbuka dan kedua tangan disamping badan atau terlipat didepan dada lalu pasien diminta untuk menutup mata dan diperintahkan untuk tetap berdiri tegak. Perhatikan apakah ada kecenderungan pasien untuk terjatuh atau condong ke salah satu sisi. apabila psien condong jatuh ke satu sisi maka hasilnya positif. Apabila hasilnya negatif dapat dilakukan pemeriksaan romberg dipertajam dimana kedua kaki penderita berada dalam posisi tumit salah satu kaki berada didepan ujung kaki lainnya dan dilakukan hal yang sama.

Apabila hasil tes positif pada Head-shake test dan atau romberg maka hal tersebut menunjukkan gejala awal terjadinya gangguan sistem vestibuler, sehingga terapi obat ototoksik harus dihentikan dan pemeriksaan sistem keseimbangan secara lebih lengkap harus dilakukan.2,8

Pada awal tahun 1990 pertama kali ditemukan mutasi pada posisi 1555 pada nukleotida mitokondria 12S RNA ribosom yang bertanggung jawab atas ototoksisitas akibat aminoglikosid pada beberapa keluarga keturunan Cina, dan juga disebutkan sebagai penyebab dari sejumlah kasus ketulian nonsindromik pada pasien tanpa ada


(3)

ini ternyata ditemukan mutasi pada nukleotida dari DNA mitokondria yang identik. Dikatakan bahwa akibat mutasi tersebut ada reseptor yang khusus berikatan dengan aminoglikosid sehingga meningkatkan sensitifitas terhadap efek ototoksik dari aminoglikosid.

Dengan semakin banyak informasi yang didapatkan mengenai genetik dari kelainan gangguan dengar dan mutasi spesifik yang merupakan faktor predisposisi efek ototoksik dari obat tertentu, sehingga diharapkan dapat dikembangkan suatu metode pemeriksaan secara molekuler sebelum pemberian terapi antibiotik intravena. Sehingga jumlah pasien yang menderita efek ototoksik akibat penggunaan antibiotik bisa dikurangi. 1

Pada pengobatan infeksi telinga, preparat antibiotik topikal telinga memiliki kelebihan dibandingkan pemberian sistemik. Kelebihannya antara lain konsentrasi antibiotik yang lebih tinggi di daerah infeksi, tidak berefek sistemik, dapat memperbaiki keadaan sekitar daerah infeksi dan biasanya harganya lebih murah bila dibandingkan pemberian obat secara sistemik. 3

Efek toksisitas obat tetes telinga pada telinga dalam dapat berupa toksisitas kokhlea atau vestibuler. Ototoksik pada tetes telinga diperkirakan terjadi melalui round

window. Oleh karena itu direkomendasikan untuk menggunakan preparat antibiotik

tetes telinga yang bebas dari efek samping ototoksik. Sehingga apabila obat-obatan yang ototoksik ini terpaksa digunakan pada telinga tengah atau rongga mastoid maka penggunaannya harus diatasi pada infeksi telinga akut dan harus segera dihentikan setelah infeksinya reda, dan pasien atau keluarga pasien harus diberitahu tentang risikonya1,3

Berikut adalah contoh obat sistemik yang bersifat ototoksik. Antibiotik aminoglikosid ; streptomisin, gentamisin, neomisin, kanamisin, amikasin dan tobramisin. Antibiotik lain ; eritromisin, azitromisin, clindamisin, vankomisin. Obat lainnya ; diuretik, antineoplastik, salisilat dan kuinin. 2 , 8 


(4)

Dua jenis obat yang bersifat ototoksik yang paling sering diberikan adalah gentamisin dan sisplatin. Pada kasus pemberian gentamisin, pemantauan yang dilakukan dengan mengawasi kadar obat serum. Apabila gentamisin harus diberikan dalam waktu lama, misalnya pada osteomielitis, perlu dipertimbangkan pemeriksaan genetik apakah pasien tersebut memiliki kerentanan terhadap ototksisitas akibat pemberian gentamisin, dan dokter harus memberikan pemahaman kepada pasien tentang risiko yang harus dihadapi. Penentuan dosis yang tepat pada pemberian obat kemoterapi juga dapat mengurangi kejadian ototoksisitas. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui apakah obat kemopreventif sama efektifnya pada percobaan binatang dan percobaan pada manusia sehingga dapat mengurangi kejadian

ototoksisitas akibat ini. 1

penggunaan obat-obatan

Penggunaan audiometri frekuensi tinggi (8.000-12.000Hz) sebagai prediktor ototoksisitas akibat penggunaan obat, namun seringkali sulit dilakukan secara rutin pada praktek sehari-hari. Audiometri konvensional (250-8.000Hz) masih sering digunakan untuk memantau pasien sebelum dan sesudah penggunaan obat ototoksik seperti gentamisin dan sisplatin. Beberapa pusat penelitian melakukan satu kali pemeriksaan audiometri sebelum terpi dan beberapa pemeriksaan audiometri serial dan pemantauan kadar obat dalam serum. 1

Pada pasien yang kurang kooperatif atau tidak dapat diperiksa dengan pemeriksaan audiometri standar, dapat dilakukan pemeriksaan Otoacoustic emission (OAE) dan atau Auditory Brainstem Response (ABR), pemeriksaan dilakukan untuk dokumentasi dan monitoring pasien. OAE khususnya sensitif dan dapat menggambarkan keadaan pada sel rambut luar kokhlea, dan dapat menilai kejadian kokhleotoksik secara objektif. OAE juga dilaporkan lebih sensitif bila dibandingkan dengan audiometri nada murni dalam mendeteksi gangguan kokhlea setelah pemberian gentamisin. Pemeriksaan ABR lebih memakan waktu dan stimulinya terbatas pada


(5)

Suara dengan frekuensi tinggi memegang peranan penting dalam proses percakapan dan gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi dapat mempengaruhi kemampuan berkomunikasi terutama dalam memahami percakapan. Apabila gangguan dengar telah terjadi maka untuk mencegah penurunan komunikasi, sosial dan edukasi, penggunaan alat bantu dengar sangat disarankan. 2


(6)

DAFTAR PUSTAKA

1. Schuman RM. Ototoxicity. In Bailey BJ. Head & Neck Surgery - Otolaryngology, 4th Edition. 2006 Lippincott Williams & Wilkins. Chapter 148. p645.

2. Mudd PA. Inner Ear, Ototoxicity. Article in emdicine. 2008. Available from :

http: //emedicine.medscape. com/article/857679-overview

3. Billings KR. Antibiotics, Ototopical. Article in emedicine. 2009. Available from

: http://emedicine.medscape.com/article/873963-overview

4. Hain TC. Gentamicin Toxicity. Article in Dizziness-and-balance.com. 2009 available from :

http://www. dizzinessandbalance. com/disorders/bilat/gentamicin%20toxicity.ht m

5. Roland PS. Ototoxicity. Canada. 2004. BC Decker.

6. Kavanagh KR et all. Auditory Function After a Prolonged Course of Ciprofloxacin-Dexamethasone Otic Suspension in a Murine Model. 2009. Arch Otolaryngology Head Neck Surgery.

7. Stavroulaki P et all. Otoacoustic Emissions for Monitoring Aminoglycoside-Induced Ototoxicity in Children With Cystic Fibrosis. 2002. Arch Otolaryngology Head Neck Surgery.

8. Faibanks DNF. Antimicrobial Therapy in Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 13th edition. 2007. American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Foundation, Inc.ChV,p73.