± 8.6 91.8 ± 12.8 ± 9.5 90.3 ± 10.7 Pengaruh konsumsi biskuit terhadap status gizi dan tingkat morbiditas balita yang berstatus gizi buruk atau kurang di tiga tipologi wilayah kabupaten Sukabumi

Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi zat gizi aktual nyata dengan kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen Hardinsyah Briawan 1994. Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa tingkat kecukupan energi dan protein balita masih lebih rendah dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Gabriel 2008 menyatakan bahwa balita merupakan golongan yang sangat aktif dan oleh karena itu memerlukan banyak energi yang tersedia dalam karbohidrat. Selain energi, protein merupakan zat gizi yang juga dibutuhkan balita untuk pertumbuhannya. Tabel 23 Sebaran balita berdasarkan tingkat kecukupan energi TKE dan tingkat kecukupan protein TKP Tingkat Kecukupan Tanpa Biskuit Dengan Biskuit Uji Beda n n Energi Defisit Berat 70 28 58.3 2 4 Defisit Sedang 70?79 9 18.8 5 10 Defisit Ringan 79?89 10 20.8 18 38 Cukup 90?115 1 2.1 23 48 Total 48 100 48 100 Rata?rata ± SD

72.6 ± 8.6 91.8 ± 12.8

p=0.000 Protein Defisit Berat 70 23 47.9 Defisit Sedang 70?79 17 35.4 7 14.6 Defisit Ringan 79?89 5 10.4 16 33.3 Cukup 90?115 3 6.3 25 52.1 Total 48 100 48 100 Rata?rata ± SD

71.3 ± 9.5 90.3 ± 10.7

p=0.000 P0.05: Signifikan Tingkat kecukupan energi dan protein dikelompokkan menjadi defisit berat 70, defisit sedang 70?79, defisit ringan 80?89 dan cukup 90 Martianto . 2008. Secara umum terdapat dua kriteria untuk menentukan kecukupan pangan, yaitu konsumsi energi dan protein. Kebutuhan energi biasanya dipenuhi dari konsumsi pangan pokok, sedangkan kebutuhan protein dipenuhi dari sejumlah substansi hewan, seperti ikan, daging, telur, dan susu Hardinsyah Martianto 1992. Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa sebelum intervensi 58.3 balita tingkat kecukupan energinya termasuk dalam kategori defisit berat, sedangkan tingkat kecukupan protein sebagian besar dari jumlah balita sudah termasuk dalam kategori defisif berat 47.9. Hal ini disebabkan konsumsi pangan sumber energi khususnya nasi sebagian besar balita masih rendah, sedangkan konsumsi pangan sumber protein sebagian besar balita pun masih rendah khususnya telur dan susu. Setelah intervensi tingkat kecukupan energi yang termasuk dalam ketegori defisit berat mengalami penurunan menjadi sebesar 4 dan untuk tingkat kecukupan protein dengan kategori defisit berat terjadi penurunan menjadi 0. Kontribusi Zat Gizi Biskuit terhadap AKG Balita Menurut Almatsier 2001, angka kecukupan gizi AKG atau biasa juga dikenal dengan . . merupakan taraf konsumsi zat?zat gizi esensial yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Kecukupan nilai energi ditetapkan dengan cara berbeda daripada kecukupan untuk zat gizi lain. AKG untuk energi mencerminkan rata?rata kebutuhan tiap kelompok penduduk, sedangkan angka kecukupan protein dan zat gizi lainnya dinyatakan sebagai taraf asupan yang aman . Suatu produk dapat memberikan kontribusi sejumlah zat gizi tertentu dengan menghitung kontribusinya terhadap AKG. Untuk itu diperlukan penentuan jumlah saji sehingga angka kecukupan gizi per saji dan kontribusinya terhadap AKG dapat dihitung. Rata?rata jumlah biskuit yang dikonsumsi balita balita yaitu sekitar 3 keping atau setara dengan 40 g per hari dapat memberikan kontribusi tambahan asupan zat gizi balita balita terutama energi dan protein. Rata?rata kontribusi energi dari biskuit sudah di atas 15 AKG energi yaitu 15.4 dari AKG. Kontribusi energi tertinggi yaitu mencapai 26.5 dari AKG sebesar 196 kalori. Kontribusi energi dari makanan tambahan biskuit ini lebih besar dibandingkan hasil survey pada 600 anak di amerika, dimana kontribusi energi pada snack yang disediakan berkisar antara 124?170 kalori 2007. Sedangkan rata?rata kontribusi protein dari konsumsi biskuit cukup tinggi yaitu 21.6 dari kecukupan AKG.Kontribusi protein terbesar yaitu 8.3 g atau setara dengan 26.1 AKG balita balita. Kandungan protein yang tinggi berasal dari bahan isolat protein kedelai dan tepung ikan lele. Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni karena kadar protein minimumnya 95 dalam berat kering Koswara 1995. Protein ikan lele juga mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup Astawan 2008 dan komposisi kimia yang ada dalam tepung protein ikan tidak jauh berbeda dengan yang ada dalam ikan sebagai bahan bakunya, termasuk protein Sunarya 1990. Menurut BPOM 2004 makanan dikatakan sumber protein yang baik bila mengandung sedikitnya 20 AKG yang dianjurkan per saji. Kepatuhan Konsumsi PMT Biskuit Biskuit merupakan salah satu makanan yang sudah populer dan disukai anak?anak. Makanan tambahan PMT biskuit yang diberikan adalah biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai. Komposisi dari PMT biskuit terdiri dari : tepung ikan lele tepung daging dan tepung kepala, tepung terigu, isolat protein kedelai, telur ayam, gula bubuk, margarin, mentega, dan susu. Kandungan energi dan protein yang bermutu tinggi asam amino yang relatif lengkap dari biskuit diharapkan dapat mempercepat penambahan kuantitas dan kualitas saupan balita gizi kurang. Namun besarnya tambahan asupan zat gizi yang diperoleh juga tergantung seberapa tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi makanan tambahan tersebut. Kepatuhan balita dalam konsumsi biskuit dilihat dari jumlah biskuit yang habis dikonsumsi selama 88 hari dibandingkan dengan jumlah biskuit yang seharusnya dikonsumsi 352 keping. Sebaran balita berdasarkan tingkat kepatuhan konsumsi biskuit disajikan pada tabel 24. Tabel 24 Sebaran balita berdasarkan tingkat kepatuhan konsumsi biskuit per wilayah Tingkat kepatuhan n Puskesmas Kadudampit Dataran tinggi Rendah 50 1 8.3 Sedang 50?70 2 16.7 Tinggi 70 9 75.0 Total 12 100 Puskesmas Cikidang Dataran Sedang Rendah 50 2 10.0 Sedang 50?70 5 25.0 Tinggi 70 11 65.0 Total 20 100 Puskesmas Citarik Dataran rendah Sedang 50?70 4 25.0 Tinggi 70 12 75.0 Total 16 100 Tabel 24 menunjukan bahwa sebaran balita balita di puskesmas Kadudampit dan Citarik tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi biskuit ikan lele tergolong tinggi masing?masing sebesar 75 sedangkan untuk puskesmas Cikidang yang sudah 70 tingkat kepatuhan mengkonsumsi biskuit sebesar 65. Tabel 25 Sebaran balita berdasarkan tingkat kepatuhan konsumsi biskuit Tingkat kepatuhan n Rendah 50 3 6.2 Sedang 50?70 11 22.9 Tinggi 70 37 70.8 Total 48 100 Tabel 25 menunjukkan bahwa sebagian besar balita selama 88 hari intervensi tingkat kepatuhannya tergolong tinggi 70.8, sedang 22.9 dan tingkat kepatuhan konsumsi tergolong rendah 6.2 . Berdasarkan hasil wawancara dengan pengasuh, bentuk biskuit yang cukup menarik dengan rasa yang cukup enak merupakan salah satu faktor yang menyebabkan balita patuh dan suka untuk mengkonsumsi biskuit tersebut, sedangkan balita dengan tingkat kepatuhan sedang disebabkan karena balita pada bulan ke 2 dan ke 3 sudah mulai bosan, karena balita setiap hari harus mengkonsumsi 4 keping biskuit selama 88 hari dengan bentuk dan rasa yang sama, sehingga balita yang tadinya setiap hari mampu menghabiskan 4 keping biskuit, di bulan ke 2 dan ke 3 hanya mau mengkonsumsi 3?2 keping biskuithari. Konsumsi biskuit berdasarkan data dan hasil wawancara dengan dari bulan pertama sampai bulan ke 3 intervensi terjadi penurunan kepatuhan balita dalam konsumsi biskuit yang dapat dilihat pada gambar 7. Gambar 7 jumlah rata?rata biskuit yang dikonsumsi balita per minggu selama 12 minggu intervensi Status Gizi Balita Status gizi balita ditentukan dengan menggunakan beberapa indeks yang telah direkomendasikan oleh WHO 1995, yaitu indeks untuk berat badan menurut umur BBU. Hasil pengukuran indeks tersebut selanjutnya ditentukan dengan menggunakan nilai z?skor yang direkomendasikan oleh NCHSWHO. Status Gizi Balita berdasarkan Berat Badan menurut Umur Tabel 26 menunjukkan sebaran balita berdasarkan status gizi indeks berat badan menurut umur BBU. Indeks BBU mencerminkan status gizi saat ini karena berat badan menggambarkan massa tubuh otot dan lemak yang sensitif terhadap perubahan yang mendadak, seperti infeksi otot dan tidak cukup makan Tarwotjo Djuwita 1990. Tabel 26 Sebaran balita berdasarkan status gizi BBU per wilayah Status Gizi Balita Sebelum Setelah n n Puskesmas Kadudampit Dataran Ttnggi Gizi buruk Z?skor ?3.0 6 50 1 8.3 Gizi kurang Z?skor ≥?3.0sd Z?skor ?2.0 6 50 4 33.3 Gizi baik Z?skor ≥ ?2.0sd Z?skor ≤ 2.0 7 58.3 Total 12 100 12 100 Puskesmas Cikidang Dataran Sedang Gizi buruk Z?skor ?3.0 9 45 2 10 Gizi kurang Z?skor ≥?3.0sd Z?skor ?2.0 11 55 9 45 Gizi baik Z?skor ≥ ?2.0sd Z?skor ≤ 2.0 9 45 Total 20 100 20 100 Puskesmas Citarik Dataran rendah Gizi buruk Z?skor ?3.0 5 31.3 2 12.5 Gizi kurang Z?skor ≥?3.0sd Z?skor ?2.0 11 68.7 7 43.7 Gizi baik Z?skor ≥ ?2.0sd Z?skor ≤ 2.0 7 43.7 Total 16 100 16 100 Tabel 26 menunjukan bahwa sebaran balita balita di puskesmas Kadudampit,Cikidang dan Citarik terjadi perubahan status gizi sebelum intervensi balita balita sebagian besar mempunyai status gizi buruk dan kurang, namum setelah intervensi dengan pemberian biskuit ikan lele terdapat balita balita dengan status gizi baik yang pada awalnya status gizi baik ini tidak ada. Tabel 27 Sebaran balita berdasarkan status gizi BBU Status Gizi Balita Sebelum Setelah Uji Beda n n Gizi buruk Z?skor ?3.0 20 41.6 5 10.4 Gizi kurang Z?skor ≥?3.0sd Z?skor ?2.0 28 58.3 20 41.6 Gizi baik Z?skor ≥ ?2.0sd Z?skor ≤ 2.0 23 47.9 Total 48 100 48 100 Rata?rata ± SD ?2.8± 0.4 ?2.2± 0.5 p=0.000 P0.05: Signifikan Berdasarkan tabel 27 di atas diketahui bahwa sebelum intervensi, status gizi seluruh balita dalam penelitian ini termasuk ke dalam dua kategori berdasarkan indeks BBU yaitu gizi buruk 41,6 dan gizi kurang 58,3 dengan z?skor minimum ?4,1 sedangkan z?skor maksimum ?2,06. Rata?rata nilai z?skor BBU balita adalah ?2,8 dengan standar deviasi 0,4. Sedangkan setelah intervensi status gizi balita mengalami perubahan berdasarkan indeks BBU yaitu gizi buruk 10.4, gizi kurang 41.6 dan gizi baik 47.9 dengan z?skor minimum ?3,73 sedangkan z?skor maksimum ?0,9. Rata?rata nilai z?skor BBU balita adalah ?2,2 dengan standar deviasi 0,5. Hal ini menunjukan bahwa intervensi pemberian makanan tambahan biskuit tepung ikan lele pada balita dengan status gizi buruk dan kurang selama 88 hari dapat meningkatkan berat badan balita. Setelah intervensi pemberian biskuit bergizi selama 88 hari kepada balita secara umum menunjukkan adanya perbaikan terhadap status gizi balita berdasarkan indikator BBU. Perbaikan status gizi balita berdasarkan indikator BBU terlihat dengan adanya penurunan balita kategori gizi buruk dan gizi kurang, sebaliknya terdapat peningkatan balita dengan status gizi baik yang pada awal intervensi tidak ada dan pada akhir intervensi menjadi 47.9, Morbiditas Morbiditas merupakan salah satu variabel yang mencerminkan status kesehatan. Morbiditas ini meliputi prevalensi penyakit menular dan penyakit tidak menular.Tabel 28 menunjukkan sebaran balita berdasarkan jenis dan frekuensi sakit. Penyakit yang diderita balita cukup beragam meliputi ISPA, diare, campak, dan lainnya. Tabel 28 Sebaran balita berdasarkan jenis dan frekuensi sakit yang pernah diderita 1 bulan terakhir sebelum intervensi Jenis penyakit 1 2 ≥3 Tidak pernah n n n n ISPA 17 35.4 4 8.3 1 2 26 54.1 Diare 12 25 3 6.2 33 68.7 Campak 48 100 DBD 48 100 Hepatitis 48 100 Tuphus 1 2 47 97.9 Cacar 48 100 Kelompok umur yang paling rentan terhadap penyakit adalah kelompok balita. Tabel 28 menunjukkan sebaran balita berdasarkan jenis, kejadian sakit, dan frekuensi penyakit dalam satu bulan terakhir. Jenis penyakit yang pernah dialami oleh balita dalam satu bulan terakhir cukup beragam yaitu meliputi infeksi saluran pernafasan atas ISPA, diare, demam dan lainnya. Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa penyakit yang paling sering dialami oleh sebagian besar balita adalah, ISPA, diare dan demam. Secara umum diketahui bahwa frekuensi sakit yang dialami oleh sebagian besar balita adalah satu kali dalam satu bulan terakhir dengan lama sakit antara satu sampai tiga hari atau empat sampai tujuh hari seperti yang terlihat pada tabel 26. Umumnya saat balita mengalami ISPA juga disertai dengan demam. Beberapa balita pernah mengalami ISPA dan demam lebih dari tiga kali dalam sebulan. Selain ISPA dan demam, diare juga dialami oleh sebagian besar balita. Penyakit diare berkaitan dengan gizi buruk pada bayi dan anak balita. Bayi dan anak balita yang kekurangan gizi sangat rentan terhadap penyakit?penyakit infeksi termasuk diare Notoadmodjo 2007. Tabel 29 Sebaran balita berdasarkan jenis dan frekuensi sakit yang sedang diderita setelah intervensi Jenis penyakit 1 2 Tidak pernah n n n ISPA 15 31.2 2 4.2 31 64.5 Diare 2 4.2 46 95.8 Campak 3 45 93.7 DBD 48 100 Hepatitis 48 100 Tuphus 48 100 Cacar 48 100 Tabel 29 menunjukkan bahwa jenis penyakit yang paling sering diderita balita adalah ISPA yaitu sebanyak 15 orang balita 31.2 dengan frekuensi terbanyak hanya 1 kali dalam 1 bulan. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi tahun 2010, prevalensi tertinggi yaitu ISPA dengan prevalensi 34 . ISPA merupakan infeksi saluran pernafasan akut pernafasan bagian atas dan saluran pernafasan bagian bawah. Istilah ISPA mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernafasan dan akut. Adapun yang dimaksud saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru. Tingginya kejadian ISPA pada balita diduga disebabkan oleh kondisi lingkungan yang kurang bersih serta sirkulasi udara di rumah yang kurang. Presentase penyakit tertinggi kedua yang banyak diderita balita adalah diare 10.4 dengan frekuensi 1 kali dalam sebulan. Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan sebagian besar 70?80 penderita adalah balita Suraatmaja. 2007. Cukup tingginya persentase balita yang terkena diare diduga disebabkan olah kebersihan lingkungan baik lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan sekitar lingkungan bermain anak serta kualitas kebersihan dari makanan yang dikonsumsi. Tabel 30 sebaran balita berdasarkan jenis dan lama hari sakit sebelum dan setelah intervensi Jenis penyakit Sebelum Setelah n n ISPA 1?3 hari 4?7 hari 11 8 23 16.6 8 5 16.6 10.4 Diare 1?3 hari 4?7 hari 11 4 23 8.3 5 2 10.4 4.1 Tuphus 4?7 hari Campak 8?14 hari 1 2.0 3 6.2 Berdasarkan lama sakit hari sebelum intervensi sebagian besar balita menderita sakit selama 1?3 hari yaitu ISPA 23 dan Diare 23 . Jenis penyakit yang jangka waktunya paling lama yaitu tuphus demam sampai dengan 7 hari sakit. Sedangkan pada saat intervensi berdasarkan jenis dan lama hari menunjukan bahwa sebagian besar balita menderita sakit 1?3 hari yaitu ISPA 16.6, diare 10.4, dan sebagian besar balita menderita sakit 4?7 hari yaitu ISPA 10.4, diare 4.1. Sedangkan Jenis penyakit yang jangka waktunya paling lama pada saat intervensi yaitu tuphus campak sampai dengan 14 hari sakit. Perhitungan morbiditas berdasarkan kondisi atau keadaan kesehatan balita yang didasarkan atas frekuensi dan lama sakit. Menurut perhitungan interval kelas Sugiono 2009 skor morbiditas dikategorikan menjadi rendah 4, sedang 4?7 dan tinggi ≥8. Skor morbiditas diperoleh berdasarkan frekuensi sakit dikalikan dengan lama hari sakit kemudian diklasifikasikan sesuai kelas interval. Sebaran balita berdasarkan kategori morbiditas disajikan pada tabel 31. Tabel 31 sebaran balita berdasarkan skor morbiditas perwilayah Skor morbiditas Sebelum Setelah n n Puskesmas Kadudampit Dataran tinggi Rendah 4 hari 4 3.3 8 66.7 Sedang 4?8 hari 6 50 3 25 Tinggi 8 hari 2 16.7 1 8.3 Total 12 100 12 100 Skor morbiditas Sebelum Setelah n n Puskesmas Cikidang Dataran sedang Rendah 4 hari 14 70 16 80 Sedang 4?8 hari 5 25 3 15 Tinggi 8 hari 1 5 1 5 Total 20 100 20 100 Puskesmas Citarik Dataran rendah Rendah 4 hari 12 75 13 81.2 Sedang 4?8 hari 2 12.5 1 6.3 Tinggi 8 hari 2 12.5 2 12.5 Total 16 100 16 100 Tabel 31 menunjukan bahwa sebaran balita balita di puskesmas Kadudampit,Cikidang dan Citarik terjadi perubahan tingkat morbiditas sebelum intervensi balita balita sebagian besar mempunyai tingkat morbiditas yang tinggi, namum setelah intervensi terjadi penurunan tingkat morbiditas menjadi rendah. Tabel 32 Sebaran balita berdasarkan skor morbiditas Skor morbiditas Sebelum Setelah Uji beda n n Rendah 4 hari 30 62.5 37 77.1 Sedang 4?8 hari 13 27,1 7 14.6 Tinggi 8 hari 5 10.4 4 8.3 Total 48 100 48 100 Rata?rata hari±SD 3.8±4.0 2.1±3.6 p=0.01 P0.05: Signifikan Berdasarkan tabel 32 diketahui sebelum intervensi sebagian besar balita 62.5 memiliki skor morbiditas rendah, sebanyak 27.1 mempunyai skor morbiditas sedang dan 10.4 memiliki skor morbiditas tinggi. Faktor yang mempengaruhi kesehatan adalah penyakit, manusia, dan lingkungan. Gangguan keseimbangan diantara ketiga faktor tersebut menimbulkan gangguan kesehatan yang menyebabkan penurunan derajat kesehatan seseorang Subandriyo Hartanti 1994. Angka kesakitan morbiditas lebih mencerminkan keadaan kesehatan sesungguhnya, sebab kejadian kesakitan mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai faktor lingkungan, seperti perumahan, air minum dan kebersihan serta faktor kemiskinan, kekurangan gizi serta pelayanan kesehatan di daerah tersebut Subandriyo 1993. Setelah diberikan intervensi biskuit selama 88 hari, skor morbiditas pada balita menunjukan adanya perubahan antara sebelum intervensi, namun menunjukkan adanya peningkatan walaupun tidak terlalu tinggi. Hubungan Tingkat Kepatuhan Konsumsi Biskuit dengan Status Gizi dan Morbiditas Balita Tabel 25 menunjukkan bahwa sebagian besar balita balita selama 88 hari pemeberian biskuit lele memiliki kepatuhan yang tinggi dengan konsumsi biskuit 70 dari seluruh biskuit yang diberikan. Semakin tinggi tingkat kepatuhan konsumsi biskuit lele hal ini berarti semakin banyak biskuit yang dikonsumsi balita balita sehingga zat gizi yang dikonsumi balita balita juga meningkat. Dengan adanya kontribusi energi zat gizi protein dari biskuit lele diharapkan dapat membantu meningkatkan status gizi balita balita karena protein asam amino dibutuhkan setiap hari untuk mendukung pertumbuhan jaringan baru dan memelihara sel?sel tubuh Almatsier 2003. Sebaran balita berdasarkan tingkat kepatuhan konsumsi biskuit dan status gizi disajikan pada Tabel 33. Tabel 33 sebaran balita berdasarkan tingkat kepatuhan konsumsi biskuit dan status gizi balita Tingkat Kepatuhan Status Gizi Total Buruk Kurang Baik n n n n Rendah 3 6.2 3 6.2 Sedang 3 6.2 8 1.6 11 22.9 Tinggi 1 2.0 15 31.2 18 37.5 34 70.8 Total 7

14.4 23

Dokumen yang terkait

Pola konsumsi, Status Gizi dan Prestasi Belajar Anak Vegetarian dan Non Vegetarian Siswa Kelas V Sekolah Dasar di Yayasan Perguruan Bodhicitta Medan Tahun 2013

5 59 89

Status Gizi Balita Gizi Kurang Setelah Mendapatkan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMTP) Di Puskesmas Tambusai Kecamatan Tambusai Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau

2 43 79

Gambaran Status Gizi Anak Balita Gizi Kurang Setelah Mendapatkan Pemberian Makanan Tambahan Di Puskesmas Mandala Medan Tahun 2009

0 57 105

Tingkat Konsumsi Energi, Morbiditas dan Status Gizi Anak Balita di Enam Desa Penelitian "Food Security"

0 13 83

Hubungan Kepatuhan Konsumsi Biskuit yang Diperkaya Protein Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan Status Gizi dan Morbiditas Balita di Warungkiara, Bantargadung, Kabupaten Sukabumi

1 5 147

PENGARUH IMUNISASI TERHADAP TINGKAT MORBIDITAS DAN STATUS GIZI (IMT/U) PADA BALITA DI Pengaruh Imunisasi terhadap Tingkat Morbiditas dan Status Gizi (IMT/U) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Polokarto Sukoharjo.

0 3 15

SKRIPSI PENGARUH IMUNISASI TERHADAP TINGKAT MORBIDITAS Pengaruh Imunisasi terhadap Tingkat Morbiditas dan Status Gizi (IMT/U) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Polokarto Sukoharjo.

1 4 18

EFEK PEMBERIAN FORMULA 100 TERHADAP BERAT BADAN DAN STATUS GIZI BALITA BURUK DAN GIZI KURANG KELUARGA MISKIN EFEK PEMBERIAN FORMULA 100 TERHADAP BERAT BADAN DAN STATUS GIZI BALITA BURUK DAN GIZI KURANG KELUARGA MISKIN RAWAT JALANDI WILAYAH KERJA PUSKESM

0 3 18

EFEK PEMBERIAN FORMULA 100 TERHADAP BERAT BADAN DAN STATUS GIZI BALITA GIZI BURUK DAN GIZI KURANG KELUARGA EFEK PEMBERIAN FORMULA 100 TERHADAP BERAT BADAN DAN STATUS GIZI BALITA BURUK DAN GIZI KURANG KELUARGA MISKIN RAWAT JALANDI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

0 2 15

PERUBAHAN STATUS GIZI BALITA KURANG DAN BURUK SETELAH MENDAPAT FORMULA TEMPE

0 0 9