Sifat Dasar dan Sifat Pengeringan Tiga Jenis Kayu Kurang Dikenal Asal Hutan Alam Papua

SIFAT DASAR DAN SIFAT PENGERINGAN TIGA JENIS
KAYU KURANG DIKENAL ASAL HUTAN ALAM PAPUA

SURYA SALLINA

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Sifat Dasar dan Sifat
Pengeringan Tiga Jenis Kayu Kurang Dikenal Asal Hutan Alam Papua” adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2013

Surya Sallina
NIM E24090001

ABSTRAK
SURYA SALLINA. Sifat Dasar dan Sifat Pengeringan Tiga Jenis Kayu kurang
Dikenal Asal Hutan Alam Papua. Dibimbing oleh TRISNA PRIADI.
Masalah serius yang dikeluhkan dalam pengolahan kayu diantaranya adalah
proses pengeringan karena berlangsung lama dengan kecenderungan cacat bentuk
dan retak. Oleh sebab karena itu, pengeringan termasuk salah satu kegiatan
penting dalam industri pengolahan kayu. Dari sekitar 4 000 jenis kayu Indonesia
baru sebagian kecil diketahui sifat pengeringannya yang perlu didukung oleh
pengetahuan sifat fisis dan anatomi yang berbeda antara jenis satu dengan yang
lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh sifat fisis, anatomi, dan sifat
pengeringan tiga jenis kayu kurang dikenal dari hutan alam Papua, yaitu; briya
hatam (Rhustaitensis guild), pala hutan (Gymnacranthera paniculata), dan kayu
ketapang (Terminalia compalanata) dengan suku masing-masing yang terdiri dari
Myristicaceae, Anacardiaceae, dan Combretaceae. Sifat dasar dan sifat

pengolahannya merupakan petunjuk penting dalam menetapkan kegunaan kayu.
Pengujian sifat fisis kayu meliputi kadar air, berat jenis, dan susut volume.
Pengujian anatomi kayu dilakukan berdasarkan pengamatan secara makroskopis
dan mikroskopis struktur anatominya. Sedangkan pengujian sifat pengeringan
meliputi kecepatan pengeringan, evaluasi cacat, dan jadwal pengeringan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat jenis kayu dan struktur anatomi
kayu mempengaruhi sifat pengeringan kayu. Ketiga jenis kayu sulit untuk
dikeringkan, yaitu briya hatam dengan berat jenis paling tinggi (0.52) memiliki
sifat pengeringan yang lebih buruk daripada pala hutan dan ketapang yang
memiliki berat jenis masing-masing 0.47 dan 0.38. Berdasarkan hasil uji
pengeringan dan sifat-sifat dasar kayu, jadwal pengeringan (suhu dan
kelembaban) yang optimal bagi kayu briya hatam, pala hutan, dan ketapang yaitu
masing-masing adalah 4580 0C dan 9028%; 5080 0C dan 8530%; 5080 0C
dan 9028%.
Kata kunci: kayu, sifat fisis, sifat pengeringan, anatomi kayu, jenis kurang dikenal

ABSTRACT
SURYA SALLINA. Basic Properties and Drying Property of Three Lesser
Known Species of Woods from Natural Forests in Papua. Supervised by TRISNA
PRIADI.

One of serious problems which is commonly complained in wood
industries is wood drying process because of long time and frequent deformation
and checks. So, wood drying is an imperative process in wood industries.
Indonesia has about 4 000 wood species, but only a few of these woods are well
known in their properties and uses. Wood drying property is influenced by
physical and anatomy properties of different woods. The objective of this research

was to reveal the physical properties, anatomy and drying properties of three
lesser known wood species from natural forests in Papua, namely briya hatam
(Rhustaitensis guild) pala hutan (Gymnacranthera paniculata), and ketapang
(Terminalia complanata) with respective families comprising Myristicaceae,
Anacardiaceae and Combretaceae. These basic properties and drying property
were beneficial direction on determining their uses. The physical properties of
woods included moisture content, specific gravity and shrinkage. The anatomy of
wood was observed based on their structures while wood drying test included
drying rate, defects evaluation, and drying schedule.
The results of research showed that specific gravity and the anatomy of
wood structure influenced the wood drying property. All the three wood species
were difficult to be dried. Briya hatam with the higher specific gravity (0.52) had
more drying defects than pala hutan and ketapang whose specific gravity 0.47 and

0.38 respectively. According to the drying test and basic properties of woods, the
proper drying schedule (temperature and humidity) for briya hitam, pala hutan and
ketapang were 4580 0C and 9028%; 5080 0C and 8530%; 5080 0C and 90 –
28% respectively.
Key words: wood, physical properties, wood drying properties, wood anatomy,
lesser known species

SIFAT DASAR DAN SIFAT PENGERINGAN TIGA JENIS
KAYU KURANG DIKENAL ASAL HUTAN ALAM PAPUA

SURYA SALLINA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Hasil Hutan

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi
Nama
NIM

: Sifat Dasar dan Sifat Pengeringan Tiga Jenis Kayu Kurang Dikenal
Asal Hutan Alam Papua
: Surya Sallina
: E24090001

Disetujui oleh
Dosen Pembimbing

Dr Ir Trisna Priadi, MEngSc
NIP. 19670425 199302 1 001

Diketahui oleh

Ketua Departemen Hasil Hutan
Fakultas Kehutanan, IPB

Prof Dr Ir Wayan Darmawan, MScF
NIP. 19660212 199103 1 002

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi
Nama
NIM

Sifat Dasar dan Sifat Pengeringan Tiga Jenis Kayu Kurang Dikenal
Asal Hutan Alam Papua
Surya SalEna
E24090001

Disetujui oleh
Dosen Pembimbing


Dr Ir Trisna Priadi, MEngSc
NIP. 19670425 199302 1 001

Diketahui oJeh
Ketua Departemen Hasil H utan
Fakultas Kehutanan, IPB

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhana wa ta’ala atas segala
karunia dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan pada waktu
yang tepat dengan segala usaha dan kerja keras. Tema yang dipilih adalah terkait
dengan pemanfaatan jenis kayu kurang dikenal melalui sifat pengeringannya yakni
berjudul “Sifat Dasar dan Sifat Pengeringan Tiga Jenis Kayu Kurang Dikenal Asal
Hutan Alam Papua” yang dilaksanakan sejak bulan Juni hingga September 2012 dan
Mei hingga Juli 2013.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ayahanda Suriono dan Ibunda Herlina
Hasibuan sebagai orangtua yang tangguh dan luar biasa dalam mendidik anakanaknya dengan melalui segala usaha, kasih sayang, semangat, nasehat, serta do’a
dan Bapak Dr Ir Trisna Priadi, MEngSc sebagai dosen pembimbing atas segala

bimbingan, saran, dan ilmu yang diberikan kepada penulis. Terima kasih juga penulis
ucapkan kepada Suria Heru Madan, Hardiansyah, Muhammad Daud Sudarsono yang
selalu menjadi motivasi penulis, para sahabat (Mafatih Devi Safrina, Arina Febriani,
Yuka Chandra Asrianti, Fikria Ulfa Wardani, Sri Ratnaningsih), FAHUTAN 46,
teman-teman THH 46, dan seperjuangan organisasi (BEM TPB 2009, SOSKEMAH
TPB 2009, BEM FAHUTAN 2011, HIMASILTAN 2011, dan BEM KM 2013) yang
telah memberikan inspirasi kepada penulis. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada para Laboran Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu (Pak
Syuhada, Pak Kardiman, dan Mbak Esti Prihatini, Ssi) dan Ibu Rully, Pak Andianto,
Mbak Listya sebagai staf ahli bagian Laboratorium Anatomi Kayu di Puslitbang
Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor yang telah membantu
selama proses penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk masyarakat. Penulis mengucapkan
terima kasih kembali kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan
skripsi ini.

Bogor, Desember 2013

Surya Sallina


ii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iii

DAFTAR GAMBAR

iii

DAFTAR LAMPIRAN

iii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat

1

TINJAUAN PUSTAKA

2

Kondisi Air dalam Kayu

2

Faktor yang Mempengaruhi Proses Pengeringan Kayu


2

Cacat Pengeringan Kayu

3

Jadwal Pengeringan Kayu

5

METODOLOGI

5

Waktu dan Tempat

7

Alat dan Bahan

7

Prosedur Pengujian

7

Pengujian Sifat Fisis

7

Pengujian Sifat Anatomi

7

Pengujian Sifat Dasar Pengeringan

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

8

Sifat Fisis Kayu

8

Sifat Anatomi Kayu

9

Sifat Pengeringan

10

Kecepatan Pengeringan

11

Cacat Pengeringan

12

Jadwal Pengeringan

13

SIMPULAN DAN SARAN

15

Simpulan

15

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

18

RIWAYAT HIDUP

22

iii

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Sifat fisis kayu
Karakteristik anatomi tiga jenis kayu asal Papua
Evaluasi sifat dasar pengeringan kayu
Suhu dan RH pengeringan
Jadwal pengeringan kayu briya hatam (Rhustaitensis guild)
Jadwal pengeringan kayu pala hutan (Gymnacranthera paniculata)
Jadwal pengeringan kayu ketapang (Terminalia complanata)

8
10
12
13
14
14
13

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Beberapa jenis cacat bentuk pada proses pengeringan kayu
Cacat retak permukaan dan cacat pecah ujung
Kayu mengalami collapse
Pengaruh berat jenis terhadap susut volume kayu
Struktur anatomi kayu pada penampang lintang, radial, dan tangensial
Pengaruh berat jenis terhadap kecepatan pengeringan kayu
Cacat retak permukaan

3
4
4
8
10
11
13

DAFTAR LAMPIRAN
1. Klasifikasi cacat dan sifat pengeringan (Terazawa 1965)
2. Nilai cacat dalam uji pengeringan kayu (Terazawa 1965)
3. Perubahan suhu dan kelambaban pada awal dan akhir pengeringan kayu (Terazawa
1965)
4. Suhu bola kering dan depresi suhu bola basah berdasarkan kadar air kayu
(Torgeson 1951)
5. Nilai kelembaban udara relatif berdasarkan suhu bola kering dan depresi bola basah

18
19
20
20
21

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan teknologi industri pengolahan kayu harus terus dilakukan
mengingat kontribusinya yang cukup besar dalam perekonomian negara. Namun
beberapa tahun terakhir ini perkembangan teknologi kayu tersebut mengalami
kendala yang salah satunya karena ketersediaan kayu bermutu tinggi semakin
berkurang yang disebabkan oleh berkurangnya areal hutan, deforestasi, kebakaran
hutan dan illegal logging yang masih merambah. Kondisi tersebut berbanding
terbalik dengan kebutuhan kayu sebagai bahan baku untuk berbagai keperluan
yang semakin meningkat. Pasokan kayu dari hutan alam cenderung menurun, baik
volume maupun kualitasnya. Sehingga, diperlukan berbagai upaya dalam
memenuhi kebutuhan kayu yang diantaranya dengan memanfaatkan jenis kayu
yang kurang dikenal. Namun, jenis kayu yang kurang dikenal ini pada umumnya
masih belum memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Oleh sebab itu diperlukan
penelitian sifat dasar dan pengolahannya. Teknologi pengeringan kayu sangat
penting dalam pengolahan kayu, sehingga kualitas produk kayu meningkat. Proses
pengeringan diperlukan untuk mencapai kadar air yang sesuai dengan
penggunaannya, sehingga dimensi kayu stabil dalam pemakaiannya. Namun pada
pelaksanaan pengeringan kayu sering diikuti dengan terjadinya cacat yang
merugikan, seperti retak, pecah, dan cacat bentuk (deformasi dan collapse). Hal
tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain struktur anatomi kayu, porsi
kayu remaja, dan berat jenis (Basri et al. 2000).
Dalam penelitian ini dilakukan pengujian mengenai sifat fisis, sifat anatomi
kayu dan sifat pengeringan kayu yang meliputi kecepatan pengeringan, evaluasi
cacat pengeringan, dan jadwal pengeringan. Kayu kurang dikenal yang digunakan
dalam penelitian ini berasal dari hutan alam di Papua yaitu kayu briya hatam
(Rhustaitensis guild), pala hutan (Gymnacranthera paniculata), dan kayu
ketapang (Terminalia compalanata).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh sifat fisis, anatomi, dan sifat
pengeringan tiga jenis kayu kurang dikenal dari Papua, yaitu: briya hatam
(Rhustaitensis guild), pala hutan (Gymnacranthera paniculata), dan kayu
ketapang (Terminalia compalanata).
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjang pemanfaatan kayu kurang
dikenal dari Papua, sehingga menjadi alternantif bahan baku yang komersial
untuk meningkatkan penggunaan secara optimal sebagai bahan baku furniture dan
bahan bangunan yang berkualitas dan bernilai tinggi.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Air dalam Kayu
Secara alami kayu banyak mengandung air, karena kayu memiliki jaringan
xylem yang merupakan bagian dari pohon yang berfungsi sebagai sarana
transportasi air dan hara dari tanah ke daun. Ketika pohon ditebang, air keluar dari
kayu secara alami yang memerlukan waktu cukup lama sampai kadar air kayu
dalam keseimbangan dengan lingkungannya. Pada kondisi kayu segar, air berada
dalam rongga sel dan dinding sel. Kadar air dalam kayu pada kondisi segar sangat
beragam bergantung pada jenis pohon dan tempat tumbuhnya (Pandit 2008).
Ada dua tipe air yang terdapat di dalam kayu berupa air terikat dan air
bebas. Air bebas merupakan air yang berada dalam ruang-ruang atau rongga sel
(lumen), sedangkan air terikat berada di dalam dinding sel. Dalam proses
pengeringan kayu, air bebas keluar lebih dulu daripada air terikat, tanpa
mempengaruhi sifat dan bentuk kayu, namun mempengaruhi berat dari kayu.
Sedangkan air terikat, ketika keluar dari dinding sel akan mempengaruhi sifat fisis
dan mekanis kayu, serta lebih sulit dikeluarkan dari kayu dibandingkan dengan air
bebasnya (Siau 1984). Kondisi, dimana ketika air bebas telah keluar dari rongga
sel, sedangkan pada dinding sel tersebut masih jenuh dengan air, disebut dengan
titik jenuh serat (Tobing 1988). Kadar air mencapai kesetimbangan ketika kayu
tidak lagi melepaskan air ke lingkungan. Kadar air titik jenuh serat sangat penting
dalam pengeringan kayu, karena diperlukan pemakaian energi yang lebih besar
untuk mengeluarkan air terikat. Penyusutan dinding sel kayu juga terjadi ketika
kadar air kayu berkurang di bawah titik jenuh serat. Perubahan kadar air di bawah
titik jenuh serat mengakibatkan perubahan sifat fisis dan mekanisnya. Oleh sebab
karena itu diperlukan perhatian khusus terhadap kadar air ketika melakukan
proses pengeringan. Menurut Bowyer dan Haygreen (2007), bahwa pada umunya
kadar air titik jenuh serat kayu sekitar 30%.
Faktor yang Mempengaruhi Proses Pengeringan Kayu
Proses pengeringan kayu dipengaruhi oleh sifat-sifat kayu dan lingkungan
pengeringannya. Adapun sifat kayu yang mempengaruhinya adalah struktur
anatomi yang terdiri dari kayu gubal, kayu teras, empulur (pith), kayu remaja
(juvenil wood), jari-jari kayu, riap tumbuh, mata kayu (knot), kayu reaksi, serat
miring, tekstur kayu, sel pembuluh, dinding sel, dan parenkim. Selain itu, sifat
pengeringan kayu juga dipengaruhi oleh sifat fisisnya berupa berat jenis dan
penyusutan (shirinkage). Berat jenis merupakan suatu indikator yang dapat
digunakan untuk menduga mudah atau tidaknya suatu kayu dikeringkan. Kayu
yang memiliki berat jenis tinggi pada umumnya memiliki sifat pengeringan yang
lebih lambat, serta kemungkinan mengalami cacat yang lebih besar dibandingkan
dengan kayu yang memiliki berat jenis rendah (Walker 2007).
Penyusutan adalah penurunan dimensi kayu akibat keluarnya air terikat dari
dinding sel yang dapat mempengaruhi cacat dalam proses pengeringan kayu.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penyusutan kayu antara lain : kadar air,
kerapatan, struktur/anatomi kayu, kadar ekstraktif, kandungan/komposisi bahan
penyusun kimia (Tsoumis 1991). Kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi

3

proses pengeringan menurut Tsoumis (1991) adalah panas, kelembaban relatif,
sirkulasi udara, dan vakum.
Cacat Pengeringan Kayu
Pengeringan kayu yang belum dikenal sifatnya bisa menimbulkan cacat
yang banyak. Demikian pula halnya dengan kayu muda yang memiliki kelemahan
antara lain: cukup banyak menganduk serat spiral, rasio penyusutan
tangensial/radial yang besar, dinding sel relatif tipis dengan sudut mikrofibril
dalam dinding sel yang besar sehingga penyusutan longitudinalnya besar. Kondisi
tersebut menyebabkan sortimen dari kayu diameter kecil cenderung berubah
bentuk (warping), dan atau collapse pada saat dikeringkan (Walker 2007).
Menurut Walker (2007), terdapat beberapa cacat kayu yang sering terjadi dalam
proses pengeringan diantaranya sebagai berikut:
1. Perubahan warna (staining)
Perubahan warna dapat terjadi karena serangan jamur pewarna terutama
pada kayu segar yang dapat ditangani dengan meminimalisir waktu anatara
penebangan dengan pongolahannya. Penumpukkan kayu perlu dilakukan
secepatnya agar permukaannya cepat mengering dan mencapai kadar air kurang
dari 20%. Pewarnaan pada kayu hasil pengeringan dapat juga terjadi akibat oleh
ganjal yang digunakan, serta bahan-bahan kimia dalam ruang pengering yang
mengalami kondensasi, seperti karat pada besi.
2. Cacat bentuk (Warping)
Cacat bentuk umumnya terjadi akibat perbedaan susut pada arah radial dan
tangensial (Walker 2007). Terjadinya cacat bentuk ini dapat juga disebabkan
kesalahan dalam pemilihan jadwal pengeringan, serta proses penumpukan kayu
yang tidak benar. Beberapa jenis perubahan bentuk yang sering dijumpai dapat
dilihat pada Gambar 1 (Tsoumis 1991).
Cupping

Bowing
Twisting

Diamonding

Crooking

Gambar 1 Beberapa jenis cacat bentuk pada proses pengeringan kayu

4

3. Retak (Checking)
Retak pada kayu dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu retak
permukaan (surface check), retak ujung (end check), dan retak dalam (honey
comb). Menurut Tsoumis (1991), retak diakibatkan perubahan dimensi yang tidak
sama antara permukaan kayu dengan bagian dalamnya. Retak pada umumnya
terjadi pada sepanjang jari-jari karena merupakan bagian terlemah pada kayu.

Gambar 2 Cacat retak permukaan (A) dan pecah ujung (B) (Tsoumis 1991)
Retak dalam dapat disebabkan oleh retak permukaan yang berkelanjutan
atau karena besarnya tegangan tegak lurus serat melebihi kekuatan yang kayu
tersebut. Cara untuk menghindari terjadinya cacat ini adalah dengan memberikan
kelembaban udara yang tinggi pada permulaan pengeringan dengan suhu yang
tidak terlalu tinggi (Walker 2007).
4. Collapse
Cacat collapse ketika pengeringan terjadi apabila kadar air kayu cukup
tinggi, rongga sel penuh berisi air, maka bila terjadi proses pengeringan yang
sangat cepat, air bebas akan bergerak dari dalam rongga sel kayu keluar melalui
kapiler yang berakibat tegangan vakum pada lumen sehingga dinding sel
mengalami collapse. Collapse terjadi pada kayu ketika tegangan kapiler di rongga
sel melebihi keteguhan tekan tegak lurus serat (Walker 2007).

Gambar 3 Kayu mengalami collapse (Tsoumis 1991)
Tsoumis (1991) menyatakan bahwa collapse merupakan penyusutan sel
yang sangat parah sehingga permukaan papan tampak berkerut. Agar cacat
collapse dapat dihindari, maka kayu yang rawan collapse perlu mendapatkan
pengeringan pendahuluan (predrying) dengan suhu rendah selama beberapa hari
atau dilakukan pengeringan alami dalam beberapa minggu. Selain itu terdapat
beberapa cara pencegahan terjadinya collapse, antara lain ialah (a) mengganti air
yang berada dalam kayu dengan cairan lain yang mempunyai tegangan permukaan

5

yang lebih rendah dari air, seperti metanol dan etanol. Namun usaha ini masih
terlalu mahal untuk diterapkan walaupun usaha ini berhasil mencegah collapse
(Siau 1984), (b) usaha yang cukup efektif dan efisien untuk mencegah collapse
adalah dengan menggunakan kondisi awal pengeringan yang lunak, karena suhu
yang tinggi dan kondisi pengeringan yang terlalu keras pada awal pengeringan
merupakan penyebab utama sel collapse (Hadi 1987).
Jadwal Pengeringan Kayu
Menurut Coto (2004), jadwal pengeringan adalah pengaturan faktor
pengering (kelembaban dan suhu) pada setiap tahapan pengeringan agar waktu
pengeringan dapat dilakukan sesingkat-singkatnya dan cacat yang terjadi pada
kayu yang dikeringkan pun seminimal mungkin. Jadwal pengeringan yang lazim
digunakan adalah jadwal pengeringan yang memiliki perubahan suhu dan
kelembaban berdasarkan kadar air kayu yang dikeringkan. Jadwal pengeringan
yang berbasis kadar air merupakan pedoman umum yang memuat langkahlangkah perubahan suhu dan kelembaban udara berdasarkan rataan kadar air kayu.
Basri dan Rahmat (2001) menerangkan bahwa jadwal pengeringan kayu
ditetapkan secara individual atau per jenis kayu melalui beberapa kali percobaan
pengeringan. Penentuan untuk menetapkan suhu dan kelembaban awal hingga
akhir pengeringan agar kayu dapat mengering dalam waktu yang optimal tanpa
merusak kualitas kayu, maka diperlukan pengetahuan dasar tentang sifat
pengeringan kayu. Pendugaan sifat pengeringan kayu yang lazim didasarkan pada
berat jenis kayu, kayu yang memiliki berat jenis yang kurang lebih sama, diduga
memiliki sifat pengeringan yang sama. Menurut Basri (1990), jadwal pengeringan
umumnya dibuat dengan melakukan pengujian pengeringan pendahuluan (sifat
dasar pengeringan) menggunakan suhu tinggi (100 0C). Pengujian pendahuluan ini
ditujukan untuk menduga sifat pengeringan (kepekaan) kayu dalam kilang
pengering. Hasil pengujian pengujian pendahuluan ini dapat digunakan untuk
merancang jadwal pengeringan dasar melalui evaluasi tingkat cacat yang terjadi
pada contoh uji selama pengeringan hingga mencapai berat kering tanur.
Kemudian jadwal tersebut diuji lagi di dalam kilang pengering. Cacat pengeringan
yang diamati berupa dampak proses pengeringan seperti retak/pecah ujung dan
permukaan, retak dalam serta deformasi (collapse).
Evaluasi pengamatan tingkat cacat dilakukan dengan menggunakan sistem
skala. Cacat pecah/retak permukaan kayu menggunakan skala 18, sedangkan
skala 16 digunakan pada pengamatan retak bagian dalam dan deformasi.
Semakin tinggi skala yang digunakan, maka semakin parah tingkat cacat yang
terjadi pada contoh uji kayu. Walaupun dari seluruh contoh uji hanya satu contoh
uji yang mengalami cacat terparah, maka penetapan suhu dan kelembaban tersebut
mengacu terhadap tingkat cacat yang terparah (Basri 1990).
Deskripsi Beberapa Jenis Kayu Asal Hutan Alam Papua
Pulau Papua merupakan salah satu satu pulau yang ada di Indonesia yang
salah satu sumber daya alamnya berupa hutan alam di Papua masih tergolong
banyak. Hutan alam Papua hingga saat ini masih banyak yang belum
dimanfaatkan, baik dari hasil hutan maupun non hasil hutannya. Salah satu hasil
hutan alam Papua yang belum dimanfaatkan dengan tepat adalah berupa jenis

6

kayu yang kurang dikenal. Hal tersebut terjadi karena banyak masyarakat dan
kaum peneliti yang belum mengetahui manfaatnya, sehingga belum memiliki nilai
ekonomis yang tinggi.
Beberapa jenis kayu yang kurang dikenal adalah berasal dari jenis kayu
briya hatam (Rhustaitensis guild), pala hutan (Gymnacranthera paniculata), dan
kayu ketapang (Terminalia compalanata) dengan suku masing-masing yang
terdiri dari Myristicaceae, Anacardiaceae, dan Combretaceae. Ketiga jenis kayu
ini tergolong kayu yang cukup keras. Masyarakat setempat biasanya
memanfaaatkannya sebagai bahan pembuatan sampan atau perahu. Pohon briya
hatam pada umumnya memiliki diameter ±80 cm, tinggi pohon ±2530 m (bebas
cabang). Kondisi biofisiknya tergolong hutan dataran rendah sampai pegunungan
bawah dengan ketinggian antara 0500 mdpl dengan jenis tanah berkapur atau
berkarang. Pohon tersebut berukuran sedang sampai besar dan berbatang lurus
maupun bengkok. Bentuk batang silindris sedikit berlekuk dan berbanir sedang
dengan tinggi 200 cm dan lebar 250 cm. Lingkar tahun pada kayu briya hatam
cukup jelas, warna kayu coklat muda kemerahan, memiliki perbedaan warna
antara kayu gubal dan kayu teras yang jelas, tekstur kayu cukup kasar serta
mengkilap, dan arah serat bergelombang.
Ciri-ciri umum juga dimiliki oleh kayu pala hutan dan ketapang. Pohon pala
hutan pada umumnya memiliki diameter ±54 cm, tinggi pohon ±21.1 m (bebas
cabang) dan berbanir (tinggi banir 110 cm dan lebar banir 80 cm). Ciri utama
kayu ini bergetah berwarna merah darah. Selain digunakan untuk pembuatan
perahu, kayu pala hutan juga digunakan masyarakat sebagai bahan bangunan
ringan. Kondisi biofisiknya tergolong hutan tropis basah dengan ketinggian
15650 mdpl (hutan dataran rendah). Jenis ini tumbuh di tanah liat dengan bukit
berbatu yang tidak digenangi air. Batang beralur dangkal, hitam kecokelatan
bercampur putih keabu-abuan, permukaan kasar, bergetah merah, berakar
gantung, kulit mengelupas kecil, batang silindris. Lingkar tahun pada jenis kayu
pala hutan tidak jelas, warna merah kecoklatan, perbedaan warna antara kayu
gubal dan kayu teras tidak jelas, tekstur kasar serta mengkilap, dan arah serat agak
berpadu dan bergelombang. Berbeda dengan jenis kayu ketapang yang memiliki
diameter pohon ±44 cm, tinggi pohon ±21.5 m (bebas cabang) dan berbanir
(tinggi banir 148 cm, lebar banir 76 cm). Kondisi biofisiknya tergolong hutan
tropis basah dengan ketinggian 0-200 mdpl (hutan dataran rendah). Jenis pohon
ini tumbuh diberbagai jenis tanah termasuk tanah berkapur atau berkarang.
Lingkar tahun kayu ketapang cukup jelas, warna coklat muda kekuningan,
perbedaan warna antara kayu gubal dan kayu teras tidak jelas, tekstur kasar serta
mengkilap, dan arah serat lurus.

7

METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga September 2012 dan Mei
hingga Juli 2013. Pelaksanaannya bertempat di Bagian Peningkatan Mutu Kayu,
Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dan
Laboratorium Anatomi Kayu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan
Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor.
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terutama kayu yang berasal dari
hutan tropis Papua yaitu: kayu briya hatam (Rhustaitensis guild) dari pohon
berdiameter ±80 cm, tinggi pohon bebas cabang ±2530 m; kayu pala hutan
(Gymnacranthera paniculata) dari pohon berdiameter ±54 cm, tinggi pohon bebas
cabang ±21.1 m; dan kayu ketapang (Terminalia complanata) dari pohon
berdiameter ±44 cm, tinggi pohon bebas cabang ±21.5 m. Peralatan yang
digunakan antara lain adalah oven, timbangan digital, caliper, mikroskop,
mikrotom dan alat tulis.
Prosedur Pengujian
Pengujian Sifat Fisis
Contoh uji sifat fisis kayu berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm sesuai dengan
standar BS:3731957. Masing-masing jenis kayu memiliki delapan kali ulangan.
Pengujian sifat fisis meliputi kadar air, berat jenis dan susut volume. Contoh uji
kayu di oven pada suhu 103±2 0C sampai berat konstan selama ±48 jam.
Pengukuran dimensi dan berat contoh uji dilakukan sebelum dan sesudah
pengovenan untuk menentukan kadar air (KA), berat jenis (BJ), dan susut volume
(SV) dengan menggunakan rumus-rumus berikut:

Keterangan : KA = Kadar Air (%), Ba = Berat Awal (gram), BKT = Berat Kering
Tanur (gram), BJ = Berat Jenis, Va = Volume Awal (cm3), Vt = Volume Akhir
(cm3), SV = Susut volume (%), Kerapatan Air = 1 gram/cm3.
Pengujian Sifat Anatomi
Pengamatan struktur anatomi kayu berupa pengamatan makroskopis dan
mikroskopis yang dilakukan terhadap preparat sayatan kayu bidang lintang, radial,
dan tangensial yang telah diwarnai dengan safranin menurut metode Sass (1958).
Ciri anatomi tersebut meliputi dimensi pori, susunan parenkim, susunan dan
bentuk jari-jari, adanya saluran interseluler, dan lain-lain sesuai dengan IAWA list
(Wheeler et al. 1989).

8

Pengujian Sifat Dasar Pengeringan
Contoh uji papan tangensial bebas cacat berukuran 20 cm x 10 cm x 2,5 cm
yang terdiri dari delapan ulangan dari ketiga jenis kayu bebas cacat. Kemudian
contoh uji disusun bertumpuk dengan menggunakan ganjal di dalam oven. Contoh
uji dikeringkan pada suhu 100 0C hingga mencapai berat kering tanur. Setelah itu,
dievaluasi cacat yang terjadi dievaluasi, meliputi cacat bentuk, retak dan atau
pecah pada permukaan maupun retak dalam yang tampak pada contoh uji.
Pengujian evaluasi cacat yang terjadi berdasarkan pada metode Terazawa (1965).
Sedangkan penyusunan jadwal pengeringan dasar mengacu pada metode
Torgeson (1951).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Fisis Kayu
Pengujian sifat fisis kayu (Tabel 1) menunjukkan bahwa kayu briya hatam
dan pala hutan yang digunakan masih dalam kondisi segar dengan kadar air lebih
dari 30%. Sedangkan kayu ketapang memiliki kadar air sedikit kurang dari 30%,
yaitu sebesar 29.48% yang masih berada pada kondisi titik jenuh serat, sehingga
ketiga jenis kayu ini dapat digunakan dalam uji penentuan jadwal pengeringan
dasar.
Tabel 1 Sifat fisis kayu
Jenis Kayu

Kadar Air (%)

Berat Jenis

Susut Volume (%)

Kelas Kuat*

Briya hatam
Pala hutan
Ketapang

64.92
57.60
29.48

0.52
0.47
0.38

4.33
3.91
3.47

III
III
IV

*(Daftar I PKKI 1961)

Susut volume (%)

5.00
4.00

y = 5.8102x + 1.2323
R² = 0.8098

3.00
2.00
1.00
0.00
0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

Berat jenis
Gambar 4 Pengaruh berat jenis terhadap susut volume kayu

9

Pengujian sifat fisis juga dilakukan meliputi berat jenis untuk mengetahui
pengaruhnya terhadap susut volume kayu dan sebagai dasar untuk menentukan
kelas kuat dari ketiga jenis kayu tersebut. Hasil uji menunjukkan bahwa berat
jenis kayu briya hatam paling tinggi sebesar 0.52, sedangkan berat jenis kayu pala
hutan lebih tinggi daripada ketapang yang nilainya masing-masing sebesar 0.47
dan 0.38. Sehingga dapat ditentukan kelas kuat kayu tersebut, yaitu kayu briya
hatam dan pala hutan memiliki kelas kuat III sedangkan kayu ketapang memiliki
kelas kuat lebih rendah (IV).
Susut volume kayu briya hatam lebih tinggi (4.33%) daripada pala hutan
(3.91%), dan ketapang (3.47%). Hal tersebut terjadi karena kadar air pada kayu
briya hatam lebih besar (64.92%) dibandingkan dengan kayu lainnya 57.60% dan
29.48%. Besarnya susut volume pada kayu berat jenis tinggi (briya hatam)
disebabkan oleh dinding sel kayu yang lebih tebal dengan kayu lainnya. Pada
dasarnya hubungan kadar air dengan susut volume adalah berbanding lurus, yaitu
ketika kadar air tinggi maka penyusutan yang terjadi juga tinggi. Bramhall dan
Wellwood (1976) juga menyatakan bahwa besarnya nilai berat jenis akan
menghasilkan nilai susut volume yang besar dan cenderung memerlukan waktu
yang lebih lama dalam proses pengeringan. Hal ini disebabkan oleh air terikat
yang dikeluarkan dari dinding sel lebih banyak, selain itu masa kayu yang
menyusut juga lebih banyak dari jenis kayu yang memiliki berat jenis rendah.
Sifat Anatomi Kayu
Briya hatam

A

B

A

B

A

B

C

Pala hutan

C

Ketapang

C

10

Gambar 5 Struktur anatomi kayu pada penampang lintang (A), radial (B), dan
tangensial (C) dengan perbesaran 25x
Tabel 2 Karakteristik anatomi tiga jenis kayu asal Papua
No.
1.

a).

Variabel
Pori

2.

Noktah
antar
pembuluh
Noktah
antar
pembuluh
dengan jarijari
Parenkim

3.

Jari-jari

b).

Pala hutan
Berbentuk
bulat,
tata baur, 115.36
μm, soliter dan
bergabung
2 3
pori arah radial,
frekuensi
jarang
yaitu 7 pori /mm2,
dan
bidang
perforasi berbentuk
tangga,
berisi
tylosis dan endapan
pipa getah (tanin).
Berhadapan

Halaman
sempit
sampai sederhana;
noktah horizontal
atau vertikal.
Aksial paratrakea
jarang, vaskisentrik
dan
parenkim
aksial pada marjin
atau
tampaknya
pita marjinal yang
sempit.
Sempit
dengan
lebar 20.72 μm,
tinggi 328 μm,
jumlahnya jarang
dengan frekuensi
5/mm,
bertipe
heterogen
terdiri
atas sel tegak dan
sel baring serta
berseri 13.

Jenis kayu
Briya hatam
Berbentuk
bulat,
tata baur, 143
μm, 92 μm, soliter
dan kecil berganda
radial, frekuensi 4
pori/mm2,
dan
bidang
perforasi
bertipe sederhana.

Ketapang
Berbentuk lonjong,
tata baur, 74.28
μm, soliter dan
bergabung 23 pori
arah
radial,
frekuensi
15
pori/mm2,
dan
bidang
perforasi
sederhana.

Selang-seling

Selang-seling

Halaman jelas serta
lebar, serupa dalam
ukuran dan bentuk
dengan
noktah
antar pembuluh.
Aksial
aliform,
vaskisentrik,konflu
en dan pita lebih
dari 3 lapis sel.
Kristal
prismatik
banyak
dijumpai
dalam sel parenkim
aksial berbilik.
Heteroseluler, lebar
25.85 μm, tinggi
507 μm, frekuensi
12/mm,
bertipe
heterogen
terdiri
atas sel tegak dan
sel baring serta
berseri 34.

Halaman jelas serta
lebar, serupa dalam
ukuran dan bentuk
dengan
noktah
antar pembuluh.
aliform,
vaskisentrik
dan
konfluen. Kristal
prismatik
ada
dalam sel parenkim
aksial tak berbilik.

Heteroseluler,
sempit 15.32 μm,
tinggi 475 μm,
frekuensi 19/mm,
bertipe heterogen
terdiri atas sel tegak
dan sel baring serta
berseri 13.

Hasil pengamatan sifat anatomi menunjukkan bahwa kayu pala hutan
memiliki noktah antar pembuluh dengan pori-pori yang sempit, jari-jari yang
termasuk sempit (20.72 μm) dan frekuensinya juga rendah (5/mm). Walaupun
memiliki parenkim pita tetapi jarang serta sempit. Selain itu pala hutan memiliki
tylosis, sehingga dapat mempersulit proses keluarnya air dari dalam pori kayu.

11

Kayu briya hatam memiliki ukuran pori yang paling besar dalam penelitian
ini (143 μm). Ukuran jari-jarinya juga relatif besar (25.85 μm) dan frekuensinya
12/mm. Hal tersebut dapat menyebabkan cacat pada bagian ini yang berawal terjadinya
retak permukaan. Adapun kayu ketapang memiliki ukuran pori yang relatif kecil (15.32
μm) tetapi jari-jarinya memiliki frekuensi yang paling tinggi (19/mm). Hal tersebut dapat
dilihat pada Gambar 5 dan Tabel 2 di atas.

Sifat Pengeringan
Kecepatan Pengeringan

Kecepatan pengeringan
(%/jam)

Hasil penelitian sifat pengeringan menunjukkan bahwa pala hutan lebih
lama kering dibandingkan dengan kayu briya hatam dan ketapang. Kecepatan
pengeringan kayu pala hutan sebesar 1.82%/ jam, sedangkan kayu briya hatam
dan ketapang sebesar 2.58%/ jam dan 3.29%/ jam. Kayu ketapang memiliki
kecepatan penrunan kadar air yang paling tinggi (3.29%). Hal ini disebabkan oleh
dinding selnya yang relatif lebih tipis daripada yang lainnya dan diindikasikan
dengan berat jenis yang lebih rendah (0.38).

0.60
0.50
0.40
0.30

y = -0.037x + 0.5526
R² = 0.2326

0.20
0.10
0.00
0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

Berat jenis
Gambar 6 Pengaruh berat jenis terhadap kecepatan pengeringan kayu briya hatam,
pala hutan, dan kayu ketapang
Pengeringan kayu yang lambat pada umumnya didukung oleh sifat struktur
kayu, seperti dinding sel kayu yang tebal, ukuran pori yang kecil serta adanya
hambatan pergerakan air berupa tylosis dan zat amorf. Di dalam pori-pori tebal
dinding sel berpengaruh terhadap waktu yang dibutuhkan pada proses
pengeringan, semakin tebal dinding sel maka waktu untuk mengeringkan akan
semakin lama.
Kayu briya hatam yang memiliki berat jenis tertinggi menghasilkan
pengeringan yang lebih cepat daripada kayu pala hutan yang memiliki berat jenis
lebih rendah. Berat jenis yang tinggi identik dengan dinding sel kayu yang tebal.
Tebalnya dinding sel tersebut memperlambat proses keluarnya air dari dalam
rongga sel kayu. Namun, pada kayu pala hutan terdapat endapan tylosis dalam
pembuluh yang dapat menghambat proses keluarnya air, sehingga dihasilkan
kecepatan pengeringan yang relatif lambat.

12

Menurut Siau (1984), kayu yang memiliki berat jenis tinggi pada proses
penguapan airnya akan berjalan lancar asalkan struktur kayunya mendukung,
seperti memiliki arah serat yang lurus dan ukuran pori yang besar serta tidak ada
sumbatan berupa tylosis atau endapan amorf. Faktor utama yang mendukung kayu
briya hatam lebih mudah dikeringkan dibandingkan kayu pala hutan, yaitu
memiliki pori yang lebih besar, jari-jari yang lebih lebar (umumnya multiseriat)
dan tinggi, sel parenkim yang berbentuk pita dan aliform. Struktur anatomi kayu
yang demikian menurut Panshin dan de Zeeuw (1969) dan Siau (1984) dapat
membantu proses pengeluaran air dari dalam kayu.
Cacat Pengeringan
Hasil pengujian sifat pengeringan yang disajikan pada Tabel 3 menunjukkan
bahwa kayu briya hatam dan kayu pala hutan cukup sulit untuk dikeringkan,
dibandingkan dengan kayu ketapang.
Tabel 3 Evaluasi sifat dasar pengeringan kayu
Risalah cacat
Jenis kayu
Briya
hatam
Pala hutan
Ketapang

Retak
permukaan
Max Min

Max

Min

Max

Min

Nilai
cacat
yang
diambil

Pecah dalam

Deformasi

7

1

1

1

2

1

7

6
5

1
1

1
1

1
1

1
1

1
1

6
5

Sifat
pengeringan
Sangat
Buruk
Buruk
Agak Buruk

Keterangan : 1= Sangat baik, 2 = baik, 3 = Agak baik, 4 = Sedang, 5 = Agak
buruk, 6 =Buruk, 7 = Sangat buruk.
Kayu briya hatam memiliki sifat pengeringan yang sangat buruk (nilai cacat
7), sehingga paling sulit dikeringkan dalam penelitian ini. Cacat yang paling
buruk adalah retak permukaan. Kayu briya hatam memiliki berat jenis yang paling
tinggi (0.52) dan dinding sel yang lebih tebal, sehingga kadar air terikatnya paling
banyak. Selain itu pergerakan air melalui dinding sel yang tebal juga lebih lama,
sehingga gradien kadar air antara permukaan dan bagian dalam kayu relatif lebih
besar. Cacat retak permukaan pada umumnya terjadi diawal proses pengeringan,
yaitu ketika bagian permukaan kayu mengalami penyusutan maka akan tertahan
oleh bagian dalam yang masih memiliki kadar air yang tinggi, sehingga terjadi
tegangan dan regangan pengeringan yang dapat menyebabkan retak permukaan.
Kayu ketapang memiliki nilai cacat yang paling rendah (5), sehingga sifat
pengeringannya agak buruk tetapi lebih mudah dikeringkan daripada kedua jenis
kayu lainnya. Hal ini terkait dengan berat jenis kayu ketapang yang rendah (0.38)
yang berarti dinding selnya relatif tipis, sehingga pergerakan air dari dalam kayu
dapat lebih cepat.
Kayu ketapang juga tidak mengandung tylosis atau endapan lainnya yang
dapat menghambat pergerakan air. Sebagaimana kayu briya hatam dan ketapang,
kayu pala hutan juga memiliki nilai cacat yang buruk. Kayu tersebut mengalami
cacat pengeringan yang berupa retak permukaan. Hal tersebut dapat dilihat pada
Gambar 7.

13

Retak permukaan

Gambar 7 Cacat retak permukaan
Selain cacat retak, ada juga deformasi (cacat perubahan bentuk) yang terjadi
pada kayu briya hatam. Hal ini terkait dengan sifat penyusutan briya hatam yang
paling besar (4.33%). Fakta-fakta penelitian yang terjadi sesuai dengan pernyataan
Basri dan Martawijaya (2005), sifat pengeringan kayu sangat dipengaruhi oleh
faktor fisis, kimia, dan anatomi kayu. Retak permukaan sering berawal dari jarijari kayu atau saluran resin. Menurut Panshin dan de Zeuw (1969), salah satu
faktor anatomi yang berperan dalam proses pengeluaran air dari dalam kayu
adalah jari-jari kayu. Oleh karena itu perlu adanya aplikasi teknik pengeringan
yang dapat mengantisipasi cacat retak permukaan, terutama di awal pengeringan
dan pada kondisi kadar air yang tinggi. Suhu di awal pengeringan sebaiknya
relatif rendah dengan kelembaban yang relatif tinggi. Menurut Basri et al. 2008,
upaya untuk menghindari atau mengurangi terjadinya retak di bagian permukaan
kayu yaitu dapat dilakukan dengan menggunakan suhu yang rendah dan
kelembaban yang tinggi di awal pengeringan sampai kayu mencapai kondisi titik
jenuh serat. Selain itu untuk mengendalikan cacat pengeringan juga dapat
dilakukan perlakuan pendahuluan sebelum pengeringan seperti pengukusan.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Basri et al. (2007), bahwa kayu yang
memiliki tylosis dan atau damar dalam pembuluh, sebaiknya diberikan perlakuan
pengukusan (steam treatment) sebelum dilakukan proses pengeringan.
Jadwal Pengeringan
Hasil uji pengeringan menunjukkan bahwa jadwal pengeringan dasar untuk
ketiga jenis kayu tersebut lebih ditentukan oleh masalah retak permukaan yang
paling parah. Oleh karena itu suhu dan kelembaban relatif yang dipakai ketiga
jenis kayu tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Suhu dan RH pengeringan
Suhu (0 C)
Jenis Kayu
Briya
hatam
Pala hutan
Ketapang

RH (%)

KA
awal
(%)

Kode Jadwal
Pengeringan

Awal

Akhir

Awal

Akhir

Jadwal
Suhu

45

80

90

28

T-4

64.92

T-4.C-2

50
50

80
80

85
90

30
28

T-6
T-6

57.60
29.48

T-6.C-3
T-6.A-2

14

Kayu briya hatam memiliki jadwal pengeringan yang paling lunak, yaitu
dengan suhu dan kelembaban untuk awal dan akhir pengeringannya adalah
(4580) 0C dan (9028)%, sedangkan untuk kayu pala hutan dan ketapang
menggunakan suhu minimum-maksimum yang sama, yaitu (5080) 0C tetapi
dengan kelembaban yang berbeda, yaitu (8530)% dan (9028)%. Merujuk pada
jadwal pengeringan Forest Product Laboratory (FPL) Madison (Torgeson 1951),
maka jadwal pengeringan yang digunakan untuk kayu briya hatam terdapat pada
Tabel 5, kayu pala hutan pada Tabel 6, dan kayu ketapang pada Tabel 7.
Tabel 5 Jadwal pengeringan kayu briya hatam (Rhustaitensis guild)
Kadar Air
(%)
>60
60-40
40-35
35-30
30-25
25-20
20-15
60
60-40
40-35
35-30
30-25
25-20
20-15
40
40-30
30-25
25-20
20-15
15-10