. Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya Padi Hibrida MAPAN P-05 oleh Petani di Kecamatan Sragi, Pekalongan, Jawa Tengah
PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI BUDIDAYA
PADI HIBRIDA MAPAN P-05 OLEH PETANI
DI KECAMATAN SRAGI, PEKALONGAN, JAWA TENGAH
HENING GAHAYUNING
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengambilan Keputusan
Inovasi Budidaya Padi Hibrida MAPAN P-05 oleh Petani di Kecamatan Sragi,
Pekalongan, Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Hening Gahayuning
NIM I34120020
ABSTRAK
HENING GAHAYUNING. Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya Padi
Hibrida MAPAN P-05 oleh Petani di Kecamatan Sragi, Pekalongan, Jawa Tengah.
Dibimbing oleh DWI SADONO.
Penggunaan benih hibrida merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan
produksi beras. Namun tingkat adopsi benih hibrida di Indonesia masih tergolong
rendah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang diduga
mempunyai hubungan nyata dengan pengambilan keputusan inovasi budidaya padi
hibrida. Lokasi penelitian berada di beberapa Desa dalam wilayah Kecamatan
Sragi, Kabupaten Pekalongan yang dipilih secara sengaja. Data dikumpulkan
menggunakan instrumen kuesioner dan dianalisis menggunakan uji korelasi Rank
Spearman. Hasil penelitian yang melibatkan 60 responden ini menunjukkan bahwa
variabel tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, luas lahan garapan, tingkat
keberanian beresiko, tingkat kekosmopolitan, tingkat kepemimpinan berpendapat,
tingkat keuntungan relatif, tingkat kesesuaian, tingkat kemungkinan dicoba, tingkat
kemungkinan diamati, tingkat dukungan ekonomi, dan tingkat dukungan sosial
memiliki hubungan nyata positif. Berbeda halnya dengan variabel umur, lama
berusahatani, dan tingkat kerumitan inovasi memiliki hubungan nyata negatif.
Antar tahapan dalam proses pengambilan keputusan inovasi saling berhubungan
kecuali tahap konfirmasi. Hasil prediksi kelangsungan adopsi budidaya padi hibrida
MAPAN P-05 tercatat tinggi pada petani adopter dan rendah pada petani non
adopter.
Kata kunci: hibrida, inovasi, MAPAN P-05, padi, pengambilan keputusan
ABSTRACT
HENING GAHAYUNING. Innovation Decision Making of Hybrid Rice MAPAN
P-05 Cultivation by Farmers at Sragi Subdistrict, Pekalongan, Central Java.
Supervised by DWI SADONO.
The application of hybrid rice seeds could be increase rice production but, the
level of hybrid seed adoption in Indonesia is still low. Therefore, this research aims
to analyze the factors supposed to have a correlation with the innovation decisionmaking of hybrid rice. This research took place at some Village in Sragi Subdistrict,
Pekalongan District. Data was collected using questionnaire and analyzed by
Spearman Rank correlation test. The result of this research shows that level of
education, level of income, large of field, risk taking level, cosmopolitan level,
opinion leadership ability level, relative advantage degree, compatibility degree,
trialability degree, observability degree, level of economic support, and level of
social support have a significant positive correlation. In other hand, age, farming
experience, and complexity degree have a significant negative correlation. The
result of correlation test for all stage shows that they have a significant correlation,
yet confirmation stage has no correlation with implementation stage. The result of
adoption sustainability prediction for hybrid rice MAPAN P-05 cultivation shows
a high point for adopter farmer, but still low point for non adopter farmer.
Keywords: decision making, hybrid, innovation, MAPAN P-05, rice
PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI BUDIDAYA
PADI HIBRIDA MAPAN P-05 OLEH PETANI
DI KECAMATAN SRAGI, PEKALONGAN, JAWA TENGAH
HENING GAHAYUNING
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Judul Skripsi : Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya Padi Hibrida MAPAN
P-05 oleh Petani di Kecamatan Sragi, Pekalongan, Jawa Tengah
Nama
: Hening Gahayuning
NIM
: I34120020
Disetujui oleh
Dr Ir Dwi Sadono, M.Si
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, M.Sc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus Ujian:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi berjudul “Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya Padi Hibrida MAPAN
P-05 oleh Petani di Kecamatan Sragi, Pekalongan, Jawa Tengah” ini dengan baik.
Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Dr Ir Dwi Sadono, M.Si sebagai Pembimbing yang telah memberikan saran
dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini.
2. Dr Ir Siti Amanah, M.Sc dan Dr Ir Ekawati Sri Wahyuni, MS yang telah
bersedia menjadi Penguji Utama dan Penguji Wakil Departemen SKPM.
3. Bapak Drs. Sri Umbarto, selaku Kepala Balai Penyuluhan Kecamatan
(BPK) Sragi dan jajaran Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) BPK Sragi yang
telah memberikan izin dan bantuan selama penelitian berlangsung.
4. Bapak Rahadi dan Ibu Umi Mardiana, orangtua tercinta serta Ghandis
Hapsari, kakak tersayang yang selalu berdoa dan senantiasa melimpahkan
kasih sayangnya untuk penulis.
5. Teman-teman di Departemen SKPM 49, terutama Rima Aulia Rohmah,
Sinta Herian Pawestri, Ulvia Muspita Angraini, Fitri Dwi Prastyanti, dan
Eka Puspita Sari yang telah memberi semangat dan menemani penulis
dalam proses penulisan skripsi ini.
6. Keluarga Besar IMAPEKA khususnya angkatan 49, Keluarga Besar Bina
Desa BEM KM IPB, dan teman-teman volunteer Rumbel Kids FIM HORE
Bogor.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk semua pihak.
Bogor, Agustus 2016
Hening Gahayuning
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
PENDEKATAN TEORITIS
5
Inovasi
5
Padi Hibrida sebagai Suatu Inovasi
5
Proses Pengambilan Keputusan Inovasi
6
Hasil-Hasil Studi Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengambilan
Keputusan Inovasi
9
Karakteristik Penerima Inovasi
9
Faktor Persepsi terhadap Karakteristik Inovasi
12
Faktor Eksternal
14
Kerangka Pemikiran
14
PENDEKATAN LAPANGAN
17
Metode Penelitian
17
Lokasi dan Waktu
17
Tenik Penentuan Informan dan Responden
17
Teknik Pengumpulan Data
18
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
19
Definisi Operasional
21
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
25
Karakteristik Geografis
25
Karakteristik Sosial Ekonomi
26
Kondisi Pertanian
28
Gambaran Budidaya Padi Hibrida di Kecamatan Sragi
29
Sebelum Varietas MAPAN P-05 Dikenal
29
Varietas MAPAN P-05
30
ANALISIS KARAKTERISTIK PETANI, PERSEPSI PETANI TERHADAP
KARAKTERISTIK INOVASI BUDIDAYA PADI HIBRIDA MAPAN P-05,
DAN TINGKAT DUKUNGAN FAKTOR EKSTERNAL YANG DIPEROLEH
PETANI
33
Karakteristik Individu, Sosial, dan Ekonomi Petani
33
Persepsi Petani terhadap Karakteristik Padi Hibrida MAPAN P-05
35
Tingkat Keuntungan Relatif
35
Tingkat Kesesuaian
40
Tingkat Kerumitan
42
Tingkat Kemungkinan Dicoba
45
Tingkat Kemungkinan Diamati
46
Dukungan Ekonomi dan Dukungan Sosial yang Diperoleh
48
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PROSES
PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI BUDIDAYA PADI HIBRIDA
MAPAN P-05
51
Tahap Pengenalan
51
Waktu Pengenalan, Sumber Informasi dan Informasi yang Dikenalkan
51
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tahap Pengenalan
53
Tahap Persuasi
56
Komponen dan Atribut Budidaya Padi Hibrida MAPAN P-05 yang
Dipersuasikan
56
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tahap Persuasi
58
Tahap Keputusan
60
Komponen Budidaya yang Diputuskan untuk Diterima atau Ditolak
60
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tahap Keputusan
62
Tahap Penerapan
63
Komponen yang Diterapkan atau Tidak Diterapkan oleh Petani
63
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tahap Penerapan
65
Tahap Konfirmasi
67
Jumlah Petani yang Melakukan Konfirmasi dan Informasi yang
Dikonfirmasi
67
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tahap Konfirmasi
69
Hubungan Antar Tahapan dalam Proses Pengambilan Keputusan Inovasi 70
Prediksi Keberlanjutan Adopsi Budidaya padi Hibrida MAPAN P-05 di
Kecamatan Sragi
71
SIMPULAN DAN SARAN
73
Simpulan
73
Saran
74
DAFTAR PUSTAKA
75
LAMPIRAN
79
RIWAYAT HIDUP
105
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
Kerangka penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan
pengambilan keputusan adopsi inovasi budidaya padi hibrida
MAPAN P-05 oleh petani
Persentase luas wilayah berdasarkan pemanfaatan di Kecamatan Sragi
tahun 2015
Persentase sebaran penduduk berdasarkan jenjang pendidikan yang
ditempuh di Kecamatan Sragi tahun 2015
Persentase sebaran penduduk berdasarkan sektor pekerjaan yang
dilakukan di Kecamatan Sragi tahun 2015
Bagan alir alur pengenalan padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan
Sragi
16
25
27
27
31
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Perhitungan penarikan sampel penelitian faktor-faktor yang
berhubungan dengan pengambilan keputusan adopsi inovasi budidaya
padi hibrida MAPAN P-05 oleh petani
Kebutuhan data penelitian
Definisi operasional
Jarak desa penelitian ke pusat kecamatan
Jumlah penduduk di enam desa penelitian berdasarkan jenis kelamin
tahun 2015
Data produktivitas, jumlah, dan produksi tanaman pangan, ternak, dan
budidaya ikan di Kecamatan Sragi tahun 2015
Varietas padi hibrida yang dikenal dan ditanam di Kecamatan Sragi
Jumlah dan persentase petani adopter dan petani non adopter
berdasarkan karakteristik individu, sosial, ekonomi, dan perilaku
komunikasi di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
persepsi terhadap indikator-indikator tingkat keuntungan relatif
budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
tingkat persepsi terhadap keuntungan relatif padi hibrida MAPAN P05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Perbandingan hasil analisis usahatani budidaya padi hibrida MAPAN
P-05 dengan padi inbrida di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
persepsi terhadap indikator-indikator tingkat kesesuaian budidaya
padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
tingkat persepsi terhadap kesesuaian budidaya padi hibrida MAPAN
P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
18
19
21
25
26
28
30
33
36
38
39
41
42
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
persepsi terhadap indikator-indikator tingkat kerumitan budidaya padi
hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
tingkat persepsi terhadap kerumitan budidaya padi hibrida MAPAN
P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
persepsi terhadap indikator-indikator tingkat kemungkinan dicoba
budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
tingkat persepsi terhadap kemungkinan dicoba budidaya padi hibrida
MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
persepsi terhadap indikator-indikator tingkat kemungkinan diamati
budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
tingkat persepsi terhadap kemungkinan diamati budidaya padi hibrida
MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan petani non adopter
berdasarkan tempat pembelian benih hibrida MAPAN P-05 di
Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan petani non adopter
berdasarkan tingkat dukungan ekonomi yang diperoleh di Kecamatan
Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan petani non adopter
berdasarkan tingkat dukungan sosial yang diperoleh di Kecamatan
Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan petani non adopter
berdasarkan waktu pengenalan budidaya padi hibrida MAPAN P-05
di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
sumber informasi budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan
Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani yang mengenal komponen budidaya dan
atribut padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
tingkat pengenalan budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di
Kecamatan Sragi tahun 2016
Nilai koefisien korelasi Rank Spearman variabel karakteristik petani,
karakteristik budidaya padi hibrida MAPAN P-05, dan tingkat
dukungan faktor eksternal dengan tahap pengenalan budidaya padi
hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter berdasarkan tingkat ketertarikan
terhadap komponen budidaya dan keunggulan budidaya padi hibrida
MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani non adopter berdasarkan tingkat
ketertarikan terhadap komponen budidaya dan keunggulan budidaya
padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
43
44
45
46
47
48
49
49
50
51
52
52
53
54
56
57
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
tingkat persuasi terhadap budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di
Kecamatan Sragi tahun 2016
Nilai koefisien korelasi Rank Spearman variabel karakteristik petani,
karakteristik budidaya padi hibrida MAPAN P-05, dan tingkat
dukungan faktor eksternal dengan tahap persuasi budidaya padi
hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter yang memutuskan menerima
atau tidak menerima komponen budidaya dan keunggulan budidaya
padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
tingkat keputusan budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan
Sragi tahun 2016
Nilai koefisien korelasi Rank Spearman variabel karakteristik petani,
karakteristik budidaya padi hibrida MAPAN P-05, dan tingkat
dukungan faktor eksternal dengan tahap keputusan budidaya padi
hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter yang menerapkan dan tidak
menerapkan komponen budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di
Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
tingkat penerapan komponen budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di
Kecamatan Sragi tahun 2016
Nilai koefisien korelasi Rank Spearman variabel karakteristik petani,
karakteristik budidaya padi hibrida MAPAN P-05, dan tingkat
dukungan faktor eksternal dengan tahap penerapan budidaya padi
hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter yang
melakukan dan tidak melakukan konfirmasi terhadap komponen
budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan petani non adopter
berdasarkan informasi komponen budidaya padi hibrida MAPAN P05 yang dikonfirmasi di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
tingkat konfirmasi komponen dan atribut budidaya padi hibrida
MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi Tahun 2016
Nilai koefisien korelasi Rank Spearman variabel karakteristik petani,
karakteristik budidaya padi hibrida MAPAN P-05, dan tingkat
dukungan faktor eksternal dengan tahap konfirmasi budidaya padi
hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Nilai koefisien korelasi Rank Spearman hasil pengujian hubungan
antar tahapan dalam proses pengambilan keputusan inovasi budidaya
padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Sebaran petani berdasarkan keputusan adopsi budidaya hibrida
MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
58
59
61
61
62
64
65
66
67
68
68
69
71
71
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
Sketsa lokasi penelitian
Daftar responden petani penerap dan petani non penerap
Kerangka sampling petani non adopter
Kuesioner penelitian
Panduan wawancara mendalam
Hasil uji statistik
Dokumentasi penelitian
79
80
81
87
99
101
104
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, harus
tersedia setiap saat, pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia, dan
sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas. Penyediaan pangan terutama pangan pokok, diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan dan konsumsi pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan
perseorangan secara berkelanjutan. Tercapainya swasembada pangan khususnya
beras pada tahun 2017 merupakan salah satu sasaran strategis yang ditetapkan
Kementerian Pertanian RI untuk mewujudkan misi kedaulatan pangan (Kementan
RI 2015).
Berdasarkan data Susenas BPS tahun 2010-2013 menyatakan bahwa
konsumsi beras penduduk Indonesia pada tahun 2013 adalah 97,4 kg/kapita/tahun
(Pusdatin Pertanian 2014). Berbeda halnya dengan pernyataan Menteri Pertanian
RI yang dimuat dalam portal berita Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Jawa
Barat (2015), menyatakan bahwa rata-rata tingkat konsumsi beras yaitu 124,9
kg/kapita/tahun. Jika dikaitkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang
diproyeksikan oleh BPS akan mencapai 305,6 juta jiwa pada tahun 2035, maka
diperlukan persedian beras minimal sebesar 38,16 juta ton. Mengingat bahwa pada
10 tahun terakhir telah terjadi perubahan iklim yang berimbas pada penentuan
musim tanam yang tidak pasti dikhawatirkan akan mempengaruhi kestabilan
produksi padi nasional.
Ada banyak langkah yang harus ditempuh untuk mewujudkan swasembada
beras dan kestabilan stok beras. Salah satunya yaitu meningkatkan produksi beras
nasional. Penerbitan beberapa Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) seperti
Permentan Nomor 45/Permentan/OT.140/8/2011 tentang Tata Hubungan Kerja
Antar Kelembagaan Teknis, Penelitian dan Pengembangan, dan Penyuluhan
Pertanian dalam Mendukung Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) dan
Permentan terbaru yaitu Permentan Nomor 03/Permentan/OT.140/2/2015 tentang
Pedoman Upaya Khusus (UPSUS) Peningkatan Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai
melalui Program Perbaikan Irigasi dan Sarana Pendukungnya merupakan upaya
regulatif yang dilakukan pemerintah untuk terus mendorong peningkatan produksi
beras nasional.
Walaupun beberapa peraturan diterbitkan untuk mendorong peningkatan
produksi beras, pada dasarnya upaya yang dapat dilakukan hanya ada dua cara yaitu
ekstensifikasi (perluasan lahan) dan intensifikasi pertanian (penerapan teknologi).
Mengingat rata-rata pertambahan luas lahan sawah nasional dalam kurun waktu
2003-2013 sangat lambat yaitu hanya bertambah 980,65 m2 atau hanya 98 m2/tahun
menjadikan upaya ekstensifikasi untuk meningkatan produksi padi kurang menjadi
prioritas. Satu-satunya upaya yang tersisa yaitu dengan cara intensifikasi lahan
pertanian yang sudah ada. Intensifikasi pertanian pada zaman Orde Baru biasa
dikenal dengan panca usahatani yang terdiri dari pengolahan tanah yang baik,
pengairan yang teratur, pemilihan bibit unggul, pemupukan, dan pengendalian
hama dan penyakit. Berdasarkan penelitian di lapangan, penggunaan benih unggul
diakui telah menjadi satu faktor kunci keberhasilan dalam peningkatan produksi.
Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Deptan (1983), dan Oladele et al. (2011) yang
2
menyatakan bahwa peran benih unggul sangat penting sebagai teknologi yang
digunakan untuk menentukan batas produktivitas yang bisa dicapai, kualitas produk
yang dihasilkan, dan efisiensi berproduksi. Oleh sebab itu sebagai upaya
mewujudkan swasembada beras perlu upaya untuk mengalihkan penggunaan benih
varietas lokal ke benih varietas unggul dan akhirnya diarahkan untuk menggunakan
benih varietas hibrida. Tetapi perlu diperhatikan, bahwa benih unggul akan
menunjukkan kinerjanya jika disertai aplikasi inovasi lainnya.
Hal tersebut mendorong lembaga maupun korporasi yang bergerak di sektor
riset dan pengembangan pertanian untuk terus meneliti guna menciptakan inovasi
berupa benih unggul yang memiliki produktivitas tinggi. Benih padi varietas
MAPAN P-05 merupakan salah satu hasil pengembangan benih unggul varietas
hibrida yang telah dirilis semenjak tahun 2006. Hasil penelitian lapangan Fakultas
Pertanian UGM menunjukkan bahwa hasil panen padi hibrida lebih tinggi sekitar
14 persen dibandingkan hasil panen padi IR 64. Padi Hibrida mampu menghasilkan
6,5 – 7,0 ton per hektar, sedangkan panen padi IR 64 menghasilkan 5,9 ton per
hektar (Ruskandar 2010).
Namun fakta empiris menunjukkan bahwa walaupun selama kurun waktu
2010-2014 Sub Sistem Inovasi Perbenihan Nasional telah menghasilkan beragam
varietas padi baru seperti Inpari, Inpago, Inpara, dan Hibrida ternyata masih belum
mampu menggeser sepenuhnya keberadaan varietas lokal ataupun varietas unggul
lama. Hal ini dikarenakan belum optimalnya fungsi diseminasi dan sistem
perbenihan nasional (Kementan 2015). Hal ini juga diperkuat oleh hasil evaluasi
eksternal maupun internal Litbang Pertanian (2004) yang menunjukkan bahwa
kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi teknologi yang dihasilkan Balitbang
Pertanian cenderung lambat bahkan menurun, sampai dengan tahun 2015 tercatat
hanya terdapat 1% dari total luasan lahan sawah di Indonesia yang telah ditanami
padi hibrida (Muhtarudin 2015). Pertimbangan dan keputusan petani untuk
mengadopsi inovasi baru khususnya benih unggul hibrida diduga dipengaruhi oleh
banyak faktor. Upaya akselerasi adopsi benih hibrida oleh petani sangat diperlukan
agar target produktivitas padi yang ditetapkan dapat tercapai. Namun kajian
mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan adopsi inovasi pertanian
khususnya adopsi benih padi unggul varietas hibrida masih sedikit.
Oleh sebab itu perlu diketahui bagaimana berlangsungnya proses
pengambilan keputusan inovasi budidaya padi hibrida varietas MAPAN P-05 oleh
petani khususnya di Kecamatan Sragi, Kabupaten Pekalongan. Hal ini penting
sebagai informasi bagi seluruh pemangku kepentingan untuk menentukan arah
kebijakan dan langkah strategis dalam upaya percepatan proses adopsi benih unggul
guna mewujudkan swasembada pangan nasional.
Perumusan Masalah
Keberhasilan proses pengambilan keputusan inovasi berhubungan dengan
berbagai faktor. Rogers (2003) mendefinisikan pengambilan keputusan inovasi
sebagai suatu proses yang mencakup suatu rangkaian kegiatan penerimaan atau
penolakan inovasi oleh unit pengambilan keputusan dan terjadi dalam lima tahap
yaitu tahap pengenalan, tahap persuasi, tahap keputusan, tahap penerapan, dan
tahap konfirmasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang
diduga berhubungan dengan tahap pengambilan keputusan inovasi yaitu,
karakteristik individu petani, persepsi terhadap karakteristik inovasi, saluran
3
komunikasi, dan kondisi sebelumnya. Selain itu, penelitian Susanti (2008) dan
Rizka (2015) menambahkan faktor lain yang diduga berhubungan dengan proses
pengambilan keputusan inovasi, yaitu faktor eksternal. Sehubungan dengan
banyaknya faktor yang diduga berhubungan dengan proses pengambilan keputusan
inovasi, maka perlu diketahui gambaran mengenai bagaimana karakteristik petani
sebagai unit pengambilan keputusan inovasi, persepsi petani terhadap karakteristik
inovasi, dan tingkat dukungan faktor eksternal yang diperoleh petani untuk
mengadopsi budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi, Kabupaten
Pekalongan?
Setelah diketahui gambaran mengenai faktor-faktor yang diduga
berhubungan dengan proses pengambilan keputusan inovasi mulai dari tahap
pengenalan hingga terjadi keputusan inovasi padi hibrida MAPAN P-05 di
Kecamatan Sragi, dan merujuk pada Rogers (2003) serta mengelaborasi
penelitian-penelitian sebelumnya (Susanti 2008; Rizka 2015) perlu diketahui,
bagaimana hubungan antara karakteristik petani Kecamatan Sragi, faktor persepsi
petani terhadap karakteristik padi hibrida MAPAN P-05, dan dukungan faktor
eksternal dengan tahap pengambilan keputusan adopsi inovasi budidaya padi
hibrida MAPAN P-05?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, tujuan umum penelitian ini adalah untuk
menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan proses pengambilan
keputusan inovasi padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi. Adapun tujuan
khusus dalam penelitian ini, yaitu menghasilkan:
1. Analisis karakteristik petani sebagai unit pengambil keputusan inovasi,
persepsi petani terhadap karakteristik inovasi budidaya padi hibrida
MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi, dan tingkat dukungan eksternal yang
diperoleh petani.
2. Analisis hubungan antara karakteristik petani, persepsi petani terhadap
karakteristik padi hibrida MAPAN P-05, dan faktor dukungan eksternal
dengan tahap pengambilan keputusan adopsi inovasi padi hibrida
MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:
1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman
dalam menerapkan berbagai konsep dan teori berkenaan proses
pengambilan keputusan inovasi, yaitu dalam konteks introduksi inovasi
budidaya padi hibrida MAPAN P-05 pada petani di Kecamatan Sragi,
Kabupaten Pekalongan.
2. Bagi pihak lain, khususnya para peneliti di bidang riset pengambilan
keputusan inovasi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan
informasi awal bagi studi pengambilan keputusan inovasi padi hibrida
MAPAN P-05 di Kabupten Pekalongan dan wilayah lainnya di Indonesia.
Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat meberi kontribusi pada
pengembangan riset pengambilan keputusan sebagai bagian dari
komunikasi pembangunan di Indonesia.
4
3. Bagi pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi informasi tambahan untuk menentukan arah
kebijakan dan langkah strategis dalam upaya percepatan proses adopsi
budidaya padi hibrida guna mendukung terwujudnya swasembada beras
nasional.
5
PENDEKATAN TEORITIS
Inovasi
Rogers (2003) mengartikan inovasi sebagai ide-ide baru, praktik-praktik baru,
atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu
atau masyarakat sasaran penyuluhan. Pengertian “baru” disini, mengandung makna
bukan sekedar “baru diketahui” oleh pikiran (cognitive), akan tetapi juga baru
karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masayarakat dalam arti
sikap (attitude), dan juga baru dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan
atau diterapkan oleh seluruh warga masayarakat setempat. Soekartawi (1988)
mendefinisikan inovasi sebagai suatu ide yang dipandang perlu oleh seseorang.
Latar belakang seseorang yang berbeda-beda, mempengaruhi penilaian obyektif,
apakah suatu ide yang dimaksud tergolong baru atau tidak. Oleh sebab itu kebaruan
suatu inovasi sangat relatif sifatnya. Sifat baru tersebut kadang-kadang menentukan
reaksi seseorang. Reaksi ini tentu saja berbeda-beda antara individu satu dengan
yang lain.
Leeuwis (2004) mengungkapkan bahwa keberhasilan inovasi tergantung
bagaimana inovasi tersebut mampu menciptakan keselarasan atau tidak. Masuknya
inovasi pada suatu komunitas merupakan awal dari sebuah perubahan, dan
perubahan tidak pernah datang sendirian. Proses penyebaran inovasi merupakan
upaya yang disengaja untuk menciptakan efek. Penyebaran inovasi harus
memperhatikan unsur teknis dan sosial. Jika inovasi memenuhi unsur teknis dan
unsur sosial dalam sebuah masyarakat, maka keselarasan yang dimaksud
sebelumnya akan tercipta.
Inovasi “gagal” (tidak dapat diterima pada skala yang signifikan) sering
disebabkan oleh keselarasan yang tidak seimbang. Hal tersebut disebabkan karena
kebanyakan ilmuwan atau penemu inovasi hanya bekerja pada dimensi teknis,
tetapi lupa untuk membangun jaringan yang efektif. Banyak produk-produk yang
memiliki dimensi teknis yang lebih unggul ternyata gagal diadopsi oleh masyarakat
karena kurangnya dukungan jaringan, sedangkan produk dengan kualitas teknis
lebih rendah mampu diterima masyarakat luas karena upaya membangun jaringan
yang bagus. Oleh karena itu Leeuwis (2004) menyatakan bahwa tahap awal
keberhasilan inovasi tergantung dari bagaimana memobilisasi ide-ide baru “di atas
meja” dengan cara membangun hubungan dengan “orang luar” yang mungkin
mempunyai pandangan lebih luas terhadap sasaran inovasi.
Padi Hibrida sebagai Suatu Inovasi
Teknologi hibrida adalah upaya manusia untuk merekonstruksi seluruh
pasangan gen pada tanaman menjadi heterezigot dengan cara persilangan dua tetua
berbeda yang dipilih melalui seleksi. Hasil pasangan gen-gen yang bersifat
heterozigot tersebut mengakibatkan timbulnya gejala heterosis, yaitu produktivitas
varietas tanaman hibrida lebih tinggi dibanding varietas non-hibrida (Satoto et al.
2009). Kebutuhan beras yang cukup tinggi dan konversi lahan yang mengakibatkan
menyempitnya lahan pertanian mengharuskan adanya teknologi intensifikasi yang
solutif untuk memecahkan permasalahan tersebut. Salah satu alternatif yang dapat
6
digunakan untuk meningkatkan produksi beras tanpa menambah luas lahan yaitu
melalui penggunaan padi hibrida.
Menurut Ruskandar (2010) produksi padi dapat ditingkatkan melalui
penggunaan varietas hibrida dengan memanfaatkan gejala heterosis yang mampu
meningkatkan potensi hasil 15-20 persen lebih tinggi dibanding varietas inbrida.
Satoto dan Suprihatno (2008) menjelaskan bahwa secara teknis ada lima kunci
utama agar pengembangan padi hibrida berhasil. Kelima kunci tersebut adalah
varietas yang cocok, benih yang bermutu, teknologi budidaya yang tepat, wilayah
yang sesuai, dan respon petani. Setiap varietas padi hibrida pada dasarnya
mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam berproduksi. Varietas yang
cocok dikembangkan di wilayah yang satu belum tentu cocok dikembangkan di
wilayah lainnya atau dengan kata lain varietas padi hibrida memiliki sifat spesifik
lokasi. Jika kelima kunci tersebut dapat dipenuhi, maka peluang pengadopsian
benih hibrida secara luas oleh petani dapat terlaksana.
Proses Pengambilan Keputusan Inovasi
Jailanis et al. (2014) menyatakan bahwa adopsi inovasi pertanian oleh petani
yang bersifat positif merupakan salah satu tujuan pembangunan pertanian. Hal ini
diperkuat oleh pendapat Mulyadi et al. (2007) yang menyatakan inovasi yang
terhambat menyebabkan pembangunan pertanian berjalan lamban. Oleh karena itu
petani diharapkan memiliki kesadaran terhadap inovasi yang kemudian diikuti
sikap menerima dan perilaku mengadopsi sebagai upaya pengembangan dan
penerapan inovasi tersebut.
Rogers (2003) mendefinisikan proses pengambilan keputusan inovasi sebagai
suatu proses mental yang dilalui oleh individu atau unit pengambil keputusan lain
mulai dari pengetahuan pertama mengenai suatu inovasi, membentuk sikap
terhadap inovasi tersebut, hingga memutuskan untuk mengadopsi atau menolak,
menerapkan ide baru, dan mengkonfirmasi keputusan tersebut. Ismilaili (2015)
mengungkapkan bahwa pengambilan keputusan oleh petani terhadap penolakan
atau penerimaan suatu inovasi tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan
menguntungkan atau tidaknya teknologi tersebut secara ekonomis bagi petani.
Untuk itu dalam proses pengambilan keputusan diperlukan beberapa tahapan untuk
mempertimbangkan inovasi tersebut.
Selama perkembangannya, dikenal dua teori atau dua model mengenai proses
adopsi yaitu pandangan tradisional tentang proses adopsi dan proses pengambilan
keputusan inovasi. Dikutip dari Mugniesyah (2006) pandangan tradisional yang
dikenal dengan konsep proses adopsi pertama diterima sebagai dalil oleh The
North-Central Rural Sociology Subcomittee for the Study of Farm Practices dalam
pertemuan ilmiah pada tahun 1955. Diungkapkan oleh Rogers (2003) bahwa
beberapa peneliti yang fokus pada penelitian tentang difusi merumuskan lima
tahapan kumulatif yang terjadi dalam proses adopsi. Tahap-tahap tersebut
dijelaskan sebagai berikut.
1. Tahap awareness atau tahap di mana individu menjadi sadar akan adanya
suatu ide atau inovasi baru.
2. Tahap interest atau tahap di mana individu mulai menaruh minat terhadap
inovasi ditandai dengan individu tersebut mulai mencari informasi yang
lebih lengkap mengenai inovasi tersebut.
7
3. Tahap evaluation yaitu tahap ketika individu mulai bersikap untuk
menyukai atau tidak menyukai inovasi yang ada. Menurut Mugniesyah
(2006) tahap ini disebut juga sebagai tahap “mencoba secara mental”.
Individu mencoba mendapatkan bukti-bukti internal (dari dalam pikirannya
sendiri) untuk membandingkan apakah dengan menerapkan inovasi tersebut
akan berdampak positif pada situasi masa depannya. Jika evaluasi yang
dilakukan individu dalam pikirannya menghasilkan kesimpulan yang
positif, maka ia akan meneruskan perkembangan perilakunya ke tahap
selanjutnya.
4. Tahap small scale trial, yaitu tahapan di mana individu mencoba
menerapkan inovasi secara nyata pada skala kecil guna memperoleh buktibukti eksternal.
5. Tahap adoption, merupakan tahap akhir dari proses adopsi di mana individu
menerapkan inovasi secara kontinyu dalam skala besar.
Perkembangan kajian adopsi memunculkan kritikan terhadap model
tradisional proses adopsi yang diungkapkan Rogers (2003). Kritikan tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Model proses adopsi mengimplikasikan bahwa proses tersebut selalu
berakhir pada keputusan adopsi, padahal pada kenyataanya penolakan untuk
mengadopsi mungkin saja terjadi. Oleh karena itu diperlukan istilah yang
lebih umum daripada “proses adopsi” untuk menggambarkan adanya adopsi
atau penolakan.
2. Lima tahap tersebut tidak selalu terjadi secara berurutan, beberapa tahap
mungkin saja dilompati, terutama tahap trial (mencoba). Tahap evaluasi
sebenarnya terjadi pada keseluruhan proses, tidak hanya sebagai salah satu
tahap dari lima tahap yang ada.
3. Proses adopsi jarang berakhir dengan adopsi, pencarian informasi yang
lebih mendalam mungkin saja dilakukan oleh individu untuk
mengkonfirmasi atau menguatkan keputusan, atau individu bisa saja
mengubah keputusannya dari yang awalnya mengadopsi menjadi menolak
(a discontinuance).
Catatan kaki pada buku Communication of Innovations edisi kedua tulisan
Rogers dan Shoemaker (1971), dituliskan bahwa model empat tahap merupakan
model perbaikan dari model tradisional “adopsi inovasi”. Model baru ini dapat
menggambarkan kemungkinan terjadinya penolakan atau rejection terhadap suatu
inovasi dan memungkinkan adanya peninjaun keputusan oleh individu yang akan
menguatkan atau membalikkan keputusan yang telah dibuatnya. Secara konseptual,
model empat tahap ini berkaitan dengan konsep pengambilan keputusan, proses
pembelajaran, dan reduksi disonansi.
Bentuk kritik terhadap model lima tahap sebelumnya, Rogers dan Shoemaker
(1971) merumuskan model baru proses adopsi yang hanya memuat empat tahapan
dalam prosesnya yaitu tahap knowledge (pengenalan), persuasion (persuasi),
decision (keputusan), dan confirmation (konfirmasi) yang kemudian dikenal
dengan istilah proses pengambilan keputusan inovasi. Empat tahapan pengambilan
keputusan inovasi yang diungkapkan Rogers dan Shoemaker (1971) dikoreksi oleh
Rogers (2003) menjadi lima tahapan yaitu tahap knowledge (pengetahuan),
8
persuasion (persuasi), decision (keputusan), implementation (penerapan), dan
confirmation (konfirmasi). Tahap-tahap tersebut dijelaskan pada uraian berikut ini.
Tahap pengenalan (knowledge), yaitu tahap ketika seseorang belum memiliki
informasi mengenai inovasi baru. Untuk itu informasi mengenai inovasi tersebut
harus disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada, bisa melalui
media elektronik, media cetak, maupun komunikasi interpersonal di antara
masyarakat.
Tahap persuasi (persuasion), tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam
tingkat pemikiran calon pengguna. Seseorang akan mengukur keuntungan yang
akan ia dapat jika mengadopsi inovasi tersebut secara personal. Berdasarkan
evaluasi dan diskusi dengan orang lain, ia mulai cenderung untuk mengadopsi atau
menolak inovasi tersebut.
Tahap pengambilan keputusan (decision), yaitu tahap di mana seseorang
membuat keputusan akhir apakah mereka akan mengadopsi atau menolak sebuah
inovasi. Namun bukan berarti setelah melakukan pengambilan keputusan ini lantas
menutup kemungkinan terdapat perubahan dalam pengadopsian.
Tahap penerapan (implementation), yaitu tahap ketika seseorang mulai
menggunakan inovasi sambil mempelajari lebih lanjut tentang inovasi tersebut.
Tahap yang terakhir yaitu tahap konfirmasi (confirmation), yaitu tahapan yang
terjadi setelah sebuah keputusan dibuat, seseorang kemudian akan mencari
pembenaran atas keputusan mereka. Apakah inovasi tersebut diadopsi atau tidak,
seseorang akan mengevaluasi akibat dari keputusan yang mereka buat. Tidak
menutup kemungkinan seseorang kemudian mengubah keputusan yang tadinya
menolak jadi menerima inovasi setelah melakukan evaluasi.
Pada dasarnya, proses adopsi memiliki selang waktu antar tahapan satu
dengan yang lainnya yang tidak selalu sama (tergantung sifat inovasi, karakteristik
sasaran, keadaan lingkungan (fisik maupun sosial), dan aktivitas/kegiatan yang
dilakukan oleh penyuluh (Ismilaili 2015). Hal ini yang menjadikan penelitian
mengenai proses pengambilan keputusan inovasi agak rumit dilakukan karena
untuk menggali informasi pada setiap tahapan yang sudah terlewati memerlukan
waktu yang lama. Seperti dipaparkan Indraningsih (2011) dalam penelitiannya yang
hanya membatasi penelitian proses pengambilan keputusan inovasi hanya pada satu
tahap yaitu tahap keputusan inovasi dengan tujuan menghindari data yang tidak
valid dan tidak reliabel.
Mulyadi et al. (2007) dalam penelitiannya tentang proses adopsi inovasi
pertanian oleh Suku Arfak mengkaji tahapan proses pengambilan keputusan inovasi
hanya sampai pada tahap pengambilan keputusan. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa setiap tahapan dalam proses pengambilan keputusan inovasi
selalu dipengaruhi oleh tahapan sebelumnya dan tahapan yang paling menentukan
petani untuk menerima atau menolak inovasi adalah tahap pengenalan, sehingga
dalam kajian mengenai topik keputusan inovasi tidak bisa hanya memilih satu
tahapan saja.
Purnaningsih et al. (2006) meneliti kajian tahapan pengambilan keputusan
inovasi dengan lengkap mulai dari tahap pengenalan hingga tahap konfirmasi. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa setiap tahap memiliki karakteristik tersendiri.
Tahap pengenalan lebih menekankan pada aspek kognitif penerima inovasi,
sedangkan tahap persepsi dan keputusan menekankan pada aspek afektif, dan
tahapan penerapan menekankan aspek psikomotorik. Oleh karena itu keberhasilan
setiap tahapannya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berbeda.
9
Hasil-Hasil Studi Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengambilan
Keputusan Inovasi
Upaya individu untuk mencapai tahap di mana mereka memutuskan untuk
mengadopsi atau menolak suatu inovasi merupakan suatu pertimbangan mental
yang cukup kompleks dan berhubungan dengan berbagai faktor. Banyak penelitian
mencoba menganalisis bagaimana proses yang dilalui dan faktor apa saja yang
berhubungan dengan kemampuan individu untuk mencapai tahap di mana ia
mengambil keputusan untuk menerima atau mengadopsi suatu inovasi. Rogers
(2003) mengidentifikasi empat faktor yang berhubungan dengan proses
pengambilan keputusan yaitu faktor kondisi sebelumnya, faktor karakteristik unit
pengambil keputusan (karakteristik sosial-ekonomi, karakteristik pribadi, dan
perilaku komunikasi), faktor persepsi terhadap inovasi, dan saluran komunikasi.
Penelitian Susanti (2008) membagi faktor-faktor yang telah dijabarkan
Rogers (2003) menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal dijabarkan sebagai faktor yang melekat pada unit pengambilan keputusan
inovasi, antara lain meliputi: umur, tingkat pendidikan, luas lahan, dan tingkat
pendapatan. Faktor eksternal didefinisikan sebagai faktor yang berasal dari luar unit
pengambilan keputusan, meliputi: lingkungan ekonomi, lingkungan sosial, dan sifat
inovasi. Berbeda halnya dengan penggolongan faktor pengaruh keputusan inovasi
yang dilakukan oleh Rizka (2015), sifat atau karakteristik inovasi dijadikan faktor
tersendiri.
Berdasarkan hasil tinjauan pada beberapa literatur yang telah dilakukan, dapat
diidentifikasi beberapa faktor-faktor yang sering muncul dan memiliki hubungan
dengan proses pengambilan keputusan inovasi. Faktor-faktor tersebut diuraikan
berikut ini.
Karakteristik Penerima Inovasi
Rogers (2003) memaparkan beberapa variabel mengenai karakteristik unit
pengambil keputusan yang dibagi menjadi variabel karakteristik sosial ekonomi,
karakteristik individu, dan perilaku komunikasi. Karakteristik sosial-ekonomi unit
pengambil keputusan meliputi umur individu, lama mengenyam pendidikan,
tingkat status sosial, mobilitas sosial, skala usaha, sifat komersil, dan keberanian
mengambil kredit. Karakteristik pribadi meliputi variabel tingkat kesadaran,
kemampuan menerima hal baru, tingkat kerasionalitasan, tingkat intelegensi, sikap
menerima perubahan, kemampuan beradaptasi, tingkat pendidikan, sikap tidak
menyerah, memiliki motivasi yang tinggi, dan memiliki aspirasi yang tinggi.
Hampir semua literatur yang dikaji selalu meneliti hubungan antara variabel
karakteristik penerima inovasi dengan proses keputusan inovasi. Karakteristik
penerima inovasi dijabarkan dalam beberapa indikator sebagai berikut ini.
a.
Umur
Umur didefinisikan sebagai lama hidup seseorang terhitung mulai dari lahir
hingga penelitian dilakukan. Hasil analisis beberapa pustaka menunjukkan bahwa
umur memiliki pengaruh yang signifikan dan berhubungan positif nyata (Awotide
2015), tidak berpengaruh signifikan (Bruce et al. 2014), berhubungan negatif nyata
atau dengan kata lain semakin muda umur penerima inovasi maka tingkat
pengambilan keputusan adopsi tinggi (Purnaningsih et al. 2006; Mulyadi et al.
2007; Onumadu dan Osahon 2014), dan tidak memiliki pengaruh (Amala et al.
10
2013; Jailanis et al. 2014; Ishak et al. 2015) terhadap proses pengambilan keputusan
inovasi. Jailanis et al. (2014) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa umur
dikatakan tidak memiliki pengaruh dengan alasan responden penelitiannya tidak
mewakili sebaran umur setiap kategori, sehingga tidak dapat dibandingkan
perbedaannya.
b.
Tingkat pendidikan
Hasil penelitian Sumarno (2010), Onumadu dan Osahon (2014), Awotide
(2015), dan Bruce et al. (2014) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
berhubungan positif nyata atau berpengaruh signifikan terhadap proses
pengambilan keputusan inovasi. Penerima inovasi yang memiliki tingkat
pendidikan tinggi akan mengambil keputusan untuk menerima inovasi yang
diberikan. Lain halnya dengan penelitian Amala et al. (2013), Jailanis et al. (2014),
Ishak et al. (2015) menyatakan bahwa tingkat pendidikan tidak memiliki pengaruh
terhadap pengambilan keputusan inovasi. Penelitian Jailanis et al. (2014)
menjelaskan bahwa pendidikan formal tidak mempengaruhi proses keputusan
inovasi, tetapi dalam hasil penelitiannya disebutkan bahwa pendidikan non formal
memiliki hubungan yang kuat dengan proses pengambilan keputusan.
c.
Luas lahan garapan
Semakin luas lahan garapan petani seharusnya diikuti dengan tingkat adopsi
inovasi yang tinggi, karena tersedia lahan yang cukup untuk mencoba inovasi yang
diperkenalkan. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa luas lahan garapan
tidak memiliki hubungan atau pengaruh terhadap keputusan inovasi (Jailanis et al.
2014).
d.
Lama berusahatani
Lama berusahatani diduga sebagai salah satu faktor yang berhubungan
dengan keputusan inovasi. Penerima inovasi yang sudah memiliki pengalaman
berusahatani lama akan memiliki ketrampilan yang lebih dibanding petani dengan
petani yang memiliki pengalaman baru. Hal ini terbukti pada penelitian yang
dilakukan oleh Purnaningsih et al. (2006), Amala et al. (2013), Jailanis et al. (2014),
Onumadu dan Osahon (2014), Awotide (2015), dan Ishak et al. (2015). Lama
berusahatani juga diduga sebagai salah satu penyebab variabel tingkat pendidikan
formal tidak berpengaruh nyata terhadap proses adopsi (Jailanis et al. 2014).
e.
Luas kepemilikan lahan
Petani yang memiliki lahan sendiri seharusnya akan lebih mudah mengatur
penggunaan lahannya untuk mengimplementasikan inovasi baru. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Onumadu dan Osahon (2014), Bruce et al. (2014, Jailanis
et al. (2014), Awotide (2015), yang menunjukkan hubungan positif nyata antara
variabel luas kepemilikan lahan dengan keputusan adopsi petani. Berbeda dengan
hasil penelitian Amala et al. (2015) yang menunjukkan tidak adanya pengaruh
variabel luas kepemilikan lahan, bahkan penelitian Ishak et al. (2015) menunjukkan
hubungan negatif nyata antara keduanya. Penyebab hubungan negatif nyata ini
diduga karena jika lahan yang dimiliki oleh petani semakin luas, maka biaya
pengelolaannya semakin tinggi sehingga tidak ada biaya lebih untuk inovasi baru.
f.
Tingkat pendapatan petani
Setiap pengaplikasian suatu inovasi baru akan memerlukan biaya tambahan
(Onumandu et al. 2014). Salah satu sumber dana pendukung untuk mencoba suatu
inovasi dapat berasal dari biaya pribadi petani. Tingkat pendapatan petani yang
tinggi tentunya akan mempermudah petani untuk mencoba-coba inovasi baru yang
memperlukan biaya lebih. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Jailanis et al. (2014)
11
dan Awotide (2015) yang menunjukkan hubungan nyata positif dan sangat erat
diantara kedua variabel tersebut.
g.
Tingkat keberanian beresiko
Keputusan untuk menerapkan suatu inovasi baru membutuhkan keberanian
untuk menghadapi ketidakpastian hasil yang diperoleh. Salah satu penyebab
lambatnya adopsi inovasi yaitu tingkat keberanian beresiko petani yang masih
rendah. Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberanian beresiko
yaitu tingkat keinovatifan unit pengambil keputusan, sikap unit pengambil
keputusan ketika ada inovasi baru, frekuensi mencoba inovasi baru setiap kali
musim tanam, dan tingkat rasionalitas ketika dikenalkan pada inovasi baru.
Tingkat keinovatifan yang dimaksud mengacu pada konsep innovationdecision periode yang diungkapkan oleh Rogers (2003) dan definisi dalam
beberapa penelitian (Marwandana 2014; Sumarno 2010). Tingkat keinovatifan
diartikan sebagai selang waktu yang dibutuhkan unit pengambil keputusan dari
mengenal inovasi sampai memutuskan untuk mengadopsi inovasi tersebut. Kedua
penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat keinovatifan petani berhubungan
dengan tahap pengambilan keputusan inovasi.
Petani memiliki kecenderungan yang kuat akan kepastian, dan menghindari
ketidakpastian. Penelitian Sumarno (2010) tentang adopsi teknologi gerabah
menunjukkan bahwa sifat pengusaha yang memiliki tingkat beresiko tinggi
berpengaruh signifikan terhadap adopsi teknologi. Sama halnya dengan penelitian
Indraningsih (2011) tentang adopsi inovasi teknologi usahatani, tingkat keberanian
beresiko terbukti berpengaruh signifikan pada petani adopter. Merujuk pada hasilhasil studi tersebut, maka perlu diteliti lebih lanjut hubungan antara tingkat
keberanian beresiko petani dengan proses pengambilan keputusan inovasi.
h.
Perilaku komunikasi
Faktor terakhir yaitu perilaku unit pengambilan keputusan dalam
berkomunikasi dijabarkan menjadi beberapa variabel meliputi partisipasi sosial,
koneksi dengan sistem sosial, tingkat kekosmopolitan, interaksi dengan agen
perubahan, keterdedahan media massa, keaktifan mencari informasi, kemampuan
menjadi opinion leader, dan banyaknya jaringan yang dimiliki.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi sosial berhubungan
dengan pengambilan keputusan inovasi namun hubungannya lemah (Amala et al.
2013). Tingkat kekosmopolitan dalam penelitian Jailanis et al. (2014) tidak
menunjukkan adanya hubungan dengan pengambilan keputusan inovasi namun,
penelitian Amala et al. (2013) menunjukkan adanya hubungan dengan tingkat
keeratan sedang terhadap keputusan inovasi. Interaksi dengan agen perubahan
dijabarkan dalam beberapa penelitian sebagai variabel kontak dengan petani lain
dan kontak dengan penyuluh (Purnaningsih et al. 2006; Bruce et al. 2014) terbukti
memiliki pengaruh nyata terhadap keputusan inovasi. Jaringan yang dimiliki petani
biasanya berupa kelembagaan petani di lingkungannya. Bergabungnya petani
dengan kelembagaan pertanian tertentu membuat wawasan petani semakin luas dan
meningkatkan kemampuan menjadi pemimpin pendapat bagi petani lainnya. Hal
ini diharapkan mampu mempengaruhi keputusan inovasi. Hasil kajian beberapa
penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan petani dalam kelembagaan pertanian
memiliki pengaruh dalam keputusan inovasi namun dengan hasil yang berbeda.
Onumadu dan Osahon (2014) memaparkan bahwa keterlibatan petani Nigeria
dalam kelembagaan pertanian terbukti memiliki hubungan positif nyata terhadap
12
keputusan inovasi, sedangkan penelitian Awotide (2015) yang juga dilakukan di
Nigeria menunjukkan hal sebaliknya.
Literatur yang menguji variabel pengaruh atau hubungan antara karakteristik
penerima inovasi dengan keputusan inovasi menunjukkan hasil yang beragam.
Tidak semua penelitian secara seragam menyatakan bahwa variabel karakteristik
unit pengambilan keputusan memiliki pengaruh yang berbanding lurus atau
berbanding terbalik terhadap keputusan adopsi. Maka dari itu perlu kajian
mendalam untuk melihat pengaruh variabel karakteristik unit pengambil keputusan
terhadap keputusan inovasi. Pada penelitian ini, karakteristik petani yang akan
diteliti meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, lama berusahatani,
luas lahan yang diusahakan, tingka
PADI HIBRIDA MAPAN P-05 OLEH PETANI
DI KECAMATAN SRAGI, PEKALONGAN, JAWA TENGAH
HENING GAHAYUNING
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengambilan Keputusan
Inovasi Budidaya Padi Hibrida MAPAN P-05 oleh Petani di Kecamatan Sragi,
Pekalongan, Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Hening Gahayuning
NIM I34120020
ABSTRAK
HENING GAHAYUNING. Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya Padi
Hibrida MAPAN P-05 oleh Petani di Kecamatan Sragi, Pekalongan, Jawa Tengah.
Dibimbing oleh DWI SADONO.
Penggunaan benih hibrida merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan
produksi beras. Namun tingkat adopsi benih hibrida di Indonesia masih tergolong
rendah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang diduga
mempunyai hubungan nyata dengan pengambilan keputusan inovasi budidaya padi
hibrida. Lokasi penelitian berada di beberapa Desa dalam wilayah Kecamatan
Sragi, Kabupaten Pekalongan yang dipilih secara sengaja. Data dikumpulkan
menggunakan instrumen kuesioner dan dianalisis menggunakan uji korelasi Rank
Spearman. Hasil penelitian yang melibatkan 60 responden ini menunjukkan bahwa
variabel tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, luas lahan garapan, tingkat
keberanian beresiko, tingkat kekosmopolitan, tingkat kepemimpinan berpendapat,
tingkat keuntungan relatif, tingkat kesesuaian, tingkat kemungkinan dicoba, tingkat
kemungkinan diamati, tingkat dukungan ekonomi, dan tingkat dukungan sosial
memiliki hubungan nyata positif. Berbeda halnya dengan variabel umur, lama
berusahatani, dan tingkat kerumitan inovasi memiliki hubungan nyata negatif.
Antar tahapan dalam proses pengambilan keputusan inovasi saling berhubungan
kecuali tahap konfirmasi. Hasil prediksi kelangsungan adopsi budidaya padi hibrida
MAPAN P-05 tercatat tinggi pada petani adopter dan rendah pada petani non
adopter.
Kata kunci: hibrida, inovasi, MAPAN P-05, padi, pengambilan keputusan
ABSTRACT
HENING GAHAYUNING. Innovation Decision Making of Hybrid Rice MAPAN
P-05 Cultivation by Farmers at Sragi Subdistrict, Pekalongan, Central Java.
Supervised by DWI SADONO.
The application of hybrid rice seeds could be increase rice production but, the
level of hybrid seed adoption in Indonesia is still low. Therefore, this research aims
to analyze the factors supposed to have a correlation with the innovation decisionmaking of hybrid rice. This research took place at some Village in Sragi Subdistrict,
Pekalongan District. Data was collected using questionnaire and analyzed by
Spearman Rank correlation test. The result of this research shows that level of
education, level of income, large of field, risk taking level, cosmopolitan level,
opinion leadership ability level, relative advantage degree, compatibility degree,
trialability degree, observability degree, level of economic support, and level of
social support have a significant positive correlation. In other hand, age, farming
experience, and complexity degree have a significant negative correlation. The
result of correlation test for all stage shows that they have a significant correlation,
yet confirmation stage has no correlation with implementation stage. The result of
adoption sustainability prediction for hybrid rice MAPAN P-05 cultivation shows
a high point for adopter farmer, but still low point for non adopter farmer.
Keywords: decision making, hybrid, innovation, MAPAN P-05, rice
PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI BUDIDAYA
PADI HIBRIDA MAPAN P-05 OLEH PETANI
DI KECAMATAN SRAGI, PEKALONGAN, JAWA TENGAH
HENING GAHAYUNING
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Judul Skripsi : Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya Padi Hibrida MAPAN
P-05 oleh Petani di Kecamatan Sragi, Pekalongan, Jawa Tengah
Nama
: Hening Gahayuning
NIM
: I34120020
Disetujui oleh
Dr Ir Dwi Sadono, M.Si
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, M.Sc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus Ujian:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi berjudul “Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya Padi Hibrida MAPAN
P-05 oleh Petani di Kecamatan Sragi, Pekalongan, Jawa Tengah” ini dengan baik.
Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Dr Ir Dwi Sadono, M.Si sebagai Pembimbing yang telah memberikan saran
dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini.
2. Dr Ir Siti Amanah, M.Sc dan Dr Ir Ekawati Sri Wahyuni, MS yang telah
bersedia menjadi Penguji Utama dan Penguji Wakil Departemen SKPM.
3. Bapak Drs. Sri Umbarto, selaku Kepala Balai Penyuluhan Kecamatan
(BPK) Sragi dan jajaran Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) BPK Sragi yang
telah memberikan izin dan bantuan selama penelitian berlangsung.
4. Bapak Rahadi dan Ibu Umi Mardiana, orangtua tercinta serta Ghandis
Hapsari, kakak tersayang yang selalu berdoa dan senantiasa melimpahkan
kasih sayangnya untuk penulis.
5. Teman-teman di Departemen SKPM 49, terutama Rima Aulia Rohmah,
Sinta Herian Pawestri, Ulvia Muspita Angraini, Fitri Dwi Prastyanti, dan
Eka Puspita Sari yang telah memberi semangat dan menemani penulis
dalam proses penulisan skripsi ini.
6. Keluarga Besar IMAPEKA khususnya angkatan 49, Keluarga Besar Bina
Desa BEM KM IPB, dan teman-teman volunteer Rumbel Kids FIM HORE
Bogor.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk semua pihak.
Bogor, Agustus 2016
Hening Gahayuning
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
PENDEKATAN TEORITIS
5
Inovasi
5
Padi Hibrida sebagai Suatu Inovasi
5
Proses Pengambilan Keputusan Inovasi
6
Hasil-Hasil Studi Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengambilan
Keputusan Inovasi
9
Karakteristik Penerima Inovasi
9
Faktor Persepsi terhadap Karakteristik Inovasi
12
Faktor Eksternal
14
Kerangka Pemikiran
14
PENDEKATAN LAPANGAN
17
Metode Penelitian
17
Lokasi dan Waktu
17
Tenik Penentuan Informan dan Responden
17
Teknik Pengumpulan Data
18
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
19
Definisi Operasional
21
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
25
Karakteristik Geografis
25
Karakteristik Sosial Ekonomi
26
Kondisi Pertanian
28
Gambaran Budidaya Padi Hibrida di Kecamatan Sragi
29
Sebelum Varietas MAPAN P-05 Dikenal
29
Varietas MAPAN P-05
30
ANALISIS KARAKTERISTIK PETANI, PERSEPSI PETANI TERHADAP
KARAKTERISTIK INOVASI BUDIDAYA PADI HIBRIDA MAPAN P-05,
DAN TINGKAT DUKUNGAN FAKTOR EKSTERNAL YANG DIPEROLEH
PETANI
33
Karakteristik Individu, Sosial, dan Ekonomi Petani
33
Persepsi Petani terhadap Karakteristik Padi Hibrida MAPAN P-05
35
Tingkat Keuntungan Relatif
35
Tingkat Kesesuaian
40
Tingkat Kerumitan
42
Tingkat Kemungkinan Dicoba
45
Tingkat Kemungkinan Diamati
46
Dukungan Ekonomi dan Dukungan Sosial yang Diperoleh
48
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PROSES
PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI BUDIDAYA PADI HIBRIDA
MAPAN P-05
51
Tahap Pengenalan
51
Waktu Pengenalan, Sumber Informasi dan Informasi yang Dikenalkan
51
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tahap Pengenalan
53
Tahap Persuasi
56
Komponen dan Atribut Budidaya Padi Hibrida MAPAN P-05 yang
Dipersuasikan
56
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tahap Persuasi
58
Tahap Keputusan
60
Komponen Budidaya yang Diputuskan untuk Diterima atau Ditolak
60
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tahap Keputusan
62
Tahap Penerapan
63
Komponen yang Diterapkan atau Tidak Diterapkan oleh Petani
63
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tahap Penerapan
65
Tahap Konfirmasi
67
Jumlah Petani yang Melakukan Konfirmasi dan Informasi yang
Dikonfirmasi
67
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tahap Konfirmasi
69
Hubungan Antar Tahapan dalam Proses Pengambilan Keputusan Inovasi 70
Prediksi Keberlanjutan Adopsi Budidaya padi Hibrida MAPAN P-05 di
Kecamatan Sragi
71
SIMPULAN DAN SARAN
73
Simpulan
73
Saran
74
DAFTAR PUSTAKA
75
LAMPIRAN
79
RIWAYAT HIDUP
105
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
Kerangka penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan
pengambilan keputusan adopsi inovasi budidaya padi hibrida
MAPAN P-05 oleh petani
Persentase luas wilayah berdasarkan pemanfaatan di Kecamatan Sragi
tahun 2015
Persentase sebaran penduduk berdasarkan jenjang pendidikan yang
ditempuh di Kecamatan Sragi tahun 2015
Persentase sebaran penduduk berdasarkan sektor pekerjaan yang
dilakukan di Kecamatan Sragi tahun 2015
Bagan alir alur pengenalan padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan
Sragi
16
25
27
27
31
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Perhitungan penarikan sampel penelitian faktor-faktor yang
berhubungan dengan pengambilan keputusan adopsi inovasi budidaya
padi hibrida MAPAN P-05 oleh petani
Kebutuhan data penelitian
Definisi operasional
Jarak desa penelitian ke pusat kecamatan
Jumlah penduduk di enam desa penelitian berdasarkan jenis kelamin
tahun 2015
Data produktivitas, jumlah, dan produksi tanaman pangan, ternak, dan
budidaya ikan di Kecamatan Sragi tahun 2015
Varietas padi hibrida yang dikenal dan ditanam di Kecamatan Sragi
Jumlah dan persentase petani adopter dan petani non adopter
berdasarkan karakteristik individu, sosial, ekonomi, dan perilaku
komunikasi di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
persepsi terhadap indikator-indikator tingkat keuntungan relatif
budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
tingkat persepsi terhadap keuntungan relatif padi hibrida MAPAN P05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Perbandingan hasil analisis usahatani budidaya padi hibrida MAPAN
P-05 dengan padi inbrida di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
persepsi terhadap indikator-indikator tingkat kesesuaian budidaya
padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
tingkat persepsi terhadap kesesuaian budidaya padi hibrida MAPAN
P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
18
19
21
25
26
28
30
33
36
38
39
41
42
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
persepsi terhadap indikator-indikator tingkat kerumitan budidaya padi
hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
tingkat persepsi terhadap kerumitan budidaya padi hibrida MAPAN
P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
persepsi terhadap indikator-indikator tingkat kemungkinan dicoba
budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
tingkat persepsi terhadap kemungkinan dicoba budidaya padi hibrida
MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
persepsi terhadap indikator-indikator tingkat kemungkinan diamati
budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
tingkat persepsi terhadap kemungkinan diamati budidaya padi hibrida
MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan petani non adopter
berdasarkan tempat pembelian benih hibrida MAPAN P-05 di
Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan petani non adopter
berdasarkan tingkat dukungan ekonomi yang diperoleh di Kecamatan
Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan petani non adopter
berdasarkan tingkat dukungan sosial yang diperoleh di Kecamatan
Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan petani non adopter
berdasarkan waktu pengenalan budidaya padi hibrida MAPAN P-05
di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
sumber informasi budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan
Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani yang mengenal komponen budidaya dan
atribut padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
tingkat pengenalan budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di
Kecamatan Sragi tahun 2016
Nilai koefisien korelasi Rank Spearman variabel karakteristik petani,
karakteristik budidaya padi hibrida MAPAN P-05, dan tingkat
dukungan faktor eksternal dengan tahap pengenalan budidaya padi
hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter berdasarkan tingkat ketertarikan
terhadap komponen budidaya dan keunggulan budidaya padi hibrida
MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani non adopter berdasarkan tingkat
ketertarikan terhadap komponen budidaya dan keunggulan budidaya
padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
43
44
45
46
47
48
49
49
50
51
52
52
53
54
56
57
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
tingkat persuasi terhadap budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di
Kecamatan Sragi tahun 2016
Nilai koefisien korelasi Rank Spearman variabel karakteristik petani,
karakteristik budidaya padi hibrida MAPAN P-05, dan tingkat
dukungan faktor eksternal dengan tahap persuasi budidaya padi
hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter yang memutuskan menerima
atau tidak menerima komponen budidaya dan keunggulan budidaya
padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
tingkat keputusan budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan
Sragi tahun 2016
Nilai koefisien korelasi Rank Spearman variabel karakteristik petani,
karakteristik budidaya padi hibrida MAPAN P-05, dan tingkat
dukungan faktor eksternal dengan tahap keputusan budidaya padi
hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter yang menerapkan dan tidak
menerapkan komponen budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di
Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
tingkat penerapan komponen budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di
Kecamatan Sragi tahun 2016
Nilai koefisien korelasi Rank Spearman variabel karakteristik petani,
karakteristik budidaya padi hibrida MAPAN P-05, dan tingkat
dukungan faktor eksternal dengan tahap penerapan budidaya padi
hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter yang
melakukan dan tidak melakukan konfirmasi terhadap komponen
budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan petani non adopter
berdasarkan informasi komponen budidaya padi hibrida MAPAN P05 yang dikonfirmasi di Kecamatan Sragi tahun 2016
Jumlah dan persentase petani adopter dan non adopter berdasarkan
tingkat konfirmasi komponen dan atribut budidaya padi hibrida
MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi Tahun 2016
Nilai koefisien korelasi Rank Spearman variabel karakteristik petani,
karakteristik budidaya padi hibrida MAPAN P-05, dan tingkat
dukungan faktor eksternal dengan tahap konfirmasi budidaya padi
hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Nilai koefisien korelasi Rank Spearman hasil pengujian hubungan
antar tahapan dalam proses pengambilan keputusan inovasi budidaya
padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
Sebaran petani berdasarkan keputusan adopsi budidaya hibrida
MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi tahun 2016
58
59
61
61
62
64
65
66
67
68
68
69
71
71
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
Sketsa lokasi penelitian
Daftar responden petani penerap dan petani non penerap
Kerangka sampling petani non adopter
Kuesioner penelitian
Panduan wawancara mendalam
Hasil uji statistik
Dokumentasi penelitian
79
80
81
87
99
101
104
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, harus
tersedia setiap saat, pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia, dan
sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas. Penyediaan pangan terutama pangan pokok, diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan dan konsumsi pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan
perseorangan secara berkelanjutan. Tercapainya swasembada pangan khususnya
beras pada tahun 2017 merupakan salah satu sasaran strategis yang ditetapkan
Kementerian Pertanian RI untuk mewujudkan misi kedaulatan pangan (Kementan
RI 2015).
Berdasarkan data Susenas BPS tahun 2010-2013 menyatakan bahwa
konsumsi beras penduduk Indonesia pada tahun 2013 adalah 97,4 kg/kapita/tahun
(Pusdatin Pertanian 2014). Berbeda halnya dengan pernyataan Menteri Pertanian
RI yang dimuat dalam portal berita Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Jawa
Barat (2015), menyatakan bahwa rata-rata tingkat konsumsi beras yaitu 124,9
kg/kapita/tahun. Jika dikaitkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang
diproyeksikan oleh BPS akan mencapai 305,6 juta jiwa pada tahun 2035, maka
diperlukan persedian beras minimal sebesar 38,16 juta ton. Mengingat bahwa pada
10 tahun terakhir telah terjadi perubahan iklim yang berimbas pada penentuan
musim tanam yang tidak pasti dikhawatirkan akan mempengaruhi kestabilan
produksi padi nasional.
Ada banyak langkah yang harus ditempuh untuk mewujudkan swasembada
beras dan kestabilan stok beras. Salah satunya yaitu meningkatkan produksi beras
nasional. Penerbitan beberapa Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) seperti
Permentan Nomor 45/Permentan/OT.140/8/2011 tentang Tata Hubungan Kerja
Antar Kelembagaan Teknis, Penelitian dan Pengembangan, dan Penyuluhan
Pertanian dalam Mendukung Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) dan
Permentan terbaru yaitu Permentan Nomor 03/Permentan/OT.140/2/2015 tentang
Pedoman Upaya Khusus (UPSUS) Peningkatan Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai
melalui Program Perbaikan Irigasi dan Sarana Pendukungnya merupakan upaya
regulatif yang dilakukan pemerintah untuk terus mendorong peningkatan produksi
beras nasional.
Walaupun beberapa peraturan diterbitkan untuk mendorong peningkatan
produksi beras, pada dasarnya upaya yang dapat dilakukan hanya ada dua cara yaitu
ekstensifikasi (perluasan lahan) dan intensifikasi pertanian (penerapan teknologi).
Mengingat rata-rata pertambahan luas lahan sawah nasional dalam kurun waktu
2003-2013 sangat lambat yaitu hanya bertambah 980,65 m2 atau hanya 98 m2/tahun
menjadikan upaya ekstensifikasi untuk meningkatan produksi padi kurang menjadi
prioritas. Satu-satunya upaya yang tersisa yaitu dengan cara intensifikasi lahan
pertanian yang sudah ada. Intensifikasi pertanian pada zaman Orde Baru biasa
dikenal dengan panca usahatani yang terdiri dari pengolahan tanah yang baik,
pengairan yang teratur, pemilihan bibit unggul, pemupukan, dan pengendalian
hama dan penyakit. Berdasarkan penelitian di lapangan, penggunaan benih unggul
diakui telah menjadi satu faktor kunci keberhasilan dalam peningkatan produksi.
Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Deptan (1983), dan Oladele et al. (2011) yang
2
menyatakan bahwa peran benih unggul sangat penting sebagai teknologi yang
digunakan untuk menentukan batas produktivitas yang bisa dicapai, kualitas produk
yang dihasilkan, dan efisiensi berproduksi. Oleh sebab itu sebagai upaya
mewujudkan swasembada beras perlu upaya untuk mengalihkan penggunaan benih
varietas lokal ke benih varietas unggul dan akhirnya diarahkan untuk menggunakan
benih varietas hibrida. Tetapi perlu diperhatikan, bahwa benih unggul akan
menunjukkan kinerjanya jika disertai aplikasi inovasi lainnya.
Hal tersebut mendorong lembaga maupun korporasi yang bergerak di sektor
riset dan pengembangan pertanian untuk terus meneliti guna menciptakan inovasi
berupa benih unggul yang memiliki produktivitas tinggi. Benih padi varietas
MAPAN P-05 merupakan salah satu hasil pengembangan benih unggul varietas
hibrida yang telah dirilis semenjak tahun 2006. Hasil penelitian lapangan Fakultas
Pertanian UGM menunjukkan bahwa hasil panen padi hibrida lebih tinggi sekitar
14 persen dibandingkan hasil panen padi IR 64. Padi Hibrida mampu menghasilkan
6,5 – 7,0 ton per hektar, sedangkan panen padi IR 64 menghasilkan 5,9 ton per
hektar (Ruskandar 2010).
Namun fakta empiris menunjukkan bahwa walaupun selama kurun waktu
2010-2014 Sub Sistem Inovasi Perbenihan Nasional telah menghasilkan beragam
varietas padi baru seperti Inpari, Inpago, Inpara, dan Hibrida ternyata masih belum
mampu menggeser sepenuhnya keberadaan varietas lokal ataupun varietas unggul
lama. Hal ini dikarenakan belum optimalnya fungsi diseminasi dan sistem
perbenihan nasional (Kementan 2015). Hal ini juga diperkuat oleh hasil evaluasi
eksternal maupun internal Litbang Pertanian (2004) yang menunjukkan bahwa
kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi teknologi yang dihasilkan Balitbang
Pertanian cenderung lambat bahkan menurun, sampai dengan tahun 2015 tercatat
hanya terdapat 1% dari total luasan lahan sawah di Indonesia yang telah ditanami
padi hibrida (Muhtarudin 2015). Pertimbangan dan keputusan petani untuk
mengadopsi inovasi baru khususnya benih unggul hibrida diduga dipengaruhi oleh
banyak faktor. Upaya akselerasi adopsi benih hibrida oleh petani sangat diperlukan
agar target produktivitas padi yang ditetapkan dapat tercapai. Namun kajian
mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan adopsi inovasi pertanian
khususnya adopsi benih padi unggul varietas hibrida masih sedikit.
Oleh sebab itu perlu diketahui bagaimana berlangsungnya proses
pengambilan keputusan inovasi budidaya padi hibrida varietas MAPAN P-05 oleh
petani khususnya di Kecamatan Sragi, Kabupaten Pekalongan. Hal ini penting
sebagai informasi bagi seluruh pemangku kepentingan untuk menentukan arah
kebijakan dan langkah strategis dalam upaya percepatan proses adopsi benih unggul
guna mewujudkan swasembada pangan nasional.
Perumusan Masalah
Keberhasilan proses pengambilan keputusan inovasi berhubungan dengan
berbagai faktor. Rogers (2003) mendefinisikan pengambilan keputusan inovasi
sebagai suatu proses yang mencakup suatu rangkaian kegiatan penerimaan atau
penolakan inovasi oleh unit pengambilan keputusan dan terjadi dalam lima tahap
yaitu tahap pengenalan, tahap persuasi, tahap keputusan, tahap penerapan, dan
tahap konfirmasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang
diduga berhubungan dengan tahap pengambilan keputusan inovasi yaitu,
karakteristik individu petani, persepsi terhadap karakteristik inovasi, saluran
3
komunikasi, dan kondisi sebelumnya. Selain itu, penelitian Susanti (2008) dan
Rizka (2015) menambahkan faktor lain yang diduga berhubungan dengan proses
pengambilan keputusan inovasi, yaitu faktor eksternal. Sehubungan dengan
banyaknya faktor yang diduga berhubungan dengan proses pengambilan keputusan
inovasi, maka perlu diketahui gambaran mengenai bagaimana karakteristik petani
sebagai unit pengambilan keputusan inovasi, persepsi petani terhadap karakteristik
inovasi, dan tingkat dukungan faktor eksternal yang diperoleh petani untuk
mengadopsi budidaya padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi, Kabupaten
Pekalongan?
Setelah diketahui gambaran mengenai faktor-faktor yang diduga
berhubungan dengan proses pengambilan keputusan inovasi mulai dari tahap
pengenalan hingga terjadi keputusan inovasi padi hibrida MAPAN P-05 di
Kecamatan Sragi, dan merujuk pada Rogers (2003) serta mengelaborasi
penelitian-penelitian sebelumnya (Susanti 2008; Rizka 2015) perlu diketahui,
bagaimana hubungan antara karakteristik petani Kecamatan Sragi, faktor persepsi
petani terhadap karakteristik padi hibrida MAPAN P-05, dan dukungan faktor
eksternal dengan tahap pengambilan keputusan adopsi inovasi budidaya padi
hibrida MAPAN P-05?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, tujuan umum penelitian ini adalah untuk
menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan proses pengambilan
keputusan inovasi padi hibrida MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi. Adapun tujuan
khusus dalam penelitian ini, yaitu menghasilkan:
1. Analisis karakteristik petani sebagai unit pengambil keputusan inovasi,
persepsi petani terhadap karakteristik inovasi budidaya padi hibrida
MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi, dan tingkat dukungan eksternal yang
diperoleh petani.
2. Analisis hubungan antara karakteristik petani, persepsi petani terhadap
karakteristik padi hibrida MAPAN P-05, dan faktor dukungan eksternal
dengan tahap pengambilan keputusan adopsi inovasi padi hibrida
MAPAN P-05 di Kecamatan Sragi.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:
1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman
dalam menerapkan berbagai konsep dan teori berkenaan proses
pengambilan keputusan inovasi, yaitu dalam konteks introduksi inovasi
budidaya padi hibrida MAPAN P-05 pada petani di Kecamatan Sragi,
Kabupaten Pekalongan.
2. Bagi pihak lain, khususnya para peneliti di bidang riset pengambilan
keputusan inovasi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan
informasi awal bagi studi pengambilan keputusan inovasi padi hibrida
MAPAN P-05 di Kabupten Pekalongan dan wilayah lainnya di Indonesia.
Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat meberi kontribusi pada
pengembangan riset pengambilan keputusan sebagai bagian dari
komunikasi pembangunan di Indonesia.
4
3. Bagi pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi informasi tambahan untuk menentukan arah
kebijakan dan langkah strategis dalam upaya percepatan proses adopsi
budidaya padi hibrida guna mendukung terwujudnya swasembada beras
nasional.
5
PENDEKATAN TEORITIS
Inovasi
Rogers (2003) mengartikan inovasi sebagai ide-ide baru, praktik-praktik baru,
atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu
atau masyarakat sasaran penyuluhan. Pengertian “baru” disini, mengandung makna
bukan sekedar “baru diketahui” oleh pikiran (cognitive), akan tetapi juga baru
karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masayarakat dalam arti
sikap (attitude), dan juga baru dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan
atau diterapkan oleh seluruh warga masayarakat setempat. Soekartawi (1988)
mendefinisikan inovasi sebagai suatu ide yang dipandang perlu oleh seseorang.
Latar belakang seseorang yang berbeda-beda, mempengaruhi penilaian obyektif,
apakah suatu ide yang dimaksud tergolong baru atau tidak. Oleh sebab itu kebaruan
suatu inovasi sangat relatif sifatnya. Sifat baru tersebut kadang-kadang menentukan
reaksi seseorang. Reaksi ini tentu saja berbeda-beda antara individu satu dengan
yang lain.
Leeuwis (2004) mengungkapkan bahwa keberhasilan inovasi tergantung
bagaimana inovasi tersebut mampu menciptakan keselarasan atau tidak. Masuknya
inovasi pada suatu komunitas merupakan awal dari sebuah perubahan, dan
perubahan tidak pernah datang sendirian. Proses penyebaran inovasi merupakan
upaya yang disengaja untuk menciptakan efek. Penyebaran inovasi harus
memperhatikan unsur teknis dan sosial. Jika inovasi memenuhi unsur teknis dan
unsur sosial dalam sebuah masyarakat, maka keselarasan yang dimaksud
sebelumnya akan tercipta.
Inovasi “gagal” (tidak dapat diterima pada skala yang signifikan) sering
disebabkan oleh keselarasan yang tidak seimbang. Hal tersebut disebabkan karena
kebanyakan ilmuwan atau penemu inovasi hanya bekerja pada dimensi teknis,
tetapi lupa untuk membangun jaringan yang efektif. Banyak produk-produk yang
memiliki dimensi teknis yang lebih unggul ternyata gagal diadopsi oleh masyarakat
karena kurangnya dukungan jaringan, sedangkan produk dengan kualitas teknis
lebih rendah mampu diterima masyarakat luas karena upaya membangun jaringan
yang bagus. Oleh karena itu Leeuwis (2004) menyatakan bahwa tahap awal
keberhasilan inovasi tergantung dari bagaimana memobilisasi ide-ide baru “di atas
meja” dengan cara membangun hubungan dengan “orang luar” yang mungkin
mempunyai pandangan lebih luas terhadap sasaran inovasi.
Padi Hibrida sebagai Suatu Inovasi
Teknologi hibrida adalah upaya manusia untuk merekonstruksi seluruh
pasangan gen pada tanaman menjadi heterezigot dengan cara persilangan dua tetua
berbeda yang dipilih melalui seleksi. Hasil pasangan gen-gen yang bersifat
heterozigot tersebut mengakibatkan timbulnya gejala heterosis, yaitu produktivitas
varietas tanaman hibrida lebih tinggi dibanding varietas non-hibrida (Satoto et al.
2009). Kebutuhan beras yang cukup tinggi dan konversi lahan yang mengakibatkan
menyempitnya lahan pertanian mengharuskan adanya teknologi intensifikasi yang
solutif untuk memecahkan permasalahan tersebut. Salah satu alternatif yang dapat
6
digunakan untuk meningkatkan produksi beras tanpa menambah luas lahan yaitu
melalui penggunaan padi hibrida.
Menurut Ruskandar (2010) produksi padi dapat ditingkatkan melalui
penggunaan varietas hibrida dengan memanfaatkan gejala heterosis yang mampu
meningkatkan potensi hasil 15-20 persen lebih tinggi dibanding varietas inbrida.
Satoto dan Suprihatno (2008) menjelaskan bahwa secara teknis ada lima kunci
utama agar pengembangan padi hibrida berhasil. Kelima kunci tersebut adalah
varietas yang cocok, benih yang bermutu, teknologi budidaya yang tepat, wilayah
yang sesuai, dan respon petani. Setiap varietas padi hibrida pada dasarnya
mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam berproduksi. Varietas yang
cocok dikembangkan di wilayah yang satu belum tentu cocok dikembangkan di
wilayah lainnya atau dengan kata lain varietas padi hibrida memiliki sifat spesifik
lokasi. Jika kelima kunci tersebut dapat dipenuhi, maka peluang pengadopsian
benih hibrida secara luas oleh petani dapat terlaksana.
Proses Pengambilan Keputusan Inovasi
Jailanis et al. (2014) menyatakan bahwa adopsi inovasi pertanian oleh petani
yang bersifat positif merupakan salah satu tujuan pembangunan pertanian. Hal ini
diperkuat oleh pendapat Mulyadi et al. (2007) yang menyatakan inovasi yang
terhambat menyebabkan pembangunan pertanian berjalan lamban. Oleh karena itu
petani diharapkan memiliki kesadaran terhadap inovasi yang kemudian diikuti
sikap menerima dan perilaku mengadopsi sebagai upaya pengembangan dan
penerapan inovasi tersebut.
Rogers (2003) mendefinisikan proses pengambilan keputusan inovasi sebagai
suatu proses mental yang dilalui oleh individu atau unit pengambil keputusan lain
mulai dari pengetahuan pertama mengenai suatu inovasi, membentuk sikap
terhadap inovasi tersebut, hingga memutuskan untuk mengadopsi atau menolak,
menerapkan ide baru, dan mengkonfirmasi keputusan tersebut. Ismilaili (2015)
mengungkapkan bahwa pengambilan keputusan oleh petani terhadap penolakan
atau penerimaan suatu inovasi tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan
menguntungkan atau tidaknya teknologi tersebut secara ekonomis bagi petani.
Untuk itu dalam proses pengambilan keputusan diperlukan beberapa tahapan untuk
mempertimbangkan inovasi tersebut.
Selama perkembangannya, dikenal dua teori atau dua model mengenai proses
adopsi yaitu pandangan tradisional tentang proses adopsi dan proses pengambilan
keputusan inovasi. Dikutip dari Mugniesyah (2006) pandangan tradisional yang
dikenal dengan konsep proses adopsi pertama diterima sebagai dalil oleh The
North-Central Rural Sociology Subcomittee for the Study of Farm Practices dalam
pertemuan ilmiah pada tahun 1955. Diungkapkan oleh Rogers (2003) bahwa
beberapa peneliti yang fokus pada penelitian tentang difusi merumuskan lima
tahapan kumulatif yang terjadi dalam proses adopsi. Tahap-tahap tersebut
dijelaskan sebagai berikut.
1. Tahap awareness atau tahap di mana individu menjadi sadar akan adanya
suatu ide atau inovasi baru.
2. Tahap interest atau tahap di mana individu mulai menaruh minat terhadap
inovasi ditandai dengan individu tersebut mulai mencari informasi yang
lebih lengkap mengenai inovasi tersebut.
7
3. Tahap evaluation yaitu tahap ketika individu mulai bersikap untuk
menyukai atau tidak menyukai inovasi yang ada. Menurut Mugniesyah
(2006) tahap ini disebut juga sebagai tahap “mencoba secara mental”.
Individu mencoba mendapatkan bukti-bukti internal (dari dalam pikirannya
sendiri) untuk membandingkan apakah dengan menerapkan inovasi tersebut
akan berdampak positif pada situasi masa depannya. Jika evaluasi yang
dilakukan individu dalam pikirannya menghasilkan kesimpulan yang
positif, maka ia akan meneruskan perkembangan perilakunya ke tahap
selanjutnya.
4. Tahap small scale trial, yaitu tahapan di mana individu mencoba
menerapkan inovasi secara nyata pada skala kecil guna memperoleh buktibukti eksternal.
5. Tahap adoption, merupakan tahap akhir dari proses adopsi di mana individu
menerapkan inovasi secara kontinyu dalam skala besar.
Perkembangan kajian adopsi memunculkan kritikan terhadap model
tradisional proses adopsi yang diungkapkan Rogers (2003). Kritikan tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Model proses adopsi mengimplikasikan bahwa proses tersebut selalu
berakhir pada keputusan adopsi, padahal pada kenyataanya penolakan untuk
mengadopsi mungkin saja terjadi. Oleh karena itu diperlukan istilah yang
lebih umum daripada “proses adopsi” untuk menggambarkan adanya adopsi
atau penolakan.
2. Lima tahap tersebut tidak selalu terjadi secara berurutan, beberapa tahap
mungkin saja dilompati, terutama tahap trial (mencoba). Tahap evaluasi
sebenarnya terjadi pada keseluruhan proses, tidak hanya sebagai salah satu
tahap dari lima tahap yang ada.
3. Proses adopsi jarang berakhir dengan adopsi, pencarian informasi yang
lebih mendalam mungkin saja dilakukan oleh individu untuk
mengkonfirmasi atau menguatkan keputusan, atau individu bisa saja
mengubah keputusannya dari yang awalnya mengadopsi menjadi menolak
(a discontinuance).
Catatan kaki pada buku Communication of Innovations edisi kedua tulisan
Rogers dan Shoemaker (1971), dituliskan bahwa model empat tahap merupakan
model perbaikan dari model tradisional “adopsi inovasi”. Model baru ini dapat
menggambarkan kemungkinan terjadinya penolakan atau rejection terhadap suatu
inovasi dan memungkinkan adanya peninjaun keputusan oleh individu yang akan
menguatkan atau membalikkan keputusan yang telah dibuatnya. Secara konseptual,
model empat tahap ini berkaitan dengan konsep pengambilan keputusan, proses
pembelajaran, dan reduksi disonansi.
Bentuk kritik terhadap model lima tahap sebelumnya, Rogers dan Shoemaker
(1971) merumuskan model baru proses adopsi yang hanya memuat empat tahapan
dalam prosesnya yaitu tahap knowledge (pengenalan), persuasion (persuasi),
decision (keputusan), dan confirmation (konfirmasi) yang kemudian dikenal
dengan istilah proses pengambilan keputusan inovasi. Empat tahapan pengambilan
keputusan inovasi yang diungkapkan Rogers dan Shoemaker (1971) dikoreksi oleh
Rogers (2003) menjadi lima tahapan yaitu tahap knowledge (pengetahuan),
8
persuasion (persuasi), decision (keputusan), implementation (penerapan), dan
confirmation (konfirmasi). Tahap-tahap tersebut dijelaskan pada uraian berikut ini.
Tahap pengenalan (knowledge), yaitu tahap ketika seseorang belum memiliki
informasi mengenai inovasi baru. Untuk itu informasi mengenai inovasi tersebut
harus disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada, bisa melalui
media elektronik, media cetak, maupun komunikasi interpersonal di antara
masyarakat.
Tahap persuasi (persuasion), tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam
tingkat pemikiran calon pengguna. Seseorang akan mengukur keuntungan yang
akan ia dapat jika mengadopsi inovasi tersebut secara personal. Berdasarkan
evaluasi dan diskusi dengan orang lain, ia mulai cenderung untuk mengadopsi atau
menolak inovasi tersebut.
Tahap pengambilan keputusan (decision), yaitu tahap di mana seseorang
membuat keputusan akhir apakah mereka akan mengadopsi atau menolak sebuah
inovasi. Namun bukan berarti setelah melakukan pengambilan keputusan ini lantas
menutup kemungkinan terdapat perubahan dalam pengadopsian.
Tahap penerapan (implementation), yaitu tahap ketika seseorang mulai
menggunakan inovasi sambil mempelajari lebih lanjut tentang inovasi tersebut.
Tahap yang terakhir yaitu tahap konfirmasi (confirmation), yaitu tahapan yang
terjadi setelah sebuah keputusan dibuat, seseorang kemudian akan mencari
pembenaran atas keputusan mereka. Apakah inovasi tersebut diadopsi atau tidak,
seseorang akan mengevaluasi akibat dari keputusan yang mereka buat. Tidak
menutup kemungkinan seseorang kemudian mengubah keputusan yang tadinya
menolak jadi menerima inovasi setelah melakukan evaluasi.
Pada dasarnya, proses adopsi memiliki selang waktu antar tahapan satu
dengan yang lainnya yang tidak selalu sama (tergantung sifat inovasi, karakteristik
sasaran, keadaan lingkungan (fisik maupun sosial), dan aktivitas/kegiatan yang
dilakukan oleh penyuluh (Ismilaili 2015). Hal ini yang menjadikan penelitian
mengenai proses pengambilan keputusan inovasi agak rumit dilakukan karena
untuk menggali informasi pada setiap tahapan yang sudah terlewati memerlukan
waktu yang lama. Seperti dipaparkan Indraningsih (2011) dalam penelitiannya yang
hanya membatasi penelitian proses pengambilan keputusan inovasi hanya pada satu
tahap yaitu tahap keputusan inovasi dengan tujuan menghindari data yang tidak
valid dan tidak reliabel.
Mulyadi et al. (2007) dalam penelitiannya tentang proses adopsi inovasi
pertanian oleh Suku Arfak mengkaji tahapan proses pengambilan keputusan inovasi
hanya sampai pada tahap pengambilan keputusan. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa setiap tahapan dalam proses pengambilan keputusan inovasi
selalu dipengaruhi oleh tahapan sebelumnya dan tahapan yang paling menentukan
petani untuk menerima atau menolak inovasi adalah tahap pengenalan, sehingga
dalam kajian mengenai topik keputusan inovasi tidak bisa hanya memilih satu
tahapan saja.
Purnaningsih et al. (2006) meneliti kajian tahapan pengambilan keputusan
inovasi dengan lengkap mulai dari tahap pengenalan hingga tahap konfirmasi. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa setiap tahap memiliki karakteristik tersendiri.
Tahap pengenalan lebih menekankan pada aspek kognitif penerima inovasi,
sedangkan tahap persepsi dan keputusan menekankan pada aspek afektif, dan
tahapan penerapan menekankan aspek psikomotorik. Oleh karena itu keberhasilan
setiap tahapannya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berbeda.
9
Hasil-Hasil Studi Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengambilan
Keputusan Inovasi
Upaya individu untuk mencapai tahap di mana mereka memutuskan untuk
mengadopsi atau menolak suatu inovasi merupakan suatu pertimbangan mental
yang cukup kompleks dan berhubungan dengan berbagai faktor. Banyak penelitian
mencoba menganalisis bagaimana proses yang dilalui dan faktor apa saja yang
berhubungan dengan kemampuan individu untuk mencapai tahap di mana ia
mengambil keputusan untuk menerima atau mengadopsi suatu inovasi. Rogers
(2003) mengidentifikasi empat faktor yang berhubungan dengan proses
pengambilan keputusan yaitu faktor kondisi sebelumnya, faktor karakteristik unit
pengambil keputusan (karakteristik sosial-ekonomi, karakteristik pribadi, dan
perilaku komunikasi), faktor persepsi terhadap inovasi, dan saluran komunikasi.
Penelitian Susanti (2008) membagi faktor-faktor yang telah dijabarkan
Rogers (2003) menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal dijabarkan sebagai faktor yang melekat pada unit pengambilan keputusan
inovasi, antara lain meliputi: umur, tingkat pendidikan, luas lahan, dan tingkat
pendapatan. Faktor eksternal didefinisikan sebagai faktor yang berasal dari luar unit
pengambilan keputusan, meliputi: lingkungan ekonomi, lingkungan sosial, dan sifat
inovasi. Berbeda halnya dengan penggolongan faktor pengaruh keputusan inovasi
yang dilakukan oleh Rizka (2015), sifat atau karakteristik inovasi dijadikan faktor
tersendiri.
Berdasarkan hasil tinjauan pada beberapa literatur yang telah dilakukan, dapat
diidentifikasi beberapa faktor-faktor yang sering muncul dan memiliki hubungan
dengan proses pengambilan keputusan inovasi. Faktor-faktor tersebut diuraikan
berikut ini.
Karakteristik Penerima Inovasi
Rogers (2003) memaparkan beberapa variabel mengenai karakteristik unit
pengambil keputusan yang dibagi menjadi variabel karakteristik sosial ekonomi,
karakteristik individu, dan perilaku komunikasi. Karakteristik sosial-ekonomi unit
pengambil keputusan meliputi umur individu, lama mengenyam pendidikan,
tingkat status sosial, mobilitas sosial, skala usaha, sifat komersil, dan keberanian
mengambil kredit. Karakteristik pribadi meliputi variabel tingkat kesadaran,
kemampuan menerima hal baru, tingkat kerasionalitasan, tingkat intelegensi, sikap
menerima perubahan, kemampuan beradaptasi, tingkat pendidikan, sikap tidak
menyerah, memiliki motivasi yang tinggi, dan memiliki aspirasi yang tinggi.
Hampir semua literatur yang dikaji selalu meneliti hubungan antara variabel
karakteristik penerima inovasi dengan proses keputusan inovasi. Karakteristik
penerima inovasi dijabarkan dalam beberapa indikator sebagai berikut ini.
a.
Umur
Umur didefinisikan sebagai lama hidup seseorang terhitung mulai dari lahir
hingga penelitian dilakukan. Hasil analisis beberapa pustaka menunjukkan bahwa
umur memiliki pengaruh yang signifikan dan berhubungan positif nyata (Awotide
2015), tidak berpengaruh signifikan (Bruce et al. 2014), berhubungan negatif nyata
atau dengan kata lain semakin muda umur penerima inovasi maka tingkat
pengambilan keputusan adopsi tinggi (Purnaningsih et al. 2006; Mulyadi et al.
2007; Onumadu dan Osahon 2014), dan tidak memiliki pengaruh (Amala et al.
10
2013; Jailanis et al. 2014; Ishak et al. 2015) terhadap proses pengambilan keputusan
inovasi. Jailanis et al. (2014) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa umur
dikatakan tidak memiliki pengaruh dengan alasan responden penelitiannya tidak
mewakili sebaran umur setiap kategori, sehingga tidak dapat dibandingkan
perbedaannya.
b.
Tingkat pendidikan
Hasil penelitian Sumarno (2010), Onumadu dan Osahon (2014), Awotide
(2015), dan Bruce et al. (2014) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
berhubungan positif nyata atau berpengaruh signifikan terhadap proses
pengambilan keputusan inovasi. Penerima inovasi yang memiliki tingkat
pendidikan tinggi akan mengambil keputusan untuk menerima inovasi yang
diberikan. Lain halnya dengan penelitian Amala et al. (2013), Jailanis et al. (2014),
Ishak et al. (2015) menyatakan bahwa tingkat pendidikan tidak memiliki pengaruh
terhadap pengambilan keputusan inovasi. Penelitian Jailanis et al. (2014)
menjelaskan bahwa pendidikan formal tidak mempengaruhi proses keputusan
inovasi, tetapi dalam hasil penelitiannya disebutkan bahwa pendidikan non formal
memiliki hubungan yang kuat dengan proses pengambilan keputusan.
c.
Luas lahan garapan
Semakin luas lahan garapan petani seharusnya diikuti dengan tingkat adopsi
inovasi yang tinggi, karena tersedia lahan yang cukup untuk mencoba inovasi yang
diperkenalkan. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa luas lahan garapan
tidak memiliki hubungan atau pengaruh terhadap keputusan inovasi (Jailanis et al.
2014).
d.
Lama berusahatani
Lama berusahatani diduga sebagai salah satu faktor yang berhubungan
dengan keputusan inovasi. Penerima inovasi yang sudah memiliki pengalaman
berusahatani lama akan memiliki ketrampilan yang lebih dibanding petani dengan
petani yang memiliki pengalaman baru. Hal ini terbukti pada penelitian yang
dilakukan oleh Purnaningsih et al. (2006), Amala et al. (2013), Jailanis et al. (2014),
Onumadu dan Osahon (2014), Awotide (2015), dan Ishak et al. (2015). Lama
berusahatani juga diduga sebagai salah satu penyebab variabel tingkat pendidikan
formal tidak berpengaruh nyata terhadap proses adopsi (Jailanis et al. 2014).
e.
Luas kepemilikan lahan
Petani yang memiliki lahan sendiri seharusnya akan lebih mudah mengatur
penggunaan lahannya untuk mengimplementasikan inovasi baru. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Onumadu dan Osahon (2014), Bruce et al. (2014, Jailanis
et al. (2014), Awotide (2015), yang menunjukkan hubungan positif nyata antara
variabel luas kepemilikan lahan dengan keputusan adopsi petani. Berbeda dengan
hasil penelitian Amala et al. (2015) yang menunjukkan tidak adanya pengaruh
variabel luas kepemilikan lahan, bahkan penelitian Ishak et al. (2015) menunjukkan
hubungan negatif nyata antara keduanya. Penyebab hubungan negatif nyata ini
diduga karena jika lahan yang dimiliki oleh petani semakin luas, maka biaya
pengelolaannya semakin tinggi sehingga tidak ada biaya lebih untuk inovasi baru.
f.
Tingkat pendapatan petani
Setiap pengaplikasian suatu inovasi baru akan memerlukan biaya tambahan
(Onumandu et al. 2014). Salah satu sumber dana pendukung untuk mencoba suatu
inovasi dapat berasal dari biaya pribadi petani. Tingkat pendapatan petani yang
tinggi tentunya akan mempermudah petani untuk mencoba-coba inovasi baru yang
memperlukan biaya lebih. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Jailanis et al. (2014)
11
dan Awotide (2015) yang menunjukkan hubungan nyata positif dan sangat erat
diantara kedua variabel tersebut.
g.
Tingkat keberanian beresiko
Keputusan untuk menerapkan suatu inovasi baru membutuhkan keberanian
untuk menghadapi ketidakpastian hasil yang diperoleh. Salah satu penyebab
lambatnya adopsi inovasi yaitu tingkat keberanian beresiko petani yang masih
rendah. Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberanian beresiko
yaitu tingkat keinovatifan unit pengambil keputusan, sikap unit pengambil
keputusan ketika ada inovasi baru, frekuensi mencoba inovasi baru setiap kali
musim tanam, dan tingkat rasionalitas ketika dikenalkan pada inovasi baru.
Tingkat keinovatifan yang dimaksud mengacu pada konsep innovationdecision periode yang diungkapkan oleh Rogers (2003) dan definisi dalam
beberapa penelitian (Marwandana 2014; Sumarno 2010). Tingkat keinovatifan
diartikan sebagai selang waktu yang dibutuhkan unit pengambil keputusan dari
mengenal inovasi sampai memutuskan untuk mengadopsi inovasi tersebut. Kedua
penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat keinovatifan petani berhubungan
dengan tahap pengambilan keputusan inovasi.
Petani memiliki kecenderungan yang kuat akan kepastian, dan menghindari
ketidakpastian. Penelitian Sumarno (2010) tentang adopsi teknologi gerabah
menunjukkan bahwa sifat pengusaha yang memiliki tingkat beresiko tinggi
berpengaruh signifikan terhadap adopsi teknologi. Sama halnya dengan penelitian
Indraningsih (2011) tentang adopsi inovasi teknologi usahatani, tingkat keberanian
beresiko terbukti berpengaruh signifikan pada petani adopter. Merujuk pada hasilhasil studi tersebut, maka perlu diteliti lebih lanjut hubungan antara tingkat
keberanian beresiko petani dengan proses pengambilan keputusan inovasi.
h.
Perilaku komunikasi
Faktor terakhir yaitu perilaku unit pengambilan keputusan dalam
berkomunikasi dijabarkan menjadi beberapa variabel meliputi partisipasi sosial,
koneksi dengan sistem sosial, tingkat kekosmopolitan, interaksi dengan agen
perubahan, keterdedahan media massa, keaktifan mencari informasi, kemampuan
menjadi opinion leader, dan banyaknya jaringan yang dimiliki.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi sosial berhubungan
dengan pengambilan keputusan inovasi namun hubungannya lemah (Amala et al.
2013). Tingkat kekosmopolitan dalam penelitian Jailanis et al. (2014) tidak
menunjukkan adanya hubungan dengan pengambilan keputusan inovasi namun,
penelitian Amala et al. (2013) menunjukkan adanya hubungan dengan tingkat
keeratan sedang terhadap keputusan inovasi. Interaksi dengan agen perubahan
dijabarkan dalam beberapa penelitian sebagai variabel kontak dengan petani lain
dan kontak dengan penyuluh (Purnaningsih et al. 2006; Bruce et al. 2014) terbukti
memiliki pengaruh nyata terhadap keputusan inovasi. Jaringan yang dimiliki petani
biasanya berupa kelembagaan petani di lingkungannya. Bergabungnya petani
dengan kelembagaan pertanian tertentu membuat wawasan petani semakin luas dan
meningkatkan kemampuan menjadi pemimpin pendapat bagi petani lainnya. Hal
ini diharapkan mampu mempengaruhi keputusan inovasi. Hasil kajian beberapa
penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan petani dalam kelembagaan pertanian
memiliki pengaruh dalam keputusan inovasi namun dengan hasil yang berbeda.
Onumadu dan Osahon (2014) memaparkan bahwa keterlibatan petani Nigeria
dalam kelembagaan pertanian terbukti memiliki hubungan positif nyata terhadap
12
keputusan inovasi, sedangkan penelitian Awotide (2015) yang juga dilakukan di
Nigeria menunjukkan hal sebaliknya.
Literatur yang menguji variabel pengaruh atau hubungan antara karakteristik
penerima inovasi dengan keputusan inovasi menunjukkan hasil yang beragam.
Tidak semua penelitian secara seragam menyatakan bahwa variabel karakteristik
unit pengambilan keputusan memiliki pengaruh yang berbanding lurus atau
berbanding terbalik terhadap keputusan adopsi. Maka dari itu perlu kajian
mendalam untuk melihat pengaruh variabel karakteristik unit pengambil keputusan
terhadap keputusan inovasi. Pada penelitian ini, karakteristik petani yang akan
diteliti meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, lama berusahatani,
luas lahan yang diusahakan, tingka