13
tidak banyak menyinggung konsep desakralisai al-Qur ‟an yang dicetuskan
oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Demikian pula, ada penelitian lain yang dilakukan oleh Henri
Shalahuddin pada 2007 dalam bukunya yang berjudul “
al-Qur
‟
an Dihujat.
”
25
Buku yang ditulis oleh Henri Shalahuddin ini lumayan banyak membahas terkait sosok Nasr Hamid Abu Zayd, pemikiran-pemikiran kontroversialnya
terkait penafsiran al-Qur ‟an dan para ulama, ijtihad-ijtihad „nyeleneh‟nya
seputar homoseksual, feminisme, jin dan sihir. Sayangnya, penulis tidak mengupas secara detail konsep desakralisasi al-Qur
‟an Nasr Hamid Abu Zayd, dan ia tidak menyebutkan apa saja implikasinya dalam studi al-Qur
‟an.
E. Kerangka Teoritik
Al-Qur ‟an adalah kalam firman Allah yang diriwayatkan kepada
Nabi Muhammad Saw., yang dihafal terpelihara di dalam dada, yang dapat dibaca dengan lisan, yang ditulis dalam mushaf-mushaf yang dilingkupi
dengan kemuliaan, yang tidak ada kebatilan di hadapannya awalnya maupun di belakangnya akhirnya, dan yang diturunkan dari Dzat Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji.
26
Al-Qur ‟an adalah kalam Allah Swt. yang merupakan mukjizat, yang
diturunkan diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw., yang ditulis di
25
Lihat Henry Shalahuddin, al-Qur ‟an Dihujat, Jakarta: al-Qalam, kelompok Gema
Insani [GIP], 2007.
26
H.M. Idris A. Shomad, “al-Qur‟an Sebagai Wahyu Ilahi”, dalam al-Insan: Jurnal
Kajian Islam, Jakarta: 2005, Vol. 1, No. 1: 79.
14
mushaf, dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
27
Dengan difinisi ini, kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain Nabi Muahmmad Saw., tidak dinamakan al-Qur
‟an, seperti Taurat yang ditirunkan kepada Nabi Musa As., atau Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa
As. Demikian pula kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammmad Saw. yang membacanya tidak bernilai ibadah, seperti hadits qudsi, tidak pula
dinamakan al-Qur ‟an.
28
Selanjutnya, untuk memahami ayat-ayat al-Qur ‟an secara benar, maka
para ulama telah merumuskan kaidah-kaidah khusus yang biasa disebut dengan ulumul qur
‟an atau ilmu tafsir. Menurut Imam az-Zarkasyi, “Tafsir ialah ilmu yang dengannya dapat dipahami kitab Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw., dapat dijelaskan makna-maknaya, serta dikeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmanya.
”
29
Berdasarkan hal ini, sejatinya kita tidak membutuhkan lagi metodologi lain untuk memahami dan menafsirkan al-Qur
‟an selain dari ilmu tafsir tersebut. Sebab, ilmu tafsir ini sudah teruji berabad-abad lamanya digunakan
kaum muslimin untuk memahami dan menafsirkan al-Qur ‟an, tidak ada
problem di dalamnya. Oleh karena itu, kita jangan sampai terpedaya dengan propaganda kaum orientalis dan Islam liberal yang berusaha mengganti ilmu
tafsir ini dengan metode hermeneutika.
27
Jasim bin Muhammad Muhalhal al-Yasi,
al-Jadawil an-Jami ’ah fi al-’Ulum an-Nafi’ah,
Beirut: Muassasah as-Samah}ah dan Muassasah ar-Rayyan, 1431 H 2010 M, hlm. 428.
28
Departemen Agama RI, Al-Qur ‟an dan Terjemahannya,..., hlm. 15.
29
Ibid.
15
F. Metode Penelitian