Gaya Kepemimpinan Kepala Desa Dan Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Infrastruktur Jalan

GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DAN TINGKAT
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR JALAN
(Desa Waringin Jaya, Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten
Bogor)

FAUZAN AHMAD MILAD

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gaya Kepemimpinan
Kepala Desa dan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan

Infrastruktur Jalan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Fauzan Ahmad Milad
NIM. I34120115

iv

v

ABSTRAK
FAUZAN AHMAD MILAD. Gaya Kepemimpinan Kepala Desa dan Tingkat
Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Infrastruktur Jalan. Dibimbing oleh

SUMARDJO.
Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pembangunan desa menunjukkan
bahwa pembangunan desa belum mencerminkan pembangunan yang partisipatif.
Kondisi ini memerlukan dukungan kepemimpinan, yakni kepala desa sebagai
figur pemimpin untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
desa. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara gaya
kepemimpinan kepala desa dominan dengan tingkat partisipasi masyarakat,
menganalisis hubungan antara faktor internal dengan tingkat partisipasi
masyarakat, dan menganalisis hubungan antara faktor eksternal dengan tingkat
partisipasi masyarakat. Penelitian ini berlokasi di Desa Waringin Jaya, Kecamatan
Bojong Gede, Kabupaten Bogor. Metode yang digunakan adalah pendekatan
survey yang didukung data kualitatif dengan wawancara mendalam. Hasil
penelitian ini diolah menggunakan Rank Spearman dan Chi-Square. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara gaya
kepemimpinan partisipatif dengan tingkat partisipasi. Pada faktor internal terdapat
hubungan yang negatif antara tingkat pendidikan dengan tingkat partisipasi
masyarakat. Pada faktor eksternal terdapat hubungan yang positif antara tingkat
transparansi dan intensitas komunikasi dengan tingkat partisipasi masyarakat
dalam program pembangunan infrastruktur jalan.
Kata Kunci: Kepemimpinan, Partisipasi Masyarakat, Pembangunan Infrastruktur

jalan

ABSTRACT
FAUZAN AHMAD MILAD. Leadership Style Head of Village and Level of
Community Participation in Road Infrastrucutre Development. Under Guidance
SUMARDJO.
The lack of community involvement in rural development shows that rural
development has not yet reflect participatory development. This condition
requires the support of the leadership, the village head as a leading figure to
improve community participation in rural development. The purpose of this study
was to analyze the relationship between the dominant leadership style village head
with the level of community participation, to analyze the relationship between
internal factors with the level of community participation, and to analyze the
relationship between the external factor with the level of community participation.
The location of this research is Waringin Jaya Village, Bojong Gede Subdistrict,
Bogor Distric. The method used is a survey approach is supported by qualitative
data with in-depth interview. The results of this study processed using Rank
Spearman and Chi-Square. The results showed that there is a positive relationship
between participatory leadership style to the level of participation. On internal
factors there is a negative relationship between level of education and the level of

community participation. On the external factors there is a positive relationship
between the level of transparency and communication with the intensity of the
level of community participation in road infrastructure development.
Keywords: Leadership, Community Participation, Road Infrastructure
Development

vi

vii

GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DAN TINGKAT
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR JALAN
(Desa Waringin Jaya, Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten
Bogor)

FAUZAN AHMAD MILAD

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

viii

ix

x

xi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan
Maret 2016 sampai Agustus 2016 ini adalah kepemimpinan, dengan judul Gaya
Kepemimpinan Kepala Desa dan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam
Pembangunan Infrastruktur Jalan .
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Sumardjo, MS
selaku dosen pembimbing yang telah menuntun, membimbing, dan memberikan
motivasi kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini. Di samping itu,
dosen penguji skripsi Ir Fredian Tonny Nasdian, MS dan Ir Melani Abdulkadir,
MSc, yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis. Orang tua, yakni
(Almarhumah) mama dan papa, yang penulis cintai dan banggakan yang telah
memberikan dukungan penuh untuk penulis sampai saat ini. tidak lupa juga kakak
dan adik-adik penulis yang selalu memberikan semangat. Teman-teman satu
bimbingan, Muhammad Yunus Gerry Fitriadi dan Neneng Kartika, Teman-teman
The Kons Balio, dan Teman-teman KKP 2015. Terakhir tidak lupa terimakasih
juga penulis sampaikan kepada teman-teman Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat angkatan 49 yang telah memberi semangat dan
berbagi suka duka selama kuliah dan penyusunan skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Agustus 2016

Fauzan Ahmad Milad

xii

xiii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Kepemimpinan

Kepemimpinan dan Manajeman
Fungsi Kepemimpinan
Gaya Kepemimpinan
Kepemimpinan Kepala Desa
Partisipasi
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi
Pembangunan Desa
Pembangunan Infrastruktur Desa
Gaya Kepemimpinan Kepala Desa dan Partisipasi Masyarakat dalam
Pembangunan Infrastruktur Desa
Kerangka Berpikir
Hipotesis
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu
Teknik Penentuan Responden dan Informan
Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografis
Sejarah Desa Waringin Jaya
Kondisi Sosial
Prasarana Wilayah
Program Pembangunan Desa Waringin Jaya
GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DALAM PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR JALAN
Gaya Kepemimpinan Instruktif
Gaya Kepemimpinan Konsultatif
Gaya Kepemimpinan Partisipatif
Gaya Kepemimpinan Delegatif

xv
xvi
xvi
1
1
2
3
3

5
5
5
6
6
7
8
9
12
13
14
15
15
17
19
19
19
19
20
21

21
27
27
27
28
30
31
35
36
37
38
40

xiv

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR JALAN
Karakteristik Individu (faktor internal)
Usia
Tingkat Pendidikan
Tingkat Penghasilan
Lama Tinggal
Jenis Pekerjaan
Faktor Eksternal
Tingkat Transparansi
Intensitas Komunikasi
TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR JALAN
Tahap Pengambilan Keputusan
Tahap Pelaksanaan
Tahap Menikmati Hasil
Tahap Evaluasi
HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DAN TINGKAT
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR JALAN
Hubungan Gaya Kepemimpinan Dominan dengan Tingkat Partisipasi
Masyarakat
Hubungan Faktor Internal dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat
Hubungan Faktor Eksternal dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

43
43
43
43
44
45
45
48
48
49
51
51
52
53
54

57
57
58
59
63
63
63
65
67
95

xv

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Perbedaan Kepemimpinan dan Manajemen
Definisi operasional variabel gaya kepemimpinan
Definisi operasional variabel faktor internal responden
Definisi operasioanal variabel faktor eksternal
Definisi operasional variabel tingkat partisipasi masyarakat dalam
pembangunan infrastruktur jalan
Luas lahan dan presentase jenis pemanfaatan lahan di Desa Waringin
Jaya tahun 2015
Jumlah dan presentase masyarakat berdasarkan mata pencaharian Desa
Waringin Jaya tahun 2015
Jumlah dan presentase penduduk Desa Waringin Jaya berdasarkan tingkat
pendidikan tahun 2015
Jumlah dan presentase prasarana wilayah di Desa Waringin Jaya tahun
2015
Penggunaan dana Pemerintahan Desa Waringin Jaya tahun 2015
Jumlah dan presentase berdasarkan penilaian responden terhadap gaya
kepemimpinan instruktif kepala desa
Jumlah dan presentase berdasarkan penilaian responden terhadap gaya
kepemimpinan konsultatif kepala desa
Jumlah dan presentase berdasarkan penilaian responden terhadap gaya
kepemimpinan partisipatif kepala desa
Jumlah dan presentase berdasarkan penilaian responden terhadap gaya
kepemimpinan delegatif kepala desa
Jumlah dan presentase responden berdasarkan usia
Jumlah dan presentase responden berdasarkan tingkat pendidikan
Jumlah dan presentase responden berdasarkan tingkat penghasilan
Jumlah dan presentase responden berdasarkan lama tinggal di Desa
Waringin Jaya
Jumlah dan presentase responden berdasarkan jenis pekerjaan
Jumlah dan presentase responden berdasarkan tingkat transparansi
Jumlah dan presentase responden berdasarkan intensitas komunikasi
Jumlah dan presentase responden berdasarkan tahap pengambilan
keputusan dalam program pembangunan infrastruktur jalan
Jumlah dan presentase responden berdasarkan pada tahap pelaksanaan
dalam pembangunan infrastruktur jalan
Jumlah dan presentase responden berdasarkan pada tahap menikmati
hasil dalam pembangunan infrastruktur jalan
Jumlah dan presentase responden berdasarkan pada tahap evaluasi
dalam pembangunan infrastruktur jalan

6
22
23
24
25
28
29
30
31
33
36
37
38
40
43
44
45
46
47
48
50
51
52
53
54

xvi

26 Jumlah dan presentase responden berdasarkan tingkat partisipasi dalam
program pembangunan infrastruktur jalan
27 Koefisien korelasi antara variabel gaya kepemimpinan dengan tahapan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur jalan
28 Koefisien korelasi antara variabel faktor internal dengan tingkat
partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur jalan
29 Koefisien korelasi antara variabel faktor eksternal dengan tingkat
partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur jalan

55
57
59
60

DAFTAR GAMBAR
1

Kerangka Berpikir Gaya Kepemimpinan Kepala Desa dan Tingkat
Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Infrastruktur Jalan

16

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Peta Wilayah Lokasi Penelitian
Jadwal Penyusunan Skripsi
Daftar Responden
Hasil Olahan Data
Dokumentasi Penelitian
Catatan Tematik Lapangan

68
69
70
71
86
88

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hadirnya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah mengubah paradigma sistem pemerintahan yang awalnya cenderung
sentralistik ke sistem pemerintahan yang desentralistik. Hal ini membuat
kekuasaan tidak lagi bertumpu pada pemerintah pusat, melainkan sudah
dilimpahkan kepada masing-masing daerah sehingga setiap daerah memiliki hak
otonomi daerahnya untuk mengurusi dan mengatur rumah tangganya sendiri,
termasuk dalam pembangunan daerahnya. Pembangunan saat ini sudah tidak
bersifat terpusat tetapi dikelola oleh masing-masing daerah sesuai dengan potensi
dan kebutuhan yang ada. Adanya pelimpahan wewenang ini membuat setiap
daerah atau desa sebagai tingkatan terkecil dalam pemerintahan juga memiliki hak
otonomi daerahnya untuk mengurusi dan mengatur urusan rumah tangganya
sendiri. Hal demikian akhirnya membuat seluruh lapisan masyarakat desa lebih
memiliki kesempatan dalam memberikan aspirasi maupun kontribusinya kepada
daerah, salah satunya pembangunan desa. Namun, pada kenyataannya
implementasi pembangunan desa cenderung belum mencerminkan pembangunan
yang partisipatif karena masyarakat belum sepenuhnya terlibat di dalam proses
pembangunan desa. Hal ini mengakibatkan tujuan pembangunan desa tersebut
tidak tercapai karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga pada
akhirnya mengalami kegagalan pembangunan. Kondisi ini memerlukan figur yang
mampu mengarahkan dan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan desa. Kepala desa sebagai pemimpin di desa saat ini menjadi salah
satu pemimpin yang berwenang dan bertanggung jawab penuh dalam mengatur
wilayah dan komunitasnya. Kepala desa memiliki peran dalam menggerakkan dan
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa karena kepala
desa saat ini tidak hanya sebagai pelaksana pemerintahan, tetapi juga menjadi
penggerak dan pengayom bagi masyarakat untuk senantiasa berpartisipasi dalam
pembangunan desa.
Peran serta masyarakat dalam program pembangunan desa sangat
dipengaruhi oleh kepemimpinan dari kepala desa dalam menggerakkan dan
meningkatkan partisipasi masyarakat agar keberhasilan pembangunan desa dapat
tercapai. Koentjaraningrat (1967) mengenai kepemimpinan yang diartikan sebagai
suatu kemampuan seseorang (pemimpin atau leader) untuk memengaruhi orang
lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya) sehingga orang lain tersebut
bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Contoh kasus
pada pelaksanaan pembangunan desa di Desa Sebunga dalam penelitian
Triwidodo (2014). Pembangunan desa yang dilaksanakan belum maksimal baik
pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, maupun pendidikan. Hal ini
disebabkan Kepala Desa Sebunga belum menjalankan kepemimpinan dengan
efektif dan maksimal dalam meningkatkan partisipasi masyarakat pada
pembangunan desa karena kurangnya interaksi dengan masyarakat dan jarang
turun ke lapang untuk melihat kondisi lingkungan desa. Hal ini yang
mengakibatkan proses pelaksanaan pembangunan tersebut belum mencapai apa
yang diharapkan oleh masyarakat.
Prabowo (2012) mengatakan bahwa kehadiran sosok kepala desa sangat
diperlukan untuk menunjang keberhasilan pembangunan desa. Kehadirannya

2

sangat diperlukan dalam menggerakkan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan di wilayahnya, khususnya untuk pemerataan hasil-hasil
pembangunan dengan menumbuhkan prakarsa serta menggerakkan swadaya
gotong royong masyarakat dalam pembangunan.
Konsep pembangunan desa dalam UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa,
yaitu “Membangun Desa dan “Desa Membangun” menjadikan peran kepala desa
dan semua elemen masyarakat menjadi sangat penting untuk keberhasilan
pembangunan desa dengan semangat gotong royong. Kepala desa dituntut mampu
melaksanakan kepemimpinannya dengan efektif untuk membawa perubahan baik
di organisasi, pembangunan, maupun kemasyarakatannya. Gaya atau cara setiap
kepala desa dalam meminpin masing-masing berbeda untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat pada pembangunan desa. Ibrahim (2002) menyatakan
bahwa gaya kepemimpinan dapat dibagi menjadi empat penerapan gaya
kepemimpinan, yaitu gaya kepemimpinan instruktif, konsultatif, partisipatif, dan
delegatif. Selain itu, peran masyarakat juga menjadi hal yang penting untuk
mencapai keberhasilan pembangunan desa karena masyarakat desa lebih
mengetahui kebutuhannya. Hal ini diartikan bahwa masyarakat memiliki andil
dan wewenang terhadap program pembangunan desa baik dalam merencanakan,
melaksanakan, dan mengawasi pembangunan desa sehingga partisipasi
masyarakat sangat dibutuhkan agar terciptanya keberhasilan pembangunan desa.
Desa Waringin Jaya merupakan salah satu desa di Kecamatan Bojong
Gede, Kabupaten Bogor yang berhasil melaksanakan pembangunan desa,
terutama pembangunan infrastruktur desa melalui dana desa. Hal ini menarik
untuk diteliti penerapan gaya kepemimpinan Kepala Desa Waringin Jaya dalam
meningkatkan partisipasi masyarakat pada penyelenggaraan pembangunan
infrastruktur desa, termasuk infrastruktur jalan dan tingkat partisipasi masyarakat
dalam pembangunan infrastruktur desa. Dengan demikian muncul pertanyaan
mendasar penelitian ini adalah Bagaimana penerapan gaya kepemimpinan kepala
desa dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur desa,
salah satunya infrastruktur jalan ?
Rumusan Masalah
Kepemimpinan kepala desa menjadi sosok yang sangat penting dan
berperan tinggi dalam melaksanakan pembangunan desa. Isransyah (2014)
menyebutkan bahwa kepala desa memiliki posisi yang penting dalam organisasi
pemerintahan desa. Keberhasilan dalam menggerakan pembangunan desa sangat
tergantung pada kepemimpinan kepala desa itu sendiri karena kepemimpinan
seorang kepala desa sangat menentukan bagaimana desa dapat berkembang dan
maju dengan kegiatan-kegiatan pembangunan yang mendukung untuk
kemaslahatan masyarakat desa. Gaya kepemimpinan kepala desa dalam
melakukan pembangunan juga masing-masing berbeda sesuai karakteristik
pemimpin dan masyarakatnya. Ibrahim (2002) menyebutkan gaya kepemimpinan
terdiri dari gaya kepemimpinan instruktif, konsultatif, partisipatif, dan delegatif.
Setiap gaya kepemimpinan tersebut memiliki perbedaan dalam mempengaruhi
bawahan atau masyarakat termasuk berpartisipasi pada program pembangunan
desa.
Partisipasi masyarakat juga menjadi indikator keberhasilan suatu program
pembangunan. Yulianti (2012) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat menjadi

3

hal yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan dan keberlanjutan program
pembangunan. Partisipasi berarti keikutsertaan seseorang ataupun sekelompok
masyarakat dalam suatu kegiatan secara sadar. Dengan demikian, terdapat tiga
masalah yang akan dijawab pada studi ini, yaitu Bagaimana hubungan gaya
kepemimpinan kepala desa yang dominan dengan tingkat partisipasi
masyarakat dalam pembangunan infrastruktur jalan ?
Adanya partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
faktor internal dan eksternal. Suroso et.al (2014) menyatakan bahwa partisipasi
masyarakat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya faktor internal
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam individu, yaitu
karakteristik individu, seperti usia, tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, jenis
pekerjaan, dan lama tinggal. Dengan demikian, penelitian ini ingin menganalisis
Bagaimana hubungan faktor internal masyarakat dengan tingkat partisipasi
masyarakat desa dalam pembangunan infrastruktur jalan ?
Selain itu, faktor eksternal menurut juga dapat mempengaruhi partisipasi
masyarakat. Syamsi (2014) menyatakan bahwa hambatan dalam partisipasi
masyarakat beberapa diantaranya adalah, komunikasi yang tidak intraktif dan
tidak ada transparansi dan akuntabel dalam pengelolaan anggaran desa. Faktor
eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar individu itu sendiri. Oleh karena
itu, penelitian ingin menganalisis Bagaimana hubungan faktor eksternal
masyarakat dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan
infrastruktur jalan ?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis penerapan gaya
kepemimpinan kepala desa yang dominan dan tingkat partisipasi masyarakat
dalam pembangunan infrastruktur jalan.
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
(1) Menganalisis hubungan gaya kepemimpinan kepala desa yang dominan
dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur
jalan;
(2) Menganalisis hubungan faktor internal masyarakat dengan tingkat
partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur jalan; dan
(3) Menganalisis hubungan faktor eksternal masyarakat dengan tingkat
partisipasi masyarakat terhadap pembangunan infrastruktur jalan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:
(1) Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan
mengenai hubungan gaya kepemimpinan dengan partisipasi masyarakat.
Penting untuk dipahami bahwa gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh
kepala desa dapat memberikan pengaruh terhadap keterlibatan masyarakat
dalam pembangunan desa. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu
menjadi acuan pustaka dan referensi untuk penelitian selanjutnya
mengenai kepemimpinan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
di masa mendatang sehingga mampu memberikan kontribusi gambaran
realitas di masyarakat sebagai pertimbangan implementasi kebijakan

4

(2) Bagi pemerintah, dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menyusun
pembangunan dan pengembangan masyarakat. penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pentingnya keterlibatan
masyarakat dalam proses pembangunan desa. Keterlibatan masyarakat
dalam pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan, dapat menentukan keberhasilan pembangunan desa. Hal ini
dikarenakan pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan
kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat desa sehingga tidak terjadi
pembangunan yang salah sasaran.
(3) Bagi masyarakat, diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
penerapan gaya kepemimpinan kepala desa dalam menggerakkan
masyarakat dan membangun desanya.

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Kepemimpinan
Kepemimpinan menurut Isransyah (2014) berasal dari kata dasar “pimpin”
yang berarti bimbing atau tuntun. Dari kata pimpin inilah lahir kata kerja
“memimpin” yang artinya membimbing atau menuntun, dan kata benda
“pemimpin” yaitu orang-orang yang berfungsi membimbing atau menuntun.
Olivianti dan Kolopaking (2014) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan
keseluruhan kegiatan dalam mempengaruhi orang lain untuk mau bekerja sama
dalam mencapai tujuan bersama. Keberhasilan seorang pemimpin dapat dilihat
dari karakteristik pemimpinnya. Pemimpin merupakan orang yang memiliki
peranan penting dalam sebuah organisasi dalam menggerakkan organisasi tersebut
dan bertanggung jawab atas keberlangsungan aktivitas organisasi serta dapat
memastikan tujuan dari organisasi tercapai efektif dan efesien. Hal ini juga
dikatakan Koentjaraningrat (1967) mengenai kepemimpinan yang diartikan
sebagai suatu kemampuan seseorang (pemimpin atau leader) untuk memengaruhi
orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya) sehingga orang lain
tersebut bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut.
Kadangkala dibedakan antara kepemimpinan sebagai kedudukan dan
kepemimpinan sebagai suatu proses sosial. Sebagai kedudukan, kepemimpinan
merupakan suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat
dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sebagai suatu proses sosial,
kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang atau sesuatu
badan yang menyebabkan gerak dari warga masyarakat.
Ibrahim (2002) mendefinisikan kepemimpinan adalah proses mempengaruhi
orang lain sekelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Dalam
situasi apapun di mana seseorang berusaha mempengaruhi perilaku orang lain
atau kelompok, maka saat itu berlangsung kegiatan kepemimpinan. Orang yang
dipengaruhi tidak saja terbatas pada bawahan tetapi juga atasan, rekan sejawat,
atau sanak keluarga. Slamet (1998) dalam Ibrahim (2002) menambahkan
kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi perilaku orang banyak agar mau
bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Pengertian yang dirumuskan oleh
Slamet ini cenderung cocok digunakan dalam pengertian kepemimpinan dalam
kelompok atau organisasi. Seorang pimpinan berusaha membimbing, memberi
pengarahan, mempengaruhi perasaan dan perilaku orang lain, serta menggerakkan
orang lain itu untuk keperluan menuju sasaran yang diingini bersama.
Rivai dan Mulyadi (2012) membagi pemimpin menjadi dua bagian, yakni
pemimpin formal dan informal. pemimpin formal artinya seseorang yang ditunjuk
sebagai pemimpin, atas dasar keputusan dan pengangkatan resmi untuk
memangku suatu jabatan dalam struktur organisasi dengan segala hak dan
kewajiban yang melekat berkaitan dengan posisinya, contohnya lembaga
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sedangkan pemimpin informal, artinya
seseorang yang ditunjuk memimpin secara tidak formal, karena memiliki kualitas
unggul, dia mencapai kedudukan sebagai seorang yang mampu memengaruhi

6

kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok/komunitas tertentu, contohnya tokoh
masyarakat, pemuka agama, adat, LSM, guru, bisnis, dan lain-lain.
Kepemimpinan dan Manajeman
Beberapa pendapat ahli mengemukakan bahwa kepemimpinan dan
manajeman memiliki perbedaan. Menurut Ali (2013), Perbedaan kepemimpinan
dan manajeman sebagai berikut.
Tabel 1. Perbedaan Kepemimpinan dan Manajemen
Aspek
Kepemimpinan
Visioner
Menetapkan arah dan strategi,
lebih kepada pengembangan
organisasi
Berani
Posisi berisiko tinggi dan
berbahaya karena harus cepat
mengambil keputusan dan
akurat.
Sumber
Sebagai role model untuk
Perubahan
melakukan perubahan,
memberikan motivasi, dan
inspirasi.
Hati yang Bening Mengerjakan yang benar
dengan benar atau memiliki
kebeningan hati.
Berkepribadian
Sikap pribadi yang didukung
dengan personal komitmen

Manajeman
Bekerja dengan standard
operasi agar dapat
mencapai target
Menghindari risiko apapun,
karena sudah ada standard
kerja
Kerja suatu proses dengan
interaksi dan orientasi
terhadap administrasi
Mengerjakan hal yang
benar atau sebagai
pelaksana organisasi,
Sikap impersonal (tidak
bersifat pribadi), komitmen
terhadap organisasi

Sumber: Merajut Jiwa Kepemimpinan, 2013

Fungsi Kepemimpinan
Seorang pemimpin memiliki tanggung jawab dan fungsinya masing-masing.
Rifai (2006) dalam Isransyah (2014) menjelaskan bahwa fungsi diartikan sebagai
jabatan (pekerjaan) yang dilakukan atau kegunaan sesuatu hal atau kerja suatu
bagian tubuh. Sedangkan fungsi kepemimpinan berhubungan langsung dengan
situasi sosial dalam kehidupan kelompok/organisasi masing-masing, yang
mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada di dalam dan bukan di luar situasi
itu.
Berdasarkan fungsinya, menurut Rifai dan Mulyadi (2012) menjelaskan
bahwa secara operasional dapat dibedakan dalam lima fungsi pokok
kepemimpinan, yaitu:
(1) Fungsi instruksi, yakni fungsinya yang komunikasinya bersifat satu arah.
Pemimpin memiliki wewenang penuh dalam mengambil keputusan dan
menentukan apa, bagaiamana, dan dimana perintah itu dikerjakan
(2) Fungsi konsultasi, yakni fungsi yang komunikasinya mulai terjadi dua arah.
Pemimpin dalam mengambil suatu keputusan memiliki beberapa
pertimbangan sehingga perlu adanya konsultasi dengan pihak yang
dipimpinnya tetapi tetap kendali berada di tangan pemimpin.

7

(3)

Fungsi partisipasi, yakni pemimpin berusaha untuk mengajak atau
mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya baik dalam pengambilan
keputusan maupun pelaksanaanya.
(4) Fungsi delegasi, yakni fungsi dilaksanakan dengan pelimpahan wewenang
pengambilan keputusan, baik melalui persetujuan maupun tidak.
(5) Fungsi pengendalian, yakni bermaksud bahwa kepemimpinan yang
sukses/efektif mampu mengatur aktivitas anggotanya secara terarah dan
dalam koordinasi yang efektif.
Seorang pemimpin juga dituntut untuk dapat memiliki fungsi-fungsi
manajerial dengan baik. Seperti halnya yang dipaparkan oleh Siagian (2013)
tentang fungsi-fungsi manajerial yang mutlak perlu dikuasai oleh seorang
manager atau pemimpin, yaitu:
(1) Perencanaan, yaitu usaha sadar dan pengambilan keputusan yang telah
diperhitungkan secara matang tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa
depan dalam dan oleh suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan
yang telah ditentukan sebelumnya;
(2) Pengorganisasian, yaitu keseluruhan proses pengelompokan orang-orang,
alat-alat, tugas-tugas, serta wewenang dan tanggung jawab sedemikian rupa
sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan sebagai suatu
kesatuan yang utuh dan bulat dalam rangka pencapaian tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya;
(3) Penggerakan, yaitu keseluruhan usaha, cara, teknik, dan metode untuk
mendorong para anggota organisasi agar mau dan ikhlas bekerja dengan
sebaik mungkin demi tercapainya tujuan organisasi dengan efesien, efektif,
dan ekonomis;
(4) Pengawasan, yaitu proses pengamatan dari seluruh kegiatan organisasi guna
lebih menjamin bahwa semua pekerjaan yang sedang dilakukan sesuai
dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya;
(5) Penilaian, yaitu pengukuran dan pembandingan hasil-hasil yang nyatanya
dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya dicapai.
Gaya Kepemimpinan
Soekanto (2007) menyatakan bahwa suatu kepemimpinan (leadership) dapat
dilaksanakan atau diterapkan dengan berbagai cara (metode). Cara-cara tersebut
lazimnya dikelompokkan ke dalam kategori-kategori, sebagai berikut:
(a) Cara-cara otoriter
Cara-cara otoriter memiliki ciri-ciri pokok berikut ini.
(1) Pemimpin menentukan segala kegiatan kelompok secara sepihak.
(2) Pengikut sama sekali tidak diajak untuk ikut serta merumuskan
tujuan kelompok dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.
(3) Pemimpin terpisah dari kelompok dan seakan-akan tidak ikut dalam
proses interaksi di dalam kelompok tersebut.
(b) Cara-cara demokratis
Cara-cara demokratis memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut.
(1) Secara musyawarah dan mufakat pemimpin mengajak warga atau
anggota kelompok untuk ikut serta merumuskan tujuan-tujuan yang
harus dicapai kelompok, serta cara-cara untuk mencapai tujuantujuan tersebut.

8

(2) Pemimpin secara aktif memberikan saran dan petunjuk-petunjuk.
(3) Ada kritik positif, baik dari pemimpin maupun pengikut-pengikut.
(4) Pemimpin secara aktif ikut berpartisipasi di dalam kegiatan-kegiatan
kelompok.
(c) Cara-cara bebas
Cara-cara bebas memiliki ciri-ciri pokok sebagai berikut.
(1) Pemimpin menjalankan perannya secara pasif.
(2) Penentuan tujuan yang akan dicapai kelompok sepenuhnya
diserahkan kepada kelompok.
(3) Pemimpin hanya menyediakan sarana yang diperlukan kelompok
(4) Pemimpin berada di tengah-tengah kelompok, namun dia hanya
berperan sebagai penonton.
Selain itu, Pemaparan gaya kepemimpinan disebutkan juga oleh Ibrahim
(2002) yang menjelaskan bahwa kepemimpinan seorang pemimpin akan berjalan
efektif jika disesuaikan dengan keadaan dalam berkomunikasi dengan bawahan.
Kepemimpinan tersebut dikenal sebagai kepemimpinan situsional dimana
kepemimpinan yang menekankan pada perilaku pemimpin dan bawahannya.
Terdapat beberapa gaya kepemimpinan situsional seperti:
(1) Gaya kepemimpinan dengan gaya instruksi (memberitahukan)
Pemimpin memberikan instruksi tentang peranan dan tujuan bagi
bawahannya. Pemimpin mengawasi tugas yang dilakukan bawahan secara
ketat. Proses komunikasi antara pimpinan dengan bawahan banyak
didominasi oleh komunikasi satu arah. Gaya instruksi dilakukan pada
bawahan yang rendah kematangannya atau pengalamannya.
(2) Gaya kepemimpinan dengan gaya konsultasi (menjajakan)
Pemimpin menjelaskan keputusan dan kebijaksanaan yang diambil tetapi
pemimpin juga mau menerima pendapat bawahannya. Pengarahan serta
pengawasan tetap dilakukan secara ketat. Gaya ini dilakukan karena
bawahan mempunyai tingkat kematangannya mulai dari rendah hingga
sedang.
(3) Gaya kepemimpinan dengan gaya partisipasi (mengikutsertakan)
Pemimpin menyusun keputusan bersama-sama dengan bawahannya dan
mendukung usaha-usaha bawahan dalam menyelesaikan suatu tugas. Peran
pemimpin menjadi aktif ketika mendengarkan keluhan para bawahannya.
Gaya kepemimpinan ini dilakukan karena bawahan memiliki kemampuan
tetapi tidak ingin melakukan tugas karena kurang keyakinan.
(4) Gaya kepemimpinan dengan gaya delegasi
Pemimpin memberikan kesempatan yang luas kepada bawahannya utnuk
memutuskan masalah dan menjalankan tugas. Pemimpin mendelegasikan
keputusan dan tanggung jawab pelaksanaan tugas pada bawahan yang
tingkat kematangannya.
Kepemimpinan Kepala Desa
Kepala desa merupakan seorang pemimpin desa yang ditunjuk melalui
pemilihan langsung oleh masyarakat desa dengan pungutan suara. Kepala desa
memiliki peranan yang sangat penting untuk desanya. Berdasarkan pada UU No.
6 Tahun 2014 pasal 26 menjelaskan bahwa kepala desa bertugas
menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa,

9

pembinaan masyarakat desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Pembangunan
desa menjadi salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh kepala desa agar
terciptanya masyarakat yang lebih sejahtera sebagaimana yang tercantum dalam
UU. No 6 Tahun 2014 pasal 26 ayat 3, yakni Kepala Desa berkewajiban:
(a) Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
(b) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
(c) Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
(d) Menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan;
(e) Melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender;
(f) Melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akunTabel,
transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi,
korupsi, dan nepotisme;
(g) Menjalin kerja sama dan koordinasi dengan seluruh pemangku
kepentingan di Desa;
(h) Menyelenggarakan administrasi Pemerintahan Desa yang baik;
(i) Mengelola Keuangan dan Aset Desa;
(j) Melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa;
(k) Menyelesaikan perselisihan masyarakat di Desa;
(l) Mengembangkan perekonomian masyarakat Desa;
(m) Membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat Desa;
(n) Memberdayakan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di Desa;
(o) Mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan
hidup; dan
(p) Memberikan informasi kepada masyarakat Desa.
Partisipasi
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan peran serta
masyarakat dalam mengikuti sebuah kegiatan, baik itu pemberdayaan masyarakat
maupun pembangunan. Adisasmita (2006) menjelaskan bahwa partisipasi
masyarakat adalah keterlibatan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi
kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program/proyek
pembangunan yang dikerjakan di dalam masyarakat lokal. Partisipasi masyarakat
memang diperlukan karena masyarakat merasakan sendiri dampak dari hasil
pembangunan desa sehingga perlu kita melihat seberapa jauh partisipasi
masyarakat dalam proses pembangunan desa. Adisasmita (2006) juga
menjelaskan partisipasi atau peran serta masyarakat dalam pembangunan
merupakan aktualisasi diri dari kesediaan dan kemampuan anggota masyarakat
untuk berkorban dan berkontribusi dalam implementasi program yang
dilaksanakan. Akan tetapi, masih ada partisipasi masyarakat yang rendah dalam
pelaksanaan program pemerintah. Sebagai contoh pada program dana
pembangunan desa, Menurut Supriyadi (2010) dominasi pemerintah dalam
implementasi program tersebut. Perencanaan atau penentuan jenis kegiatan desa
ditentukan oleh sepihak, yakni pemerintah desa sehingga masyarakat tidak
memiliki ruang dalam mengambil keputusan. Cohen dan Uphoff (1979) dalam

10

Rosyida dan Nasdian (2011) membagi partisipasi ke beberapa tahapan, yaitu
sebagai berikut:
(1) Tahap pengambilan keputusan yang diwujudkan dengan keikutsertaan
masyarakat dalam rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang
dimaksud di sini yaitu pada perencanaan dan pelaksanaan suatu program.
(2) Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam pembangunan,
sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaannya. Wujud nyata
partisipasi pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam
bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk
tindakan sebagai anggota proyek.
(3) Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap
ini merupakan umpan balik yang dapat memberik masukan demi
perbaikan pelaksanaan proyek selanjutnya.
(4) Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan
partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek.
Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subjek pembangunan
maka semakin besar manfaat proyek dirasakan, berarti proyek tersebut
berhasil mengenai sasaran.
Berbeda dengan Cohen dan Uphoff yang membagi tingkat partisipasi dalam
empat tahapan, Arnstein (1969) membagi tingkat partisipasi dalam delapan tangga
(tingkat) partisipasi, yaitu:
(1) Manipulation (Manipulasi): Pada tingkat ini, dengan mengatasnamakan
partisipasi, masyarakat diikutkan sebagai „stempel karet‟ dalam badan
penasehat. Tujuannya adalah untuk dipakai sebagai formalitas semata dan
untuk dimanfaatkan dukungannya. Tingkat ini bukanlah tingkat
partisipasi masyarakat yang murni, karena telah diselewengkan dan
dipakai sebagai alat publikasi oleh penguasa.
(2) Therapy (Terapi). Pada tingkat terapi atau pengobatan ini, pemegang
kekuasaan sama dengan ahli kesehatan jiwa. Mereka menganggap
ketidakberdayaan sebagai penyakit mental. Dengan berpura-pura
mengikutsertakan masyarakat sebagai sekelompok orang yang
memerlukan pengobatan. Meskipun masyarakat dilibatkan dalam berbagai
kegiatan namun pada dasarnya kegiatan tersebut bertujuan untuk
menghilangkan lukanya dan bukannya menemukan penyebab lukanya.
(3) Informing (Menginformasikan) dengan memberi informasi kepada
masyarakat akan hak, tanggung jawab,dan pilihan mereka merupakan
langkah awal yang sangat penting dalam pelaksanaan partisipasi
masyarakat. Namun seringkali pemberian informasi dari penguasa kepada
masyarakat tersebut bersifat satu arah. Masyarakat tidak memiliki
kesempatan untuk memberikan umpan balik dan tidak memiliki kekuatan
untuk negosiasi. Apalagi ketika informasi disampaikan pada akhir
perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk
mempengaruhi program. Komunikasi satu arah ini biasanya dengan
menggunakan media pemberitahuan, pamflet, dan poster.
(4) Consultation (Konsultasi). Meminta pendapat masyarakat merupakan
suatu langkah logis menuju partisipasi penuh. Namun, konsultasi ini
masih merupakan partisipasi semu karena tidak ada jaminan bahwa
pendapat mereka akan diperhatika. Cara yang sering digunakan dalam

11

tingkat ini adalah jajak pendapat, pertemuan warga dan dengar pendapat.
Jika pemegang kekuasaan membatasi usulan msayarakat, maka kegiatan
tersebut hanyalah partisipasi palsu. Masyarakat pada dasarnya hanya
dianggap sebagai abstraksi statistik, karena partisipasi mereka diukur dari
frekuensi kehadiran dalam pertemuan, seberapa banyak brosur yang
dibawa pulang dan juga seberapa banyak dari kuesioner dijawab. Dengan
demikian, pemegang kekuasaan telah memiliki bukti bahwa mereka telah
mengikuti rangkaian pelibatan masyarakat.
(5) Placation (Menenangkan). Pada tingkat ini masyarakat sudah memiliki
beberapa pengaruh meskipun dalam beberapa hal pengaruh tersebut tak
memiliki jaminan akan diperhatikan. Masyarakat memang diperbolehkan
untuk memberikan masukan atau mengusulkan rencana akan tetapi
pemegang dengan memilih masyarakat miskin yang layak untuk
dimasukkan ke dalam suatu lembaga. Jika mereka tidak bertanggung
jawab dan jika pemegang kekuasaan memiliki mayoritas kursi, maka
mereka akan dengan mudah dikalahkan dan diakali.
(6) Partnership (Kemitraan). Pada tingkat ini kekuasaan disalurkan melalui
negosiasi antara pemegang kekuasaan dan masyarakat. Mereka sepakat
untuk sama-sama memikul tanggung jawab dalam perencanaan dan
pengambilan diharapkan tidak mengalami perubahan secara sepihak.
Kemitraan dapat berjalan efektif bila dalam masyarakat ada kekuasaan
yang terorganisir, pemimpin bertanggung jawab, masyarakat mampu
membayar honor yang cukup bagi pemimpinnya, serta adanya sumber
dana untuk menyewa teknisi, pengacara dan organisator masyarakat.
Dengan demikian masyarakat benar-benar memiliki posisi tawarmenawar yang tinggi sehingga akan mampu mempengaruhi suatu
perencanaan.
(7) Delegated Power (Kekuasaan didelegasikan). Negosiasi antara masyarakat
dengan pejabat pemerintah bisa mengakibatkan terjadinya dominasi
kewenangan pada masyarakat terhadap rencana atau program tertentu.
Pada tingkat ini, masyarakat menduduki mayoritas kursi, sehingga
memiliki kekuasaan dalam menentukan suatu keputusan. Selain itu,
masyarakat juga memegang peranan dalam menjamin akuntabilitas
program tersebut. Untuk mengatasi perbedaan, pemegang kekuasaan tidak
perlu meresponnya akan tetapi dengan mengadakan proses tawat
menawar.
(8) Citizen Control (Kontrol Warga Negara). Pada tingkat ini masyarakat
menginginkan adanya jaminan bahwa kewenangan untuk mengatur
program atau kelembagaan diberikan kepada mereka, bertanggung jawab
penuh terhadap dan aspek-aspek manajerial dan bisa mengadakan
negosiasi apabila ada piihak ketiga yang akan mengadakan perubahan.
Oleh sebab itu, masyarakat dapat berhubungan langsung dengan sumbersumber dana untuk memperoleh bantuan atau pinjaman tanpa melewati
pihak ketiga.
Dari delapan tingkat partisipasi tersebut, Arnstein (1969) mengelompokkan
dalam tiga level yaitu, terapi dan manipulasi termasuk dalam level „Nonpartisipasi‟. Kemudian informasi, konsultasi, menenangkan termasuk ke dalam

12

level „Tokenisme‟. Terakhir, kemitraan, delegasi kewenangan dan kontrol warga
negara termasuk ke dalam „Citizen Power‟.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi
Adanya peran serta masyarakat dalam mengikuti pelaksanaan program
pembangunan tidak terlepas adanya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
masyarakat untuk berpartisipasi, yakni faktor internal dan faktor eksternal.
Beberapa faktor internal yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam
perencanaan pembangunan dalam hasil penelitian yang dilakukan Suroso et.al.
(2014) adalah sebagai berikut:
(1) Usia, Pada kelompok-kelompok usia tertentu mempengaruhi sejauh mana
tingkat partisipasi seseorang dalam pembangunan. Hasil penelitian
menunjukkan kelompok usia muda rendah dalam berpartisipasi karena
adanya rasa sungkan terhadap kelompok usia sedang dan tua.
(2) Tingkat pendidikan. Pengetahuan masyarakat tentang suatu program
pembangunan mempengaruhi partisipasi masyarakat. Masyarakat yang
memiliki tingkat pendidikan tinggi terkait program pembangunan lebih
tinggi partisipasinya dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki
tingkat pendidikan yang rendah. Semakin tinggi tingkat pendidikannya,
semakin tinggi tingkat partisipasinya
(3) Jenis pekerjaan. Masyarakat yang bekerja di sektor pertanian cenderung
lebih tinggi tingkat partisipasinya dibandingkan masyarakat yang bekerja
di sektor non-pertanian, seperti di sektor industri karena jam kerja di
sektor pertanian lebih fleksibel daripada sektor indutri yang jam kerjanya
selalu berbenturan dengan waktu proses perencanaan atau pelaksanaan
pembangunan.
(4) Tingkat penghasilan. Penghasilan yang cenderung homogen membuat
seseorang juga dapat berpartisipasi secara penuh karena masing-masing
masyarakat memiliki penghasilan yang relatif sama.
(5) Lama tinggal di desa. Semakin lama masyarakat yang menetap di suatu
desa, rasa memiliki terhadap lingkungan cenderung lebih meningkatkan
partisipasinya dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut.
Selain itu, faktor eksternal juga mempengaruhi tingkat partisipasi
masyarakat, seperti yang dikemukan dalam hasil penelitian Syamsi (2014)
menyatakan bahwa beberapa hambatan dalam partisipasi masyarakat diantaranya,
tidak adanya transparansi atau keterbukaan dan bentuk tanggung jawab
pemerintah desa dalam penggunaan dana desa untuk pembangunan desa membuat
masyarakat tidak mengetahui untuk apa saja dana desa tersebut sehingga
menyebabkan masyarakat tidak berpartisipasi. Selain itu, komunikasi yang tidak
intensif menjadi pemicu terjadinya hambatan masyarakat dalam berpartisipasi.
Suroso et.al. (2014) juga menyatakan adanya faktor komunikasi yang berjalan
intensif baik antar masyarakat atau masyarakat dengan pimpinannya, serta antara
sistem sosial di dalam masyarakat dengan sistem di luarnya mampu meningkatkan
peran dan partisipasi masyarakat.

13

Pembangunan Desa
Salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah adanya
pembangunan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Mengoptimalkan beberapa sektor untuk pembangunan merupakan salah satu
wujud usaha untuk membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Pedesaan
merupakan salah satu wilayah yang sangat berpotensi dalam pembangunan guna
mewujudkan cita-cita dan harapan bangsa agar menjadi masyarakat yang makmur
dan sejahtera karena Indonesia adalah negara yang luas wilayah daratannya
sebagian besar adalah pedesaan dan pertanian. Pemerintah sebagai pihak yang
memiliki wewenang paling tinggi dapat menjawab persoalan yang dihadapi oleh
masyarakat saat ini dengan mencari berbagai solusi, terlebih lagi arus globalisasi
dan modernisasi yang kian cepat sehingga perlu adanya sebuah adaptasi baru
untuk dapat mengikuti arus globalisasi ini.
Pembangunan merupakan satu daya upaya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup masyarakat, dari satu keadaan yang kurang baik, dengan menggunakan
sumber daya yang ada. Pembangunan yang mengarah pada satu perubahan dan
perbaikan ke arah yang akan datang adalah pembangunan yang berorientasi pada
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat (Hermansyah, 2015).
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum melakukan
pembangunan wilayah khususnya pedesaan dan pertanian. Menurut Sumardjo
(2010) kearifan lokal merupakan salah satu aspek karakteristik masyarakat, yang
terbentuk melalui proses adaptasi yang kondusif bagi kehidupan masyarakat,
sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seyogianya dipahami sebagai
dasar dalam pembangunan pertanian dan perdesaan. Sumardjo (2010) juga
menyatakan bahwa kondisi masyarakat perdesaan di Indonesia pada saat ini
sangat beragam, mulai dari perilaku berladang berpindah, bertani menetap, desa
industri, desa dengan mata pencaharian dominan sektor jasa sampai desa yang
dengan fasilitas modern (semi urban dan urban) dapat ditemukan di wilayah
Indonesia di era millennium ini. Apabila pembangunan dilakukan dengan
menyeragamkan model pembangunan di semua wilayah di Indonesia maka
pendekatan itu telah mengikis nilai-nilai kearifan lokal yang merupakan hasil
adaptasi terhadap lingkungan masyarakat setempat. Adanya keberagaman yang
sangat kompleks mengindikasikan bahwa masyarakat lebih membutuhkan upaya
pembangunan yang lebih sesuai dengan potensi sumberdaya dan tuntutan
kebutuhan lingkungan hidupnya.
Sumardjo (2010) menyatakan bahwa pembangunan perdesaan sebagai
bagian dari pembangunan nasional telah menjadi agenda utama Pemerintah,
seperti terlihat dalam dokumen pembangunan jangka menengah (lima tahunan).
Pemerintah baik dalam RPJM 2004-2009 maupun RPJM 2009-2014. Komitmen
pembangunan perdesaan ini dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah No. 7 Tahun 2005. Sumardjo (2010) juga menjelaskan dari usaha
pembangunan perdesaan selama ini dirasakan bahwa pembangunan perdesaan
lebih diartikan sebagai pembangunan fisik. Hal ini dilaksanakan melalui
penyediaan infrastruktur jalan, jembatan, irigasi, pasar, sekolah, pelayanan
kesehatan, dan sebagainya di perdesaan, yang bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas di sektor pertanian. Demikian pula, kesejahteraan masyarakat desa
lebih diartikan sebagai peningkatan kesejahteraan secara fisik, yaitu peningkatan
pendapatan, konsumsi, taraf pendidikan, dan kesehatan.

14

Pembangunan Infrastruktur Desa
Todaro (2000) dalam Johan (2015) berpendapat bahwa pembangunan
infrastruktur memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan sasaran
pembangunan seperti pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju
terciptanya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat, pembangunan infrastruktur
merupakan salah satu faktor penentu dalam menunjang kelancaran pengembangan
dan perkembangan suatu daerah tanpa adanya infrastruktur yang memadai
cenderung dalam proses pembangunan akan terlambat, bahkan hasilnya akan
kurang optimal.
Kodoatie (2005) infrastruktur merujuk pada sistem fisik yang menyediakan
transportasi, pengairan, drainase, bangunan-bangunan gedung, dan fasilitas publik
untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam lingkup sosial dan ekonomi.
Sistem infrastruktur merupakan pendukung utama fungsi-fungsi sistem sosial dan
sistem ekonomi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sistem infrastruktur
dapat didefinisikan sebagai fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur dasar,
peralatan-peralatan, instalasi-instaslas yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk
berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat (Grigg, 2000) dalam
(Kodoatie, 2005).
Limhanas (1997) dalam Johan (2015) memaparkan beberapa indikator
mengenai pembangunan infrastruktur atau fisik, yakni:
(a) Prasarana Perhubungan
Yang dimaksud prasarana perhubungan adalah jalan, baik jalan di ganggang menuju ibukota;
(b) Prasarana Produksi/Ekonomi
Yang dimaksud produksi/ekonomi adalah hal yang menyangkut dengan
kegiatan ekonomi masyarakat, yang berupa sarana. Yang dapat
dikatakan kategori prasarana, yaitu, pabrik, irigasi, mini market, sawah,
ladang/kebun, dan sebagainya.
(c) Prasarana Sosial dan Budaya
Prasarana sosial budaya adalah setiap bangunan yang dalam
pemakaiannya bersifat umum dan bersama. Yang termasuk sosial
budaya misalnya gedung sekolah, rumah-rumah ibadah, klinik
kesehatan, rumah sakit, balai pertemuan dan sebagainya.
Selanjutnya menurut Mashoed (2004) dalam Arifin (2013) mengatakan
bahwa pembangunan fisik merupakan, “program pemberdayaan masyarakat yang
dilakukan dengan perbaikan fisik lingkungan (sarana dan prasarana) pemukiman
kampung, meliputi antara lain perbaikan jalan lingkungan, saluran drainase,
Gedung serbaguna, sarana kesehatan dan pendidikan”. Pembangunan Fisik dapat
dipahami sebagai sebuah proses pemenuhan kebutuhan dasar yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat seperti jalan, sanitasi, pengangkutan umum dan
kesehatan, fasilitas-fasilitas pendidikan, kebudayaan serta keagamaan.
Pembangunan fisik dapat berupa kebutuhan akan prasarana yang relatif bersifat
jangka panjang serta tetap seperti jalan dan bangunan, juga keperluan masyarakat
akan sarana yang cenderung bersifat jangka pendek dan dinamis seperti air minum
dan alat angkut yang diusahakan secara mandiri.

15

Gaya Kepemimpinan Kepala Desa dan Partisipasi Masyarakat dalam
Pembangunan Infrastruktur Desa
Kepala desa memiliki cara tersendiri dalam memimpin desanya. Berbagai
macam gaya k