Perubahan Lanskap Ekologi Taman Nasional Tesso Nilo Dan Sistem Sosial Ekonomi Masyarakat Lokal Akibat Ekspansi Kelapa Sawit Di Propinsi Riau

(1)

NILO DAN SISTEM SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT LOKAL AKIBAT EKSPANSI KELAPA SAWIT DI PROPINSI RIAU

NURSANTRI HIDAYAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(2)

(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perubahan Lanskap Ekologi Taman Nasional Tesso Nilo dan Sistem Sosial Ekonomi Masyarakat Lokal Akibat Ekspansi Kelapa Sawit di Propinsi Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor

Bogor , Agustus 2016

Nursantri Hidayah NRP H152124051


(4)

Nilo dan Sistem Sosial Ekonomi Masyarakat Lokal Akibat Ekspansi Kelapa Sawit di Propinsi Riau. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN dan BABA BARUS

Ancaman terbesar terhadap hutan Indonesia adalah maraknya pembukaan perkebunan kelapa sawit baru. Indonesia menduduki peringkat teratas berdasarkan kuantitas perluasan perkebunan dan laju penanaman kelapa sawit. Riau berada di peringkat pertama dengan kontribusi sebesar 29 persen terhadap total produksi minyak sawit nasional. Laju perluasan perkebunan kelapa sawit diantaranya dengan jalan mengalihfungsikan kawasan hutan, kebun rakyat, dan lahan pertanian.

Permintaan lahan untuk ekspansi perkebunan sawit di Provinsi Riau terus meningkat sehingga telah memicu tingginya angka konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit, ekspansi ini juga sudah mengarah ke kawasan konservasi. Banyak kasus konversi lahan dilakukan secara illegal seperti yang terjadi pada kawasan lindung dan konservasi. Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) adalah salah satu Taman Nasional di Provinsi Riau tepatnya di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu yang tidak luput dari aktivitas konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit.

Ekspansi kelapa sawit telah menimbulkan berbagai dampak seperti terjadinya perubahan bentang alam, relokasi tanah dan sumber daya alam, perubahan ekonomi dan perubahan sosial. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan disekitar lanskap Taman Nasional Tesso Nilo, perubahan sistem naflah masyarakat lokal dan kerentanan rumah tangga petani. Studi dilakukan di desa sekitar kawasan konservasi yang terkena dampak ekspansi kelapa sawit. Data dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan analisis spasial dan analisis sistem penghidupan.

Dari hasil penelitan diketahui bahwa ekspansi kelapa sawit di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo telah menyebabkan tutupan hutan berkurang sangat cepat, tutupan hutan yang tersisa saat ini hanya sekitar 20 persen. Pola nafkah masyarakat sekitar kawasan berubah menjadi cenderung homogen dengan satu sumber nafkah yaitu dari perkebunan kelapa sawit. Ini menyebabkan masyarakat menjadi rentan terhadap krisis ketika harga kelapa sawit menurun. Tingginya konsumsi pangan masyarakat yang tergantung pasokan dari luar akan menyulitkan masyarakat ketika pendapatan mengalami penurunan. Bagi keberlanjutan pengembangan wilayah perlunya pengelolaan kawasan yang lebih intensif sehingga kerusakan hutan akibat tindakan ekspansi ini bisa diatasi dan potensi konflik antara pihak perkebunan kelapa sawit dan pertanian tanaman pangan kedepan harus diantisipasi sehingga tidak terjadi kerentanan ekonomi rumah tangga petani.

Kata Kunci : Perubahan Lanskap Ekologi, Ekspansi Kelapa Sawit, Sistem Penghidupan


(5)

National Park and Socio-Economic System of The Local Communities Due to Oil Palm Expansion in Riau Province. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN and BABA BARUS

The biggest threat to Indonesian forest is the rise of new palm oil plantation. Indonesia ranked top by the quantity and rate of expansion of oil palm cultivation. Riau ranked first with the contribution amounts of 29 percent to the total palm oil national production. The rate of expansion of oil palm plantations such as land use change forest area, land of community, and farmland.

Demand for land to the expansion of oil palm plantations in Riau Province to increase, so that has triggered high rates of conversion of land into oil palm plantations, this expansion has also led to a conservation area. Many cases of illegal land conversion is done as occurs in protected areas and conservation. Tesso Nilo National Park is one of the National Park in Riau Province precisely in Pelalawan and Indragiri Hulu does not escape from the activity of land conversion for oil palm plantations.

Oil palm expansion has led to various effects such as changes in the landscape, the relocation of land and natural resources, changing economic and social. This research was conducted to identify of changes in land use landscape surrounding Tesso Nilo National Park, the changes livelihoods of local communities and the vulnerability of farm Households. The research has conducted in the village conservation area affected by oil palm expansion. The Data were Analyzed descriptively by using spatial analysis and livelihood systems.

Based on the results of the research is noted that oil palm expansion in Tesso Nilo has the caused massive degraded forests, forest cover is left now only about 20 percent. The ability of the community living around the area turn out to be are relatively homogeneous with only one of income is from oil palm plantations. This causes people to be vulnerable to crisis era when prices of palm oil is declined. The high food consumption from the dependent communities will complicate the supply from outside the community when revenues decline. For the sustainability of the region need more intensive management area so that the destruction of the forests as a result of actions of this expansion can be overcome and potential conflicts between the oil palm and food crops in the future must be anticipated so that there is no economic vulnerability of farm households.

Key Words: Ecology Landscape Changes, Expansion Of Oil Palm, Livelihood Systems


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan

pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apappun tanpa izin IPB


(7)

(8)

NILO DAN SISTEM SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT LOKAL AKIBAT EKSPANSI KELAPA SAWIT DI PROPINSI RIAU

NURSANTRI HIDAYAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(9)

(10)

(11)

segala limpahan karuniaNya sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan Juni hingga Desember 2015 ini adalah mengenai perubahan ekologi lanskap, dengan judul Perubahan ekologi lanskap Taman Nasional Tesso Nilo dan sosial ekonomi masyarakat lokal akibat ekspansi kelapa sawit di Propinsi Riau.

Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua Bapak Nasir Pili dan Ibu Yusnimar Rasyid atas dukungan dan kasih sayang yang tiada henti penulis terima, kepada suami tercinta Zulfahmi SP dan anak anak tersayang Aisha Nabila Fahsa, Chenna Aqiila Fahsa dan Nara Bilqis Fahsa untuk semua kasih sayang, dukungan dan pengertianya. Kepada adikku Ria Sumari, S.Sos, Zulhadi Yunata (alm) dan Dianno Yunata.

Terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr dan Bapak Dr. Ir Baba Barus, MSc selaku komisi pembimbing atas segala masukan, arahan dan bimbingan yang diberikan dalam penulisan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir Manuntun Parulian Hutagaol, MS dan Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, MSc.Agr atas komentar dan masukannya yang membangun sehingga meningkatkan kualitas tesis ini. Kepada teman-teman di pwd dan kepada semua pihak yang telah membantu penulis hingga bisa menyelesaikan tesis ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016


(12)

(13)

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR BOX v

1. PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian

6 6

Ruang Lingkup Penelitian 6

2. TINJUAN PUSTAKA 9

Perubahan Lanskap Akibat Perkembangan Industri Kelapa Sawit

Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit pada Kawasan Konservasi

Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat

9 12 14

3. METODE PENELITIAN 18

Waktu dan Tempat Penelitian 18

Jenis dan Sumber Data 19

Metode Pengambilan Sampel 19

Defenisi Konseptual 20

Metode Analisis data

4. KAJIAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Fisik dan Biologi Kawasan

Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat

Kondisi Desa Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Kitam Karakteristik Responden

5. PERUBAHAN EKOLOGI LANSKAP TAMAN NASIONAL TESSO NILO (TNTN)

Perubahan Penggunaan Lahan dan Deforestasi Hutan Dinamika Okupasi Kawasan TNTN

Persepsi Masyarakat Lokal tentang Hutan dan Perubahan Lanskap TNTN

Ihtisar

6. SISTEM PENGHIDUPAN MASYARAKAT LOKAL SEKITAR KAWASAN TNTN

Struktur Nafkah Rumah Tangga Masyarakat Lokal Sekitar Lanskap TNTN

20 28 28 29 29 32

35 46 50 55

58 58


(14)

Kemampuan menyimpan Rumah Tangga Petani Ihtisar

7. SISTEM SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT LOKAL SEKITAR LANSKAP TNTN

Perubahan Kepemilikan Modal Nafkah Masyarakat Desa sekitar Lanskap TNTN

Modal Nafkah Masyarakat Desa Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Hitam

Ihtisar

8. KONSEP TUALISASI GAGASAN : ANOMALI EKSPANSI DAN KETAHANAN EKONOMI RUMAH TANGGA PETANI

Anomali ekspansi perkebunan kelapa sawit dan Keberlanjutan Fungsi kawasan Taman Nasional Ketahanan Sosial Ekonomi Masyarakat sekitar

lanskap TNTN

9. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Saran

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

70 71

67 67 70 73

84 84 88

92 93 94 99 100


(15)

1. Tujuan Penelitian, jenis data, metode pengumpulan data dan metode analisis

2. Sejarah Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo 3. Tipologi para pelaku ekspansi sawit di dalam TNTN 4. Persepsi Masyarakat Desa Lubuk Kembang Bunga dan

Desa Air Hitam Kecamatan Ukui tentang hutan

5. Persepsi Masyarakat Desa Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Hitam Kecamatan Ukui tentang perubahan hutan 6. Jumlah Penduduk, keluarga dan rata-rata per keluarga

menurut desa/kelurahan di Kecamatan Ukui tahun 2013 7. Potensi Lahan menurut jenis pengusahaan di Kecamatan

Ukui dalam Ha (Kecamatan Ukui dalam angka 2014) 8. Pendapatan per kapita lapisan rumah tangga petani di Desa

Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Hitam menurut lapisan tahun 2015

21 38 47 51 53 88 89 90


(16)

1. Konsumen Utama Perdagangan Minyak Sawit 2. Perkembangan Luas Areal Sawit 2000-2011 3. Kerangka Konseptual Penelitian

4. Kerangka Pemikiran Penelitian

5. Interaksi antara Livelihoods Assets dengan Jasa Lingkungan 6. Peta Taman Nasional Tesso Nilo tahun 2015

7. Analisa Spasial Perubahan Lanskap TNTN tahun 2000-2015

8. Jalan Desa Lubuk Kembang Bunga Kecamatan Ukui tahun 2015

9. Jalan Desa Air Hitam Kecamatan Ukui tahun 2015 10.Kebun Kelapa Sawit Milik Masyarakat

11.Tingkat Usia Responden di Desa Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Hitam Kecamatan Ukui Pelalawan tahun 2015

12.Tingkat Pendidikan Responden di Desa Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Hitam Kecamatan Ukui Pelalawan tahun 2015

13.Peta Sebaran Pabrik Kelapa Sawit di Sekitar Lanskap TNTN

14.Peta Penggunaan Lahan hingga tahun 2000 disekitar lanskap TNTN

15.Peta Penggunaan lahan TNTN tahun 2004 16.Peta Penggunaan lahan TNTN tahun 2009 17.Peta Penggunaan lahan TNTN tahun 2015

18.Persepsi Masyarakat Desa Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Hitam Mengenai Penyebab Kerusakan Hutan 19.Persepsi Masyarakat Desa Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Hitam Masalah yang paling menonjol dalam 5 tahun terakhir

20.Skema Perubahan lanskap TNTN

21.Struktur nafkah rumah tangga petani pertahun Desa Lubuk Kembang Bunga Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan tahun 2015

22.Struktur nafkah rumah tangga petani pertahun Desa Air Hitam Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan tahun 2015 23.Komposisi Struktur Nafkah Masyarakat Desa Lubuk

Kembang Bunga Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan tahun 2015

24.Komposisi Struktur Nafkah Masyarakat Desa Air Hitam Kecamatan Ukui Pelalawan tahun 2015

25.Klasifikasi status kesejahteraan Desa Lubuk Kembang Bunga dan desa Air Hitam Kecamatan Ukui Pelalawan tahun 2015 1 2 7 8 16 18 22 31 32 33 33 34 37 42 44 45 46 52 54 57 59 59 60 61 62


(17)

27.Struktur Nafkah Golongan Menengah Masyarakat Desa Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Hitam Kecamatan Ukui Pelalawan tahun 2015

28.Struktur Nafkah Golongan Bawah Masyarakat Desa Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Hitam Kecamatan Ukui Pelalawan tahun 2015

29.Struktur pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani Desa Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Hitam

Kecamatan Ukui tahun 2015

30.Komposisi pengeluaran rumah tangga petani Desa Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Hitam Kecamatan Ukui Pelalawan tahun 2015

31.Kemampuan Menyimpan Desa Lubuk Kembang Bunga Kecamatan Ukui Pelalawan tahun 2015

32.Kemampuan Menyimpan Desa Air Hitam Kecamatan Ukui Pelalawan tahun 2015

33.Tanaman Sawit Masyarakat di halaman rumah 34.Tanaman Sawit Masyarakat di pinggir sungai

35.Perubahan pola nafkah masyarakat sekitar kawasan tahun 2005-2015

36.Modal Nafkah Rumah Tangga Petani Desa Lubuk Kembang Bunga Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan tahun 2015

37.Modal Nafkah Rumah Tangga Petani Desa Air Hitam Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan tahun 2015 38.Skema Proses Adaptasi Perubahan Sistem Penghidupan 39.Pendapatan per kapitan masyarakat berdasarkan lapisan Desa Air Hitam Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan tahun 2015

64

64

65

66 70 70 72 73 75

78 81 82

90

DAFTAR BOX

1. Kasus overlapping claim tanah adat vs taman nasional 2. Kerentanan ekonomi rumah tangga akibat ekspansi

kelapa sawit

Halaman 43 69


(18)

(19)

Latar Belakang

Secara global, konsumsi produk yang mengandung minyak sawit selama beberapa dekade terakhir terus mengalami peningkatan, setelah mengalami penurunan yang disebabkan oleh perang dunia dan resesi ekonomi. Sementara kebanyakan para petani tanaman pangan dan sumber makanan terdapat di Afrika Barat dan Tengah, peningkatan permintaaan produksi sawit justru datang dari Eropa Barat. Saat ini kelapa sawit merupakan perdagangan minyak nabati terbesar di dunia, mencapai sekitar 40 persen dari total perdagangan minyak nabati dunia, sekitar dua kali lipat dari minyak kedelai yang berada pada posisi kedua. Sejak tahun 1990-an, permintaan Eropa Barat untuk produk minyak sawit telah mulai stabil, sementara permintaan dari India, Pakistan, Cina dan Timur Tengah meningkat tajam dan merupakan pasar baru, demikian juga pasar di Eropa Timur semakin meningkat (Gambar 1). Sebagai akibat orang-orang di negara-negara tersebut yang mengadopsi gaya hidup barat yang konsumtif. Pertumbuhan yang begitu tinggi di pasar minyak kelapa sawit menjadi pemicu utama ekspansi kelapa sawit di Asia Tenggara. Permintaan global untuk minyak sawit diperkirakan naik dua kali lipat pada tahun 2020 dengan tingkat kenaikan diperkirakan mendekati 4 persen per tahun, dibandingkan dua persen per tahun untuk minyak kedelai (Colchester 2007).

Gambar 1. Konsumen utama perdagangan minyak sawit dunia

Indonesia memproduksi sekitar 27,1 juta ton minyak sawit mentah setiap tahun. Sebesar 20 persen digunakan untuk bahan baku kosmetik dan sisanya diekspor ke China, India, dan Uni Eropa yang merupakan tiga pasar terbesar minyak sawit dunia. Sebagai gambaran laju pertumbuhan rata-rata volume ekspor CPO selama 2003 – 2014 sebesar 12,94 persen pertahun dengan peningkatan nilai ekspor rata-rata 25,76 persen per tahun. Ekspor komoditas sawit pada tahun 2013 mencapai 20,58 juta ton CPO dan lainnya senilai 15,84 miliar dolar US. Sampai September 20

26%

24% 10%

7% 3% 2%

28%


(20)

14 ekspor mencapai 15,96 juta ton CPO senilai 12,75 juta dolar US (Sawit Wacth 2015)

Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Perkebunan 2015 dalam Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Sawit 2013-2015 (Direktorat Jendral Perkebunan 2014) sumbangan ekspor perkebunan kelapa sawit terhadap peningkatan pendapatan dan devisa negara pada tahun 2013 mencapai US$ 29,476 milyar atau setara dengan Rp. 353,713 triliun (dengan asumsi 1 US$ = Rp 12.000). Peningkatan luas areal kelapa sawit di Indonesia cenderung meningkat pesat selama tahun 2000-2011. Perkebunan Besar Swasta (PBS) mendominasi luas areal kelapa sawit, diikuti oleh Perkebunan Rakyat (PR) dan Perkebunan Besar Negara (PBN). Seiring dengan perkembangan luas arealnya, produksi kelapa sawit dalam wujud minyak sawit (CPO) juga cenderung meningkat selama tahun 2000-2011. Jika tahun 2000 produksi minyak sawit Indonesia hanya sebesar 7 juta ton, maka tahun 2011 meningkat menjadi 22,51 juta ton.

Peningkatan produksi minyak sawit terutama terjadi pada PBS dan PR, sedangkan minyak sawit yang diproduksi oleh PBN relatif konstan, bahkan cenderung menurun. Untuk tahun 2011 produksi minyak sawit dari PBS mencapai 11,94 juta ton (53,06 persen), sedangkan PR dan PBS masing-masing menghasilkan minyak sawit sebesar 8,63 juta ton (38,33 persen) dan 1,94 juta ton atau 8,61 persen (Pusdatin Deptan 2013).

Tahun 2015 luas perkebunan kelapa sawit (Gambar 2) masih didominasi oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS) sebesar 51 persen, Perkebunan Rakyat (PR) sebesar 42 persen dan Perkebunan Besar Nasional (PBN) 7 persen. Hingga tahun 2015 luas perkebunan kelapa sawit di indonesia sudah mencapai 11,4 juta hektar dengan produksi 31 juta ton pertahun (Direktorat Jendral Perkebunan 2015).

Gambar 2. Luas Areal Kelapa Sawit berdasarkan kepemilikan (Dirjen Perkebunan, 2014)

Sumbangan kelapa sawit tercatat 14 persen dari ekspor hasil turunan kelapa sawit berupa CPO telah menambah pendapatan domestik Indonesia. Melihat besarnya pengaruh tersebut berdampak langsung terhadap masifnya ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia (Sawit Wacth 2014). Sektor minyak sawit di Indonesia juga diperkirakan memperkerjakan 0,4 orang per hektar yang artinya 8 juta hektar perkebunan sawit yang berdiri pada tahun 2011 menyediakan lapangan pekerjaan langsung hingga sekitar 3,2 juta orang. Potensi penyediaan lapangan pekerjaan ini dipandang penting bagi pengurangan kemiskinan di Indonesia yang


(21)

memiliki sekitar 30 juta orang (atau 15 persen dari total populasi) hidup dibawah garis kemiskinan (Obidzinski 2013).

Perumusan Masalah

Hutan merupakan sumber daya alam yang dapat memberikan manfaat berlipat ganda, baik manfaat secara langsung maupun manfaat secara tidak langsung. Manfaat hutan secara langsung adalah sebagai sumber berbagai macam barang, seperti kayu, getah, kulit kayu, daun, akar, buah, bunga, dan lain-lain yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh manusia atau menjadi bahan baku berbagai industri yang hasilnya dapat digunakan untuk memenuhi hampir semua kebutuhan manusia. Manfaat hutan yang tidak langsung meliputi; (a) Gudang keanekaragaman hayati yang terbesar didunia meliputi flora dan fauna, (b) Bank lingkungan regional dan global yang tidak ternilai baik sebagai pengatur iklim, penyerap CO2 serta penghasil oksigen, (c) Fungsi hidrology yang sangat penting artinya bagi kehidupan manusia di sekitar hutan dan plasma nuftah yang dikandungnya, (d) Sumber bahan obat-obatan, (e) Ekotourisme, (d) Bank genetik yang hampir tidak terbatas, dan lain-lain (Jayapercunda 2002)

Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan alam sebagai penopang pembangunan ekonomi nasional, dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi sistem yang dominan dalam memanfaatkan hasil hutan. Dalam pelaksanaanya, HPH telah mendahului sebagai penyebab degradasi hutan alam. Degradasi ini semakin besar ketika pada tahun 1990 pemerintah mengundang investor swasta untuk melakukan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan sejumlah insentif. Ditambah lagi tingginya laju penanaman kelapa sawit yang dilakukan oleh perkebunan dengan mengkonversi hutan alam (Kartodihardjo 2000).

Pelepasan kawasan hutan adalah izin yang diberikan pemerintah untuk mengkonversi hutan atau mengubah status kawasan hutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk keperluan usaha pertanian, seperti bidang tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Kawasan hutan yang dapat dilepaskan menjadi tanah usaha pertanian adalah kawasan hutan yang berdasarkan kemampuan tanahnya cocok untuk usaha pertanian dan menurut tata guna hutan tidak dipertahankan sebagai kawasan hutan tetap atau kawasan untuk keperluan lainnya (Purnomo 2011).

Salah satu bentuk ancaman terbaru terhadap hutan Indonesia adalah maraknya pembukaan perkebunan kelapa sawit baru. Indonesia saat ini menduduki peringkat teratas berdasarkan kuantitas perluasan perkebunan dan laju penanaman kelapa sawit. Peringkat ini telah mendudukan Indonesia sebagai produsen sawit nomor satu didunia diikuti oleh Malaysia. Sentra utama kelapa sawit Indonesia (dalam wujud minyak sawit) pada tahun 2011 terdapat di 5 (lima) Propinsi, yaitu Riau, Sumatra Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Jambi. Riau berada di peringkat pertama dengan kontribusi sebesar 28,96 persen terhadap total produksi minyak sawit nasional, sedangkan propinsi lain memberikan kontribusi kurang dari 15 persen (Pusdatin Deptan 2013).

Laju perluasan perkebunan kelapa sawit diantaranya dengan jalan mengalihfungsikan kawasan hutan, kebun-kebun rakyat, dan lahan pertanian. Hal ini dipicu setidaknya oleh dua hal yaitu pertama, desain kebijakan pemerintah


(22)

Indonesia yang melapangkan infrastruktur bagi sektor perkebunan skala raksasa dengan kemudahan memperoleh perizinan dan upah buruh murah, dan kedua, tingginya permintaan atas minyak sawit terutama minyak sawit dunia. Dalam perkiraan tahun 2050 mendatang, tingkat konsumsi minyak sawit dunia mencapai 90-250 juta ton (Sawit Wacth 2015)

Permintaan lahan untuk ekspansi perkebunan sawit di Provinsi Riau terus meningkat sehingga telah memicu tingginya angka konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit, bahkan banyak kasus konversi lahan dilakukan secara illegal seperti yang terjadi pada kawasan lindung dan konservasi. Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) adalah salah satu Taman Nasional di Provinsi Riau tepatnya di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu yang tidak luput dari aktivitas konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit yang dilakukan secara illegal. Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) ditetapkan berdasarkan SK Menhut No.255/Menhut-II/2004 pada 19 Juli 2004 sebagai Taman Nasional melalui perubahan fungsi dari Hutan Produksi Terbatas seluas 38.576 ha. kemudian berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: SK 663/Menhut-II/2009 tanggal 15 Oktober 2009 bertambah seluas 44.492 hektar. Penetapan ini dilatarbelakangi karena kawasan tersebut memiliki nilai konservasi yang sangat tinggi. Terdapat 360 jenis flora yang tergolong dalam 165 marga dan 57 suku, 107 jenis burung, 23 jenis mamalia, tiga jenis primata, 50 jenisikan, 15 jenis reptilia dan 18 jenis amfibia di setiap hektar Taman Nasional Tesso Nilo. Taman Nasional Tesso Nilo juga adalah salah satu sisa hutan dataran rendah yang menjadi tempat tinggal 60-80 ekor gajah dan habitat harimau Sumatera.

Dalam sistem penghidupan suatu masyarakat, akses, asset dan aktivitas menjadi hal yang sangat krusial sebagai kesatuan yang membentuk sistem penghidupan (Ellis 2000). Perubahan-perubahan penetapan kawasan Tesso Nilo sepanjang empat puluh tahun terakhir ini telah mengubah akses terhadap sumber daya alam yang selama ini menopang kehidupan masyarakat sekitar kawasan, yang berimplikasi pada perubahan aktivitas nafkah yang dilakukan oleh masyarakat yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga. Berdasarkan hasil analisis dari BTNTN (2013) diketahui bahwa beberapa permasalahan yang terjadi di sekitar kawasan adalah sebagai berikut;

1. Kemantapan kawasan rendah

Kemantapan kawasan berkaitan dengan aspek legal kemantapan kawasan TNTN dan pengakuan masyarakat secara aktual dilapangan. Kemantapan kawasan rendah disebabkan belum adanya penetapan batas kawasan TNTN akibat belum selesainya proses tata batas kawasan, belum adanya pembagian zona pengelolaan dan lemahnya kesadaran masyarakat terhadap keberadaan TNTN.

2. Pemekaran desa baru di sekitar TNTN

Pemekaran Desa Bagan Limau menjadi Desa melalui Peraturan Daerah Kabupaten Pelalawan Nomor 11 tahun 2007 menjadi masalah baru bagi pengelolaan TNTN karena lebih kurang 95 persen wilayahnya berada di dalam kawasan TNTN

3. Lemahnya koordinasi para pihak

Lemahnya koordinasi para pihak karena belum ada wadah dan mekanisme koordinasi yang disepakati antara TNTN dan para pihak.


(23)

Sebagai taman nasional yang baru ditetapkan pada 2004 dan memiliki unit pengelolaan pada tahun 2007 ketersediaan data base dan informasi penting tentang potensi dalam kawasan masih sangat minim untuk kepentingan pengelolaan.

5. Rendahnya ekonomi masyarakat sekitar TNTN

Desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNTN umumnya adalah masyarakat petani yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian/perkebunan serta hasil hutan. Degradasi hutan yang terjadi pada kawasan yang berdekatan dengan desa-desa tersebut mengindikasikan interaksi yang kuat antara masyarakat dengan hutan yang didorong oleh rendahnya perekonomian

6. Pembalakan liar

Akses ke dalam kawasan yang sangat terbuka memicu pembalakan liar mudah terjadi di dalamnya. Pembalakan yang dilakukan bukan merupakan tujuan akhir, karena tujuan utamanya adalah untuk membuka lahan perkebunan sawit. Pembalakan muncul akibat tingginya permintaan kayu, rendahnya pengawasan dan penegakan hukum dan kemiskinan masyarakat sekitar kawasan.

7. Perambahan dan pemukiman dalam kawasan

Ketergantungan masyarakat terhadap kawasan dibuktikan dengan terjadinya perambahan untuk tempat bermukim dan berusaha. Perambahan menunjukkan trend peningkatan dari tahun ke tahun yang disebabkan karena tidak adanya kontrol terhadap keluar masuknya penduduk suatu desa.

8. Kebakaran hutan

Kebakaran yang terjadi seringkali merupakan akibat dari kegiatan pembukaan lahan dengan cara dibakar. Kebakaran hutan dapat berakibat berkurangnya biodiversitas dalam kawasan dan mengganggu kehidupan satwa liar dalam kawasan.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit yang telah memasuki kawasan TNTN merupakan potensi besar terjadinya perubahan peruntukan lahan dan sumberdaya yang akan berdampak secara langsung terhadap perubahan bentang alam (landscape change). Berbagai permasalahan yang kemudian muncul adalah keberlangsungan atau kelestarian fungsi kawasan tersebut sebagai perlindungan keanekaragaman hayati dan perlindungan satwa langka seperti gajah dan harimau sumatera. Hilangnya tutupan hutan juga berdampak terhadap masyarakat dalam banyak aspek kehidupan seperti kebakaran hutan, banjir, kekeringan dan hilangnya sumber penghidupan masyarakat lokal. Hutan yang semula legal sebagai sumber penghidupan berubah menjadi illegal sehingga pemanfaatan hasil hutan menjadi terbatas yang pada akhirnya mempengaruhi sistem penghidupan masyarakat setempat.

Persoalan lain adalah pembiaran munculnya pemukiman baru oleh pemerintah daerah dalam kawasan TNTN semakin mengancam keberlangsungan TNTN. Ini diperparah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum oleh instansi terkait baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Perlindungan terhadap lahan yang belum terjamah budidaya perkebunan, termasuk kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, lahan pertanian rakyat perlu dilakukan sehingga tidak


(24)

dengan mudah menjadi perkebunan kelapa sawit. Jika tidak dikelola dengan baik, perluasan perkebunan kelapa sawit akan terus merusak hutan yang semestinya dilindungi. Secara global perubahan tersebut akan dapat menimbulkan perubahan struktur perekonomian secara lokal dan regional.

Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan pertanyaan atas penelitian ini adalah;

1. Bagaimanakah perubahan lanskap ekologi Taman Nasional Tesso Nilo akibat ekspansi kelapa sawit?

2. Bagaimanakah sistem nafkah masyarakat lokal akibat ekspansi kelapa sawit di Lanskap Taman Nasional Tesso Nilo?

3. Bagaimanakah perubahan sosial masyarakat lokal akibat ekspansi kelapa sawit di lanskap Taman Nasional Tesso Nilo?

Tujuan

1. Mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan disekitar lanskap Taman Nasional Tesso Nilo akibat ekspansi kelapa sawit.

2. Menganalisis struktur nafkah masyarakat lokal sekitar lanskap Taman Nasional Tesso Nilo akibat ekspansi kelapa sawit.

3. Menganalisis perubahan sosial masyarakat lokal akibat ekspansi kelapa sawit disekitar lanskap Taman Nasional Tesso Nilo.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah memberikan informasi kepada para pengambil kebijakan mengenai kondisi perubahan lanskap sekitar Taman Nasional Tesso Nilo serta memberikan gambaran mengenai sistem penghidupan masyarakat lokal akibat terjadinya perubahan ekologi pada Lanskap TNTN. Diharapkan hasil penelitian ini bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam upaya penetapan kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan ruang di kawasan konservasi secara berkelanjutan serta mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan masyarakat lokal.

Ruang Lingkup Penelitian

Ekspansi kelapa sawit telah menimbulkan berbagai dampak seperti terjadinya perubahan bentang alam, relokasi tanah dan sumber daya alam, perubahan ekonomi dan perubahan sosial. Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan disekitar lanskap Taman Nasional Tesso Nilo dengan menggunakan metode studi literatur, peta dan wawancara dengan informan kunci. Perubahan lanskap ini juga berpengaruh terhadap sistem sosial ekonomi kehidupan masyarakat. Perubahan secara ekonomi akan dinilai berdasarkan struktur nafkah dan status kesejahteraan. untuk menganalisis perubahan sistem sosial masyarakat dilihat berdasarkan modal nafkah yang dimiliki oleh masyarakat (Gambar 3).


(25)

Gambar 3. Kerangka Konseptual Penelitian

Manusia terus menerus mengubah lingkungan mereka supaya sesuai dengan tuntutan kebutuhan mereka (Aretano et al, 2013). Adanya pengaruh manusia terhadap alam, apabila pemanfaatan lahan tidak terkendali, dapat menyebabkan rusaknya lanskap. Faktor yang mendorong terjadinya penyimpangan karena perkembangan sosial budaya masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan ekonomi dan kelangkaan suatu sumberdaya alam di dalam suatu lanskap. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap bentuk lahan dan secara luas akan berpengaruh terhadap lanskap (Fandeli, 2009). Menurut Dharmawan et al (2014) perubahan lanskap yang terjadi akan memberikan dampak perubahan pada kawasan, rumah tangga dan masyarakat.

Penelitian ini melihat perubahan yang terjadi pada lanskap Taman Nasional Tesso Nilo yang didorong oleh ekspansi kelapa sawit ke dalam kawasan telah merubah ekologi lanskap yang semula merupakan kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit. Perubahan ini secara tidak langsung juga memberikan dampak bagi masyarakat lokal yang berada disekitar kawasan. Sehingga dalam penelitian ini juga akan dilihat bagaimana perubahan yang terjadi dalam rumah tangga dan dalam kehidupan bermasyarakat (Gambar 4).

Perubahan lanskap Ekologi

(Perubahan peruntukan kawasan)

Ekonomi (Analisis Struktur

Nafkah) Sosial

(Analisis Modal Nafkah)


(26)

(27)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Perubahan lanskap akibat perkembangan industri kelapa sawit

Sebuah lanskap sebagai interaksi antara tindakan manusia, ekosistem dan faktor abiotik yang membentuk lingkungan fisik. Istilah lanskap merupakan skala penting dalam sistem ekologi sosial yang mencakup isu-isu global seperti jumlah orang di planet ini, gaya hidup yang mereka cita-citakan dan keterbatasan dalam penggunaan sumber daya. Skala lanskap adalah titik pertemuan untuk pendekatan bottom up yang dimulai dari aspirasi lokal dan top down pembatasan penggunaan sumber daya lokal, dalam pandangan (negatif) efek eksternal dari perubahan penggunaan lahan lokal seperti hilangnya fungsi DAS, keanekaragaman hayati dan kontribusi terhadap perubahan iklim (Noorwijk 2013)

Fandeli (2009) menyatakan bahwa Humbolt (2000) memberikan defenisi lanskap pada awal abad ke Sembilan belas, yaitu seluruh kenampakan dari region bumi. Sementara menurut Troll (1970) lanskap adalah keseluruhan ruang dan kenampakan dari suatu lingkungan dimana manusia itu tinggal, yang padanya terjadi keterpaduan antara komponen fisik bumi (geosphere) dan komponen mahluk hidup dan pengaruh kehidupan manusia yang berupa artefak.

Berikut beberapa defenisi lanskap menurut Zonneveld dan Foreman (1990) dikutip Fandeli (2009);

1. Lanskap, selalu terdiri atas hasil dari proses alam dan buatan manusia dalam jangka waktu tertentu, saat ini dan pada waktu yang lalu.

2. Lanskap selalu berubah dari waktu ke waktu. Tetapi perubahannya tidak dalam tingkat yang sama, ada yang secara gradual tetapi ada perubahan yang tiba-tiba karena suatu bencana.

3. Laskap merupakan sistem terbuka. Sistem ini sangat dipengaruhi oleh sistem-sistem eksternal.

4. Lanskap sangat beragam dalam susunan horizontal dan vertikal. Dalam aspek vertikal dapat ditemukan pada lapisan atmosfer, tegakan hutan dan lapisan tanah. Sementara pada susunan horizontal dapat ditemukan batas-batas bentuk tanah (land form), unit tanah (land unit), dan penggunaan lahan (land use).

Lindermayer (2010) mengatakan bahwa beberapa jenis perubahan lanskap dapat memberikan pengaruh yang signifikan pada beberapa hutan tropis dan subtropis dimana dapat mendukung biota aslinya, beberapa perubahan itu adalah; (1) penebangan hutan untuk produksi kayu dan atau kayu pulp dengan melakukan regenerasi hutan setelah penebangan, (2) kebakaran dengan regenerasi hutan setelah bencana, (3) pembukaan hutan untuk perubahan penggunaan seperti lahan pertanian atau perkebunan atau urbanisasi.

Fandeli (2009) menyatakan bahwa diberbagai unit lahan secara alami terjadi bentuk alam yang serasi. Keserasian ini membentuk keindahan. Keserasian dengan alam, juga menghadirkan beberapa fungsi alam yang optimal. Unit lahan tertentu dengan bentuk lahan yang alami pada umumnya memiliki fungsi yang beranekaragam. Para ahli yang berbeda akan memberikan pengertian yang berbeda pula. Hanya masyarakat yang berada atau tinggal diunit lahan tertentu, akan memberikan pengertian fungsi lahan sesuai kebutuhannya. Semakin tinggi pengetahuan dan pemahaman tentang lanskap semakin tinggi dan beraneka ragam fungsi atau manfaat lahan. Oleh karena terbatasnya pemahaman akan fungsi suatu


(28)

lanskap, maka manusia seringkali memanfaatkan yang menyimpang atau bahkan mengancam keharmonisan dengan alamnya. Faktor yang mendorong terjadinya penyimpangan ini karena perkembangan sosial budaya masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan ekonomi dan kelangkaan suatu sumberdaya alam di dalam suatu lanskap. Akibat dari faktor tersebut timbul ketidakharmonisan yang terjadi di dalam atau antar unit lahan. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap bentuk lahan dan secara luas akan berpengaruh terhadap lanskap. Adanya pengaruh manusia terhadap alam, apabila pemanfaatan lahan tidak terkendali, dapat menyebabkan rusaknya lanskap.

Dalam waktu kurang dari 100 tahun kelapa sawit telah berkembang dari tanaman subsistem yang relatif kecil di Afrika Barat dan Afrika Tengah menjadi salah satu komunitas utama dunia pertanian. Sementara kelapa sawit di Afrika telah dibudidayakan selama berabad-abad dengan budidaya dan kliring selektif (Zeven 1972), baru-baru ini berkembang secara dramatis di Asia Tenggara (Wicke et al. 2011), dan semakin berkembang di Afrika dan Amerika Latin. Ekspansi ini didorong oleh produsen untuk mengantisipasi tingginya peningkatan permintaan konsumen (Corley 2009) dengan permintaan terbanyak datang dari India dan China . Bagi produsen kelapa sawit ini merupakan sumber pendapatan tercepat yang dibutuhkan oleh negara-negara berkembang, dan merupakan anugerah ekonomi untuk ribuan orang di daerah pedesaan tropis, meskipun manfaat ekonomi yang diperoleh tidak merata (Rist et al. 2010)

Sebagai kontributor utama bagi ekonomi beberapa negara berkembang, perluasan perkebunan kelapa sawit saat ini merupakan prioritas pemerintah hampir di seluruh daerah baik tropis basah maupun termasuk beberapa negara termiskin dunia. Ekspansi kelapa sawit sebagian besar terjadi di daerah yang kaya keanekaragaman hayati seperti hutan hujan tropis (Carlson et al. 2012). Hal ini juga sering dilakukan oleh perusahaan besar, beberapa di antaranya membayar dengan nilai sangat sedikit dengan tanpa mengindahkan hak masyarakat lokal (Barr dan Sayer 2012) Hal ini akibatnya menjadi pertentangan terbaru antara aktivis lingkungan di satu sisi dan pengembang pada sisi lain. Klaim dan kontra klaim, sering kurang didukung, telah mengeruhkan suasana dan opsi terpolarisasi (Koh et al. 2010). Kenyataannya adalah, seperti biasa kompleks, dan kontroversi kelapa sawit memiliki unsur-unsur "probem jahat" itu

Pembangunan ekonomi melalui ekspansi kelapa sawit menyebabkan terjadinya perubahan pada ekologi lanskap. Hal ini terjadi karena pembangunan perkebunan kelapa sawit biasanya dilakukan pada kawasan hutan hujan tropis yang memiliki kekayaan biodiversitas (Sayer et al. 2012). Lebih lanjut Sallu et al (2010) menyatakan bahwa ekspansi kelapa sawit menimbulkan tekanan pada perubahan hutan dan tata guna lahan, sehingga terjadi peningkatan akses yang mempertinggi tingkat pelanggaran, munculnya kampung kampung baru dan timbulnya konflik. Menurut Sayer et al (2012) terdapat empat fakta mengenai indutri minyak kelapa sawit yaitu;

1. Permintaan kelapa sawit akan terus meningkat sebagai respon atas pertumbuhan populasi global serta peningkatan pendapatan. Implikasinya adalah daerah dengan produksi kelapa sawit akan terus berkembang meskipun agak dikurangi oleh peningkatan produktifitas. Peningkatan produksi per satuan luas merupakan topik penting dalam penelitian yang


(29)

akan meningkatkan keuntungan produsen ditengah perdebatan lahan yang harus dikonservasi.

2. Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman yang paling menguntungkan bila diusahakan pada daerah tropis yang lembab. Keuntungan ini mendasari keinginan masyarakat lokal untuk menanamnya, perusahaan ingin berinvestasi didalamnya, dan negara-negara akan mempromosikannya. Tingginya profitabilitas kelapa sawit ini menunjukkan perlindungan hutan untuk konservasi keanekaragaman hayati serta penyimpanan stok karbon akan memiliki opportunity cost yang tinggi.

3. Perkebunan kelapa sawit lebih banyak menyimpan karbon daripada alternatif penggunaan lahan pertanian lainnya. Namun kita tidak mengklaim bahwa konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit tidak memiliki efek samping pada emisi karbon. Kita mengetahui bahwa emisi karbon yang besar terjadi selama fase pembentukan ketika kelapa sawit menggantikan hutan yang relatif tidak terganggu. Namun hal ini bila kita hanya berpendapat dalam hal emisi karbon saja, dan mengingat kebutuhan untuk memenuhi tuntutan masa depan, maka kelapa sawit adalah merupakan alternative terbaik untuk pertanian.

4. Keanekaragaman hayati asli dalam perkebunan kelapa sawit jauh lebih rendah dari hutan alami. sementara ini tampak sangat jelas, kelapa sawit sering dipasarkan oleh beberapa perusahaan sebagai "ramah lingkungan". Kebenaran mendasar, bagaimana pun, adalah bahwa keanekaragaman hayati secara drastis dikurangi setelah konversi habitat hutan hujan untuk setiap sistem pertanian komersial skala besar. seperti penyimpanan karbon, hilangnya keanekaragaman hayati akibat perluasan perkebunan kelapa sawit harus disajikan relatif terhadap yang berhubungan dengan tanaman alternatif untuk energi minyak (seperti kedelai, jagung, tebu)

Ekspansi terbaru dari industri kelapa sawit untuk memenuhi permintaan global untuk minyak nabati, didorong oleh meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan, dan yang lebih terbaru adalah pasar biofuel yang terus berberkembang. Trend ini adalah untuk mengatur keberlanjutan. Permintaan minyak nabati diharapkan menjadi sekitar 240 juta ton per tahun 2050, dua kali lipat dari nilai pada tahun 2009 (Corley 2009; Sayer et al. 2012.); kelapa sawit khususnya disukai karena biaya produksi yang rendah. Pada tahun 2011 produksi minyak sawit dunia adalah 50,2 juta ton, atau sekitar 28 persen dari total produksi minyak sayuran (Mielke 2012; Sayer et al. 2012).

Sebagian besar kepentingan dalam penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar nabati yang dihasilkan pada periode 2005-2006 ketika harga minyak mentah mineral melampaui harga minyak sawit mentah. Sejak itu minyak sawit secara konsisten diperdagangkan pada harga yang lebih tinggi dari minyak mineral mentah; Permintaan terbesar saat ini untuk biofuel didorong oleh kebijakan pemerintah daripada sinyal pasar (Sheil et al. 2009: Mielke 2012) yang mungkin berpengaruh pada ketahanan pangan menggunakan jumlah yang signifikan dari minyak sawit untuk biofuel sulit untuk memprediksi (Naylor et al. 2007: Sayer et al. 2012) Namun terlepas dari harga minyak mentah, permintaan minyak sawit kemungkinan akan terus tumbuh karena meningkatnya permintaan untuk minyak, sabun, kosmetik dan makanan olahan memasak. Sebagai populasi manusia bergerak ke kota-kota dan beralih ke diet makanan olahan permintaan untuk tanaman seperti


(30)

kelapa sawit dapat meningkatkan dengan mengorbankan karbohidrat pokok (Sayer et al. 2012)

Ekspansi perkebunan kelapa sawit pada kawasan konservasi

Di Indonesia, kriteria penetapan taman nasional diatur dan dikukuhkan dalam UU no 5 tahun 1990 tentang konservasi. Konsep konservasi sumberdaya alam pada dasarnya merupakan wujud dari adanya kesadaran mengenai pentingnya kelestarian fungsi lingkungan untuk kelangsungan hidupnya. Salah satu bentuk konservasi yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah penetapan suatu kawasan sebagai taman nasional. Menurut UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem ( KSDAHE), konservasi berarti, ”Konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya”. Terdapat 3 Pilar yang dapat dilakukan dengan untuk mewujudkan konservasi; yaitu (1) Perlindungan system penyangga kehidupan, (2) Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan (3) Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya ( Diantoro 2000)

Seperti halnya diberbagai negara lain, Indonesia mengadopsi konsep model taman nasional Yellowstone. Di Indonesia taman nasional juga dikelola dengan sistem zonasi (utamanya zona inti, zona rimba, dan zona pemanfaatan dimana fungsi pengawetan perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan di integrasikan dalam satu management kawasan (Adiwibowo et al. 2009). Sistem Taman Nasional memiliki keunggulan dari konsep lainnya, menurut Bratamihardja (1979) dikutip Adiwibowo et al (2009); 1. Taman Nasional dibentuk untuk kepentingan masyarakat, karenanya harus bermanfaat bagi masyarakat dan didukung oleh masyarakat, 2. Konsep pelestarian didasarkan kepada kepentingan ekosistem sehingga mampu menjamin unsur-unsur eksistensi pembentukannya, 3. Taman Nasional dapat dimasuki oleh pengunjung sehingga pendidikan cinta alam, kegiatan rekreasi dan fungsi-fungsi lainnya dapat dikembangkan secara lebih efektif . Oleh karena itu maka Taman Nasional memiliki fungsi yang sangat beragam dalam memenuhi kebutuhan manusia sehingga memiliki nilai yang sangat tinggi.

Penilaian peranan ekosistem termasuk kawasan konservasi bagi kesejahteraan manusia merupakan pekerjaan yang sangat kompleks, mencakup berbagai faktor yang berkaitan dengan nilai sosial politik. Nilai suatu kawasan konservasi sangat tergantung pada aturan-aturan manajemen yang berlaku. Dengan kata lain nilai tersebut ditentukan tidak hanya oleh faktor-faktor biologi atau ekonomi, tetapi juga oleh kelembagaan yang dibangun untuk mengelola sumberdaya kawasan konservasi tersebut (Munasinge dan McNee, 1994)

Penelitian dibanyak negara sepakat bahwa faktor yang menjadi penyebab kerusakan hutan diantaranya pertumbuhan populasi (Entwisle et al. 2006; Tahir et al. 2012), kebutuhan kayu bakar dan bahan bangunan (Hirsch 1987), konversi lahan hutan untuk pertanian (Scrieciu 2006; Lindstrom et al. 2012; Prasetyo et al. 2009; Casse et al. 2002), kemiskinan, kurangnya pilihan alternatif ekonomi, dan lemahnya penegakan hukum (Horowitz 1997), serta ketidakjelasan batas kawasan


(31)

(Widada 2008). Untuk kerusakan hutan di Indonesia, salah satu penyebabnya yakni populasi/ penduduk. Hal ini disebutkan dalam Mulyana (2010) bahwa masyarakat terlanjur menggantungkan hidup mereka dari kawasan tersebut karena semua itu bermula dari kebijakan konservasi di Indonesia pada dasarnya cenderung tidak melibatkan masyarakat. Keseimbangan pengelolaan dan pemanfaatan hutan membutuhkan konsep yang mendekati operasional agar sarana pokok pemanfaatan hutan senantiasa mengarah kepada terwujudnya optimalisasi fungsi ekologis serta fungsi sosial ekonomi hutan bagi masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan (Putiksari 2014)

Informasi lengkap mengenai sumberdaya fisik wilayah sangat diperlukan untuk dapat melaksanakan penyelenggaraan penataan ruang dengan baik. Evaluasi sumber daya fisik wilayah meliputi sumber daya alam seperti lahan, hutan, mineral, perairan, pesisir dan laut, potensi bencana alam, dan lain-lain. Evaluasi sumber daya wilayah akan sangat terkait dengan daya dukung dan sumber daya yang terkandung di dalam ruang (Rustiadi 2011). Konsep daya dukung menekankan kemampuan suatu daerah (wilayah) untuk mendukung jumlah maksimum populasi suatu spesies secara berkelanjutan pada suatu tingkat, kebutuhan sumber daya yang diperlukan. Dengan demikian kemampuan ini sangat tergantung pada kekayaan sumber daya yang dimiliki oleh suatu daerah dan tingkat kebutuhan sumber daya oleh suatu organisme, kemampuan daerah (wilayah) tersebut tidak pernah berkurang (Rustiadi 2010).

Penggunaan lahan merupakan hasil dari intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup baik materil maupun spiritual dan mengalami perubahan sejalan dengan meningkatnya jumlah dan aktivitas penduduk dalam menjalankan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya. Perubahan penggunaan lahan khususnya dari hutan ke non hutan misalnya, dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya, sehingga dapat menimbulkan dampak lingkungan yang serius seperti perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati, dan ketersediaan sumber daya air serta terjadinya erosi tanah (Bassyar 1999)

Sejak 1998, tahun perubahan politik besar-besaran di Indonesia sedikitnya setiap tahun 500-800 ribu hektar hutan, lahan gambut, dan lahan kelola masyarakat beralih fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Sawit Wacth mencatat terdapat 590 perizinan perkebunan atau sekitar 3 juta hektar lahan sawit yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Menurut Forest Wacth Indonesia, setidaknya 579,7 ribu hektar kawasan hutan dialihfungsikan untuk perkebunan sawit, yang paling luas terjadi di Kalimantan mencapai 195,2 ribu hektar. Mengacu Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) misalnya, hingga akhir 2012, terdapat 113 proyek ekspansi kebun kelapa sawit senilai Rp 62,995 triliun. Termasuk apa yang disebut proyek mega pangan dan energi di merauke atau disingkat MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate), yang memberi lisensi bagi sembilan perusahaan perkebunan sawit untuk mengarap 280 ribu hektar lahan yang sebagian besarnya merupakan kawasan hutan di selatan papua. Hingga 2013 luas konsesi perkebunan sawit di Indonesia sekitar 10 juta hektar dan 1,5 juta hektar darinya adalah tutupan hutan alam (Sawit Wacth 2015).


(32)

Perubahan sosial ekonomi masyarakat

Manusia terus menerus mengubah lingkungan mereka supaya sesuai dengan tuntutan kebutuhan mereka. Perubahan ini bahkan lebih penting dimana aliran dan jenis jasa ekosistem dibatasi dan dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi. Dalam penelitian di Mediterenia Kecil dilakukan evaluasi perubahan jasa ekosistem akibat landscape change selama tahun 1954-2007 di Pulau Vulcano (Italia Selatan) dimana transformasi tersebut berkaitan dengan persepsi masyarakat setempat. Diperkirakan bahwa total nilai ekonomi jasa ekosistem ditambahkan dengan penilaian objektif hasil survey dengan penduduk lokal untuk mengukur kekuatan dan pendorong jasa ekosistem. Hasilnya menunjukkan bahwa pertanian telah digantikan oleh pariwisata yang telah mempengaruhi perubahan lanskap (landscape change) dan peningkatan ekonomi penduduk setempat (Aretano et al. 2013).

Perkembangan ekonomi berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat yang diwilayahnya terjadi kasus alih fungsi lahan. Akibatnya strategi masyarakat sekitar beragam. Wijayanto (2009) menjelaskan bahwa strategi nafkah suatu rumah tangga dibangun dengan mengkombinasikan asset-aset modal yang dimiliki, yaitu; modal alami, modal fisik, modal keuangan, modal sumber daya manusia, dan modal sosial. Lebih lanjut Ellis (2000) menjelaskan pengertian kelima asset tersebut yang biasa disebut livelihoods asset; (1) Modal Sumber Daya Alam (Natural Capital). Modal ini juga bisa disebut sebagai modal lingkungan yang merupakan gabungan dari berbagai faktor biotik dan abiotik disekeliling manusia. Modal ini dapat berupa sumberdaya yang bisa diperbaharui maupun sumberdaya yang tidak bisa diperbaharui. Contoh dari modal sumberdaya alam adalah air, pepohonan, tanah, stok kayu dari kebun atau hutan, stok ikan diperairan, maupun sumberdaya mineral seperti minyak, emas, batubara dan lain sebagainya, (2) Modal Fisik (Physical Capital) Modal fisik merupakan modal berbentuk infrastruktur dasar seperti saluran irigasi, jalan, gedung dan lain sebagainya. (3) Modal fisik (Physical Capital) Modal fisik merupakan modal yang berbentuk infrastruktur dasar seperti saluran irigasi, jalan, gedung, dan lain sebagainya (3). Modal Manusia ( Human Capital ) Modal ini merupakan modal utama apalagi pada masyarakat yang dikategorikan miskin. Modal ini berupa tenaga kerja yang tersedia dalam rumahtangga yang dipengaruhi oleh pendidikan, keterampilan dan kesehatan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. (4) Modal Keuangan (Financial Capital and substitute) Modal ini berupa uang yang digunakan oleh suatu rumah tangga. Modal ini dapat berupa uang tunai, tabungan atau akses terhadap pinjaman. (5) Modal sosial (Social Capital) Modal ini merupakan gabungan komunitas yang dapat memberikan keuntungan bagi individu atau rumah tangga yang tergabung didalamnya. Contoh modal sosial adalah jaringan kerja horizontal untuk bekerja sama dan memberikan bantuan untuk memperluas akses terhadap kegiatan ekonomi.

Komponen sosial ekonomi dapat dikelompokkan menjadi pendapatan dan penguatan komunitas lokal, kelembagaan dan institusi, pendidikan, kesehatan, budidaya, akses dan informasi dan demografi (Purnomo 2003). Lebih lanjut Hasyim (2010) menyatakan bahwa keberlanjutan sosial ekonomi masyarakat sangat dipengaruhi oleh daya dukung lingkungan, sumber daya alam, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, sumberdaya finansial dan sosial budaya. Parameter diantara dimensi ekonomi biasanya modal, dana, jalan dan bangunan.


(33)

Kerentanan seseorang merupakan peluang seseorang dengan apa yang dimilikinya sekarang untuk menjadi miskin dimasa yang akan datang, yaitu peluang untuk menjadi miskin kelak jika sekarang tidak miskin, atau peluang untuk tetap miskin jika sekarang sudah miskin. Kerentanan diartikan terpisah dari status kemiskinan atau kesejahteraan yang disandangnya. Namun kerentanan dan kemiskinan sangat erat kaitannya. Kemiskinan berkaitan dengan ex post realisasi variabel stochastic vocal (seperti kesejahteraan) dengan respon kepada sosial yang disebut ambang batas (garis kemiskinan), sedangkan kemiskinan adalah ex ante harapan bahwa variabel vocal relatif terhadap ambang ini (Cristianensen dan Subbarao 2004).

Lebih lanjut Chambers (1983) menyatakan bahwa orang miskin tidak hanya masalah rendahnya tingkat pendapatan atau konsumsinya, tetapi cenderung untuk mengalami penurunan yang lebih parah lagi dari kondisi sekarang pada masa yang akan datang. Kerentanan adalah kondisi tidak sejahtera seseorang atau rumah tangga atau masyarakat saat menghadapi perubahan lingkungan, hal ini bisa dirumuskan sebagai akibat dari tiga proses yaitu kapasitas adaptif, terpapar resiko dan sensitivitas. Sehingga mengukur kerentanan tidak hanya dengan mengukur penghasilan dan konsumsinya saat ini namun juga mengukur asset mereka dan perubahannya sepanjang waktu dalam upaya memperoleh pemahaman mendalam tentang kemiskinan. Masih menurut Chambers (1995) menyatakan bahwa mengukur kemiskinan tidak selalu mengenai dominasi income porverty, orang miskin bersifat lokal, komplek, beragam, dan dinamis. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah inferioritas, pengasingan, kerentanan, perampasan, ketidakberdayaan dan penghinaan.

Ketahanan (Resilience) semakin menjadi penting dalam konsep ilmu sosial yang berorientasi analisis penelitian lingkungan dan interaksi manusia-alam di sistem sosial ekologi (SES) dan mengeksplorasi bagaimana menangani dengan baik perubahan iklim, ekonomi atau sosial. Meskipun banyak tulisan tentang ekosistem dan ekologi sosial resilience (Holling, 1973; Carpenter et al. 2001; Folke et al. 2002; Berkess et al. 2003; Speranza et al. 2014), beberapa studi tentang resilence dilihat dari perspektif mata pencaharian (seperti Marschke dan Berkes 2006; Sallu et al. 2010; Obrist et al. 2010), melakukannya dari pandangan yang berbeda beda. Melihat berapa banyak praktek mata pencaharian dalam mempertahankan atau meningkatkan kapasitas pelaku (lembaga) untuk mempengaruhi struktur sosial dan proses (struktur) dan memelihara actor's livelihoods, khususnya selama periode krisis, perlu dibuat lebih dioperasikan dengan mengintegrasikan perspektif ini (Speranza et al. 2014)

Menghubungkan mata pencaharian merupakan pendekatan untuk memahami resiliensi tentang perubahan mata pencaharian, bagaimana rumah tangga mempertahankan dan meningkatkan mata pencaharian mereka dalam menghadapi perubahan, termasuk stres dan syok (Marschke dan Berkes 2006; Speranza et al. 2014). Setelah Obrist et al (2010) maka Speranza (2014) khusus mempertimbangkan ketahanan yang berarti-pada saat-meningkatkan kemampuan yang sama (lembaga) untuk merespon kondisi eksternal yang merugikan dan mengembangkan tindakan kolektif yang bertujuan untuk mengubah bagian dari struktur sosial eksternal yang membatasi ketahanan dengan lembaga. Nilai tambah lainnya adalah bahwa ketahanan dapat digunakan untuk kemampuan karakteristik sistem mata pencaharian untuk menghadapi perubahan dan pulih dari kerugian.


(34)

Marschke dan Berkes (2006) mengidentifikasi strategi ketahanan lembaga dengan menggunakan pandangan lokal untuk kesejahteraan sebagai pengganti dari resilience. Sallu et al (2010) menggunakan strategi mata pencaharian dan analisis komponen utama untuk menentukan bagaimana rumah tangga berpikir tentang waktu. Menimbang bahwa mata pencaharian memiliki berbagai dimensi pada tingkat individu dalam bentuk kapasitas (asset penghidupan dan strategis) dan di tingkat struktural dalam bentuk mengubah struktur dan proses dalam konteks kerentanan (Vulnerability), dimensi ini perlu dipertimbangkan ketika konseptual dan empiris mengintegrasikan mata pencaharian dan ketahanan.

Noorwijk (2013) mengidentifikasi hubungan lokal dan nasional dengan lima modal sistem penghidupan yang berkelanjutan dimana pendekatan ini bergerak melampaui definisi murni keuangan sebagai mata pencaharian (Gambar 5). Perubahan asimetris berlaku, khususnya, untuk modal alam dan sosial, yang dapat dengan cepat dihancurkan namun yang membutuhkan waktu lama untuk membangun kembali. Dalam konteks ini, mengidentifikasi lima dimensi dominan kemiskinan di pedesaan terkait dengan lima modal sistem kehidupan: 1. Kurangnya akses ke, dan penggunaan, hak atas tanah (modal sosial dan alam) 2. Kurangnya akses ke air bersih dan agrobiodiversitas lokal, sehingga, misalnya, dalam kesehatan yang buruk (modal alam dan manusia, dimodifikasi oleh modal fisik dan sosial) 3. Kurangnya dana investasi untuk pembangunan (keuangan dan modal alam, berinteraksi dengan modal sosial dan manusia 4. Kurangnya peluang pendapatan (modal manusia dan keuangan); dan 5. Kurangnya (politik) suara: menerima menyalahkan kerusakan lingkungan (sosial dan modal alam).

Gambar 5. Interaksi antara livelihoods Assets dengan Jasa Lingkungan (Noorwijk 2013)

Analisis versi lokal dari lima modal dan interaksi masyarakat juga harus diperhatikan dalam konteks yang lebih luas dan memperhitungkan modal di tingkat nasional. Lima kendala utama bagi masyarakat lokal untuk penggunaan lahan ditingkat nasional adalah:


(35)

1. Penciptaan, dan akses ke pengetahuan melalui penerapan penelitian dan penyuluhan secara responsif.

2. kebijakan klasifikasi hutan dan aturan akses lahan.

3. Pembangunan ekonomi secara keseluruhan dan penciptaan lapangan pekerjaan (perkotaan atau pedesaan) di sektor produksi pertanian.

4. Kebijakan harga, subsidi dan regulasi akses pasar

5. pembangunan infrastruktur daerah untuk transportasi, ketersediaan air bersih, pasokan energi dan penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan


(36)

3 METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Desember 2015, bertempat di Taman Nasional Teso Nilo yang terletak di Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau (Gambar 6). Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan melihat laju deforestasi di Hutan Taman Nasional Teso Nilo yang demikian tinggi telah menimbulkan konflik sosial ekonomi dan ekologi dalam kawasan sekitar TNTN. Kondisi yang demikian memberikan dampak yang sangat luas terhadap masyarakat sekitar kawasan. Penelitian ini akan dilakukan di dua desa yaitu, Desa Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Hitam yang terletak di Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Riau. Dipilihnya kedua desa ini dengan pertimbangan bahwa kedua desa ini merupakan desa penyangga yang berbatasan langsung dengan lanskap TNTN serta merupakan desa asli dimana mayoritas penduduknya merupakan Suku Melayu Riau.


(37)

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi langsung di lapangan melalui wawancara dengan instrument kuisioner kepada responden yang merupakan penduduk di wilayah studi. Jenis data primer yang dibutuhkan berupa data kepemilikan lahan atau luas lahan yang dimiliki, data pendapatan, serta data tentang input sumberdaya yang dimiliki baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam.

Data sekunder merupakan data dari instansi yang terkait dalam penelitian ini, antara lain Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pelalawan, Dinas Tanaman pangan dan Holtikultura Kabupaten Pelalawan, Pemerintah Daerah Pelalawan, Badan Pusat Statistik, Balai Taman Nasional Tesso Nilo, Lembaga Swadaya Masyarakat serta instansi lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini, data sekunder juga diperoleh melalui studi pustaka dan literatur serta sumber data lainnya. Untuk melengkapi data yang telah diambil juga dilakukan Focus Grup Discussion (FGD) di BTNTN dan di Desa Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Hitam.

Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode pengambilan sampel yang dilakukan secara sengaja (purposive sampling) yaitu pengambilan sampel yang dilakukan dengan beberapa pertimbangan dan tujuan tertentu. Pertimbangan tersebut diambil berdasarkan tujuan penelitian dengan memperhatikan kondisi daerah, keberadaan responden dan keterwakilan sampel yang ada dilokasi penelitian (Singarimbun 1986).

Penentuan populasi dilakukan berdasarkan kelompok masyarakat yang berbatasan langsung dengan TNTN yaitu Desa Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Hitam. Responden adalah masyarakat lokal, yang disebut masyarakat lokal disini adalah masyarakat Desa Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Hitam yang berasal dari Suku Melayu Riau yang merupakan penduduk asli wilayah ini. Kedua desa ini termasuk desa tua atau asli dimana mayoritas penduduknya merupakan Suku Melayu Riau

Pendataan responden dimulai dari data desa, yang memperlihatkan homogenitas wilayah studi, dan berdasarkan daftar kepala keluarga (KK) maka dilakukan pengambilan sampel menggunakan informan kunci (key informant), yaitu Kecamatan, Kepala Desa, Kepala Dusun, serta pengelola atau tokoh masyarakat yang mengetahui langsung tentang sejarah pengelolaan TNTN. Jumlah responden yang dipilih dari masing-masing desa adalah sebanyak 30 orang yang merupakan penduduk asli yang ada didua desa baik yang tinggal didalam kawasan maupun yang tinggal diluar kawasan TNTN. Kepala desa 2 orang, tokoh masyarakat masing-masing desa 2 orang, Lembaga Swadaya Masyarakat yaitu WWF Riau, Yayasan Tesso Nilo, Perkumpulan Elang dan Greenpeace masing-masing 1 orang serta kepala BTNTN.


(38)

Defenisi Konseptual

1. Lanskap adalah bentangan atau penampakan lingkungan dari sebuah wilayah atau territory yang dalam penelitian ini adalah kawasan Taman Nasional Teso Nilo.

2. Ekologi lanskap adalah merupakan interaksi antara pengaruh perubahan proses ekologi kedalam aspek ruang, yang berhubungan dengan manusia dan perubahan-perubahan lanskap.

3. Perubahan lanskap ekologi TNTN adalah terjadinya perubahan penggunaan lahan yang semula adalah hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit

4. Penyebab perubahan lanskap ekologi adalah adanya ekspansi perkebunan kelapa sawit yang dilakukan secara illegal oleh sekelompok orang

5. Masyarakat Lokal adalah Masyarakat Desa Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Hitam yang berasal dari suku melayu Riau yang merupakan penduduk asli wilayah ini yang tinggal didalam kawasan dan diluar kawasan TNTN

6. Strategi nafkah adalah cara yang dilakukan oleh rumah tangga dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kemampuan untuk bertahan

7. Struktur nafkah adalah komposisi pendapatan rumah tangga dari berbagai aktivitas nafkah yang dilakukan oleh seluruh anggota rumah tangga

8. Tingkat pendapatan adalah jumlah pemasukan yang diterima oleh responden dalam periode waktu satu tahun yang telah dikurangi dengan biaya-biaya produksi, baik yang diperoleh dari mata pencaharian utama (pertanian) maupun dari luar mata pencaharian utama (selain pertanian). 9. Livelihood Asset adalah lima modal sumberdaya yang dimanfaatkan dalam

penerapan strategi nafkah. Kelima modal tersebut antara lain:

a. Modal manusia dapat dilihat dari pendidikan dan penggunaan tenaga kerja (apakah dari keluarga atau luar keluarga).

b. Modal fisik dapat dilihat dari kepemilikan aset produksi, pemilikan rumah, lahan, ternak dan barang berharga lain, serta transportasi. c. Modal keuangan dapat dilihat dari penggunaan tabungan, investasi,

dan modal usaha serta akses terhadap sumber keuangan seperti bank, koperasi dan gadai.

d. Modal sosial dapat dilihat dari kepercayaan, norma dan jaringan kerja (networking) dengan penyedia pinjaman modal usaha, penyedia input produksi, dan distributor hasil usaha.

e. Modal sumberdaya alam dapat dilihat dari keadaan sumberdaya tanah, kayu-kayuan, air, dan hewan buruan dalam hutan.

10.Tingkat pengeluaran adalah jumlah biaya yang dikeluarkan oleh responden untuk memenuhi kebutuhan hidup rumahtangganya dalam periode waktu satu tahun baik biaya konsumsi pangan maupun non pangan.

Metode Analisis Data

Penelitian ini memberikan gambaran awal dinamika perubahan penggunaan lahan dalam konteks lokal dan regional. Metode ini menggabungkan studi literatur, peta dan wawancara dengan informan kunci dan diskusi dengan stakeholder yang


(39)

terkait. Untuk dapat melihat sejauh mana hubungan antara pembangunan ekonomi dan kualitas lingkungan, dalam persepsi lokal. Indikator yang digunakan adalah ekologi, ekonomi dan sosial ( Noordwijk 2013).

Tabel 1. Tujuan penelitian, jenis data, metode pengumpulan data dan metode analisis

Tujuan Penelitian Jenis data

Metode Pengumpulan data Metode Analisis 1. Mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan disekitar lanskap Taman Nasional Tesso Nilo akibat ekspansi kelapa sawit. Data Primer dan Data Sekunder Pengumpulan data dari instansi terkait

Analisis deskriptif kualitatif

2. Menganalisis struktur nafkah masyarakat lokal sekitar lanskap TNTN akibat ekspansi kelapa sawit. Data Primer Survey menggunakan kuisioner dan wawancara mendalam (in depth interview)

Analisis Deskriptif Kualitatif

3. Menganalisis perubahan sosial masyarakat lokal akibat ekspansi kelapa sawit disekitar lanskap Taman Nasional Tesso Nilo. Data Primer dan Data Sekunder Survey menggunakan kuisioner dan wawancara mendalam (in depth interview)

Analisis Deskriptif Kualitatif

Untuk mencapai tujuan 1 analisis dilakukan untuk mendapatkan gambaran perubahan penggunaan lahan akibat ekspansi kelapa sawit yang mempengaruhi kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat setempat.

Indikator yang digunakan untuk mencapai tujuan 1 adalah;

1. Perubahan penggunaan lahan (land use change) lanskap TNTN

Identifikasi perubahan penggunaan lahan akan dilakukan dengan analisis spasial dengan menggunakan peta perubahan kawasan dalam sepuluh tahun terakhir (Gambar 7)

2. Persepsi masyarakat mengenai perubahan lanskap TNTN

Persepsi masyarakat lokal mengenai perubahan lanskap TNTN ditinjau dari manfaat dan akses masyarakat terhadap sumberdaya. Manusia terus menerus mengubah lingkungan mereka supaya sesuai dengan tuntutan kebutuhan mereka. Perubahan ini bahkan lebih penting dimana aliran dan jenis jasa ekosistem dibatasi dan dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi. Aretano et al (2013) menggunakan persepsi masyarakat untuk melihat perubahan perekonomian masyarakat di Small Mediterenian seiring dengan perubahan lanskap (landscape change) dan peningkatan ekonomi penduduk setempat. Instrument yang digunakan adalah kuisioner dan wawancara mendalam. Persepsi dihitung berdasarkan persentase jawaban responden.


(40)

Gambar 7. Analisa spasial perubahan lanskap TNTN tahun 2000-2015 Tujuan 2 dilakukan analisis pada level rumah tangga petani yaitu analisis sistem penghidupan (Livelihoods System). Analisis ini dilakukan dengan melihat dimensi sistem penghidupan yang meliputi asset, aktifitas dan pendapatan. Indikator yang digunakan adalah;

1. Struktur nafkah

Prasetya (2013) menyebutkan bahwa struktur nafkah adalah komposisi pendapatan rumah tangga petani dari berbagai aktivitas nafkah yang dilakukan oleh seluruh anggota rumah tangga. Pendapatan mengacu kepada keuntungan (rewards, advantages) yang dapat diperoleh rumah tangga dari aktivitas nafkah yang dilakukan rumahtangga (Purnomo 2006). Ellis (2000) mengelompokan pendapatan menjadi pendapatan uang tunai (in cash) atau bentuk kontribusi (in kind) untuk kesejahteraan material individu atau keluarga yang diperoleh dari berbagai kegiatan pemenuhan nafkah. Penelitian ini melihat pendapatan petani diwilayah studi bersumber dari; a. Berasal dari perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet setelah

dikurangi biaya produksi.

b. Berasal dari ekstraksi hasil hutan (Pengambilan Madu Hutan dan lainnya)

c. Berasal dari sumber lainnya (Dagang, Jasa, Upah, Bantuan dll)

Untuk mengetahui status kesejahteraan masyarakat yang ada di wilayah studi ini maka dilakukan analisis struktur nafkah melalui pendapatan rumah tangga wilayah tersebut yaitu dengan rumus :

Dimana :

Y = Pendapatan rumah tangga dalam 1 tahun

P = Pendapatan rumah tangga yang didapat dari usaha sektor perkebunan kelapa sawit dan karet

Y = P + F + O Peta Tutupan Lahan

Peta Perubahan Lanskap TNTN Tahun 2000 -2015 Overlay

Peta Administrasi Peta Fungsi Kawasan


(41)

F = Pendapatan rumah tangga yang didapat dari ekstraksi hasil hutan (madu hutan tesso nilo dan lainnya)

O = Pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari usaha diluar perkebunan dan ekstraksi hasil hutan yang meliputi dagang, jasa, upah, bantuan dll.

Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat maka akan dilakukan klasifikasi kelas rumah tangga berdasarkan sebaran normal rata-rata pendapatan rumah tangga petani dalam satu tahun. Kelas rumah tangga ini dibagi dalam tiga kelas yaitu;

a. Kelas atas, merupakan rumah tangga yang memperoleh pendapatan diatas pendapatan rata-rata pertahun dimasing-masing desa

Y X + ⁄ ��

b. Kelas menengah, merupakan rumah tangga yang berada antara pendapatan rata-rata kelas atas dan kelas bawah

X - ( ⁄ �� < Y < X+ ( ⁄ ��

c. Kelas bawah, merupakan rumah tangga petani yang memiliki pendapatan dibawah pendapatan rata-rata pertahun dimasing-masing desa

Y X - ( ⁄ ��

Dimana :

X = pendapatan rata-rata Sd = standar deviasi

2. Struktur pengeluaran.

Pengeluaran keluarga yaitu pengeluaran yang diperuntukkan bagi pembelian keluarga sehari-hari, yakni kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya. Dengan kata lain, pengeluaran keluarga dialokasikan untuk kebutuhan pangan, non pangan dan investasi. Porsi pengeluaran tersebut akan mencerminkan tingkat kesejahteraan keluarga (Suandi,2007). Item yang dihitung dalam struktur pengeluaran dalam penelitian ini adalah pengeluaran untuk;

a. Pangan b. Pendidikan c. Transportasi d. Komunikasi e. Dan lainnya

C =

f + e + t + c + o

Dimana :

C = Pengeluaran rumah tangga dalam satu tahun

f = Pengeluaran rumah tangga untuk pangan dalam waktu satu tahun


(42)

t = Pengeluaran rumah tangga untuk transportasi dalam jangka waktu satu tahun

c = Pengeluaran rumah tangga untu komunikasi dalam jangka waktu satu tahun

o = Pengeluaran rumah tangga untuk lainnya dalam jangka waktu satu tahun

3. Kemampuan Menyimpan (Saving Capacity)

Kemampuan menyimpan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh rumah tangga untuk dapat menabung atau menyimpan uangnya. Saving capacity ini diukur melalui pendapatan yang diterima pertahun dikurangi dengan pengeluaran rumah tangga pertahun. Dari hasil tersebut, apabila hasil pengurangan tersebut besar maka saving capacity yang dimiliki oleh keluarga tersebut tinggi namu apabila hasilnya kecil atau minus maka saving capacity yang dimiliki oleh keluarga tersebut rendah.

SC = Y – C

Dimana;

SC = Kemampuan menyimpan keluarga dalam jangka waktu satu tahun Y = Pendapatan rumah tangga dalam satu tahun

C = Pengeluarah rumah tangga dalam satu tahun

Untuk mencapai tujuan 3 menganalisis perubahan sosial masyarakat lokal akibat ekspansi kelapa sawit disekitar lanskap Taman Nasional Tesso Nilo ditinjau dari kepemilikan lima modal nafkah dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Modal nafkah merupakan sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk strategi bertahan (Ellis 2000). Perubahan kepemilikan asset ini dianalisis dengan menggunakan skor (skala likert). Apabila skor semakin besar maka dapat dikatakan bahwa kepemilikan modal nafkah semakin besar. Demikian pula sebaliknya bila skor semakin kecil maka kepemilikan modal nafkah semakin kecil. Skala skor yang digunakan adalah;

1 = Sangat Rendah 2 = Rendah

3 = Tinggi

4 = Sangat Tinggi

Adapun lima modal nafkah ini adalah; 1. Modal Fisik

Dapat dilihat dari tingkat penguasaan lahan, tingkat kepemilikan hewan ternak dan tingkat kepemilikan kendaraan bermotor.

a. Tingkat penguasaan lahan merupakan luas lahan yang dikuasai oleh rumah tangga. Tingkat penguasaan lahan dibagi menjadi

Tingkat Skala Parameter

Sangat Rendah Jika luas lahan dibawah 0,5 ha Rendah Jika luas lahan antara 0,5 ha dan 1 ha Tinggi Jika luas lahan diatas 1 ha sampai 2

ha


(43)

b. Tingkat kepemilikan hewan ternak dapat dilihat dari banyaknya hewan (sapi dan kambing) yang dimiliki oleh rumah tangga. Tingkat kepemilikan dihitung berdasarkan item kemudian dinilai dengan rupiah

Tingkat Skala Parameter

Sangat Rendah Jika tidak memiliki hewan ternak Rendah Jika nilai hewan ternaknya dibawah

Rp 2.000.000,-

Tinggi jika nilai hewan ternaknya antara Rp 2.000.000,- Rp 5.000.000

Sangat Tinggi Jika nilai hewan ternaknya diatas Rp 5.000.000,-

c. Tingkat kepemilikan kendaraan bermotor dilihat dari jumlah kendaraan bermotor yang dimiliki oleh rumah tangga, tingkat kepemilikan kendaraan bermotor dapat dilihat dari

Tingkat Skala Parameter

Sangat Rendah Jika tidak memiliki kendaraan bermotor

Rendah Jika memiliki 1 unit kendaraan bermotor (roda 2)

Tinggi Jika memiliki 2 unit kendaraan bermotor

Sangat Tinggi Jika memiliki 3 unit atau lebih kendaraan bermotor

2. Modal Manusia

Modal manusia yang dilihat adalah jumlah anggota keluarga sebagai sumber potensial tenaga kerja serta tingkat pendidikan dan keterampilan.

a. Jumlah anggota keluarga dihitung berdasarkan jumlah anggota keluarga yang sudah bisa bekerja

Tingkat Skala Parameter

Sangat Rendah Jika hanya ada satu anggota keluarga yang bekerja

Rendah Jika ada 2 orang anggota keluarga yang bekerja

Tinggi Jika ada 3 orang anggota keluarga yang bekerja

Sangat Tinggi Jika ada 4 orang atau lebih anggota keluarga yang bekerja


(44)

b. Tingkat pendidikan dan keterampilan dapat dilihat dari pendidikan terakhir responden

Tingkat Skala Parameter

Sangat Rendah Jika tidak tamat sekolah dasar

Rendah Jika tamat sekolah dasar dan sederajat Tinggi Jika tamat sekolah menengah dan

sederajat

Sangat Tinggi Jika tamat sekolah lanjutan atas dan universitas

3. Modal Keuangan

Merupakan saluran keuangan yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, investasi dan modal usaha seperti pinjaman dari keluarga atau tetangga, koperasi, gadai, atau bank.

Tingkat Skala Parameter

Sangat Rendah Jika tidak memiliki akses terhadap saluran keuangan

Rendah Jika memiliki 1 akses terhadap saluran keuangan

Tinggi Jika memiliki 2 akses terhadap saluran keuangan

Sangat Tinggi Jika memiliki lebih dari 2 akses terhadap saluran keuangan

4. Modal Sumber Daya Alam

Merupakan potensi sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan, dalam hal ini adalah banyaknya manfaat yang bisa diperoleh dari Taman Nasional oleh masyarakat.

a. Manfaat yang bisa diperoleh dari hutan

Tingkat Skala Parameter

Sangat Rendah Jika tidak memperoleh manfaat dari hutan

Rendah Jika memperoleh 1 – 2 manfaat dari hutan

Tinggi Jika memperoleh 3-5 manfaat dari hutan

Sangat Tinggi Jika memperoleh lebih dari 5 manfaat dari hutan

5. Modal Sosial

Merupakan tingkat kepercayaan, norma dan jaringan sosial atau lembaga yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan keberlangsungan kehidupan secara kelembagaan.


(45)

b. Tingkat kepercayaan dan norma dalam hubungan yang terjalin dengan sesama masyarakat seperti tetangga, saudara, kerabat dan aparat desa serta pemuka adat

Tingkat Skala Parameter

Sangat Rendah jika tidak berinteraksi dan tidak saling memberi bantuan

Rendah jika masih berinteraksi namun tidak saling memberi bantuan

Tinggi Jika saling berinteraksi dan saling memberi bantuan

Sangat Tinggi Jika masih berinteraksi dan masih saling memberi bantuan dan terlibat dalam kegiatan bersama baik kegiatan adat, desa, keagamaan.

c. Tingkat jaringan sosial masyarakat dilihat dari keterlibatan dalam suatu organisasi masyarakat baik organisasi adat, koperasi maupun kelompok tani

Tingkat Skala Parameter

Sangat Rendah Jika tidak memiliki jaringan sosial Rendah Jika memiliki satu jaringan sosial Tinggi Jika memiliki lebih dari satu jaringan

dan terlibat dalam setiap kegiatan keanggotaan

Sangat Tinggi Jika memiliki lebih dari dua

keanggotaan dan terlibat aktif dalam jaringan baik sebagai anggota, pengurus atau pemberi pengaruh bagi jaringan.


(46)

4

KAJIAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Letak dan Luas

Kawasan Hutan Tesso Nilo, dulu merupakan kawasan Hutan Langgam, yang ditetapkan sebagai Hutan Produksi Terbatas untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri dan produk kayu lainnya yang kemudian ditetapkan sebagai Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) ditunjuk sebagai kawasan pelestarian alam dengan Surat Keputusan Mentri Kehutanan Nomor : 225/Menhut-II/2004 tanggal 19 Mei dengan luas lahan sebesar 38.576 ha dan kemudian diperluas kembali melalui SK Menhut Nomor 663/Menhut-II/2009 tanggal 19 Oktober 2009 menjadi 83.063 ha. Secara geografis, kawasan ini terletak pada koordinat 00 0’ 5,1" dan 00 14’ 56" L. S., dan antara 1010 31’ 14,6" dan 1010 52’ 1,9" B.T. Secara administrasi Taman Nasional Tesso Nilo terletak pada dua kabupaten di Provinsi Riau yaitu Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu. Sebagian besar wilayah konservasi ini yaitu seluas 82.540 ha terletak di Kabupaten Pelalawan.dan hanya sebagian kecil daerah barat taman nasional seluas 533 ha terletak di Kabupatan Indragiri Hulu. Terdapat 22 desa yang berada di sekitar Taman Nasional, dan ada 4 desa yang berbatasan langsung dengan TNTN yaitu Desa Lubuk Kembang Bunga, Desa Air Hitam, Desa Pontian Mekar dan Desa Bagan Limau.

Kondisi Fisik dan Biologi Kawasan Topografi dan Tanah

Menurut topografinya kawasan Taman Nasional Tesso Nilo merupakan daerah dataran rendah sampai berbukit. Dibeberapa tempat ditemukan areal dengan kemiringan kurang dari 2 persen. Ketinggian kawasan daripermukaan laut berkisar antara 50-175 m dpl. Kemiringan lereng digolongkan kedalam empat kelas yaitu antara 15-25 persen, 25-40 persen, 45-90 persen, dan diatas 90 persen. Kawasan yang masih ditumbuhi hutan alam dengan diameter pohon diatas 30 cm berada pada kawasan dengan kemiringan 45-90 persen, hutan produksi dan kelapan sawit berada pada kawasan 35-45 persen, dan perladangan dan pemukiman berada pada kawasan 15-25 persen.

Jenis tanah yang terdapat di wilayah TNTN umumnya termasuk jenis Kandiudult dan Drystropets yang setara dengan jenis podsolik merah kuning dan kambisol. Sedangkan formasi geologi yang terdapat di kawasan TNTN dibagi menjadi 5 bagian yaitu: Anggota Atas, Endapan danau, Formasi Kerumutan, Formasi Minas dan Formasi Petani. Karakterikrtik umum dari tanah Podsolik Merah Kuning dicirikan dengan warna abu-abu muda sampai kekuningan, tsruktur gempal, permeabilitas rendah, stabilitas agregat rendah, bahan organik rendah, dan tersusun atas batuan endapan bersilika, napal, batu pasir dan liat. Untuk jenis kamisol bertekstur agak halus pada lapisan atas dan halus pada lapisan bawah (Hardjowigeno 2003).


(47)

Iklim dan Hidrologi

Kawasan Taman Nasinal Tesso Nilo secara umum digolongkan sangat lembab dengan curah hujan tahunan yang berkisar antara 2.000 – 3.000 mm. Secara keseluruhan curah hujannya sangat tinggi, curah hujan rata-rata perbulan dapat turun sebanyak 60 mm, sedangkan rata-rata perhari pertahun bervariasi antara 120-150. Kondisi iklim ini dapat berubah seiring dengan keadaan ekstrim seperti kekeringan akibat adanya El-Nino. Kondisi ilkim yang lembab dan rapat akan banyak menggugurkan daun, sehingga banyak tumbuhan yang kekeringan dan mati. Kondisi inilah yang kerap memicu kebakaran hutan seperti yang kerap melanda kawasan ini seperti beberapa tahun belakangan ini. Kebakaran hutan akan menimbulkan asap yang akan menpengaruhi kesehatan manusia secara signifikan (Gillison 2001).

Kawasan Taman nasional Tesso Nilo dan sekitarnya merupaka daerah tangkapan air bagi beberapa sungai, diantaranya : Sungai Tesso dibagian barat, Sungai Segati dibagian Utara, Sungai Nilo dibagian Timur. Ketiganya merupakan Sud DAS dari DAS Kampar, tepatnya diantara DAS Tesso dan DAS Nilo di Propinsi Riau.

Flora dan Fauna

Dari hasil penelitian Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) tahun 2003 ditemukan phon 215 jenis dari 48 famili dan anak pohon 305 jenis dari 56 famili. Juga ditemukan 82 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai bahan obat dan 4 jenis tumbuhan racun untuk ikan. Jenis tumbuhan dan racun tersebut terdiri dari 86 jenis dan 78 marga yang termasuk 46 suku/famili untuk mengobati sekitar 38 macam penyakit. Menurut Gillison (2001) TNTN memilik keanekaragam species tumbuhan vascukar tertinggi didunia sebanyak 218 species. Dan belum ditemukan daerah lain di Dunia yang memiliki keanekaragaman tumbuhan seperti di Tessonilo.

Di Taman Nasional Tesso Nilo juga ditemukan 23 jenis mamalia dan dicatat sebanyak 34 jenis. Dari jumlah tersebut 18 jenis diantaranya berstatus dilindungi dan 16 jenis termasuk rawan punah berdasarkan kriteria IUCN (2009), diantaranya adalah Rusa Sambar (Cervus unicolor), Kijang Muncak (Muntiacus Muntjak), Ta[ir Cipan (Tapirus Indicus), Beruang Madu (Helarctos malayanus), Gajah (Elephas maximus sumatranus), Harimau (Panthera tigris sumatrae) dan lainnya. Untuk jenis fauna penelitian LIPI tahun 2003 juga mencatat keanekaragam jenis fauna dimana mereka menjumpai 34 jenis mamalia, 18 jenis berstatus dilindungi undang-undang.

Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat

Kondisi masyarakat yang tinggal disekitar Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo dipandang dari sudut sistem sosial tradisional masyarakat desa merujuk pada sistem kebathinan, dimana desa desa dibagi kedalam sistem perbathinan adat Melayu Petalangan, Gunung Sahilan, dan Logas. Namun keadaan ini mulai memudar, pada beberapa desa sistem organisasi sosialnya tidak lagi dikategorikan kedalam sistem organisasi sosial berbasis pendududk asli. Hal ini dijumpai pada


(1)

Zeven, A.C. 1972. Partial and complete domestication of oil palm (Elais Guineensis). Economic Botani 26, 274-279


(2)

99


(3)

(4)

103

Lampiran 1. Gambar Keadaan Desa Lokasi Penelitian

Proses pengumpulan data dan FGD di Desa Air Hitam


(5)

Kantor Kepala Desa Air Hitam


(6)

105

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Nursantri Hidayah dilahirkan di Lubuk Jambi pada tanggal 6 April 1976. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara, pasangan Nasir Pili dan Yusnimar Rasyid. Pada tahun 2001 penulis menikah dengan Zulfahmi, SP dan dikarunia tiga orang anak yang bernama Aisha Nabila Fahsa, Chenna Aqiila Fahsa dan Nara Bilqis Fahsa.

Penulis menyelesaikan studi S1 pada Fakultas Pertanian Universitas Riau jurusan Agribisnis. Penulis pernah bekerja sebagai pendamping masyarakat pada program hutan kemasyarakatan (HKM). Penulis juga ikut serta dalam penelitian tentang sosial ekonomi masyarakat di sekitar pinggiran hutan di Propinsi Riau yang dilakukan oleh Kementrian Kehutanan bersama DFID. Saat ini penulis bekerja pada Perkumpulan Elang yang merupakan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang pemberdayaan masyarakat lokal di Pekanbaru. Bersama Perkumpulan Elang penulis terlibat dalam program; Encourages model sustainability society in support securing kampar peninsula landscape; an effort to keep food security from the expantion of palm oil plantation in kampar peninsula, Riau Province Indonesia yang didukung oleh Siemenpuu dan Save Our Local Food

yang didukung oleh Micerior.

Pada tahun 2013 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi pada program pascasarjana IPB jurusan perencanaan dan pengembangan wilayah perdesaan. Artikel yang dihasilkan penulis yang merupakan bagian dari tesis ini adalah Ekspansi Perkebunan dan Perubahan Sosial Ekologi Pedesaan yang akan diterbitkan pada Jurnal Sodality Edisi Desember 2016 Vol.4 No.3


Dokumen yang terkait

PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT LOKAL AKIBAT PERKEMBANGAN INDUSTRI PARIWISATA(Studi Perubahan Sosial Masyarakat Akibat Interaksi Antar Wisatawan DenganMasyarakat Lokal Di Desa Senggigi Kecamatan Batu Layar Kabupaten Lombok Barat)

0 6 2

Tinjau Ekologi-Ekonomi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (Studi Kasus di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, Jakarta)

0 7 114

Studi Keanekaragaman Jenis Mamalia Besar Pada Areal Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo yang Berbatasan dengan Kebun Kelapa Sawit PT. Inti Indosawit Subur Ukui, Kabupaten Pelalawan, Propinsi Riau

4 31 161

Estimasi nilai ekonomi lingkungan perkebunan kelapa sawit ditinjau dari neraca air tanaman kelapa sawit: studi kasus perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Dayun Kabupaten Siak Propinsi Riau

0 9 87

Persepsi Masyarakat Terhadap peran Pemerintah dan LSM dalam Pemberantasan Illegal Logging di Kawasan Hutan Tesso Nilo Provinsi Riau.

0 0 10

Pengelolaan Lingkungan Melalui Ekowisata Berbasis Masyarakat Di Taman Nasional Tesso Nilo-riau.

0 0 35

PERANAN BALAI TAMAN NASIONAL TESSO NILO DALAM MENANGGULANGI PERAMBAHAN HUTAN TAMAN NASIONAL TESSO NILO DI KECAMATAN UKUI KABUPATEN PELALAWAN PROPINSI RIAU.

3 11 93

PERAMBAHAN KAWASAN HUTAN PADA KONSERVASI TAMAN NASIONAL (STUDI KASUS TAMAN NASIONAL TESSO NILO, RIAU) | Diantoro | Mimbar Hukum 16176 30724 1 PB

0 0 20

ESTIMASI STOK KARBON HUTAN DENGAN MEMANFAATKAN CITRA LANDSAT 8 DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO, RIAU

0 0 11

MEDICINAL PLANT DIVERSITY IN THE TESSO NILO NATIONAL PARK, RIAU, SUMATRA, INDONESIA

1 0 8