Ototoksisitas Cisplatin Pada Kemoterapi Tumor Ganas Kepala Dan Leher Di Rsup. H. Adam Malik Medan

(1)

TESIS

Oleh :

ZAINUL BAHRY SIHOTANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

SUMATERA UTARA PROGRAM PENDIDIKAN

DOKTER SPESIALIS BIDANG STUDI ILMU

KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA DAN LEHER

M E D A N

2007

Zainul Bahry Sihotang : Ototoksisitas Cisplatin Pada Kemoterapi Tumor Ganas Kepala Dan Leher Di..., 2007 USU e-Repository © 2008


(2)

LEMBAR PERSETUJUAN PESERTA PENELITIAN ( INFORMED CONCERN )

Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Umur : Jenis Kelamin :

Telah menerima dan mengerti penjelasan dokter tentang penelitian ” Ototoksisitas Cisplatin Pada Kemoterapi Tumor Ganas Kepala Dan Leher Di RSUP H. Adam Malik Medan ” dengan menimbang untung ruginya dan dengan kesadaran serta kerelaan sendiri saya bersedia menjadi peserta penelitian tersebut.

Demikianlah surat persetujuan ini saya buat atas dasar kesadaran sendiri tanpa paksaan sipapun.

Medan,...2007 Yang Menyatakan Peneliti


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

... i

DAFTAR ISI

... viii

DAFTAR TABEL

... xi

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2.

Perumusan Masalah ... 4

1.3.

Hipotesis Penelitian ... 4

1.4.

Tujuan Penelitian ... 4

1.5.

Mamfaat Penelitian ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Embriologi Telinga Dalam ... 6

2.1.1. Labirin Membran ... 7

2.1.1.1. Makula ... 8

2.1.1.2. Krista dan Kupula ... 9

2.1.1.3. OraganCorti ... 9

2.1.2. Labirin Tulang ... 10

2.2. Anatomi Telinga Dalam ... 11

2.2.1. Labirin Tulang ... 12

2.2.1.1. Vestibulum ... 12


(4)

2.2.1.3. Kohlea ... 15

2.2.2. Labirin Membran ... 17

2.2.2.1. Sakulus dan Utrikulus ... 17

2.2.2.2. Kanalis Semisirkularis Membran ... 18

2.2.2.3. Duktus Kohlearis ... 19

2.2.2.4. Organ Corti ... 20

2.2.3. Vaskularisasi Telinga Dalam ... 23

2.2.4. Persarafan Telinga Dalam ... 24

2.3. Fisiologi Vestibular ... 24

2.4. Fisiologi Pendengaran ... 25

2.5. Ototoksisitas ... 26

2.5.1. Ototoksisitas Akibat Penggunaan Cisplatin ... 27

2.5.2. Perubahan Histopatologi pada Ototoksis Cisplatin ... 28

2.6. Tumor Ganas Kepala dan Leher ... 29

2.7. Kemoterapi ... 31

2.8. Audiometri Nada Murni ... 37

2.9. Faktor Resiko ... 40

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian ... 42

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 42

3.3. Sampel Penelitian ... 42

3.3.1. Pemilihan Subyek Penelitian ... 42


(5)

3.3.2.1. Kriteria Inklusi ... 43

3.3.2.2. Kriteria Eksklusi ... 43

3.3.3. Besar Sampel ... 44

3.4. Kerangka Teori ... 45

3.5. Kerangka Konsepsional ... 45

3.6. Batasan Operasional ... 46

3.7. Cara Kerja ...46

3.8. Kerangka Kerja ...47

3.9. Analisa Data ...48

BAB 4 HASIL PENELITIAN

...49

BAB 5 PEMBAHASAN

...56

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ...61

6.2. Saran ...62

KEPUSTAKAN

...63


(6)

DAFTAR TABEL DAN GRAFIK

Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Subyek Penelitian ... 49

Tabel 4.2. Distribusi Lokasi Tumor Ganas Kepala dan Leher ... 50

Tabel 4.3. Distribusi Status Pendengatran Sebelum Kemoterapi ... 51

Tabel 4.4. Tabel Status Pendengaran Setelah Kemoterapi Pertama ... 51

Tabel 4.5. Tabel Status Pendengaran Setelah Kemoterapi Kedua ... 52

Tabel 4.6. Tabel Status Pendengaran Setelah Kemoterapi Ketiga ... 52

Tabel 4.7. Distribusi Kelompok Umur Dengan Kejadian Ototoksik ... 53

Tabel 4.8. Distribusi Jenis Kelamin Dengan Kejadian Ototoksik ... 53

Tabel 4.9. Hubungan Kemoterapi Cisplatin Dengan Kejadian Ototoksik ... 54

Grafik 4.1. Grafik Status Pendengaran Prakemoterapi dan Postkemoterapi... 54


(7)

ABSTRAK

Latar Belakang

Ototoksitas adalah suatu keadaan dimana terjadi kerusakan pada koklea ataupun apparatus vestibularis yang diakibatkan oleh paparan dari bahan kimia termasuk obat-obatan. Cisplatin merupakan suatu antineoplastik yang sangat potensial dan digunakan secara luas terhadap kemoterapi tumor ganas kepala dan leher, namun sering menimbulkan efek samping, salah satu dari sekian banyak efek toksiknya adalah ototoksik. Ciri khas dari ototoksik ini adalah terjadinya penurunan ketajaman pendengaran yang bersifat sensorineural pada frekwensi tinggi, bilateral, cepat dan progresif dapat sementara namun umumnya menetap, pada paparan yang lebih lanjut bisa melibatkan frekwensi menengah atapun pada semua frekwensi. Insidensi dari ototoksik sangat bervariasi tergantung dari dosis dan lamanya paparan, pada beberapa penelitian terdapat perbedaan insidensi mulai dari 11% hingga 33% dan bahkan ada yang melaporkan sampai 90%. Perlu dilakukan penelitian angka kejadian ototoksik cisplatin di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, oleh karena cisplatin merupakan obat standar yang diberikan untuk kemoterapi pada pada tumor ganas kepala dan leher di Departemen tersebut.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat angka kejadian ototoksik cisplatin pada kemoterapi tumor ganas kepala dan leher di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, melihat perbedaan kejadian bila dihubungkan dengan peningkatan siklus terapi.

Metodologi

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian yang bersifat prosfektif observasional, yaitu melihat gambaran audiometri nada murni pada 22 penderita


(8)

sebelum di lakukan kemoterapi dan sesudah kemoterapi pertama, kedua dan ketiga.

Hasil Penelitian

Dari 22 penderita sebagai subyek penelitian di temukan angka kejadian ototoksik pada kemoterapi pertama 2 penderita, pada kemoterapi kedua terjadi penigkatan menjadi 4 penderita dan pada kemoterapi ketiga ditemukan 5 penderita. Pada hasil penelitian ditemukan angka kejadian ototoksik sebanyak 5 penderita dari 22 sampel ( 22,7% ). Semua penderita laki-laki, kelompok usia terbanyak adalah umur 50-59 tahun, ototoksiknya bersifat bilateral dan menetap selama waktun periode penelitian.

Kesimpulan

Terbukti ada hubungan yang signifikan antara kemoterapi cisplatin dengan kejadian ototoksik, dimana pada uji marginal homogenitas di dapatkan nilai p = 0,027, berarti p < 0,05.


(9)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, Saya sampaikan rasa syukur Kehadirat Illahi karena dengan rahmat dan karuniaNya, saya dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan.

Penelitian ini dilakukan secara prospektif observasional, dengan judul penelitian adalah : OTOTOKSISITAS CISPLATIN PADA KEMOTERAPI TUMOR GANAS KEPALA DAN LEHER DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN.

Saya menyadari bahwa tulisan ini mungkin jauh dari kesempurnaan baik isi maupun pembahasannya, oleh karena itu kami mohon kritik dan saran yang membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan, namun demikian saya berharap tulisan ini dapat menambah perbendaharaan tentang ototoksisitas cisplatin dibidang kemoterapi khususnya dibidang Ilmu Penyakit THT-KL.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankan saya menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

Yang terhornat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorakan


(10)

Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis di Fakultas ini.

Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah mengizinkan dan memberikan kepada saya untuk belajar dan bekerja dilingkungan Rumah Sakit ini.

Yang terhormat Prof. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp THT-KL (K), sebagai Ketua Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak memberikan petunjuk, pengarahan serta nasehat baik sebagai Ketua Departemen, sebagai guru bahkan orang tua selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

Yang terhormat Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp THT-KL (K) Sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, atas bimbingannya dan dorongan semangat yang diberikan sehingga menimbulkan rasa percaya diri, baik dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya.

Yang terhormat dr. Adlin Adnan, Sp THT-KL sebagai Ketua pembimbing tesis saya. Yang terhormat DR.dr. Delfitri Munir, Sp THT-KL (K) dan dr. Hafni Sp THT-KL (K) sebagai anggota pembimbing tesis saya, yang telah banyak memberikan petunjuk, perhatian serta bimbingan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang


(11)

setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan, selama perjalanan panjang saya mengikuti pendidikan hingga dalam pelaksanaan penelitian serta penulisan tesis ini.

Yang terhormat para guru-guru saya di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan : Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp THT-KL (K), dr. Asroel Aboet, Sp THT-KL, dr. Yuritna Haryono, Sp THT-KL(K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL(K), dr. T Sofia Hanum, Sp THT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan Sp THT-KL, dr. Linda I Adenin, SpTHT-KL, dr. Ida Sjailandrawati H, SpTHT-KL, dr. Ainul Mardhiah, SpTHT-KL, dr. Rizalina A Asnir, SpTHT-KL, dr. Siti Nursiah, SpTHT-KL, dr. Andrina YM Rambe, SpTHT-KL, dr. Harry A Asroel, SpTHT-KL, dr. Farhat, SpTHT-KL, dr.Siti Hajar Haryuna, SpTHT-KL, yang telah banyak memberikan bimbingan kepada saya selama menjalani pendidikan dokter spesialis dalam ilmu dan pengetahuan di bidang THT-KL, baik secara teori maupun keterampilan, yang kiranya sangat bermamfaat bagi saya dikemudian hari, saya mengucapkan banyak terimakasih semoga mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Yang terhormat Bapak Kepala Depertemen / Staf Radiologi FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen / Staf Radiologi RS. Elisabeth Medan, Kepala Departemen / Staf Anastesiologi dan Reanimasi FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen / Staf Patologi Anatomi FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan bimbingan kepada saya selama menjalani stase asisten di Departemen tersebut, saya ucapkan banyak terimaksih.


(12)

Yang terhormat Direktur / Staf Bagian THT RSUP Pirngadi Medan, Direktur / Staf Bagian THT RSUD Lubuk Pakam, Direktur / Staf Bagian RS Tembakau Deli dan Kepala Rumkit I Bukit Barisan, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan menjalani stase asisten di Rumah Sakit tersebut, saya ucapkan banyak terimakasih.

Yang terhormat dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, Staf Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat / Ilmu Kedokteran Pencegahan / Ilmu Kedokteran Komonitas , yang telah banyak membantu saya di bidang statistik dan pengolahan data tesis ini.

Yang Mulia Ayahanda Alm. L. Sihotang dan Ibunda Hj. Tiurlan Sitompul, yang dengan segala daya upaya telah mengasuh, membesarkan dan membimbing dengan penuh kasih sayang semenjak kecil hingga saya dewasa agar menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, agama, bangsa dan negara. Dengan memanjatkan doa kehadirat Allah SWT, ampunilah dosa kedua orang tua saya, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangin saya sewaktu kecil. Terimakasih juga saya tujukan kepada adik-adik saya yang telah memberikan dorongan semangat selama saya menjalani pendidikan.

Yang terhormat kedua mertua saya alm. Drs. H. Mustafa Ramadhan Msc dan Dra. Hj. Ade Djubaedah Witiawaty serta kakak dan adik ipar yang telah memberikan dorongan semangat kepada saya sehingga pendidikan ini dapat selesai.

Kepada istriku tercinta dr. Erga Radianti M serta anak-anakku tersayang Fidzah Atsil M Sihotang, Naufal Razan Sihotang, Izdihar Ramadhani Sihotang


(13)

dan Muhammad Faris Sihotang, tiada kata yang lebih indah yang dapat diucapkan selain ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya atas perjuangan dan pengorbanan, kesabaran, ketabahan serta dorongan semangat yang tiada henti-hentinya sehingga dengan ridho dari Allah SWT akhirnya kita sampai pada saat yang berbahagia ini.

Kepada rekan-rekan sejawat peserta pendidikan keahlian Ilmu Kesehatan THT-KL, yang telah bersama-sama dalam suka dan duka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat, penuh harapan saya rekan-rekan lebih giat lagi agar dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan baik, semoga Allah SWT selalu memberikan rahmatNya kepada kita semua.

Untuk paramedis dan karyawan Departemen THT Bedah Kepala dan Leher FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, saya ucapkan banyak terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya selama saya menjalani pendidikan ini.

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikluti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang, Amin,Amin Ya Rabbal,alamin.

Medan, Desember 2007 Penulis


(14)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Kapten Kes. dr.Zainul Bahry Sihotang

2. Tempat / tanggal lahir : Simangambat Kec. Siabu Kab. Madina / 26 Pebruari 1968

3. Alamat : Jl. Polonia G-19 Komplek TNI-AU Lanud Medan

4. No. Telp./ HP : (061) 4519683 / 081396460286 5. Riwayat Pendidikan

5.1. SD Negeri II Simangambat (1974 - 1980) 5.2. SMP Negeri Siabu (1980 - 1983)

5.3. SMA Negeri 3 Banda Aceh (1983 - 1986)

5.4. Sarjana Kedokteran FK. Universitas Syiah Kuala ( 1986 – 1992 ) 5.5. Dokter FK. Universitas Syiah Kuala ( 1992 - 1997 )

6. Riwayat Pendidikan Militer

6.1. Sekolah Perwira Prajurit Karier ABRI Angkatan II (1993 – 1994) 6.2. Kursus Orientasi Matra Angkatan XIV 1994

6.3. Sekolah Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa Angkata XVIII 2000

6.4. Dasar Pelatihan Helly Raid Skadron 465 Paskhas ( 2000 ) 7. Riwayat Pekerjaan

7.1. Dokter TNI – AU (1994 – Sekarang) 7.2. Residen THT – KL (2004 – Sekarang)


(15)

8. Riwayat Penugasan

8.1. Pa Dp Dan Lanud Maemun Saleh Sabang (1994-1997)

8.2. Ka Unit Poli Umum Rumkit Lanud Adi Sucipto Yokyakrta (1997- 2000 )

8.3. Operasi Siaga I Ambon ( 1999 )

8.4. Ka Unit Uji Badan Rumkit Lanud Medan (2000 – 2004) 8.4. Operasi Bakti TNI / Opslihkam Aceh (2001 )

8.5. Kakes Lanud Iskandar Muda Banda Aceh (2002 ) 9. Tanda Kehormatan

9.1. Satya Lencana Wira Karya, No. 095/TK/Tahun 1999 ( Presiden Republik Indonesia )

9.2. Satya Lencana Kesetiaan, No. Skep/167/XII/2002 ( KASAU ) 8 . Anggota Profesi

8.1. IDI Yogyakarta (1997 - 2000)

8.2. IDI Sumatera Utara (2000 – Sekarang) 8.3. PERHATI – KL (2004 – Sekarang)


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tumor ganas kepala dan leher merupakan 5% dari seluruh penyakit keganasan di Amerika Serikat (Ballenger, 1994). Pada setiap tahunnya terdiagnosa lebih kurang 40.000 kasus tumor ganas kepala leher, dari jumlah tersebut 11.500 pasien meninggal tiap tahunnya. Lebih dari 70% pasien datang dengan stadium lanjut (stadium III dan IV), secara histopatologi 90% merupakan karsinoma sel skuamosa (Lee,, 2003 ; Saini et al, 2003 ; Nagar 2004).

Tumor ganas nasofaring, hidung dan sinus paranasal serta laring merupakan 3 keganasan yang paling banyak ditemukan pada tumor ganas kepala dan leher, kemudian tumor ganas telinga, esofagus/bronkus, orofaring dan mulut (Sudarwi, 1996; Munir, 2001).

Penggunaan obat anti kanker dimulai sejak tahun 1946 dengan ditemukannya secara kebetulan nitrogen mustard yang dapat dipakai mengobati penyakit leukemia. Umumnya obat antikanker itu sangat toksik sehingga penggunaannya harus dengan sangat hati-hati dan atas indikasi yang tepat (Sukarja, 2000).

Salah satu dari sekian banyak efek toksik yang sesuai di bagian telinga, hidung dan tenggorok adalah ototoksik yang ditandai dengan penurunan tajam pendengaran pada penderita tumor ganas kepala leher pasca kemoterapi (Riggs et al, 1998).


(17)

Pada beberapa tahun terakhir, berbagai penelitian telah dilakukan mengenai bermacam variasi kombinasi obat-obatan yang digunakan tidak hanya pada kekambuhan dan penyakit lanjut, tetapi juga sebagai terapi pertama untuk tumor ganas kepala leher. Problema penderita tumor ganas kepala dan leher yang dihadapi oleh mereka yang menanganinya merupakan suatu tantangan untuk pendekatan secara multidisipliner. (Ballenger, 1994 ; Vermey, 1999 )

Cisplatin merupakan suatu antineoplastik yang potensial digunakan secara luas pada berbagai penyakit keganasan. Umumnya efek samping yang dapat terjadi berupa neprotoksik dan ototoksik. Laporan angka kejadian ototoksik oleh karena obat cisplatin sangat bervariasi pada beberapa penelitian. Pengaruh penurunan pendengaran yang ditimbulkannya biasanya bilateral dan simetris walaupun mungkin bisa unilateral (Riggs at al, 1998 ; Whitworth,2004 ).

Ciri khas ototoksik dihubungkan dengan gangguan pendengaran sensorineural frekuensi tinggi, walaupun dapat juga meluas ke frekuensi menengah, dapat bersifat sementara tetapi umumnya bersifat irreversible

(Rademaker at al, 2006 ; Riggs at al, 1998).

Hawkins (1976) menyatakan bahwa suatu ototoksisitas merupakan kecenderungan dari obat maupun substansi kimiawi yang menyebabkan gangguan fungsi dan degenerasi selular dari jaringan telinga dalam, khususnya end organ

dan neuron dari koklea maupun vestibular. Sensitivitas organ telinga dalam terhadap efek toksik suatu obat telah lama dikenali sebagai efek samping pengobatan dalam dunia kedokteran (Wright at al, 1997 ; Dehne, 2001).


(18)

Cisplatin digunakan sebagai standar pengobatan berbagai keganasan termasuk tumor kepala dan leher, walaupun diketahui merupakan obat antikanker yang paling banyak menyebabkan ototoksik, dilaporkan insiden ototoksik 33% pada pasien yang diberikan cisplatin single dose 50 mg/m2 (Rademaker et al, 2006). Pada beberapa penelitian terdapat perbedaan insiden ototoksik mulai dari 11% sampai 33 % (Wright, 1997; Duta, 2005).

Ototoksisitas akibat penggunaan cisplatin merupakan efek samping yang sangat perlu diperhitungkan sebelum menggunakannya sebagai terapi kanker, karena kondisi ini dapat menjadi permanen sehingga mengurangi kualitas hidup pasien serta menambah beban psikologi bagi si pasien maupun keluarganya.

Pelaksanaan kemoterapi di departemen THT FK USU/RSUP.H.Adam malik Medan di berikan pada penderita tumor ganas kepala dan leher yang memenuhi syarat dimana indeks Karnofsky ≥ 70 % , fungsi hati, hematologi dan ginjal adekuat. Regimen terapi yang diberikan adalah kombinasi cisplatin 50-100 mg/m2, 5-fluorouracil 800 mg/m2/hari dan leucovorin 300 mg/m2/hari. Cisplatin diberikan pada hari pertama, 5-FU dan leucovorin di berikan pada hari pertama sampai hari kelima, pemberian sebanyak 3 siklus dengan interval 3-4 minggu.

Berdasarkan hal tersebut di atas serta literatur yang mendasarinya, maka peneliti ingin mengetahui angka kejadian penurunan ketajaman pendengaran pada pasien tumor ganas kepala leher pasca kemoterapi dengan cisplatin di departemen THT FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, sehingga di kemudian hari dapat digunakan untuk dipertimbangkan sebagai langkah mencegah dan meminimalisasi kejadian ototoksik sebagai efek samping dari kemoterapi.


(19)

1.2 Perumusan Masalah

Cisplatin merupakan salah satu obat antikanker yang sangat potensial dan banyak digunakan pada terapi tumor ganas kepala leher namun dapat menimbulkan efek samping ototoksik.

Di RSUP. H. Adam Malik Medan pemakaian cisplatin untuk terapi tumor sangat sering digunakan, terutama untuk tumor ganas kepala leher di bagian THT-KL. Bagaimana angka kejadian ototoksik pada kemoterapi tumor ganas kepala dan leher yang menggunakan cisplatin di bagian THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.

1.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas dan literatur yang mendasari penelitian ini dapat disusun hipotesis sebagai berikut : Ada hubungan terjadinya penurunan pendengaran pada kemoterapi tumor ganas kepala leher dengan memakai cisplatin.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui adanya kejadian ototoksik cisplatin pada kemoterapi tumor ganas kepala leher.

1.4.2 Tujuan Khusus

1.Mengetahui kelompok usia relatif terbanyak dijumpai ototoksik oleh karena cisplatin


(20)

2.Mengetahui distribusi jenis kelamin kejadian ototoksik oleh karena cisplatin

3.Mengetahui distribusi jenis tumor ganas kepala dan leher.

4.Mengetahui distribusi jenis kelamin pada tumor ganas kepala dan leher.

5.Mengetahui distribusi kelompok umur penderita tumor ganas kepala dan leher

1.5 Manfaat Penelitian

Sebagai masukan kepada disiplin ilmu terkait terhadap efek samping cisplatin yaitu ototoksik, sehingga pemberian cisplatin sebagai kemoterapi dapat dipertimbangkan faktor resiko terjadinya penurunan pendengaran sebagai akibat ototoksis cisplatin, sehingga diharapkan efek samping tersebut dapat diminimalisasi.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi Telinga Dalam

Telinga dalam adalah organ pertama dari tubuh yang dalam perkembangannya telah terbentuk secara sempurna baik dalam ukuran maupun konfigurasinya yaitu pada umur kehamilan trimester kedua. Diferensiasi telinga dalam dimulai pada awal minggu ketiga, perkembangan intra uterine yang ditandai dengan tampaknya plakode auditori ektoderm pada setingkat myelencephalon. Plakode auditori berinvaginasi membentuk lubang (pit) auditori sepanjang minggu ke 4, yang kemudian menjadi vesikula auditori (Mattox, 1991; Austin, 1997).

Perkembangan prenatal dibagi dalam sejumlah periode yang terpisah, periode pertama mulai dari waktu implantasi, perkembangan blastosit di dalam dinding uterus sampai sirkulasi intra embrionik berkembang. Selama periode pendahulu ini kurang lebih 25 hari, pelapisan dari ektoderm, mesoderm, endoderm, berkembang membentuk lempeng yang mengandung notocord.

Struktur berasal dari lanjutan ektoderm dan meluas sepanjang dikus embrionik dan membrana buko faringeal ke membran kloaka di mana endoderm berhubungan langsung.

Periode kedua sekitar 35 hari yaitu sampai akhir minggu ke 8, disebut periode embrionik. Selama waktu ini, ada pertumbuhan yang cepat dan diferensiasi sel sehingga menjelang hari ke 56, semua sistem utama organ


(22)

dibentuk dan embrio mempunyai bentuk luar yang dikenal sebagai manusia (Wright, 1997).

2.1.1 Labirin Membran

Labirin membran derivat dari otocyst ektoderm, merupakan bagian telinga yang pertama dibentuk, berkembang sendiri dari bagian telinga yang lain, yang merupakan derivat utama dari aparatus brankial. Mulai berdiferensiasi pada akhir minggu ke 3 dengan munculnya plakode auditori.

Pada permulaan periode diferensiasi vesikula auditori (minggu ke 6), mesenkim di sekelilingnya berubah menjadi prekartilago dan pada minggu ke 9 telah menjadi tulang rawan sejati. Pertumbuhan labirin yang telah berdiferensiasi ini berlangsung dalam dinding tulang rawan tersebut melalui dua proses. Terjadi suatu regresi tulang rawan yang luas di sekeliling duktus semisirkuler disertai dengan pertumbuhan jaringan ikat ke dalam. Pada waktu yang bersamaan tulang rawan pada lengkungan kanalis semisirkularis yang sedang terbentuk tidak berdiferensiasi, sedang tulang rawan pada pinggir menyusut dibangun kembali. Kanalis superior mencapai ukuran dewasa terlebih dahulu (minggu ke 20), diikuti kanalis poterior dan terakhir kanalis semisirkularis lateral. Osiifikasi tulang rawan di sekitarnya telah dimulai kira-kira pada minggu ke 16 dan sempurna pada minggu ke 24 segera setelah labirin membranosa mencapai ukuran penuh.

Sel-sel pada struktur neuroepitel labirin otik pada dasarnya sama tetapi bentuknya berbeda tergantung kepada stimulus tertentu harus diberi respons. Masing-masing organ akhir sensorik ini dibentuk oleh epitel skuamosa simpleks


(23)

labirin otik dan terdiri dari sel-sel rambut sensoris, sel penunjang dan suatu struktur gelatin yang terdapat di atas tempat silia sel rambut tertanam. Struktur itu ialah krista ampularis kanalis semisirkuler, makula utrikulus dan sakulus, dan organ cortis duktus koklear (Austin, 1997).

2.1.1.1 Makula

Makula terbentuk dari epitel yang terletak pada bagian dimana saraf-saraf memasuki dinding dari sakulus dan utrikulus.

Dua tipe sel berdiferensiasi, sel-sel sensori dengan kinolinium tunggal dan banyak stereosilia yang berproyeksi ke dalam.

Ruangan dari otocyst dari sel-sel yang mendukungnya, sel yang terakhir ini tampaknya bertanggung jawab terhadap pembentukan otokonia, walaupun tahap awalnya belum dipahami sepenuhnya kemungkinan besar otokonia primitif yang mengandung kalsium yang berukuran sangat kecil adalah dihasilkan oleh sel-sel yang mendukung otokonia-otokonia ini yang menjadi nukleus untuk pengendapan lapisan multiple dari bentuk kalsipit dari kalsium karbonat, untuk menghasilkan otokonia matang dengan bentuk yang khas.

Sel-sel pendukung juga menghasilkan satu matrik bergelatin, yang selanjutnya membentuk lapisan bergelatin dari membrana otokonia, yang definitif pada tahap lebih awal dari otokonia pada manusia,

Matrik ini tidak ada namun pada usia 14-16 minggu, bagian-bagian individual dari makula telah mengambil bentuk dewasa dengan sel-sel sensorik


(24)

dan sel-sel penunjang telah dilapisi oleh membrana otokonia matang (Anson, 1991 ; Wright 1997).

2.1.1.2. Krista dan Kupula

Krista ampularis terbentuk di dalam ampula pada tempat serabut saraf masuk. Ampula terletak pada lengan anterior kanalis semisirkularis superior dan lateral dan pada cabang inferior kanal semisirkuler posterior dekat asalnya dari utrikulus.

Krista memulai perkembangannya pada saat yang bersamaan dengan makula, meninggi sebagai suatu penonjolan dengan lapisan gelatin yaitu kupula, membentuk suatu penutup valvula yang merentang sepanjang ampula sehingga setiap pergerakan cairan otik akan menyebabkan defleksi kupula.

Krista dan kupula terbentuk sedemikian rupa sehingga penonjolannya tegak lurus arah gerakan endolimf (Austin, 1997 ; Anson, 1991).

2.1.1.3. Organ Corti

Perkembangan organ Corti di dalam struktur kohlea lebih rumit karena mempunyai proses yang lebih kompleks menyangkut perubahan morfologik ketiga elemen : sel-sel rambut, sel-sel penunjang, dan membran gelatin.

Sel-sel dinding kohlea tersusun berlapis pada saat duktus itu pertama kali berdiferensiasi.

Kemudian dindingnya mulai menipis, hanya bagian saja yang tetap berlapis.


(25)

Pada minggu ke 12, kedua tipe sel dapat dibedakan dan satu lapis material gelatin yaitu membran tektorial terletak di atas permukaan bebas sel-sel tersebut. Ketika janin berusia 15 minggu, tampak suatu tipe sel, yang berlainan terlihat pada dinding duktus kohlea yang berada pada suatu jaringan ikat vaskuler yang membentuk stria vaskularis dengan epitel tipe kelenjar.

Sel-sel dinding inferior melipat sedikit ke arah dalam membentuk sulkus interna, pada waktu yang sama terowongan Corti terbentuk melalui suatu proses migrasi sel.

Ruang periotik telah terbentuk pada minggu ke 8, kemudian mulai bergabung dengan dinding duktus kohlea untuk membentuk membran Reissner dengan penyatuan skala vestibuli dengan skala media dan membran basiler, dan dengan penggabungan skala timpani dengan dinding inferior skala media.

Pada minggu ke 20 organ Corti sudah berdiferensiasi dan sudah dapat mendengar dan konfigurasi dewasa akan terbentuk pada minggu ke 25 (Austin, 1991; Wright, 1997).

2.1.2 Labirin Tulang

Prekartilago yang langsung mengelilingi labirin otik membentuk ruang periotik melalui suatu proses deferensiasi. Proses ini terjadi pada waktu zona luar prekartilago berubah menjadi tulang rawan sejati.

Kedua zona ini nyata pada minggu ke-8, dan karena selanjutnya diikuti oleh pertumbuhan labirin otik, maka zona dalam prekartilago secara bertahap bermodifikasi membentuk tiga zona; suatu lapisan dalam jaringan areolar padat


(26)

yang mengelilingi labirin otik, suatu lapisan tengah jaringan longgar menyerupai arakhnoid yang berisi cairan (perilimf atau cairan periotik), dan pemadatan bagian luar yang menjadi endosteum kapsul otik.

Vestibulum terbentuk segera setelah skala vestibuli dan skala timpani jelas terbentuk dan kemudian ruang-ruang berkembang di sekeliling duktus semisirkular otik. Secara bertahap ruang periotik membesar dan bergabung sampai terbentuk satu labirin periotik yang berkesinambungan.

Skala timpani berhubungan dengan skala duktus koklear melalui suatu lubang yang disebut helikotrema.

Ruang periotik tidak mengelilingi sistem otik secara keseluruhan, karena duktus semisirkuler melekat ke dinding tulang rawan kapsul otik di sepanjang lengkungannya, duktus koklea melekat ke dinding stria, dan sakulus dan utrikulus melekat pada tempat masuknya saraf.

Ruang periotik telah terbentuk secara sempurna pada bulan ke-5 kehidupan janin (Austin, 1997 ; Wright, 1997).

2.2 Anatomi Telinga Dalam

Telinga dalam terletak sebelah medial dari telinga tengah dalam pars petrosa tulang temporial, yang mengandung organ pendengaran dan keseimbangan disebut juga dengan labirin (Donaldson, 1991; Dhingra, 2004).

Labirin terdiri dari 2 bagian, yaitu :

1. Labirin tulang yang merupakan susunan ruangan yang terdapat dalam pars petrosa os temporalis dan merupakan salah satu tulang yang terkeras dari


(27)

tubuh. Labirin tulang terdiri dari vestibulum, kanalis semi sirkularis dan kohlea.

2. Labirin membran merupakan susunan kantong-kantong dan duktus yang saling berhubungan dan terdapat di dalam labiring tulang. Labirin membran terdiri dari sakulus utrikulus, kanalis semi sirkularis dan kohlea (Wright, 1997; Gulya, 2003).

Diantara bagian labirin tulang dan labirin bagian membran terdapat suatu ruangan yang berisi cairan perilimfe yang melalui duktus perilimfatikus atau aquaduktus koklea berhubungan dengan sub arakhnoid. Sebagian dari cairan perilimfe berasal dari liquor serebrospinal dan sebagian lagi mendapat cairan secara infiltrasi dari darah. Resorbsi cairan dari perilimfe melalui vena-vena yang berjalan dalam ruangan perilimfe. Di dalam bagian labirin membran terdapat endolimfe, cairan ini terbentuk dari dalam stria vaskularis dan resorbsi pada sakus endolimfatikus. Antara perilimfe dan endolimfe melalui membran Reissner terdapat pertukaran ion. Selain perilimfe dan endolimfe terdapat pula kortilimfe yang banyak mengandung natrium dan endolimfe banyak kalium (Austin , 1991 )

2.2.1 Labirin Tulang

2.2.1.1 Vestibulum

Vestibulum merupakan bagian sentral labirin tulang dan terletak antara kanalis semi sirkularis dan koklea, serta antara telinga tengah dan fundus meatus akustikus internus, sebelah medial dari kavum timpani.


(28)

Pada dinding lateral vestibulum terdapat foramen ovale yang ditutupi foot plate stapes beserta ligamentum anulare.

Dinding medial vestibulum menghadap ke meatus akustikus internus dan ditembus oleh saraf. Pada dinding medial ini terdapat dua cekungan yaitu cekungan speris untuk sakulus dan cekungan elips untuk utrikulus.

Di bawah cekungan elips terdapat lubang kecil akuaduktus vestibularis yang menyalurkan duktus endolimf ke fosa kranii posterior di luar durameter di belakang cekungan speris terdapat alur yang disebut vestibular crest.

Pada ujung bawah alur ini terpisah untuk mencakup resesus kohlearis yang membawa serabut saraf kohlea ke basis kohlea.

Serabut saraf untuk ultrikulus, kanalis semi sirkularis superior dan lateral menembus dinding tulang pada daerah yang berhubungan dengan nervus vestibularis pada fundus meatus akustikus internus.

Pada dinding posterior vestibulum terdapat lima lubang kanalis semi sirkularis dan di dinding anterior vestibulum ada 2 lubang yang berbentuk elips ke skala vestibulus kohlea (Wright, 1997; Dhingra, 2003).

2.2.1.2 Kanalis Semsirkularis

Terdapat 3 buah kanalis yaitu kanalis semi sirkularis superior, posterior dan lateral yang terletak di atas dan belakang vestibulum. Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada utrikulus.

Bentuk kanalis seperti 2/3 lingkaran dengan panjang yang tidak sama,


(29)

Pada salah satu ujung masing-masing kanalis ini melebar disebut ampula dan mengandung sel-sel rambut krista yang berisi epitel sensori vestibular dan terbuka ke vestibulum.

Sel-sel rambut menonjol pada kupula gelatinosa, gerakan endolimfe dalam kanalis semisirkularis akan menggerakkan kupula selanjutnya akan menggerakkan silia sel-sel rambut dan merangsang reseptor.

Ampula kanalis semisirkularis superior dan lateral letaknya bersebelahan pada masing-masing ujung antero lateralnya. Sedangkan ampula kanalis semi sirkularis posterior terletak di bawah dekat lantai vestibulum.

Ujung kanalis superior dan posterior yang tidak mempunyai ampula bertemu dan bersatu membentuk krus komunis yang masuk ke vestibulum pada dinding posterior bagian tengah.

Ujung kanalis semi sirkularis lateralis yang tidak mempunyai ampula ke vestibulum sedikit di bawah krus komunis ( Austin, 1997 ; Wright, 1997 ).

Kanalis lateralis kedua telinga terletak pada bidang yang hampir sama yaitu bidang miring ke bawah dan belakang dengan sudut 30 derajat terhadap bidang horizontal bila orang berdiri.

Kanalis yang lain letaknya tegak lurus terhadap kanalis lateralis sehingga kanalis superior telinga kiri letaknya hampir sejajar dengan kanalis poterior telinga kanan. Demikian pula kanalis posterior telinga kiri sejajar dengan kanalis posterior telinga kanan.

Kanalis lateralis menonjol ke dinding media epitimpanum dengan apek kanalis superior dengan apek kanalis superior letaknya dekat sekali dengan lantai


(30)

fosa krani media. Eminensia arcuata os petrosus sering kali menutupi bagian kanalis superior (Wright, 1997).

2.2.1.3 Kohlea

Koklea terletak di depan vestibulum dan berbentuk seperti rumah siput mengarah kedasar dari kanalis auditorius interna, dan sumbunya yang panjang mengarah keluar dengan membentuk sudut 300 dengan bidang horizontal.

Rumah siput ini berputar 2 3/4 putaran lingkaran dengan jarak kira-kira 35 mm mengelilingi sumbu dari bagian tengah tulang yang disebut modiolus, membentuk bagian dalam dari koklea. Koklea ini disokong oleh modiolus suatu spiral lapisan tulang tipis yang melekat pada kapsula otik melalui suatu septa yang fungsinya memisahkan dan membentuk garis putaran koklea, modiolus menebal pada bagian dasarnya tetapi cepat menipis ke arah apeks. Serabut-serabut saraf VIII cabang auditorius di dalam modiolus naik keatas hingga ujung-ujungnya mencapai sel-sel rambut melalui saluran kecil di dalam lamina spiral osseosa, yakni suatu penonjolan keluar dari modiolus yang memegang pada duktus koklea dibagian sentral ( Austin, 1997 )

Dinding luar sumbu ini merupakan dinding dalam dari kanalis. Suatu tulang tipis yang berasal dari modiolus memisahkan kanalis sepanjang perjalanannya menjadi dua bagian yaitu skala timpani dan skala vestibuli.

Pada pinggir bebas lamina spiralis osea menempel membran basilaris yang membentang ke dinding luar dari tulang kohlea dan memisahkan kanal ini menjadi dua bagian yaitu skala vestibuli dan skala timpani kecuali di apek


(31)

terdapat lubang kecil yang menghubungkan kedua bagian kanalis ini disebut helikotrema.

Kohlea terdiri dari 3 saluran yaitu skala media atau duktus koklearis di tengah, skala vestibuli di bagian atas dan skala timpani di bagian bawah.

Skala media dipisahkan dengan skala vestibuli oleh membran reisner dan dipisahkan dengan skala timpani oleh membran basilaris.

Gambar 1. Potongan Melintang pada Putaran Kedua Koklea. Dikutip dari Boies

Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfa dengan konsentrasi Na+ 140 mEq/l dan K+ 5,5-6,25 mEq/l. Skala media berada di tengah dibatasi membran Reisner yang tipis, membran basilaris sempit pada basisnya, lengket pada lamina spiralis dan melebar pada apeks, berisi cairan endolimfa,


(32)

dengan konsentrasi Na+ 12-16 mEq/l dan K+ 140 mEq/l (Austin, 1997 ; Ekborn , 2003).

2.2.2 Labirin Membran

Merupakan kantongan dan saluran yang saling berhubungan di dalam labirin bagian tulang.

Labirin otik dapat dibagi menjadi; bagian superior atau labirin vestibularis; sakus endolimfatikus; bagian inferior atau kohlea.

Didalam vestibulum bagian tulang, terdapat sakulus dan utrikulus; tiga kanalis semisirkularis, bagian membran terletak di dalam kanalis bagian tulang dan duktus kohlearis (skala media) di dalam kohlea bagian tulang, labirin membran berisi cairan endolimf (Austin, 1997).

2.2.2.1 Sakulus dan Utrikulus

Utrikulus terletak di bagian lekukan dinding atas dari vestibulum, sakulus jauh lebih kecil tapi strukturnya sama dan terletak di dalam lekukan bagian bawah dan di depan utrikulus. Sakulus menyokong suatu struktur makula pada dinding medilnya dalam suatu bidang vertikal yang meluas ke dinding anterior. Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus yang sempit yang juga merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada bidang tegak lurus terhadap makula sakulus, Utrikulus dan sakulus seluruhnya dikelilingi oleh perilimfe kecuali pada tempat saraf masukdi daerah makula ( Liston at al, 1997 ).


(33)

Kedua kantong ini berhubungan secara tidak langsung dengan saluran membran yang ramping dan disebut duktus endolimfatikus. Utrikulus terbuka lebar kedalam duktus kanalikuli sakulus berhubungan bagian koklea melalui suatu penghubung sempit yaitu duktus sakular dan duktus reuniens. Duktus reuniens merupakan duktus yang menghubungkan sakulus dengan duktus koklearis (Austin 1997; Wright, 1997).

Duktus endolimfatikus mula-mula melebar dan disebut sinus, sebelum menyempit untuk masuk ke akueduktus bagian tulang. Akueduktus ini melebar sedikit melalui bagian ismus dari duktus ini. pada tempat yang lebar ini duktus dikelilingi jaringan ikat vaskular dan ditutupi oleh membran berbentuk ”rugae”

yang akan membentuk bagian proksimal dari sakus endolimfatikus.

Bagian distal dari sakus yang relatif lebih kecil letaknya di dalam durameter yang menutupi permukaan posterior dari piramid os petrosus dan berakhir pada sinus sigmoid. Duktus utrikulus sewaktu keluar dari utrikulus membelok dengan sudut tajam membentuk seperti katup di sekitar lobang dari duktus.

Katup utrikulo-endolimfatikus dibentuk sedemikian rupa sehingga memudahkan cairan endolimf masuk ke dalam dan bukan sebaliknya (Austin 1997; Wright, 1997).

2.2.2.2 Kanalis Semsirkularis Membran

Bagian ini terbuka ke bagian posterior dari utrikulus melalui lima lobang yang terpisah dan letaknya tegak, ini merupakan tiga dataran pada ruang.


(34)

Masing-masing duktus pada semisirkularis melebar pada salah satu ujungnya yang membentuk ampula dan terletak pada saluran tulang yang melebar. Panjang sumbu dari masing-masing ampula kira-kira 2 mm.

2.2.2.3 Duktus Kohlearis

Duktus kohlearis disebut juga skala media dan merupakan bagian labirin membrana kohlea, sedang bagian labirin tulang kohlea disebut skala vestibuli dan skala timpani.

Bentuk duktus kohlearis ini mengikuti bentuk labirin tulang kohlea berupa dua setengah sampai dua tiga perempat putaran spiral.

Pada penampang melintang duktus kohlearis terlihat berbentuk segitiga dengan dasarnya dibentuk oleh membrana basilaris yang membentang dari pinggir lamina spiralis osea ke dinding luar tulang kohlea.

Atapnya dibentuk oleh membrana yang tipis disebut membrana vestibularis atau membrana Reissner yang hanya terdiri dari dua lapis sel serta membentuk sudut 45 derajat.

Membrana basilaris lebih tebal oleh karena permukaan bawahnya dilapisi jaringan ikat vaskuler.

Membrana basilaris melekat pada dinding luar, pada ligamentum spiralis yang dibentuk oleh penebalan periost dan beberapa jarak di atasnya melekat membran Reissner.

Bagian kanal yang terletak di atas skala media disebut skala vestibuli dan yang terletak di bawah membrana basilaris disebut skala timpani.


(35)

Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimf dan skala media atau duktus kohlearis berisi cairan endolimf. Pada daerah dekat basis kohlea membrana basilaris lebih sempit bila dibanding dengan daerah dekat apeks kohlea.

Duktus kohlearis meluas mulai dari basis kohlea sampai ke apeks kohlea kemudian akan berakhir sebagai saluran buntu pada apeks yang disebut caecum cupulare. Skala vestibulis dan skala timpani pada apeks kohlea berhubungan satu sama lain pada helikotrema (Austin, 1997; Wright, 1997).

2.2.2.4 Organ Corti

Sepanjang duktus kohlearis di atas membrana basilaris terdapat organ reseptor untuk pendengaran yang disebut organ Corti.

Organ Corti merupakan suatu struktur yang kompleks yang terdiri dari tiga bagian utama yaitu sel penyangga, sel-sel sensoris yaitu sel-sel rambut dan membrana tektoria.

Sel-sel rambut dibedakan atas 2 jenis yaitu sel rambut luar dan sel rambut dalam. Keduanya dipisahkan oleh terowongan Corti yang berbentuk segitiga dan berisi cairan Cortilimf yang berbeda dari endolimf.

Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang menutupi permukaan sel-sel sensoris tersebut secara berkelompok. Di sebelah atas sel-sel rambut terdapat membrana tektoria yang berasal dari limbus spiralis.

Sel rambut dalam terletak sebelah medial dari terowongan Corti, dekat perlekatannya pada lamina spiralis, terdiri dari sederetan sel saja.


(36)

Sedang sel rambut luar yang terletak lateral terhadap terowongan Corti terdiri dari 3-5 deretan sel dan lebih kecil dibandingkan dengan sel rambut dalam.

Ujung bebas silia dari sel rambut luar ini menempel pada permukaan bawah membrana tektoria.

Sel-sel penyangga terdiri dari sel Hensen, Deiter dan Claudius bentuknya panjang pada bagian yang dekat ke sel rambut dan menjadi pendek bila menjauhi sel rambut, sehingga organ Corti berbentuk landai.

Permukaan superior dari organ Corti dibentuk oleh membrana tektoria yaitu susunan suatu membran yang terdiri dari serabut gelatinosa dan matriks yang transparan. Membran tektoria di sentral disokong oleh limbus, suatu penebalan sel sisa dari lima spiralis ossea.

Pada ujung lain membran ini melekat pada penyangga Hensen. Membran basilaris panjangnya kira-kira 32 mm dengan lebar yang bervariasi antara 0,08 mm sampai 0,498 mm.

Pada bagian basal membrana basilaris sempit kaku, menjadi luas dan flasid di bagian apeks.

Organ Corti mengandung kira-kira 15.000 sel rambut yaitu kira-kira 3.500 sel rambut dalam dan kira-kira 12.000 sel rambut luar. Dekat basis ada 3 deretan sel rambut luar, kemudian akan bertambah pada putaran tengah dan biasanya menjadi 5 deret sel pada bagian apeks (Austin,1997; Lim ,2006).

Seluruh ujung rambut saraf efferen untuk pendengaran berhubungan dengan sel rambut dalam maupun sel rambut luar.


(37)

Gambar 2. Organ Corti. Dikutip dari Ballenger JJ

Dinding lateral duktus kohlearis terbagi menjadi dua daerah, stria vaskularis di bagian atas, penonjolan spiralis di bagian bawah, dan daerah transisi di antaranya.

Sel-sel pada stria vaskularis terdiri dari 3 (tiga) lapisan dan sel-sel lapisan paling permukaan (sel marginal) sangat kaya dengan mitokondria, alat golgi, dan retikulum endoplasmik.

Stria vaskularis merupakan jaringan dengan aktivitas metabolik yang tinggi dan memegang peranan penting dalam mempertahankan kompoisisi ion dan potensial elektrik pada endolimf.

Stria vaskularis mempunyai kadar yang tinggi ion K+ dan Na+, ATP-ase, adenilat siklase dan karbonik anhidrase yang merupakan enzim-enzim penting


(38)

dalam mekanisme pemompaan secara aktif ion-ion serta transport cairan ke dalam endolimf (Austin, 1997; Wright, 1997).

2.2.3 Vaskulariasi Telingan Dalam

Telinga dalam mendapat vaskularisasi dari a. labirintin cabang dari a. Serebellaris anterior-inferior, tetapi dapat juga sebagai cabang langsung dari a. basilaris atau a. vertebralis, arteri ini tidak punya anastomosis.

Arteri ini masuk meatus akustikus internus dan terpisah menjadi a. vestibularis anterior dan a. koklearis communis yang bercabang pula menjadi a. koklearis dan a. vestibulokohlearis.

A. vestibularis anterior memperdarahi vestibularis, utrikulus dan sebagian duktus semisirkularis.

A. vestibulokohlearis sampai di modiolus di daerah putaran basal kohlea terpisah menjadi cabang terminal vestibular dan cabang koklear. Cabang vestibular memperdarahi sakulus, sebagian besar kanalis semisirkularis dan ujung basal kohlea.

Cabang kohlear memperdarahi ganglion spiralis, lamina spiralis ossea, limbus dan ligamen spiralis. A. kohlearis berjalan mengitari n. akustikus di kanalis akustikus internus, dan di dalam kohlea mengitari modiolus.

Vena dialirkan ke v. labirintin yang diteruskan ke sinus petrosus inferior atau sinus sigmoideus.

Vena-vena kecil melewati akuaduktus vestibularis dan kohlearis ke sinus petrosus superior dan inferior (Austin, 1997; Wright, 1997).


(39)

2.2.4 Persarafan Telinga Dalam

N. vestibulokohlearis (n. akustikus) yang dibentuk oleh bagian kohlear dan vestibular, di dalam meatus akustikus internus bersatu pada sisi lateral akar n. fasialis dan masuk batang otak antara pons dan medulla. Sel-sel sensoris vestibularis dipersarafi n. koklearis dengan ganglion vestibularis (Scarpa) terletak di dasar di meatus akustikus internus. Sel-sel sensoris pendengaran dipersarafi n. kohlearis dengan ganglion spiralis Corti terletak di modiolus, pada dasar meatus akustikus internus terletak ganglion vestibulare (Donaldson, 1991; Austin, 1997).

2.3 Fisiologi Vestibular

Kanalis semisirkularis merupakan alat keseimbangan dinamik dan terangsang oleh gerakan melingkar, sehingga kemana saja arah gerakan kepala, asal gerakan itu membentuk putaran, maka gerakan tersebut akan tertangkap oleh satu, dua atau oleh ketiga kanalis semisirkularis bersama-sama.

Diantara ketiga kanalis semisirkularis yang paling dominan fungsinya adalah kanalis semisirkularis horizontal, hal ini karena manusia lebih banyak bergerak secara horizontal di banding vertikal.

Utrikulus dan sakulus merupakan alat keseimbangan statik, yang terangsang oleh gerak percepatan atau perlambatan yang lurus arahnya dan juga oleh gravitasi. Utrikulus terangsang oleh gerakan percepatan lurus dalam bidang mendatar, sedangkan sakulus terangsang oleh gerakan percepatan bidang vertikal. Dalam keadaan diam gravitasi berpengaruh, baik terhadap utrikulus maupun sakulus.


(40)

Hubungan sistem vestibular dengan otot-otot mata sangat erat sekali, sehingga semua gerakan endolimfe selalu diikuti oleh gerakan mata, sehingga menimbulkan gejala pada tubuh ( Austin, 1997 ; Wright, 1997 ).

2.4 Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali oleh ditangkapnya energi bunyi oleh telinga luar yang akan diteruskan ke telinga tengah setelah menggetarkan membran timpani.

Di dalam telinga tengah terdapat rangkaian tulang pendengaran ’ossicle’ yang akan mengamplifikasi getaran tersebut melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membrana timpani dan tingkap lonjong.

Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan memasuki telinga dalam yang selanjutnya akan diproyeksikan pada membran basilaris, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria.

Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari endokoklea pada badan sel.

Akibat keadaan tersebut terjadi depolarisasi sel rambut dan penglepasan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan meningkatkan potensial aksi nervus auditorius.

Selanjutnya sinyal elektrik yang berisi informasi akustik akan diteruskan melalui sinapsis transmisi ke nervus auditorius, nukleus auditorius dan akan


(41)

sampai di korteks pendengaran area 39-40 lobus temporalis untuk diterjemahkan (Soetirto, 2001).

2.5 Ototoksitas

Dari sekian banyak efek samping penggunaan sitostatika pada jaringan normal yang sesuai dibidang THT adalah ototoksik. Ototoksitas adalah suatu kerusakan pada koklea atau apparatus vestibularis yang diakibatkan oleh paparan bahan kimia (Riggs, 1998).

Organ yang sering terpengaruh adalah koklea, vestibular dan stria vascularis. Obat yang mempengaruhi koklea ( cocleo toxic ) seperti:

-Atibiotik golongan aminoglikosida : Sterptomisin, Neomisin, Gentamisin, Amikasin dan Kanamisin.

-Antibiotik yang lain: Eritromisin, Vancomisin,Polymiksin dan klorampenikol. -Loop diuretik : Furosemide, Asam etakrinad.

-Antineoplastik : Cisplatin, Nitrogen mustard, Vinkristin. - Obat-obat lain : Salisilat, Griseofulvin, Quinine.

Obat yang mempengaruhi vestibulum ( vestibulotoxic ) seperti : -Sterptomisin, Vancomisin, Furosemide dan Cisplatin.

Obat yang mempengaruhi stria vaskularis seperti diuretik yang bekerja pada loop renalis, karena loopdiuretik adalah inhibitor langsung dari sistem co transport Na+ , K+, Cl yang juga terdapat dalam sel-sel marginal dan sel dark pada stria vaskularis yang bertanggung jawab untuk sekresi endolimf terhadap perubahan komposisi ion dan volume cairan endolimf.


(42)

Obat yang mempengruhi saraf (neurotoxic ) seperti : Cisplatin dan Vincristin ( Rybak, 2005 ; Jacob, 2006).

Ototoksik karena cisplatin sering diawali gejala tinitus, ditandai dengan penurunan ketajaman pendengaran bersifat sensorineural, bilateral, simetris, relatif cepat pada frekwensi tinggi dapat berkembang ke frekwensi sedang sampai rendah dan permanen walapun dapat bersifat sementara ( Wright at al, 1997 ; Tuper, 2005 ; Edmunds at al, 2006 ).

2.5.1. Ototoksitas Akibat Penggunaan Cisplatin

Penggunaan cisplatin menyebabkan ototoksitas karena mempengaruhi koklea, kerusakan struktur yang menonjol pada awalnya adalah pada sel rambut luar dan stria vascularis, sehingga menyebabkan penurunan pendengaran pada frekuensi tinggi. Jika paparan berlangsung terus maka penurunan pendengaran berkembang ke frekuensi menengah sampai pada semua frekwensi dan sering akhirnya menjadi menetap (Riggs at al, 1998).

Cisplatin (sis diaminadikloroplatinum) suatu kompleks logam inorganik yang bekerja analog dengan alkilator, ditemukan oleh Rosenberg.

Cisplatin dapat membunuh sel pada semua tahap siklus sel dengan menghambat biosintesis DNA, mengikat DNA melalui pembuatan cross link pada ikatan utama N7 guamin dan juga terjadi interaksi kovalen dengan adenin dan sitosin sehingga menghambat perbaikan DNA (Jawetz, 1995 ; Rybak, 2006).

Cisplatin secara farmakokinetik akan dihidrolisa dan terbentuk


(43)

product dan terjadi setelah 15 menit atau 1 jam setelah bolus injeksi, namun hal ini ditemukan variasi individual untuk terjadinya efek ototoksik (Ekborn, 2003). Efek ototoksik dapat muncul 2 hari setelah dimulainya terapi dapat juga muncul setelah 7 hari berhentinya terapi, ada beberapa literatur melakukan evaluasi audiometri 1 hari, 2 hari, 5 hari dan 14 hari setelah pemberian terapi (Cavallini, Grau, 1996).

2.5.2 Perubahan Histopatologi pada Ototoksis Cisplatin

Perubahan histopatologi pada ototoksis akibat penggunaan cisplatin adalah terjadinya timbunan cisplatin di stria vaskularis pada bagian marginal.

Penimbunan konsentrasi cisplatin ini bertanggung jawab terhadap perubahan yang terjadi pada endolimfe dan di sel rambut yang akan mempengaruhi transport dari Na+ , K+ , Cl yang sangat penting dalam mekanisme mikrofonik pada koklea, serta adanya degenerasi sel rambut luar pada bagian basal koklea.

Jika paparan terus berlanjut maka sel rambut dalam dan sel reseptor pada apeks akan terpengaruh, demikian juga stria vaskularis, ganglion spiralis dan saraf koklea.

Ada dua fase perubahan morfologis yang terjadi pada koklea yaitu fase pertama terjadi gangguan sel-sel penyokong sekeliling sel-sel rambut luar, fase kedua terjadi degenerasi sel-el rambut luar yang progresif dari basal ke apeks.


(44)

Sel rambut dalam biasanya masih intak sampai seluruh sel-sel rambut luar telah degenerasi, pada akhirnya akan terjadi kolaps organ corti (Wolters at al, 2002 ; Hamers, 2003 ).

2.6 Tumor Ganas Kepala dan Leher

Termasuk onkologi kepala-leher adalah semua tumor benigna, premaligna dan maligna yang terdapat di atas ketinggian klavikula kecuali tumor-tumor otak dan medulla spinalis.

Persamaan tertentu dalam etiologi dan cara penyebaran kemudian, juga metode pemeriksaan diagnostik, terapi dan rehabilitasi, memberi alasan untuk menggabungkan mereka menjadi satu kategori tumor yang terdapat di daerah kepala-leher yang secara anatomik dan fisiologik demikian rumitnya (Vermey, 1999).

Di masyarakat masih banyak dijumpai tumor ganas telinga, hidung, tenggorokan dan kepala leher. Menurut laporan keganasan kepala leher menempati urutan ke 3 atau 4 setelah tumor ganas pada rahim dan mama.

Adapun tumor ganas pada telinga, hidung, tenggorokan dan kepala leher dinamakan menurut lokasi dan tempat proses keganasannya yaitu ; tumor ganas nasofaring, tumor ganas hidung dan sinus paranasal, laring, rongga mulut, orofaring, telinga, esofagus, bronkus dan parotis (Siahaan, 1996).

Pemaparan yang lama pada orang kulit putih terhadap cahaya matahari dan cuaca dapat merupakan faktor resiko untuk terjadinya tumor ganas kulit dan bibir.


(45)

Penggunaan tembakau dan alkohol berlebihan mempunyai peran penting dalam terjadinya tumor-tumor maligna yang berasal dari selaput lendir yang melapisi bagian atas jalan napas dan makanan ( Franzmann, 2006 ).

Di samping penggunaan tembakau dan alkohol yang berlebihan pada terjadinya tumor maligna dalam selaput lendir bagian atas saluran napas dan makanan mungkin masih ada faktor-faktor lain seperti defisiensi makanan (terutama kekurangan vitamin A, betakaroten dan vitamin C), gangguan sistim imun, pemeliharaan kesehatan mulut yang tidak baik, faktor virus (human papiloma virus, HPV), disposisi genetik dan faktor-faktor pekerjaan (Stupp, 1996; Vermey at al, 1999 ; Coubergh, 1999 ).

Kelompok tumor ganas kepala leher mendekati 5% dari jumlah total kasus tumor ganas di Amerika Serikat dengan insidensi 19/100.000. perbandingan laki-laki dan perempuan, 3:1 dan yang paling banyak terjadi di atas umur 40 tahun tetapi untuk tumor kelenjar ludah dan tumor nasofaring ditemukan pada kelompok umur yang lebih muda (Moufardini at al, 1987; Vermey ata al, 1999).

Di Indonesia pembagian tumor ganas kepala-leher yang sering terdapat ialah :

– Nasofaring (71%)

– Hidung dan sinus (10.7%) – Laring (10,1%)

– Telinga (2,16%)


(46)

Diantara tumor ganas yang terdapat di bidang THT, tumor ganas nasofaring adalah yang terbanyak, menempati urutan ke 3 setelah tumor ganas cervix dan tumor ganas mamae (Munir, 2001).

Pada tumor ganas kepala dan leher lebih dari 90% merupakan karsinoma sel skuamosa. Peranan kemoterapi pada karsinoma sel skuamosa kepala dan leher masih kontroversial, walaupun telah ada penelitian secara intensif.

Pemakaian dari kemoterapi masih belum optimal, dan bahkan sampai akhir-akhir ini, standar pengobatan dari karsinoma sel skuamosa pada kepala dan leher adalah pembedahan, radioterapi atau kombinasi keduanya.

Sedangkan kemoterapi umumnya diberikan untuk kasus rekuren atau yang telah mengalami metastase jauh sebagai terapi akhir yang sudah diakui sebagai indikasi (Smets at al,1999 ; Torre 2006 )

2.7 Kemoterapi

Kemoterapi merupakan terapi sistemik dan karena itu terutama terindikasi untuk malignitas sistemik, tumor-tumor dengan penyebaran yang telah dibuktikan atau diduga telah menyebar dan tumor yang tidak operabel (Smets at al, 1999).

Kemoterapi merupakan salah satu modalitas`pengobatan selain bedah dan radioterapi yang sudah lebih dulu dikenal untuk pengobatan pada tumor ganas kepala dan leher yang sering disebut juga Cell Carcinoma of Head and Neck Cancer ( SCCHN ). Kemoterapi lebih berperan pada stadium lanjut , metastase dan relaps.


(47)

Kemoterapi banyak bersifat paliatif sehingga keputusan untuk memberikan kemoterapi memerlukan penilaian yang lebih akurat, kombinasi modalitas pengobatan bedah, radioterapi dan kemoterapi sudah berkembang dengan baiksehingga banyak penelitian yang dilakukan dan memberikan hasil yang jauh lebih baikdibandingkan dengan pengobatan terdahulu yang hanya satu atau dua modalitas saja (Harsal, 2003 ).

Pemberian kemoterapi berkembang dengan baik, pada awalnya memakai obat methotrexate dan bleomycin, yang hasilnya ternyata tidak begitu baik, sejak ditemukan cisplatin dapat memberikan hasil yang lebih baik dan sekarang banyak obat kemoterapi kombinasi yang hampir selalu memakai cisplatinuntuk keganasan kepala dan leher.

Kemoterapi lebih memberikan hasil yangn tepat dengan dosis yang tepat, satu atau kombinasi obat yang baik dan pasien dengan kondisi yang memenuhi syarat ( Averdi, 1989 ).

Kemoterapi digunakan untuk memusnahkan sel kanker, tumor induk dan anak sebarnya. Kemoterapi diciptakan berdasarkan perbedaan perangai sel kanker dengan sel normal.

Sel hidup berkembang biak menurut siklus tertentu, demikian pula dengan sel tumor.

Tidak semua sel hidup ikut dalam siklus. Sebagian terbesar dalam keadaan istirahat dan hanya sebagian kecil ikut dalam siklus.

Sel yang aktif dalam siklus ini akan mengalami berbagai fase yang berurutan seperti fase persiapan sintesis DNA (G1), fase sintesis DNA (S), fase


(48)

pasca sintesis DNA (G2) dan fase mitosis (M). Sel-sel yang berada dalam fase inilah yang sensitif terhadap kemoterapi (Khandekar, 1994).

Berbagai jenis kemoterapi bekerja pada fase tertentu saja dan ada pula yang bekerja pada beberapa fase sekaligus. Untungnya sel tumor menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh obat kemoterapi.

Akibatnya akan lebih banyak sel tumor yang rusak, akan tetapi sebaliknya sel tumor akan bereaksi untuk melindungi dirinya dan menjadi resisten.

Demikian pula makin cepat sel tumor musnah makin giat pula sel yang lain melakukan regenerasi. Hal inilah yang perlu diperhatikan untuk merencanakan pemberian kemoterapi agar didapatkan hasil yang maksimum dengan efek samping yang seringan-ringannya.

Diperlukan dosis yang cukup tinggi untuk dapat merusak sel tumor sebanyak-banyaknya dengan akibat akan menimbulkan efek samping yang lebih hebat.

Oleh sebab itu pemberian kombinasi beberapa obat kemoterapi lebih disukai, meskipun tidak mudah untuk menetapkan dosis yang paling efektif (Khandekar, 1994; Primrose, 1997).

Kemoterapi menurut asal dan mekanisme kerjanya dapat dibagi dalam 4 golongan, yaitu : ( Salmon, 1995 ; Brokstein, 1998 ; Primose , 1997).

1. Antimetabolit,misalnya:Cytarabine,5fluorouacil,Hydroxyurea,Mercaptopurin Methotrexate, Gemcitabine.


(49)

2. Zat pengalkil (alkylating agent), melakukan alkilasi DNA di dalam nukleus pada posisi N7 guanin, yang menyebabkan kematian sel, rangkaian silang DNA terlihat sebagai hal yang sangat penting bagi kerja sitotoksik obat alkilasi, efek terkhirnya menyebabkan pecahnya ikatan gula-fosfat DNA dan sel yang bereplikasi sangat rentan terhadap obat ini.

Misalnya : Busulvan, Nitrogen mustart, Cysclophosphamide, Chlorambucil, Melphalan, Cisplatin, Carboplatin, Dacarbazine, Ifofamide, Procarbazine, Thiotepa.

3. Produk alamiah (natural products)

Misalnya : Vinblastine, Vincristine, Dactinomycin, Dauborubicin, Docetaxel, Doxorubin, Bleomycin, Etoposide, Idarubicin, Mitomycin, Anthracyclin, Mitoxantrone, Paclitaxel.

4. Hormon

Misalnya : Tamoxifen

Cara kerja dari masing-masing obat kemoterapi pada sel kanker tidak sama, ada yang kerjanya :

1. Menghambat atau menganggu sintesis DNA. 2. merusak replikasi DNA.

3. Mengganggu transkripsi DNA oleh RNA. 4. Mengganggu kinerja gen.

Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu dari siklus sel tersebut disebut cell cycle specific.


(50)

Sedangkan obat yang dapat menghambat pembelahan sel pada semua fase termasuk G0 disebut cell cycle nonspecific.

Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain methotrexate dan 5-fluorouracil, obat-obat ini merupakan antimetaolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S.

Obat anti kanker yang tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin obat ini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2, Doxorubin (fase S1, G2, M), 5-fluorouacil (fase G1, S, M), Bleomicin (fase G2, M), Vincristine (fase S, M) dan Methotrexate (bekerja pada beberapa fase, terutama fase G1) (Primrose, 1997).

Doxorubin 5-fluorouacil

Vinblastin

S

G1 G2

M

Bleomycin Cisplatin BCNU Doxorubin Cisplatin

CCNU 5-fluorouacil Methotrexate

Doxorubin CCNU 5-fluorouacil

Vincristine Vinblastine

Gambar 3. Siklus Spesifik Obat Dikutip dari Scott-Brown’s


(51)

Cara pemberian kemoterapi menurut prioritas indikasinya dapat dilakukan sebagai berikut :

a. Kemoterapi neoajuvan, upaya menerapkan kemoterapi ajuvan pada tumor ganas kepala dan leher telah dimulai sejak tahun delapan puluhan. Pemberian kemoterapi neoajuvan ini diharapkan dapat mengecilkan tumor namun tetap mempertahankan vaskularisasi tumor sambil mengendalikan metastase mikro.

Kentungannya adalah preservasi dari organ dan mutilasi yang berlebihan dapat dihindari (Reksodiputro, 2002 ).

b. Kemotrapi ajuvan pada radioterapi, tujuan pemberian kemoterapi ajuvan adalah untuk mencegah kekambuhan loko-regional maupun metastase jauh.

c. Kemoradiasi secara konkomittan dan pemberian kemoterapi sebagai radiosensitizer, untuk mempertinggi hasil pengobatan pada penderita dalam stadium lanjut diberikan kombinasi radiasi dengan kemoterapi secara konkomitten.

Cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker, dengan cara membuat sel kanker yang resisten memnjadi sensitif terhadap redioterapi. Kelemahannya adalah meningkatnya toksisitas terhadap pengobatan ini.

Untuk menghindari efek toksik yang dikemukakan diupayakan memberi kemoterapi dengan dosis yang lebih rendah yang tujuannya hanya semata-mata meningkatkan sensitifitas sel terhadap radioterapi.


(52)

Umumnya hanya digunakan satu macam sitostatika saja. Cisplatin dan 5 FU telah lama dikenal sebagai obat yang mampu meningkatkan sensitifitas terhadap radioterapi (Reksodiputro, 2002 )

2.8 Audiometri Nada Murni

Walaupun pemeriksaan audiometri nada murni tidak sepenuhnya objektif, tetapi sampai sekarang masih merupakan yang paling banyak dipakai untuk keperluan klinis oleh karena prosedurnya yang sederhana namun dapat banyak memberi informasi tentang keadaan sistim pendengaran.

Jenis penurunan tajam pendengaran dapat dibagi menjadi :

1) penurunan tajam pendengaran konduktif atau Conductive Hearing Loss (CHL), yang disebabkan karena gangguan konduksi kebisingan ke telinga bagian dalam, hal ini terjadi karena kelainan telinga luar dan telinga tengah.

2) penurunan tajam pendengaran perseptif dalam (koklea dan retrokoklea) pada saraf pendengaran.

3) penurunan tajam pendengaran campuran atau Mixed Hearing Loss (MHL) yang terjadi karena kombinasi antara penurunan tajam pendengaran konduksi dan perseptif.

Untuk mengetahui kelainan ini digunakan Audiometri nada murni, yaitu suatu alat ukur untuk mengukur kemampuan seseorang untuk mendengar bunyi nada murni dari beberapa frekuensi (125 Hz, 250 Hz, 100 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz, 8000 Hz) serta dapat diatur intensitasnya (dB) mulai -10 dB sampai 100 dB.


(53)

Alat ini digunakan untuk mengukur ketajaman pendengaran melalui hantaran udara dan hantaran tulang pada tingkat nilai ambang, sehingga didapatkan gambaran audiogram yang berupa kurva hantaran udara dan hantaran tulang (Yellim, 1991; Felman, 1997).

Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal atau tuli. Jenis ketulian, tuli konduktif, tuli sensorineural atau tuli campur. Derajat ketulian dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher, yaitu :

Ambang dengar (AD) =

3 Hz 2000 AD Hz 1000 AD Hz 500

AD + +

Menurut kepustakaan terbaru frekuensi 4000 Hz berperan penting untuk pendengaran, sehingga perlu turut diperhitungkan, sehingga derajat ketulian dihitung dengan menambahkan ambang dengar 4000 Hz dengan ketiga ambang dengar di atas, kemudian dibagi 4.

Ambang dengar (AD) =

4 Hz 2000 AD Hz 1000 AD Hz 500

AD + +

Dapat dihitung ambang dengar hantaran udara (AC) atau hantaran tulang (BC). Interpretasi hasil berdasarkan International Standard Organization tentang derajat gangguan pendengaran : (Soetirto at al, 2001).

• 0-25 dB = pendengaran normal

• 26-40 dB = gangguan pendengaran ringan • 41-60 dB = gangguan pendengaran sedang • 61-90 dB = gangguan pendengaran berat


(54)

• >90 dB = gangguan pendengaran sangat

Dari hasil pemeriksaan audiogram nada murni disebut ada gap apabila antara Air Conduction (AC) dan Bone Conduction (BC) terdapat perbedaan lebih atau sama dengan 10 dB, minimal pada 2 frekwensi yang berdekatan.

Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar hantaran udara (AC ) saja. Gambaran audiogram nada murrni pada ototoksis menunjukkan ciri khas dimana terjadi penurunan tajam pendengaran pada frekwensi tinggi,bersifat sensorineural, bilateral dan simetris relatif cepat dan progresif, namun dapat juga meluas ke frekwensi menengah dan akhirnya pada semua frekwensi, dapat terjadi sementara maupun menetap. ( Tuper, 2005 ; Chen, 2006 )

Gambar 4


(55)

2.9 Faktor Resiko

Faktor resiko yang dapat berpengaruh untuk terjadinya ototoksis cisplatin antara lain :

1. Bila pemberian dosis tinggi atau dengan meningkatnya jumlah siklus, pemberian dengan dosis tinggi ataupun pada pengulangan terapi untuk siklus berikutnya akan mebuat efek kumulasi dari cisplatin sebagai akibatnya akan meningkatkan insidens dari ototoksik, dapat mencapi 91 %, dan bila dibandingkan dengan dosis rendah insidensinya hanya 12% ( Domenech, 1990 ; Dutta, 2005 ).

2. Usia, anak-anak dan usia lanjut lebih besar resikonya dibandingkan usia produktif.

Pada masa anak-anak maturasi sel-selnya masih belum sempurna sehingga terus mengalami pertumbuhan, obat kemoterapi sendiri tidak hanya membunuh sel-sel tumor melainkan dapat juga membunuh sel-sel yang normal terutama sel-sel yang mengalami pertumbuhan dengan menghambat biosintesis DNA-RNA, dan efek langsung cisplatin dapat menghambat grouwth hormon pada DNA.

Selain daripada itu kemoterapi cisplatin dapat menyebabkan penurunan berat badan melebihi 10% setelah kemoterapi sehingga malnutrisi pada anak-anak dapat terjadi ( Crist, 2000). Pada usia lanjut telah terjadi degenerasi sel termasuk degenerasi dari koklea. Hal ini akan menghasilkan kerusakan pada telinga tengah dan atrofi serat nervus akustikus dan penurunan sel-sel pada frekwensi tinggi ( Goodhil, 1979 ; Li, 2003 ).


(56)

3. Penyakit sistemik, adanya kelainan fungsi ginjal, kadar haemoglobin yang rendah, kolesterol dan gula darah yang tinggi dapat beresiko lebih besar. Penyakit sistemik dan gangguan dari fungsi ginjal dapat menyebabkan biotransformasi dan ekskresi dari cisplatin terganggu sehingga terjadi efek kumulasi toksik, sedangkan pada kadar haemoglobin yang rendah berakibat kurangnya oksigenasi sehingga terjadi hipoksia jaringan dan akhirnya terganggu metabolisme dari sel-sel organ pada koklea dan memudahkan terjadi ototoksik.

Pada kolesterol yang tinggi dapat menimbulkan arteriosklerosis yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah sehingga terjadi hipoksia jaringan. Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan mikroangiopati pada pembuluh darah kapiler sehingga memudahkan terjadi mikrotrombi, yang mempermudah terjadinya ototoksik ( Wright, 1997 ; Edmunds, 2006 ). 4. Keadaan dehidrasi, radioterapi, sudah terpapar dengan bising, faktor adanya

infeksi sebelumnya, merupakan keadaan yang dapat menyebabkan resiko terjadinya ototoksik pada kemoterapi dengan cisplatin ( Wrihgt, 1997 ; Bauman, 2003 ).

5. Pemberian bersamaan dengan obat-obat sinergis untuk ototoksik, seperti obat golongan diuretik, aminoglikosida, salisilat dan yang lainnya( Bauman, 2003 ; Funk, 2005 )


(57)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian prospektif dan bersifat observasional.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat : Pengambilan sampel dilakukan di Departemen THT-KL FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan.

Waktu Penelitian : mulai bulan Juni s/d Desember 2007

3.3 Sampel Penelitian

3.3.1 Pemilihan subyek, sampel seluruh penderita tumor ganas kepala leher yang mendapat kemoterapi dengan cisplatin. Sampel diambil secara berurutan) (consecutive sampling) yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu sehingga jumlah penderita yang diperlukan terpenuhi.

3.3.2 Kriteria Subyek Penelitian, terdiri dari kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Pemilihan subyek pada penelitian ini diupayakan agar mendapatkanpenderita yang cukup realistik sehingga hasilnya diharapkan dapat digeneralisasi untuk populasi yang lebih luas.


(58)

3.3.2.1. Kriteria inklusi :

Kriteria inklusi merupakan persyaratan umum yang nharus dipenuhi oleh subyek agar dapat diikutsertakan kedalam penelitian. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:

a. Seluruh penderita tumor ganas kepala dan leher yang dilakukan kemoterapi dengan cisplatin.

b. Umur usia 15 tahun sampai 70 tahun (menghindari tidak kooperatifnya sampel saat audiometri nada murni, umur 15 tahun kebawah masuk kebagian onkologi anak ).

c. Memenuhi kriteria protokol pemberian kemoterapi di bagian THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

d. Bersedia ikut serta dalam penelitian

3.3.2.2. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi meliputi subyek yang pada keadaan tertentu tidak dapat diikutsertakan pada penelitian, dengan mempertimbangkan hal-hal diatas maka kriteria eksklusi untuk penelitian ini adalah :

a. Penderita yang sedang mendapat obat-obatan yang bersifat ototoksik. b. Penderita dengan hasil pemeriksaan audiometri nada murni awal

terdapat gambaran ototoksik

c. Penderita tidak kooperatif saat pemeriksaan. d. Penderita yang menolak ikutserta dalam penelitian.


(59)

3.3.3 Besar sampel berdasarkan rumus proposional adalah sebagai berikut :

(

)

2 2 1 . d P P Z

n= α −

dimana :

n = jumlah sampel

Z = Kepercayaan 95% nilainya 1,96 P = Proporsi = 33%

d = Ketepatan pengukuran 0,15

( )

(

( )

2

)

2 0,15 0,15) 1 .0,15 1,96

n = −

0,0225 3,84.0,127 n = orang 21,6 n =

n = 22 orang


(60)

3.4 Kerangka Teori

− OHC (outer hair cells)

− Striavascularis − IHC (inner hair

cells)

Ototoksik Monohydrate Complex

MHC Cisplatin

Degenerasi

3.5. Kerangka Konsepsional

Ototoksik Audiometri pada siklus

I, II, III Tumor Ganas

Kepala Leher Kemoterapi Cisplatin

− Usia − Hb − RFT


(61)

3.6. Batasan Operasional

1. Ototoksitas adalah kerusakan dari koklea atau vestibular oleh karena paparan bahan kimia (Riggs, 1990).

2. Diagnosa ototoksik berdasarkan gambaran audiometri nada murni di mana terjadi penurunan pendengaran biasanya bilateral dan simetris pada frekwensi tinggi, walaupun dapat meluas ke frekwensi sedang dan dapat bersifat permanen (Wright, 1997).

3. Tumor ganas kepala leher, di Indonesia mulai yang tersering meliputi : tumor ganas nasofaring, hidung dan sinus paranasal, laring, telinga, oesophagus, orofaring/tonsil dan rongga mulut (Munir, 1990).

4. Usia dihitung dalam tahun dengan pembulatan ke bawah dan umur menurut ulang tahun terakhir, perhitungan berdasarkan pada kalender masehi.

5. Pemeriksaan audiometri dilakukan di RSUP H Adam Malik Medan dengan alat Interacustic AA 222 buatan Denmark

3.7. Cara Kerja

1. Persiapan

Mencari dan mengumpulkan kepustakaan, dan menyusun status penelitian.

2. Pelaksanaan dan Pengumpulan Data

Data diambil dari seluruh penderita tumor ganas kepala leher yang masuk dalam kriteria inklusi. Dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni sebelum kemoterapi dilakukan. Kemudian dilakukan kembali audiometri nada murni setelah 5 hari post kemoterapi siklus ke satu, dua dan siklus ke tiga.


(62)

3.8. Kerangka Kerja

Sampel

Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

Tumor Ganas Kepala Leher

Audiometri Nada Murni

Kemoterapi Siklus I

Audiometri Nada Murni

Post kemoterapi 5 hari

Kemoterapi Siklus II

Audiometri Nada Murni

Post Kemoterapi 5 hari

Kemoterapi Siklus III

Audiometri Nada Murni

Post Kemoterapi 5 hari 3-4 minggu


(63)

3.9.Analisa Data

Data yang diperoleh dianalisa dengan metode statistik marginal homgenitas test yaitu mengamati perubahan terjadinya ototoksik dari sebelum dilakukan kemoterapi dibandingkan dengan setelah dilakukan kemoterapi ke tiga, dengan bantuan program Windows SPSS (Statistical Program for Social Science) versi 11,5.


(64)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H Adam Malik Medan, penelitian dilaksanakan sejak Juni 2007 sampai Desember 2007. Didapatkan 22 penderita tumor ganas kepala leher yang dikemoterapi dengan cisplatin dan sesuai kriteria sampel penelitian.

Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Subjek Penelitian

Variabel Jumlah %

Jenis Kelamin

Laki-laki 17 77,3

Perempuan 5 22,7

Usia

<40 6 27,3

40-49 6 27,3

50-59 8 36,4

>60 2 9,1

Suku

Batak 11 50,0

Jawa 5 22,7

Melayu 3 13,6

Padang 1 4,5

Aceh 1 4,5

Nias 1 4,5

Pekerjaan

Petani 14 63,6

Wiraswasta 7 31,8

PNS 1 4,5


(65)

Dari tabel 4.1. diketahui subjek penelitian tumor ganas kepala dan leher paling banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu 17 penderita dari 22 sampel (77,3% ), perempuan 5 penderita dari 22 sampel (22,7% ), perbandingan laki-laki dan perempuan 3,4 : 1.

Golongan penderita terbanyak pada usia 50 sampai 59 tahun yaitu 8 penderita dari 22 sampel, usia termuda 27 tahun dan yang paling tua 69 tahun.

Suku batak merupakan kelompok suku terbanyak yaitu 11 penderita dari 22 sampel ( 50% ). Berdasarkan jenis pekerjaan didapatkan pekerjaan terbanyak adalah bertani yaitu 14 penderita dari 22 sampel ( 63,6% ).

Tabel 4.2 Distribusi Lokasi Tumor Ganas Kepala Leher

Lokasi Tumor

Jumlah

%

Tumor Nasofaring 13 59,1

Tumor Kavum Nasi 3 13,6

Tumor Laring 1 4,5

Tumor Telinga 2 9,1

Tumor Lidah 2 9,1

Tumor Palatum 1 4,5

Jumlah 22 100,0

Dari tabel 4.2. ditemukan lokasi terbanyak tumor ganas kepala leher adalah pada nasofaring yaitu 13 penderita dari 22 sampel ( 59,1% ), kemudian diikuti tumor pada kavum nasi dan sinus paranasal 3 penderita (13,6% ), tumor telinga 2 penderita (9.1),tumor lidah 2 penderita (9,1% ),tumor laring 1 penderita (4,5% ) dan tumor palatum 1 penderita (4,5% ).


(66)

Tabel 4.3. Distribusi Status Pendengaran Sebelum Kemoterapi

Status Pendengaran Jumlah Persen

Normal 5 22,7

Tuli Konduktif 14 63,6

Tuli Sensorineural 2 9,1

Tuli Campur 1 4,5

Ototoksik 0 0

Jumlah 22 100,0

Dari tabel 4.3. didapatkan status pendengaran sebelum kemoterapi yang terbanyak adalah tuli konduktif yaitu 14 penderita ( 63,% ), sedangkan yang normal ditemuka 5 penderita (22,7% ).

Tabel 4.4. Tabel Status Pendengaran Setelah Kemoterapi Pertama

Status Pendengaran Jumlah Persen

Normal 5 22,7

Tuli Konduktif 12 54,5

Tuli Sensorineural 2 9,1

Tuli Campur 1 4,5

Ototoksik 2 9,1

Jumlah 22 100,0

Dari tabel 4.4. Status pendengaran setelah kemoterapi yang pertama ditemuka 2 penderita yang mengalami ototoksik ( 9,1% ), tuli konduktif 12 penderita (54 % ), tuli sensorineural 2 ( 9,1% ), tuli campur 1 penderita (4,5% ) dan yang normal 5 penderita (22,7 % )


(67)

Tabel 4.5. Tabel Status Pendengangaran Setelah Kemoterapi Kedua.

Status Pendengaran Jumlah Persen

Normal 4 18,2

Tuli Konduktif 11 50,0

Tuli Sensorineural 2 9,1

Tuli Campur 1 4,5

Ototoksik 4 18,2

Jumlah 22 100,0

Dari tabel 4.5. Status pendengaran setelah kemoterapi kedua ditemukan 4 penderita yang mengalami ototoksik (18,2% ), normal 4 penderita (18,2% ), tuli konduktif 11 penderita ( 50% ), tulisensorineural 2 (9,1) dan tuli campur 1 (4,5%).

Tabel 4.6. Tabel Status Pendengaran Setelah Kemoterapi Ketiga

Status Pendengaran Jumlah Persen

Normal 4 18,2

Tuli Konduktif 10 45,5

Tuli Sensorineural 2 9,1

Tuli Campur 1 4,5

Ototoksik 5 22,7

Jumlah 22 100,0

Dari tabel.4.6. Status pendengaran setelah kemoterapi ditemukan yang menderita ototoksik 5 (22,7% ), normal 4 ( 18,2% ), tuli konduktif 10 (45,5% ), tuli sensorineural 2 (9,1% ) dan tuli campur 1 (4,5% ).


(68)

Tabel 4.7. Distribusi Kelompok Umur DenganKejadian Ototoksik

Umur

Tidak Ototoksik Ototoksik

Jumlah Persen Jumlah Persen

<40 5 5 1 20

40-49 5 29,4 1 20

50-59 5 29,4 3 60

>/ = 60 2 11,8 0 0

Jumlah 17 100 5 100

Dari tabel 4.7. ditemukan umur yang terbanyak mengalami ototoksik adalah umur antara 50 sampai 59 yaitu 3 penderita (60%), untuk umur dibawah 40 tahun 1 penderita (20% ), umur 40 sampai 49 1 penderita (20% ) sedangkan diatas 60 tahun tidak ditemukan.

Tabel 4.8. Distribusi Jenis Kelamin Dengan Kejadian Ototoksik

Tidak Ototoksik Ototoksik

Jenis Kelamin Jumlah Persen Jumlah Persen

Laki-laki 12 70,6 5 100

Perempuan 5 29,4 0 0

Jumlah 17 100 5 100

Dari tabel 4.8 jenis kelamin yang mengalami ototoksik adalah laki-laki yaitu 5 penderita ( 100% ), perempuan tidak ditemukan.


(69)

Grafik 4.1. Grafik Status Pendengaran Prakemoterapi dan Postkemoterapi

post kemo 3 post kemo 2

post kemo 1 prakemo Frekuensi 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Kelompok normal tuli konduktif tuli sensori tuli campuran ototoksik

Grafik 4.1 pada prakemoterapi status pendengaran ditemukan pendengaran normal 5 penderita, tulikonduktif 14 penderita, tuli sensorineural 2 penderita dan tuli campur 1 penderita, kemoterapi pertama ditemukan 2 kejadian ototoksik, kemoterapi kedua ditemukan 4 penderita dan pada kemoterapi ketiga ditemukan 5 penderita, terdapat peningkatan angka kejadian dengan bertambahnya siklus kemoterapi.

Tabel 4.9. Hubungan Kemoterapi Cisplatin dengan Kejadian Ototoksik

Pra kemo Post kemo 3

Kejadian

n % n %

Normal 5 22,7 4 18,5

Tuli konduktif 14 63,7 10 45,5

Tuli sensori neural 2 9,1 2 9,1

Tuli campuran 1 4,5 1 4,5

ototoksik 0 5 22,7


(70)

Dari tabel 4.9 hubungan kemoterapi cisplatin dengan angka kejadian ototoksik, pada uji marginal homogenitas dari sebelum kemoterapi dengan sesudah kemoterapi ke tiga didapatkan hasil p = 0,027, yang berarti p < 0,05 ada hubungan yang signifikan antara kemoterapi cisplatin dengan angka kejadian ototoksik.


(71)

BAB 5

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui angka kejadian ototoksik di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H Adam Malik Medan. Penelitian ini dilakukan sejak Juni 2007 sampai Desember 2007. Berdasarkan perhitungan besar sampel minimal , dilakukan penelitian pada 22 penderita tumor ganas kepala dan leher yang dikemoterapi dengan cisplatin dan memenuhi kriteria sampel penelitian, kemudian dilakukan pemeriksaan audiometri sebelum kemoterapi dan sesudah kemoterapi siklus satu, dua dan tiga.

Pada tabel 4.1 terlihat kelompok jenis kelamin penderita terbanyak adalah laki-laki sebanyak 17 penderita ( 77,3% ), perempuan 5 penderita (22,7% ), perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 3,4 : 1. Masna (1976 ) penelitiannyan di Denpasar mendapatkan jenis kelamin laki-laki 139 penderita (76,37% ), perempuan 43 penderita (23,62% ). Monfardini (1987 ) dalam penelitiannya di Amerika Serikat mendapatkan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 3 : 1. Siahaan (1995 ) dalam penelitiannya di Semarang mendapatkan penderita terbanyak laki-laki ( 67,27% ), perempuan ( 34% ). Lukmantya (1996 ) di Malang mendapatkan penderita terbanyak jenis kelamin laki-laki 133 penderita dari 210 sampel (62,86% ). Duta ( 2005 ) di India mendapatkan penderita terbanyak laki-laki 50 penderita dari 60 sampel (83,3% ).

Hasil yang didapat peneliti terlihat jenis kelamin laki-laki yang terbanyak , dan ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa


(72)

peneliti yang lain. Tingginya persentase laki-laki dibandingkan perempuan kemungkinan disebabkan oleh faktor kebiasaan dari laki-laki yang berbeda dengan perempuan, dimana laki-laki lebih terbuka untuk mendapatkan paparan dari berbagai bahan-bahan karsinogen, baik akibat dari pekerjaan maupun lingkungan yang didapatinya.

Pada tabel 4.1 kelompok umur terbanyak adalah 50-59 tahun sebanyak 8 penderita ( 36,4% ), yang paling sedikit diatas 60 tahun, umur termuda 27 tahun 1 penderita dan umur tertua 69 tahun 1 penderita. Harjono ( 1985 ) di Surabaya dalam penelitiannya mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah 40 sampai 60 tahun

( 67,3% ). Siahaan ( 1995 ) di Semarang mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah 40 sampai 59 tahun ( 48,61% ). Sudarwi (1966 ) dalam penelitiannya di Semarang mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah pada dekade ke 5 ( 29,1% ), dekade ke 4 ( 25% ) sedangkan dekade ke 7 (8,4% ). Nagar ( 2004 ) di India mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah 55 tahun ( 75% ).

Hasil yang didapat peneliti terlihat kelompok umur terbanyak hampir sama dengan yang diteliti oleh Harjono, Siahaan dan Sudarwi,dan tidak berbeda jauh dengan peneliti lainnya. Perbedaan umur oleh masing-masing peneliti lebih didasari oleh cara pengelompokan umurnya.

Pada penelitian ini distribusi kelompok suku terbanyak adalah suku Batak 11 penderita (50% ), kemudian suku Jawa 5 penderita ( 22,7% ). Hal ini dimungkinkan oleh karena proporsi jumlah penduduk di wilayah tempat


(1)

Walters FLC, et al, 2002, Co Treatment with Melanotan-II Apoten Melanocortin, Does Not Protect Against Cisplatin Ototoxicity. In : Hearing Research. No. 172. pp. 110-111.

Whitworth CA at al, 2004, Protecion Againts Ototoxicity by Adenosin Agonist, in Biochemical Pharmacology, pp. 1801-07

Wright A , 1997, Anatomy and Ultrastructure of The Human Ear , Basic Science, in Scott Brown,s Otolaryngology, Sixth Edition, Vol. 1, Buterworth, pp. 1/1/1- 1/1/49.

Wright A, 1997, Ototoxicity. In : Scott-Brown’s Otolaryngology. Sixth Edition. Butterworth Heinemann. Great Britain. pp. 3/20/1-10.

Yellin MW, 1991, Hearing Measurement in Adult, in Paparella MM, Otolaryngology , Vol. II, Third Edition , WB Saundres Company, Philadelphia , pp. 961-9


(2)

Lampiran 1

STATUS PENELITIAN

Identitas Penderita

− No. Urut Penelitian : ... − Tanggal Berobat : ... − No. MR. : ...

− Nama : ... − Umur : ... − Jenis Kelamin : ...

− Suku : ... − Pekerjaan : ... − Alamat : ... − No. Telp./HP. : ...

Anamnesis Keluhan :

Riwayat penyakit :

Riwayat gangguan pendengaran = + / – Riwayat penggunaan obat ototoksik = + / –

Riwayat trauma kepala = + / –


(3)

Pemeriksaan Fisik

Telinga Kanan Kiri

− Daun telinga − Liang telinga − Membran timpani

Normal / Abnormal Normal / Abnormal Utuh / Perforasi Bulging + / – Hiperemis + / –

Normal / Abnormal Normal / Abnormal Utuh / Perforasi Bulging + / – Hiperemis + / –

Hidung Kanan Kiri

Rhinoskopi anterior − Kavum nasi − Konka inferior − Septum

− Mukosa

Lapang / Sempit Normal/Edema/Hipertropi

Normal / Deviasi Hiperemis + / –

Lapang / Sempit Normal/Edema/Hipertropi

Normal / Deviasi Hiperemis + / –

Orofaring :

Diagnosa :

Pemeriksaan Audiometri Nada Murni (Sebelum Kemoterapi) Telinga kanan

Hantaran udara = ……… dB Hantaran tulang = ……… dB


(4)

Telinga kiri

Hantaran udara = ……… dB Hantaran tulang = ……… dB

Pemeriksaan Laboratorium Darah (Sebelum Kemoterapi) Hb

Ureum Kreatinin KGD

Kemoterapi I =

Gejala tinitus = +/-

- Audiometri Nada Murni (Pasca Kemoterapi I)

Telinga kanan

Hantaran udara = ……… dB Hantaran tulang = ……… dB Telinga kiri

Hantaran udara = ……… dB Hantaran tulang = ……… dB


(5)

Pemeriksaan Laboratorium Darah : − Hb

− Ureum − Kreatinin − KGD

Kemoterapi Siklus II

Gejala tinitus = +/-

- Audiometri Nada Murni (Pasca Kemoterapi II) .1. Telinga kanan

Hantaran udara = ……… dB Hantaran tulang = ……… dB Telinga kiri

Hantaran udara = ……… dB Hantaran tulang = ……… dB –Pemeriksaan Laboratorium Darah :

− Hb − Ureum − Kreatinin − KGD


(6)

Kemoterapi Siklus III

Gejala tinitus = +/-

- Audiometri Nada Murni (Pasca Kemoterapi II) 1. Telinga kanan

Hantaran udara = ……… dB Hantaran tulang = ……… dB Telinga kiri

Hantaran udara = ……… dB Hantaran tulang = ……… dB –Pemeriksaan Laboratorium Darah :

− Hb − Ureum − Kreatinin − KGD