Korelasi Populasi Klebsiella Dan Jumlah Kopi Gen Penyandi Kobalt-Prekorin-5a-Deasilase (Cbig) Pada Tempe.

KORELASI POPULASI Klebsiella DAN JUMLAH KOPI GEN
PENYANDI KOBALT-PREKORIN-5A-DEASILASE (cbiG)
PADA TEMPE

ANALEKTA TIARA PERDANA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Korelasi Populasi
Klebsiella dan Jumlah Kopi Gen Penyandi Kobalt-Prekorin-5A-Deasilase (cbiG)
pada Tempe adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Analekta Tiara Perdana
NIM G351120231

RINGKASAN
ANALEKTA TIARA PERDANA. Korelasi Populasi Klebsiella dan Jumlah Kopi
Gen Penyandi Kobalt-Prekorin-5A-Deasilase (cbiG) pada Tempe. Dibimbing oleh
ANTONIUS SUWANTO dan LILIS NURAIDA.
Klebsiella pneumoniae sebagai anggota dari famili Enterobacteriaceae
merupakan salah satu mikrob yang penting dalam menghasilkan vitamin B12 pada
tempe. Gen cbiG adalah salah satu gen penting pensintesis vitamin B12 yang
mengkodekan kobalt-prekorin-5A-deasilase dan gen ini dimiliki oleh Klebsiella
penghasil vitamin B12. Real Time Quantitative Polymerase Chain Reaction
(qPCR) digunakan untuk mendeteksi dan mengkuantifikasi keberadaan mikrob,
sekuen DNA tertentu, ekspresi gen dan lain sebagainya. Suatu sekuen DNA
diamplifikasi, kemudian produk hasil amplifikasi dianalisis dan dikuantifikasi
dalam waktu yang bersamaan secara real time. Korelasi antara jumlah populasi
Klebsiella pada tempe dan kopi gen cbiG dilakukan menggunakan qPCR.
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi korelasi jumlah populasi Klebsiella

pada tempe dan jumlah kopi gen cbiG sebagai indikator produksi vitamin B12
pada tempe dengan tingkat kematangan berbeda (24, 48 dan 72 jam).
Sampel tempe diambil dari pengrajin tempe Empang (EMP) dan Warung
Jambu (WJB) di Bogor setelah fermentasi tempe selesai (36 jam) kemudian
disimpan selama 24, 48 dan 72 jam pada suhu ruang. Kuantifikasi Klebsiella dari
tempe dilakukan menggunakan metode pengenceran dan diinokulasikan pada
Eosin Methylene Blue Agar (EMBA) menggunakan metode cawan sebar. Isolat
Klebsiella yang tumbuh pada EMBA dihitung dan dilakukan uji aktivitas
degradasi sitrat pada Simmons’ Citrate Agar (SCA). DNA total diekstraksi dari
tempe EMP dan WJB dan digunakan sebagai cetakan (template) DNA untuk
mengamplifikasi gen cbiG menggunakan dua pasang primer spesifik Klebsiella,
cbiG-F dan cbiG-R dengan gen target 755 bp, serta cbiG-Fnew2 dan cbiG-Rnew2
dengan gen target 250 bp. Ekstrak DNA tempe EMP dan WJB juga digunakan
sebagai cetakan untuk mengkuantifikasi kopi gen cbiG menggunakan primer cbiGFnew2 dan cbiG-Rnew2 melalui qPCR.
Seluruh isolat Klebsiella dari tempe EMP dan WJB menunjukkan
karakteristik khusus Klebsiella, yaitu berbentuk bulat, mukoid dan berwarna ungu
di bagian tengah koloni pada EMBA. Klebsiella juga mampu mendegradasi sitrat
yang terlihat melalui perubahan warna dari hijau menjadi biru pada SCA. Jumlah
populasi Klebsiella meningkat berdasarkan tingkat kematangan tempe. Tempe
umur 24 jam memiliki jumlah populasi Klebsiella yang lebih rendah dibandingkan

tempe umur 48 jam, begitu pula tempe umur 48 jam memiliki jumlah populasi
Klebsiella yang lebih rendah dibandingkan tempe umur 72 jam. DNA genom
setiap sampel tempe berhasil diisolasi dan gen cbiG juga berhasil diamplifikasi
menggunakan PCR. Pita hasil PCR memiliki intensitas yang beragam. Intensitas
pita tersebut meningkat berdasarkan tingkat kematangan tempe yang
menunjukkan bahwa tempe umur 72 jam memiliki gen cbiG yang paling tinggi
dibandingkan dengan tempe umur 48 dan 24 jam. Hasil kuantifikasi kopi gen
cbiG menggunakan qPCR menunjukkan bahwa jumlah kopi gen cbiG meningkat
berdasarkan tingkat kematangan tempe. Penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah

populasi Klebsiella berkorelasi dengan jumlah kopi gen cbiG yang meningkat
berdasarkan tingkat kematangan tempe tersebut.
Kata Kunci: Gen cbiG, K. pneumoniae, qPCR, Tempe, Vitamin B12.

SUMMARY

ANALEKTA TIARA PERDANA. Correlation of Klebsiella Population and Copy
Numbers of Cobalt-Precorrin-5A-Deacylase Gene (cbiG) in Tempeh. Supervised
by ANTONIUS SUWANTO and LILIS NURAIDA.
Klebsiella pneumoniae a member of Enterobacteriaceae family is one of

major vitamin B12 producing bacteria in tempeh. cbiG gene is one of vitamin B12
essential biosynthetic gene which encodes cobalt-precorrin-5A-deacylase and it
belongs to vitamin B12 producing Klebsiella. Real Time Quantitative Polymerase
Chain Reaction (qPCR) was commonly used to detect and quantify the existence
of certain microbes, DNA sequences, gene expressions etc. Those DNA sequences
were amplified then the amplification products will be analyzed and quantified
simultaneously. Correlation between Klebsiella population in tempeh and copy
numbers of cbiG gene were studied employing qPCR. The aim of this study was
to evaluate correlation between the numbers of Klebsiella population in tempeh
and copy numbers of cbiG gene as an indicator of vitamin B12 production during
different stages of tempeh maturation (24, 48 and 72 hours).
Tempeh samples were taken from Empang (EMP) and Warung Jambu
(WJB) tempeh producers in Bogor after the tempeh fermentation had completed
(36 hours) and stored for 24, 48 and 72 hours at room temperature. Quantification
of Klebsiella from tempeh was carried out by dilution method and inoculated on
Eosin Methylene Blue Agar (EMBA) using spread plate method. Klebsiella
isolates which grow on EMBA were counted and tested for citrate degrading
activities on Simmons’ Citrate Agar (SCA). Total DNA was extracted from EMP
and WJB tempeh and used as DNA templates to amplify cbiG gene employing
two sets of K. pneumoniae specific primers, cbiG-F and cbiG-R with target gene of

approximately 755 bp amplicon, then cbiG-Fnew2 and cbiG-Rnew2 with target
gene of approximately 250 bp amplicon. DNA extracts of EMP and WJB tempeh
were also used as templates to quantify copy numbers of cbiG gene employing cbiGFnew2 and cbiG-Rnew2 primers by qPCR.
All Klebsiella isolates from EMP and WJB tempeh showed specific
characteristics of Klebsiella that were round shape, mucoid and purple color in the
center of the colony on EMBA. Klebsiella were also able to degrade citrate with
color change of SCA from green into blue color. Numbers of Klebsiella
population were increased based on the stages of tempeh maturation. 24 hours
tempeh contained lower numbers of Klebsiella population than 48 hours tempeh
and also 48 hours tempeh contained lower numbers of Klebsiella population than
72 hours tempeh. Each genomic DNA of tempeh samples was extracted
successfully and cbiG gene was amplified well using PCR. Bands of PCR result
had various intensities which indicate numbers of cbiG gene. The band intensities
increased based on the stages of tempeh maturation, such that 72 hours tempeh
had highest number of cbiG gene than 48 or 24 hours tempeh. Result of cbiG gene
copy numbers quantification employing qPCR indicated that copy numbers of
cbiG gene increased in line with the stages of tempeh maturation. This study

showed that numbers of Klebsiella population were correlated with copy number
of cbiG gene that increased based on the stages of tempeh maturation.

Keywords: cbiG gene, K. pneumoniae, qPCR, Tempeh, Vitamin B12.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KORELASI POPULASI Klebsiella DAN JUMLAH KOPI GEN
PENYANDI KOBALT-PREKORIN-5A-DEASILASE (cbiG)
PADA TEMPE

ANALEKTA TIARA PERDANA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Mikrobiologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Made Astawan, MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan
Desember 2014 ini ialah vitamin B12 pada tempe, dengan judul Korelasi Populasi
Klebsiella dan Jumlah Kopi Gen Penyandi Kobalt-Prekorin-5A-Deasilase (cbiG)
pada Tempe.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Antonius Suwanto,
MSc dan Ibu Prof Dr Ir Lilis Nuraida, MSc selaku pembimbing yang telah

memberikan nasehat, saran, motivasi, waktu luang untuk konsultasi, serta solusi
dari setiap permasalahan yang dihadapi penulis selama melaksanakan penelitian
dan penyusunan karya ilmiah ini. Selain itu penulis ucapkan terima kasih kepada
penguji luar komisi Prof Dr Ir Made Astawan, MS dan Prof Dr Anja Meryandini,
MS selaku Ketua Program Studi Mikrobiologi IPB, yang telah memberikan
masukan pada saat ujian sidang tesis untuk membuat karya ilmiah ini menjadi
lebih baik. Kepada DIKTI melalui Beasiswa Unggulan 2012/2013 terima kasih
atas kepercayaannya untuk memberikan beasiswa kuliah selama menempuh
pendidikan pascasarjana di IPB, dan dana DIPA IPB 2014 atas nama Prof Dr Ir
Antonius Suwanto, MSc dengan kode mak: 2013.089.521219 sehingga penelitian
yang penulis lakukan dapat terlaksana dengan baik.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Dr Susan Soka,
MSc yang telah membantu mengurus segala keperluan di Laboratorium. Seluruh
staf teknisi di Laboratorium Universitas Katolik Atma Jaya yang telah membantu
penulis selama melakukan penelitian serta ucapan terima kasih kepada Mba
A’yun, Mba Allia, Kak Cidy dan Kak Evelin sebagai partner selama penelitian.
Kepada Ketua Prodi Biologi (Bioteknologi) Universitas Al Azhar Indonesia Dr
Nita Noriko, MS serta dosen-dosen Arif Pambudi, MSi, Dr Dewi Elfidasari, Dr
Hidayat Yorianta, Riris L. Puspitasari, M.Si, Dr Taufik Wisnu dan Dr Yunus
Effendi, terima kasih atas dukungan, saran dan izin kerja selama penulis

menyelesaikan pendidikan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada orang tua, Bapak M.
Sahudin dan Ibu Sriyanti serta adik, Belia Perwitasari Maharani dan Arjuna
Kemal Pasha. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
seseorang terdekat dan terkasih serta sahabat-sahabat tersayang Bio8,
Mikrotropisian Genges, Mikrotropisian 2014 atas segala doa, dukungan serta
kasih sayang yang telah diberikan. Tak lupa kepada seluruh keluarga, rekan-rekan
dan sahabat yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu
selama penulis menyelesaikan pendidikan, terima kasih. Semoga karya ilmiah ini
dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan selanjutnya.

Bogor, Agustus 2015
Analekta Tiara Perdana

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

xiv

DAFTAR LAMPIRAN


xiv

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian


2

Ruang Lingkup Penelitian

2

Hipotesis

2

TINJAUAN PUSTAKA

3

Tempe

3

Klebsiella pada Tempe

3

Vitamin B12 pada Tempe

4

Real Time Quantitative Polymerase Chain Reaction (qPCR)

6

METODE

8

Kerangka Penelitian

8

Waktu dan Tempat Penelitian

8

Pengambilan Sampel

8

Kuantifikasi Klebsiella

9

Ekstraksi DNA

10

Amplifikasi Gen cbiG

10

Kuantifikasi Gen cbiG

11

HASIL DAN PEMBAHASAN

11

Jumlah Klebsiella pada Tempe

11

Amplifikasi Gen cbiG

15

Jumlah Kopi Gen cbiG pada Tempe

18

SIMPULAN DAN SARAN

20

Simpulan

20

Saran

20

DAFTAR PUSTAKA

20

LAMPIRAN

24

RIWAYAT HIDUP

29

DAFTAR GAMBAR
1 Struktur vitamin B12 dan struktur parsial vitamin B12
2 Jalur biosisntesis adenosilkobalamin dan kofaktor tetrapirol lain pada
bakteri
3 Kurva hasil qPCR
4 Tahapan kerja penelitian
5 Koloni Klebsiella
6 Jumlah Klebsiella pada tempe EMP dan WJB umur 24, 48 dan 72 jam
7 Hasil ekstraksi DNA genom
8 Hasil amplifikasi menggunakan primer cbiG-F dan cbiG-R
9 Hasil amplifikasi menggunakan primer cbiG-Fnew2 dan cbiG- Rnew2
10 Jalur biosintesis kobalamin pada bakteri enterik
11 Jumlah kopi gen cbiG pada tempe EMP dan WJB umur 24, 48 dan 72
jam
12 Korelasi antara jumlah Klebsiella dan jumlah kopi gen cbiG (R2 > 0.804)

5
6
7
8
12
13
15
16
16
17
18
19

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Gambar metode pembuatan tempe EMP dan WJB
Komposisi media
Tabel data kuantifikasi Klebsiella
Tabel hasil nano drop
Gambar kurva standar qPCR
Tabel data kuantifikasi gen cbiG

24
24
25
26
26
27

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tempe merupakan makanan tradisional khas Indonesia yang dibuat
menggunakan kultur campuran Rhizopus spp., terutama Rhizopus oligosporus,
R. oryzae, R. arhizus, R. stolonifer dan R. microspores. Pembuatan tempe
dilakukan dalam empat tahap, yaitu perendaman, perebusan, penginokulasian
mikrob dan penyimpanan (inkubasi) pada suhu ruang. Keempat tahap pembuatan
tempe ini mengalami modifikasi dari satu daerah ke daerah lain, dan dari satu
produsen ke produsen lain, sehingga menghasilkan berbagai macam variasi tempe
di Indonesia (Astuti et al. 2000).
Tempe memiliki rasa dan tekstur yang menarik, daya cerna yang sangat
tinggi, serta beberapa efek positif terhadap kesehatan seperti mengurangi risiko
penyakit jantung, stroke, osteoporosis, kanker, kelainan pencernaan, serta gejalagejala menopause (Babu et al. 2009). Tempe juga kaya akan nutrisi dan substansi
aktif seperti protein dan nitrogen terlarut, asam amino dan asam lemak bebas,
isoflavon, serta vitamin B12 (Astuti et al. 2000). Kandungan vitamin B pada
tempe, khususnya vitamin B12 bersifat sangat unik. Kedelai sebagai bahan baku
fermentasi tempe tidak mengandung vitamin B12, sedangkan tempe sebagai hasil
fermentasi kedelai mengandung vitamin B12.
Vitamin B12 dapat diperoleh dari sumber makanan hewani (daging, susu,
telur, ikan) dan tidak dapat diperoleh dari sumber makanan nabati. Beberapa
makanan fermentasi seperti tempe mengandung vitamin B12 sehingga dapat
dijadikan sebagai salah satu sumber vitamin B12, terutama bagi para vegetarian
(O’leary dan Samman 2010). Vitamin ini disintesis oleh Citrobacter freundii dan
K. pneumoniae saat fermentasi (Keuth dan Bisping 1994). K. pneumoniae
merupakan produsen terbaik dari vitamin B12 aktif jika dibandingkan dengan galur
kapang dan bakteri lain yang diisolasi dari sampel air rendaman dan tempe
Indonesia (Keuth dan Bisping 1993).
Keberadaan bakteri penghasil vitamin B12, terutama K. pneumoniae telah
dipelajari secara ekstensif. Okada (1989) melakukan isolasi dan identifikasi
bakteri penghasil vitamin B12 pada tempe Bogor. Sebagian besar bakteri penghasil
vitamin B12 diidentifikasi sebagai K. pneumoniae, selain itu juga ditemukan
K. terrigena atau K. planticola dan K. pneumoniae sub. ozaenae sp. Berdasarkan
analisis sekuen 16S rRNA, K. pneumoniae dan Klebsiella sp. merupakan bakteri
dominan yang terdapat pada tempe (Barus et al. 2008) yang secara genetik
berbeda dengan isolat medis (Ayu et al. 2014)
Keberadaan K. pneumoniae juga dapat dideteksi melalui keberadaan gen
pensintesis vitamin B12 itu sendiri. Salah satu gen penting pensintesis vitamin B12
adalah gen cbiG sebagai penyandi kobalt-prekorin-5A-deasilase. Gen cbiG
berperan dalam biosintesis cincin korin, yaitu pada tahap kontraksi cincin korin
(Rodionov et al. 2003) dan gen ini dimiliki oleh Klebsiella penghasil vitamin B12
(Lawrence dan Roth 1995). Salah satu metode yang digunakan untuk mendeteksi
gen cbiG adalah Real Time Quantitative Polymerase Chain Reaction (qPCR).
Oberst et al. (1998) melaporkan bahwa qPCR telah digunakan untuk deteksi dan

2

kuantifikasi E.coli O157:H7 pada makanan dan sampel klinis, juga pada sampel
lingkungan (Ibekwe dan Grieve 2003).

Perumusan Masalah
Fermentasi tempe merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan
melibatkan berbagai macam mikrob. Berdasarkan penelitian sebelumnya, selain
kapang sebagai mikrob utama, mikrob lain seperti famili Enterobacteriaceae,
bakteri asam laktat (BAL) dan spora bakteri turut berperan dalam menentukan
kualitas akhir tempe. Terdapat penelitian yang melaporkan bahwa K. pneumoniae
merupakan penghasil vitamin B12 pada tempe, sehingga informasi jumlah
K. pneumoniae diperlukan sebagai dasar penentuan jumlah gen pensintesis
vitamin B12. Oleh karena itu, penelitian ini akan menjawab: 1) berapakah jumlah
Klebsiella sebagai bakteri penghasil vitamin B12 pada tempe; 2) berapakah jumlah
kopi gen cbiG selaku gen pensintesis vitamin B12 pada tempe; dan 3)
bagaimanakah korelasi antara jumlah Klebsiella dan kopi gen cbiG pada tempe.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi korelasi jumlah populasi
Klebsiella dan jumlah kopi gen cbiG sebagai indikator produksi vitamin B12 pada
tempe dengan tingkat kematangan yang berbeda (24, 48 dan 72 jam).

Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan informasi mengenai korelasi jumlah Klebsiella
dan kopi gen cbiG pada tempe dengan tingkat kematangan yang berbeda (24, 48
dan 72 jam). Korelasi ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi para konsumen
dalam menentukan masa simpan dan waktu konsumsi tempe.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian meliputi pengambilan sampel tempe, isolasi Klebsiella, isolasi
DNA genom tempe, amplifikasi gen cbiG dan kuantifikasi gen cbiG pada tempe
dengan tingkat kematangan yang berbeda (24, 48 dan 72 jam).

Hipotesis
Jumlah populasi Klebsiella dan jumlah kopi gen cbiG meningkat
berdasarkan tingkat kematangan tempe dan memiliki korelasi linear.

3

TINJAUAN PUSTAKA

Tempe
Tempe merupakan produk fermentasi kedelai yang dibuat dan dikonsumsi
oleh masyarakat Jawa Tengah menggunakan spesies Rhizopus sejak tahun
1700-an. Tempe yang berasal dari kacang kedelai merupakan salah satu jenis
tempe yang paling populer, sehingga istilah tempe merujuk kepada tempe kedelai
tersebut. Produsen tempe di Indonesia tidak menggunakan kultur murni
R. oligosporus dalam fermentasi tempe, tetapi menggunakan kultur campuran
Rhizopus spp. (Astuti et al. 2000). Kultur campuran tersebut kemudian disimpan
selama 24 jam hingga menghasilkan produk bertekstur kompak dengan rasa
kacang-kacangan dan tekstur yang kenyal seperti jamur (Babu et al. 2009).
Kapang merupakan mikrob penting yang berperan dalam fermentasi
tempe, namun dua kelompok bakteri lain yaitu kelompok bakteri penghasil asam
laktat dan kelompok bakteri penghasil vitamin B12 juga berperan dalam proses
tersebut. Biji kedelai awalnya dimasak di dalam drum, kemudian direndam di
dalam air selama satu malam. Pada fase ini, kelompok bakteri penghasil asam
laktat bekerja menurunkan pH menjadi kurang dari 4. Penurunan pH sangat
penting untuk tahap fermentasi selanjutnya, karena pH yang rendah dapat
mencegah pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan dan meningkatkan
pertumbuhan kapang. Kapang tersebut akan menghasilkan enzim yang dapat
mendekomposisi protein kedelai, kemudian melepaskan amonia yang dapat
meningkatkan pH. Hal ini mengundang bakteri lain yang menyukai pH netral dan
beberapa di antara mereka merupakan kelompok bakteri penghasil vitamin B12
(Okada 1989).
Fermentasi kedelai menjadi tempe merupakan suatu dinamika dari
berbagai komposisi mikrobiologi secara berkelanjutan hingga menghasilkan
enzim dan senyawa bioaktif. Proses ini juga dapat memperbaiki kualitas
organoleptik dan nilai nutrisi dari suatu bahan makanan. Kandungan protein pada
tempe cukup tinggi (40-50% berat kering) sehingga dapat digunakan sebagai
pengganti daging atau ikan. Protease, lipase, serta berbagai macam karbohidrat
juga diproduksi pada saat fermentasi. Substansi tersebut memungkinkan
terjadinya degradasi makromolekul menjadi substansi yang lebih rendah berat
molekulnya sehingga dihasilkan tempe dengan tekstur, rasa dan aroma yang
diinginkan (Nout dan Kiers 2005).

Klebsiella pada Tempe
Rasa yang menarik serta tekstur yang lembut, membuat tempe disukai oleh
berbagai kalangan, bahkan di Amerika dan Eropa (Iljas et al. 1973). Rhizopus
sebagai kapang yang berperan dalam fermentasi makanan kaya akan vitamin B12
ini belum pernah dilaporkan menghasilkan vitamin B12 ataupun vitamin B12
analog. Penghasil utama vitamin B12 pada tempe adalah bakteri yang tumbuh
bersama dengan kapang selama masa fermentasi. Bakteri penghasil vitamin B12

4

ini termasuk ke dalam bakteri Gram negatif, berbentuk batang serta tidak sensitif
terhadap senyawa antibakteri yang diproduksi oleh kapang selama fermentasi
(Liem et al. 1977).
Okada (1989) mengevaluasi produktivitas vitamin B12 pada berbagai
macam mikrob hasil isolasi dari tempe Bogor. Isolat nomor 22 sebagai penghasil
vitamin B12 tertinggi yaitu 1350 ng/(sel dalam 5 mL kultur) atau setara dengan
0.27 mg/L diidentifikasi sebagai K. pneumoniae. Keuth dan Bisping (1993)
menginvestigasi bakteri yang berperan dalam pembentukan vitamin B12. Sejumlah
16 isolat dari 37 isolat dapat tumbuh dengan baik pada media tanpa vitamin B12
dan diidentifikasi sebagai Enterobacteriaceae, terutama Enterobacter spp.,
C. freundii dan K. pneumoniae. K. pneumoniae merupakan galur bakteri yang
menghasilkan vitamin B12 dalam jumlah besar, selain C. freundii.
Studi asosiasi antara bakteri dengan kapang pada saat fermentasi tempe
menunjukkan bahwa K. pneumoniae berkontribusi pada saat fermentasi dengan
jumlah mencapai 106-107 CFU/g (Mulyowidarso et al. 1989). Barus et al. (2008)
menemukan bahwa jumlah Enterobacteriaceae mencapai 103-104 CFU/mL dan
K. pneumoniae merupakan salah satu bakteri dominan pada tempe. Ayu et al.
(2014) berhasil mengidentifikasi sejumlah isolat bakteri sebagai K. pneumoniae
dan berdasarkan Enterobacterial Repetitive Intergenic Consensus-Polymerase
Chain Reaction (ERIC-PCR), isolat tersebut berbeda secara genetis dengan
K. pneumoniae patogen dan isolat medis K. pneumoniae.

Vitamin B12 pada Tempe
Vitamin B12 adalah vitamin terkompleks dengan berat molekul terbesar.
Istilah vitamin B12 biasanya terbatas pada sianokobalamin, padahal vitamin B12
secara luas menggambarkan kobalamin. Kobalamin merupakan istilah yang
digunakan untuk kelompok senyawa yang mengandung kobalt (korinoid) dengan
ligan aksial bawah berupa kobalt yang berikatan dengan nukleotida
(5,6-dimetilbenzimidazol), serta ligan atas yang menjadi pembeda antara masingmasing jenis kobalamin (Gambar 1) (Watanabe 2007). Jenis atau bentuk
kobalamin tersebut meliputi siano-, metil-, deoksiadenosil-, dan hidroksikobalamin (O’leary dan Samman 2010).
Bentuk sianokobalamin digunakan pada sebagian besar suplemen dan akan
diubah menjadi bentuk koenzim kobalamin (metilokobalamin dan
5’-deoksiadenosilkobalamin) di dalam tubuh manusia (Watanabe 2007). Koenzim
ini dibutuhkan oleh metilmalonil-KoA mutase (MMCM) untuk mengubah
metilmalonil-KoA menjadi suksinil-KoA dan metionin sintase (METH) untuk
mensintesis purin dan pirimidin (O’leary dan Samman 2010).
Recommended dietary allowance (RDA) dari vitamin B12 untuk dewasa di
Amerika dan Jepang adalah sekitar 2.4 µg per hari, namun vitamin tersebut
dikeluarkan dari tubuh sekitar 2-5 µg per hari (Watanabe 2007). Jumlah vitamin
B12 sekitar 6 µg per hari, diperkirakan cukup untuk menjaga konsentrasi vitamin
B12 di dalam plasma dan vitamin B12 yang berhubungan dengan penanda
metabolik (Bor et al. 2010). Vitamin B12 tersebut didapatkan terkonsentrasi dalam
jaringan hewan, sehingga dapat ditemukan pada bahan makanan hewani
(µg/100 g), seperti: hati (26-58), daging sapi dan domba (1-3), ayam (1), telur

5
(1-2.5), dan makanan turunan susu (0.3-2.4). Vitamin ini sayangnya tidak
ditemukan pada bahan makanan nabati secara alami. Rumput laut dan jamur
dilaporkan mengandung analog vitamin B12, namun tidak aktif dalam tubuh
manusia. Beberapa makanan yang terkontaminasi atau terfermentasi oleh bakteri
seperti tempe dilaporkan mengandung vitamin B12 (O’leary dan Samman 2010),
namun kedelai sebagai bahan baku pembuat tempe dilaporkan tidak mengandung
vitamin B12 (Liem et al. 1977).

Gambar 1 Struktur vitamin B12 dan struktur parsial vitamin B12. Struktur parsial
vitamin B12 hanya menunjukkan bagian molekul yang membedakan
antara masing-masing vitamin B12, (1) 5’deoksiadenosilkobalamin,
(2) metilokobalamin, (3) hidroksikobalamin, (4) sulfitokobalamin, (5)
sianokobalamin

Beberapa hasil analisis mikrobiologi menunjukkan kadar vitamin B12 yang
berbeda pada setiap sampel tempe Indonesia, yaitu 4 ng/g (Liem et al. 1977),
46 ng/g (Okada 1989) dan 1.8-41.4 ng/g (Areekul et al. 1990). Konsentrasi
vitamin B12 dapat diukur melalui berbagai macam metode. Prinsip metode
tersebut pada dasarnya tergantung pada struktur molekuler dari vitamin B12 itu
sendiri dan reaksinya dengan substansi lain. Beberapa metode yang pernah
digunakan adalah metode mikrobiologi, spektrofotometri, Electroluminescent
(ECL), Inductive-Coupled Plasma-Mass Spectrometry (ICP-MS), Atomic
Absorption Spectroscopy, Radioimmunoassay (RIA), High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) dan Capillary Electrophoresis (CE). Pemilihan metode
dalam mengukur konsentrasi vitamin B12 dilakukan berdasarkan jenis sampel,
tujuan pengujian, waktu, biaya, sensitivitas dan spesifisitas (Karmi et al. 2011).
Lawrence dan Roth (1996) mengevaluasi distribusi sintesis kobalamin
pada bakteri enterik. K. pneumoniae, K. aerogenes, C. freundii, Escherichia
vulneris, E. hermanii, E. blattae, dan Enterobacter cloacae merupakan bakteri

6

enterik yang dapat mensintesis kobalamin. Faktor penting yang mempengaruhi
produksi kobalamin pada bakteri enterik adalah penambahan kobalt eksogenus.
Jalur biosintesis kobalamin pada bakteri dapat terjadi secara anaerobik dan
aerobik dengan perbedaan pada waktu insersi kobalt (Gambar 2) (Rodionov et al.
2003). Gen cbiG merupakan salah satu gen penting dalam sintesis vitamin B12.
cbiG sebagai penyandi kobalt-prekorin-5A-deasilase berfungsi mengkatalisis
pembukaan cincin lakton dan ekstrusi dua potongan karbon (deasilasi) (Roessner
dan Scott 2006).

Gambar 2 Jalur biosisntesis adenosilkobalamin dan kofaktor tetrapirol lain pada
bakteri

Real Time Quantitative Polymerase Chain Reaction (qPCR)
qPCR merupakan metode yang cukup akurat dan cepat untuk melakukan
analisis gen tertentu secara kuantitatif (DNA) melalui kuantitas genom dari suatu

7
gen (kopi gen). qPCR memungkinkan banyak percobaan yang tidak dapat
dilakukan melalui PCR konvensional, selain itu qPCR juga tidak memerlukan
penanganan sampel akhir (post-PCR sample handling) (Heid et al. 2015).
Reporter berpendar (fluorescent reporter) yang dapat berikatan dengan produk
PCR dibutuhkan dalam rekasi qPCR. Reporter ini menghasilkan fluoresensi jika
sudah berikatan dengan produk PCR yang dihasilkan sebagai refleksi dari jumlah
produk PCR (Kubista et al. 2006).
Fase reaksi qPCR dibagi menjadi empat: fase pertama tertutupi di bawah
background fluorescence saat amplifikasi eksponensial diharapkan dapat terjadi;
fase kedua merupakan saat amplifikasi eksponensial yang dapat dideteksi dan
berada di atas background; fase ketiga merupakan saat efisiensi amplifikasi
cenderung linear dan peningkatan fluoresensi yang sangat signifikan; fase
keempat atau fase plateau merupakan fase pengamatan laju akumulasi produk
secara eksponensial yang terlihat bersamaan dengan siklus berikutnya (Heid et al.
2015). Kurva hasil percobaan qPCR akan berakhir pada tingkat yang sama
(Gambar 3). Jumlah siklus yang dibutuhkan untuk mencapai threshold disebut
dengan nilai Ct (Kubista et al. 2006).

Gambar 3 Kurva hasil qPCR

Pendekatan qPCR juga sudah banyak diaplikasikan pada bidang
mikrobiologi dengan kombinasi proses ekstraksi asam nukleat (DNA atau RNA)
terutama untuk menentukan gen dan jumlah kopi gen sampel (Smith dan Osborn
2009). Kephart dan Bushon (2009) menggunakan qPCR untuk menentukan
konsentrasi E. coli yang terdapat pada danau. qPCR juga digunakan untuk
mendeteksi dan mengkuantifikasi E. coli O157:H7 pada tanah, pupuk kandang
dan air pencuci limbah susu (Ibekwe dan Grieve 2003).

8

METODE

Kerangka Penelitian
Penelitian ini terdiri atas beberapa tahap. Tahapan kerja penelitian
disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Tahapan kerja penelitian

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Desember
2014 di Laboratorium Riset, Fakultas Teknobiologi, Universitas Katolik Indonesia
Atma Jaya.

Pengambilan Sampel
Sampel tempe diambil dari dua pengrajin tempe di Bogor, yaitu Empang
(EMP) dan Warung Jambu (WJB) (Barus et al. 2008). Sampel tempe diambil
setelah fermentasi tempe selesai (36 jam) kemudian disimpan selama 24, 48 dan
72 jam pada suhu ruang, sehingga tingkat kematangan tempe tersebut berbedabeda. Kedua pengrajin memproduksi tempe menggunakan jenis kedelai dan
inokulum (laru) yang sama dari PT. Aneka Fermentasi Industri (AFI), Bandung,
Indonesia. Pengrajin tempe EMP menggunakan laru komersial termodifikasi (laru
onggok), sedangkan pengrajin tempe WJB menggunakan laru komersial (laru

9
Raprima). Proses pembuatan tempe EMP dilakukan menggunakan metode
pengolahan tempe Pekalongan dengan satu kali perebusan, sedangkan tempe WJB
menggunakan metode pengolahan tempe Malang dengan dua kali perebusan.
Karakteristik masing-masing sampel tempe dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik sampel tempe
Tempe

EMP

WJB

Umur

Penampakan

Karakteristik

24 jam

-aroma : khas tempe
-tekstur : keras
-warna : putih keabu-abuan

48 jam

-aroma : khas tempe dan amonia
-tekstur : agak lembek
-warna : putih kecoklatan

72 jam

-aroma : ammonia
-tekstur : lembek
-warna :putih kecoklatan dan
sedikit menghitam

24 jam

-aroma : khas tempe
-tekstur : keras
-warna : putih keabu-abuan

48 jam

-aroma : khas tempe dan amonia
-tekstur : agak lembek
-warna : putih kecoklatan

72 jam

-aroma : ammonia
-tekstur : lembek
-warna : putih kecoklatan

Kuantifikasi Klebsiella
Sampel tempe sejumlah 10 g dihomogenisasi dalam 40 mL NaCl 0.85%
(b/v) selama 1 menit menggunakan Variable Speed Laboratory Blender (Waring
Laboratory and Sciences, Torrington). Suspensi tempe yang dihasilkan selanjutnya

10

diencerkan berseri. Suspensi tempe sejumlah 100 µL dari setiap pengenceran
dipipet ke dalam cawan petri steril berisi EMBA (Difco) kemudian diinkubasi
pada 37 0C selama 24 jam untuk menentukan jumlah sel total Klebsiella. Koloni
berwarna ungu dan berbentuk mukoid yang tumbuh pada agar EMBA kemudian
dianalisis lebih lanjut dengan menginokulasikan koloni tersebut pada SCA (Difco)
dan diinkubasi pada 37 0C selama 24 jam. Klebsiella dapat mengubah warna SCA
dari hijau menjadi biru sebagai hasil positif dari bakteri pendegradasi sitrat. Setiap
pengujian dilakukan dengan tiga pengulangan.

Ekstraksi DNA
Sampel tempe sejumlah 25 g dihomogenisasi dalam 100 mL NaCl 0.85%
(b/v) selama 1 menit menggunakan Variable Speed Laboratory Blender (Waring
Laboratory and Sciences, Torrington). Suspensi tempe yang dihasilkan selanjutnya
diambil sebanyak 9 mL dan disentrifugasi menggunakan Sorvall Legend RT (Thermo
Scientific) dengan kecepatan 800xg selama 1 menit. Supernatannya diambil untuk
disentrifugasi kembali dengan kecepatan 1300xg selama 5 menit (Seumahu et al.
2012). Pelet yang diperoleh selanjutnya dicuci dengan larutan Tris-EDTA (TE) pH
8.0 dan disentrifugasi lagi pada 1300xg selama 5 menit. Supernatan kemudian
dibuang dan selanjutnya pelet siap diekstraksi dengan menggunakan Wizard®
Genomic DNA Purification Kit (Promega). Total DNA genom dari tempe yang telah
diekstraksi kemudian diverifikasi dengan elektroforesis pada 1% (b/v) gel agarosa
(Bioline). Hasil ekstraksi DNA tersebut dihitung konsentrasinya menggunakan
NanodropTM 2000/2000c Spectrophotometers (Thermo Scientific) kemudian
konsentrasinya disamakan.

Amplifikasi Gen cbiG
Gen cbiG diamplifikasi dari hasil ekstraksi DNA menggunakan primer
spesifik
gen
cbiG
dari
K.
pneumoniae
yaitu
cbiG-F
(TGCTGCCGCTCACCTGCTAC) dan cbiG-R (GCAACCCCGGCTCGTTTGC),
serta cbiG-Fnew2 (GAATACCGTAAAGCCTGAATCC) dan cbiG-Rnew2
(GCTGGCAAAGCCGCCGTTGAAG) (Alvin 2014). Amplifikasi DNA
dilakukan menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) T1-thermocycler
(Biometra) dengan volume reaksi total 25 µL, yang berisi 2 µL template DNA,
12.5 µL GoTaqGreen® Master Mix (Promega), 1 µL primer forward dan reverse
(10 pmol/µL), dan 8.5 µL nuclease free water. Kondisi PCR yang digunakan
adalah: predenaturasi pada 94 0C selama 5 menit, diikuti dengan 35 siklus
amplifikasi dengan tahap denaturasi pada 94 0C selama 30 detik, penempelan
primer pada 60 0C selama 30 detik, pemanjangan pada 72 0C selama 1 menit, serta
pemanjangan akhir pada 72 0C selama 20 menit dengan suhu penyimpanan 4 0C.
Sebanyak 5 µL hasil amplifikasi PCR diverifikasi dengan elektroforesis pada 1%
(b/v) gel agarosa (Bioline). Isolat Klebsiella sp. 135 digunakan sebagai kontrol positif
(Maysella 2010) sedangkan isolat E. coli P100 serta kedelai sebagai kontrol negatif.

11
Kuantifikasi Gen cbiG
Kurva standar dikonstruksi dengan melakukan pengenceran sepuluh kali
pada DNA genom tempe WJB yang selanjutnya disebut sebagai standar.
Konsentrasi DNA masing-masing standar dianggap sebagai jumlah kopi gen
standar tersebut, kemudian reaksi qPCR dilakukan untuk mendapatkan threshold
cycle value (nilai Ct). Nilai Ct tersebut selanjutnya dibandingkan dengan log
jumlah kopi gen yang akan membentuk kurva standar dari penghitungan regresi
linear. Kurva standar menunjukkan hubungan linear antara nilai Ct dan log dari
jumlah kopi gen cbiG (R2 > 0.97), sehingga dapat digunakan untuk menentukan
jumlah kopi gen cbiG sampel berdasarkan nilai Ct masing-masing sampel.
Kuantifikasi gen cbiG dilakukan menggunakan primer yang sama, yaitu cbiGFnew2 dan cbiG-Rnew2. Volume PCR total sejumlah 20 µL, dengan 2 µL
template DNA, 10 µL KAPA SYBR® FAST qPCR Kit Master Mix (2X) ABI Prism
(Kapa Biosystems), 0.4 µL primer forward dan reverse (10 pmol/µL), dan 7.2 µL
nuclease free water yang dimasukkan ke dalam 96-well thin wall PCR plate dan
ditutup dengan seal. Reaksi qPCR dilakukan menggunakan IQ5 Real Time PCR
Detection System (Biorad) dengan kondisi predenaturasi pada 94 0C selama
5 menit, diikuti dengan 35 siklus amplifikasi dengan tahap denaturasi pada 94 0C
selama 30 detik, penempelan primer pada 60 0C selama 30 detik (Alvin 2014).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Klebsiella pada Tempe
Klebsiella berhasil diisolasi dari tempe EMP dan WJB menggunakan
EMBA dan SCA. Koloni Klebsiella berbentuk mukoid dan bulat serta berwarna
ungu di bagian tengah pada EMBA (Gambar 5a) dan menghasilkan warna biru
pada SCA (Gambar 5b). Seluruh isolat Klebsiella dari tempe EMP dan WJB
menunjukkan karakteristik khusus Klebsiella. Klebsiella dapat diidentifikasi
menggunakan EMBA berdasarkan koloni yang berbentuk mukoid dan bulat serta
berwarna ungu di bagian tengah. Identifikasi bakteri dari famili
Enterobacteriaceae dilakukan menggunakan EMBA karena media ini merupakan
media selektif dan diferensial (Madigan dan Martiniko 2006). EMBA disebut
media selektif karena media ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram
positif. Kandungan laktosa pada EMBA dapat digunakan untuk membedakan
bakteri yang dapat memfermentasikan laktosa sehingga media ini disebut sebagai
media diferensiasi. Bakteri yang dapat memfermentasikan laktosa pada EMBA
akan membentuk koloni dengan inti berwarna gelap, sedangkan bakteri lain tidak
berwarna. Pewarna yang terdapat pada EMBA, yaitu eosin Y dan methylene blue
merupakan indikator pH sehingga koloni berwarna ungu (Leininger et al. 2001).
Seluruh isolat Klebsiella dari tempe EMP dan WJB yang tumbuh pada EMBA
juga mampu mendegradasi sitrat sebagai sumber karbon dan energi. Proses
degradasi sitrat akan menghasilkan natrium karbonat (Na2CO3) yang bersifat

12

alkali sehingga bromotiol biru pada media akan mengubah warna SCA dari hijau
menjadi biru sebagai karakter khusus Klebsiella sp. (Ayu et al. 2014).

(a)

(b)

Gambar 5 Koloni Klebsiella pada agar: (a) EMBA (b) SCA

Populasi Klebsiella pada tempe EMP dan WJB memiliki jumlah yang
beragam, yaitu sekitar 5-8 log CFU/g (Gambar 6). Keberadaan Klebsiella pada
tempe sebelumnya telah dilaporkan oleh Mulyowidarso et al. (1990) dan
K. pneumoniae merupakan salah satu spesies utama yang diisolasi dari tempe
dengan jumlah 6-7 log CFU/g. K. pneumoniae berperan dalam fermentasi tempe
bersama dengan spesies dari famili Enterobacteriaceae lain, seperti C. diversus,
Enterobacter agglomerans, Enterobacter cloacae, dan K. osaenae. Keberadaan
bakteri ini diprediksi berasosiasi dengan proses perendaman kedelai, karena
proses ini memungkinkan adanya pertumbuhan mikrob. Mikrob tersebut dapat
memanfaatkan nutrisi yang terlarut dalam air rendaman sebagai substrat untuk
pertumbuhan. Komposisi mikrob pada tempe ditentukan oleh berbagai faktor
ekologi, seperti proses asidifikasi oleh BAL selama tahap perendaman, efek letal
saat proses pemasakan, kontaminasi saat proses pendinginan, komposisi dan
kesegaran inokulum, kondisi inkubasi, kondisi penyimpanan dan lain sebagainya
(Nout dan Kiers 2005). Sebagian besar galur Klebsiella membutuhkan ion
amonium atau nitrat sebagai sumber nitrogen dan karbon. Selain itu, beberapa
isolat Klebsiella membutuhkan arginin atau adenin atau keduanya dan urasil
sebagai faktor tumbuh (Brisse et al. 2006). Menurut Astuti et al. (2000), protein
terlarut, kandungan nitrogen dan asam amino bebas mengalami peningkatan pada
tempe, sehingga dapat digunakan sebagai sumber nitrogen untuk pertumbuhan
Klebsiella.
Jumlah populasi Klebsiella pada penelitian ini mencapai 5-6 log CFU/g
untuk tempe berumur 24 jam, tempe umur 48 jam mencapai 7 log CFU/g dan 8
log CFU/g pada tempe berumur 72 jam (Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa
jumlah populasi Klebsiella meningkat berdasarkan tingkat kematangan tempe.
Perubahan jumlah bakteri berdasarkan tingkat kematangan tempe selama masa
penyimpanan juga dilaporkan oleh Hassanein et al. (2015). Bubuk tempe
segar/fresh tempe (umur 24 jam) memiliki jumlah mikrob yang lebih rendah

13
dibandingkan bubuk tempe semangit/overripe tempe (umur 72 jam). Tempe
semangit juga memiliki intensitas rasa dan aroma yang lebih kuat serta warna
yang lebih gelap dibandingkan dengan tempe segar. Batas masa simpan tempe
adalah sekitar 3 hari (72 jam), setelah masa itu tempe tidak cocok lagi untuk
dikonsumsi yang ditandai dengan tekstur yang terlalu lembek, warna lebih gelap
dan berbau menyengat atau disebut tempe bosok (Puteri et al. 2015). Tempe jenis
ini biasa digunakan sebagai bumbu dan bahan masakan (Andriani et al. 2014).

Gambar 6 Jumlah Klebsiella pada tempe EMP dan WJB umur 24, 48 dan 72 jam

Keberadaan Klebsiella pada penelitian ini dievaluasi dari dua sampel
tempe di Bogor, yaitu tempe EMP dan WJB. Jumlah populasi Klebsiella pada
tempe EMP lebih tinggi jika dibandingkan dengan WJB (Gambar 6). Hal ini
sejalan dengan penelitian Barus et al. (2008) bahwa jumlah Enterobacteriaceae
pada tempe EMP segar lebih tinggi yaitu sekitar 8 log CFU/mL dibandingkan
dengan tempe WJB yaitu sekitar 5 log CFU/mL. K. pneumoniae merupakan salah
satu bakteri dominan pada tempe EMP dan Klebsiella sp. pada tempe WJB. Ayu
et al. (2014) telah mengisolasi 58 isolat bakteri dari tempe EMP dan WJB.
Berdasarkan analisis gen 16S rRNA, K. pneumoniae teridentifikasi pada 13 isolat
dari tempe EMP dan 10 isolat dari tempe WJB.
Tempe EMP dan WJB memiliki perbedaan pada metode pembuatan dan
laru yang digunakan. Pengrajin tempe EMP menggunakan laru onggok,
sedangkan pengrajin tempe WJB menggunakan laru Raprima. Laru onggok
merupakan laru komersial termodifikasi yang dibuat dengan mencampurkan laru
komersial dengan onggok. Proses pencampuran ini berkontribusi pada
peningkatan jumlah Klebsiella pada tempe EMP, sehingga jumlah bakteri ini pada
tempe EMP lebih tinggi dibandingkan dengan tempe WJB. Jumlah
Enterobacteriaceae pada laru onggok juga lebih tinggi dibandingkan pada laru
Raprima (Nurdini et al. 2015). Tempe EMP dibuat menggunakan metode
Pekalongan dengan satu kali perebusan, sedangkan tempe WJB menggunakan
metode Malang dengan dua kali perebusan. Proses perebusan tempe WJB lebih
banyak dibandingkan tempe EMP, sehingga hal ini memungkinkan adanya

14

penurunan jumlah Klebsiella pada tempe WJB. A’yun (2015) juga melaporkan
bahwa proses perebusan dapat menurunkan jumlah Enterobacteriaceae, kecuali
spesies bakteri resisten panas (Mulyowidarso et al. 1989).
Tempe sebagai makanan fermentasi tradisional Indonesia sebagian besar
diproduksi oleh industri rumah tangga berskala kecil mencapai lebih dari 100,000
pengrajin yang tersebar di seluruh provinsi Indonesia (Astuti et al. 2000).
Konsumsi tempe mengalami peningkatan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di
negara lain. Hal ini terjadi karena kandungan nutrisi yang terkandung dalam
tempe sangat lengkap, seperti protein, asam amino esensial, kalsium, asam lemak
esensial, vitamin B, isoflavon, asam folat dan lain sebagainya (Babu et al. 2009).
Selain kandungan nutrisi tempe yang sangat lengkap, tempe juga memiliki rasa
dan tekstur yang menarik serta mudah untuk dicerna. Karakteristik tempe tersebut
dapat terbentuk melalui proses fermentasi berupa dinamika berbagai komposisi
mikrob. Fermentasi tidak hanya bertujuan untuk pengawetan makanan, tetapi juga
dapat memodifikasi organoleptik dari suatu makanan dan peningkatan nilai nutrisi
(Nout dan Kiers 2005).
Produksi tempe berbeda dari pengrajin satu ke pengrajin yang lain serta
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Proses pembuatan tempe tidak hanya
melibatkan Rhizopus spp. sebagai mikrob utama, tetapi juga melibatkan mikrob
lain seperti bakteri. Proses pembuatan tempe melalui fermentasi terdiri dari dua
tahap, yaitu fermentasi oleh aktivitas bakteri dan kapang. Fermentasi oleh
aktivitas bakteri terjadi selama proses perendaman kedelai, sedangkan fermentasi
oleh aktivitas kapang terjadi setelah proses inokulasi Rhizopus spp. (Kustyawati
2009). Mikrob penting yang berperan dalam proses fermentasi tempe, terdiri atas
kapang, serta dua kelompok bakteri yaitu kelompok bakteri penghasil asam laktat
dan kelompok bakteri penghasil vitamin B12 (Okada 1989).
Keberadaan berbagai macam mikrob pada tempe dikarenakan oleh proses
pembuatan tempe di Indonesia masih bersifat konvensional dan dalam kondisi
yang tidak terkontrol. Pertumbuhan bakteri diawali oleh kelompok bakteri
penghasil asam laktat, yaitu pada tahap perendaman kedelai yang ditandai dengan
perubahan air rendaman menjadi lebih kental. Sejumlah BAL terdeteksi dalam air
rendaman tersebut yang menyebabkan pH air menjadi kurang dari 4. Penurunan
pH tersebut berperan penting dalam proses fermentasi oleh Rhizopus spp. yang
juga dapat mencegah pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan. Saat
pertumbuhan kapang terjadi, pH akan mengalami peningkatan dari 4 menjadi 66.5 atau mendekati pH netral. Kelompok bakteri penghasil vitamin B12 yang
menyukai pH netral akan mengalami pertumbuhan dan menambahkan vitamin B 12
ke dalam tempe. Jumlah vitamin B12 pada tempe dipengaruhi oleh tingkat
kesegaran tempe (freshness). Tempe segar mengandung vitamin B12 yang lebih
sedikit dibandingkan dengan tempe yang disimpan lebih lama (Okada 1989).
Keuth dan Bisping (1993) mengisolasi kapang dan bakteri dari tempe dan
air rendaman untuk menentukan peran dari masing-masing mikrob tersebut dalam
pembentukan vitamin. Vitamin B12 merupakan vitamin khas tempe yang tidak
dapat diproduksi oleh kapang. Sejumlah 37 isolat bakteri dapat tumbuh pada
media tanpa vitamin B12 yang menunjukkan bahwa bakteri ini dapat menghasilkan
vitamin B12. Isolat bakteri tersebut diidentifikasi sebagai Enterobacteriaceae,
yaitu Enterobacter spp., C. freundii dan K. pneumoniae. K. pneumoniae
merupakan penghasil vitamin B12 terbaik pada tempe. Produksi vitamin B12 pada

15
tempe dipengaruhi oleh suhu fermentasi, penambahan kobalt dan 5,6dimetilbenzimidazol (Keuth dan Bisping 1994). Jumlah populasi Klebsiella
sebagai bakteri penghasil vitamin B12 yang cukup tinggi menunjukkan kandungan
vitamin B12 pada tempe EMP dan WJB secara kualitatif.

Amplifikasi Gen cbiG
DNA genom tempe EMP dan WJB berhasil diekstraksi menggunakan
Wizard® Genomic DNA Purification Kit (Promega) (Gambar 7). Ekstrak DNA
genom tempe EMP dan WJB digunakan sebagai cetakan (template) untuk
amplifikasi gen cbiG. Amplifikasi gen cbiG menunjukkan bahwa setiap sampel
tempe berhasil teramplifikasi menggunakan primer cbiG-F dan cbiG-R dengan
gen target ±755 bp (Gambar 8) serta cbiG-Fnew2 dan cbiG-Rnew2 dengan gen
target ±250 bp (Gambar 9). Gambar 8 dan 9 menunjukkan bahwa E. coli P100
sebagai kontrol negatif tidak mempunyai gen cbiG, sedangkan Klebsiella sp. 135
hasil isolasi dari tempe Indonesia sebagai kontrol positif mempunyai gen cbiG yang
ditunjukkan dengan pita berukuran ±755 dan ±250 bp.

Gambar 7

Hasil ekstraksi DNA genom: (M) Marker 1kb DNA Ladder
(Thermoscientific), (A1,B1,C1) tempe umur 24 jam, (A2,B2,C2)
tempe umur 48 jam, (A3,B3,C3) tempe umur 72 jam

Amplifikasi gen cbiG menggunakan primer cbiG-F dan cbiG-R dengan
gen target ±755 bp menunjukkan bahwa sampel tempe EMP dan WJB memiliki
gen cbiG yang ditunjukkan dengan pita berukuran ±755 bp (Gambar 8).
Amplifikasi gen cbiG menggunakan primer cbiG-Fnew2 dan cbiG-Fnew2 bp
menunjukkan bahwa sampel tempe EMP dan WJB memiliki gen cbiG yang
ditunjukkan dengan pita berukuran ±250 bp dan pita hasil amplifikasi
menggunakan primer ini menunjukkan intensitas yang beragam (Gambar 9).
Tempe umur 24 jam menghasilkan intensitas pita yang lebih tipis dibandingkan
dengan tempe umur 48 jam, begitu pula tempe umur 48 jam menghasilkan
intensitas pita yang lebih tipis dibandingkan dengan tempe umur 72 jam.
Intensitas pita ini secara semi kuantitatif menunjukkan jumlah gen cbiG yang
dimiliki oleh setiap sampel. Tempe umur 24 jam memiliki gen cbiG lebih sedikit

16

dibandingkan dengan tempe umur 48 jam, begitu juga tempe umur 48 jam
memiliki gen cbiG yang lebih sedikit dibandingkan dengan tempe umur 72 jam.
Pita yang ditunjukkan oleh tempe EMP secara keseluruhan lebih tebal
dibandingkan dengan tempe WJB. Hal ini mengindikasikan bahwa tempe EMP
memiliki gen cbiG yang lebih banyak dibandingkan dengan tempe WJB. Hasil ini
juga dilaporkan oleh Alvin (2014) bahwa hasil amplifikasi gen cbiG pada tempe
EMP menunjukkan pita yang lebih tebal dibandingkan dengan tempe WJB, begitu
pula dengan jumlah kopi gen cbiG dan kandungan vitamin B12.

Gambar 8

Hasil amplifikasi menggunakan primer cbiG-F dan cbiG-R: (M)
Marker 1kb DNA Ladder (Thermoscientific), (K-) E. coli P100, (K+)
Klebsiella sp. 135, (A1,B1,C1) tempe umur 24 jam, (A2,B2,C2)
tempe umur 48 jam, (A3,B3,C3) tempe umur 72 jam

Gambar 9 Hasil amplifikasi menggunakan primer cbiG-Fnew2 dan cbiG-Rnew2:
(M) Marker 1kb DNA Ladder (Thermoscientific), (K-) E. coli P100,
(K+) Klebsiella sp. 135, (K) kedelai, (N) NTC, (A1,B1,C1) tempe umur
24 jam, (A2,B2,C2) tempe umur 48 jam, (A3,B3,C3) tempe umur 72
jam

Vitamin B12 atau kobalamin memiliki beberapa bentuk, seperti siano-, metil-,
deoksiadenosil-, dan hidroksil-kobalamin (O’leary dan Samman 2010). Kobalamin

17
sebagaimana kobinamida merupakan turunan dari uroforfirinogen III sebagai
prekursor pada sintesis heme, siroheme, dan klorofil. Bagian I dari jalur
biosintesis kobalamin (Cob I) merupakan proses konversi uroforfirinogen II
menjadi kobinamida. Bagian II (Cob II) merupakan proses biosintesis
dimetilbenzimidazol (DMB). Bagian III (Cob III) merupakan proses pengikatan
kobinamida, DMB, dan grup fosforibosil dari nikotinat mononukleotida secara
kovalen (Gambar 10) (Lawrence dan Roth 1995).

Gambar 10

Jalur biosintesis kobalamin pada bakteri enterik. Singkatan: Ado,
adenosil; Cbi, kobinamida; CN, siano; FMN, flavin mononukleotida;
UroIII, uroforfirinogen III

Vitamin B12 hanya disintesis oleh beberapa bakteri dan arkea dan
membutuhkan lebih dari 30 gen. Sebagian besar spesies bakteri enterik dapat
mensintesis kobalamin baik dalam kondisi aerobik maupun anaerobik. Spesies
Klebsiella memproduksi kobalamin pada kondisi anaerobik melalui ketiga jalur
biosintesis kobalamin (Cob I, II, dan III) (Lawrence dan Roth 1996). Lawrence and
Roth (1995) melaporkan bahwa E. coli memproduksi kobalamin hanya melalui dua
jalur biosintesis kobalamin, yaitu Cob II dan Cob III tanpa melalui Cob I. Cob I
sebagai bagian I dari jalur biosintesis kobalamin dikodekan oleh gen
cbiABCDETFGHIJKLMNOQP. Oleh karena itu, keberadaan Klebsiella pada
penelitian ini ditandai oleh keberadaan gen cbiG yang tidak dimiliki oleh E.coli.
Jalur sintesis vitamin B12 dapat dilakukan secara aerobik maupun
anaerobik. Gen pengkode enzim yang berkontribusi pada biosintesis secara
aerobik ditandai dengan awalan cob, sedangkan anaerobik ditandai dengan awalan
cbi (Marten et al. 2002). Biosintesis vitamin B12 pada Klebsiella terjadi secara
anaerobik, sehingga gen pensintesis vitamin B12 yang dideteksi adalah gen cbiG.
Fungsi gen cbiG sangat sulit untuk diprediksi, karena kesamaan protein CbiG
dengan protein lain yang fungsinya sudah diketahui terlalu sedikit. Roessner dan
Scott (2006) menjelaskan fungsi gen cbiG, yaitu sebagai pembuka cincin lakton
dan mendeasilasi kobalt-prekorin-5A menjadi kobalt-prekorin-5B dari jalur
biosintesis kobalamin secara anaerobik.

18

Jumlah Kopi Gen cbiG pada Tempe
Jumlah kopi gen cbiG pada tempe EMP dan WJB berhasil dikuantifikasi
menggunakan qPCR. Kuantifikasi jumlah kopi gen cbiG menunjukkan hasil yang
beragam, yaitu 2-3 log dan mengalami peningkatan berdasarkan tingkat
kematangan tempe (Gambar 11). qPCR dapat menunjukkan jumlah kopi gen cbiG
yang dimiliki oleh setiap sampel tempe secara kuantitatif. Kuantifikasi jumlah kopi
gen cbiG menggunakan qPCR diawali dengan mengkonstruksi kurva standar. Kurva
standar merupakan perbandingan nilai Ct dan log jumlah kopi gen cbiG dari
standar. Kurva standar tersebut menunjukkan hubungan linear antara nilai Ct dan
log dari jumlah kopi gen cbiG (R2 > 0.97) sehingga dapat digunakan untuk
menentukan jumlah kopi gen cbiG