Kelayakan Usaha Pengelolaan Areal Tanaman Kehidupan pada Hutan Tanaman Industri di Provinsi Riau

KELAYAKAN USAHA PENGELOLAAN AREAL TANAMAN
KEHIDUPAN PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI
DI PROVINSI RIAU

AWANG IHWANUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kelayakan Usaha
Pengelolaan Areal Tanaman Kehidupan pada Hutan Tanaman Industri di Provinsi
Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014
Awang Ihwanudin
NIM E151110121

RINGKASAN
AWANG IHWANUDIN. Kelayakan Usaha Pengelolaan Areal Tanaman
Kehidupan pada Hutan Tanaman Industri di Provinsi Riau. Dibimbing oleh LETI
SUNDAWATI dan DODIK RIDHO NURROCHMAT.
Salah satu penyebab tidak tercapainya pengelolaan hutan produksi lestari
pada hutan tanaman adalah adanya konflik sosial dalam pemanfaatan sumber
daya hutan. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah terjadinya konflik
sosial, sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan
diantaranya melalui skema kebijakan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
(PHBM) dan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (Collaborative Forest
Management/CFM). Salah satu bentuk CFM yang dilaksanakan di hutan tanaman
industri adalah pengelolaan tanaman kehidupan melalui kemitraan antara
pemegang izin dengan masyarakat di sekitar areal hutan.
Penelitian ini bertujuan menganalisis kelayakan dan menghitung manfaat
pengelolaan areal tanaman kehidupan di hutan tanaman industri.
Penelitian dilaksanakan pada areal PT. Mitra Kembang Selaras di Desa

Seko Lubuk Tigo, Kecamatan Lirik, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau,
yang telah mengembangkan sawit sebagai tanaman kehidupan. Penelitian ini
menghitung NPV, BCR, dan IRR dari tiga jenis tanaman kehidupan yaitu sawit,
karet, dan akasia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan tanaman kehidupan
dengan jenis sawit lebih layak diusahakan dibandingkan dengan jenis karet dan
akasia, namun dana bagi hasil untuk masyarakat dari tanaman karet lebih besar
dibandingkan dengan tanaman sawit dan akasia. Regulasi pemerintah saat ini
tidak memperbolehkan pengusahaan sawit dilakukan dalam kawasan hutan,
sehingga untuk pengelolaan tanaman kehidupan selanjutnya jenis karet lebih
direkomendasikan.
Kata kunci: akasia, karet, kelayakan, sawit

SUMMARY
AWANG IHWANUDIN. Feasibility of The Livelihood Plant Area Management
at Industrial Forest Plantation in Riau Province. Supervised by LETI
SUNDAWATI and DODIK RIDHO NURROCHMAT.
The presence of social conflict in the utilization of forest resources is one
of the factors that causes the failure of sustainable production forest management.
The effort done by the government to avoid social conflict and to improve the

walfare of forest communities is a scheme of Community˗Based Forest
Management policy and Collaborative Forest Management (CFM) policy. One of
CFM forms implemented in the industrial forest plantation is the management of
livelihood plant through a partnership between the forest concession holder and
the communities around the forest areas.
This research aimed to analyze the feasibility and the benefits of livelihood
plant management in industrial forest plantation.
This research was carried out at PT. Mitra Kembang Selaras in Seko Lubuk
Tigo Village, Lirik Subdistrict, Indragiri Hulu Regency, Riau Province in which
oil palm plant type had been developed as livelihood plant. There were three types
of livelihood plants that were analyzed, i.e. oil palm plant, rubber plant, and
acacia. This research calculated the NPV, BCR and IRR.
The result showed that using oil palm plant was more feasible in
management of livelihood plant than using other types, rubber plant and acacia,
however, the benefit sharing for the community taken from rubber plants was
bigger than that taken from oil palm plants and acacia. At present, the
government regulations do not allow the oil palm cultivation around the forest
area, therefore, the use of rubber plant types for livelihood plant management is
more recommended.
Key words: acacia, feasibility, oil palm, rubber


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

KELAYAKAN USAHA PENGELOLAAN AREAL TANAMAN
KEHIDUPAN PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI
DI PROVINSI RIAU

AWANG IHWANUDIN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji pada Ujian Tesis:

Dr. Ir. Yulius Hero, M.Sc.F

Judul Tesis : Kelayakan Usaha Pengelolaan Areal Tanaman Kehidupan pada
Hutan Tanaman Industri di Provinsi Riau
Nama
: Awang Ihwanudin
NIM
: E151110121

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F.Trop
Ketua

Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat, M.Sc.F.Trop
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi S2
Ilmu Pengelolaan Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Tatang Tiryana, S.Hut, M.Sc

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian:

29 Agustus 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas
karunia˗Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak akhir bulan Juni sampai dengan Juli
2013 ini adalah manfaat kemitraan, dengan judul Kelayakan Usaha Pengelolaan
Areal Tanaman Kehidupan pada Hutan Tanaman Industri di Provinsi Riau.
Terima kasih penulis haturkan kepada Ibu Dr. Ir. Leti Sundawati,
M.Sc.F.Trop selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho
Nurrochmat, M.Sc.F.Trop selaku anggota pembimbing, dan Bapak Dr. Ir. Yulius
Hero, M.Sc.F selaku penguji luar komisi. Disamping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak Ahmad Kuswara dan Bapak Guno Widagdo dari PT.
Mitra Kembang Selaras yang telah membantu penulis selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada isteri dan anak-anak penulis,
ibu, dan saudara, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, September 2014

Awang Ihwanudin
NIM E151110121

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang

Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
2. TINJAUAN PUSTAKA
Kemitraan
Tanaman Kehidupan
Sawit (Elaeis guineensis Jacq)
Karet (Hevea brasiliensis)
Akasia (Acacia crassicarpa Cunn ex Benth)
Analisis Finansial
3. METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Populasi dan Contoh
Pengolahan dan Analisis Data
Ruang Lingkup, Batasan, dan Asumsi Dasar
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Wilayah Penelitian

Keadaan Sosial Masyarakat
Karakteristik Petani Pengelola Tanaman Kehidupan
Pengelolaan Tanaman Kehidupan Jenis Sawit
Alternatif Pengelolaan Tanaman Kehidupan dengan Jenis Karet
Alternatif Pengelolaan Tanaman Kehidupan dengan Jenis Akasia
Kesesuaian Teknis
Analisis Finansial
Analisis Sensitivitas
Sistem Bagi Hasil
Kesesuaian Sosial
SIMPULAN
SARAN

14
15
16
17
18
19
19

21
29
30
31
33
33

DAFTAR PUSTAKA

33

LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

1
2
3
3
3
5
6
6
7
7
9
11
11
12
12
12
14

DAFTAR TABEL
4.1
4.2
4.3
4.4
4.5
4.6
4.7
4.8
4.9
4.10
4.11
4.12
4.13
4.14
4.15
4.16
4.17
4.18
4.19
4.20

Keadaan umum Desa Seko Lubuk Tigo
Jumlah penduduk Desa Seko Lubuk Tigo berdasarkan kelompok umur
Jumlah penduduk Desa Seko Lubuk Tigo berdasarkan jenis pekerjaan
Keadaan responden berdasarkan umur
Keadaan responden berdasarkan tingkat pendidikan
Keadaan responden berdasarkan jenis pekerjaan
Kesesuaian lahan untuk pembangunan tanaman sawit
Kesesuaian lahan untuk pembangunan tanaman karet
Kesesuaian lahan untuk pembangunan tanaman akasia
Komponen biaya pengelolaan tanaman kehidupan sawit
Biaya rata˗rata pengelolaan tanaman sawit
Analisis finansial pengelolaan tanaman kehidupan sawit
Komponen biaya pengelolaan tanaman karet
Biaya rata˗rata pengelolaan tanaman kehidupan dengan jenis alternatif
karet
Analisis finansial pengelolaan tanaman kehidupan dengan jenis karet
Komponen biaya pengelolaan tanaman akasia
Biaya rata˗rata pengelolaan tanaman kehidupan dengan jenis alternatif
akasia
Analisis finansial pengelolaan tanaman kehidupan dengan jenis akasia
Analisis sensitivitas pengelolaan tanaman kehidupan
Perkiraan bagi hasil pengelolaan tanaman kehidupan

14
15
16
16
16
17
19
20
20
21
22
24
24
25
27
27
28
29
30
31

DAFTAR GAMBAR
3.1
4.1
4.2
4.3

Kerangka pemikiran penelitian
Aliran kas pengelolaan tanaman kehidupan dengan jenis sawit
Aliran kas pengelolaan tanaman kehidupan dengan jenis karet
Aliran kas pengelolaan tanaman kehidupan dengan jenis akasia

DAFTAR LAMPIRAN
1 Arus kas pengelolaan anaman kehidupan sawit PT. Mitra Kembang
Selaras
2 Analisis finansial pengelolaan anaman kehidupan sawit PT. Mitra
Kembang Selaras
3 Arus kas pengelolaan anaman kehidupan karet PT. Mitra Kembang
Selaras
4 Analisis finansial tanaman kehidupan kawit PT. Mitra Kembang Selaras
5 Arus kas pengelolaan anaman kehidupan akasia PT. Mitra Kembang
Selaras
6 Analisis finansial tanaman kehidupan akasia PT. Mitra Kembang Selaras

11
23
26
29

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengelolaan hutan selama empat dekade terakhir telah menyebabkan
buramnya potret kehutanan Indonesia. Tingginya laju deforestasi dan degradasi
hutan, menurunnya kualitas lingkungan, perambahan hutan yang tinggi,
penyelundupan kayu ilegal dan konlfik sosial yang terjadi, merupakan akibat dari
buruknya pengelolaan hutan selama ini.
Tingginya deforestasi hutan selain disebabkan oleh kegiatan eksploitasi,
juga disebabkan antara lain oleh perebutan penguasaan lahan antara perusahaan
pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH) dan masyarakat (Awang 2003).
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Darusman (2002) bahwa ketidakpuasan
sosial, ekonomi, dan politik masyarakat sekitar hutan merupakan salah satu
penyebab kehancuran hutan di Indonesia.
Konflik kepentingan dalam penguasaan sumber daya hutan merupakan salah
satu penyebab tidak tercapainya pengelolaan hutan produksi lestari pada hutan
alam dan hutan tanaman (Marwa et al. 2010; Nurrochmat 2005a). Konflik terjadi
karena terganggunya fungsi sosial yang diemban oleh sumber daya hutan
tersebut yaitu berupa fungsi tangible (lahan untuk berladang, hasil hutan kayu
dan non kayu) dan fungsi intangible (jasa lingkungan, budaya, religi). Padahal,
terdapat hubungan timbal balik antara hutan dengan masyarakat yang sangat kuat,
yaitu hutan berperan dalam melestarikan kehidupan masyarakat dan sebaliknya
masyarakat sangat berperan dalam melesarikan hutan (Nurrochmat dan Hasan
2012). Selain itu, konflik dalam penguasaan sumber daya alam terjadi karena
masyarakat selama ini menjadi terasing dan hanya menjadi penonton dalam
pengelolaan sumber daya alam tersebut (Kartodihardjo 2006). Pengelolaan hutan
di Indonesia dari zaman penjajahan sampai dengan orde baru lebih banyak
dilakukan oleh pemodal besar, sedangkan masyarakat sekitar hutan lebih banyak
menjadi penonton karena keterbatasan akses untuk dapat memperoleh manfaat
dari keberadaan sumber daya hutan (Nurrochmat 2005a; Nurrochmat 2005b).
Keadaan ini menyebabkan masyarakat sekitar hutan tidak mampu mengentaskan
kemiskinan (Awang 2003).
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah terjadinya konflik
sosial, sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan
adalah melalui skema kebijakan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
(PHBM) dan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (Collaborative Forest
Management/CFM) baik di hutan lindung, hutan konservasi, maupun hutan
produksi. Pada kawasan hutan produksi yang telah dibebani izin, kegiatan CFM
dilakukan melalui kemitraan antara pemegang izin dengan masyarakat di sekitar
kawasan hutan.
Salah satu bentuk kemitraan di hutan tanaman industri (HTI) adalah
kemitraan pengelolaan areal tanaman kehidupan oleh masyarakat di sekitar areal
kerja HTI. Areal tanaman kehidupan wajib dialokasikan oleh pemegang HTI
dengan luas kurang lebih 5% dari total areal kerjanya. Tanaman kehidupan adalah
tanaman untuk tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dapat berupa

2
tanaman pokok yang menghasilkan hasil hutan kayu dan atau tanaman yang
menghasilkan hasil hutan bukan kayu, dan atau tanaman yang bermanfaat bagi
masyarakat (food security) yang dikelola melalui pola kemitraan antara
masyarakat dengan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada
hutan tanaman industri (IUPHHKHTI) yang bersangkutan (Kemenhut 2012).
Kewajiban penyediaan areal tanaman kehidupan tersebut diatur sebelumnya
melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts˗II/1995 jis Nomor
246/Kpts˗II/1996 dan Nomor P.21/Menhut˗II/2006 tentang Tata Ruang HTI.
Kewajiban tersebut dikuatkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2007 jo Nomor 3 Tahun 2008. Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah
tersebut, Menteri Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Nomor
P.62/Menhut˗II/2008 yang beberapa kali diubah, dan terakhir dengan Nomor
P.19/Menhut˗II/2012 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu Pada Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat.
Berdasarkan data yang ada pada Kementerian Kehutanan, sampai dengan
tahun 2012 jumlah HTI di Indonesia tercatat sebanyak 245 unit dengan total luas
areal kerja mencapai 9.860.398 ha. Total luas rencana areal tanaman kehidupan
untuk seluruh HTI adalah 538.769 ha, dengan realisasi kumulatif sampai dengan
tahun 2012 seluas 121.738 ha (22,59%). Khusus untuk tahun 2012, dari rencana
tanaman kehidupan 34.701 ha hanya terealisasi 2.299 ha. Untuk Provinsi Riau
dari rencana tanaman kehidupan seluas 9.256 ha pada tahun 2012, terealisasi
seluas 1.108 ha.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pengelolaan tanaman kehidupan
tersebut dapat memberikan manfaat kepada masyarakat sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat?

Perumusan Masalah
PT. Mitra Kembang Selaras (MKS) memperoleh IUPHHKHTI sesuai SK
Bupati Indragiri Hulu Nomor 352 tahun 2002 tanggal 21 Nopember 2002 seluas
14.450 ha. Menteri Kehutanan melakukan pembaharuan izin melalui surat
keputusan Nomor SK.67/Menhut˗II/2007 tanggal 23 Pebruari 2007 tanggal 23
Pebruari 2007 dengan luas menjadi 14.800 ha. Menurut wilayah administrasi
pemerintahan, lokasi HTI tersebut berada di Kabupaten Indragiri Hulu.
Sesuai Rencana Kerja IUPHHKHTI jangka waktu 10 tahun periode
2008˗2017 yang telah disetujui oleh Menteri Kehutanan, penataan ruang HTI PT.
MKS adalah: kawasan lindung seluas 1.656 ha (11,18%), tanaman unggulan
seluas 1.664 ha (11,24%), tanaman kehidupan seluas 1.453 ha (9,82%), tanaman
pokok seluas 9.012 ha (60,89%) dan areal sarana prasarana seluas 1.015 ha
(6,85%).
Tata ruang HTI tersebut menunjukkan alokasi areal untuk tanaman
kehidupan PT MKS lebih besar dari 5%. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2007 jo Nomor 3 Tahun 2008 disebutkan bahwa pemegang
IUPHHKHTI wajib menyediakan setinggi˗tingginya 5% dari total areal kerjanya
sebagai ruang tanaman kehidupan bagi areal kemitraan dengan masyarakat
setempat. Pembangunan tanaman kehidupan merupakan salah satu bentuk CFM

3
pada areal HTI PT. MKS. Program ini antara lain bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
Sampai dengan tahun 2012, PT. MKS telah merealisasikan seluruh rencana
tanaman kehidupan dengan jenis tanaman sawit. Pemilihan jenis tanaman sawit
sebagai jenis tanaman kehidupan didasarkan pada perjanjian antara masyarakat
dengan PT. MKS pada tanggal 24 Mei 2002. Namun, sawit sampai saat ini
merupakan jenis yang belum diizinkan untuk diusahakan dalam kawasan hutan.
Sehubungan hal itu, perlu dicari alternatif jenis tanaman lain yang secara regulasi
tidak dilarang dikembangkan dalam kawasan hutan, memiliki nilai ekonomi
tinggi, serta dapat diterima oleh masyarakat. Tanaman yang potensial untuk
dikembangkan diantaranya adalah karet, yang bisa dimanfaatkan getah dan
kayunya. Masyarakat di sekitar HTI PT. MKS sudah terbiasa membudidayakan
tanaman karet sebagai mata pencaharian. Jenis tanaman lain yang dimungkinkan
untuk dikembangkan adalah akasia, yang merupakan jenis tanaman pokok HTI
yang saat ini dikembangkan oleh PT. MKS.
Pertanyaan dalam penelitian ini apakah pengelolaan tanaman kehidupan di
PT. MKS layak secara finansial serta sesuai secara teknis dan sosial sehingga bisa
mendukung tercapainya pengelolaan hutan produksi lestari di kemudian hari?

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kelayakan usaha kegiatan
pengelolaan tanaman kehidupan jenis sawit, karet, dan akasia, dalam kegiatan
pengelolaan hutan bersama masyarakat berdasarkan aspek teknis, aspek finansial,
dan aspek sosial.

Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai:
1 Bahan masukan bagi para pengambil kebijakan, pelaksana dan pengelola
kegiatan tanaman kehidupan dalam peningkatan keberhasilan dan
pengembangan program tanaman kehidupan selanjutnya.
2 Bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut tentang pengelolaan tanaman
kehidupan, khususnya dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
pengelolaan tanaman kehidupan.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kemitraan
Menurut Hafsah (2000), arti harfiah dari kemitraan adalah strategi bisnis
yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk
meraih keuntungan bersama berdasarkan prinsip saling membutuhkan dan saling
membesarkan. Tujuan yang ingin dicapai dari kemitraan adalah (1) meningkatkan

4
pendapatan usaha kecil dan masyarakat, (2) meningkatkan perolehan nilai tambah
bagi pelaku kemitraan, (3) meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan
masyarakat dan usaha kecil, (4) meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan,
wilayah dan nasional, (5) memperluas kesempatan kerja, dan (6) meningkatkan
ketahanan ekonomi nasional.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 8 Undang˗Undang Nomor 9 tahun 1995 tentang
Usaha Kecil, disebutkan bahwa kemitraan merupakan kerjasama antara usaha
kecil dengan menengah atau besar dengan memperhatikan prinsip saling
memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Dalam kegiatan
usaha pertanian, sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 940/Kpts/OT-210/10/97, yang dimaksud konsep kemitraan usaha
pertanian adalah kerjasama usaha antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra
bidang usaha pertanian.
Dalam kegiatan usaha pertanian di Indonesia terdapat tujuh pola kemitraan
(Direktorat Pengembangan Usaha, Departemen Pertanian, 2002) yaitu inti˗plasma,
subkontrak, dagang umum, keagenan, kerjasama operasional agribisnis (KOA),
waralaba, dan penyertaan saham.
Penelitian mengenai manfaat kemitraan telah banyak dilakukan. Hasil
penelitian Ridwan et al. (2008) tentang peranan program pengelolaan hutan
bersama masyarakat (PHBM) dalam meningkatkan kesejahteraan kelompok tani
hutan (KTH) di wilayah kerja Bagian Kesatuan Pemangkutan Hutan
Parungpanjang, Kesatuan Pemangkutan Hutan Bogor, memperlihatkan bahwa
pendapatan petani yang mengikuti program PHBM tidak berbeda nyata dengan
petani diluar program PHBM, meskipun produktivitas padi gogo pada lahan
PHBM lebih baik bila dibandingkan dengan pada lahan non PHBM. Dengan
demikian, program PHBM yang dilaksanakan Perum Perhutani belum dapat
dirasakan manfaatnya oleh petani.
Penelitian yang sama mengenai dampak PHBM dilakukan oleh Purwita et al.
(2009) di wilayah Pangalengan, Bandung Selatan, dengan hasil bahwa
pengelolaan hutan melalui program PHBM telah mampu mengatasi masalah
perambahan hutan lindung oleh masyarakat, tetapi belum dapat mengatasi
masalah kemiskinan, khususnya pada kasus PHBM kopi.
Pada penelitian mengenai analisis manfaat kemitraan dalam mengelola
hutan melalui program mengelola hutan bersama masyarakat (MHBM) dalam
pembangunan hutan tanaman industri di Provinsi Sumatera Selatan, diperoleh
hasil bahwa program MHBM tidak terbukti nyata dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat. Berdasarkan nilai nominal pendapatan yang diterima masyarakat
peserta MHBM memang terjadi kenaikan apabila dibandingkan dengan sebelum
mengikuti program MHBM, namun berdasarkan perhitungan statistik ternyata
tidak terdapat perbedaan pendapatan yang nyata (Diyah 2006).
Kegiatan perhutanan sosial yang dilaksanakan di Provinsi Jawa Tengah
ternyata belum mampu memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang
ditandai dengan lebih kecilnya pendapatan petani peserta program dibandingkan
dengan non peserta program. Pendapatan petani dari program perhutanan sosial
tidak berpengaruh terhadap distribusi pendapatan. Kegiatan ini juga ternyata
memiliki tingkat produktivitas lebih rendah dibanding kegiatan pertanian lain,
baik dari segi produktivitas tenaga kerja, lahan, maupun modal (Krisnamurthi
1991).

5
Hasil yang berbeda diperoleh dalam penelitian yang dilakukan di DAS
Konto Malang, yang menyatakan bahwa program PHBM berdampak terhadap
peningkatan pendapatan petani. Pengelolaan areal Perum Perhutani melalui
PHBM memberikan kontribusi yang cukup besar bagi peningkatan rata-rata
pendapatan per kapita per hari masyarakat di Kecamatan Pujon (Khususiyah
2008).
Dampak positif kegiatan PHBM juga dapat dirasakan oleh masyarakat di
Desa Sukorejo, Kecamatan Sumber Ringin, Kabupaten Bondowoso. Berdasarkan
analisis manfaat ekonomi kegiatan PHBM yang dilakukan oleh Santosa et al.
(2009), diperoleh hasil bahwa nilai NPV>0 dan BCR>1, dengan demikian
kegiatan tersebut layak diteruskan karena manfaat yang diterima lebih besar dari
biaya yang dikeluarkan.
Masyarakat Desa Glandang, Kecamatan Bantarbolang, Kabupaten Pemalang
dapat merasakan maanfaat dari kegiatan PHBM, hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Pambudiarto (2008). Program ini telah mampu
meningkatkan taraf hidup pesanggem (penggarap) yang tergabung dalam LMDH,
meskipun implementasi pelaksanaan PHBM belum berjalan efektif.
Penelitian mengenai kelayakan program MHBM juga telah dilakukan oleh
Martin dan Fitriyanti (2006) pada areal PT. Musi Hutan Persada di Provinsi
Sumatera Selatan dengan judul Tinjauan Kelayakan Ekonomi dan Manfaat Sosial
Program Sosial Forestry pada Hutan Tanaman Industri. Hasil dari penelitian
tersebut antara lain menyebutkan bahwa program MHBM layak dilakukan secara
ekonomi dan sosial. Berdasarkan analisis ekonomi, pembangunan HTI melalui
skim MHBM menghasilkan nilai BCR>1 dan NPV>0, pada tingkat suku bunga
14% sampai 15,55%, yang berarti layak secara ekonomi. Kelayakan PHBM
secara sosial adalah masyarakat mendapatkan kemanfaatan dari jasa kerja, jasa
manajemen dan jasa produksi.
Kegiatan PHBM yang dilakukan di Desa Cileuya, Kecamatan Cimahi,
Kabupaten Kuningan, berdasarkan analisis finansial menghasilkan nilai NPV>0
dan BCR>1, yang berarti kegiatan tersebut layak diteruskan karena manfaat yang
diterima lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Format bagi hasil sebesar 20%
untuk masyarakat dan 80% untuk PT. Perhutani bisa dirasakan adil dan layak,
mengingat BCR PT. Perhutani sebesar 5,372 hampir sama dengan BCR
masyarakat sebesar 4,481 (Noorvitastri dan Wijayanto 2003).
Kegiatan PHBM melalui program Hutan Kemasyarakatan (HKm) di
Kabupaten Lombok Timur sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Fajari
(2002), telah memberikan harapan kepada masyarakat untuk dapat mengentaskan
kemiskinan. Program ini memberikan pengaruh yang nyata dalam rangka
peningakatan pendapatan masyarakat. Pendapatan masyarakat peserta HKm
berbeda nyata bila dibandingkan dengan masyarakat non peserta HKm.

Tanaman Kehidupan
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts˗II/1995, yang
dimaksud dengan tanaman kehidupan adalah tanaman jenis tahunan/pohon yang
menghasilkan hasil hutan bukan kayu yang bermanfaat bagi masyarakat.
Selanjutnya definisi tanaman kehidupan disempurnakan yaitu tanaman untuk

6
tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dapat berupa tanaman pokok
yang menghasilkan hasil hutan kayu dan atau tanaman yang menghasilkan hasil
hutan bukan kayu, dan atau tanaman yang bermanfaat bagi masyarakat (food
security) yang dikelola melalui pola kemitraan antara masyarakat dengan
pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri
(IUPHHKHTI) yang bersangkutan (Kemenhut 2012). Tanaman kehidupan dapat
berupa jenis pohon seperti tanaman pokok HTI, tanaman penghasil getah, buahbuahan, atau hasil hutan bukan kayu lainnya.

Sawit (Elaeis guineensis Jacq)
Sawit merupakan tanaman monokotil, batang tidak berkambium dan
umumnya tidak bercabang, dengan batang berbentuk silinder. Di perkebunan,
tinggi tanaman sawit dapat mencapai 15˗18 m, sedangkan sawit alam dapat
mencapai tinggi 30 m. Tanaman sawit menghasilkan buah rata-rata 20˗22
tandan/tahun (Fauzi et al. 2008).
Buah sawit terdiri atas dua bagian utama yaitu perikarpium dan biji.
Perikarpium meliputi epikarpium dan mesokarpium. Biji meliputi endokarpium,
endasperm, dan lemabaga atau embrio. Epikaprium adalah kulit buah yang keras
dan licin, sedangkan mesokarpium adalah daging yang berserabut dan
mengandung minyak dengan rendemen paling tinggi. Endokarpium adalah
tempurung berwarna hitam dan keras. Endosperm atau dikenal juga kernel adalah
penghasil inti sawit, sedangkan lembaga atau embrio merupakan bakal tanaman
(Fauzi et al. 2008).
Tanaman sawit umumnya tumbuh di sekitar 15o LU˗15o LS pada lahan yang
datar, bergelombang sampai berbukit (kemiringan 0˗30%). Sawit dapat tumbuh
optimal pada ketinggian antara 0˗500 m di atas permukaan laut (dpl) dengan
pertumbuhan dan produksi terbaik antara 0˗100 m dpl. Curah hujan optimum
untuk pertumbuhan sawit berkisar antara 2.000˗2.500 mm per tahun. Temperatur
daerah tropis yang hangat dengan kisaran suhu 24o˗28oC sangat dikehendaki sawit,
namun pada kisaran suhu 18o˗32oC masih dapat tumbuh dan menghasilkan buah
dengan baik. Persyaratan tumbuh sawit lainnya adalah kelembaban udara 80%,
penyinaran matahari 5˗7 jam/hari, tanah tidak berbatu, tekstur tanah ringan,
drainase baik, dan kemasaman antara 4,0˗6,0. Untuk tanah gambut/organosol
sebaiknya dilakukan pengapuran (Latif 2006).
Tanaman sawit mulai menghasilkan buah saat berumur 3 tahun. Pada lahan
gambut, tanaman sawit umur 3 tahun sudah bisa menghasilkan TBS sebanyak 6,2
ton/tahun, dan apabila dikelola dengan sistem tata air yang baik, pada umur 9
tahun dapat menghasilkan TBS sebanyak 26 ton/tahun (Fadli et al. 2006).

Karet (Hevea brasiliensis)
Karet adalah tanaman tropis yang berasal dari Brazil. Tanaman karet dapat
tumbuh optimal di daerah dengan zone antara 15oLS dan 15oLU pada ketinggian
tempat antara 200˗600 m dpl, curah hujan 2.000˗2.500 mm per tahun dengan hari
hujan 100-150 HH/tahun, suhu 25o˗30oC. Kecepatan angin yang terlalu kencang

7
pada umumnya kurang baik untuk perkembangan karet. Kondisi tanah yang baik
untuk pertumbuhan karet adalah tanah dengan sifat fisik yang baik (bukan tanah
padas), aerase dan drainase baik, kemasaman antara 5,0˗6,0 (tanah yang asam
lebih baik dari pada tanah basa), permukaan air tanah1 (Soekartawi 1986).
Tingkat Pengembalian Internal (Internal Rate of Return/ IRR)
IRR merupakan tingkat bunga yang menyebabkan NPV sama dengan nol.
Suatu proyek dikatakan layak jika nilai IRR (r) lebih besar dari tingat i (IRR>i)
(Soekartawi 1986). Apabila sebuah proyek memiliki nilai IRR sama dengan nilai
i yang berlaku sebagai social discount rate, maka NPV dari proyek itu adalah 0
artinya proyek bisa dilanjutkan. Sebaliknya apabila IRR