± 8.6 28.5 ± 7.2 Pengaruh konsumsi biskuit terhadap status gizi dan tingkat morbiditas balita yang berstatus gizi buruk atau kurang di tiga tipologi wilayah kabupaten Sukabumi

Karakteristik Keluarga Balita Umur Orang Tua Umur orang tua diklasifikasikan berdasarkan kelompok umur dewasa awal 20?40 tahun, dewasa tengah 41?65 tahun dan dewasa akhir 65 tahun Papalia Old 1986. Tabel 3 menunjukkan sebaran balita berdasarkan umur orang tua. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar ayah maupun ibu termasuk dalam golongan umur dewasa awal dengan rata?rata umur ayah 33.7 tahun dengan standar deviasi 8,6 dan rata?rata umur ibu 28,5 tahun dengan standar deviasi 7,2. Tabel 9 balita balita berdasarkan umur orang tua Umur Tahun Ayah Ibu n n Dewasa Awal 20?40 41 85.4 45 93.8 Dewasa tengah 41?65 7 14.6 3 6.3 Dewasa akhir 65 Total 48 100 48 100 Rata?rata ± SD

33.7 ± 8.6 28.5 ± 7.2

Hurlock 1998 menyatakan bahwa umur orang tua, terutama ibu berkaitan dengan pengalaman ibu dalam mengasuh anak. Ibu dengan umur muda cenderung memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anak dan keluarga. Berdasarkan tabel di atas dapat diamati bahwa tidak ada ayah maupun ibu yang termasuk dalam golongan umur remaja sehingga dapat disimpulkan dari segi umur orang tua balita termasuk dalam golongan yang siap dan cukup berpengalaman dalam mengasuh anak. Pendidikan Orang Tua Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak Rahmawati 2006. Tabel 10 menunjukkan sebaran balita berdasarkan tingkat pendidikan orang tua. Tabel 10 sebaran balita berdasarkan pendidikan orang tua Tingkat Pendidikan Ayah Ibu n n Tidak Sekolah 1 2.1 1 2,1 Tamat SD 26 54.2 34 70.8 Tamat SMP 7 14.6 8 16.7 Tamat SMA 12 25 5 10.4 Tamat PT 2 4.2 Total 48 100 48 100 Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa tingkat pendidikan baik ayah maupun ibu sebagian besar hanya tamat SD masing?masing sebesar 54,2 dan 70,8. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan tertinggi ayah 4.2 adalah perguruan tinggi sedangkan tingkat pendidikan tertinggi ibu 10.4 adalah SMA, selain itu ternyata masih ada orang tua balita yang tidak pernah sekolah sebesar 2.1. Pekerjaan Orang Tua Jenis pekerjaan ayah cukup bervariasi, antara lain petani, pedagang, buruh tani, buruh non tani, PNSABRIPolisi, Jasatukang ojek dan lain?lain. Tabel 8 menunjukkan sebaran balita berdasarkan jenis pekerjaan orang tua. Tabel 11 sebaran balita berdasarkan jenis pekerjaan orang tua Tingkat Pekerjaan Ayah Ibu n n Tidak Bekerja Petani 12 25 Pedagang 5 10.4 Buruh tani 12 25 Buruh non tani 16 33.3 PNSABRIPolisi JasaTukang Ojeg,Tukang cukur,calo dll 3 6.3 Ibu Rumaht Tangga IRT 48 100 Lainnya Total 48 100 48 100 Sebagian besar ayah balita bekerja sebagai buruh non tani 33.3, tidak ada ayah balita yang tidak bekerja. Berbeda dengan halnya ayah, hampir semua ibu tidak bekerja atau hanya berperan sebagai ibu rumah tangga yang merawat dan mendidik anaknya 100. Pekerjaan termasuk ke dalam salah satu sumber pendapatan dalam keluarga. Dengan adanya pekerjaan tetap dalam suatu keluarga, maka keluarga tersebut relatif terjamin pendapatannya setiap bulan Khomsan 2007. Pendapatan Keluarga Pendapatan perkapita perbulan keluarga digunakan sebagai pendekatan terhadap pengeluaran perkapita keluarga balita. Rata?rata pendapatan keluarga balita perkapita perbulan pada penelitian ini adalah sebesar Rp 166.574,00. Pendapatan terendah keluarga balita perkapita perbulan adalah sebesar Rp 62.500,00 sedangkan pendapatan tertingginya adalah Rp 900.000,00. Tabel 12 Sebaran balita berdasarkan pendapatan perkapita perbulan Pendapatan Perkapita Perbulan n Miskin 31 64.5 Tidak miskin 17 35.4 Total 48 100 Menurut BPS 2009, standar Garis Kemiskinan untuk Kabupaten Sukabumi, kategori miskin ada pada pendapatan per kapita Rp 155.478.00 dan tidak miskin Rp 155.478.00. Berdasarkan standar garis kemiskinan tersebut sebanyak 64.5 keluraga balita termasuk dalam kategori keluarga miskin dan sebanyak 35.4 keluarga balita termasuk dalam kategori keluarga tidak miskin sehingga disimpulkan bahwa sebagian besar keluarga balita termasuk dalam kategori miskin. Pendapatan keluarga yang rendah akan berpengaruh terhadap daya beli pangan sehari?hari. Menurut Riyadi . 1990 hal tersebut memungkinkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Hasil tersebut juga sesuai dengan penelitian Martianto dan Ariani 2004 tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Besar Keluarga Besar keluarga diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu keluarga kecil ≤4 orang, keluarga sedang 5?7 orang dan keluarga besar ≥8 orang Hurlock 1998. Tabel 13 menunjukkan sebaran balita berdasarkan jumlah anggota keluarga. Tabel 13 sebaran balita berdasarkan besar keluarga orang tua Besar Keluarga n Kecil ≤ 4 Orang 26 54.2 Sedang 5?7 Orang 21 43.8 Besar ≥ 8 Orang 1 2.1 Total 48 100 Berdasarkan tabel 13 di atas dapat diketahui bahwa lebih dari separuh keluarga balita memiliki jumlah anggota keluarga kurang dari 4 atau termasuk dalam kategori keluarga kecil 54,2 dan separuh lagi keluarga balita memiliki jumlah anggota keluarga antara lima hingga tujuh orang atau termasuk dalam kategori keluarga sedang 43.8.. Gabriel 2008 menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga yang besar akan mempersulit dalam memenuhi kebutuhan pangan, terutama balita yang memerlukan perhatian khusus karena belum bisa mengurus keperluannya sendiri serta ada dalam masa pertumbuhan. Pola Asuh Balita dalam Keluarga Pola pengasuhan merupakan sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, dan memberi kasih sayang. Menurut Soekirman 2000, pola pengasuhan tersebut berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan fisik dan mental, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga di masyarakat, sifat pekerjaan sehari?hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat. Pola asuh yang dibahas dalam penelitian ini adalah pola asuh makan, pola asuh hidup bersih dan akses terhadap pelayanan kesehatan dasar. Pola Asuh Makan Menurut Hastuti 2008 pola asuh makan mengacu pada apa dan bagaimana anak makan, serta situasi yang terjadi pada saat makan. Pemberian makanan bergizi mutlak dianjurkan untuk anak melalui peran ibu atau pengasuhnya. Pada penelitian ini pola asuh makan yang diteliti meliputi riwayat pemberian ASI, cara memperkenalkan makanan, cara memberikan makanan, dan tugas menyiapkan makan. ASI ekslusif adalah pemberian ASI saja tanpa pemberian makanan pengganti atau tambahan lain. ASI ekslusif sebaiknya diberikan diberikan kepada anak hingga anak berusia 6 bulan, hal ini artinya bahwa ASI saja sudah dapat mencukupi zat gizi yang dibutuhkan bayi sampai usia enam bulan.Berikut sebaran balita berdasarkan riwayat pemberian ASI. Tabel 14 Sebaran balita berdasarkan riwayat pemberian ASI Riwayat pemberian ASI Ya Tidak n n 1. Anak diberi Kolostrum 35 72.9 13 27.1 2. Anak diberikan Asi Eksklusif selama 6 bulan 27 56.2 21 43.8 3. Anak mulai diberi MP ASI setelah segera usia 6 bulan 39 81.2 9 18.8 4. Anak diberikan ASI sampai usia 2 tahun 32 64.6 16 33.4 Tabel 14 menunjukkan bahwa sebagian besar Ibu 56.2 memberikan ASI ekslusif kepada anaknya dan mulai memberikan makanan selain ASI MP ASI setelah usia 6 bulan 81.2 namun demikian masih ada ibu yang tidak memberikan ASI ekslusif kepada anaknya 43.8 karena sebelum usia 6 bulan anak sudah diberikan makanan lain misalnya bubur, sari buah, dan lain?lain. Muchtadi 2002, menyatakan bahwa bagaimanapun harus diusahakan agar makanan tambahan diberikan setelah bayi berusia 6 bulan. Pemberian makanan tambahan pada anak umur kurang dari 6 bulan memiliki kontaminasi yang sangat tinggi. Terdapat bahaya gastroenteritis yang merupakan penyakit yang serius pada anak. Tujuan pemberian MP ASI setelah usia 6 bulan adalah untuk meningkatkan nilai zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI saja tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus Krisnatuti Yenrina 2000 Meskipun tidak memberikan ASI ekslusif namun sebagian besar Ibu memberikan ASI kepada anaknya hingga usia 2 tahun 64.6. Untuk pemberian kolostrum, sebagian besar responden 72.9 memberikan kolostrum untuk anaknya, bagi Ibu yang tidak memberikan kolostrum, berdasarkan hasil wawancara dikarenakan mereka tidak mengetahui manfaat dari kolostrum tersebut dan menurut mereka kolostrum itu tidak baik karena kotor dan berbau. Menurut Muchtadi 2002 kolostrum mengandung lebih banyak protein terdapat sekitar 10 protein dan lebih banyak mengandung immunoglobulin A yang sangat penting untuk pertahanan tubuh bayi terhadap serangan penyakit infeksi. Sebaran balita berdasarkan pola asuh cara pemberian makan disajikan pada tabel 15. Tabel 15 Sebaran balita berdasarkan cara pemberian makan Cara memberikan makan Ya Tidak n n 1. Ibu memberikan anak makan 3 kali sehari 30 62.5 18 37.5 2. Ibu memberikan buah setiap hari pada anak 11 22.9 37 77.1 3. Ibu memberikan sayur setiap hari pada anak 16 33.4 32 66.6 4. Ibu memberikan sumber protein hewani setiap hari 27 56.2 21 43.8 5. Ibu memberikan sumber protein nabati setiap hari 42 87.5 6 12.5 6. Ibu memberikan menu makanan lengkap setiap hari 18 37.5 30 62.5 7. Ibu menyuapi anak ketika tidak nafsu makan 33 68.7 15 31.3 8. Ibu membujuk anak bila sedang tidak mau makan 39 81.2 9 18.8 Tabel 15 menunjukkan bahwa persentase Ibu yang memberikan makan anaknya sebanyak 3 x sehari dengan Ibu yang tidak memberikan makan 3x sama 62.5. Alasan Ibu tidak memberikan makan 3x sehari untuk anaknya karena anak memang setiap harinya tidak mau makan. Tidak ada responden ibu yang menyediakan menu makanan lengkap untuk anaknya. Berdasarkan hasil wawancara dan recall Ibu hanya menyediakan makanan dengan komposisi nasi + lauk saja tempe tahu tanpa sayur, nasi + telur saja + kecap, dan bahkan hanya nasi + sayur, dengan alasan mahalnya harga pangan seperti daging ayam maupun daging sapi dan juga tergantung dari kesukaan anak. Berdasarkan uraian mengenai pola asuh makan diatas diperoleh kemudian dikategorikan. Sebaran balita berdasarkan kategori pola asuh makan disajikan pada tabel 16. Tabel 16 Sebaran balita berdasarkan kategori pola asuh makan Pola Asuh Makan n Rendah 18 37.5 Sedang 28 58.3 Baik 3 6.3 Total 48 100 Tabel 16 menunjukkan bahwa sebagian besar 58.3 balita memiliki pola asuh makan yang sedang 60?80, sebanyak 37.1 rendah 60 dan hanya 6.3 balita yang menerapkan pola asuh makan yang baik kepada anaknya. Pola asuh makan merupakan faktor yang sangat menentukan status gizi anak. Pola Asuh Hidup Sehat Perawatan kesehatan merupakan bentuk perilaku ibu dalam menerapkan pola hidup sehat pada anak sehingga anak selalu berada dalam kondisi terbebas dari penyakit serta dapat beraktivitas rutin selayaknya individu normal. Pola asuh hidup sehat yang diteliti dalam penelitian ini diukur dengan 15 pertanyaan meliputi kebiasaan hidup bersih seperti mandi, keramas, gosok gigi, gunting kuku, cuci tangan, kebersihan mainan anak, dan lingkungan bermain anak. Berikut sebaran balita berdasarkan pola asuh hidup sehat Tabel 17 Sebaran balita berdasarkan pola asuh pola asuh hidup sehat Pola asuh hidup sehat Ya Tidak n n 1. Membiasakan anak mencuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah makan 30 62.5 18 37.5 2. Membiasakan cuci tangan dengan sabun setelah membersihkan BAB buang air besar anak 25 52.1 13 27.1 3. Memcuci bersih mainan yang di pegang oleh anak 10 20.8 38 79.2 4. Memeriksa dan menggunting kuku anak minimal seminggu sekali 37 77.1 11 22.9 5. Membolehkan anak bermain di lantai kotortanak 36 75.0 12 25.0 6. Mencuci rambut keramas anak minimal 2 kali seminggu 40 83.3 8 16.7 7. Memeriksa keberihan telinga anak 42 87.5 6 12.5 8. Menyediakan sandalalas kaki untuk digunakan anak ketika keluar rumah 34 70.8 14 29.2 9. Mengingatkanmenyuruh anak memakai alas kaki ketika keluar rumah 34 70.8 14 29.2 10. Mengajak anak melakukan aktivitas fisik seminggu 27 56.3 21 43.8 Tabel 17 menunjukkan pola asuh ibu terhadap kebersihan anaknya baik dalam hal memmbiasakan mencuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah makan, membiasakan mencuci tangan dengan sabun setelah membersihkan BAB anak, memcuci bersih mainan yang dipegang oleh anak , memeriksa dan menggunting kuku, membolehkan anak bermain di lantai kotor, mencuci rambut keramas anak minimal 2 kali seminggu, memeriksa kebersihan anak, menyediakan sandalalas kaki untuk digunakan anak ketika keluar rumah, mengingatkanmenyuruh anak memakai alas kaki ketika keluar rumah dan mengajak melakukan aktivitas fisik . Persentasi terendah perawatan kebersihan ibu terhadap anaknya yaitu dalam hal mencuci bersih mainan yang dipegang oleh anaknya dengan presentasi hanya 20.8 . Notoadmojdo 2007, menyatakan bahwa salah satu kondisi yang menyebabkan anak balita rawan gizi dan rawan kesehatan adalah anak balita sudah mulai bermain di tanah atau di luar rumahnya sendiri. Sehingga lebih terpapar dengan lingkungan yang kotor dan kondisi yang memungkinkan untuk terkena berbagai penyakit. Berdasarkan tabel 17 sebanyak 70.8 Ibu menyediakan alas kaki untuk anaknya ketika akan bermain keluar rumah,namun masih ada Ibu yang tidak menyediakan alas kaki untuk anaknya ketika anaknya bermain di tanah lingkungan luar rumah yaitu sebanyak 29.2. Tabel 18 Sebaran balita berdasarkan kategori pola asuh hidup sehat Pola asuh hidup sehat n Rendah 60 11 22.9 Sedang 60?80 26 54.2 Baik 80 11 22.9 Total 48 100 Tabel 18 menunjukkan sebaran balita berdasarkan kategori pola asuh hidup sehat. Berdasarkan uraian mengenai pola asuh hidup sehat ibu terhadap anaknya diketahui bahwa sebagian besar balita dalam hal perawatan kebersihan anak tergolong sedang yaitu sebesar 54.2. Sedangkan Kelompok Ibu yang perawatan kebersihan terhadap anaknya yang tergolong rendah dan baik sebesar 22.9. Pengsuhan pola hidup sehat perawatan kebersihan pada anak balita merupakan usaha yang dilakukan orangtua untuk mengajarkan anak berperilaku bersih dan sehat, menjalankan kebiasaan hidup sehat sehingga dapat menjamin kesehatnnya dan dapat terhindar dari penyakit Hastui 2008 Pola Akses terhadap Pelayanan Dasar Pola asuh hidup sehat tidak hanya dapat dilakukan secara preventif tetapi uga secara kuratif. Menurut Hastuti 2008, upaya kuratif yang dapat dilakukan meliputi upaya orangtua untuk memberikan pengobatan dan perawatan agar anak selalu berada dalam kondisi terbebas dari penyakit infeksi, dan penyakit lain yang umum terjadi pada anak. Pola pengasuhan kesehatan yang dilakukan pengasuh dalam mengakses pelayanan dasar yang diteliti meliputi keaktifan Ibu membawa anak ke dokterbidanpuskesmas ketika sakit, mengikuti posyandu, imunisasi dasar, dan vitamin A dosis tinggi yang diperoleh balita sebagai upaya memberikan kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit infeksi. Sebaran responden berdasarkan pola akses pelayan dasar disajikan pada tabel 19. Tabel 19 menunjukkan bahwa sebagian besar Ibu 83.3 membawa anaknya ke Posyandu setiap bulan dalam 6 bulan terakhir, hal ini menunjukkan bahwa kesadaran Ibu akan pentingnya Posyandu cukup tinggi. Keberadaan posyandu sangat penting guna mengetahui tumbuh kembang anak. Walaupun sebagian besar Ibu mengikuti Posyandu,namun ternyata tidak semua Ibu memiliki KMS yang terisi penuh dengan alasan KMS hilang dan tidak membawa saat posyandu. Vitamin A dosis tinggi yang diberikan kepada balita sangat penting sebagai upaya memberikan kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit infeksi serta untuk menjga kesehatan mata anak sejak dini. Berdasarkan data hasil penelitian diketahui bahwa seluruh ibu memperoleh vitamin A selama satu tahun terakhir. Walaupun masih ada Ibu yang tidak menghadiri Posyandu, namun distribusi vitamin A baik karena kesadaran petugas kesehatan maupun KADER posyandu yang mengunjungi rumah?rumah yang balitanya tidak datang saat peberian vitamin A. Tabel 19 Sebaran balita berdasarkan pola akses pelayan dasar Akses Yankes Ya Tidak n n Mengajak ke posyandu tiap bulan 6 bulan terakhir 40 83.3 8 16.7 KMS dan KIA terisi penuh 44 91.7 4 8.3 Anak mendapatkan vitamin A 1 tahun terakhir 45 93.8 3 6.3 IMUNISASI BCG 31 64.6 17 35.4 DPT 1 31 64.6 17 35.4 DPT 2 27 56.3 21 43.8 DPT 3 25 52.1 23 47.9 Polio 34 70.8 14 29.2 Campak 28 58.3 20 41.7 Hepatitis 28 38.3 20 41.7 Departemen Kesehatan melaksanakan program pengembangan imunisasi PPI pada anak dalam upaya menurunkan kejadian penyakit pada anak. Program imunisasi untuk penyakit yang dapat dicegah dengan imuniasi pada anak mencakup satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT, empat kali imunisasi polio, satu kali imunisasi campak, dan tiga kali imunisasi hepatitis B Depkes 2008. Tabel 18 menunjukkan sebagian besar balita diberikan semua jenis imunisasi dengan persentase 60.7. Sampel yang menyatakan anaknya tidak mendapatkan imuniasi karena menurut keterangan mereka setelah imunisasi anak menjadi sakit sehingga timbul kehawatiran pada Ibu untuk kembali membawa anak mereka untuk mendapatkan imunisasi. Imunisasi Hepatitis merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit hepatitis. Imunisasi hepatitis diberikan pada umur dua, tiga, empat bulan Depkes 2008. Imunisasi BCG merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit TBC yang berat. Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan Depkes 2008. Imunisasi polio diberikan pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat minggu. Imunisasi ini digunakan untuk mencegah terjadinya poliomyelitis yang dapat menyebabkan kelumpuhan pada anak. Imunisasi DPT dilakukan pada bayi umur dua, tiga, empat bulan. Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu. Tujuan diberikan imunisasi adalah diharapkan anak menjadi kebal terhadap penyakit sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit tertentu Hidayat 2004. Sebaran balita berdasarkan kategori akses pelayanan dasar disajikan pada tabel 20. Tabel 20 Sebaran balita berdasarkan kategori pola akses pelayanan dasar Pola akses pelayanan dasar n Rendah 60 19 39.6 Sedang 60?80 6 12.5 Baik 80 23 47.9 Total 48 100 Dengan imunisasi diharapkan anak atau bayi tetap tumbuh dalam keadaan sehat. Tabel 20 menunjukkan bahwa sebagian besar balita 47.9 akses terhadap pelayanan kesehatannya baik, dan tidak ada balita yang tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan dasar yang ada seperti posyandu dan imunisasi, hal ini menunjukkan tingginya kesadaran balita untuk menjaga kesehatan anak. Kondisi Lingkungan Lingkungan adalah segala sesuatu, baik karena benda maupun keadaan yang berada di sekitar manusia yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan seseorang atau kelompok masyarakat. Kesehatan lingkungan mencakup aspek yang sangat luas yang meliputi hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Pentingnya lingkungan sehat akan mempengaruhi sikap dan perilaku manusia. Kondisi lingkungan yang diteliti dalam penelitian ini adalah kondisi fisik rumah, sumber air, serta sarana pembuangan kotoran manusia, sampah, dan air limbah. Kondisi Fisik Rumah Kondisi fisik rumah yang diteliti dalam penelitian ini meliputi dinding, lantai, atap, jendela, ventilasi, keberadaan kandang ternak, jamban dan kamar mandi. Sebaran balita berdasarkan kondisi fisik rumah dalam gambar 4. Kondisi Fisik Rumah Gambar 4 kondisi fisik rumah balita Menurut Depkes 2008 penggunaan jenis dinding dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Sebagian besar balita 50 memiliki rumah dengan dinding tembok. Sebagian besar balita 29.2 memiliki lantai yang terbuat dari keramiktegel dan pelur. Menurut Latifah et al 2002, lantai rumah harus mudah dibersihkan misalnya lantai yang terbuat dari keramik, teraso, tegel atau semen. Namun masih ada balita yang lantai rumahnya hanya tanah yaitu 8.3. Lantai tanah tidak memenuhi syarat kesehatan karena dapat menjadi sumber penyakit seperti cacing dan bakteri penyebab sakit perut. Selain itu lebih dari separuh balita 87.5 memiliki rumah beratapkan genteng. Atap rumah yang baik yaitu atap rumah yang dapat melindungi penghuninya dari panas dan hujan. Rumah yang sehat adalah rumah yang memilki ventilasi yang cukup untuk sirkulasi udara.Sebagian besar rumah balita memiliki ventilasi sebesar 87.5 dengan luas rumah yang bervariasi. Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya karen luas lantai yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan overcrowded. Notoadmojo 2007 menyatakan bahwa hal tersebut tidak sehat karena bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga lainnya. Sumber air Sumber air rumah yang diteliti dalam penelitian ini meliputi sumber air untuk minum, mandi dan cuci. Sebaran balita dapat dilihat pada gambar 5. Gambar 5 Sumber air minum dan mandi Air sangat penting untuk kehidupan, kebutuhan air sangat mutlak. Sumber air yang diltelti dalam penelitian ini adalah sumber air untuk minum dan untuk mandi serta cuci. Sebagian besar balita 60.4 mendapatkan air minum dari mata air terlindung, namun masih ada balita yang mendapatkan air minum dari sungai yaitu sebesar 10.4. Air sumur merupakan sumber air yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Air sumur harus dilindungi terhadap bahaya pengotoran dan pencemaran agar memenuhi syarat kesehatan sebagai air rumahtangga. Sumber air minum yang kurang bersih sering menjadi sumber pencemar pada penyakit water borne disease. Oleh karena itu sumber air minum harus memenuhi syarat lokalisasi dan konstruksi Depkes 2008. Sarana pembuangan limbah Penanganan pembuangan limbah rumah yang diteliti dalam penelitian ini meliputi buang air besar BAB, penanganan sampah dan tempat pembuangan air limbah rumah. Sebaran balita dapat dilihat pada gambar 6. Gambar 6 Sarana pembuangan limbah Berdasarkan Gambar 6, Kondisi lingkungan yang diteliti dalam penelitian ini adalah sarana pembuangan kotoran manusia, tempat membuang sampah, penanganan sampah dan air limbah rumah. Sebagian besar balita buang air besar di wc umum yatu sebesar 54.2 sedangkan 25 balita memiliki wc sendiri dan 25 buang air besar di sungai. Pembuangan limbah manusia yang layak adalah kebutuhan masyarakat yang paling mendesak. Pembuangan limbah manusia yang tidak pada tempatnya dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat. Oleh karena itu menurut Sukandar 2007, pembuangan kotoran manusia harus dapat dibuang dengan baik agar tidak mencemari lingkungan sekitar, karena di dalam kotoran manusia banyak terdapat bibit?bibit penyakit yang dapat menyebabkan dan menularkan berbagai penyakit serta menimbulkan bau yang tidak sedap. Penanganan sampah rumahtangga sebagian besar 43.7 balita dengan dibakar, sedangkan untuk pembuangan air limbah rumah sebanyak 47.9 balita di buang kesungaikali. Tabel 21 Sebaran balita berdasarkan kondisi lingkungan Kondisi Lingkungan n Rendah 60 8 16.7 Sedang 60?80 32 66.7 Baik 80 8 16.7 Total 48 100 Tabel 21 menunjukkan bahwa sebagian besar balita 66.7 hidup dalam lingkungan yang tergolong kategori sedang, sebanyak 16.7 hidup dalam kondisi lingkungan yang tidak baik rendah, dan 16.7 balita yang hidup dalam lingkungan yang baik. Keadaan kesehatan seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan Riyadi 2006. Apabila lingkungan hidup tidak baik, maka dapat membahayakan kesehatan. Terbatasnya persediaan air bersih, sarana pembuangan air limbah, kurangnya kebersihan lingkungan perumahan merupakan pendorong timbulnya berbagai jenis penyakit, dan timbulnya berbagai jenis penyakit sangat mempengaruhi status gizi balita, dimana menurut WHO terdapat 2 hal yang secara langsung mempengaruhi status gizi seseorang, yaitu infeksi dan konsumsi. Asupan Energi dan Protein Secara umum asupan zat gizi balita diperoleh dari konsumsi pangan sehari yang merupakan penjumlahan dari makan pagi, siang, malam, dan makanan selingan. Tabel 22 menunjukkan rata?rata konsumsi dan tingkat kecukupan balita. Tabel 22 Rata?rata asupan energi dan protein sebelum dan setelah intervensi Zat Gizi Tanpa Biskuit Dengan Biskuit Uji Beda Energi Kal 591.3 745..4 p=0.000 Protein g 10.7 13.5 p=0.000 P0.05: Signifikan Tabel 22 menunjukkan bahwa asupan energi dan protein balita balita menunjukkan ada peningkatan sebesar 154 Kalori untuk energi dan 2.8 g untuk protein setelah pemberian biskuit fungsional selama 88 hari. Peningkatan asupan dikarenakan adanya kontribusi energi dari biskuit yang dikonsumsi balita balita. Biskuit lele yang diberikan kepada balita balita dapat dikatakan bersifat supplementary karena dengan konsumsi biskuit dapat meningkatkan asupan energi dan protein balita balita. Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi zat gizi aktual nyata dengan kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen Hardinsyah Briawan 1994. Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa tingkat kecukupan energi dan protein balita masih lebih rendah dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Gabriel 2008 menyatakan bahwa balita merupakan golongan yang sangat aktif dan oleh karena itu memerlukan banyak energi yang tersedia dalam karbohidrat. Selain energi, protein merupakan zat gizi yang juga dibutuhkan balita untuk pertumbuhannya. Tabel 23 Sebaran balita berdasarkan tingkat kecukupan energi TKE dan tingkat kecukupan protein TKP Tingkat Kecukupan Tanpa Biskuit Dengan Biskuit Uji Beda n n Energi Defisit Berat 70 28 58.3 2 4 Defisit Sedang 70?79 9 18.8 5 10 Defisit Ringan 79?89 10 20.8 18 38 Cukup 90?115 1 2.1 23 48 Total 48 100 48 100 Rata?rata ± SD

72.6 ± 8.6 91.8 ± 12.8

Dokumen yang terkait

Pola konsumsi, Status Gizi dan Prestasi Belajar Anak Vegetarian dan Non Vegetarian Siswa Kelas V Sekolah Dasar di Yayasan Perguruan Bodhicitta Medan Tahun 2013

5 59 89

Status Gizi Balita Gizi Kurang Setelah Mendapatkan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMTP) Di Puskesmas Tambusai Kecamatan Tambusai Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau

2 43 79

Gambaran Status Gizi Anak Balita Gizi Kurang Setelah Mendapatkan Pemberian Makanan Tambahan Di Puskesmas Mandala Medan Tahun 2009

0 57 105

Tingkat Konsumsi Energi, Morbiditas dan Status Gizi Anak Balita di Enam Desa Penelitian "Food Security"

0 13 83

Hubungan Kepatuhan Konsumsi Biskuit yang Diperkaya Protein Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan Status Gizi dan Morbiditas Balita di Warungkiara, Bantargadung, Kabupaten Sukabumi

1 5 147

PENGARUH IMUNISASI TERHADAP TINGKAT MORBIDITAS DAN STATUS GIZI (IMT/U) PADA BALITA DI Pengaruh Imunisasi terhadap Tingkat Morbiditas dan Status Gizi (IMT/U) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Polokarto Sukoharjo.

0 3 15

SKRIPSI PENGARUH IMUNISASI TERHADAP TINGKAT MORBIDITAS Pengaruh Imunisasi terhadap Tingkat Morbiditas dan Status Gizi (IMT/U) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Polokarto Sukoharjo.

1 4 18

EFEK PEMBERIAN FORMULA 100 TERHADAP BERAT BADAN DAN STATUS GIZI BALITA BURUK DAN GIZI KURANG KELUARGA MISKIN EFEK PEMBERIAN FORMULA 100 TERHADAP BERAT BADAN DAN STATUS GIZI BALITA BURUK DAN GIZI KURANG KELUARGA MISKIN RAWAT JALANDI WILAYAH KERJA PUSKESM

0 3 18

EFEK PEMBERIAN FORMULA 100 TERHADAP BERAT BADAN DAN STATUS GIZI BALITA GIZI BURUK DAN GIZI KURANG KELUARGA EFEK PEMBERIAN FORMULA 100 TERHADAP BERAT BADAN DAN STATUS GIZI BALITA BURUK DAN GIZI KURANG KELUARGA MISKIN RAWAT JALANDI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

0 2 15

PERUBAHAN STATUS GIZI BALITA KURANG DAN BURUK SETELAH MENDAPAT FORMULA TEMPE

0 0 9