HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI DAN SIFAT INOVASI TERHADAP TINGKAT ADOPSI INOVASI BUDIDAYA PADI HIBRIDA DI KECAMATAN PUGUNG KABUPATEN TANGGAMUS

(1)

ABSTRAK

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI

DAN SIFAT INOVASI TERHADAP TINGKAT ADOPSI INOVASI BUDIDAYA PADI HIBRIDA DI KECAMATAN PUGUNG

KABUPATEN TANGGAMUS Oleh

Lina Febri Yanti

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus, (2) faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus. Pengumpulan data penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober-Desember 2014 dan menggunakan metode sensus. Responden penelitian adalah seluruh petani yang membudidayakan padi hibrida di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus pada tahun 2014. Data dianalisis secara deskriptif dan statistik menggunakan analisis jalur (path analysis). Penelitian menunjukkan hasil sebagai berikut. (1) Tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida

di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus termasuk dalam klasifikasi sedang karena meskipun inovasi budidaya padi hibrida dinilai cukup menguntungkan namun sedikit sulit untuk diterapkan oleh petani. (2) Faktor luas lahan usahatani padi, tingkat pendidikan, dan sifat inovasi nyata berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida, sedangkan faktor tingkat pengalaman berusahatani padi dan tingkat keberanian mengambil risiko tidak berhubungan nyata dengan tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida.


(2)

ABSTRACT

THE CORRELATION BETWEEN FARMERS CHARACTERISTICS AND INNOVATION CHARACTER WITH THE LEVEL OF INNOVATION

ADOPTION OF HYBRID RICE CULTIVATION IN PUGUNG DISTRICT OF TANGGAMUS REGENCY

By Lina Febri Yanti

This research aimed to analyze: (1) the level of innovation adoption of hybrid rice cultivation and (2) correlating factors toward the level of innovation adoption of hybrid rice cultivation in the Pugung District of Tanggamus Regency. The research data was collected in October-December 2014 by census method. The research respondents were all farmers who cultivated hybrid rice in Pugung District of Tanggamus Regency in 2014. The research data was analyzed descriptively and statistically by path analysis. The results showed as follows. (1) The level of innovation adoption of hybrid rice cultivation in Pugung District of Tanggamus Regency was commonly still in the moderate category, though hybrid rice cultivation innovation was quite profitable, but it was quite difficult to be applied by farmers. (2) The factors of land area of rice farming, education level, and innovation character were significantly correlated with the level of innovation adoption of hybrid rice cultivation; whereas, the factors of the level of rice farming experience and the courage level of taking risks were not

significantly correlated with the level of innovation adoption of hybrid rice cultivation.


(3)

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI DAN

SIFAT INOVASI TERHADAP TINGKAT ADOPSI INOVASI

BUDIDAYA PADI HIBRIDA DI KECAMATAN PUGUNG

KABUPATEN TANGGAMUS

Oleh

LINA FEBRI YANTI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agribisnis

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

JURUSAN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG


(4)

'j: , .lii.r ..


(5)

.':'1::i rri-i:'ii::i i iiir,,i:.i-i,:;;

,r,:; , '.tt',.,.+*.

lffi'

ilrtli,}+

ri ii,; i:i:i': i ....i ',,t,:; ' '*'q

i-i;*ffi;t**i

;r:iffi;

"'' iii.'i'i."r'i''ffi

t,'",;.,'.''l'"',

''t

"

,;i f i'.,:: :. ;i:"i

l'2i:fuitl

*"

1o

,i*r,:

*

t,.i-o

'

:.,

,',

:,,,'t'rt:,al

;

i,r, Ir r..l iii=i,',rrcH[ i'".,t, r.r,,,t ,'l .',,i,. ;..':::,ii;iili'i":+'.. j;,.',,, .,-',1';i" r',Li;r.,

,,. "i ,,.;1, ,,..,:,pl:ir-;i'.ir.j i.il',ii ,iq1;1;.1;;

,luu:$j,l$,H

H-rtiiffiiri

*;

, i:,-sq,.r'r;,:: :..ir',ii,i,

- 'i;

i;ii-;;i

,,

'

,ti.l

,t

'

,

', ,,

;'il

.".:

;,;;i;;'"

;;:'

j;*

,r;i,ll*i;'-;

r:=[*'i;

ff

';;i-i 1 i! i..: ;.. ii.lii: i' ::. :i : 1r''.'r ".,,t ;'. 3 i: jl' g liit r ": r,.

. i j:' . .' ' ;, 1 .,1

.,.. :il .' " :i:i_ ,

..., .. i i'l:'.'j '; : :.'::;::, 1:


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 24 Februari 1992 dari pasangan Bapak Ahmad Rosidi (Alm) dan Ibu Rosmiaty. Penulis adalah anak bungsu dari empat bersaudara yang menyelesaikan pendidikan di SDN 2 Harapan Jaya Bandar Lampung pada tahun 2004, SMP N 29 Bandar Lampung pada tahun 2007, SMA N 12 Bandar Lampung pada tahun 2010, dan memasuki kuliah di Universitas Lampung, Fakultas Pertanian, Program Studi Agribisnis pada tahun 2010 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Dalam kegiatan kemahasiswaan, penulis pernah menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (HIMASEPERTA) Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Selama masa perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten dosen pada mata kuliah Dasar-Dasar Penyuluhan dan Komunikasi (DDPK).

Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di Desa Mulyorejo Kecamatan Banyumas Kabupaten Pringsewu pada Januari 2013. Pada tahun yang sama penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di Kantor Cabang Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tanjung Karang Bandar Lampung. Penulis pernah menjadi surveyor di Bank Indonesia Provinsi Lampung pada Agustus 2014. Pada

November 2015, penulis mengikuti Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-52 Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya di Palembang sebagai pemakalah.


(7)

SANWACANA

Bismillahirohmannirahim,

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT, atas segala curahan rahmat dan karunia NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat beiring salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW teladan bagi seluruh umat manusia, semoga kelak kita mendapatkan syafaatnya.

Banyak pihak yang telah memberikan sumbangsih, bantuan, nasihat, serta saran yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini yang berjudul “Hubungan Karakteristik Petani dan Sifat inovasi Terhadap Tingkat Adopsi Inovasi Budidaya Padi Hibrida di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus”. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Tubagus Hasanuddin M.S., selaku pembimbing pertama atas ketulusan hati, bimbingan, dukungan dan nasihat yang telah diberikan selama proses penyelesaian skripsi.

2. Ir. Indah Nurmayasari, M.Sc., selaku pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran serta dukungan kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi.


(8)

diberikan untuk penyempurnaan skripsi ini.

4. Ir. Begem Viantimala, M.Si., selaku pembimbing akademik atas dukungan dan arahannya.

5. Dr. Ir. Fembriarti Erry Prasmatiwi, M.S., selaku Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian (Agribisnis) Fakultas Pertanian Universitas lampung. 6. Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung.

7. Teruntuk Ayah Ahmad Rosidi (Alm) dan Ibu Rosmiaty tercinta yang selalu mengiringi langkah dan mendoakanku, terima kasih atas segala limpahan cinta dan kasih sayang, tulus ikhlas membesarkan dan mendidikku dengan penuh kesabaran. Kelima kakakku tersayang, Riana Yanti, Kristina Yanti, Deddy Aprilian, Candra Avika, M Teguh Setia Budi yang selalu mendukung dan menyemangati. Kesuksesanku kelak kupersembahkan untuk kalian. 8. Sahabat dan teman terbaik Muhammad Hidayat Mudrik Mubarok yang telah

memberikan bantuan, dukungan, dan semangat selama ini.

9. Rekan dan keluarga Agribisnis ‘010; Raisa Diti, I Rani MS, Kurnisa Ayi, Incamilla, Andini Fitria, Terisia, Tati, Ita, Yuni , Fitria, Ellis, Susi, Ike, Devi, Nisya, Silvia, Madu, Sastra, Ayu, Erisa, Marcela, Meitri, Hasan, Bara,

Hendra, Kholis, Altri, David, Andika, Cherrya, Hendra, Candra, Pram, David, Rifki, Dion, Riza, Doni, Yuda, Reza dan rekan mahasiswa Agribisnis sekalian atas pengalaman dan kebersamaannya selama ini. Semoga kelak kesuksesan menyertai kita semua. Amin.


(9)

Mbak Fitri, Mas Kardi, Mas Bukhari, Mas Boim) atas semua bantuan yang telah diberikan.

11. Almamater tercinta dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Dengan segala kekurangan yang ada, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Mohon maaf atas segala kesalahan selama proses penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan terbaik atas segala bantuan yang telah diberikan. Amin.

Bandar lampung, Desember 2015 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Kegunaan Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA, KAJIAN PENELITIAN TERDAHULU, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS ... 9

A. Tinjauan Pustaka ... 9

1. Penyuluhan pertanian ... 9

2. Proses adopsi inovasi ... 10

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi ... 16

4. Budidaya padi hibrida ... 21

5. Produksi dan produktivitas padi hibrida ... 27

B. Kajian Penelitian Terdahulu ... 30

C. Kerangka Pemikiran ... 31

D. Hipotesis ... 34

III. METODE PENELITIAN ... 35

A. Definisi Operasional ... 35

1. Variabel bebas (X) ... 35

2. Variabel terikat (Y) ... 37

B. Metode, Responden, Penentuan Lokasi, dan Waktu Penelitian ... 40

C. Metode Pengumpulan Data ... 41

D. Metode Pengolahan dan Analisis Data... 42

E. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 47

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 54

A. Gambaran Umum Kecamatan Pugung ... 54

1. Letak geografis dan luas wilayah ... 54

2. Topografi dan iklim ... 54


(11)

2. Jenis pekerjaan ... 61

3. Jumlah tanggungan keluarga ... 62

B. Deskripsi Variabel Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Adopsi Inovasi Budidaya Padi Hibrida ... 63

1. Luas lahan usahatani padi ... 63

2. Tingkat pendidikan ... 66

3. Tingkat pengalaman berusahatani padi ... 67

4. Tingkat keberanian mengambil risiko ... 69

5. Sifat inovasi ... 70

C. Deskripsi Variabel Tingkat Adopsi Inovasi Budidaya Padi Hibrida di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus ... 76

1. Persiapan lahan ... 77

2. Penggunaan benih hibrida yang bermutu ... 78

3. Penanaman ... 80

4. Pemeliharaan tanaman ... 81

5. Pengendalian hama dan penyakit tanaman (HPT) ... 86

6. Penanganan panen dan pasca panen ... 88

D. Pengujian Hipotesis ... 89

1. Pengujian hipotesis penelitian secara parsial menggunakan analisis jalur (path analysis)... 89

2. Pengujian hipotesis penelitian secara simultan menggunakan analisis jalur (path analysis)... 98

E. Analisis Hubungan Antara Variabel Bebas Dengan Variabel Terikat Menggunakan Analisis Jalur (Path Analysis) ... 102

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 106

A. Kesimpulan ... 106

B . Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 108


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Luas panen, produksi, dan produktivitas padi sawah menurut

Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung tahun 2013 ... 3

2. Desa/pekon yang menjadi sasaran pengembangan padi hibrida Di Kecamatan Pugung pada tahun 2014 ... 4

3. Keunggulan dan kelemahan padi hibrida ... 23

4. Rincian tempat dan populasi petani yang menerapkan padi hibrida di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus pada tahun 2014 ... 41

5. Hasil uji validitas variabel tingkat pengalaman berusahatani padi ... 49

6. Hasil uji validitas variabel tingkat keberanian mengambil risiko ... 49

7. Hasil uji validitas variabel sifat inovasi ... 50

8. Hasil uji validitas variabel tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida 52 9. Keadaan penduduk berdasarkan golongan umur di Kecamatan Pugung tahun 2014 ... 56

10. Keadaan penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Kecamatan Pugung tahun 2014 ... 57

11. Keadaan penduduk berdasarkan mata pencaharian di Kecamatan Pugung tahun 2014 ... 58

12. Keadaan penduduk berdasarkan kepercayaan di Kecamatan Pugung tahun 2014 ... 59

13. Sebaran responden berdasarkan kelompok umur ... 60

14. Sebaran responden berdasarkan jenis pekerjaan ... 61

15. Sebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga ... 62


(13)

18. Sebaran responden berdasarkan status kepemilikan lahan... 65

19. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan ... 66

20. Sebaran responden berdasarkan tingkat pengalaman berusahatani padi.. 68

21. Sebaran responden berdasarkan tingkat keberanian mengambil risiko ... 69

22. Rekapitulasi sebaran responden berdasarkan sifat inovasi ... 70

23. Sebaran responden berdasarkan indikator keuntungan relatif ... 71

24. Sebaran responden berdasarkan indikator kompleksitas... 72

25. Sebaran responden berdasarkan indikator kompatibilitas ... 73

26. Sebaran responden berdasarkan indikator trialabilitas ... 74

27. Sebaran responden berdasarkan indikator observabilitas ... 75

28. Rekapitulasi sebaran responden berdasarkan tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida ... 76

29. Sebaran responden berdasarkan indikator persiapan lahan ... 78

30. Sebaran responden berdasarkan indikator penggunaan benih hibrida yang bermutu ... 79

31. Sebaran responden berdasarkan indikator penanaman ... 80

32. Rekapitulasi sebaran responden berdasarkan indikator pemeliharaan tanaman padi hibrida ... 82

33. Sebaran responden berdasarkan kegiatan pengairan ... 83

34. Sebaran responden berdasarkan kegiatan penyiangan ... 84

35. Sebaran responden berdasarkan kegiatan pemupukan ... 85

36. Sebaran responden berdasarkan indikator pengendalian hama dan penyakit tanaman (HPT) ... 86

37. Sebaran responden berdasarkan indikator penanganan panen dan pasca panen ... 88


(14)

40. Rincian nilai kontribusi langsung dan tidak langsung variabel bebas

terhadap variabel terikat ... 104

41. Rekapitulasi data identitas responden ... 112

42. Rekapitulasi data luas lahan usahatani padi responden... 116

43. Rekapitulasi data variabel X3, X4, dan X5 sebelum diintervalkan ... 120

44. Rekapitulasi data variabel Y sebelum diintervalkan ... 124

45. Rekapitulasi data karakteristik petani (variabel X1, X2, X3, dan X4) yang telah diintervalkan menggunakan MSI... 128

46. Rekapitulasi data sifat inovasi (variabel X5) yang telah diintervalkan menggunakan MSI ... 132

47. Rekapitulasi data tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida (variabel Y) berdasarkan indikator persiapan lahan, penggunaan benih hibrida yang bermutu, dan penanaman yang telah diintervalkan menggunakan MSI ... 140

48. Rekapitulasi data tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida (variabel Y) berdasarkan indikator pemeliharaan tanaman yang telah diintervalkan menggunakan MSI ... 144

49. Rekapitulasi data tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida (variabel Y) berdasarkan indikator pengendalian HPT dan penanganan panen dan pasca panen yang telah diintervalkan menggunakan MSI ... 149

50. Regression SPSS Version 16 Sub Struktur 1 ... 154


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Bagan proses pengambilan keputusan ... 12

2. Paradigma hubungan karakteristik petani dan sifat inovasi terhadap tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida ... 33

3. Diagram analisis jalur ... 45

4. Hasil regresi sub struktur 1 ... 99

5. Hasil regresi sub struktur 2 ... 101

6. Diagram jalur hubungan langsung dan tidak langsung variabel bebas dengan variabel terikat ... 103


(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan pertanian memegang peranan yang strategis dalam perekonomian nasional. Tujuan pembangunan pertanian adalah untuk memperbaiki taraf dan mutu hidup serta kesejahteraan masyarakat. Salah satu upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia adalah dengan memenuhi kebutuhan pangan masyarakat terutama beras. Menurut data sensus penduduk tahun 2010 tercatat 237,64 juta orang penduduk di Indonesia dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,50% per tahun. Pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat yang mencapai 237,64 juta orang tersebut bukanlah tugas yang ringan mengingat jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah setiap tahunnya.

Untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk tentunya dibutuhkan jumlah penyediaan beras yang cukup besar dan terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan kondisi tersebut, peningkatan produksi padi/beras merupakan prioritas pembangunan pertanian guna mencapai swasembada berkelanjutan. Oleh karena itu, pemerintah membentuk program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) sebagai bentuk pertahanan terhadap kewajiban memenuhi kebutuhan pokok masyarakat terhadap konsumsi bahan pangan yaitu beras.


(17)

Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) adalah salah satu program yang dibentuk sebagai salah satu upaya pemerintah untuk membantu petani dalam meningkatkan produksi beras melalui Kementerian Pertanian. Program P2BN difokuskan di 11 provinsi sentra produksi padi yang meliputi 193 kabupaten/kota yang tersebar di Indonesia. Dengan adanya program P2BN ini diharapkan kebutuhan pangan masyarakat dapat terpenuhi dan petani dapat meningkatkan kesejahteraan hidup keluarganya.

Provinsi Lampung sebagai salah satu lumbung padi di Indonesia melaksanakan program P2BN dengan berbagai cara diantaranya mengadakan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) dengan tujuan meningkatkan

pengetahuan dan skill petani dalam budidaya tanaman padi, memberikan stimulan berupa Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) dan Bantuan Langsung Pupuk (BLP) kepada petani, dan pendampingan penerapan teknologi budidaya padi oleh petugas penyuluh lapangan.

Tercatat pencapaian produksi padi di Provinsi Lampung pada tahun 2013 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu mencapai 3,2 juta ton dengan luas lahan panen 638,090 ribu Ha dan produktivitas mencapai 5,03 ton/ha. Pencapaian produksi ini naik sekitar 3,4% dibandingkan tahun 2012. Empat kabupaten/kota yang

memiliki produktivitas tertinggi di Provinsi Lampung adalah Kota Metro di posisi pertama sebesar 5,56 ton/ha, posisi ke-2 yaitu Kota Bandar Lampung sebesar 5,43ton/ha, posisi ke-3 yaitu Kabupaten Pringsewu sebesar 5,42 ton/ha, dan posisi ke-4 yaitu Kabupaten Tanggamus sebesar 5,32 ton/ha.


(18)

Rincian luas panen, produksi, dan produktivitas padi di Provinsi Lampung menurut kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas panen, produksi, dan produktivitas padi menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung tahun 2013

No. Kabupaten/Kota Luas Panen

(Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha) Kabupaten

1 Lampung Barat 24.650 116.771 4,74

2 Tanggamus 43.726 232.543 5,32

3 Lampung Selatan 89.682 471.085 5,25

4 Lampung Timur 100.702 526.213 5,23

5 Lampung Tengah 138.656 719.202 5,19

6 Lampung Utara 39.585 175.146 4,42

7 Way Kanan 38.586 170.564 4,42

8 Tulang Bawang 40.550 189.706 4,68

9 Pesawaran 30.382 159.923 5,26

10 Pringsewu 22.335 120.959 5,42

11 Mesuji 27.385 129.981 4,75

12 Tulang Bawang Barat 16.352 76.115 4,65

13 Pesisir Barat 18.917 82.421 4,36

Kota

1 Bandar Lampung 1.715 9.304 5,43

2 Metro 4.867 22.555 5,56

Total 638.090 3.207.003 5,02

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, 2013

Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa Kabupaten Tanggamus berhasil menempati posisi ke 4 dalam hal produktivitas tertinggi di Lampung dan memiliki potensi yang lebih tinggi untuk menjadi sentra utama padi di Provinsi Lampung dibandingkan Kota Bandar Lampung, Kota Metro, dan Kabupaten Pringsewu yang memiliki luas panen padi lebih sedikit. Pencapaian produktivitas yang tinggi di Kabupaten Tanggamus tidak terlepas dari jalannya program P2BN di


(19)

Pada tahun 2014, Kabupaten Tanggamus terpilih menjadi sasaran pengembangan budidaya padi hibrida sebagai bentuk jalannya program P2BN. Kecamatan Pugung merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Tanggamus yang menjadi sasaran pengembangan budidaya padi hibrida.

Padi hibrida mulai diperkenalkan petani di Kecamatan Pugung pada tahun 2007 dengan cara memberikan subsidi benih kepada petani, subsidi pupuk, dan

mengadakan SLPTT oleh penyuluh pertanian. Rincian desa/pekon yang menjadi sasaran pengembangan budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung pada tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rincian desa/pekon yang menjadi sasaran pengembangan budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung tahun 2014

No. Desa/Pekon Kelompok Tani Anggota Kelompok

(orang)

Luas lahan (ha)

1 Banjar Agung Udik Karya Tani I 30 25

2 Tiuh Memon Setia Usaha 30 25

3 Rantau Tijang Tunas maju 30 25

Jumlah 89 75

Sumber: Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kecamatan Pugung, 2014

Dari Tabel 2. dapat dilihat bahwa terdapat 3 desa/pekon yang menjadi sasaran pengembangan budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung pada tahun 2014 yaitu Banjar Agung Udik, Tiuh Memon, dan Rantau Tijang dengan luas lahan 25/ha untuk setiap desa/pekonnya.

Padi hibrida merupakan turunan yang dihasilkan melalui pemanfaatan fenomena heterosis turunan pertama (F1) dari hasil persilangan antara dua induk yang berbeda. Fenomena heterosis tersebut menyebabkan tanaman F1 tumbuh lebih


(20)

cepat, anakan lebih banyak, dan malai lebih lebat sekitar 1 ton/ha lebih tinggi daripada padi inbrida. Namun keunggulan tersebut tidak diperoleh pada populasi generasi kedua (F2) dan berikutnya.

Sejak tahun 2007 pengembangan budidaya padi hibrida dilaksanakan di delapan provinsi meliputi 86 kabupaten yang tersebar di Indonesia. Pada 29 desember 2010 Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian sepakat untuk melakukan kerjasama dengan Pemerintah China dalam bidang pengembangan budidaya padi hibrida yang difokuskan pelaksanaannya di Provinsi Lampung yaitu di kebun percobaan Natar dan lokasi sekitarnya, tepatnya di Desa Negara Ratu, Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan. Program pengembangan budidaya padi hibrida bekerjasama dengan perusahaan yang bergerak dalam bidang pengadaan benih yaitu PT. Pertani dan PT. Sang Hyang Seri.

Keunggulan dari padi varietas hibrida dibanding varietas inbrida yang menonjol yaitu dari hasil produksi yang lebih menjanjikan dibandingkan padi inbrida. Dalam melakukan upaya pengembangan budidaya padi hibrida, petani tentunya harus memahami terlebih dahulu tentang inovasi budidaya padi varietas hibrida terlebih karena padi hibrida memerlukan pengawasan yang lebih dibandingkan padi inbrida.

Tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida setiap petani berbeda-beda dalam menanggapi atau memahami inovasi tersebut. Hal itu berhubungan pada karakteritik petani dan sifat dari inovasi itu sendiri. Karakteristik petani diantaranya luas lahan usahatani padi, tingkat pendidikan, tingkat pengalaman berusahatani padi, dan tingkat keberanian petani dalam mengambil risiko.


(21)

Faktor yang berasal dari sifat atau karakteristik inovasi itu sendiri antara lain tingkat keuntungan relatif, tingkat kompabilitas, tingkat kompleksitas, tingkat trialabilitas (dapat dicoba), dan tingkat observabilitas.

Pada tahun 2014, Kecamatan Pugung menjadi sasaran pengembangan budidaya padi hibrida sebagai bentuk dari program P2BN di Kabupaten Tanggamus. Ada 3 desa yang menjadi sasaran pengembangan budidaya padi hibrida. Berpijak dari adanya sikap petani yang tidak mudah menerima adopsi inovasi maka perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan karakteristik petani dan sifat inovasi terhadap tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus.

B. Perumusan Masalah

Proses adopsi inovasi pada hakikatnya dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku, pola pikir pada diri seseorang sehingga mampu mengambil keputusan sendiri setelah menerima pesan yang disampaikan oleh penyuluh kepada dirinya. Penerimaan disini mengandung arti tidak sekedar tahu, tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerapkannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya (Mardikanto, 1993).

Adopsi inovasi akan berakhir pada pemilihan keputusan terhadap suatu

pengetahuan yang baru (inovasi) apakah diterima atau tidaknya inovasi tersebut. Petani dalam mengambil suatu keputusan biasanya akan melihat terlebih dahulu bagaimana sifat dari pengetahuan baru yang ditawarkan, apakah di dalamnya terdapat keuntungan yang menjanjikan, adanya kecocokan, tingkat kerumitan


(22)

dan sulit atau tidaknya inovasi tersebut di coba dan diamati oleh orang lain. Kelima hal tersebut merupakan karakteristik atau sifat dari suatu inovasi. Adopsi suatu inovasi juga dapat berhubungan dengan beberapa faktor yang berasal dari dalam diri adopter seperti luas lahan usahatani padi, tingkat pendidikan,

pengalaman berusahatani padi, dan keberanian petani dalam mengambil risiko.

Kecamatan Pugung merupakan salah satu kecamatan yang menjadi sasaran pengembangan budidaya padi hibrida di Kabupaten Tanggamus. Pengembangan budidaya padi hibrida ini adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi beras melalui program P2BN. Pengembangan budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung dilakukan dengan memberikan bantuan berupa subsidi benih dan pupuk padi hibrida kepada petani, pendampingan petani oleh tenaga penyuluh, dan pengadaan SLPTT.

Adanya kegiatan pengembangan budidaya padi hibida diharapkan mampu meningkatkan lagi hasil produksi petani di Kecamatan Pugung. Akan tetapi faktor teknik budidaya padi hibrida seperti persiapan lahan, penggunaan benih hibrida yang bermutu, penanaman, pemeliharaan tanaman, pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman (HPT), serta penanganan panen dan pasca panen juga sangat menentukan tinggi rendahnya hasil produksi dan produktivitas yang akan didapat petani.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus?


(23)

2. Faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:

1. Mengetahui tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus.

2. Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian yang dilakukan diharapkan dapat berguna bagi:

1. Bagi pemerintah dan instansi terkait sebagai informasi dalam menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan inovasi budidaya padi hibrida oleh petani khususnya di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus.

2. Bagi petani responden sebagai informasi dan masukan untuk meningkatkan pengetahuan petani terhadap penerapan budidaya padi hibrida.

3. Bagi peneliti lain sebagai sumber informasi dan referensi untuk penelitian sejenis.


(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

1. Penyuluhan Pertanian

Penyuluhan pertanian adalah suatu sistem pendidikan di luar sekolah untuk keluarga-keluarga tani di pedesaan, dimana mereka belajar sambil berbuat untuk menjadi mau, tahu, dan bisa menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapi secara baik, menguntungkan dan memuaskan. Jadi penyuluhan pertanian itu adalah suatu bentuk pendidikan yang cara, bahan, dan sasarannya disesuaikan kepada keadaan, kebutuhan dan kepentingan, baik dari sasaran, waktu maupun tempat karena sifatnya yang demikian maka penyuluhan biasanya disebut pendidikan informal (Wiriatmadja, 1973).

Penyuluhan secara sistematis sebagai proses membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan, membantu menyadarkan terhadap kemungkinan timbulnya masalah dari analisis tersebut, meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani, membantu petani memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkan sehingga mereka mempunyai berbagai alternatif tindakan,


(25)

membantu petani memutuskan pilihan yang tepat yang menurut pendapat mereka sudah optimal, meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya dan membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan (Van Den Ban dan Hawkins, 1999).

2. Proses Adopsi Inovasi

Adopsi adalah proses perubahan perilaku yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), dan keterampilan (psikomotoric) pada diri seseorang setelah menerima pesan yang disampaikan oleh orang lain seperti seorang penyuluh kepada sasarannya. Untuk mengadopsi suatu inovasi memerlukan jangka waktu tertentu dari mulai seseorang mengetahui pesan tersebut, memahami, memikirkan dan mempertimbangkan sampai terjadinya adopsi (Mardikanto, 1993).

Menurut Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1987) inovasi adalah gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Tidak menjadi soal sejauh dihubungkan dengan tingkah laku manusia, apakah ide betul-betul baru atau tidak jika diukur dengan selang waktu sejak dipergunakan atau

diketemukannya pertama kali. Kebaruan inovasi itu diukur secara subyektif menurut pandangan individu yang menangkapnya. Baru dalam ide yang inovatif tidak berarti harus baru sama sekali.


(26)

Menurut Susanto dalam Khasanah (2008), adopsi inovasi dapat diartikan sebagai penerapan atau penggunaan suatu ide, alat-alat, atau teknologi “baru” yang disampaikan berupa pesan komunikasi (lewat penyuluhan). Manifestasi dari bentuk adopsi inovasi ini dapat dilihat atau diamati berupa tingkah laku, metode, maupun peralatan dan teknologi yang dipergunakan dalam kegiatan komunikannya. Secara ideal, proses adopsi inovasi didahului dengan proses adaptasi terlebih dahulu dengan hasil akhir apakah menerima atau menolak inovasi tersebut.

Penerimaan dalam adopsi inovasi mengandung arti tidak sekedar tahu tetapi dengan benar-benar dapat dilaksanakan atau diterapkan dengan benar dan menghayatinya serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain sebagai cerminan dari adanya perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilannya (Mardikanto, 1993).

Mardikanto (1993) menyatakan bahwa sebelum terjadinya penerimaan adopsi suatu inovasi oleh petani akan dibutuhkan proses yang waktunya tidak dapat ditentukan untuk petani menilai apakah inovasi tersebut layak untuk

dipraktikkan oleh mereka. Proses adopsi inovasi adalah bahwa petani bukan hanya sekedar tahu tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakannya atau menerapkannya dengan benar. Karena adopsi merupakan hasil dari kegiatan penyampaian pesan yang berupa inovasi maka proses adopsi itu dapat digambarkan sebagai suatu proses pengambilan keputusan yang diawali dengan penyampaian inovasi sampai dengan terjadinya perubahan perilaku petani.


(27)

Proses pengambilan keputusan menurut Rogers dan Shoemaker dalam Mardikanto (1993) diilustrasikan sebagai berikut:

Dipikirkan dengan akal / pikiran

Dirasakan dengan hati / perasaan

Menolak Pengambilan keputusan Menunda

Menerima

Tidak melanjutkan Konfirmasi

Melanjutkan/adopsi

Gambar 1. Bagan Proses Pengambilan Keputusan

Menurut keterangan Rogers dan Shoemaker dalam Mardikanto (1993) tersebut menyampaikan bahwa suatu model proses pengambilan keputusan inovasi terdiri dari 5 tahap yaitu:

a. Tahap pengenalan di mana seseorang (atau unit pembuat keputusan yang lain) mengetahui adanya inovasi dan memperoleh beberapa pengertian tentang bagaimana inovasi itu berfungsi.

b. Tahap persuasi di mana seseorang (atau unit pembuat keputusan yang lain) membentuk sikap berkenan atau tidak berkenan terhadap inovasi.


(28)

c. Tahap pengambilan keputusan dimana seseorang (atau unit pembuat keputusan yang lain) terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi.

d. Tahap implementasi di mana seseorang (atau unit pembuat keputusan yang lain) menerima suatu inovasi untuk digunakan.

e. Tahapan konfirmasi di mana seseorang (atau unit pembuat keputusan yang lain) mencari penguat bagi keputusan inovasi yang telah dibuatnya, tetapi mungkin terjadi perubahan keputusan jika ia memperolah informasi yang bertentangan dengan inovasi.

Sehubungan dengan pernyataan Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1987) menyatakan bahwa proses suatu adopsi inovasi biasanya dihubungkan dengan perluasan pengetahuan untuk mempertimbangkan adopsi inovasi pertanian yang terdiri dari 5 tahap yaitu sadar, minat, evaluasi/ penilaian pengguna pertama dan pengguna terakhir atau menolak.

a. Tahap Sadar

Pada tahap ini pengadopsi inovasi mengetahui bahwa inovasi tersebut ada. Pertama mereka mendengar tentang inovasi tersebut tanpa mempercayai inovasi tersebut. Oleh karena itu, demontrasi mungkin diperlukan sebagai pelengkap dan memantapkan adopter dalam tahap ini.

b. Tahap Minat

Tahap minat merupakan ketertarikan/minat dari masing-masing individu/ perorangan. Pada tahap ini mereka menjadi berminat untuk melaksanakan inovasi tersebut dan berfikir bahwa inovasi mampu menolong mereka dalam menghadapi permasalahan.


(29)

c. Penilaian/Evaluasi

Setelah petani berminat terhadap inovasi tersebut sehingga mereka dapat melakukan proses evaluasi terhadap inovasi dan menentukan apakah mereka berkeinginan untuk melanjutkan atau tidak inovasi tersebut. Evaluasi adalah bagian hal dari pencarian/pengambilan informasi lebih banyak tentang inovasi baru. Evaluasi merupakan bagian dari pelaksanaan sebuah percobaan inovasi.

d. Tahap Percobaan Pertama

Tahap keempat adalah percobaan yang sebenarnya pada usaha tani sehingga petani harus mengambil input yang diperlukan, mempelajari lebih banyak keterampilan baru dalam pelaksanaan, melakukan

pengelolaan lahan, tenaga kerja dan modal untuk percobaan dan melihat keadaan yang sedang terjadi

e. Pengguna Terakhir atau menolak

Setelah petani melakukan tahap demi tahap mereka memutuskan untuk mengadopsi inovasi tersebut atau menolak. Mereka mulai percaya, tertarik dan mencoba maka akan dapat dibayangkan fakta yang ada.

Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1987) menjelaskan cepat lambatnya para petani memutuskan untuk menerapkan adopsi inovasi atau menolak inovasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan petani yaitu:

a. Golongan pelopor (innovator)

Golongan ini yang selalu merintis, mencoba dan menerapkan teknologi baru dalam pertanian dan menjadi pelopor dalam menerima para penyuluh


(30)

pertanian, bahkan dapat mengajak/menganjurkan petani lainnya untuk ikut dalam penyuluhan. Petani golongan pelopor mempunyai sifat selalu ingin tahu, ingin mencoba, ingin mengadakan kontak dengan para ahli untuk memperoleh keterangan, penjelasan, bimbingan agar dalam

masyarakatnya terdapat pembaharuan, baik dalam cara berfikir, cara kerja dan cara hidup.

b. Golongan pengetrap dini (early adopter)

Petani yang termasuk dalam golongan ini biasanya bersifat terbuka dan luwes sehingga mereka dapat bergaul lebih dekat dengan para petani umumnya, keberadaan dan pendidikannya cukup, suka mencari informasi pertanian di surat-surat kabar, akan tetapi umumnya bersifat lokalit. c. Golongan pengetrap awal (early majority)

Sifat dari golongan early mayority ini merupakan sifat yang dimiliki kebanyakan petani. Penerapan teknologi baru dapat dikatakan lebih lambat dari kedua golongan di atas, akan tetapi lebih mudah terpengaruh dalam hal teknologi yang baru itu telah meyakinkannya dapat lebih meningkatkan usaha taninya. Sifat hati-hati mereka selalu ada, mereka juga takut gagal.

d. Golongan pengetrap akhir (late majority)

Petani yang termasuk dalam golongan late mayority adalah para petani yang pada umumnya kurang mampu, lahan pertanian yang dimilikinya sangat sempit, rata-rata di bawah 0,5 hektar. Oleh karena itulah mereka selalu berbuat waspada dan lebih hati-hati karena takut mengalami kegagalan.


(31)

e. Golongan penolak (laggard)

Petani golongan ini biasanya adalah petani yang berusia lanjut, berumur sekitar 50 tahun ke atas, fanatik terhadap tradisi dan sulit untuk diberikan pengertian-pengertian yang dapat mengubah cara berfikir, cara kerja dan cara hidupnya. Mereka bersikap apatis terhadap adanya teknologi baru.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Adopsi

Menurut Lionberger dalam Mardikanto (1993), beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi ditinjau dari karakteristik atau diri petani itu sendiri antara lain:

a. Luas usahatani, semakin luas lahan usahatani biasanya semakin cepat petani mengadopsi inovasi karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik.

b. Tingkat pendapatan, seperti halnya tingkat luas usahatani, petani dengan tingkat pendapatan tinggi biasanya akan cepat mengadopsi inovasi. c. Keberanian mengambil risiko, sebab pada tahap awal penerapan ide baru

biasanya tidak selalu berhasil seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, individu yang memiliki keberanian menghadapi risiko biasanya lebih inovatif. Soekartawi (1988) menambahkan bahwa biasanya kebanyakan petani kecil adalah mempunyai sifat menolak risiko (risk averter) dan berani mengambil risiko jika adopsi itu telah diyakini manfaatnya. d. Umur, semakin tua petani (di atas 50 tahun) biasanya semakin lamban

mengadopsi inovasi dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat setempat.


(32)

e. Tingkat partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar lingkungan sendiri (tingkat kekosmopolitan). Masyarakat yang suka bergabung dengan orang-orang di luar sistem sosialnya sendiri umumnya lebih inovatif dibanding mereka yang hanya melakukan kontak pribadi dengan masyarakat setempat.

f. Aktivitas mencari informasi dan ide-ide baru. Golongan masyarakat yang aktif mencari informasi ide-ide baru, biasanya lebih inovatif dibanding orang-orang yang pasif apalagi yang tidak percaya terhadap inovasi. g. Sumber informasi yang dimanfaatkan. Golongan yang inovatif biasanya

banyak memanfaatkan beragam sumber informasi seperti lembaga pendidikan/perguruan tinggi, lembaga penelitian, dinas-dinas terkait, media masa, tokoh-tokoh masyarakat (petani) setempat maupun dari luar, maupun lembaga-lembaga komersial (pedagang dll). Berbeda dengan golongan yang inovatif, golongan masyarakat yang kurang inovatif umumnya hanya memanfaatkan informasi dari tokoh-tokoh (petani) setempat dan relatif sedikit memanfaatkan informasi dari media masa.

Soekartawi (1988) menambahkan faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi inovasi yang berasal dari diri petani selain dari faktor diatas yaitu:

a. Tingkat Pendidikan

Mereka yang berpendidikan tinggi akan relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Begitu pula sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah akan sedikit sulit melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat. Tingkat pendidikan terbagi menjadi 2, yaitu:


(33)

1. Pendidikan Formal

Mardikanto (1993) menyatakan bahwa pendidikan formal merupakan jenjang pendidikan dari terendah sampai tertinggi yang biasanya diberikan sebagai penyelenggaraan pendidikan yang terorganisir diluar sistem pendidikan sekolah dengan isi pendidikan terprogram. 2. Pendidikan non formal

Menurut Kartasapoetra (1991), penyuluhan merupakan suatu sistem pendidikan yang bersifat non formal atau suatu sistem pendidikan diluar sistem persekolahan yang biasa dimana orang ditunjukkan cara-cara mencapai sesuatu dengan memuaskan sambil orang itu tetap mengerjakannya sendiri. Samsudin (1987) menambahkan sifat pendidikan non formal memiliki ciri-ciri:

- tidak terbatas ruangan tertentu, - tidak mempunyai kurikulum tertentu,

- isi yang disampaikan didasarkan pada kurikulum petani, - sasaran tidak terbatas pada keseragaman umum,

- tidak bersifat paksaan,

- ketentuan-ketentuan sanksi atas sesuatu hal tidak berlaku,

- tidak ada ketentuan pasti tentang waktu dan lamanya pendidikan. b. Pola hubungan

Biasanya petani yang berada dalam pola hubungan yang kosmopolitas, kebanyakan dari mereka lebih cepat melakukan adopsi inovasi. Begitu pula dengan sebaliknya bagi petani yang berada dalam lingkungan pola hubungan yang bersifat lokalitas.


(34)

c. Sikap terhadap perubahan

Kebanyakkan petani kecil agak lamban dalam mengubah sikapnya

terhadap perubahan. Hal ini disebabkan karena sumber daya yang mereka miliki, khususnya sumber daya lahan terbatas sekali, sehingga mereka agak sulit mengubah sikapnya untuk adopsi inovasi.

d. Motivasi berkarya

Untuk menumbuhkan motivasi berkarya memang sering kali tidak mudah, khususnya bagi petani-petani kecil tersebut, apakah keterbatasan lahan, pengetahuan, ketrampilan dan sebagainya.

e. Aspirasi

Faktor aspirasi perlu ditumbuhkan bagi calon adopter, bila calon adopter tidak mempunyai aspirasi dalam proses adopsi inovasi atau bila aspirasi itu ditinggalkan begitu saja.

f. Fatalisme

Apakah adopsi inovasi itu menyebabkan resiko tinggi? Apakah calon adopter diharapkan pada faktor ketidakpastian yang tinggi pula? Bila demikian jalannya proses adopsi akan berjalan lebih lambat atau bahkan tidak terjadi sama sekali. Untuk itu perlu cara tersendiri untuk

menyakinkan calon adopter dalam proses adopsi inovasi tersebut. g. Sistem kepercayaan tertentu (diagtotisme)

Sistem kepercayaan tertentu (diagtotisme) makin tertutup suatu system sosial dalam masyarakat terhadap sentuhan luar. Misalnya dalam sentuhan teknologi, masyarakat akan semakin sulit melakukan adopsi inovasi.


(35)

h. Karakteristik psikologi

Karakteristik psikologi dari calon adopter anggota masyarakat sekitarnya juga menentukan cepat tidaknya adopsi suatu inovasi. Apabila karakter itu sedemikian rupa sehingga mendukung situasi memungkinkan adanya adopsi inovasi maka proses inovasi itu akan berjalan lebih cepat.

i. Lingkungan usaha tani

Lingkungan usaha tani selalu berhubungan positif dengan adopsi inovasi. Banyak teknologi baru yang memerlukan skala operasi yang besar dan sumber daya ekonomi tinggi untuk kepentingan adopsi inovasi tersebut. j. Status kepemilikan lahan

Pemilik dapat membuat keputusan untuk mengadopsi inovasi sesuai dengan keinginannya.

Menurut Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1987), selain faktor yang berasal dari karakteristik petani itu sendiri, sifat atau karakteristik dari inovasi juga berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi tersebut. Terdapat 5 sifat inovasi antara lain:

a. Keuntungan relatif (relative advantage)

Keuntungan relatif adalah tingkatan dimana suatu ide baru dianggap suatu yang lebih baik dari pada ide-ide yang ada sebelumnya. Keuntungan relatif dari suatu inovasi menurut pengamatan anggota sosial sistem bahwa ada hubungan positif dengan kecepatan adopsi.

b. Kompatibilitas (compatibility)

Kompatibilitas adalah sejauhmana suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan


(36)

penerima. Suatu inovasi mungkin kompatibel atau tidak kompatibel dengan nilai-nilai dan kepercayaan sosiokultural atau dengan ide-ide yang telah diperkenalkan lebih dulu.

c. Kompleksitas (complexity)

Kompleksitas adalah sejauhmana suatu inovasi dianggap relative sulit untuk dimengerti dan digunakan. Kerumitan suatu inovasi menurut pengamatan anggota sistem sosial, berhubungan negative dengan kecepatan adopsinya.

d. Trialabilitas (trial ability)

Trialabilitas adalah suatu tingkat dimana suatu inovasi dapat dicoba dengan skala kecil. Trialabilitas suatu inovasi menurut pengamatan anggota sistem sosial, berhubungan positif dengan kecepatan adopsinya. e. Observabilitas (observability)

Observabilitas adalah tingkat dimana hasil-hasil suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Observabilitas suatu inovasi menurut pengamatan anggota sistem sosial, berhubungan positif dengan kecepatan adopsinya.

4. Budidaya Padi Hibrida

Padi (Oryza sativa L) merupakan salah satu tanaman pangan rumput-rumputan. Berdasarkan taksonomi tanaman, padi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Kelas : Monokotyledoneae


(37)

Ordo : Graminales Famili : Graminae Genus : Oryza

Spesies : Oryza sativa L.

Sumber : (Satuan Pengendalian Bimas, 1993).

Padi (Oryza sativa L) termasuk golongan tumbuhan Gramineae, yang mana ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Tumbuhan padi bersifat merumpun, artinya tanaman tanamannya anak beranak. Bibit yang hanya sebatang saja ditanamkan dalam waktu yang sangat dekat, dimana terdapat 20-30 atau lebih anakan/tunas tunas baru (Siregar, 1981).

Padi hibrida adalah terobosan baru dalam dunia pertanian untuk meningkatkan produktivitas yang dihasilkan melalui pemanfaatan fenomena heterosis

turunan pertama (F1) dari hasil persilangan antara dua induk yang berbeda. Fenomena heterosis tersebut menyebabkan tanaman F1 lebih vigor, tumbuh lebih cepat, anakan lebih banyak, dan malai lebih lebat sekitar 1 ton/ha lebih tinggi daripada padi inbrida. Namun keunggulan tersebut tidak diperoleh pada populasi generasi kedua (F2) dan berikutnya. Oleh karena itu produksi benih F1 dalam pengembangan padi hibrida memegang peran penting dan strategis (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2013).

Ditinjau dari aspek genetik, padi hibrida memiliki potensi hasil yang lebih tinggi, tetapi sistem dan teknologi produksinya berbeda dengan varietas unggul biasa. Varietas unggul atau High Yielding Varietas (HYV) dari padi hibrida adalah kelompok tanaman padi yang terbentuk dari individu-individu


(38)

generasi pertama (F1) berasal dari suatu kombinasi persilangan antar tetua yang memiliki karakteristik potensi hasil lebih tinggi dari varietas unggul inbrida yang mendominasi areal pertanaman produksi padi. Padi hibrida menghasilkan pertambahan produktivitas mendekati 15-20% lebih tinggi dibanding varietas padi komersial terbaik (Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, 2013).

Padi hibrida memiliki beberapa keunggulan yang lebih tinggi dari pada padi unggul inbrida, yaitu: padi hibrida lebih kompetitif terhadap gulma, memiliki aktivitas perakaran yang lebih luas dan lebih kuat, jumlah anakan lebih banyak, dan jumlah gabah per malai lebih banyak dan bobot 1000 butir gabah isi lebih tinggi.

Keunggulan dan kelemahan padi hibrida menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Keunggulan dan kelemahan padi hibrida

No. Keunggulan Padi Hibrida No. Kelemahan Padi Hibrida 1 Hasil produksi lebih tinggi

daripada padi unggul inbrida

1 Petani harus membeli bibit baru setiap tanam

2 Lebih kompetitif terhadap gulma

2 Harga benih mahal 3 Sistem perakaran dan area

fotosintesis lebih luas dan kuat

3 Tidak semua galur atau varietas dapat dijadikan tetua padi hibrida 4 Intensitas respirasi lebih

rendah

4 Produksi benih rumit 5 Jumlah gabah per malai lebih

banyak

5 Memerlukan areal tanaman dengan syarat tumbuh tertentu 6 Jumlah anakan lebih banyak

7 Bobot 1000 butir gabah isi lebih tinggi


(39)

Untuk mendapatkan produksi yang maksimal, padi hibrida harus ditanam pada tanah yang subur, hara tanah cukup tersedia, dosis pupuk optimal, pengairannya cukup, pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman (HPT), dan pengelolaan tanaman secara keseluruhan dilakukan dengan baik (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007).

Padi hibrida di Indonesia dikembangkan melalui sistem 3 galur yang melibatkan tiga galur tetua meliputi galur mandul jantan sitoplasmik

(GMJ/CMS/A), galur pelestari (Maintainer/B), dan tetua jantan yang sekaligus berfungsi sebagai pemulih kesuburan (Restore/R) (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2013).

Penelitian mengenai padi hibrida di Indonesia dimulai pada tahun 1984 dan mulai tahun 2001 penelitian lebih diintensifkan. Virmani et al dalam Suwarno (2008) menyatakan bahwa teknologi hibrida diketahui mampu meningkatkan produksi padi hingga 15-20% dibanding padi varietas unggul biasa (inbrida).

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2013), saat ini di Indonesia telah dilepas 79 varietas padi hibrida seperti Intani, Bernas Prima, CEVA, HIPA, Rokan, dan lain-lain. Padi hibrida yang pernah ditanam di Provinsi Lampung antara lain varietas Intani 1, Intani 2, DG 1 SHS, Bernas, SL 8, Sembada, Bernas Rokan, Bernas Super, Bernas Prima, Arize, Devgen, dan Bhosima.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2013) menyatakan bahwa budidaya padi hibrida pada prinsipnya mengikuti prinsip Pendekatan Tanaman


(40)

Terpadu (PTT) Padi Sawah. Anjuran komponen teknologi produksi padi hibrida dengan pendekatan PTT adalah sebagai berikut:

a. Persiapan lahan

Prinsip persiapan lahan adalah menyediakan media tumbuh untuk tanaman sebaik mungkin. Untuk itu pengolahan tanah sebaiknya dilakukan dua kali agar diperoleh pelumpuran tanah yang sempurna. Tahapan dalam pengolahan tanah antara lain:

1. Pengolahan tanah dengan bajak singkal (kedalaman 10-20cm),

sebelumnya tanah digenangi air selama satu minggu untuk melunakkan tanah. Galengan dibersihkan agar air tidak hilang melalui rembesan. 2. Setelah tanah diolah, genangi air lagi dan dibiarkan selama 1 minggu. 3. Tanah diolah kembali dengan bajak rotari sampai melumpur dan

dilanjutkan dengan perataan tanah sampai siap tanam.

b. Penggunanan benih hibrida yang bermutu

Pada dasarnya hasil gabah ditentukan oleh 3 faktor utama yaitu faktor tanah, tanaman, dan lingkungan (iklim). Faktor lingkungan seperti radiasi matahari, curah hujan, suhu, dan kelembaban merupakan faktor yang tidak dapat diubah oleh manusia. Faktor tanah dapat diupayakan agar cocok untuk tanaman dengan perlakuan tertentu seperti penambahan bahan organik, irigasi, dan pemberian hara. Sedangkan faktor yang terakhir yaitu faktor tanaman yang dapat dimodifikasi.

c. Pengairan

Pada dasarnya pertumbuhan tanaman termasuk padi hibrida tidak memerlukan terlalu banyak air (tidak perlu selalu digenangi air). Sejak


(41)

tanaman padi ditanam sampai fase primodia bunga (42 HST) pertanaman padi hibrida perlu diberi air macak-macak. Hal ini ditujukan agar tanaman membentuk anakan dalam jumlah banyak. Namun akibat dari pemberian air macak-macak tersebut pertumbuhan gulma relatif lebih cepat.

d. Pemupukan

Untuk setiap ton gabah yang dihasilkan, tanaman padi memerlukan hara N sebanyak 17,5 kg (setara 39 kg Urea), P sebanyak 3 kg (setara 9 kg SP-36), dan K sebanyak 17 kg (setara 34 kg KCl).

Dengan demikian bila petani menginginkan hasil gabah yang lebih tinggi tentu diperlukan pupuk yang lebih banyak.

e. Pengendalian hama dan penyakit terpadu

Strategi pengelolaan hama dan penyakit terpadu diterapkan dengan mengintegrasikan komponen pengendalian yang kompatibel seperti: - varietas tahan hama/penyakit,

- bibit sehat,

- pola tanam yang sesuai,

- rotasi tanaman seperti padi - padi - kedelai/kacang hijau, - waktu tanam yang sesuai,

- pembersihan lapangan terhadap singgang yang biasanya dijadikan tempat vector hama dan sumber inokulum penyakit,

- pemupukan sesuai dengan kebutuhan tanaman, - irigasi berselang,

- sistem TBS (trap barrier system) untuk pengendalian tikus, - pengendalian kelompok telur,


(42)

- observasi hama dan penyakit secara terus-menerus,

- Penggunaan lampu perangkap untuk pengendalian hama ulat grayak dan penggerek batang,

- meningkatkan peran musuh alami seperti laba-laba, dan

- penggunaan pestisida sebagai alternatif akhir untuk mengendalikan hama berdasarkan hasil pengamatan.

Bila terjadi serangan penyakit kresek maka sawah harus didrainase agar tidak terjadi genangan air di petakan. Kelembaban tanah menjadi kurang, lingkungan mikro didalam rumpun padi hibrida menjadi tidak lembab dan jamur atau mikroorganisme penyebab penyakit tidak berkembang pesat.

f. Penanganan Panen dan Pasca Panen

Penentuan waktu panen merupakan salah satu faktor penting dalam kaitannya terhadap hasil gabah yang dihasilkan. Pemanenan gabah yang ideal dilakukan apabila:

1. sudah 90% masak fisiologi, artinya 90% gabah telah berubah warna dari hijau menjadi kuning,

2. apabila dihitung dari masa berbunga, telah mencapai 30-35 hari, dan 3. berdasarkan perhitungan dari sejak sebar sampai umur sesuai dengan

deskripsi varietas.

5. Produksi dan Produktivitas Padi Hibrida

Menurut Yusuf (2010), untuk meningkatkan produksi beras dalam rangka pencapaian swasembada pangan, diperlukan upaya terobosan rekayasa


(43)

teknologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan yang dapat diterapkan dalam waktu segera. Salah satunya adalah peningkatan produktivitas melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Beberapa komponen teknologi budidaya padi sawah dengan pendekatan PTT adalah:

a. Varietas unggul baru, b. Bibit bermutu dan sehat,

c. Bibit muda berumur 15-20 hari setelah sebar, d. Pengolahan tanah,

e. Penggunaaan bahan organik,

f. Pengelolaan tanaman sistem legowo 4:1, g. Irigasi berselang,

h. Pemupukan spesifik lokal, i. Pupuk mikro,

j. Pengendalian Hama Tanaman (PHT) dan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT),

k. Pengendalian gulma, dan

l. Penanganan panen dan pasca panen.

Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) adalah pendekatan dalam budidaya tanaman dan berperan penting dalam meningkatkan produksi padi dalam beberapa tahun terakhir. Keberhasilan program P2BN (Peningkatan Produksi Beras Nasional) yang diimplementasikan sejak tahun 2007 tentu tidak dapat dipisahkan dari pengembangan PTT padi sawah. Untuk mempertahankan swasembada beras yang telah berhasil diraih kembali pada tahun 2008, inovasi teknologi ini terus dikembangkan oleh Departemen Pertanian (Firdaus, 2008).


(44)

Penggunaan varietas unggul sangat berperan dalam peningkatan produksi dan produktivitas padi nasional. Dengan dilepasnya varietas unggul hibrida diharapkan dapat melipatgandakan hasil produksi. Produktivitas padi hibrida memiliki potensi hasil produksi kurang lebih 1 ton lebih tinggi dari padi varietas inbrida. Kecocokan suatu varietas terhadap kondisi iklim suatu daerah menjadi faktor kunci pertama tingkat produktivitasnya varietas tersebut. Pengujian kecocokan suatu varietas pada suatu daerah pada tiap musim sangat perlu dilakukan. Jika hasilnya kurang baik, kerugian tidak besar dan tidak dapat terhindar dari kerugian besar jika langsung menanam dalam skala luas (Suwarno, 2008).

Di Indonesia, sejak tahun 1984 sampai sekarang Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah melakukan berbagai penelitian padi hibrida. Pada tahun 2013, Departemen Pertanian tercatat telah melepas 79 varietas unggul padi hibrida, beberapa varietas dirakit oleh Balai Besar (BB) Penelitian Padi, varietas padi hibrida lainnya dimiliki oleh beberapa perusahaan.

Menurut Siregar (1981) padi hibrida mampu menghasilkan gabah 10-20 % lebih tinggi dibanding varietas padi inbrida. Padi hibrida memerlukan lingkungan yang sesuai dengan teknologi budidaya yang tepat, sehingga penelitian perakitan padi hibrida juga didukung oleh penelitian identifikasi wilayah pengembangan dan teknologi budidayanya. Dalam upaya

pengembangannya, padi hibrida juga memerlukan dukungan sistem produksi perbenihan yang tepat dan efisien.


(45)

B. Kajian Penelitian Terdahulu

Rainy Firohmatillah (2012) melakukan penelitian dengan judul “Pengembangan Budidaya Padi Varietas Unggul Hibrida dengan Pendekatan Metode Quality Function Development (QFD) dan Sensitivity Rice Analysis”. Penelitian ini menggunakan metode QFD dalam mengembangkan padi hibrida, dan

menganalisis sensitivitas harga benih padi hibrida dengan harga tingkat petani yang dilakukan di daerah Cianjur, Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas padi hibrida perlu lebih diperhatikan terutama tingkat

produktivitas yang masih belum menjamin keunggulannya dibandingkan inbrida.

Hajrah Lalla (2012) melakukan penelitian dengan judul “Adopsi Petani Padi Sawah Terhadap Sistem Tanam Jajar Legowo 2:1 di Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar”. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor internal petani memiliki hubungan yang nyata terhadap tingkat adopsi teknologi sistem jajar legowo 2:1 meliputi motivasi mengikuti teknologi jajar legowo 2:1, tingkat keuntungan relatif, tingkat kerumitan dan tingkat kemudahan untuk dicoba. Selain itu tingkat adopsi teknologi jajar legowo 2:1 juga menunjukkan hubungan yang nyata terhadap peningkatan produktivitas usaha tani.

Penelitian Suci Indraningsih (2009) dengan judul “Pengaruh Penyuluhan

Terhadap Keputusan Petani dalam Adopsi Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu” menggunakan metode survei yang bersifat eksplanasi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa adanya peningkatan persepsi petani yang tajam terhadap adopsi inovasi apabila pada diri petani berani dalam mengambil risiko dan bersifat kosmopolit. Faktor yang berasal dari sifat inovasi itu sendiri seperti keuntungan


(46)

relatif, tingkat kerumitan, kebiasaan petani, dan kesesuaian teknologi terbukti mempengaruhi tingkat keputusan petani terhadap adopsi inovasi.

Rosita Rahmawati (2010) melakukan penelitian dengan judul “Tingkat adopsi Teknologi Program Prima Tani dan Penguatan Kelembagaan dengan PT. Tri Sari Usahatani”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya korelasi antara faktor-faktor karakteristik petani yang meliputi pendidikan, pengalaman, luas lahan dengan tingkat adopsi padi hibrida. Korelasi juga ditemukan antara sifat-sifat inovasi yang terdiri dari keuntungan relatif, kompatibilitas, kompleksitas, observabilitas dan trialabilitas dengan tingkat adopsi padi hibrida.

Wahyu Harinta (2011) melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Sosial Ekonomi Petani dan Karakteristik Inovasi dengan Kecepatan Adopsi Teknologi Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Terpadu (PTT) Budidaya Padi di Kecamatan Gatak Kabupaten Sukoharjo”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya pengaruh signifikan dari status sosial ekonomi petani yang terdiri

penguasaan lahan, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan status pekerjaan terhadap adopsi inovasi pertanian yang berarti bahwa semakin tinggi atatus ekonomi petani maka semakin cepat petani dalam mengadopsi inovasi. Tidak hanya faktor tersebut, faktor-faktor sifat/karakteristik inovasi juga berpengaruh signifikan terhadap adopsi inovasi pertanian.

C. Kerangka Pemikiran

Peningkatan produksi dan produktivitas tanaman padi untuk menunjang


(47)

teknologi secara efektif dan pendampingan penyuluh sebagai jembatan dan sekaligus penghantar teknologi inovasi yang lebih efektif. Penerapan teknologi disini maksudnya adalah teknologi pertanian yang berarti mulai dari persiapan lahan, pemilihan penggunaan benih, penanaman, pengairan, pemupukan, penyiangan, pengendalian hama dan tanaman terpadu, serta penanganan panen dan pasca panen oleh petani sebagai fungsinya selaku pengelola untuk mengambil keputusan penerapan adopsi inovasi (Suhardiyono, 1992).

Adopsi merupakan proses perubahan perilaku yang berupa pengetahuan

(cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psikomotorik) pada diri petani setelah menerima pesan yang disampaikan oleh penyuluh kepada dirinya. Untuk mengadopsi suatu inovasi memerlukan jangka waktu tertentu dari mulai petani mengetahui pesan sampai terjadinya adopsi.

Budidaya padi hibrida merupakan salah satu inovasi yang dapat diterapkan pada usahatani padi sawah untuk meningkatkan produksi. Sebagai suatu inovasi, budidaya padi hibrida ini membutuhkan jangka waktu tertentu untuk akhirnya dapat diadopsi oleh petani. Pada akhirnya suatu teknologi diterapkan atau tidak diterapkan terletak pada petani itu sendiri, apakah tingkat adopsinya tinggi, sedang, atau rendah terdadap inovasi tersebut.

Hasil penelitian Rosita Rahmawati (2010) menyatakan bahwa tingkat pendidikan, tingkat pengalaman, dan luas lahan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat adopsi inovasi. Tidak hanya faktor tersebut, faktor sifat-sifat inovasi yang meliputi keuntungan relatif, kompatibilitas, kompleksitas, trialabilitas, dan


(48)

Merujuk dari teori Soekartawi (1988), Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1987), dan Lionberg dalam Mardikano (1993), faktor yang diduga berhubungan dengan tinggi rendahnya tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida adalah karakteristik petani dan sifat inovasi. Karakteristik petani disini meliputi luas lahan usahatani padi, tingkat pendidikan, tingkat pengalaman berusahatani padi, dan tingkat keberanian mengambil risiko. Sifat inovasi meliputi tingkat

keuntungan relatif, tingkat kompleksitas, tingkat kompabilitas, tingkat trialabilitas, dan tingkat observabilitas.

Paradigma hubungan karakteristik petani dan sifat inovasi terhadap tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida sebagai berikut:

Gambar 2. Paradigma hubungan karakteristik petani dan sifat inovasi terhadap tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus

Karateristik Petani

Indikator:

1. Persiapan lahan

2. Penggunaan benih yang bermutu 3. Penanaman

4. Pemeliharaan tanaman

5. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman (HPT) 6. Penanganan panen dan pasca panen

Tingkat Adopsi Inovasi Budidaya Padi Hibrida (Y)

Sifat Inovasi (X5) a. Luas lahan usahatani padi (X1)

b. Tingkat pendidikan (X2)

c. Tingkat pengalaman berusahatani padi (X3)

d. Tingkat keberanian mengambil risiko (X4)

Indikator:

a. Keuntungan relatif b. Kompleksitas c. Kompatibilitas d. Trialabilitas e. Observabilitas


(49)

D. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka dan paradigm penelitian, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan yang nyata baik secara langsung maupun tidak langsung antara luas lahan usahatani padi petani dengan tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus.

2. Terdapat hubungan yang nyata baik secara langsung maupun tidak langsung antara tingkat pendidikan petani dengan tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus.

3. Terdapat hubungan yang nyata baik secara langsung maupun tidak langsung antara tingkat pengalaman berusahatani padi petani dengan tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus. 4. Terdapat hubungan yang nyata baik secara langsung maupun tidak langsung

antara tingkat keberanian mengambil risiko petani dengan tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus. 5. Terdapat hubungan yang nyata baik secara langsung maupun tidak langsung

antara sifat inovasi dengan tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus.


(50)

III. METODE PENELITIAN

A. Definisi Operasional

Definisi operasional mencakup semua pengertian yang digunakan untuk memperoleh data penelitian yang selanjutnya akan dianalisis dan di uji sesuai dengan tujuan penelitian. Variabel-variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini terdiri dari varibel bebas (X) yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida dan variabel terikat (Y) yaitu tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida.

1. Variabel bebas (X)

a) Luas lahan usahatani padi (X1)

Luas lahan usahatani padi adalah luas lahan padi yang di garap oleh responden untuk berusahatani padi pada saat penelitian dilakukan meliputi luas lahan padi hibrida dan luas lahan padi non hibrida. Luas lahan

usahatani padi diukur dalam satuan hektar dan diklasifikasikan menjadi luas (1,18-1,50 ha), cukup luas (0,84-1,17 ha), dan sempit (0,50-0,83 ha). b) Tingkat pendidikan (X2)

Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal yang sudah diselesaikan Responden, diukur dalam satuan tahun dan diklasifikasikan menjadi tinggi (>9 tahun), sedang (7-9 tahun), dan rendah (<6 tahun).


(51)

c) Tingkat pengalaman berusahatani padi (X3)

Tingkat pengalaman berusahatani padi adalah pengalaman yang telah dihadapi responden sejak awal berusahatani padi baik padi hibrida maupun padi non hibrida sampai penelitian dilakukan. Indikator tingkat

pengalaman berusahatani padi meliputi lama responden melakukan

usahatani padi baik padi hibrida maupun padi non hibrida dan pengalaman responden dalam mengalami kegagalan panen berusahatani padi baik padi hibrida maupun padi non hibrida. Tingkat pengalaman berusahatani padi diukur menggunakan skala likert dengan alternatif jawaban yang

disesuaikan dengan pertanyaan dan diberi skor 1-3 yang selanjutnya diklasifikasikan menggunakan skor yang telah diintervalkan menjadi tinggi (17,64-23,50), sedang (11,84-17,63), dan rendah (6,00-11,83). d) Tingkat keberanian mengambil risiko (X4)

Tingkat keberanian mengambil risiko adalah tingkat keberanian responden dalam menghadapi risiko kegagalan panen dari penerapan inovasi

budidaya padi hibrida di lahan sawahnya. Tingkat keberanian mengambil risiko dilihat dari indikator keberanian responden dalam menghadapi risiko kegagalan panen serta keinginan dan semangat responden dalam mencoba kembali inovasi tersebut. Variabel tingkat keberanian mengambil risiko diukur menggunakan skala likert dengan alternatif jawaban yang

disesuaikan dengan pertanyaan dan diberi skor 1-3 yang selanjutnya diklasifikasikan menggunakan skor yang telah diintervalkan menjadi tinggi (7,97-10,43), sedang (5,48-7,96), dan rendah (3,00-5,47).


(52)

e) Sifat inovasi budidaya padi hibrida (X5)

Sifat inovasi budidaya padi hibrida adalah pandangan responden dalam menilai ciri-ciri atau karakter dari inovasi budidaya padi hibrida. Indikator sifat inovasi budidaya padi hibrida terdiri dari keuntungan relatif,

kompleksitas, kompatibilitas, trialabilitas, dan observatibilitas. Variabel sifat inovasi budidaya padi hibrida diukur menggunakan skala likert dengan alternatif jawaban yang disesuaikan dengan pertanyaan dan diberi skor 1-3 yang selanjutnya diklasifikasikan menggunakan skor yang telah diintervalkan menjadi mudah diterapkan (69,70- 91,52), cukup sulit diterapkan (47,85- 69,69), dan sulit diterapkan (26,00 – 47,84).

2. Variabel terikat (Y)

Variabel terikat (Y) dalam penelitian ini adalah tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida oleh petani di ukur dengan mengajukan pertanyaan sebanyak 40 pertanyaan mengenai tata cara atau teknik budidaya padi hibrida yang dilakukan responden. Indikator tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Persiapan lahan adalah kegiatan yang dilakukan responden yang dilihat dari indikator pengolahan tanah. Indikator persiapan lahan diukur menggunakan skala likert dengan alternatif jawaban yang disesuaikan dengan pertanyaan dan diberi skor 1-3 yang selanjutnya diklasifikasikan menggunakan skor yang telah diintervalkan menjadi tinggi (8,94 - 11,39), sedang (6,47 - 8,93), dan rendah (4,00 - 6,46).


(53)

b. Penggunaan benih hibrida yang bermutu adalah suatu kegiatan yang dilakukan responden dalam menyediakan bibit/benih padi hibrida untuk lahan sawahnya. Penggunaan benih hibrida yang bermutu dilihat dari indikator sumber benih, umur benih, dan banyak benih yang diberikan pada setiap lubang tanam tanam. Penggunaan benih hibrida yang bermutu diukur menggunakan skala likert dengan alternatif jawaban yang

disesuaikan dengan pertanyaan dan diberi skor 1-3 yang selanjutnya diklasifikasikan menggunakan skor yang telah diintervalkan menjadi tinggi (7,44 - 9,63), sedang (5,22 - 7,43), dan rendah (3,00 - 5,21). c. Penanaman adalah kegiatan yang dilakukan responden yang dilihat dari

penentuan banyaknya benih hibrida yang ditanam perlubang tanamnya, penentuan jarak tanam, jadwal tanam, waktu tanam, dan pola tanam yang digunakan. Penanaman diukur menggunakan skala likert dengan alternatif jawaban yang disesuaikan dengan pertanyaan dan diberi skor 1-3 yang selanjutnya diklasifikasikan menggunakan skor yang telah diintervalkan menjadi tinggi (7,58-9,85), sedang (5,29-7,57), dan rendah (3,00-5,28). d. Pemeliharaan tanaman adalah kegiatan yang dilakukan responden yang

dilihat dari 3 indikator yaitu pengairan, penyiangan, dan pemupukan. Pemeliharaan tanaman diukur menggunakan skala likert dengan alternatif jawaban yang disesuaikan dengan pertanyaan dan diberi skor 1-3 yang selanjutnya diklasifikasikan menggunakan skor yang telah diintervalkan menjadi tinggi (28,01-36,00), sedang (20,01-28,00), dan rendah


(54)

e. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman (HPT) adalah kegiatan yang dilakukan responden guna merawat tanaman agar tumbuh dengan baik tanpa gangguan berarti dari hama atau penyakit tanaman yang dilihat dari indikator cara pengendalian hama dan penyakit tanaman. Pengendalian Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman (HPT) diukur menggunakan skala likert dengan alternatif jawaban yang disesuaikan dengan pertanyaan dan diberi skor 1-3 yang selanjutnya diklasifikasikan menggunakan skor yang telah diintervalkan menjadi tinggi (8,34-10,50), sedang (6,17-8,33), dan rendah (4,00-6,16).

f. Penanganan panen dan pasca panen adalah kegiatan yang dilakukan responden dilihat dari indikator penentuan waktu panen, sistem

pemanenan, dan sistem perontokan padi. Penanganan panen dan pasca panen diukur menggunakan skala likert dengan alternatif jawaban yang disesuaikan dengan pertanyaan dan diberi skor 1-3 yang selanjutnya diklasifikasikan menggunakan skor yang telah diintervalkan menjadi tinggi (9,18 – 11,74), sedang (6,59 – 9,17), dan rendah (4,00 - 6,58). Tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida diukur menggunakan skala likert dengan alternatif jawaban yang disesuaikan dengan pertanyaan dan diberi skor 1-3 yang selanjutnya diklasifikasikan menggunakan skor yang telah diintervalkan menjadi tinggi (69,42-89,12), sedang (49,71-69,41), dan rendah (30,00-49,70).

Pengklasifikasian data baik variabel X maupun variabel Y dilakukan berdasarkan total skor yang diperoleh responden untuk setiap aspek yang diajukan pada kuesioner. Skor dari setiap aspek dikategorikan berdasarkan rumus:


(55)

Lebar Interval = Skor tertinggi − Skor terendah

Kelas

Banyaknya kelas ditentukan secara sengaja menjadi 3 kelas. Skala likert

digunakan pada variabel tingkat pengalaman berusahatani padi, tingkat keberanian mengambil risiko, sifat inovasi budidaya padi hibrida, dan tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida.

B. Metode, Responden, Penetuan Lokasi, dan Waktu Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sensus yaitu seluruh petani yang memenuhi kategori akan dijadikan responden. Responden dalam penelitian ini adalah seluruh petani yang menerapkan adopsi inovasi budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus. Berdasarkan data dari Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP3K) Kecamatan Pugung, terdapat 90 petani di Kecamatan Pugung yang telah menerapkan budidaya padi hibrida pada tahun 2014.

Menurut Arikunto (2010), populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. Apabila subyeknya kurang dari 100, lebih baik semua diambil sehingga

penelitiannya adalah penelitian populasi. Selanjutnya apabila subyeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% atau lebih. Berdasarkan konsep tersebut, karena populasi jumlahnya kurang dari 100 maka seluruh anggota populasi dijadikan responden dalam penelitian.

Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive). Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini yaitu di Kabupaten Tanggamus dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Tanggamus merupakan kabupaten dengan produktivitas padi


(56)

tertinggi ke-4 di Provinsi Lampung. Kecamatan Pugung dipilih menjadi lokasi penelitian karena Kecamatan Pugung merupakan Kecamatan di Kabupaten Tanggamus yang menjadi sasaran program P2BN berupa pengembangan

budidaya padi hibrida sebagai bentuk program P2BN di Kabupaten Tanggamus. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober-Desember 2014. Berikut rincian tempat dan populasi petani yang menerapkan budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus:

Tabel 4. Rincian tempat dan populasi petani yang menerapkan budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung Kabupaten Tanggamus

No. Desa/Pekon Nama Kelompok Tani Jumlah Petani %

1 Banjar Agung Udik Karya Tani 1 30 33,33

2 Tiuh Memon Setia Usaha 30 33,33

3 Rantau Tijang Tunas Maju 30 33,34

Jumlah 90 100

Sumber: Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kecamatan Pugung, 2013

C. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari petani responden melalui wawancara dengan pedoman kuisioner yang telah disiapkan. Data tersebut berkaitan dengan tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida.

2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari instansi atau lembaga yang terkait seperti: Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung, Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, serta data dari literatur terkait.


(57)

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner yang berisi pertanyaan yang disusun untuk menilai dan mengukur berbagai indikator dari setiap variabel yang digunakan dalam penelitian.

D. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menganalisis data primer secara deskriptif dan kualitatif (tabulasi). Pengujian hipotesis dilakukan untuk melihat hubungan antara karakteristik petani dan sifat inovasi terhadap tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida. Tahap tabulasi merupakan tahap dimana data-data yang diperoleh dari lapangan disusun ke dalam tabel yang telah ditentukan dari beberapa klasifikasi tertentu. Pengujian hipotesis menggunakan analisis jalur (Path Analysis).

Menurut Kuncoro (2008), Path Analysis digunakan untuk menguji pola hubungan antar variabel dengan tujuan untuk mengetahui hubungan langsung maupun tidak langsung seperangkat variabel bebas terhadap variabel terikat. Salah satu syarat penggunaan analisis jalur (Path Analysis) adalah jenis data yang akan di analisis minimal skala interval. Teknik transformasi data ordinal menjadi data interval yang paling sederhana adalah dengan menggunakan MSI (Method of Successive Interval). Langkah-langkah untuk melakukan transformasi data ordinal ke data interval menurut Kuncoro (2008) adalah sebagai berikut:

1. Memperhatikan setiap butir jawaban responden dari angket yang disebarkan. 2. Menentukan berapa orang yang mendapat skor 1, 2, 3,4, dan 5 yang disebut


(58)

3. Membagi setiap frekuensi dengan banyaknya responden dan hasilnya disebut proporsi.

4. Menentukan nilai proporsi kumulatif dengan jalan menjumlahkan nilai proporsi secara berurutan perkolom skor.

5. Menggunakan Tabel Distribusi Normal dan hitung nilai Z untuk setiap proporsi kumulatif yang diperoleh.

6. Menentukan nilai tinggi densitas untuk setiap nilai Z yang diperoleh (dengan menggunakan Tabel Tinggi Densitas).

7. Menentukan nilai skala dengan menggunakan rumus: NS = �� � � � � �� � − (�� � � � � �� � )

�� � � � �� � − �� � � � �� �

8. Menentukan nilai transformasi dengan rumus: Y = NS + [ 1 + | NSmin |]

Data yang diperoleh akan dianalisis sehingga di dapat hasil untuk memprediksi seberapa besar hubungan tiap masing-masing variabel. Pada diagram jalur digunakan hubungan langsung dan tidak langsung antara variabel bebas terhadap variable terikat. Hubungan langsung berarti bahwa variabel bebas mempengaruhi secara langsung variabel terikat, sedangkan hubungan tidak langsung berarti bahwa variabel bebas mempengaruhi variabel terikat melalui variabel bebas yang lainnya. Analisis jalur (Path Analysis) menggunakan program SPSS versi 16. Variabel-variabel dalam penelitian ini antara lain:

Y = Tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida X1 = Luas lahan usahatani padi

X2 = Tingkat pendidikan

X3 = Tingkat pengalaman berusahatani padi

X4 = Tingkat keberanian mengambil risiko


(59)

Selanjutnya langkah-langkah dalam menguji Path analysis menurut Kuncoro (2008) adalah sebagai berikut:

1. Merumuskan hipotesis dan persamaan struktural.

Hipotesis dan persamaan struktural dalam penelitian ini adalah luas lahan usahatani padi, tingkat pendidikan, tingkat pengalaman berusahatani padi, tingkat keberanian mengambil risiko, dan sifat inovasi terkait hubungan dan pengaruhnya terhadap tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida.

Persamaan struktural dalam penelitian ini dapat dirumuskan:

Y = pyx1 X1 + pyx2 X2 + pyx3 X3 + pyx4 X4 + pyx5 X5 + py e

Keterangan:

pyx1 X1 = koefisien jalur X1 (luas lahan usahatani padi)

pyx2 X2 = koefisien jalur X2 (tingkat pendidikan)

pyx3 X3 = koefisien jalur X3 (tingkat pengalaman berusahatani padi)

pyx4 X4 = koefisien jalur X4 (tingkat keberanian mengambil risiko)

pyx5 X5 = koefisien jalur X5 (sifat inovasi)

py e = nilai residu

2. Menghitung koefisien jalur yang didasarkan pada koefisien regresi. Koefisien jalur diperoleh dari hasil regresi SPSS versi 16 dan hubungan jalur dibuat berdasarkan hipotesis yang ada. Koefisien path ditunjukkan oleh output coefficient yang dinyatakan sebagai nilai beta. Hubungan struktural dapat digunakan untuk melihat dugaan terjadinya korelasi antar variabel bebas. Hubungan struktural variabel X dan variabel Y dapat dilihat pada Gambar 3.


(60)

R25

R35

e py Pyx1

Pyx2

Pyx3

Pyx4

Pyx5

Gambar 3. Diagram Analisis Jalur

Keterangan:

R15 : Korelasi antara variabel x1 dengan variabel x5

R25 : Korelasi antara variabel x2 dengan variabel x5

R35 : Korelasi antara variabel x3dengan variabel x5

R45 : Korelasi antara variabel x4 dengan variabel x5

Pyx1 : koefisien jalur x1 terhadap Y

Pyx2 : koefisien jalur x2 terhadap Y

Pyx3: koefisien jalur x3terhadap Y

Pyx4: koefisien jalur x4 terhadap Y

Pyx5: koefisien jalur x5 terhadap Y

Korelasi antar variabel bebas yang mungkin terjadi yaitu:

a) Korelasi antara variabel tingkat pendidikan dengan sifat inovasi (R25),

dengan asumsi bahwa petani dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki wawasan yang luas dan lebih cepat dalam memahami inovasi sehingga menilai inovasi lebih mudah diterapkan dibandingkan dengan petani yang pendidikannya lebih rendah.

Luas lahan usahatani padi (X1)

Tingkat pengalaman berusahatani padi (X3)

Tingkat keberanian mengambil risiko (X4)

Tingkat pendidikan (X2)

Sifat inovasi (X5)

Tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida (Y)


(1)

Tabel 12. Keadaan penduduk berdasarkan kepercayaan di Kecamatan Pugung tahun 2014

Agama Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

Islam 63.348 99,971

Kristen 15 0,024

Katolik 3 0,005

Hindu - -

Budha - -

Total 63.366 100

Sumber: Monografi Kecamatan Pugung, 2014

Tabel 12 menunjukkan bahwa hampir seluruh penduduk Kecamatan Pugung memeluk agama Islam yaitu sebanyak 63.366 jiwa atau sebesar 99,971% sedangkan penduduk beragama kristen 15 jiwa (0,024%) dan beragama katolik jiwa (0,005%). Dengan penduduk yang hampir seluruhnya beragama islam, Kecamatan Pugung memiliki tempat ibadah sebanyak 96 masjid, 150 mushola, dan 1 gereja katolik.


(2)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung

Kabupaten Tanggamus termasuk dalam klasifikasi sedang karena inovasi budidaya padi hibrida dinilai cukup menguntungkan tetapi cukup sulit untuk diterapkan oleh petani. Indikator tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida yang termasuk dalam klasifikasi sedang yaitu persiapan lahan, penggunanan benih hibrida yang bermutu, pemeliharaan tanaman, serta pengendalian hama dan penyakit tanaman, sedangkan indikator yang termasuk dalam klasifikasi tinggi yaitu penanaman, penanganan panen dan pasca panen.

2. Faktor-faktor yang berhubungan nyata terhadap tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida adalah luas lahan usahatani padi, tingkat pendidikan, dan sifat inovasi. Variabel yang memiliki nilai kontribusi terbesar terhadap tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida adalah variabel sifat inovasi sebesar 31,4%.

B. Saran


(3)

budidaya dalam hal persiapan lahan, penggunanan benih hibrida yang bermutu, pemeliharaan tanaman, dan pengendalian hama dan penyakit tanaman masih termasuk dalam klasifikasi sedang.

2. Pemerintah perlu meningkatkan wilayah sasaran dari program pengembangan budidaya padi hibrida mengingat dari 27 desa di Kecamatan Pugung, hanya 3 desa yang menjadi sasaran pengembangan budidaya padi hibrida. Selain itu pemerintah juga diharap lebih memperhatikan kemudahan petani dalam mendapatkan varietas unggul benih hibrida di kios pertanian sehingga pembudidayaan padi hibrida dapat terus diterapkan di daerah yang sebelumnya menjadi sasaran pengembangan.

3. Sebesar 11,2% tingkat adopsi inovasi budidaya padi hibrida di Kecamatan Pugung dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Saran yang diajukan adalah perlu dilakukan penelitian sejenis dengan melibatkan variabel-variabel lain selain variabel-variabel yang ada dalam penelitian ini seperti tingkat intensitas petani mengikuti penyuluhan mengenai budidaya padi hibrida dan tingkat kekosmopolitan petani.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Maman dan Sambas Ali M. 2007. Analisis Korelasi, Regresi, dan Jalur dalam Penelitian. Pustaka Setia: Bandung.

Arikunto, S. 2010. Prosedur penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi). Jakarta : Rineka Cipta.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2013. BLBU dan CBN Provinsi

Lampung Tahun 2008-2012. Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian Provinsi Lampung: Lampung.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2013. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Hibrida. Kementerian Pertanian: Jakarta.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2013. Juknis Padi Hibrida. Kementerian Pertanian: Jakarta.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Juknis Padi Hibrida. Kementerian Pertanian: Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2013. Lampung Dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung: Bandar Lampung.

Badan Pusat Statistik. 2013. Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010. (www.bps.go.id) Diakses tanggal 23 Maret 2014 Pukul 19:20.

Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kecamatan Pugung. 2014. Data Lokasi SL-PTT Padi Hibrida Kecamatan Pugung Tahun 2013.

Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kecamatan Pugung: Lampung.

Departemen Pertanian, 1983. Pedoman Bercocok Tanam Padi Palawija Sayur– sayuran. Departemen Pertanian Satuan Pengendali BIMAS: Jakarta. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung. 2014.

Daerah Sasaran Pengembangan Padi Hibrida 2014. Dinas Pertanian

Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung: Bandar Lampung. Firdaus, dkk. 2008. Swasembada Beras Dari Masa ke Masa. IPB Press: Bogor.


(5)

Jurnal Universitas Hasanuddin.

Kartasapoetra. 1991. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Bina Aksara. Jakarta. Khasanah, Winanti. 2008. Hubungan Faktor-faktor Sosial Ekonomi Petani

dengan Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) di Kecamatan Lendah Kabupaten Kulon Progo.

(digilib.uns.ac.id/). Skripsi UNS

Kuncoro, Engkos Achmad dan Riduwan. 2008. Cara Menggunakan dan Memaknai Analisis Jalur (Path Analysis). Alfabeta: Bandung.

Mardikanto, Totok. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press UNS: Surakarta.

Rainy Firohmatillah, Agrivinie. 2012. Pengembangan Padi Varietas Unggul Hibrida: Pendekatan Metode Quality Function Development dan Sensitivity Price Analysis. Jurnal Ekonomi Pembangunan Institut Pertanian Bogor. Rosita Rahmawati, Desy. 2010. Tingkat Adopsi TeknologiProgram Prima Tani

dan Penguatan Kelembagaan dengan PT Tri Sari Usahatani. Jurnal

Universitas Jember.

Samsudin. 1987. Dasar-Dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian. Bina Cipta: Jakarta.

Siregar, Hadrian. 1981. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Sastrahudaya: Jakarta.

Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Universitas Indonesia Press: Jakarta.

Suci Indraningsih, Kurnia. 2009.Pengaruh Penyuluhan Terhadap Keputusan Petani dalam Adopsi Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu.

(www.unud.ac.id/). Jurnal Pusat Agro Ekonomi Vol. 29 No.1

Suhardiyono, L. 1992. Petunjuk Bagi Penyuluhan Pertanian. Erlangga. Jakarta Susana, Indriyatni. 2002. Tingkat Adopsi Petani Terhadap Pupuk Majemuk (Studi

Kasus di Desa Bintoyo, Kecamatan Padas Kabupaten Ngawi). Jurnal Universitas Komputer Indonesia.


(6)

Sutarto. 2002. Hubungan Sosial Ekonomi Petani Dengan Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi Komoditas Jagung di Sidoharjo Wonogiri. Jurnal Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian UNS.

Suwarno, W. B., 2008. Perakitan Varietas Jagung Hibrida.

(http://willy.situshijau.co.id) Diakses 18 Maret April 2014 Pukul 20:00. Wahyu Harinta, Yos. 2011. Hubungan Sosial Ekonomi Petani dan Karakteristik

Inovasi dengan Kecepatan Adopsi Teknologi Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Terpadu (PTT) Budidaya Padi di Kecamatan Gatak

Kabupaten Sukoharjo. (digilib.uns.ac.id/). Jurnal Universitas Sebelas Maret: Surakarta.

Wiriatmadja, I. 1973. Pokok-Pokok Penyuluhan Pertanian. CV Yasaguna: Jakarta.

Yusuf, A dan D. Harnowo. 2010. Teknologi Budidaya Padi Sawah Mendukung SL-PTT. Balai Kajian Teknologi Pertanian: Medan.


Dokumen yang terkait

Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Pertanian Terpadu Usahatani Padi Organik(Studi Kasus : Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai )

9 95 91

Analisis Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Double Row Pada Usahatani Pisang Barangan (Musa Paradisiaca Sapientum L) Dan Hubungannya Dengan Faktor Sosial Ekonomi di Kabupaten Deli Serdang).

4 57 108

Hubungan Antara Tingkat Adopsi Teknologi Dengan Produktivitas Padi Sawah Lahan Irigasi (Kasus : Desa Sidodadi Ramunia, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang)

3 41 78

Tingkat Adopsi Inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor

2 21 106

. Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya Padi Hibrida MAPAN P-05 oleh Petani di Kecamatan Sragi, Pekalongan, Jawa Tengah

5 49 124

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR – FAKTOR SOSIAL EKONOMI DENGAN TINGKAT ADOPSI INOVASI PETANI PADA BUDIDAYA TANAMAN JERUK BESAR DI KECAMATAN PLUPUH KABUPATEN SRAGEN

0 4 79

HUBUNGAN FAKTOR FAKTOR SOSIAL EKONOMI PETANI DENGAN TINGKAT ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI BUDIDAYA TANAMAN JARAK PAGAR DI KECAMATAN LENDAH KABUPATEN KULON PROGO

0 10 109

HUBUNGAN STATUS SOSIAL EKONOMI PETANI DENGAN TINGKAT ADOPSI INOVASI BUDIDAYA PADI SINTANUR DI DESA PEENG KECAMATAN MOJOGEDANG KABUPATEN KARANGANYAR

0 5 74

Pengaruh Karakteristik Inovasi dan Sistem Sosial terhadap Tingkat Adopsi Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi di Kecamatan Kebakkramat Kabupaten Karanganyar.

0 0 6

View of Adopsi Inovasi Budidaya Padi Organik Pada Petani Di Kelompok Appoli (Aliansi Petani Padi Organik Boyolali)

0 0 12