Pengaruh Intensitas Naungan terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu (Metroxylon spp.) di Persemaian dengan Sistem Persemaian Rakit

i

PENGARUH INTENSITAS NAUNGAN TERHADAP
PERTUMBUHA BIBIT SAGU (Metroxylon spp
PERTUMBUHAN
spp.) DI
PERSEMAIAN DENGAN SISTEM PERSEMAIAN
SEMAIAN RA
RAKIT

HESTI YULIANINGRUM
A24080110

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
TIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN
PERTA
BOGOR
2012


The Effect of Shading Intensity on Sago (Metroxylon sago spp.) Seedling
Growth on the Raft Nursery
Hesti Yulianingrum1, Sofyan Zaman2 dan M.H.Bintoro2
1
2

Mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB

Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB

Abstract
Sago

seedling

growth

is

influenced


by

environmental

factors.

Environmental factors that influence include sunlight, humidity, air temperature,
and wind speed. Sunlight is a major effect on the growth of each organ. Sunlight
affecting the continuity of the process of photosynthesis. The process of
photosynthesis increases during the day and then fell in the afternoon. The
increase in light intensity will increase leaf temperature, evaporation to take
place more quickly. Excessive evaporation can be harmful to plants. Providing
shade is one way to reduce the light intensity.
Experiments on the provision of shade in the nursery rafts aiming to
determine the effect of the intensity of shading on the growth of sago seeds that
can be a solution if necessary or provide shade in nursery activities. Experiments
used Complete Randomized Block Design (RKLT). The treatment is divided into 4
standard, namely P1 = 0% shade, P2 = 25% shade, shade P3 = P4 = 50% and
75% shade. The treatment was repeated 6 times.

Shade treatment just take affects only the high shade seedlings at 2 leaf
length of the MSA and 1 in 10 MSA. The shade does not give effect to the number
of leaves, leaf length and width of the clipping, the width of the leaf and the
number and length of primary roots. Microclimate measurement results did not
differ between treatments. Seedbed used shade is not required of the rainy
season. The root of breath has a positive correlation to the percentage of living
seedlings.

ii

RINGKASAN

HESTI

YULIANINGRUM.

Pengaruh

Intensitas


Naungan

terhadap

Pertumbuhan Bibit Sagu (Metroxylon spp.) di Persemaian dengan Sistem
Persemaian Rakit. (Di bawah bimbingan SOFYAN ZAMAN dan M. H.
BINTORO DJOEFRIE)
Pertumbuhan anakan sagu dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor
lingkungan yang berpengaruh meliputi sinar matahari, kelembaban, suhu udara,
dan kecepatan angin. Sinar matahari berpengaruh besar terhadap pertumbuhan
setiap organ. Sinar matahari berpengaruh juga terhadap kelangsungan proses fotosintesis. Proses fotosintesis meningkat pada siang hari dan kemudian turun pada
sore hari. Peningkatan intensitas cahaya akan menaikkan suhu daun sehingga
penguapan akan tejadi lebih cepat. Penguapan yang berlebihan dapat merugikan
bagi tanaman. Pemberian naungan merupakan salah satu cara untuk mengurangi
intensitas cahaya.
Percobaan pemberian naungan pada persemaian di rakit bertujuan untuk
mengetahui pengaruh intensitas naungan terhadap pertumbuhan bibit sagu sehingga dapat menjadi solusi naungan diperlukan atau tidak dalam kegiatan persemaian. Percobaan mengunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT).
Perlakuan dibagi menjadi 4 taraf yaitu P1 = naungan 0 %, P2 = naungan 25 %, P3
= naungan 50 % dan P4 = naungan 75 %. Perlakuan diulang sebanyak 6 kali.
Pelakuan naungan hanya berpengaruh terhadap tinggi bibit pada 2 MSP

dan panjang anak daun 1 pada 10 MSP. Naungan tidak memberi pengaruh terhadap jumlah daun, panjang dan lebar anak daun pangkasan, lebar anak daun 1,
panjang dan lebar anak daun 2, serta jumlah dan panjang akar primer. Hasil pengukuran iklim mikro antar perlakuan tidak berbeda. Persemaian menggunakan
naungan tidak diperlukan pada musim hujan. Akar Nafas memiliki korelasi positif
terhadap presentase hidup bibit.

iii

PENGARUH INTENSITAS NAUNGAN TERHADAP
PERTUMBUHAN BIBIT SAGU (Metroxylon spp.) DI
PERSEMAIAN DENGAN SISTEM PERSEMAIAN RAKIT

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Hesti Yulianingrum
A24080110

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

1

Judul

: PENGARUH INTENSITAS NAUNGAN TERHADAP
PERTUMBUHAN BIBIT SAGU (Metroxylon spp.) DI
PERSEMAIAN DENGAN SISTEM PERSEMAIAN
RAKIT

Nama

: HESTI YULIANINGRUM

NIM

: A24080110


Menyetujui,

Pembimbing 1

Pembimbing 2

Ir. Sofyan Zaman, MP

Prof. Dr. Ir. H. M. H. Bintoro Djoefrie, M.Agr
NIP. 19480801 197403 1 001

NIP. 19680711 199403 1 001

Mengetahui,
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura
Fakultas Pertanian IPB

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr
NIP. 19611101 198703 1 003


Tanggal Lulus : .....................................

2

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Kudus Jawa Tengah pada tanggal 13 Juli
1990. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak
Suyoto dan Ibu Sri Bowo.
Tahun 2002 penulis lulus dari SD 2 Panjang, kemudian melanjutkan
pendidikan menengah pertama di SLTP 3 KUDUS lulus pada tahun 2005. Tahun
2005 penulis masuk di SMA 1 BAE Kudus dan lulus pada tahun 2008.
Penulis di terima di Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas
Pertanian IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun
2008. Selama melaksanakan pendidikan di IPB, penulis aktif dalam HIMAGRON
sebagai Sekretaris selama tahun 2010-2011. Tahun 2011 penulis pernah menjadi
Asisten MK Ekologi Pertanian. Selain itu, penulis juga aktif sebagai pengurus
maupun anggota dalam Organisasi Keluarga Kudus Bogor OMDA KKB MK
sejak tahun 2008-2012.

3


KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Intensitas Naungan terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu (Metroxylon
spp.) di Persemaian dengan Sistem Persemaian Rakit sebagai syarat untuk
memperoleh gelar sarjana pertanian di Departemen Agronomi dan Hortikultura
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada :
1.

Ir. Sofyan Zaman, MP dan Prof. Dr. Ir. H. M. H. Bintoro Djoefrie, M.Agr
selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, saran
serta arahan dalam penyusunan skripsi ini.

2.

Dr. Desta Wirnas, SP, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik
dan saran dalam pernyempurnaan skripsi ini.


3.

Ayahanda Suyoto, Ibunda Sri Bowo, Kakak Fitriana Sari dan Noor Effendi,
Nenek Suriyah dan Keponakan Kevin, serta segenap keluarga yang telah
memberikan doa, dukungan serta semangat.

4.

Kepada tim Reserch and Development (R n D) PT National Sagu Prima yang
memberikan saran dan bantuan selama kegiatan penelitian berlangsung.

5.

Seluruh keluarga besar PT Sampoerna Agro dan PT National Sagu Prima dan
Prima Kelola Agribisnis dan Agroindustri IPB atas bantuan yang telah
diberikan selama kegiatan penelitian berlangsung.

6.

Ika, Alma, Rahmat, Fendri dan Iqbal atas kerjasama dan bantuan selama

kegiatan penelitian hingga penyusunan skripsi.

7.

Sahabat kostan (Wulan, Fya, Dinda, Ratih, Jay, Mbak Julia, Kak Ulfa, Kak
Wiwik serta kak Uchi), Sahabat Ulya, Tri, Nina, Sindra serta semua teman
AGH 45 yang telah memberikan dukungan motivasi kepada penulis.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan informasi serta manfaat

bagi yang memerlukan.
Bogor, Agustus 2012
Penulis

4

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL......................................................................................

vii

DAFTAR GAMBAR.................................................................................

viii

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................

ix

PENDAHULUAN ....................................................................................
Latar Belakang ...................................................................................
Tujuan .................................................................................................
Hipotesis .............................................................................................

1
1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
Botani Sagu ........................................................................................
Syarat Tumbuh Sagu ..........................................................................
Persemaian Sagu ................................................................................
Pengaruh Naungan .............................................................................

4
4
5
6
8

BAHAN DAN METODE .........................................................................
Waktu dan Tempat .............................................................................
Bahan dan Alat ..................................................................................
Metode ...............................................................................................
Pelaksanaan ........................................................................................
Pengamatan ........................................................................................

11
11
11
11
12
13

HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
Kondisi Umum ...................................................................................
Hasil ...................................................................................................
Iklim Mikro .................................................................................
Presentase Hidup Bibit ................................................................
Tinggi Bibit .................................................................................
Jumlah Daun ...............................................................................
Panjang Anak Daun Pangkasan ..................................................
Lebar Anak Daun Pangkasan ......................................................
Panjang Anak Daun Baru ............................................................
Lebar Anak Daun Baru ...............................................................
Panjang Akar Primer ...................................................................
Jumlah Akar Primer ....................................................................
Akar Nafas ..................................................................................
Pembahasan ........................................................................................

15
15
17
18
19
20
21
22
23
24
25
27
28
29
30

KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
Kesimpulan ........................................................................................
Saran ...................................................................................................

39
39
39

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................

40

LAMPIRAN ..............................................................................................

43

5

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman
Perlakuan Bibit Sagu Sebelum Ditanam pada Beberapa
Kelompok Masyarakat di Papua ..............................................

7

Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh intensitas
naungan terhadap pertumbuhan vegetatif bibit. .......................

17

3

Data iklim mikro pada berbagai intensita naungan ..................

18

4

Rata-rata presentase hidup bibit selama persemaian ..............

19

5

Rata-rata pertambahan tinggi bibit ...........................................

20

6

Rata-rata pertumbuhan jumlah daun ........................................

21

7

Rata-rata pertumbuhan panjang anak daun pangkasan ............

22

8

Rata-rata pertumbuhan lebar anak daun pangkasan .................

23

9

Rata-rata pertumbuhan panjang anak daun ke 1 ......................

24

10

Rata-rata pertumbuhan panjang anak daun ke 2 ......................

25

11

Rata-rata pertumbuhan lebar anak daun ke 1 ...........................

26

12

Rata rata pertumbuhan lebar anak daun ke 2 ...........................

26

13

Rata-rata panjang akar primer ..................................................

28

14

Rata-rata jumlah akar primer ...................................................

29

1
2

6

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1

Bahan-bahan yang Digunakan ............................................

12

2

Tahapan Persemaian Bibit ..................................................

13

3

Akar Nafas yang Muncul ....................................................

14

4

Kondisi Pertumbuhan Bibit selama Persemaian .................

15

5

Kerusakan akibat serangan Belalang ..................................

16

6

Presentase Hidup Bibit setiap Minggu ...............................

19

7

Tinggi Bibit Setiap Minggu ................................................

20

8

Pertumbuhan Jumlah Daun ................................................

21

9

Pertumbuhan Panjang Anak Daun Pangkasan ...................

22

10

Pertumbuhan Lebar Anak Daun Pangkasan .......................

23

11

Pertumbuhan panjang anak daun ke 1 ................................

24

12

Pertumbuhan Panjang Anak Daun ke 2 ..............................

25

13

Pertumbuhan Lebar Anak Daun ke 1 .................................

26

14

Pertumbuhan Lebar Anak Daun ke 2 .................................

27

15

Panjang Akar Primer pada 13 MSP ....................................

27

16

Korelasi Antara Panjang Akar dengan Pertambahan
Tinggi Bibit ........................................................................

28

17

Jumlah Akar Primer pada 13 MSP .....................................

29

18

Akar Nafas : a. Akar Nafas Sebelum Akar Primer
Muncul, b. Akar Nafas Setelah Akar Primer Muncul.........

29

19

Korelasi Antara Akar Nafas dengan Presentase Hidup
Bibit ....................................................................................

30

20

Kondisi Bibit Umur 3 Bulan pada Berbagai Perlakuan .....

37

7

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1

Layout Percobaan ...............................................................

44

2

Data Curah Hujan Tahun 2011 PT. National Sago Prima ..

45

3

Pengaruh Naungan terhadap Presentase Hidup Bibit
setelah di Transformasi ......................................................

45

4

Analisis Sidik Ragam Presentase Hidup Bibit ...................

46

5

Analisis Sidik Ragam Tinggi Bibit .....................................

47

6

Analisis Sidik Ragam Jumlah Daun ...................................

48

7

Analisis Sidik Ragam Panjang Anak Daun Pangkasan ......

49

8

Analisis Sidik Ragam Lebar Anak Daun Pangkasan .........

50

9

Analisis Sidik Ragam Panjang Anak Daun ke 1 ................

51

10

Analisis Sidik Ragam Panjang Anak Daun ke 2 ................

51

11

Analisis Sidik Ragam Lebar Anak Daun ke 1 ....................

52

12

Analisis Sidik Ragam Lebar Anak Daun ke 2 ....................

52

13

Analisis Sidik Ragam Panjang Akar ..................................

53

14

Analisis Sidik Ragam Jumlah Akar ....................................

53

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sagu (Metroxylon spp.) merupakan salah satu jenis tanaman penghasil
karbohidrat. Sagu termasuk dalam famili Palmae. Pati sagu yang mengandung
karbohidrat berasal dari batang sagu. Di Indonesia, sagu merupakan salah satu
jenis makanan pokok selain nasi. Pemanfaatan sagu sebagai penghasil karbohidrat
dapat dijumpai di daerah pantai Irian Jaya, Maluku, Sulawesi dan Pulau Nias
(Prosea, 1994).
Areal sagu di Indonesia diperkirakan terbesar di dunia yaitu sekitar 1,2 juta
ha dan 90 % dari areal sagu di Indonesia tumbuh di Propinsi Papua dan Maluku
(Flach, 1997). Bintoro (2008) menyatakan propinsi lain yang memiliki sagu yang
agak luas yaitu Maluku, Maluku Utara, Aceh, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara.
Tanaman sagu memiliki banyak manfaat. Selain sebagai sumber karbohidrat, tanaman sagu juga dapat digunakan sebagai bahan industri pangan, pakan
dan bahan energi (alkohol). Bagian-bagian tanaman sagu juga dapat dimanfaatkan
sebagai bahan dasar kerajinan tangan, sebagai atap rumah, kayu bakar. Bintoro
(2008) menambahkan tanaman sagu juga dapat berperan sebagai pengaman
lingkungan karena dapat mengabsorbsi emisi gas CO2 yang diemisikan dari lahan
rawa dan gambut ke udara. Pati sagu juga dapat digunakan untuk pembuatan
plastik ramah lingkungan (biodegradable plastic) dan pembuatan bahan bakar
terbaharukan (etanol) (Bintoro et al., 2010).
Tanaman sagu memiliki potensi yang cukup besar untuk digunakan sebagai
alternatif bahan makanan pokok saat ini. Potensi produksi sagu di Indonesia dapat
mencapai 5 juta ton pati kering per tahun, dengan produktivitas pati mencapai 25
ton pati kering/ha/tahun. Potensi produksi yang besar dapat dicapai dengan pengelolaan tanaman sagu dengan baik (BPBPI, 2007). Berdasarkan potensi produksi sagu yang tinggi tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
karbohidrat penduduk Indonesia.
Aspek paling penting dalam budidaya sagu pada persemaian sagu, karena
persemaian akan mempengaruhi kualitas bibit yang dihasilkan. Pembibitan sagu

2

dapat dilakukan secara generatif dan vegetatif. Perbanyakan secara vegetatif lebih
banyak digunakan karena lebih mudah mendapatkan calon bibit serta bibit memiliki pertumbuhan yang sama dengan induknya.
Teknik persemaian bibit sagu dapat dilakukan dengan rakit, polibag dan
kolam. Teknik persemaian yang digunakan berpengaruh terhadap pertumbuhan
bibit selama di persemaian. Menurut Wibisono (2011) persemaian menggunakan
rakit memiliki tingkat kematian paling rendah dibandingkan pada persemaian dengan kolam dan polibag. Kondisi bibit yang lembab dan tersedia cukup air yang
banyak diduga dapat meningkatkan kemampuan bibit untuk hidup. Selain itu, persemaian rakit memiliki keunggulan lainnya yaitu dapat terhindar dari serangan hama serta ketersediaan air yang cukup.
Pertumbuhan anakan sagu yang baik berpengaruh terhadap hasil bibit yang
akan ditanam. Pertumbuhan anakan sagu di persemaian dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan, serangan hama dan kondisi bibit. Kondisi bibit menjadi faktor utama
dalam mempengaruhi daya hidup bibit. Bibit sagu yang sehat, cukup tua, banir
cukup besar dan dari induk yang baik menjadi faktor bibit dengan daya hidup
tinggi (Maulana, 2011).
Pertumbuhan anakan sagu dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang berpengaruh meliputi sinar matahari, kelembaban, suhu udara, dan
kecepatan angin. Sinar matahari berpengaruh besar terhadap pertumbuhan setiap
organ. Sinar matahari berpengaruh juga terhadap kelangsungan proses fotosintesis. Proses fotosintesis meningkat pada siang hari dan kemudian turun pada
sore hari. Peningkatan intensitas cahaya akan menaikkan suhu daun sehingga
penguapan akan tejadi lebih cepat. Penguapan yang berlebihan dapat merugikan
bagi tanaman. Pemberian naungan merupakan salah satu cara untuk mengurangi
intensitas cahaya. Persemaian sagu menggunakan naungan bertujuan untuk mengurangi penguapan yang berlebihan.
Penggunaan naungan pada saat persemaian diharapkan akan memberi pengaruh pada bibit yang disemai. Naungan dapat mengurangi laju transpirasi sehingga hasil fotosintat yang dihasilkan dapat digunakan untuk pertumbuhan bibit
yang optimal.

3

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh naungan terhadap
pertumbuhan bibit sagu. Mendapatkan intensitas naungan yang terbaik untuk
pertumbuhan bibit sagu selama persemaian.

Hipotesis
Hipotesis yang dapat diajukan adalah terdapat pengaruh naungan terhadap
pertumbuhan bibit sagu. Terdapat intensitas naungan terbaik yang berpengaruh
pada pertumbuhan bibit sagu.

4

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Sagu
Sagu (Metroxylon spp.) merupakan tumbuhan Palmae. Sagu termasuk
tanaman monokotil. Sagu dari genus Metroxylon, secara garis besar digolongkan
menjadi dua, yaitu tanaman sagu yang berbunga atau berbuah dua kali (Pleonanthic) dengan kandungan pati rendah dan tanaman sagu yang berbunga atau
berbuah sekali (Hepaxanthic) yang mempunyai nilai ekonomis penting, karena
kandungan patinya lebih banyak (Bintoro et al., 2010). Selain pengelompokan
berdasarkan bunga, Bintoro (2008) juga mengelompokkan sagu berdasarkan ada
tidaknya duri. Sagu berduri terdiri atas sagu Tuni ( M. rumphii Mart), sagu Ihur
(M. sylvestre Mart), sagu Makanaru (M. longispinum Mart) dan sagu Duri Rotan
(M. microcanthum Mart) serta jenis sagu yang tidak berduri yaitu sagu Molat (M.
sagu Rottb). Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993) menambahkan dengan
pembagian sagu berasal dari bagian daerah. Bagian daerah barat Nusantara sagu
lebih umum ditemukan M. sagu Rottb, sedangkan di bagian timur lebih banyak
ditemukan M. rumphii Mart.
Sagu merupakan tumbuhan yang tumbuh secara liar. Jenis sagu yang dibudidayakan terdiri atas Metroxylon sp dan Arenga sp. Balitka telah mengidentifikasi sebanyak 37 aksesi sagu Metroxylon sp, yang berasal dari beberapa
daerah potensi sagu di Indonesia yakni, daerah Papua 30 aksesi, Sulawesi Tenggara 3 aksesi, Maluku 4 aksesi dan 1 jenis aksesi dari jenis Arenga microcarpa di
Sulawesi Utara (Suryana, 2007).
Sagu memiliki batang yang kokoh dan hidup berumpun, menurut Flach
(1997) sagu memiliki daun yang menyirip yang tumbuh di daerah tropis Asia
Tenggara dan Oseania. Daun yang sudah mati dapat meninggalkan selubung pada
batang, tetapi ada yang tidak meninggalkan selubung di batangnya. Pada batang
yang tidak ada selubung memiliki diameter 35-60 cm dan tingginya mencapai 616 m. Batang juga menyimpan pati pada jaringan parenkim sebesar 10-25 % dari
bobot segar. Pada kondisi yang baik sagu dapat memiliki jumlah 24 daun, semakin banyak jumlah daun akan semakin besar diameter batangnya. Daun sagu
bertambah setiap bulan. Satu tangkai daun panjangnya 5-8 m dengan 100-190

5

anak daun. Beberapa anak daun panjangnya dapat mencapai 150 cm dengan lebar
10 cm.
Sagu merupakan tanaman tahunan. Penanaman sagu dilakukan sekali, tetapi akan berproduksi secara berkelanjutan. Sagu dapat dipanen saat berumur 8 tahun (BPBPI, 2007). Suryana (2007) menambahkan bahwa tanaman sagu dalam
pertumbuhan tanaman pokok akan tumbuh tunas sebagai tanaman pengganti.
Sagu dipanen pada batangnya yang akan menghasilkan pati sagu. Pati sagu
berpotensi sebagai bahan pangan alternatif karena mengandung pati yang tinggi.
Batang sagu ditebang saat menjelang berbunga, saat kandungan patinya tinggi.
Pati sagu mengandung amilosa 27 % dan amilopektin 73 %. Kandungan kalori,
protein, dan lemak pada sagu setara dengan tepung lainnya (BPBPI, 2007).

Syarat Tumbuh Sagu
Tanaman sagu merupakan tanaman asli Indonesia. Sagu diperkirakan
berasal dari Maluku dan Papua. Sagu dapat tumbuh baik di daerah Filipina bagian Selatan (Utara) sampai Pulau Rote (Selatan) atau 100 LU - 100 LS dan di
Kepulauan Pasifik (Barat) sampai India (Timur). Di kawasan tersebut hutan sagu
ditemukan pada lahan-lahan dataran rendah sampai ketinggian 1000 m di atas permukaan laut (dpl), di sepanjang tepi sungai, di tepi danau ataupun di rawa-rawa
dangkal (Bintoro, 2000). Bintoro (2008) menambahkan bahwa tanaman sagu
dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian sampai 400 m dpl, lebih dari 400 m
dpl pertumbuhannya lambat dan kadar patinya rendah. Ketinggian di atas 600
mdpl, tinggi tanaman sagu sekitar 6 m. Tegakan sagu secara alamiah ditemukan
sampai 1000 mdpl.
Sagu dapat tumbuh pada lahan yang tergenang tetap sampai yang tidak
tergenang asal kandungan lengas tanah terjamin cukup tinggi, baik oleh genangan
berkala, daya tanah menyimpan air banyak (karena mengandung bahan organik
banyak), maupun oleh air tanah dangkal. Kondisi genangan tetap pertumbuhan
sagu pada fase semai masih baik, akan tetapi pada fase pembentukan batang laju
pertumbuhannya sangat lambat sehingga produksi pati per pohon rendah dan

6

jumlah pohon masak tebang per hektar sedikit. Pertumbuhan dan produksi cukup
baik pada lahan dengan penggenangan berkala atau tidak tergenang (Notohadiprawiro dan Louhenapessy, 1993). Sagu tumbuh baik pada lahan marjinal seperti
gambut, rawa, payau atau lahan tergenang .(BPBPI, 2007).
Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan sagu. Faktor
lingkungan yang berpengaruh antara lain curah hujan, suhu, dan kelembaban
nisbi. Flach (1983) menyatakan suhu untuk pertumbuhan sagu berkisar 24-30 0C.
dengan kelembaban minimal 60 % dan kelembaban optimum 90 %, intensitas
cahaya minimum 900 J/cm2/ hari sampai sinar matahari penuh dan curah hujan
berkisar dari 2000-4000 mm.

Persemaian Sagu
Persemaian adalah tempat atau areal untuk kegiatan memproses benih
menjadi bibit yang siap ditanam di lapangan. Tujuan dari persemaian adalah
memberi kondisi bibit sesuai keadaan di lapang. Proses adaptasi agar bibit dapat
tumbuh dengan baik di persemaian.
Faktor yang mendukung kegiatan persemaian agar dapat berhasil yaitu
bahan tanam, air, media tumbuh, dan pupuk. Bahan tanam merupakan faktor yang
paling penting yang perlu diperhatikan. Pemilihan bahan tanam yang baik dapat
mempengaruhi pertumbuhan bibit. Syarat bahan tanam yang baik bagi suatu
komoditas berbeda-beda tergantung dari komoditasnya.
Tanaman sagu dapat langsung ditanam di lapang atau disemai terlebih
dahulu. Persemaian dilakukan agar bibit sagu dapat tumbuh adaptif di lapang.
Persemaian sagu dapat menggunakan benih atau anakan sagu. Persemaian
dilakukan hanya dalam satu tahap saja, berbeda dengan anggota palmae lainnya
seperti kelapa sawit yang memerlukan dua kali persemaian.
Bahan tanam yang digunakan dapat berasal dari perbanyakan vegetatif
maupun perbanyakan generatif. Perbanyakan vegetatif menggunakan anakan sagu
memiliki daya tumbuh yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan
perbanyakan generatif yaitu benih. Bahan tanam yang digunakan berasal dari
anakan sagu yang memiliki morfologi yang baik. Anakan sagu yang digunakan

7

biasanya disebut bibit. Menurut Bintoro et al., (2010), kriteria bibir yang sehat
dan berkualitas adalah pohon induk pada rumpun yang bibitnya akan diambil
telah mencapai usia dewasa atau telah dipanen, bibit masih segar ditandai dengan
pelepah yang masih hijau, bibit mudah bergerak jika digoyang-goyangkan, bibit
tersebut tidak menempel pada tanaman induk, bobot bibit antara 1,5 kg sampai
dengan 5 kg, kondisi bibit sehat, memiliki akar yang banyak, tempat penyimpanan
bahan makanan (banir) berwarna merah muda dan keras, dan diutamakan memiliki perakaran berbentuk “L” karena memiliki cadangan makanan yang lebih
baik dibandingkan bibit dengan bentuk banir yang lainnya.
Masyarakat Papua dalam melakukan pemilihan bibit berdasarkan kriteria
tertentu menurut asal pengambilan dan tinggi tanaman. Bibit biasanya diambil
dari tunas yang berasal dari pangkal batang (bukan dari tunas akar), tunas dari pohon yang siap dipanen dan tunas yang letaknya di atas permukaan tanah.
Masyarakat Papua juga menggunakan perlakuan khusus terhadap bibit yang ditanam. Perlakuan yang diberikan berbeda-beda antar kelompok masyarakat (Tabel
1) (Kanro et al., 2003).
Tabel 1. Perlakuan bibit sagu sebelum ditanam pada beberapa kelompok
masyarakat di Papua.
Kelompok Masyarakat
Teminabuan
Inanwatan
Wandamen
Ditutup dengan
Tidak dilakukan
Ditutup dengan
Penutupan luka
lumpur dan lumut
penutupan luka
lumpur dan lumut
Akar serbibit
Dipotong sebagian
Tidak dipotong
Dipotong sebagian
Dikurangi hingga Dikurangi hingga Dikurangi hingga
Daun
1-2 helai
1-3 helai
1-3 helai
Diremdam di
Direndam di
Tidak dilakukan
Perendaman
sungai selama 1-4
sungai selama 2-4
perendaman
minggu
minggu
Sumber : Tokede dan Fere (1997).
Perlakuan

Kegiatan persemaian sagu dilakukan dalam sistem kanal. Sistem kanal
menggunakan rakit sebagai tempat persemaian. Rakit berasal dari pelepah sagu.
Anakan sagu yang memenuhi kriteria disusun di atas rakit sedemikian rupa agar
banir yang terendam dan rakit ditempatkan dalam air yang mengalir di tempat
teduh (Haryanto dan Pangloli, 1992). Suryana (2007) mengatakan bahwa bibit
yang direndam bagian pangkal bawahnya pada air mengalir akan menghasilkan

8

presentase bibit yang tumbuh lebih dari 80 %. Menurut Papilaya (2009) anakan
sagu dapat direndam secara langsung dalam air atau sungai kecil atau kolam yang
mengalir. Bintoro et al., (2010) menambahkan bahwa bibit sebelum disemai terlebih dahulu direndam pada larutan fungisida biasanya digunakan Manzate 200,
Dithane M-45 dengan konsentrasi 2 g/l selama 1-2 menit, kemudian bibit dikeringanginkan. Tujuan perendaman bibit untuk mematikan hama dan penyakit
yang mungkin terbawa.
Menurut Listio (2007), bibit yang disemai pada musim hujan akan memiliki daya hidup yang lebih baik dibandingkan bibit yang disemai pada musim
kemarau, karena bibit yang ditanam pada musim kemarau rawan kekeringan dan
mengeras sehingga sukar tumbuh.
Persemaian bibit sagu selama 3 bulan. Bibit sagu setelah berumur 3 bulan
akan memiliki jumlah daun 2-3 helai dan perakaran yang baik sehingga bibit siap
ditanam ke lapangan (Bintoro et al., 2010). Persemaian yang terlalu lama akan
menyebabkan bibit menjadi besar (akar banyak, daun berkisar 4-6 daun) (Bintoro
et al., 2007).

Pengaruh Naungan
Cahaya adalah faktor lingkungan yang diperlukan untuk mengendalikan
pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Cahaya yang digunakan adalah cahaya tampak. Cahaya tampak merupakan sumber energi yang digunakan tumbuhan untuk melakukan fotosintesis, dan bagian spektrum energi radiasi. Spektrum
cahaya merah lebih efisien, lalu disusul cahaya biru, sedangkan spektrum cahaya
hijau paling tidak efisien dalam penyerapan cahaya oleh daun (Gardner et al.,
1991).
Naungan merupakan kondisi lebih rendahnya intensitas cahaya yang diterima oleh bibit. Unsur radiasi matahari yang penting bagi tanaman yaitu intensitas cahaya, kualitas cahaya dan lama penyinaran. Intensitas cahaya yang rendah
mengakibatkan jumlah cahaya yang diterima oleh setiap luasan permukaan daun
dalam jangka waktu tertentu rendah (Gardner et al., 1991). Kondisi kekurangan
cahaya akan menganggu proses fotosintesis dan sintesis karbohidrat. Cruz (1997)

9

menyatakan naungan dapat mengurangi enzim fotosintetik yang berfungsi sebagai
katalisator dalam fiksasi CO2 dan menurunkkan titik kompensasi.
Banyak spesies memerlukan naungan pada awal pertumbuhannya, walaupun dengan bertambahnya umur naungan dapat dikurangi secara bertahap. Beberapa spesies yang berbeda mungkin tidak memerlukan naungan dan yang lain
mungkin memerlukan naungan mulai awal pertumbuhannya. Pengaturan naungan
sangat penting untuk menghasilkan semai yang berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan suhu dan evaporasi. Pemberian naungan dapat menurunkan evaporasi (Suhardi, 1995).
Naungan akan mempengaruhi iklim mikro di sekitar bibit. Iklim mikro
yang sangat berpengaruh yaitu kelembaban udara, suhu udara dan cahaya matahari. Kelembaban udara mempengaruhi laju transpirasi. Peningkatan kelembaban
udara di sekitar daun mengakibatkan penurunan tekanan uap di antara daun dan
udara di sekitar sehingga mengakibatkan penurunan laju transpirasi. Suhu udara di
sekitar tanaman sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman
terutama asimilasi dan respirasi. Bila suhu udara meningkat maka fotosintesis
naik sampai optimum dan kemudian turun sampai maksimum. Cahaya matahari
berpengaruh terhadap pertumbuhan setiap organ keseluruhan tubuh tumbuhan
secara langsung. Kelembaban udara akan berubah dengan perubahan energi panas
matahari dan suhu udara dapat mengakibatkan bibit mengering terlebih apabila
disertai dengan angin. Angin merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap evaporasi (Sudaryono, 2004).
Radiasi cahaya yang tinggi akan menyebabkan fotosintesis terjadi dalam
kondisi yang tinggi sehingga menghasilkan asimilat yang tinggi. Radiasi matahari
yang tinggi diikuti pula dengan suhu udara yang tinggi. Suhu udara yang tinggi
dapat menyebabkan respirasi terjadi dengan laju yang tinggi. Respirasi terjadi
dengan merombak hasil asimilat. Asimilat yang digunakan untuk respirasi tinggi
menyebabkan asimilat yang ditransportasikan ke bagian tanaman rendah, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi rendah. Naungan dapat mempengaruhi pertumbuhan tinggi dan diameter batang. Hani (2009) menambahkan pada bibit
Khaya antotheca naungan 40 % memberikan pengaruh pertumbuhan tinggi dan
batang yang paling optimal.

10

Asimilat yang digunakan untuk pertumbuhan yang kurang perlu diatasi
agar tanaman dapat tumbuh dengan optimal. Pengurangan laju respirasi dapat
mengurangi jumlah asimilat yang digunakan. Respirasi dapat dikurangi dengan
mengurangi suhu dan meningkatkan kelembaban udara di sekitar tanaman. Pengurangan suhu dapat dilakukan dengan pemberian naungan sehingga asimilat
dapat disimpan dalam jumlah yang besar. Gardner et al (1991) menyatakan tanaman dalam kondisi ternaungi akan mengurangi kecepatan respirasi untuk menurunkan kompensasi, peningkatan luas daun guna memperoleh permukaan yang
lebih besar untuk melakukan absorbsi cahaya dan peningkatan kecepatan fotosintesis pada setiap unit energi cahaya .
Peningkatan luas daun merupakan kemampuan tanaman dalam mengatasi
cekaman naungan. Peningkatan luas daun adalah upaya tanaman dalam mengefisienkan penangkapan energi cahaya untuk fotosintesis secara normal pada kondisi intensitas cahaya rendah (Djukri dan Purwoko, 2003).
Tanaman sagu untuk proses pertumbuhan dan perkembangan membutuhkan sinar matahari penuh, tetapi pada fase pembibitan dengan menggunakan
anakan, sagu membutuhkan naungan dengan intensitas tinggi (Flach, 1983; Schuiling dan Flach 1985). Flach (1977) menyatakan bahwa pada keadaan cahaya
matahari cukup bibit sagu dapat membentuk 2 daun setiap bulan.

11

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat
Kegiatan percobaan dilaksanakan di Kebun sagu PT. National Sagu Prima,
Selat Panjang, Propinsi Riau. Percobaan dilaksanakan selama 5 bulan mulai bulan
Februari sampai Juni 2012.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah bibit sagu yang mempunyai bobot 1.2-4 kg,
berbentuk “L” dan Tapal Kuda, fungisida dengan bahan aktif Mancozeb 80 %
konsentrasi 2 g/l, Insektisida dengan bahan aktif Fipronil 2ml/l, rakit dengan
ukuran 2,5 m x 1 m dan paranet. Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah
Luxmeter untuk mengukur intensitas cahaya, Thermo-Hidrometer Corona untuk
mengukur suhu dan kelembaban udara, meteran, parang, palu untuk pembuatan
kerangka naungan.

Metode
Percobaan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT)
satu faktor yaitu naungan. Naungan yang digunakan yaitu paranet. Naungan terdiri atas 4 taraf perlakuan yaitu kontrol, 25 %, 50 % dan 75 %. Setiap perlakuan
diulang 6 kali sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas satu rakit yang dapat memuat 74-100 bibit dan diambil 40 bibit sebagai
bibit contoh. Total bibit yang digunakan sebanyak 2062 bibit, dengan jumlah bibit
yang diamati 960 bibit.
Model percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yij = µ + τi + βj + εij
Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan naungan ke-i, ulangan ke-j.
µ = Nilai tengah umum

12

τi = Pengaruh naungan ke-i
βj = Pengaruh kelompok ke-j
εij

= Pengaruh galat percobaan perlakuan naungan ke-i, ulangan ke-j.

(Gomez dan Gomez., 1995).
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam. Jika hasil analisis
ragam menunjukkan pengaruh nyata, maka akan dilakukan pengujian lanjutan
menggunakan uji lanjut DMRT pada taraf 5 %. Pengujian dilakukan dengan
asumsi pengaruh perlakuan dan pengaruh lingkungan bersifat aditif, galat percobaan memiliki ragam yang homogen, galat percobaan saling bebas, dan galat
menyebar normal.

Pelaksanaan
Pelaksanaan penelitian dilaksanakan dalam beberapa tahap yaitu :
1.

Persiapan Bahan dan Alat.

a

b

c

Gambar 1. Bahan-bahan yang Digunakan, a : bibit, b : rakit, c : paranet.
Berdasarkan Gambar 1 bibit sagu yang digunakan memiliki kriteria bebas
dari hama dan penyakit, tempat penyimpanan cadangan makanan (banir) berwarna
merah muda, berbentuk L dan Tapal kuda, dan memiliki bobot berkisar 1,2-4 kg.
Rakit dibuat dari pelepah daun sagu yang sudah dibuang daunnya. Bahan lain
yang disiapkan yaitu fungi-sida Mancozeb 80 % untuk mencegah bibit terserang
penyakit, serta paranet yang digunakan sebagai naungan. Naungan yang diberikan
kontrol (0 %), 25 %, 50 % dan 75 % yang di pasang pada tiang di sekitar rakit.

13

2. Persemaian

b

a

c

Gambar 2. Tahapan Persemaian Bibit, a : Pemangkasan Bibit, b : Perendaman
Bibit dengan Larutan Fungisida, c: Penyusunan Bibit di Rakit.
Berdasarkan Gambar 2 bibit ditata sedemikian rupa di dalam rakit. Bibit
yang akan disemai ter-lebih dahulu dipangkas daunnya dengan ketinggian 20-30
cm dari banir. Tujuan-nya agar evaporasi dapat ditekan dan mempercepat
pemunculan tunas. Perendam-an menggunakan fungisida dengan konsentrasi 2 g/l
selama 5-20 menit sebelum dimasukkan ke dalam rakit. Naungan di pasang pada
tiang sebelah kanan dan kiri rakit untuk setiap perlakuan. Rakit yang sudah berisi
bibit di turunkan ke kanal dan diberi tali untuk diikat dengan tiang paranet agar
rakit tidak terbawa arus. Penyemaian dilakukan tidak di kanal utama.
3. Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan meliputi memperbaiki letak bibit yang jatuh atau
berubah posisi, membenarkan posisi rakit jika berubah, serta membersihkan
ranting yang tersangkut pada rakit.

Pengamatan
Percobaan dilakukan selama 3 bulan dengan pengamatan setiap dua minggu sekali. Pengamatan pertama dimulai 2 minggu setelah penyemaian (MSP).
Peubah yang diamati yaitu :
1. Jumlah bibit hidup, dengan dihitung jumlah bibit yang hidup dari total
bibit yang digunakan.

14

2. Tinggi bibit, diukur mulai dari banir sampai ujung daun teratas.
3. Jumlah daun, dihitung jumlah daun total yang sudah mekar.
4. Panjang anak daun, diukur dari pangkal daun hingga ujung daun pada daun
teratas yang sudah mekar
5. Lebar anak daun, diukur pada daun yang juga digunakan untuk menghitung panjang daun.
6. Panjang akar, diukur berdasarkan panjang akar primer terpanjang yang
tumbuh pada bibit.
7. Jumlah akar, diukur berdasarkan jumlah akar primer yang tumbuh.
8. Intersitas cahaya, pengukuran dilakukan di dalam dan luar naungan menggunakan Luxmeter. Data tersebut digunakan untuk menghitung presentasi
naungan efektif dengan rumus:
Presentase naungan = (1- )

keterangan : I = intensitas cahaya di dalam naungan

% ,

D = intensitas cahaya di luar naungan
9. Suhu dan kelembaban udara, dilakukan dengan mengukur suhu dan
kelembaban di dalam naungan dan di luar naungan.
10. Umur muncul akar nafas, dengan mengamati waktu munculnya akar
nafas (Gambar 3).

Gambar 3. Akar Nafas yang Muncul

15

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum
Bibit sagu selama persemaian menunjukkan pertumbuhan yang baik.
Persemaian dilaksanakan pada pertengahan bulan Februari sampai akhir Mei.
Intensitas curah hujan pada bulan tersebut tinggi berkisar 78.4 mm – 289.5 mm.
Suhu rata-rata pada pagi hari 28.6 0C, siang hari 32.9 0C dan pada sore hari 31.4
0

C, serta kelembaban rata-rata pada pagi hari 76.4 %, pada siang hari 55.7 % dan

pada sore hari 63.7 %.
Pertumbuhan bibit melambat pada awal persemaian, namun kemudian
meningkat pada saat bibit muncul daun. Kondisi pertumbuhan bibit yang melambat disebabkan bibit mengalami pengadaptasian terhadap lingkungan persemaian. Kondisi adaptasi awal bibit di persemaian mempunyai pengaruh yang
cukup besar terhadap presentase hidup bibit di persemaian. Kondisi pertumbuhan
bibit dapat di lihat pada Gambar 4.

Umur 0 Bulan (Saat Persemaian)

Umur 1.5 Bulan

Umur 3 bulan
Gambar 4 : Kondisi Pertumbuhan Bibit selama Persemaian.

16

Kegiatan pemeliharaan dilaksanakan dengan memperbaiki letak posisi bibit yang berubah, membersihkan lumut, memasang kayu penyangga pada rakit
agar tidak tenggelam serta perlindungan dari hama. Kegiatan pemasangan kayu
penyangga pada rakit dilakukan pada umur 1,5 bulan di persemaian. Kayu diletakkan di bawah rakit. Tujuan pemberian penyangga agar rakit tidak tenggelam saat
bibit sudah berdaun yang akan meningkatkan bobot bibit.
Hama yang menyerang dan mengganggu pertumbuhan bibit yaitu belalang
(Valanga sp.). Belalang memakan daun yang mekar sehingga banyak daun yang
rusak (Gambar 5). Kerusakan paling besar pada perlakuan naungan 75 % karena
belalang lebih menyukai tempat yang teduh dibandingkan yang panas. Penyemprotan menggunakan insektisida Fipronil dilakukan untuk mencegah serangan semakin besar. Penyemprotan insektisida dilakukan pada saat tingkat serangan tertinggi yaitu pada umur 2 bulan. Penyemprotan dilakukan pada pagi hari, karena
pada waktu pagi hari belalang belum memulai aktivitas sehingga lebih memberikan keberhasilan penyemprotan. Penyemprotan dilakukan merata untuk setiap
rakit.
Pertumbuhan bibit pada akhir persemaian menunjukkan pertumbuhan
yang baik, daun lebih cepat muncul, pertumbuhan tinggi bibit baik. Presentase
hidup bibit berkisar 79 % - 81 %. Pertumbuhan bibit tidak seragam, karena masih
terdapat beberapa bibit yang pertumbuhannya terhambat atau tidak ada pertumbuhan dari awal persemaian. Pertumbuhan bibit yang kurang seragam diduga
pengaruh genotip bibit.

Gambar 5. Kerusakan Akibat Serangan Belalang

17

Hasil

Pelakuan naungan hanya berpengaruh terhadap tinggi bibit pada 2 MSP.
Naungan tidak memberi pengaruh terhadap jumlah daun, panjang dan lebar anak
daun pangkasan, lebar anak daun 1, panjang dan lebar anak daun 2 serta jumlah
dan panjang akar primer. Hasil pengukuran iklim mikro antar perlakuan tidak
berbeda. Persemaian dilaksanakan pada musim penghujan, saat itu intensitas
cahaya matahari rendah, sehingga diduga menjadi penyebab pengaruh naungan
kurang terlihat. Rekapitulasi hasil analisis ragam dapat di lihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh intensitas naungan
terhadap pertumbuhan vegetatif bibit.
Peubah

Presentase Hidup Bibit

Tinggi bibit

Jumlah daun

Panjang Anak Daun Pangkasan

Lebar Anak Daun Pangkasan

MSP
2
4
6
8
10
12
0
2
4
6
8
10
12
4
6
8
10
12
4
6
8
10
12
4
6
8
10
12

P
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
*
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn

KK
2.874
4.164
4.477
4.808
5.323
5.749
4.641
3.744
4.672
5.346
6.308
7.376
8.891
252.434
78.997
29.826
25.655
25.315
16.436
35.327
13.756
16.659
16.419
3.265
9.811
6.662
8.889
9.669

18

Tabel 2. Lanjutan
Peubah
Panjang Anak Daun ke 1

Lebar anak Daun ke 1

Panjang Anak Daun ke 2
Lebar Anak Daun ke 2
Jumlah Akar Primer
Panjang Akar Primer

MSP
6
8
10
12
6
8
10
12
10
12
10
12
13
13

P
tn
tn
*
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn

KK
14.265
30.732
41.094
30.627
2.375
6.385
6.252
8.708
12.741
35.386
1.461
6.639
16.744
12.548

Ket : Naungan (P), tidak berbeda nyata (tn), berbeda nyata (*), berbeda sangat nyata (**),
koefisien keragaman (kk). Transformasi presentase hidup menggunakan Arcsin √ x,
jumlah daun, panjang dan lebar daun pangkasan, lebar daaun ke 1, serta panjang dan lebar
daun ke 2 menggunakan (√ x+0,5).

Iklim Mikro
Iklim mikro merupakan kondisi lingkungan di sekitar persemaian. Pengamatan iklim mikro dilakukan setiap 2 minggu sekali. Perlakuan naungan memberikan intensitas cahaya yang berbeda-beda antar perlakuan.
Tabel 3. Data iklim mikro pada berbagai intensita naungan.
Perlakuan
Naungan

Suhu Air
(0C)

Suhu udara
(0C)

Kelembaban
(%)

0%
25 %
50 %
75 %

29.0
29.2
29.0
28.8

32.8
29.7
29.6
29.4

66.6
67.1
68.9
69.1

Intensitas
Cahaya
(J/cm2/hari)
1242.19
788.94
615.17
319.79

Intensitas
Naungan
efektif (%)
0
30.66
46.07
70.61

Semakin besar intensitas naungan yang diberikan maka intensitas cahaya
yang diterima bibit semakin berkurang. Tingkat naungan 0 % - 25 % menyebabkan intensitas cahaya yang diterima bibit berkisar antara 788.943 joule/cm2/hari 1242.195 joule/cm2/hari. Intensitas cahaya semakin rendah dengan semakin me-

19

ningkatnya intensitas naungan yang diberikan. Tingkat naungan 50 % - 75 %
memberikan intensitas cahaya berkisar 319.794 joule/cm2/hari - 615.173 joule/cm2/hari (Tabel 3). Pengukuran intensitas cahaya berguna untuk melihat efektivitas naungan di lapangan. Pengamatan iklim mikro juga dilaksanakan pada
suhu udara, suhu air dan kelembaban. Suhu air tidak berbeda antar perlakuan,
nilainya berkisar 28.8 0C sampai 29.2 0C.

Presentase Hidup Bibit
Presentase hidup bibit didapat dengan mengamati jumlah bibit yang hidup
mulai 2 hingga 12 MSP. Presentase hidup bibit setiap minggunya mengalami
penurunan (Gambar 6). Pemberian perlakuan naungan selama persemaian tidak
berpengaruh nyata terhadap presentase hidup bibit (Tabel 2). Rata-rata presentase
hidup bibit pada akhir pengamatan berkisar 79.793 % sampai 81.935 % (Tabel 4).
Tabel 4. Rata-rata presentase hidup bibit selama persemaian.
MSP
2
4
6
8
..................................%..............................

Perlakuan
Naungan

0

0%
25 %
50 %
75 %

100
100
100
100

92.748
93.497
92.598
94.713

87.017
87.638
84.818
88.728

86.272
87.032
83.897
88.107

84.750
84.952
82.958
86.148

10

12

82.245
83.170
81.275
83.770

80.673
81.935
79.793
80.977

Presentase Hidup Bibit

105

95
0%
25%

85

50%
75%

75
0

2

4

6

8

10

12

Minggu ke-

Gambar 6. Presentase Hidup Bibit setiap Minggu.

20

Tinggi Bibit
Pengamatan terhadap tinggi bibit dilakukan dari 0 sampai 12 MSP. Perlakuan naungan hanya memberikan pengaruh nyata pada 2 MSP (Tabel 2).
Perlakuan naungan 50 % dan 75 % menghasilkan tinggi yang berbeda nyata pada
2 MSP dari perlakuan naungan 25 % dan perlakuan tanpa naungan (0%). Ratarata tinggi bibit berkisar 58.558 cm sampai 59.968 cm (Tabel 5). Berdasarkan
Gambar 7, tinggi bibit memiliki kecenderungan pertumbuhan linier tidak berbeda
antar perlakuan, dengan nilai koefisien regresi antar perlakuan yang berdekatan
yaitu antara 0.991 sampai 0.996.
Tabel 5. Rata-rata pertambahan tinggi bibit.
MSP
0
2
4
6
8
..................................cm.............................

Perlakuan
Naungan

25.490
24.855
25.838
26.217

0%
25 %
50 %
75 %

28.248
28.326
29.795
29.724

32.791
32.955
34.305
34.629

39.313
39.888
40.449
41.237

60

12

53.434
53.542
52.555
52.435

59.968
58.723
58.558
59.647

y = 2,793x + 24,46
r = 0,996** (50%)
y = 2,967x + 22,96
r= 0,994** (25%)

50

(Cm)

47.342
47.084
47.077
47.521

10

y = 3,006x + 22,90
r = 0,991** (0%)
y = 2,832x + 24,63
r = 0,996** (75%)

40

0%
25%
50%
75%

30

20
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Minggu ke-

Gambar 7. Tinggi Bibit Setiap Minggu

10

11

12

21

Jumlah Daun
Pengukuran jumlah daun dilakukan pada daun yang sudah terbuka sempurna baik daun pangkasan maupun daun baru yang sudah mekar. Daun
pangkasan adalah daun yang tumbuh setelah dipangkas dan bentuknya tidak utuh,
sedangkan daun baru adalah daun yang muncul dari tunas dan memiliki bentuk
yang utuh.
Pemberian naungan selama persemaian tidak berpengaruh terhadap jumlah
daun (Tabel 2). Rata-rata jumlah daun yang terbentuk berkisar antara 0.502
sampai 0.533 (Tabel 6). Berdasarkan Gambar 8, pertambahan jumlah daun
memiliki kecenderungan bertambah secara linier tidak berbeda antar perlakuan,
dengan nilai koefisien regresi antara 0.967 sampai 0.985.
Tabel 6. Rata-rata pertumbuhan jumlah daun.
Perlakuan
Naungan
0%
25 %
50 %
75 %

MSP
4
6
8
...........................pelepah.......................
0.000
0.004
0.017
0.004

0.047
0.043
0.098
0.058

0.172
0.157
0.219
0.194

10

12

0.379
0.335
0.312
0.325

0.553
0.553
0.529
0.502

0,6
y = 0,071x - 0,345
r= 0,977** (25%)

0,5

y = 0,069x - 0,337
r = 0,967** (0%)

(pelepah)

0,4
0,3

y = 0,061x - 0,260
r = 0,981** (50%)
y = 0,063x - 0,288
r = 0,985** (75%)

0,2

0%

0,1

25
%

0
4

6

8

10

-0,1
Minggu ke-

Gambar 8. Pertumbuhan Jumlah Daun

12

22

Panjang Anak Daun Pangkasan
Panjang anak daun pangkasan dimulai pengukuran pada minggu ke 4. Pengukuran dilakukan pada daun pangkasan. Daun pangkasan adalah daun yang
tumbuh setelah dipangkas dan bentuknya tidak utuh. Perlakuan naungan tidak
memberikan pengaruh terhadap panjang anak daun pangkasan selama persemaian
(Tabel 2). Pertumbuhan panjang anak daun pangkasan setiap minggunya mengalami pertambahan (Gambar 9). Rata-rata panjang anak daun pangkasan pada
akhir pengamatan berkisar 6.661 cm sampai 8.170 cm (Tabel 7).
Tabel 7. Rata-rata pertumbuhan panjang anak daun pangkasan
MSP
6
8
...........................cm.......................

Perlakuan
Naungan

4

0%
25 %
50 %
75 %

0.000
0.063
0.229
0.115

1.161
0.941
1.888
0.986

3.874
3.355
4.132
3.721

10

12

6.304
5.922
4.969
5.669

8.170
7.488
6.661
7.523

9
8
7

(cm)

6
5

0%

4

25%

3

50%

2

75%

1
0
4

6

8

10

12

Minggu ke-

Gambar 9. Pertumbuhan Panjang Anak Daun Pangkasan

23

Lebar Anak Daun Pangkasan
Lebar anak daun pangkasan dimulai pengukuran pada minggu ke 4. Pengukuran dilakukan pada daun pangkasan. Daun pangkasan adalah daun yang
tumbuh setelah dipangkas dan bentuknya tidak utuh. Perlakuan naungan tidak berpengaruh terhadap lebar anak daun pangkasan (Tabel 2). Pertumbuhan lebar anak
daun pangkasan setiap minggunya mengalami pertambahan (Gambar 10). Ratarata lebar anak daun pangkasan berkisar 0.819 cm sampai 0.923 cm (Tabel 8).
Tabel 8. Rata-rata pertumbuhan lebar anak daun pangkasan
MSP
6
8
...........................cm.......................

Perlakuan
Naungan

4

0%
25 %
50 %
75 %

0.000
0.011
0.035
0.015

0.112
0.096
0.252
0.123

0.431
0.386
0.515
0.419

10

12

0.711
0.698
0.639
0.662

0.919
0.923
0.819
0.894

1
0,9
0,8
0,7

(cm)

0,6
0%

0,5

25%
0,4
50%
0,3

75%

0,2
0,1
0
4

6

8

10

12

Minggu ke-

Gambar 10. Pertumbuhan Lebar Anak Daun Pangkasan.

24

Panjang Anak Daun Baru
Pengukuran panjang anak daun baru dimulai pada minggu ke 6 untuk panjang anak daun 1 dan pada minggu ke 10 untuk panjang anak daun 2. Pengukuran
dilakukan pada daun baru yang muncul setelah daun pangkasan yang bentuknya
masih utuh. Naungan berpengaruh nyata terhadap panjang anak daun ke 1 (Tabel
2). Perlakuan tanpa naungan menghasilkan panjang anak daun ke 1 lebih baik
dibandingkan perlakuan naungan. Pertumbuhan panjang anak daun ke 1 mengalami pertambahan setiap minggunya (Gambar

Dokumen yang terkait

Pengelolaan Perkebunan Sagu (Metroxylon spp.) di PT. National Timber and Forest Product Unit HTI Murni Sagu, Selatpanjang, Riau, dengan Studi Kasus Persemaian Menggunakan Berbagai Media dan Bobot Bibit

0 16 63

Evaluasi Hasil Studi Pengaruh Inokulasi Fungi Ektomikoriza Terhadap Respon Pertumbuhan Bibit Shorea Spp. Di Persemaian

0 3 133

Pengelolaan sagu (Metroxylon sagu Rottb.) di PT. National Sago Prima, Kab. Kepulauan Meranti, Riau, dengan studi kasus pengaruh teknik persemaian dan jenis tanaman induk terhadap pertumbuhan bibit sagu

0 7 150

Pengelolaan perkebunan sagu (Metroxylon spp) di PT. National Sago Prima, Selat Panjang, Riau: seleksi bibit sagu berdasarkan jenis, tinggi pohon induk dan bobot bibit sagu terhadap pertumbuhan bibit sagu di persemaian

2 8 127

Pengaruh Pemberian Pupuk N Dengan Berbagai Dosis Terhadap Pertumbuhan Awal Bibit Sagu (Metroxylon spp.) di Persemaian Dengan Sistem Polibag

0 5 122

Pengaruh Pemberian Pupuk K dengan Berbagai Dosis terhadap Pertumbuhan Awal Bibit Sagu di Persemaian dengan Sistem Polibag

0 3 101

Pengaruh Pemberian Pupuk P dengan Berbagai Dosis terhadap Pertumbuhan Awal Bibit Sagu di Persemaian dengan Sistem Polibag

1 6 114

Perbanyakan tanaman sagu (Metroxylon spp ) secara ex vitro(di persemaian polibag dan rakit) dan in vitro melalui kultur jaringan

1 19 146

Perbanyakan tanaman sagu (Metroxylon spp.) secara ex vitro(di persemaian polibag dan rakit) dan in vitro melalui kultur jaringan

1 21 271

PENGARUH INTENSITAS SERANGAN ANTRAKNOSA PADA BUAH CABAI (Capsicum annuuM L.) TERHADAP TERSERANGNYA BIBIT DI PERSEMAIAN.

0 0 10