QiradhMudharabah Makalah B. Indonesia : Akad Kerjasama Bisnis Islam

Penyaluran dana dalam bank konvensional, kita kenal dengan istilah kredit atau pinjaman. Sedangkan dalam bank syariah untuk penyaluran dananya dikenal dengan istilah pembiayaan. 1 Jika dalam bank konvensional keuntungan bank diperoleh dari bunga yang dibebankan, maka dalam bank syariah tidak ada istilah bunga, tetapi bank syariah menerapkan sistem bagi hasil. Secara umum, prinsip bagi hasil dalam bank syariah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu al-musyarakah, al-mudharabah, al-muzara’ah, al-musaqah. 2

B. QiradhMudharabah

1. Arti Mudharabah Mudharabah berasal dari kata adhdharby fil ardi yaitu berpergian untuk urusan dagang. 3 Mudharabah atau qiradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah perkongsian.Istilah mudharabah digunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya dengan istilah qiradh. Dengan demikian, mudharabah dan qiradh adalah dua istilah untuk maksud yang sama. Menurut bahasa, qiradh berarti potongan, sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada pengusaha agar mengusahakan harta tersebut, dan pengusaha akan memberikan potongan dari laba yang diperoleh. Bisa juga diambil dari kata muqaradhah yang berarti kesamaan, sebab pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang sama terhadap laba. Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak diamana pihak pertama Shohibul maal menyediakan seluruh 100 modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. 4 Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. 2. Landasan Hukum Syariah Ulama fiqih sepakat bahwa mudharabah disyaratkan dalam Islam berdasarkan Al-Quran, Sunah, Ijma’, dan Qiyas. a. Al-Quran 1 Kasmir,Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2014, 169. 2 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik Jakarta: Gema Insani Press,2001, 90. 3 M. Noor Harisudin, Fiqh Muamalah 1 Surabaya: CV. Salsabila Putra Pratama, 2014, 69. 4 M. Noor Harisudin, Fiqh Muamalah 1 Surabaya: CV. Salsabila Putra Pratama, 2014,95. 6 Ayat-ayat yang berkenaan dengan mudharabah, antara lain: اذذإإفذتإيذضإققةقلصصذلااورقشإتذننافذ يفإضإرنلااوغقتذبناوذننمإلإضنفذهإلصذلااورقكقذناوذهذلصذلاارريثإكذ منكقلصذعذلذنذوحقلإفنتق Artinya : “Apabila telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah.” QS. Al-Jumu’ah : 10 سينلذمنكقينلذعذححانذجقننأذاوغقتذبنتذالرضنفذننمإمنكقبصإرذ Artinya : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia rezeki hasil perniagaan dari Tuhan-Mu.” b. As-Sunah Dalam hadis yang lain diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibn Abbas bahwa Abbas Ibn Abdul Muthalib jika memberikan harta untuk mudharabah, dia mensyaratkan kepada pengusaha untuk tidak melewati lautan, menuruni jurang, dan membeli hati yang lembab. Jika melanggar persyaratan tersebut, ia harus menanggungnya. Persyaratan tersebut disampaikan kepada Rasulullah SAW. dan beliau membolehkannya. c. Ijma’ Di antara Ijma’ dalam mudharabah, adanya riwayat yang menyatakan bahwa jamaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. d. Qiyas Mudharabah diqiyaskan kepada al-musyaqah menyuruh seseorang untuk mengelola kebun. 3. Rukun Mudharabah Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul, yakni lafazh yang menunjukkan ijab dan qabul dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah, muamalah, atau kata-kata yang searti dengannya. Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga, yaitu dua orang yang melakukan akad al-aqidani, modal ma’qud alaih, dan ijab dan qabul shighat. Ulama Syafi’iyah lebih memerinci lagi menjadi lima rukun, yaitu modal, pekerjaan, laba, shighat, dan dua orang yang akad. 4. Jenis-Jenis Mudharabah 7 Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis, yaitu mudharabah mutlak al-muthlaq dan mudharabah terikat al-muqayyad. 5 Mudharabah mutlak adalah penyerahan modal seseorang kepada pengusaha tanpa memberikan batasan, seperti berkata, “Saya serahkan uang ini kepadamu untuk diusahakan, sedangkan labanya akan dibagi di antara kita, masing-masing setengah atau sepertiga, dan lain-lain.” Mudharabah muqayyad terikat adalah penyerahan modal seseorang kepada pengusaha dengan memberikan batasan, seperti persyaratan bahwa pengusaha harus berdagang di daerah bandung atau harus berdagang sepatu, atau membeli barang dari orang tertentu , dan lain-lain. 5. Aplikasi dalam Perbankan Al-Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al-mudharabah diterapkan pada :

a. Tabungan brejangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus,

seperti tabungan haji, tabungan kurban, deposito biasa, dan lain sebagainya.

b. Deposito special special investment, dimana dana yang dititipkan nasabah khusus

untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah saja atau ijarah saja. Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk: a. Pembiayaan modal keja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa.

b. Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana

khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal. 6. Manfaat Mudharabah

a. Bank akan menikmatai peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah

meningkat.

b. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendaan secara

tetap, tetapi disesuaikan dengan pendatpatan hasil usaha bank sehingga bank tidak pernah mengalami negative spread.

c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan arus kas usaha nasabah

sehingga tidak memberatkan nasabah. 5 M. Noor Harisudin, Fiqh Muamalah 1 Surabaya: CV. Salsabila Putra Pratama, 2014,97. 8

d. Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-benar halal, aman,

dan menguntungkan karena keuntungan yang konkret terjadi itulah yang akan dibagikan. 7. Sifat Mudharabah Diantara ulama terdapat perbedaan pendapat, ada yang berpendapat termasuk akad yang lazim, yakni dapat diwariskan seperti pendapat Imam Malik, sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah, akad tersebut tidak lazim, yakni tidak dapat diwariskan. 6 8. Mudharib Pengusaha Lebih dari Seorang Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika mudharib lebih dari seorang, laba dibagikan berdasarkan hasil pekerjaan mereka. 9. Syarat Sah Mudharabah a. Syarat Aqidani Disyaratkan bagi orang yang akan melakukan akad, yakni pemilik modal dan pengusaha adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil, sebab mudharib mengusahakan harta pemilik modal, yakni menjadi wakil. Mudharabah dibolehkan dengan orang kafir dzimmi atau orang kafir yang dilindungi di negara Islam. b. Syarat Modal 1 Modal harus berupa uang, seperti dinar, dirham, atau sejenisnya. 2 Modal harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran. 3 Modal harus ada, bukan berupa utang, tetapi tidak berarti harus ada ditempat akad 4 Modal harus diberikan kepada pengusaha. c. Syarat-Syarat Laba 1 Laba Harus memiliki Ukuran Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa apabila pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian harus ditanggung oleh kedua orang yang akad, maka akad rusak, tetapi mudharabah tetap sah. Hal ini karena dalam mudharabah, kerugian harus ditanggung oleh pemilik modal. 7 6 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik Jakarta: Gema Insani Press,2001, 95. 7 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik Jakarta: Gema Insani Press,2001, 96. 9 Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, hal itu, termasuk qaradh, tetapi menurut ulam Syafi’iyah termasuk mudharabah yang rusak. Ulama Malikiyah membolehkan pengusaha mensyaratkan semua laba untuknya. 2 Laba Harus Berupa Bagian yang Umum Masyhur Pembagian laba harus sesuai dengan keadaan yang berlaku secara umum, seperti kesepakatan di antara orang yang melangsungkan akad bahwa setengah laba adalah untuk pemilik modal, sedangkan setengah lainnya lagi diberikan kepada pengusaha. 10. Hukum Mudharabah a. Hukum Mudharabah Fasid Salah satu contoh mudharabah fasid adalah mengatakan, “Berburulah dengan jaring saya dan hasil buruannya dibagi di antara kita.” Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa pernyataan termasuk tidak dapat dikatakan mudharabah yang sahih karena pengusaha pemburu berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya, baik ia mendapatkan buruan atau tidak. b. Hukum Mudharabah Sahih 1 Tanggung Jawab Pengguna Jika mudharabah rusak karena adanya beberapa sebab yang menjadikannya rusak, pengusaha menjadi pedagang sehingga ia pun memiliki hak untuk mendapatkan upah. Jika disyaratkan bahwa pengusaha harus bertanggung-jawab atas rusaknya modal, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, syarat tersebut batal, tetapi akadnya sah. Dengan demikian, pengusaha bertanggung-jawab atas modal dan berhak atas laba. Adapun ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah batal. 2 Tasharuf Pengusaha a Pada mudharabah mutlak Menurut ulama Hanafiyah, jika mudharabah mutlak, maka pengusaha berhak untuk beraktivitas dengan modal tersebut yang menjurus kepada pendapatan laba, seperti jual beli. 10 Dalam mudharabah mutlak, menurut ulama Hanafiyah, pengusaha dibolehkan menyerahkan modal tersebut kepada pengusaha lainnya atas seizin pemilik modal. Menurut ulama selain Hanafiyah, pengusaha bertanggung-jawab atas modal jika ia memberikan modal kepada orang lain tanpa seizinnya, tetapi laba dibagi atas pengusaha kedua dan pemilik modal. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa modal tidak boleh diberikan kepada pengusaha lain, baik dalam hal usaha maupun laba, meskipun atas seizin pemilik modal. b Pada mudharabah terikat 1. Penentuan tempat Pengusaha harus mengusahakannya di daerah Tasikmalaya, sebab syarat tempat termasuk persyaratan yang dibolehkan. 8 2. Penentuan orang Ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan pemilik modal untuk menentukan orang yang harus dibeli barangnya oleh pengusaha atau kepada siapa ia harus menjual barang, sebab hal ini termasuk syarat yang berfaedah. 3. Penentuan waktu Ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan pemilik modal menentukan waktu sehingga jika melewati batas, akad batal. c Hak-hak pengusaha al-mudharib Hak nafkah membelanjakan Para ulama berbeda pendapat dalam hak nafkah modal atau harta mudharabah. Secara umum, pendapat mereka dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: 1. Imam Syafi’i, menurut riwayat paling zahir, berpendapat bahwa pengusaha tidak boleh menafkahkan modal untuk dirinya, kecuali atas seizin pemilik modal sebab pengusaha akan memiliki keuntungan dari laba. 8 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik Jakarta: Gema Insani Press,2001, 97. 11 2. Jumhur ulama, di antaranya Imam Malik, Imam Hanafi, dan Imam Zaidiyah berpendapat bahwa pengusaha berhak menafkahkan harta mudharabah dalam perjalanan untuk keperluannya, seperti pakaian, makanan, dan lain-lain. 3. Ulama Hanabilah membolehkan pengusaha untuk menafkahkan harta untuk keperluannya, baik pada waktu menetap maupun dalam perjalanan jika disyaratkan pada waktu akad. a. Hak mendapatkan laba Pengusaha berhak mendapatkan bagian dari sisa laba sesuai dengan ketetapan dalam akad, jika usahanya mendapatkan laba. 9 Jika tidak, ia tidak mendapatkan apa-apa sebab ia bekerja untuk dirinya sendiri. Dalam pembagian laba, disyaratkan setelah modal diambil. b. Hak pemilik modal Hak bagi pemilik modal adalah mengambil bagian laba jika menghasilkan laba. Jika tidak ada laba, pengusaha tidak mendapatkan apa-apa. 11. Pertentangan antara Pemilik dan Pengusaha a. Perbedaan dalam Mengusahakan Tasharuf Harta Jika terjadi perbedaan antara pemilik dan pengusaha, yaitu satu pihak menyangkut sesuatu yang umum dan pihak lain menyangkut masalah khusus, yang diterima adalah pernyataan yang menyangkut hal-hal umum dalam perdagangan, yakni menyangkut pendapatan laba, yang dapat diperoleh dengan menerapkan ketentuan-ketentuan umum. b. Perbedaan dalam Harta yang Rusak Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang rusaknya harta, seperti pengusaha menyatakan bahwa kerusakan disebabkan pemilik modal, tetapi pemilik modal mengingkarinya, maka yang diterima, berdasarkan kesepakatan para ulama, adalah ucapan pengusaha sebab pada dasarnya ucapan pengusaha adalah amanah, yakni tidak ada khianat. c. Perbedaan tentang Pengembalian Harta 9 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik Jakarta: Gema Insani Press,2001, 98. 12 Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang pengembalian harta, seperti ucapan pengusaha, bahwa modal telah dikembalikan, yang diterima menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah pernyataan pemilik modal. d. Perbedaan dalam Jumlah Modal Ulama fiqih sepakat bahwa jika terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah modal, yang diterima adalah ucapan pengusaha sebab dialah yang memegangnya. e. Perbedaan dalam Ukuran Laba Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ucapan yang diterima adalah pernyataan pemilik modal, jika pengusaha mengakui bahwa disyaratkan baginya setengah laba, sedangkan menurut pemilik adalah sepertiganya. f. Perbedaan dalam Sifat Modal Ulama Hanabilah dan Hanafiyah berpendapat bahwa bila ada perbedaan dalam sifat modal, ucapan yang diterima adalah pernyataan pemilik harta. 12. Perkara yang Membatalkan Mudharabah Mudharabah dianggap batal pada hal berikut : a. Pembatalan, Larangan Berusaha, dan Pemecatan Semua ini jika memenuhi syarat pembatalan dan larangan, yakni orang yang melakukan akad mengetahui pembatalan dan pemecatan tersebut, serta modal telah diserahkan ketika pembatalan atau larangan. Akan tetapi, jika pengusaha tidak mengetahui bahwa mudharabah telah dibatalkan, pengusaha mudharib dibolehkan untuk tetap mengusahakannya. 10 b. Salah Seorang Aqid Meninggal Dunia Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah tidak batal dengan meninggalnya salah seorang yang melakukan akad, tetapi dapat diserahkan kepada ahli warisnya, jika dapat dipercaya. c. Salah Seorang Aqid Gila Jumhur ulama berpendapat bahwa gila membatalkan mudharabah, sebab gila atau sejenisnya membatalkan keahlian dalam mudharabah. d. Pemilik Modal Murtad 10 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik Jakarta: Gema Insani Press,2001, 98. 13 Apabila pemilik modal murtad keluar dari Islam atau terbunuh dalam keadaan murtad, atau bergabung dengan musuh serta telah diputuskan oleh hakim atas pembelotannya, menurut Imam Abu Hanifah, hal itu membatalkan mudharabah sebab bergabung dengan musuh sama saja dengan mati. e. Modal Rusuk di Tangan Pengusaha Jika harta rusak sebelum dibelajakan, mudharabah menjadi batal. Hal ini karena modal harus dipegang oleh pengusaha. Jika modal rusak, mudharabah batal.

C. AL-MUZARA’AH HARVEST-YIELD PROFIT SHARING