Pengaruh konsumsi biskuit terhadap status gizi dan tingkat morbiditas balita yang berstatus gizi buruk atau kurang di tiga tipologi wilayah kabupaten Sukabumi

(1)

PENGARUH KONSUMSI BISKUIT TERHADAP STATUS GIZI DAN TINGKAT MORBIDITAS BALITA YANG BERSTATUS GIZI

BURUK ATAU GIZI KURANG DI TIGA TIPOLOGI WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI

DANI NUGRAHA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(2)

ABSTRACT

DANI NUGRAHA. Influence of Biscuit Consumption on Nutritional Status and Morbidity Level of Under Five Children that had Severe Nutritional Status or Less Nutritional Status on three typology’s of Sukabumi District Area. Supervised by

DADANG SUKANDAR and LEILY AMALIA.

The objective of this research was to analyzed effect of biscuit consumption toward nutritional status and morbidity level of under five children who were severe nutritional status or less nutritional status on three typology’s in Sukabumi district. The research was conducted in the period of March to June 2011. The sample size in the research is 48 under five children who were severe nutritional status or less nutritional status, from poor family, biscuit government programme beneficiary of Sukabumi district and willing as participant in this research for 88 days.

Average energy and protein intake, nutritional status and morbidity level under five children after consuming biscuit are higher significantly than before. The results show that there is positive correlation between biscuit consumption and nutritional status, and morbidity level.


(3)

RINGKASAN

DANI NUGRAHA. Pengaruh konsumsi biskuit terhadap status gizi dan tingkat morbiditas balita yang berstatus gizi buruk atau gizi kurang di tiga tipologi wilayah kabupaten Sukabumi dibawah bimbingan DADANG SUKANDAR dan LEILY AMALIA.

Berdasarkan laporan Riskesdas 2010, terdapat sekitar 13% balita menderita gizi kurang. Menurut UNICEF (1998) terdapat berbagai penyebab timbulnya masalah gizi pada balita yaitu : , sebagai penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi, dan , penyebab tidak langsung yaitu pola pengasuhan anak, pelayanan kesehatan, kesehatan lingkungan dan ketahanan pangan keluarga. Optimalisasi penanganan masalah gizi pada balita melalui diversifikasi pengembangan formula makanan tambahan merupakan salah satu solusi dalam menurunkan prevalensi gizi kurang. Tujuan umum penelitian ini adalahmenganalisis pengaruh konsumsi biskuit terhadap status gizi dan tingkat morbiditas balita yang berstatus gizi buruk atau kurang di tiga tipologi wilayah Kabupaten Sukabumi. Tujuan khusus penelitian ini; 1) Mengidentifikasi karakteristik balita dan keluarga; 2) Menganalisis pola asuh balita dalam keluraga; 3) Menganalisis kondisi lingkungan tempat tinggal balita; 4) Menganalisis asupan dan tingkat kecukupan energi dan protein balita tanpa dan dengan konsumsi biskuit; 5) Menganalisis kontribusi konsumsi biskuit terhadap tingkat kecukupan energi dan protein; 6) Mengidentifikasi status gizi balita sebelum dan setelah intervensi; 7) Menganalisis tingkat kepatuhan ibu dalam memberikan biskuit bergizi kepada balita gizi buruk dan kurang; 8) Menganalisis tingkat morbiditas / status kesehatan pada balita yang diberikan intervensi biskuit bergizi; 9) Menganalisis hubungan antara konsumsi biskuit dengan status gizi; 10)Menganalisis hubungan antara konsumsi biskuit dengan morbiditas.

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung mengenai program intervensi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang diperkaya tepung Ikan Lele Dumbo ( ) pada balita gizi buruk dan kurang di tiga tipologi wilayah Kabupaten Sukabumi. Desain yang digunakan yaitu survey, lokasi penelitian ini terdiri dari tiga puskesmas yaitu Kadudampit, Cikidang, dan Citarik. Pemilihan lokasi penelitian di pilih berdasarkan analisis dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi dengan kriteria lokasi penelitian yang dipilih merupakan lokasi tempat pelaksanaan program intervensi biskuit pada balita gizi buruk dan kurang, dan merupakan wilayah dataran tinggi, sedang dan rendah. Contoh dalam penelitian ini adalah balita (1?5 tahun) yang berdasarkan hasil pengukuran antropometri tergolong dalam gizi kurang dan buruk berdasarkan indikator BB/U dengan Z score ≥ ?3.0 s/d < ?2.0, mendapatkan PMT biskuit dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi dan balita contoh tergolong dalam keluarga miskin. Jumlah contoh dalam penelitian ini yaitu sebanyak 48 balita yang diambil secara langsung melalui pendekatan . Data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data karakteristik keluarga (umur orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, besar keluarga, dan pendapatan keluarga), karakteristik balita (umur balita, jenis kelamin, berta badan dan tinggi badan balita), pola asuh balita, kondisi lingkungan tempat tinggal balita, konsumsi makan, jumlah konsumsi biskuit dan status kesehatan/morbiditas. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan

program dan (SPSS)


(4)

Lebih dari separuh jumlah balita contoh (68.7%) adalah perempuan. Usia balita contoh adalah pada kisaran usia 12? 60 bulan dengan proporsi terbesar usia contoh antara 12?23 bulan (58.3%). Umur ayah dan ibu balita contoh sebagian besar tergolong dalam dewasa awal (20?40 tahun). Tingkat pendidikan ayah (54.2%) dan ibu (70.8%) memiliki presentase terbesar pada tingkat sekolah dasar atau sederajat. Proporsi terbesar pekerjaan ayah adalah buruh non tani (33.3%), buruh tani (25%) dan petani (25%) sedangkan ibu sebagian besar adalah ibu rumah tangga (100%). Separuh balita contoh berasal dari keluarga sedang dengan jumlah angota keluarga 5?7 orang. Lebih dari separuh contoh (64.5%) berasal dari keluarga tergolong miskin.

Pola asuh makan ibu terhadap balita contoh sebagian besar termasuk kategori sedang (58.3%) yang disebabkan masih banyak ibu yang tidak memberikan ASI ekslusif kepada anaknya serta banyaknya ibu balita yang tidak menyedikan makanan lengkap untuk anaknya. Pola asuh perawatan kebersihan balita contoh sebagian besar termasuk kategori sedang (54.2%), dan untuk pola asuh terhadap akses pelayanan kesehatan dasar ibu terhadap anaknya sebagian besar tergolong baik (47.9%). Hal ini menunjukkan tingginya kesadaran Ibu untuk mau memanfaatkan pelayanan kesehatan yang telah disediakan. Kondisi Lingkungan tempat tinggal balita contoh sebagian besar (66.7%) termasuk dalam kategori sedang.

Rata?rata asupan energi dan protein balita contoh berturut?turut sebelum intervensi yaitu 591.3 kalori dan 10.7 g. Sedangkan konsumsi pada akhir intervensi setelah ditambahkan kontribusi biskuit mengalami peningkatan yang cukup signifikan menjadi 754.4 kalori dan 13.5 g. Hasil uji statistik menggunakan menunjukkan ada perbedaan yang nyata antara konsumsi zat gizi pada awal intervensi dengan konsumsi zat gizi akhir intervensi setelah ditambahkan zat gizi dari biskuit dengan nilai P < 0.05. Sebelum intervensi sebagian besar balita contoh tingkat kecukupan energi (58.3%) tergolong deficit berat dan hanya (2.1%) yang tergolong cukup. Setelah dilakukan intervensi tingkat konsumsi energi balita contoh mengalami peningkatan, terlihat dengan meningkatnya jumlah balita dengan konsumsi cukup menjadi (48%) dan penurunan jumlah balita dengan kategori deficit berat menjadi (4%). Tingkat konsumsi protein sebelum intervensi sebagian besar balita contoh dalam kategori defisit berat (47.9%), defisit sedang (35.4%), deficit ringan (10.4%) dan balita contoh dengan tingkat kecukupan protein cukup (6.3%). Setelah diberikan intervensi terjadi peningkatan konsumsi protein yang ditunjukkan dengan sebagian besar balita contoh tingkat kecukupan proteinnya tergolong cukup (52.1%). Hasil uji statistik menggunakan uji menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata antara tingkat konsumsi zat gizi sebelum intervensi dengan konsumsi zat gizi setelah intervensi dengan nilai P < 0.05.

Rata?rata kontribusi energi dari biskuit sudah di atas 15 % AKG energi yaitu 15.4% dari AKG. Kontribusi energi tertinggi yaitu mencapai 26.5 % dari AKG sebesar 196 Kalori. Sedangkan rata?rata kontribusi protein dari konsumsi biskuit cukup tinggi yaitu 21.6% dari kecukupan / AKG.Kontribusi protein terbesar yaitu 8.3 g atau setara dengan 26.1% AKG balita contoh.

Tingkat kepatuhan balita contoh dalam mengkonsumsi biskuit sebagian besar tergolong tinggi (70.8%), dengan rata?rata konsumsi biskuit 3 keping/hari. Tingkat kepatuhan balita dikatakan tinggi apabila mengkonsumsi biskuit >70% dari total biskuit yang diberikan selama 88 hari. Selama 88 hari / 3 bulan intervensi terjadi penurunan konsumsi biskuit pada balita contoh yaitu pada bulan ke 2 dan ke3, karena balita mulai bosan dengan biskuit yang diberikan. Kepatuhan balita contoh dalam mengkonsumsi biskuit lele berhubungan


(5)

signifikan dengan status gizi dengan hasil uji statistik (P<0.05) yang artinya balita yang patuh mengkonsumsi biskuit memiliki status gizi yang lebih baik dibandingkan dengan balita yang kurang atau tidak patuh mengkonsumsi biskuit lele. Kepatuhan konsumsi biskuit yang tinggi terutama ditemukan pada balita? balita yang para pengasuh menyatakan suka dan merasakan manfaat gizi dan kesehatan setelah mengkonsumsi biskuit lele serta memiliki kesadaran yang cukup tinggi bahwa biskuit tersebut hanya untuk dikonsumsi balita contoh, tidak boleh diberikan kepada orang lain. Respon dan motivasi ibu yang baik pada kegiatan pemberian PMT biskuit serta karena sebagian besar keluarga balita contoh termasuk keluarga miskin yang tidak banyak memiliki ketersediaan dan alternatif pilihan makanan jajanan untuk anak balita di rumahnya. Sebelum intervensi sebagian besar balita contoh memiliki skor morbiditas rendah (62.5%), dan pada akhir intervensi sebagian besar balita contoh memiliki morbiditas rendah (77.1%). Kepatuhan balita contoh dalam mengkonsumsi biskuit lele berhubungan signifikan terhadap morbiditas balita contoh yang ditunjukkan dengan hasil uji statistik (P<0.05), artinya ada pengaruh antara konsumsi biskuit lele dengan tingkat morbiditas balita.

Rata?rata z_score BB/U sebelum intervensi adalah ?2.8 ± 0.4, sedangkan setelah dilakukan intervensi rata?rata nilai z_score menjadi ?2.2 ± 0.5. Perbaikan status gizi contoh berdasarkan indikator BB/U terlihat dengan adanya penurunan balita kategori gizi buruk dan gizi kurang, dan sebaliknya terdapat peningkatan balita dengan status gizi baik yang pada awal intervensi tidak ada dan pada akhir intervensi menjadi 47.9%. Perbaikan status gizi balita contoh ini diduga disebabkan adanya perbaikan konsumsi balita contoh mengkonsumsi biskuit lele selama 88 hari.


(6)

PENGARUH KONSUMSI BISKUIT TERHADAP STATUS GIZI DAN TINGKAT MORBIDITAS BALITA YANG BERSTATUS GIZI

BURUK ATAU GIZI KURANG DI TIGA TIPOLOGI WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI

DANI NUGRAHA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUASIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(7)

Judul : Pengaruh konsumsi biskuit terhadap status gizi dan tingkat morbiditas balita yang berstatus gizi buruk atau kurang di tiga tipologi wilayah kabupaten Sukabumi

Nama : Dani Nugraha NIM : I14096003

Disetujui :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof.Dr.Ir.Dadang Sukandar,M.Sc Leily Amalia,STP,MSi. NIP.19590725 198609 1 001 NIP.19721209 200501 2 004

Mengetahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah AWT serta sholawat dan salam penulis sampaikan kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW. sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh konsumsi biskuit terhadap status gizi dan tingkat morbiditas balita yang berstatus gizi buruk atau kurang di tiga tipologi wilayah kabupaten Sukabumi”. Banyak pihak yang sudah membantu menulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh Karena itu, dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof.Dr.Ir.Dadang Sukandar,M.Sc dan Leily Amalia,STP.M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikiran, memberikan masukan, kritikan, semangat, dan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Prof.Dr.drh.Clara M.Kusharto,M.Sc selaku dosen penguji skripsi dan pemandu seminar.

3. Dr.Ir.Dodik Briawan, MCN selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama kegiatan belajar mengajar.

4. Keluarga tercinta: Bapak(Alm), Mama(Almah), serta istri dan anakku yang selalu setia mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih untuk kasih sayang, perhatian, dan doa yang diberikan, dan yang selalu siap membantu.

5. Teman?temanku di Ekstensi Gizi Masyarakat angkatan 3 yang selalu siap membantu dalam segala hal, terimakasih untuk kebersamaan dan persahabatannya.

6. Keluarga Gizi Masyarakat: para pengajar, staf TU, khususnya Mbak Ineu dan Rian, pak Barnas yang selalu siap membantu.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga penelitian ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat bagi semua.


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat pada tanggal 6 Februari 1982. Penulis adalah anak keempat dari empat bersaudara dari Bapak Daud Nugraha (ALM) dan Ibu Sunengsih Rakhmat (ALMmah). Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Pasirkolotok pada tahun 1990. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 1 Nagrak dan lulus pada tahun 1996. Pendidikan selanjutnya ditempuh penulis di SMA Negeri 1 Parungkuda dan lulus pada tahun 2000. Penulis diterima di program Diploma Poltekes Bandung pada Jurusan Gizi dan mendapatkan gelar Ahli Madya Gizi pada tahun 2003 setelah setelah dinyatakan lulus dengan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “ Pengaruh Imbangan Antara Tepung Terigu Dengan Tepung Sukun ! " Terhadap Kualita Mie Sukun Basah (Kadar Protein Dan Sifat Organoleptik)”. Penulis melanjutkan pendidikan di Program Penyelenggaraan Khusus S1 Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 3

Kegunaan ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Balita ... 5

Pertumbuhan dan Perkembangan Balita ... 5

Gizi Pada Balita ... 6

Karakteristik Keluarga ... 6

Besar Keluarga ... 7

Umur Orangtua ... 7

Pendidikan Orangtua ... 7

Pekerjaan Orangtua ... 8

Status Sosial Ekonomi Keluarga ... 9

Konsumsi Pangan ... 9

Pemberian Makanan Tambahan (PMT)K..KKKKKKKKKKKKKKK..11

Pangan Fungsional ... 12

Biskuit Fungsional ... 12

Pola Asuh Anak Balita ... 14

Kondisi Lingkungan ... 14

Morbiditas ... 17

Status Gizi Balita ... 18

KERANGKA PEMIKIRAN ... 20

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu ... 22

Contoh dan Teknik Penarikan Contoh ... 22

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 23

Pengolahan Data ... 25

Analisa Data... 27

Definisi Operasional ... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 31

Karakteristik Balita ... 32

Karakteristik Keluarga ... 33

Umur Orangtua ... 33

Pendidikan Orantua ... 33

Pekerjaan Orangtua ... 34


(11)

Besar Keluarga ... 35

Pola Asuh Balita dalam Keluarga ... 36

Pola Asuh Makan ... 36

Pola Asuh Hidup Sehat ... 38

Pola Akses terhadap Pelayanan Dasar ... 40

Kondisi Lingkungan ... 42

Kondisi Fisik Rumah ... 42

Sumber Air ... 44

Sarana Pembuangan Limbah ... 44

Asupan Energi dan Protein... 46

Kontribusi Zat Gizi Biskuit terhadap AKG Balita ... 47

Kepatuhan Konsumsi Biskuit ... 48

Status Gizi Balita ... 50

Morbiditas Balita ... 52

Hubungan Tingkat Kepatuhan Biskuit dengan Status Gizi dan Morbiditas .. 55

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 58

Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

LAMPIRAN ... 61


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.

Komposisi zat gizi formula makanan tambahan ... Angka Kecukupan Gizi rata?rata ... Syarat mutu biskuit ... Formulasi biskuit ... Klasifikasi masalah gizi ... Jenis,cara penggumpulan data dan alat ukur ... Cara pengkategorian variabel ... Sebaran balita berdasarkan jenis kelamin dan umur ... Sebaran balita berdasarkan umur orangtua ... Sebaran balita berdasarkan pendidikan orangtua ... Sebaran balita berdasarkan pekerjaan orangtua ... Sebaran balita berdasarkan pendapatan perkapita ... Sebaran balita berdasarkan besar keluarga ... Sebaran balita berdasarkan riwayat pemberian ASI ... Sebaran balita berdasarkan cara pemberian makan ... Sebaran balita berdasarkan ketegori pola asuh makan ... Sebaran balita berdasarkan pola asuh hidup sehat ... Sebaran balita berdasarkan kategori pola asuh hidup sehat ... Sebaran balita berdasarkan pola akses pelayanan dasar ... Sebaran balita berdasarkan kategori pola asuh akses pelayanan dasar. ... Sebaran balita berdasarkan kategori kondisi lingkungan ... Sebaran balita berdasarkan rata?rata asupan energi dan protein contoh awal dan akhir intervensi ... Sebaran balita berdasarkan tingkat kecukupan energi (TKE) dan tingkat kecukupan protein (TKP) ... Sebaran balita berdasarkan tingkat kepatuhan konsumsi

biskuit/wilayahKK... Sebaran balita berdasarkan tingkat kepatuhan konsumsi

biskuitKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK Sebaran balita berdasarkan status gizi (BB/U)/wilayah ... Sebaran balita berdasarkan status gizi (BB/U) ...

11 12 13 13 19 24 28 32 33 33 34 35 35 36 37 38 38 39 40 41 45 45 46 48 49 50 50


(13)

28.

29.

30.

31. 32. 33.

34.

Sebaran balita berdasarkan jenis dan frekuensi sakit yang pernah diderita 1 bulan terakhir (sebelun intervensi). ... Sebaran balita berdasarkan jenis dan frekuensi sakit yang sedang diderita (setelah intervensi). ... Sebaran balita berdasarkan jenis dan lama (hari) sakit sebelum dan setelah intervensi.. ... Sebaran balita berdasarkan skor morbiditas/wilayah ... Sebaran balita berdasarkan skor morbiditas ... Sebaran balita berdasarkan tingkat kepatuhan konsumsi biskuit dan status gizi balita ... Sebaran balita berdasarkan tingkat kepatuhan konsumsi biskuit dan morbiditas balita ...

51

52

53 53 54

55

55


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Biskuit tepung ikan leleKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK. 2. Kerangka pemikiran pola asuh, konsumsi kepatuhan, status gizi dan

tingkat morbiditas

balitaKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK. 3. Kerangka penarikan contohKKKKKKKKKKKKKKKKKKK. 4. Kondisi fisik rumah KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK 5. Sumber Air KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK. 6. Penanganan pembuangan limbahKKKKKKKKKKKKKKKK.. 7. Kurva konsumsi biskuit per minggu KKKKKKKKKKKKKKK.. 8. Peta LokasiKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK.

14

21 22 42 43 44 49 61


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Peta lokasi Penelitian KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK. 62 2. Kandungan gizi biskuit KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK... 62 3. Dokumentasi penelitian KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK. 63


(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah gizi balita berhubungan lansung dengan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsinya. Dalam mengkonsumsi makanan, balita masih tergantung pada orangtua terutama ibunya. Pada masa ini balita tidak dapat menentukan atau memilih makanan mana yang baik untuk dirinya. Menurut Satoto (1993) masalah gizi kurang atau lebih terjadi terutama karena salah pilih makanan, yang sedikit ataupun banyak disebabkan oleh ketidaktahuan cara memilih makanan yang benar. Menurut UNICEF (1990) timbulnya masalah gizi pada balita terutama terkait dengan faktor pengasuhan, ketahanan pangan keluarga serta kesehatan lingkungan. Hartog, Steveren dan Brouwer (1995) mengatakan bahwa ibu memiliki peran utama dalam mengatur dan menyiapkan makanan bagi keluarga serta bertanggungjawab langsung dalam pemeliharaan anak.

Konsumsi pangan balita perlu mendapat perhatian penting karena usia balita merupakan masa pertumbuhan yang penting. Pada masa ini pertumbuhan gigi, tulang dan organ?organ vital lainnya berkembang dengan cepat. Selain itu, masa kanak?kanak juga merupakan masa pengenalan lingkungan dimana anak yang sehat akan selalu aktif bergerak (Anonymous,1991). Oleh karena itu, makanan yang dikonsumsi anak sebaiknya bukanlah sekedar untuk memenuhi kebutuhan energinya, melainkan juga memenuhi kebutuhan tumbuh kembang, memelihara daya tahan tubuh dari berbagai serangan infeksi, dan membangun persediaan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhannya kelak dan status gizi yang baik.

Status gizi anak balita dapat diukur dengan menggunakan indikator antropometri, yaitu dengan keadaan fisik tubuh anak. Kondisi status gizi anak balita dapat dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan pola asuh yang tidak baik. Faktor konsumsi sangat berpengaruh terhadap status gizi anak, dan pada keadaan lebih berat dan kronis kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan fisik dan perkembangan mental maupun kecerdasan menjadi terganggu. Pola pengasuhan merupakan sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatnnya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, dan memberi kasih sayang. Dalam penelitian Diana (2004) di Sumatera Barat, pola asuh anak yang kurang akan mempunyai resiko anak balita KEP 1,5 kali


(17)

dibandingkan dengan anak balita yang dengan pola asuh cukup. Selain itu Diana (2004) juga menyebutkan faktor?faktor yang mempengaruhi pola asuh adalah pendidikan ibu,pekerjaan ibu,umur,dan tingkat pengetahuan ibu.

Riskesdas (2010) menunjukkan bahwa prevalensi KEP Nasional status gizi buruk sebesar 4,9% dan status gizi kurang 13%, sementara untuk propinsi Jawa barat prevalensi status gizi buruk balita sebesar 3,1% dan status gizi kurang sebesar 9,9%. Hasil Bulan Penimbangan Balita (BPB) menunjukan bahwa di Kabupaten Sukabumi status gizi buruk sebesar 0,89% dan ststus gizi kurang sebesar 8,55%. Hal ini memberikan indikasi bahwa masalah gizi kurang dan gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan. Dibandingkan dengan target Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi tahun 2010masalah gizi dikatakan masalah kesehatan masyarakat apabila prevalensi gizi buruk > 0,5% dan gizi kurang > 5 %.

Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi melalui Dinas Kesehatan menyediakan anggaran untuk Pemberian Makanan Tambahan – Pemulihan (PMT?Pemulihan ) berupa biskuit bergizi selama 90 hari pada balita gizi kurang dan gizi buruk. Biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele dumbo, isolate perotein kedelai (biskuit fungsional) merupakan salah satu penanganan yang di uji cobakan untuk menurunkan prevalensi KEP balita yang ada di kabupaten Sukabumi.

Wilayah Kabupaten Sukabumi mempunyai bentuk lahan yang bervariasi dari datar, bergelombang, berbukit sampai gunung. Ketinggian dari permukaan laut Kabupaten Sukabumi bervariasi antara 0 – 2.958 m. Daerah datar umumnya terdapat pada daerah pantai dan daerah kaki gunung yang sebagian besar merupakan daerah pesawahan. Sedangkan daerah bagian selatan merupakan daerah berbukit?bukit dengan ketinggian berkisar antara 300 – 1.000 m dari permukaan laut. Puskesmas Kadudampit dan Citarik terletak di dataran tinggi dan dataran rendah, akses terhadap pangan mudah dijangkau oleh masyarakat, sedangkan puskesmas Cikidang terletak di dataran sedang dimana akses terhadap pangan sulit dijangkau karena letaknya yang jauh dari ibukota kabupaten sukabumi.

Prevalensi KEP balita di puskesmas Kadudampit, Cikidang dan Citarik tergolong tinggi (>5%), yaitu masing?masing 9,92%,10,62% dan 9,07% (Laporan Bulan Penimbangan Balita tahun 2010 Dinkes Kab. Sukabumi). Berdasarkan kondisi di atas maka penulis tertarik untuk mengetahui apakah ada hubungan


(18)

antara pola asuh, konsumsi makanan fungsional biskuit terhadap status gizi balita gizi kurang di kabupaten Sukabumi yaitu puskesmas Kadudampit, Cikidang dan Citarik yang dapat mewakili daerah dataran tinggi, sedang dan rendah.

Tujuan Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh konsumsi biskuit terhadap status gizi dan tingkat morbiditas balita yang berstatus gizi buruk atau gizi kurang di tiga tipologi wilayah Kabupaten Sukabumi.

Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi karakteristik balita dan keluarga sampel. 2. Menganalisis pola asuh balita dalam keluarga sampel.

3. Menganalisis kondisi lingkungan tempat tinggal balita sampel.

4. Menganalisis asupan dan tingkat kecukupan energi dan protein balita tanpa dan dengan biskuit.

5. Menganalisis kontribusi konsumsi biskuit terhadap tingkat kecukupan energi dan protein balita sampel.

6. Mengidentifikasi status gizi balita sampel sebelum dan setelah intervensi. 7. Menganalisis tingkat kepatuhan ibu dalam memberikan biskuit bergizi

kepada balita sampel.

8. Menganalisis tingkat morbiditas / status kesehatan pada balita sampel. 9. Menganalisis hubungan antara konsumsi biskuit dengan status gizi balita. 10. Menganalisis hubungan antara konsumsi biskuit dengan morbiditas balita.

Hipotesis

Terdapat hubungan konsumsi biskuit diperkaya tepung ikan lele dumbo ( ) dengan status gizi dan morbiditas balita gizi kurang.

Kegunaan penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti serta sebagai pengembangan ilmu khususnya mengenai keistimewaan biskuit yang diperkaya tepung ikan lele dumbo ( ) yang tidak hanya dapat meningkatkan protein biskuit namun juga mengandung asam amino yang cukup lengkap dengan daya cerna yang cukup tinggi sehingga dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan status gizi balita.


(19)

Selain itu juga dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah dan instansi terkait (Dinas Kesehatan Sukabumi) dalam menentukan kebijakan dan merencanakan program khususnya mengenai pengembangan program intervensi makanan tambahan (PMT) dalam upaya meningkatkan mutu konsumsi masyarakat rawan gizi khususnya balita.


(20)

TINJAUAN PUSTAKA Balita

Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya (Soetjiningsih 1995). Umur balita merupakan salah satu fase perkembangan individu. Berdasarkan karakteristiknya yang baru lepas dari masa bayi (0?1 tahun), maka umur balita perlu dilakukan pemisahan dengan tahap perkembangan lainnya (Hurlock 1999). Tahun?tahun awal masa kanak?kanak yaitu umur satu hingga enam tahun berada dalam situasi yang rawan (Suhardjo 1989). Menurut Sediaoetama (2008), anak balita juga merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat?zat gizi yang tinggi setiap kg berat badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi.

Pertumbuhan dan Perkembangan Balita

Pertumbuhan ( #) berkaitan dengan perubahan dalam besar, jumlah, ukuran dan fungsi tingkat sel, organ maupun individu, yang diukur dengan ukuran berat (gram, pon, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Perkembangan ( ) adalah bertambahnya kemampuan ( ) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil proses pematangan. Pertumbuhan lebih menekankan pada aspek fisik, sedangkan perkembangan pada aspek pematangan fungsi organ, terutama kematangan sistem saraf pusat (Supariasa 2002).

Pertumbuhan merupakan bertambah jumlah dan besarnya sel di seluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur, sedangkan perkembangan merupakan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dapat dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar (Whalley & Wong 1995, diacu dalam Hidayat 2004). Peristiwa pertumbuhan pada anak dapat terjadi perubahan tentang besarnya, jumlah, ukuran di dalam tingkat sel, organ maupun individu, sedangkan peristiwa perkembangan pada anak dapat terjadi pada perubahan bentuk dan fungsi pematangan organ mulai dari aspek sosial, emosional dan intelektual. Proses pertumbuhan dan perkembangan pada anak setiap individu akan mengalami siklus berbeda setiap kehidupan manusia, peristiwa tersebut


(21)

dapat secara cepat maupun lambat tergantung dari individu dan lingkungan (Hidayat 2004).

Pertumbuhan pesat terjadi pada masa bayi dan prasekolah, dimana anak sangat sensitif terhadap lingkungannya. Status pertumbuhan anak pada masa ini secara luas dipakai untuk mengukur bagaimana kualitas lingkungan anak tersebut. Agar anak tumbuh kembang dengan optimal sesuai dengan kemampuan genetiknya, harus mendapat dukungan yang positif dari lingkungan di sekitar anak tersebut (Soetjiningsih 1995).

Gizi pada Balita

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolism dan pengeluaran zat?zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ?organ, serta menghasilkan energi (Supariasa 2002). Kebutuhan gizi merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam membantu proses pertumbuhan dan perkembangan pada balita. Gizi adalah salah satu komponen yang penting dalam menunjang keberlangsungan proses pertumbuhan dan perkembangan yang menjadi kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang selama masa pertumbuhan serta mencegah terjadinya berbagai penyakit akibat kurang gizi dalam tubuh seperti kekurangan energi dan protein, anemia, defisiensi iodium, defisiensi seng (Zn), defisiensi vitamin A, defisiensi thiamin, defisiensi kalium dan lain?lain yang dapat menghambat proses tumbuh kembang balita. Terdapat kebutuhan zat gizi yang diperlukan seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan air. Kebutuhan zat?zat gizi tersebut sangat diperlukan pada masa? masa balita, apabila kebutuhan tersebut tidak atau kurang terpenuhi maka dapat menghambat dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Terpenuhinya kebutuhan gizi pada balita diharapkan balita dapat tumbuh dengan cepat sesuai dengan umur tumbuh kembang dan dapat meningkatkan kualitas hidup serta mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas (Hidayat 2004).

Karekteristik Keluarga

Keluarga adalah satuan terkecil dari masyarakat yang sekurang? kurangnya terdiri dari orangtua dan anak. Orangtua, khususnya ibu, sebagai pengasuh dan pendidikan anak dalam keluarga dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik dan perkembangan anak (suhardjo 1989). Setiap keluarga memiliki kebiasaan yang berbeda?beda dalam hal pengasuhan anak. Kebiasaan


(22)

ini di pengaruhi oleh karakteristik yang khas bagi keluarga tersebut, meliputi besar keluarga, umur orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaaan orangtua, status social ekonomi keluarga, serta pengetahuan gizi akses ibu terhadap informasi gizi dan kesehatan.

Besar Keluarga

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Menurut cahyaningsih (1999), besar keluarga akan mempengaruhi pembentukan tingkah laku anak. Semakin besar suatu keluarga maka semakin sedikit perhatian yang diperoleh anak dari orang tua. Jika jarak anak pertama dengan yang kedua kurang dari satu tahun maka perhatian ibu terhadap pengasuhan kepada anak yang pertama akan berkurang setelah kedatangan anak berikutnya, padahal anak tersebut masih memerlukan perawatan khusus (Soekirman 1994)

Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran untuk pangan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa pendapatan per kapita atau pengeluaran untuk pangan per kapita menurun dengan semakin besarnya keluarga, serta meningkatkan persentase pengeluaran keluarga untuk pangan (Sanjur 1982).

Umur Orangtua

Orangtua muda, terutama ibu, cenderung kurang penegtahuan dan pengalaman dalam merawat anak sehingga mereka umumnya merawat anak didasarkan pada pengalalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga kuantitas dan cenderung akan menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock 1998, diacu dalam Gabriel 2008).

Pendidikan Orangtua

Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah seseorang dalam menerima informasi (Hidayat 2004). Tingkat pendidikan yang rendah menandakan minimnya kualitas sumberdaya manusia dan berdampak buruk terhadap aspek kehidupan secara keseluruhan. Lamanya sekolah atau pendidikan ( # ) adalah sebuah angka yang menunjukkan lamanya bersekolah seseorang dari masuk sekolah dasar sampai dengan tingkat pendidikan terakhir (BPS 2007, diacu dalam Khomsan 2007).


(23)

Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari?hari. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 2006). Madanijah (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak, karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, # , dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga.

Pendidikan ibu tidak berhubungan secara langsung dengan pertumbuhan anak, namun melalui mekanisme hubungan lain seperti produktivitas dan efisiensi penjagaan kesehatan, peningkatan pengasuhan, karakteristik keluarga, peningkatan nilai dan tingkat kesukaan dalam keluarga (Atmarita 2004, diacu dalam Sukandar 2008). Status pendidikan keluarga dapat mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan anak. Keluarga dengan tingkat pendidikan rendah akan sulit untuk menerima arahan dalam pemenuhan gizi dan sulit meyakini pentingnya pemenuhan gizi atau pentingnya pelayanan kesehatan lain yang menunjang dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anak (Hidayat 2004).

Pekerjaan Orangtua

Pekerjaan memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan social ekonomi dan memiliki keterkaitan dengan faktor lain, seperti kesehatan. Ibu dengan pendapatan rendah biasanya memiliki rasa percaya diri yang kurang dan memiliki akses terbatas untuk berpartisipasi pada pelayanan kesehatan dan gizi, serta posyandu, Bina Keluarga Balita dan Puskesmas, sehingga beresiko tinggi memiliki anak yang kurang gizi (Sukarmi 1994).

Pada masyarakat tradisional, biasanya ibu tidak bekerja diluar rumah, melainkan hanya sebagai ibu rumah tangga. Menurut satoto (1990), ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak. Ibu yang


(24)

bekerja di luar rumah akan menaikan nilai sosialnya, namun pada saat yang sama ibu yang bekerja mengakibatkan menurunnya kesehatan anak?anak.

Status Sosial Ekonomi Keluarga

Status sosial ekonomi dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak, hal ini dapat terlihat anak dengan sosial ekonomi tinggi tentunya pemenuhan kebutuhan gizi sangat cukup baik dibandingkan dengan anak dengan sosial ekonominya rendah (Hidayat 2004). Peningkatan pendapatan rumah tangga, belum tentu bermuara pada perbaikan gizi anggota rumah tangga yang rawan, terutama anak balita, wanita hamil dan wanita menyusui (Soekirman 2000)

Perbedaan tingkat ekonomi keluarga menyebabkan adanya perbedaan nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga. Keadaan ekonomi keluarga dapat mempengaruhi pola pengasuhan orangtua terhadap anaknya. Semakin otoriter pengasuhan anak, semakin besar kemungkinan anak untuk tidak patuh (Hurlock 1998). Pada umumnya sifat pola asuh yang lebih otorittarian dijumpai pada keluarga dengan kondisi ekonomi rendah dan pada anak?anak yang tinggal di pedesaan (Briawan & Herawati 2005).

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa telaahan konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi kedua informasi ini (jenis pangan dan jumlah pangan) merupakan hal yang penting (Hardinsyah & Briawan 1994). Tujuan dalam mengonsumsi pangan adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh.

Secara umum rumus yang digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi konsumsi makanan yang berasal dari pangan yang beragam adalah:

Kgij = ∑ (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)

keterangan: Kgij = penjumlahan zat gizi i dari setiap bahan makanan atau

pangan j yang dikonsumsi Bj = berat bahan makanan j (gram)

Gij = kandungan zat gizi i dari bahan makanan j


(25)

Konsumsi pangan tingkat individu atau perorangan dapat dilakukan antara lain dengan metode 24 jam dan metode frekuensi makanan (

$ ". Prinsip dari metode 24 jam, dilakukan dengan cara mengingat dan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dalam metode ini enumerator minta agar responden mengingat?ingat secara terperinci apa yang telah dikonsumsi dalam 24 jam hari terakhir tersebut. Untuk keperluan ini digunakan alat bantu misalnya ukuran? ukuran rumah tangga, model pangan, dan sebagainya untuk menentukan perkiraan?perkiraan konsumsi pangan yang lebih mendekati. Cara ini relatif cepat dan murah, tetapi mengandung subyektivitas tinggi dan menimbulkan kesalahan sistematik (Suhardjo 1989). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali 24 jam tanpa berturut?turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang harian individu. Sedangkan metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan, atau tahun (Supariasa & Bakri 2001).

Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidupnya, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktifitas fisik. Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein yang ada didalam makanan. Kandungan karbohidrat, lemak dan protein suatu bahan makanan menentukan nilai energinya (Almatsier, 2003)

Konsumsi makanan sangat berpengaruh terhadap status gizi. Konsumsi makanan menyangkut kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi seseorang. Semakin baik kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi seseorang, maka semakin baik pula status gizi orang tersebut, begitu juga sebaliknya semakin buruk tingkat konsumsi seseorang maka semakin buruk juga staus gizi orang tersebut.

Konsumsi makanan oleh keluarga / masyarakat tergantung pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga dan kebiasaan makan perorangan. Hal ini tergantung pula pada pendapatan, agama, adat kebiasaan dan pendidikan. Tujuan akhir dari konsumsi dan kegunaan makanan oleh tubuh adalah tercapainya status gizi yang optimal (Almatsier, 2001)


(26)

Pemberian Makanan Tambahan (PMT)

Menurut Khomsan (2004) bayi sampai anak berusia 5 tahun yang lazim disebut balita termasuk sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan zat gizi termasuk KEP. Terjadinya gizi kurang pada anak balita tidak selalu didahului dengan terjadinya bencana kurang pangan dan keaparan sehingga upaya penangulangannya memerlukan pendekatan. Salah satunya adalah dengan memperbaiki aspek makanan.

Menurut Wiyati (2004), anak balita atau disebut juga anak prasekolah adalah anak?anak yang berumur di bawah 5 tahun. Anak balita merupakan salah satu sasaran utama program gizi. Sejak usia tertentu, disamping ASI (air susu ibu) anak balita juga diberi makanan tambahan. Makanan tambahan adalah makanan yang diberikan untuk membantu mencukupi kebutuhan akan zat gizi yang diperlukan. Agar dapat memenuhi fungsinya, makanan tambahan bermutu baik (Hermana 1985 dalam Wiyati 2004).

FAO/WHO (1994) telah menerbitkan petunjuk mengenai pengembangan formula makanan bagi anak balita. Disebutkan bahwa energi yang dapat disajikan tiap 100 gram produk, minimal sebanyak 400 Kal. Komposisi zat gizi dari formula makanan tambahan untuk anak balita dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi zat gizi formula makanan tambahan

Zat Gizi Jumlah per 100 g

Energi (kal) 400

Protein (g) 15

Lemak (g) 10?25

Vitamin A (Rg RE) 266.7

Vitamin D (Rg) 6.7

Vitamin E (mg) 3.3

Vitamin C (mg) 13.3

Tiamin (mg) 0.3

Riboflavin (mg) 0.5

Niasin (mg) 6

Vitamin B6 (Rg) 0.6

Asam Folat (Rg) 33.3

Vitamin B12 (Rg) 0.7

Kalsium (mg) 533.3

Besi (mg) 8

Zink (mg) 6.67

Semakin meningkat usia anak balita, semakin meningkat pula kebutuhan akan zat?zat gizi yang harus tersedia dalam makanan. Angkakecukupan zat gizi rata?rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak balita terlihat pada Tabel 2.


(27)

Tabel 2 Angka kecukupan zat gizi rata?rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak balita (per orang per hari)

Golongan Umur

0?6 bulan 7?11 bulan 1?3 tahun 4?6 tahun

Berat Badan (kg) 6.0 8.5 12 18

Tinggi Badan (cm) 60 71 90 110

Energi (kkal) 550 650 1000 1550

Protein (g) 10 16 25 39

Vitamin A (RE, Rg) 375 400 400 450

Tiamin (mg) 0.2 0.4 0.5 0.8

Riboflavin (mg) 0.3 0.4 0.5 0.6

Piridoksin (mg) 0.1 0.3 0.5 0.6

Niacin (mg) 2 4 6 8

Vitamin B12 (mg) 0.4 0.5 0.9 1.2

Asam Folat (mg) 65 80 150 200

Vitamin C (mg) 40 50 40 45

Kalsium (mg) 200 400 500 500

Fosfor (mg) 100 225 400 400

Besi (mg) 0.3 10 7 8

Seng (mg) 5.5 7.5 8.2 9.7

Iodium (Rg) 90 120 90 120

Sumber. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII 2004

Pangan Fungsional

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman. Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan (Badan Pengawas Obat dan Makanan RI 2005).

Biskuit Fungsional

Biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makann lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan. Dalam prosesnya, biskuit juga dapat ditambahkan dengan bahan tambahan pangan yang dijinkan. Biskuit sifatnya mudah di bawa karena volume dan beratnya beratnya kecil dan umur simpan yang relatif lama. Biskuit dapat dikarakterisasi dari tingginya kandugan gula dan shotening serta rendahnya kandungan air di dalam adonan (Faridi & Faubion 1990).

Biskuit yang baik harus memenuhi syarat mutu yang ditetapkan SNI 01? 2973?1992 seperti yang terdapat pada tabel 3. Selain itu biskuit umumnya berwarna cokelat keemasan, permukaan agak licin, bentuk dan kuran seragam,


(28)

kering, renyah dan ringan serta aroma yang menyenangkan (Matz dan Matz 1978).

Tabel 3 Syarat mutu biskuit

Komponen Syarat Mutu

Air Maksimum 5%

Protein Minimum 9%

Lemak Minimum 9.5%

Karbohidrat Minimum 70%

Abu Maksimum 1.5%

Logam Berbahaya Negatif

Serat Kasar Maksimum 0.5%

Kalori (per 100 gr) Minimum 400

Jenis Tepung Terigu

Bau dan Rasa Normal, tidak tengik

Warna Normal

Sumber: Standar Nasional ndonesia 1992

Lele dunmbo (C ) merupakan salh satu jenis lele yang memiliki ukuran besar yang dikembangkan di indonesia. Protein ikan lele tergolong istimewa karena bukan hanya berfungsi sebagai penambah jumlah protein yang dikonsumsi, tetapi juga pelengkap mutu protein. Protein ikan lele mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup( FAO 1972 dalam Astawan 2008).

Biskuit dengan subsitusi tepung ikan lele dumbo dan isolate protein kedelai yang dikembangkan oleh % # &''( merupakan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele dumbo ( ) dan isolat protein kedelai. Komposisi dari PMT biskuit terdiri dari : tepung ikan lele (tepung daging dan tepung kepala), tepung terigu, isolat protein kedelai, telur ayam, gula bubuk, margarin, mentega, dan susu. Dengan komposisi demikian memberikan sumbangan zat gizi yang cukup tinggi. Berikut formulasi biskuit dengan tambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai

Tabel4 Formulasi biskuit dengan tambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai

Komponen %

Tepung ikan lele 3.5

Tepung kepala ikan lele 1.5

Isolat protein kedelai 10

Tepung terigu 25

Gula bubuk 18

Telur 18

Margarin 9

Mentega 9

Tepung susu 6

Total 100

Baking powder 0.008


(29)

Dalam 50 g biskuit lele mengandung energi 240 kkal dan protein sebanyak 10 g. Hasil pengukuran daya cerna protein dengan metode enzimatik secara in vitro sebesar 89.34% (Mervina 2009), tergolong sedang karena nilainya menyerupai daya cerna kacang kacangan (FAO/WHO/UNU 1994)

Gambar 1 Biskuit Tepung Ikan Lele Dumbo Pola Asuh Pengasuhan Anak Balita

Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan dan memberikan kasih sayang. Hal ini seluruhnya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan anak yang baik, sifat pekerjaan sehari?hari, dan sebagainya.

Kejadian gizi kurang pada anak sangat ditentukan oleh praktek pengasuhan dalam keluarga. penelitian yang dilakukan oleh Engel (1997) membuktikan bahwa kualitas pengasuhan yang diberikan ibu mempunyai peranan penting bagi tumbuh kembang anak.

Kondisi Lingkungan

Kondisi lingkungan adalah segala sesuatu baik benda maupun keadaan yang berada disekitar manusia yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan seseorang atau kelompok masyarakat. Kesehatan lingkungan mencakup aspek yang sangat luas yang meliputi hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Pentingnya lingkungan yang sehat akan mempengaruhi sikap dan perilaku manusia. Menjaga lingkungan hidup yang sehat dapat dilakukan dengan cara tidak membuang sampah sembarangan, menjaga saluran air agar tidak mampet.

a. Sanitasi Lingkungan Perumahan

Keadaan perumahan merupakan salah satu faktor yang menentukan keadaan hygene dan sanitasi lingkungan. Rumah merupakan tempat


(30)

manusia berlindung dari panas, terik matahari, hujan dan lain?lain yang dapat mengganggu kesehatan, keamanan, dan kenyamanan manusia. Menurut Latfiah et al (2002) rumah dikatakan sehat jika memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :

1. Lantai rumah harus mudah dibersihkan misalnya lantai yang terbuat dari keramik, teraso, tegel atau semen, dan kayu atau bamboo. Lantai tanah tidak memenuhi syarat kesehatan karena dapat menjadi sumber penyakit seperti cacing dan bakteri penyebab sakit perut.

2. Atap rumah harus kuat dan tidak mudah bocor misalnya genteng, asbes, gelombang, seng, sirap, dan nipah

3. Dinding rumah yang baik adalah tembok yang dapat dicat dan dibersihkan dengan mudah. Menurut Depkes (2008) penggunaan jenis dinding dapat pula digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteran masyarakat. Secara nasional sebanyak 63,74 % rumahtangga telah menggunakan dinding tembok.

4. Ventilasi udara biasanya berupa jendela yang dilengkapi dengan lubang angin.Fungsi ventilsi udara adalah untuk pertukaran udara agar di dalam rumah tetap bersih dan segar. Sebaiknya setiap ruangan mempunyai sedikitnya satu buah jendela yang bias dibuka dan ditutup sehingga udara dapat mengalir lancer.

5. Rumah harus mendapatkan cahaya yang cukup, baik pada siang hari maupun malam hari. Usahakan setiap ruangan mendapatkan sinar matahari, terutama pada pagi hari. Sumber cahaya malam hari dapat berupa lampu listrik, petromak, atau lampu minyak tanah.

6. Rumah harus memiliki sumber air bersih dan sehat.

7. Jumlah kamar mandi sebaiknya disesuaikan dengan jumlah annggota keluarga. Jika anggota keluarga ada empat orang maka paling sedikit harus ada satu kamar mandi. Setiap kamar mandi biasanya dilengkapi dengan jamban atau WC.

8. Rumah harus memiliki sarana pembuangan air limbah dan sampah

9. Kandang ternak harus terpisah cukup jauh dari rumah agar rumah terjaga kebersihan dan kesehatannya. Selain itu kandang ternak harus memiliki tempat pembuangan kotoran.


(31)

b. Sumber air

Air sangat penting untuk kehidupan, kebutuhan air sangat mutlak, 73 % dari bagian tubuh tanpa jaringan lemak air. Sumber air di dalam terdiri atas : 1. Air dalam tanah terdiiri dari mata air,dan air sumur.

2. Air permukaan, terdiri dari air sungai, air danau, dan air rawa. 3. Air dari angkasa, terdiri dari air hujan dan air embun.

Air sumur merupakan sumber air yang dipergunakan masyarakat Indonesia, kira?kira 45 %. Air sumur harus dilindungi terhadap bahaya pengotoran dan pencemaran agar memenuhi syarat kesehatan sebagai air rumahtangga. Sumber air minum sering menjadi sumber pencemar pada penyakit water borne disease. Oleh karena itu sumber air minum harus memenuhi syarat lokalisasi dan konstruksi (Depkes 2008). Menurut Widyati dan Yuliarsih (2002) sumur yang baik harus memenuhi syarat?syarat sebagai berikut :

Lokasi / tempat

Syarat lokalisasi bertujuan agar sumber air minum terhindar dari kotoran, sehingga perlu diperhatikan jarak sumber air minum dengan cubluk (kakus) lubang galian sampah, lubang galian untuk air limbah dan sumber?sumber pengotor lainnya. Menurt Widyati dan Yuliarsih (2002) jarak sumur dengan WC minimum 10 meter.

Konstruksi

Dinding sumur satu meter di atas tanah dan tiga meter dalam tanah harus dibuat dari tembok (disemen) yang tidak tembus air agar perembesan air dari sekitar tidak terjadi.

c. Pembuangan sampah dan Limbah

Sampah adalah segala sesuatu yang tidak terpakai lagi dan harus dibuang. Terdapat hubungan antara sampah dengan penyakit?penyakit yang ditulari oleh tikus, lalat dan nyamuk. Agar sampah tidak membahayakan kesehatan manusia, diperlukan pengaturan pembuangan sampah. Menurut Widyati dan Yuliarsih (2002) ada beberapa hal yang dapat diakibatkan oleh sampah diantaranya ; (1) Menimbulkan penyakit ; (2) Tidak sedap dipandang mata : (3) Menyebabkan polusi udara : (4) Pembuangan dan pengolahan sampah. Menurut Sukarni (1994) air limbah terdiri dari kotoran manusia,air kotoran dapur, kamar mandi termasuk air kotor dari permukaan tanah. Kurang lebih 80 % air yang digunakan oleh manusia untuk aktivitas sehari?hari akan dibuang lagi dalam bentuk yang sudah kotor dan tercemar.


(32)

d. Pembuangan Limbah Manusia

Pembuangan limbah manusia yang layak adalah kebutuhan masyarakat yang paling mendesak. Pembuangan limbah manusia yang tidak pada tempatnya dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada msyarakat. Oleh karena itu menurut Sukandar (2007), pembuangan kotoran manusia harus dapat dibuat dengan baik agar tidak mencemari lingkungan sekitar karena di dalam kotoran manusia, banyak sekali terdapat bibit?bibit penyakit yang mampu menyebabkan dan menularkan berbagai penyakit. Selain itu juga menimbulkan bau yang tidak sedap

Morbiditas

Morbiditas dan status gizi merupakan variabel yang mencerminkan status kesehatan. Morbiditas ini meliputi prevalensi penyakit menular dan penyakit tidak menular. Derajat kesehatan atau status kesehatan adalah tingkat kesehatan perorangan, kelompok atau masyarakat yang diukur dengan angka kematian, umur harapan hidup, status gizi, dan angka kesakitan (morbiditas). Kesehatan merupakan masalah yang kompleks hingga tidak mungkin diukur semua faktor yang mempengaruhinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena itu diperlukan suatu alat yang dapat memberi indikasi untuk menggambarkan keadaan kesehatan. Alat tersebut ialah indikator. Indikator kesehatan dapat digunakan untuk mengukur status kesehatan, memonitor kemajuan keadaan kesehatan dan merupakan alat bantu dalam mengadakan evaluasi program kesehatan Depkes (2008).

Faktor yang mempengaruhi kesehatan adalah penyebab penyakit, manusia, dan lingkungan. Gangguan keseimbangan diantara ketiga faktor tersebut menimbulkan gangguan kesehatan yang menyebabkan penurunan derajat kesehatan seseorang. Penyebab penyakit dapat berasal dari dalam maupun luar tubuh. Daya tahan tubuh manusia akan mempengaruhi kemudahan terkena penyakit. Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia dan dapat mempengaruhi kehidupannya (Subandriyo & Hartanti 1994).

Menurut Subandriyo (1993), angka kesakitan (morbiditas) lebih mencerminkan keadaan kesehatan sesungguhnya, sebab kejadian kesakitan mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai faktor lingkungan, seperti perumahan, air minum dan kebersihan serta faktor kemiskinan, kekurangan gizi serta pelayanan kesehatan di daerah tersebut. Sedangkan angka kematian lebih


(33)

banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi kedokteran sehingga kurang mencerminkan keadaan kesehatan yang sesungguhnya.

Keterkaitan Morbiditas dengan Gizi Kurang

Antara status gizi kurang dan infeksi terdapat interaksi bolak?balik. Infeksi dapat menimbulkan gizi kurang melalui berbagai mekanisme. Yang paling penting ialah efek langsung dari infeksi sistemik pada katabolisme jaringan. Walaupun hanya terjadi infeksi ringan sudah akan menimbulkan kehilangan nitrogen. Infeksi yang akut mengakibatkan kurangnya nafsu makan dan toleransi terhadap makanan. Orang yang mengalami gizi kurang, daya tahan tubuh terhadap penyakit menjadi rendah, sehingga mudah terkena serangan penyakit infeksi (Suhardjo 1989).

Keadaan kesehatan atau adanya infeksi akan berpengaruh terhadap status gizi. Penurunan keadaan gizi dan pertumbuhan akibat adanya kejadian sakit (morbiditas), mekanismenya mencakup penurunan asupan makanan, gangguan penyerapan, gangguan peningkatan kebutuhan gizi, serta peningkatan kerusakan jaringan (Latham 1997). Ada hubungan yang sinergistik antara kejadian sakit dengan status gizi. Infeksi bersama?sama penurunan asupan makanan merupakan sebab utama kurang gizi (Waterlow 1992).

Status Gizi Anak Balita

Masa balita merupakan proses pertumbuhan yang pesat diman anak memerlukan perhatian dan kasih sayang dari orangtua dan lingkungannya. Anak balita membutuhkan zat gizi yang seimbang agar proses pertumbuhan tidak terhambat, karena balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi.

Status gizi merupakan salah saru faktor yang menentukan sumberdaya manusia dan kualitas hidup. Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang atau kelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi.(Riyadi 2001). Pada dasarnya, status gizi merupakan refleksi dari makanan yang dikonsumsi dan dimonitor dari pertumbuhan fisik anak.

Faktor?faktor yang mempengaruhi status gizi adalah kesadaran gizi, persediaan pangan, daya beli masyarakat dan kesehatan individu, yang saling tidak dapat dipisahkan. Sementara WHO mengidentifikasikan faktor?faktor yang berpengaruh terhadap status gizi seperti infeksi, distribusi zat gizi pada anggota keluarga, ketersediaan pangan serta penghasilan rumah tangga. WHO melihat


(34)

bahwa status gizi kurang dipengaruhi oleh pokok masalah di masyarakat (kurang pendidikan, pengetahuan, ketrampilan) akan berdampak pada kurangnya persediaan pangan, pola asuh anak yang kurang baik, pemberian pelayanan kesehatan dasar tidak terpenuhi, sehingga pemberian makan tidak seimbang, yang pada akhirnya terjadilah status gizi kurang (Suryono & Supardi 2004).

Ada beberapa cara mengukur status gizi anak, yaitu dengan pengukuran antropometrik, klinik dan laboratorik. Diantara ketiganya, pengukuran antropometrik adalah yang relatif paling sederhana dan banyak dilakukan. Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah, namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan selain dipengaruhi oleh U juga dipengaruhi oleh TB. Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator BB/TB menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini (Soekirman 2000).

Status gizi diukur dengan BB/U atau TB/U atau BB/TB dikatakan normal apabila angka atau nilai z?skor terletak antara minus 2 SD sampai plus 2 SD dari nilai median standar WHO. Status gizi dikatakan kurang, apabila nilai ketiga jenis ukuran di atas kurang dari minus 2 SD atau di bawahnya. Nilai tersebut menjadi buruk, apabila nilainya berada di bawah dari minus 3 SD. Sebaliknya apabila nilai z?skor di atas plus 2 SD maka disebut gizi lebih (gemuk) dan di atas plus 3 SD gemuk sekali (Soekirman 2000). WHO (1995) membuat indeks beratnya masalah gizi pada keadaan darurat didasarkan pada prevalensi #, dan

yang ditemukan pada suatu wilayah survei.

Tabel 5 Klasifikasi masalah gizi berdasarkan prevalensi #,

dan Klasifikasi Berat

Masalah Gizi Prevalensi

) # (%)

Prevalensi (%)

Prevalensi (%)

Rendah <10 <20 <5

Sedang 10?19 20?29 5?9

Tinggi 20?29 30?39 10?14


(35)

KERANGKA PEMIKIRAN

Kesehatan pada masa anak?anak sangat penting artinya, karena kesehatan pada masa anak?anak menentukan keadaan kesehatannya di masa dewasa. Usia balita adalah usia yang tergolong rawan mengalami gizi kurang. Sebagaimana yang dikaji dan diperkenalkan oleh UNICEF (1998) terdapat berbagai penyebab timbulnya masalah gizi pada balita yaitu : , sebagai penyebab langsung yaitu makanan/konsumsi dan morbiditas (penyakit dan infeksi)

Pemberian makanan tambahan (PMT) biskuit bergizi merupakan salah satu cara untuk meningkatan konsumsi zat gizi pada balita yang mengalami gizi kurang. Makanan tambahan (PMT) biskuit bergizi adalah biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele dumbo yang mengandung zat gizi energi dan protein. Kandungan energi dan protein dari biskuit bergizi tersebut akan dapat mempercepat penambahan kuantitas dan kualitas asupan gizi balita gizi kurang, namun besarnya tambahan asupan gizi yang diperoleh, juga tergantung seberapa besar tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi makanan tambahan.

Kecukupan konsumsi gizi balita selain dipengaruhi biskuit bergizi, juga ditentukan oleh jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi sehari?hari (konsumsi harian). Konsumsi makanan harian balita, selain dipengaruhi langsung oleh ketersediaan pangan keluarga dan pola pengasuhan yang meliputi pola pemberian makan, dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga. Adapun karakteristik keluarga meliputi umur orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, besar pendapatan dan pengeluaran orangtua , jumlah anggota keluarga diduga mempengaruhi pola asuh kesehatan dan pola asuh makan balita. Semakin sedikit jumlah anggota dalam keluarga, usia orangtua yang masih produktif, pendapatan tinggi serta tingkat pendidikan yang tinggi, diduga penerapan pola pengasuhan menjadi lebih baik dan status gizi balita akan lebih baik. Sedangkan tingkat morbiditas balita secara langsung dapat dipengaruhi oleh pola asuh hidup sehat yang diterapkan ibu, pola pelayanan kesehatan dasar, dan kondisi lingkungan.


(36)

Keterangan :

= Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang diteliti = Hubungan yang tidak diteliti

Gambar 2 Kerangka pikir pola asuh, kepatuhan, morbiditas, dan status gizi balita di Kabupaten Sukabumi

Konsumsi /

intake makanan Morb ditas

(penyakit dan infeksi) Status Gizi

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga

Umur orangtua Pendidikan orangtua Pekerjaan Orangtua Besar keluarga Pendapatan keluarga

Pola Asuh

Pemberian Makan Hidup Sehat

Akses pelayanan dasar Karakteristik

Balita Umur

Jenis Kelamin

Kondisi Lingkungan

Konsumsi Biskuit (Tk Kepatuhan)

Pelayanan Kesehatan Setempat


(37)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan waktu

Penelitian ini merupakan penelitian survey yang dilakukan di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Lokasi penelitian ini terdiri dari 3 Puskesmas yaitu Kadudampit, Cikidang, dan Citarik. Penentuan tiga wilayah tersebut sebagai lokasi penelitian dilakukan berdasarkan pembagian wilayah berdasarkan tipologi wilayah, dimana ketiga wilayah tersebut merupakan daerah dataran tinggi, rendah menengah dan dengan pertimbangan adanya program intervensi biskuit bergizi pada balita gizi kurang diketiga wilayah tersebut. Pemilihan lokasi penelitian dipilih berdasarkan analisis Profil Kabupaten Sukabumi dan rekomendasi Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi. Penelitian dilakukan selama 3 bulan (88 hari), mulai dari Maret hingga juni 2011.

Contoh dan Teknik Penarikan Contoh

Populasi dalam penelitian ini adalah anak balita yang berdasarkan hasil pengukuran antropometri (pengukuran berat badan) tergolong dalam gizi buruk dan kurang di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Penarikan contoh dilakukan secara langsung melalui pendekatan dengan kriteria contoh adalah anak balita yang berusia 1?5 tahun dengan hasil penimbangan berat badan dan pengukuran status gizi termasuk kategori gizi buruk dan gizi kurang, penerima program PMT biskuit bergizi, tergolong keluarga miskin, tinggal bersama ibu kandung atau pengasuh dan bersedia untuk dijadikan contoh. Data dari Puskesmas Kadudampit, Cikidang dan Citarik menunjukkan bahwa masing? masing terdapat 8,54%, 8,14% dan 8,69% anak balita yang berstatus gizi kurang. Balita penerima program pemberian makanan tambahan biskuit fungsional di lokasi penelitian berjumlah 48 balita yaitu 12 balita Puskesmas kadudampit, 20 balita Puskesmas Cikidang dan 16 balita Puskesmas Citarik, dan ditetapkan secara proporsional dengan jumlah penderita gizi kurang di masing?masing kecamatan.

Kabupaten Sukabumi

Puskesmas Kadudampit Puskesmas Cikidang Puskesmas Citarik

Peserta program pemberian makanan biskuit fungsional

12 balita 20 balita 16 balita


(38)

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekuder. Pengumpulan data primer dilaksanakan melalui wawancara secara langsung dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Adapun data primer yang dikumpulkan meliputi data karakteristik keluarga (umur orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, besar keluarga, dan pendapatan keluarga), karakteristik balita (umur balita, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan balita, urutan kelahiran), pola asuh balita, konsumsi makanan dan intake zat gizi balita, morbiditas serta status gizi balita. Pola asuh dalam penelitian ini meliputi pola asuh makan dan pola asuh hidup sehat yang meliputi pola akses pelayanan kesehatan dasar dan pola asuh kebersihan.

Pola asuh makan yang diteliti terbatas pada apa dan bagaimana balita makan, serta situasi yang terjadi pada saat makan, meliputi pemberian ASI, kolostrum, pemberian makanan pertama selain ASI dan frekuensi pemberian makan. Pola akses pelayanan dasar yang diteliti meliputi imunisasi dasar dan vitamin A. Imunisasi dasar terbatas pada imunisasi BCG, DPT, dan campak, sedangkan vitamin A merupakan vitamin A dosis tinggi yang diberikan setiap 6 bulan sekali. Pola asuh perawatan kebersihan yang diteliti meliputi mencuci tangan ketika menyuapi dan setelah buang air besar, kebiasaan mandi dan menggosok gigi serta pemakaian alas kaki/sandal. Data morbiditas (status kesehatan) yang dievaluasi meliputi : jenis penyakit, frekuensi sakit, dan lama sakit dengan metode wawancara dengan alat bantu form. Data tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi biskuit intervensi diperoleh menggunakan form pemantauan yang berisi banyaknya biskuit yang dibagikan kepada balita/minggu, biskuit yang dikonsumsi balita per hari dan sisa yang tidak dikonsumsi, siapa yang mengkonsumsi biskuit selain balita dan alsaan balita tidak mengkonsumsi biscuit.

Adapun data status gizi diperoleh dengan cara antropometri yaitu mengukur berat badan dan tinggi badan balita. Data konsumsi diperoleh dari konsumsi pangan sehari yang merupakan penjumlahan dari makan pagi, siang, malam, dan makanan selingan kemudian diperoleh asupan energi dan protein balita sehari dengan konsumsi biskuit dan tanpa konsumsi biskuit. Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan energi dan protein dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi zat gizi aktual (nyata) dengan kecukupan gizi


(39)

yang dianjurkan dan hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen. Data sekunder meliputi lokasi demografi wilayah dan penduduk yang diperoleh dari Kantor Kecamatan setempat.

Tabel 6 Jenis data, cara pengumpulan data dan alat ukur

No Variabel Data Cara Pengumpulan

Data Data Primer

1 Karakteristik balita Nama, umur, jenis kelamin

Berat badan Tinggi badan

Wawancara langsung dengan kuesioner

Pengukuran dan nimbangan dengan alat timbang BB 2 Karakteristik keluarga Status dalam keluarga,umur

orangtua,pendidikan

orangtua,besar keluarga dan pendapatan orangtua

Wawancara langsung dengan kuesioner

3 Pola Asuh Ibu Pola asuh makan

Pola asuh hidup bersih pola akses pelayanan dasar

Wawancara langsung dengan kuesioner

4 Kondisi Lingkungan Kondisi rumah, Sumber air

minum,mandi,sarana

pembuangan sampah dan air limbah

Wawancara langsung dengan kuesioner

5 Konsumsi (konsumsi

makan balita)

Menu makanan, jumlah dan jenis makanan.

Wawancara menggunakan

kuesioner dengan

metode * & &+ ,

6 Jumlah konsumsi

biskuit bergizi

Jumlah biskuit yang diberikan, yang dikosumsi, jumlah sisa yang tidak dikonsumsi.

Wawancara langsung dengan kuesioner Pengisian form pemantauan oleh responden atau kader

7 Status

kesehatan(morbiditas)

jenis penyakit, frekuensi sakit, dan lama sakit

Wawancara langsung dengan kuesioner Data Sekunder

8 Lokasi penelitian Demografi Diambil dari kantor

Kecamatan

9 Data Penduduk Jumlah, Jenis kelamin,

Pendidikan, Jenis Pekerjaan

Diambil dari kantor Kecamatan


(40)

Biskuit tepung ikan lele dumbo di berikan selama 88 hari di mulai pada bulan Maret hingga Juni 2011. Jumlah yang harus di konsumsi oleh balita gizi buruk dan kurang sebanyak 1 bungkus kecil dengan jumlah per bungkus sebanyak 4 keping biskuit dan frekuensi mengkonsumsi biskuit 2–3 kali dalam satu hari. Mekanisme distribusi pemberian makanan tambahan biskuit fungsional melalui seksi gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi didistribusikan ke puskesmas, dari puskesmas biskuit di bagikan ke tiap desa yang dikoordinir oleh bidan desa dan disimpan di tingkat desa sesuai jumlah alokasi sasaran balita gizi kurang yang mendapat biskuit, kemudian bidan desa bersama kader memberikan langsung kepada sasaran balita gizi kurang dengan siklus pemberian 1 minggu sekali. Kader di berikan wewenang untuk memantau tingkat kepatuhan setiap hari ibu balita gizi kurang dalam memberikan biskuit.

Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari proses wawancara menggunakan kuesioner dan form diolah dan dianalisis secara deskriptif. Proses pengolahan data meliputi , data, editing, dan analisis data. Untuk data entry terlebih dahulu dipersiapkan struktur sheet yang terdiri atas nama

-. Setelah data dientry dilakukan editing yaitu proses pemeriksaan data yang telah di dengan data yan terdapat dalam kuesioner, jika ada perbedaan maka dilakukan koreksi. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan 2007 dan versi 16,0 .

Data karakteristik keluarga yang meliputi umur orangtua, besar keluarga, pendidikan orangtua, pendapatan keluarga, data pola asuh makan, pola asuh hidup sehat (akses pelayanan kesehatan dasar dan pola hygiene), data konsumsi/intake makanan, data status gizi balita serta morbiditas balita dikelompokkan berdasarkan kriteria tertentu. Data tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif dan korelasi.

Umur orangtua. Data umur orangtua yang diperoleh dikelompokkan menjadi empat kelompok menurut Papalia dan Old (1986) yaitu remaja (< 20 tahun), dewasa awal (20?40 tahun), dewasa tengah (41?65 tahun), dan dewasa akhir (> 65 tahun).

Pendidikan orangtua. Data tingkat pendidikan orangtua diolah dengan mengelompokkannya menjadi enam kategori yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD sederajat, tamat SMP/sederajat, tamat SLTA/sederajat, tamat Perguruan Tinggi.


(41)

Pendapatan perkapita. Data pendapatan perkapita perbulan merupakan hasil dari pembagian jumlah pendapatan orangtua tiap bulannya dengan jumlah anggota keluarga. Hasil yang diperoleh kemudian diklasifikasikan berdasarkan kuartil.

Besar keluarga. Data besar keluarga diketahui dengan menanyakan kepada responden jumlah anggota keluarga. Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan menurut Hurlock (1993) menjadi keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5?7orang), dan keluarga besar (≥ 8 orang)

Pekerjaan orangtua. Data jenis pekerjaan orangtua di dikategorikan menjadi tidak bekerja, petani punya lahan, buruh tani, nelayan, pedagang, PNS, pegawai swasta, buruh, sopir/ojek, lainnya, sedangkan pekerjaan ibu dikategorikan menjadi ibu rumah tangga, petani, pedagang, buruh, lainnya

Karakteristik balita.Data karakteristik balita meliputi data umur dan jenis kelamin. Umur balita dikategorikan menjadi 12?23 bulan, 24?35 bulan, 36?47 bulan, dan 48?60 bulan. Data jenis kelamin balita terdiri dari 2 kategori yaitu laki? laki dan perempuan (Depkes 2008)

Pola Asuh. Data pola asuh disajikan dalam bentuk pertanyaan tertutup mengenai pola asuh makan (bagaimana balita makan, serta situasi yang terjadi pada saat makan, meliputi pemberian ASI, kolostrum, pemberian makanan pertama selain ASI dan frekuensi pemberian makan), pola akses pelayanan dasar (imunisasi dan vitamin A), pola hygieny (mencuci tangan, kebiasaan mandi dan menggosok gigi serta pemakaian alas kaki/sandal).Penilaian dengan cara memberikan skor pada setiap pertanyaan. Bila menjawab tidak diberi skor 0, bila menjawab ya diberi skor 1. Total skor yang diperoleh diklsifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu kurang (< 60%), sedang (60?80%) dan baik (> 80%) berdasarkan nilai maksimum.

Intake makan/konsumsi balita. Data intake/konsumsi pangan balita digali dengan metode recall 24 jam. Recall dilakukan secara berulang yakni 2 kali pada awal dan akhir intervensi. Data konsumsi harian balita dikonversi kedalam zat gizi menggunakan Microsoft Exel. Rumus umum yang digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi konsumsi makanan yang berasal dari pangan yang beragam adalah :


(42)

Kgij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan :

KGij = Penjumlahan zat gizi i dari setiap bahan makanan / pangan yang dikonsumsi

Bj = Berat bahan makanan (gram)

Gij = Kandungan zat gizi i dari bahan makanan j BDDj = Persen bahan makanan j yang dapat dimakan (Sumber : Hardinsyah dan Briawan 1994)

Setiap asupan gizi balita dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (2004) dan kemudian di persentasikan. Penggolongan tingkat konsumsi dilakukan berdasarkan Depkes (1996), tingkat konsumsi dibagi menjadi lima yaitu : defisit tingkat berat (<70% AKG; 2) defisit tingkat sedang (70?79% AKG;3) defisit tingkat ringan (80?89% AKG); 4) normal (90?119% AKG; 5) kelebihan (>120% AKG)

Tingkat kepatuhan. Data tingkat kepatuhan dihitung berdasarkan persentase jumlah semua biskuit yang dikonsumsi balita selama 90 hari makan anak (HMA) dibagi dengan jumlah biskuit yang seharusnya dikonsumsi oleh balita selama 88 HMA. Penggolongan tingkat kepatuhan konsumsi biskuit dikategorikan menjadi tiga yaitu rendah jika kepatuhan < 50% ; cukup, jika kepatuhan 50?70%;dan tinggi jika kepatuhan ≥ 70%.

Status gizi. Pengolahan data status gizi dilakukan dengan menggunakan Microsoft Exel 2007 yang diklasifikasikan berdasarkan standard baku WHO? NCHS 2006 yaitu :

Kategori Gizi buruk Z?skor < ?3.0

Kategori Gizi Kurang Z?skor ≥ ?3.0 s/d Z?skor < ?2.0 Kategori Gizi Baik Z?skor ≥ ?2.0 s/d Z?skor ≤ 2.0 Kategori Gizi lebih Z?skor ≥ 2.0

Morbiditas. Data morbiditas dihitung berdasarkan frekuensi dan lama sakit (dalam hari) selama intervensi

Analisis data

Data dianalisis secara deskriptif. Analisis deskriptif dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi, nilai maksimum, nilai minimum, rata?rata dan standard deviasi. Data yang dianalisis secara deskriptif adalah data karakteristik keluarga, karakteristik balita, pola asuh, morbiditas, konsumsi, dan status gizi balita.

Analisis korelasi digunakan uji korelasi * untuk menguji hubungan antara variabel pemberian makanan biskuit fungsional dengan variabel status gizi dan tingkat morbiditas balita. Serta uji t dengan menggunakan


(43)

untuk menganalisis perbedaan asupan energi dan protein serta status gizi sebelum dan setelah intervensi.

Tabel 7 Cara pengkategorian variabel

No Variabel Kategori Pengukuran Sumber Acuan Data Primer

1. Karakteristik Balita

Umur Nominal

1. 24?35 bulan 2. 36?47 bulan 3. 48?60 bulan

Depkes (2008)

Jenis kelamin Nominal

1. Laki?laki 2. Perempuan

Depkes (2008)

2. Karakteristik Keluarga

Umur orangtua Nominal :

1. Remaja (< 20 tahun) 2. Dewasa awal (20?40 tahun) 3. Dewasa tengah (41?65 tahun) 4. Dewasa akhir (> 65 tahun)

Papalia & Old (1986)

Pendidikan orangtua Ordinal :

1. Tidak sekolah 2. Tidak tamat SD 3. SD/sederajat 4. SLTP / sederajat 5. SLTA / sederajat 6. PT

Pendapatan (Kap/bln)

Ordinal 1. Miskin 2. Tidak Miskin

BPS (2009)

Besar Keluarga Ordinal

1. keluarga kecil (≤ 4 orang) 2. keluarga sedang (5?7 orang) 3. Keluarga besar (≥ 8 orang)

Hurlock (1993)

Pekerjaan orangtua Nominal :

1. Tidak bekerja (IRT) 2. Buruh tani

3. Petani punya lahan 4. Nelayan

5. Pedagang

6. Pegawai (swasta/PNS) 7. Lainnya

3 Pola asuh

Pola asuh makan Ordinal

1. rendah (< 60%) 2. Sedang (60?80%) 3. Baik (>80%)

Khomsan (2000)

Pola asuh hidup sehat

Ordinal

1. rendah (< 60%) 2. Sedang (60?80%) 3. Baik (>80%)


(1)

(2)

Kandungan zat gizi dan energi per takaran penyajian (50 gram) biskuit tepung ikan lele dumbo

Energi & Zat Gizi Jumlah per sajian (gram)

Energi (kkal) 240

Protein (gram) 9.8

Karbohidrat (gram) 26.9

Lemak (gram) 10.6

CIEMAS CISOLOK TEGALBULEUD CIKIDANG CIRACAP SIMPENAN NAGRAK SURADE CIKAKAK CIDADAP JAMPANGTENGAH LENGKONG CIBITUNG WALURAN CIDOLOG PABUARAN KABANDUNGAN PURABAYA NYALINDUNG CIKEMBAR SAGARANTEN JAMPANGKULON KALIBUNDER CIBADAK WARUNGKIARA PALABUHANRATU CICURUG CARINGIN GEGERBITUNG CIDAHU KADUDAMPIT BANTARGADUNG SUKARAJA KOTA CURUGKEMBAR KALAPANUNGGAL CICANTAYAN CIREUNGHAS CISAAT SUKALARANG SUKABUMI PARAKANSALAK GUNUNGGURUH PARUNGKUDA BOJONGGENTENG KEBONPEDES TEMPAT PENELITIAN Ket : Kabupaten Cianjur Samudra Indonesia Kabupaten Lebak Kabupaten Bogor


(3)

Kondisi lingkungan rumah contoh


(4)

RINGKASAN

DANI NUGRAHA. Pengaruh konsumsi biskuit terhadap status gizi dan tingkat morbiditas balita yang berstatus gizi buruk atau gizi kurang di tiga

tipologi wilayah kabupaten Sukabumi dibawah bimbingan DADANG

SUKANDAR dan LEILY AMALIA.

Berdasarkan laporan Riskesdas 2010, terdapat sekitar 13% balita menderita gizi kurang. Menurut UNICEF (1998) terdapat berbagai penyebab timbulnya masalah gizi pada balita yaitu : , sebagai penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi, dan , penyebab tidak langsung yaitu pola pengasuhan anak, pelayanan kesehatan, kesehatan lingkungan dan ketahanan pangan keluarga. Optimalisasi penanganan masalah gizi pada balita melalui diversifikasi pengembangan formula makanan tambahan merupakan salah satu solusi dalam menurunkan prevalensi gizi kurang. Tujuan umum penelitian ini adalahmenganalisis pengaruh konsumsi biskuit terhadap status gizi dan tingkat morbiditas balita yang berstatus gizi buruk atau kurang di tiga tipologi wilayah Kabupaten Sukabumi. Tujuan khusus penelitian ini; 1) Mengidentifikasi karakteristik balita dan keluarga; 2) Menganalisis pola asuh balita dalam keluraga; 3) Menganalisis kondisi lingkungan tempat tinggal balita; 4) Menganalisis asupan dan tingkat kecukupan energi dan protein balita tanpa dan dengan konsumsi biskuit; 5) Menganalisis kontribusi konsumsi biskuit terhadap tingkat kecukupan energi dan protein; 6) Mengidentifikasi status gizi balita sebelum dan setelah intervensi; 7) Menganalisis tingkat kepatuhan ibu dalam memberikan biskuit bergizi kepada balita gizi buruk dan kurang; 8) Menganalisis tingkat morbiditas / status kesehatan pada balita yang diberikan intervensi biskuit bergizi; 9) Menganalisis hubungan antara konsumsi biskuit dengan status gizi; 10)Menganalisis hubungan antara konsumsi biskuit dengan morbiditas.

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung mengenai program intervensi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang diperkaya tepung Ikan Lele Dumbo ( ) pada balita gizi buruk dan kurang di tiga tipologi wilayah Kabupaten Sukabumi. Desain yang digunakan yaitu survey, lokasi penelitian ini terdiri dari tiga puskesmas yaitu Kadudampit, Cikidang, dan Citarik. Pemilihan lokasi penelitian di pilih berdasarkan analisis dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi dengan kriteria lokasi penelitian yang dipilih merupakan lokasi tempat pelaksanaan program intervensi biskuit pada balita gizi buruk dan kurang, dan merupakan wilayah dataran tinggi, sedang dan rendah. Contoh dalam penelitian ini adalah balita (1?5 tahun) yang berdasarkan hasil pengukuran antropometri tergolong dalam gizi kurang dan buruk berdasarkan indikator BB/U dengan Z score ≥ ?3.0 s/d < ?2.0, mendapatkan PMT biskuit dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi dan balita contoh tergolong dalam keluarga miskin. Jumlah contoh dalam penelitian ini yaitu sebanyak 48 balita yang diambil secara langsung melalui pendekatan . Data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data karakteristik keluarga (umur orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, besar keluarga, dan pendapatan keluarga), karakteristik balita (umur balita, jenis kelamin, berta badan dan tinggi badan balita), pola asuh balita, kondisi lingkungan tempat tinggal balita, konsumsi makan, jumlah konsumsi biskuit dan status kesehatan/morbiditas. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan

program dan (SPSS)


(5)

Lebih dari separuh jumlah balita contoh (68.7%) adalah perempuan. Usia balita contoh adalah pada kisaran usia 12? 60 bulan dengan proporsi terbesar usia contoh antara 12?23 bulan (58.3%). Umur ayah dan ibu balita contoh sebagian besar tergolong dalam dewasa awal (20?40 tahun). Tingkat pendidikan ayah (54.2%) dan ibu (70.8%) memiliki presentase terbesar pada tingkat sekolah dasar atau sederajat. Proporsi terbesar pekerjaan ayah adalah buruh non tani (33.3%), buruh tani (25%) dan petani (25%) sedangkan ibu sebagian besar adalah ibu rumah tangga (100%). Separuh balita contoh berasal dari keluarga sedang dengan jumlah angota keluarga 5?7 orang. Lebih dari separuh contoh (64.5%) berasal dari keluarga tergolong miskin.

Pola asuh makan ibu terhadap balita contoh sebagian besar termasuk kategori sedang (58.3%) yang disebabkan masih banyak ibu yang tidak memberikan ASI ekslusif kepada anaknya serta banyaknya ibu balita yang tidak menyedikan makanan lengkap untuk anaknya. Pola asuh perawatan kebersihan balita contoh sebagian besar termasuk kategori sedang (54.2%), dan untuk pola asuh terhadap akses pelayanan kesehatan dasar ibu terhadap anaknya sebagian besar tergolong baik (47.9%). Hal ini menunjukkan tingginya kesadaran Ibu untuk mau memanfaatkan pelayanan kesehatan yang telah disediakan. Kondisi Lingkungan tempat tinggal balita contoh sebagian besar (66.7%) termasuk dalam kategori sedang.

Rata?rata asupan energi dan protein balita contoh berturut?turut sebelum intervensi yaitu 591.3 kalori dan 10.7 g. Sedangkan konsumsi pada akhir intervensi setelah ditambahkan kontribusi biskuit mengalami peningkatan yang cukup signifikan menjadi 754.4 kalori dan 13.5 g. Hasil uji statistik menggunakan menunjukkan ada perbedaan yang nyata antara konsumsi zat gizi pada awal intervensi dengan konsumsi zat gizi akhir intervensi setelah ditambahkan zat gizi dari biskuit dengan nilai P < 0.05. Sebelum intervensi sebagian besar balita contoh tingkat kecukupan energi (58.3%) tergolong deficit berat dan hanya (2.1%) yang tergolong cukup. Setelah dilakukan intervensi tingkat konsumsi energi balita contoh mengalami peningkatan, terlihat dengan meningkatnya jumlah balita dengan konsumsi cukup menjadi (48%) dan penurunan jumlah balita dengan kategori deficit berat menjadi (4%). Tingkat konsumsi protein sebelum intervensi sebagian besar balita contoh dalam kategori defisit berat (47.9%), defisit sedang (35.4%), deficit ringan (10.4%) dan balita contoh dengan tingkat kecukupan protein cukup (6.3%). Setelah diberikan intervensi terjadi peningkatan konsumsi protein yang ditunjukkan dengan sebagian besar balita contoh tingkat kecukupan proteinnya tergolong cukup (52.1%). Hasil uji statistik menggunakan uji menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata antara tingkat konsumsi zat gizi sebelum intervensi dengan konsumsi zat gizi setelah intervensi dengan nilai P < 0.05.

Rata?rata kontribusi energi dari biskuit sudah di atas 15 % AKG energi yaitu 15.4% dari AKG. Kontribusi energi tertinggi yaitu mencapai 26.5 % dari AKG sebesar 196 Kalori. Sedangkan rata?rata kontribusi protein dari konsumsi biskuit cukup tinggi yaitu 21.6% dari kecukupan / AKG.Kontribusi protein terbesar yaitu 8.3 g atau setara dengan 26.1% AKG balita contoh.

Tingkat kepatuhan balita contoh dalam mengkonsumsi biskuit sebagian besar tergolong tinggi (70.8%), dengan rata?rata konsumsi biskuit 3 keping/hari. Tingkat kepatuhan balita dikatakan tinggi apabila mengkonsumsi biskuit >70% dari total biskuit yang diberikan selama 88 hari. Selama 88 hari / 3 bulan intervensi terjadi penurunan konsumsi biskuit pada balita contoh yaitu pada bulan ke 2 dan ke3, karena balita mulai bosan dengan biskuit yang diberikan. Kepatuhan balita contoh dalam mengkonsumsi biskuit lele berhubungan


(6)

signifikan dengan status gizi dengan hasil uji statistik (P<0.05) yang artinya balita yang patuh mengkonsumsi biskuit memiliki status gizi yang lebih baik dibandingkan dengan balita yang kurang atau tidak patuh mengkonsumsi biskuit lele. Kepatuhan konsumsi biskuit yang tinggi terutama ditemukan pada balita? balita yang para pengasuh menyatakan suka dan merasakan manfaat gizi dan kesehatan setelah mengkonsumsi biskuit lele serta memiliki kesadaran yang cukup tinggi bahwa biskuit tersebut hanya untuk dikonsumsi balita contoh, tidak boleh diberikan kepada orang lain. Respon dan motivasi ibu yang baik pada kegiatan pemberian PMT biskuit serta karena sebagian besar keluarga balita contoh termasuk keluarga miskin yang tidak banyak memiliki ketersediaan dan alternatif pilihan makanan jajanan untuk anak balita di rumahnya. Sebelum intervensi sebagian besar balita contoh memiliki skor morbiditas rendah (62.5%), dan pada akhir intervensi sebagian besar balita contoh memiliki morbiditas rendah (77.1%). Kepatuhan balita contoh dalam mengkonsumsi biskuit lele berhubungan signifikan terhadap morbiditas balita contoh yang ditunjukkan dengan hasil uji statistik (P<0.05), artinya ada pengaruh antara konsumsi biskuit lele dengan tingkat morbiditas balita.

Rata?rata z_score BB/U sebelum intervensi adalah ?2.8 ± 0.4, sedangkan setelah dilakukan intervensi rata?rata nilai z_score menjadi ?2.2 ± 0.5. Perbaikan status gizi contoh berdasarkan indikator BB/U terlihat dengan adanya penurunan balita kategori gizi buruk dan gizi kurang, dan sebaliknya terdapat peningkatan balita dengan status gizi baik yang pada awal intervensi tidak ada dan pada akhir intervensi menjadi 47.9%. Perbaikan status gizi balita contoh ini diduga disebabkan adanya perbaikan konsumsi balita contoh mengkonsumsi biskuit lele selama 88 hari.


Dokumen yang terkait

Pola konsumsi, Status Gizi dan Prestasi Belajar Anak Vegetarian dan Non Vegetarian Siswa Kelas V Sekolah Dasar di Yayasan Perguruan Bodhicitta Medan Tahun 2013

5 59 89

Status Gizi Balita Gizi Kurang Setelah Mendapatkan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMTP) Di Puskesmas Tambusai Kecamatan Tambusai Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau

2 43 79

Gambaran Status Gizi Anak Balita Gizi Kurang Setelah Mendapatkan Pemberian Makanan Tambahan Di Puskesmas Mandala Medan Tahun 2009

0 57 105

Tingkat Konsumsi Energi, Morbiditas dan Status Gizi Anak Balita di Enam Desa Penelitian "Food Security"

0 13 83

Hubungan Kepatuhan Konsumsi Biskuit yang Diperkaya Protein Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan Status Gizi dan Morbiditas Balita di Warungkiara, Bantargadung, Kabupaten Sukabumi

1 5 147

PENGARUH IMUNISASI TERHADAP TINGKAT MORBIDITAS DAN STATUS GIZI (IMT/U) PADA BALITA DI Pengaruh Imunisasi terhadap Tingkat Morbiditas dan Status Gizi (IMT/U) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Polokarto Sukoharjo.

0 3 15

SKRIPSI PENGARUH IMUNISASI TERHADAP TINGKAT MORBIDITAS Pengaruh Imunisasi terhadap Tingkat Morbiditas dan Status Gizi (IMT/U) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Polokarto Sukoharjo.

1 4 18

EFEK PEMBERIAN FORMULA 100 TERHADAP BERAT BADAN DAN STATUS GIZI BALITA BURUK DAN GIZI KURANG KELUARGA MISKIN EFEK PEMBERIAN FORMULA 100 TERHADAP BERAT BADAN DAN STATUS GIZI BALITA BURUK DAN GIZI KURANG KELUARGA MISKIN RAWAT JALANDI WILAYAH KERJA PUSKESM

0 3 18

EFEK PEMBERIAN FORMULA 100 TERHADAP BERAT BADAN DAN STATUS GIZI BALITA GIZI BURUK DAN GIZI KURANG KELUARGA EFEK PEMBERIAN FORMULA 100 TERHADAP BERAT BADAN DAN STATUS GIZI BALITA BURUK DAN GIZI KURANG KELUARGA MISKIN RAWAT JALANDI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

0 2 15

PERUBAHAN STATUS GIZI BALITA KURANG DAN BURUK SETELAH MENDAPAT FORMULA TEMPE

0 0 9