Analisis Efisiensi Pemasaran Cabai Merah Keriting Di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN CABAI MERAH
KERITING DI KECAMATAN CIKAJANG, KABUPATEN
GARUT, JAWA BARAT

EMMI JELITA TAMPUBOLON

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Analisis Efisiensi
Pemasaran Cabai Merah Keriting di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa
Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari tesis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Emmi Jelita Tampubolon
NRP H351120301

RINGKASAN
EMMI JELITA TAMPUBOLON. Analisis Efisiensi Pemasaran Cabai Merah
Keriting Di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Dibimbing oleh
RITA NURMALINA dan NETTI TINAPRILLA.
Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai
nilai ekonomi tinggi dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan dari sisi
penawaran atau produksi, luas wilayah Indonesia dengan keragaman agroklimat
memungkinkan pengembangan berbagai jenis tanaman hortikultura. Cabai
merupakan salah satu komoditas pangan penting bagi masyarakat Indonesia.
Konsumsi cabai merah di Indonesia semakin hari semakin meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk. Konsumsi cabai merah rata-rata
masyarakat Indonesia 1.46kg/kapita/th. Cabai merah mendapat perhatian karena
harganya sangat berfluktuasi dan ketidakstabilan harga yang terjadi pada
komoditas cabai berakibat langsung pada perekonomian nasional, ini bisa dilihat
dari dampaknya yang mampu menyebabkan inflasi. Tujuan penelitian ini adalah

untuk Menganalisis efisiensi operasional (marjin pemasaran, farmer’s share, rasio
keuntungan) cabai merah keriting di Kecamatan Cikajang, Menganalisis efisiensi
harga cabai merah keriting di Kecamatan Cikajang. Analisis data kuantatif
digunakan untuk menganalisis marjin pemasaran, farmer’s share, rasio
keuntungan terhadap biaya dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 dan
tabulasi data sedangkan Eviews 7 dipergunakan untuk melihat keterpaduan pasar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima saluran pemasaran dalam
sistem pemasaran cabai merah keriting Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut
Saluran pemasaran yang banyak dipilih adalah saluran pertama, sebanyak 50%
petani atau 15 orang memilih saluran ini. Banyaknya petani yang memilih saluran
ini dikarenakan adanya ikatan modal, lokasi pedagang dekat dengan petani dan
juga kuota hasil panen yang akan dijual dalam jumlah kecil. Sistem Pemasaran
cabai merah keriting di Kecamatan Cikajang belum efisien secara operasional
maupun harga. Sebaran marjin belum merata, marjin pemasaran terbesar ada pada
pedagang pengecer, sebaran rasio biaya dan keuntungan juga belum merata. Akan
tetapi bila dilihat berdasarkan margin terendah dan farmer’s share tertinggi dapat
diketahui bahwa saluran yang relatif efisen adalah saluran 5 dengan marjin
pemasaran terkecil 40.63%, farmer’s share terbesar 59.37%. Analisis efisiensi
harga menunjukkan bahwa integrasi harga yang terjadi di tingkat petani dengan
harga di tingkat pedagang grosir Pasar Induk bersifat lemah. Perubahan harga

yang terjadi di Pasar Induk Kramatjati tidak sepenuhnya ditransmisikan kepada
petani, perubahan harga sebesar 1 rupiah hanya akan merubah harga di tingkat
petani sebesar 0.36 rupiah. Sementara harga di tingkat pedagang grosir Pasar
Induk Kramatjati dengan harga di tingkat pedagang pengecer tidak terintegrasi,
perubahan harga di tingkat pedagang pengecer tidak akan mempengaruhi
perubahan harga di tingkat pedagang grosir Pasar Induk Kramatjati. Peran
kelembagaan petani perlu ditingkatkan untuk meningkatkan bargaining position
dalam penentuan harga, akses informasi pasar, serta akses permodalan.
Kata kunci: cabai merah keriting, efisiensi pemasaran, marjin pemasaran,
saluran pemasaran, farmer’s share

SUMMARY
EMMI JELITA TAMPUBOLON. Marketing Efficiency of Red Curly Chili in
Cikajang District, Garut Regency, West Java. Supervised by RITA
NURMALINA and NETTI TINAPRILLA.
Horticultural commodities are potential commodities that have high
economic value and have the potential to be developed. From the supply side or
production, the area of Indonesia with agro-climatic diversity allows the
development of various types of horticultural crops. Chili is one of important
food commodities for Indonesian people. Consumption of red chilli in Indonesia

day by day is rising in line with increasing population. Consumption of red chili
average Indonesian society is 1.46kg/capita year. The importance of the existence
of chili for Indonesia people causes the instability in chili prices has direct impact
on the national economy that is capable of causing inflation.
This study aims to 1) analyze the operational efficiency marketing margin ,
the farmer's share , profit ratio ) in the District curly red chili Cikajang, 2) analyze
the efficiency of curly red chili prices in the District Cikajang . Quantitative data
processing used to analyze marketing margins, the farmer's share, the ratio of
benefits to costs by using Microsoft Excel 2007 and tabulation of data while
Eviews 7 is used to see the market integration.
The reseach results showed that there are five types of marketing channels
in the marketing system of red pepper curls in the Cikajang village, District
Cikajang, Garut. Marketing channel that has been chosen the most is the first
channel, as many as 50% of farmers or 15 people choose to use this channel. Most
farmers choose this channel because of capital bond, merchant location that is
near to the farmers and also quota harvest will be sold in small quantities. Based
on the operational efficiency analysis and by using the price integrated it was
proven that marketing system had been inefficient. However, when viewed by the
lowest marketing margin and the highest farmer’s share can be seen that a
relatively efficient channel is channel 5 with the smallest value of marketing

margin 40.63%, the highest value of the farmer's share of 59.37%.
Analysis of market integration shows that red chili market at farmer level is
weakly integrated with red chili market at the Kramatjati Market wholesalers.
Changes in prices that occurred in the Kramat Jati Market wholesalers not fully
transmitted to farmers, price changes by 1 rupiah will only change price at farmer
level amounting 0.36 rupiah. While prices at the Kramatjati Market wholesalers
level non-integrated with price in the retailers level, price changes in the level of
retailers will not affect the price changes in the level of wholesalers Kramatjati
Market Master. The institutional role of farmers should be increased to improve
the bargaining position of farmers in pricing, access to market information, as
well as access to capital.
Keywords: red curly chili, marketing efficiency, margin pemasaran, marketing
channel, farmer’s share

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN CABAI MERAH
KERITING DI KECAMATAN CIKAJANG, KABUPATEN
GARUT, JAWA BARAT

EMMI JELITA TAMPUBOLON

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Suharno, MAdev
Penguji Program Studi

: Dr Ir Burhanuddin, MM

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Yang Maha Kuasa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini adalah efisiensi pemasaran, dengan judul Analisis Efisiensi
Pemasaran Cabai Merah Keriting Di kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa
Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepad Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku
Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Ir Netti Tinaprilla, MM selaku Anggota Dosen
Pembimbing yang telah memberi saran, arahan serta bimbingan. Terimakasih
kepada Bapak Dr Ir Suharno, MAdev selaku penguji luar komisi, Dr Ir
Burhanuddin, MM selaku penguji wakil program studi. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Tina Selaku PPL di Kecamatan
Cijakang, Ibu Sri, Ibu Etty, Ibu Ayi Selaku Pegawai Dinas Tanaman Pangan dan
Hortikultura Kabupaten Garut yang telah membantu selama pengumpulan data.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2016
Emmi Jelita Tampubolon

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
5
5
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Saluran Pemasaran Cabai Merah
Kelembagaan Pemasaran Cabai Merah
Fungsi Pemasaran Cabai Merah
Efisiensi Operasional Pemasaran Cabai Merah
Efisiensi Harga Cabai Merah


5
8
11
12
13
15

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Konseptual
Kerangka Pemikiran Operasional

16
16
29

4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber data
Metode Penentuan Sampel

Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis Efisiensi Pemasaran
Analisis Efisiensi Operasional
Analisis Efisiensi Harga

30
30
31
31
31
32
32
33

5 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK
RESPONDEN
Karakteristik Pelaku Pemasaran Cabai Merah Keriting di Kecamatan
Cikajang
6 HASIL DAN PEMBAHASAN
Saluran Pemasaran
Fungsi Pemasaran
Struktur Pemasaran
Efisiensi Operasional Pemasaran Cabai Merah di Kecamatan Cikajang
Analisis Marjin Pemasaran
Analisis Farmer's Share
Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya
Efisiensi Harga Cabai Merah Keriting di Kecamatan Cikajang
Analisis Keterpaduan Pasar

35
35
41
41
44
48
53
53
53
54
56
56

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

58
58
58

DAFTAR PUSTAKA

59

LAMPIRAN

63

RIWAYAT HIDUP

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Konsumsi dan surplus/defisit cabai 2008-2012
Volume ekspor dan impor cabai tahun 2008-2012
Struktur pasar berdasarkan jumlah perusahaan dan sifat produk
Perbandingan struktur pasar
Syarat integrasi pasar
Identitas petani responden di Kecamatan Cikajang
Identitas pedagang responden di Kecamatan Cikajang
Fungsi lembaga pemasaran cabai merah keriting di Kecamatan
Cikajang
Struktur pasar cabai merah keriting di Kecamatan Cikajang
Marjin pemasaran dan farmer's share cabai merah keriting di
Kecamatan Cikajang
Rasio keuntungan dan biaya pemasaran cabai merah keriting di
Kecamatan Cikajang
Nilai efisiensi pemasaran pada saluran pemasaran cabai merah keriting
di Kecamatan Cikajang
Analisis integrasi pasar vertikal cabai merah keriting di Kecamatan
Cikajang

6
6
22
23
35
39
40
48
50
53
55
56
57

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Perkembangan konsumsi cabai dalam rumah tangga Indonesia
Komoditas penyumbang inflasi Mei 2015
Produksi cabai merah keriting di daerah sentra produksi Tahun 2015
Fluktuasi harga harian cabai merah keriting di Kecamatan Cikajang
Harga cabai merah di Pasar Dunia dan Indonesia Tahun 2008-2012
Model umum rantai pasok cabai merah besar di Jawa Barat
Kurva marjin pemasaran
Kerangka pemikiran operasional
Saluran pemasaran cabai merah keriting di Kecamatan Cikajang

1
2
4
4
7
9
26
30
42

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Konsumsi (KG/Kapita)

Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai
nilai ekonomi tinggi dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan. Dari sisi
penawaran atau produksi, luas wilayah Indonesia dengan keragaman agroklimat
memungkinkan pengembangan berbagai jenis tanaman hortikultura. Salah satu
komoditas hortikultura potensial untuk dikembangkan adalah cabai merah, karena
cabai merah bagi masyarakat indonesia merupakan bumbu utama dalam masakan,
cita rasa pedas cabai sudah menjadi ciri khas masakan Nusantara, hampir semua
masakan Nusantara menyertakan cabai sebagai bumbu masak. Agribisnis cabai
merah merupakan sumber pendapatan yang menjanjikan bagi masyarakat
khususnya petani, mengingat nilai jualnya yang relatif tinggi serta potensi serapan
pasar yang terus meningkat (Ditjen Hortikultura, 2008)
Konsumsi cabe selama periode tahun 2002 - 2014 relatif berfluktuasi tetapi
cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dari ketiga jenis cabai
yang dikonsumsi rumah tangga di Indonesia yang dominan dikonsumsi adalah
cabai merah kemudian cabai rawit dan cabai hijau. Konsumsi cabai merah pada
tahun 2002 mencapai 1.429kg/kapita/th kemudian berfluktuatif menjadi
1.46kg/kapita/th pada tahun 2014 atau rata-rata 0.46% per tahun. Selama periode
tahun 2002-2014, konsumsi cabai merah terbesar terjadi pada tahun 2012 yang
mencapai 1.653kg/kapita, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2003
sebesar 1.351kg/kapita/th. Permintaan cabai merah dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya
industri pengolahan pangan.
2
1,5
1

Cabe merah
Cabe Hijau

0,5

Cabe Rawit

0

Waktu (Tahun)

Gambar 1 Perkembangan konsumsi cabai rumah tangga Indonesia tahun
2002-2014
Sumber : Ditjen Hortikultura (2015)
Cabai merah mendapat perhatian karena harga sangat berfluktuasi dan
ketidakstabilan harga yang terjadi pada komoditas cabai merah berakibat langsung
pada perekonomian nasional, ini bisa dilihat dari dampaknya yang mampu
menyebabkan inflasi. Fluktuasi harga cabai merah yang sering terjadi, umumnya
disebabkan oleh ketersediaan pasokan cabai merah yang tidak merata sepanjang

2
tahun akibatnya harga cabai biasanya akan meningkat naik ketika pasokan di
pasar sedikit, terutama saat mendekati hari besar nasional atau keagamaan.
Sebaliknya harga komoditas ini akan segera turun ketika pasokan dari sentra
produksi meningkat di pasar. Inflasi yang selalu terjadi pada perekonomian
Indonesia biasanya disebabkan adanya tekanan dari sisi penawaran (cost push
inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation) dan dari sisi ekspektasi
inflasi. Secara nasional inflasi masih didominasi oleh tekanan dari sisi penawaran
(cost push inflation) akibat terjadinya negative supply shock yang disebabkan
terjadinya bencana alam/iklim atau terganggunya distribusi demikian halnya
dengan inflasi yang disebabkan oleh cabai disebabkan kurangnya supply dan
faktor musiman (Bank Indonesia, 2013). Pusat Kebijakan dan Perdagangan Dalam
Negeri (2011) mencatat bahwa terjadi kenaikan harga pada bulan januari 1996,
kenaikan harga yang terjadi sekitar 327 persen dibandingkan harga bulan
sebelumnya. Pada tahun 2010 cabai merah juga merupakan tiga besar komoditas
penyebab inflasi, menjelang akhir tahun 2010 dan awal tahun 2011 harga cabai
merah mengalami peningkatan 86.59 persen dari harga sebelumnya (Anwaruddin
et al, 2015; BPS 2010). Berikut ini adalah beberapa komoditas penyebab inflasi
(gambar 2)
Telur Ayam
Komoditas

Daging Ayam
Listrik
Ikan Segar
Bawah putih
Bawang Merah
Cabai Merah
0

0,02

0,04

0,06

0,08

0,1

0,12

Persentase (%)

Gambar 2 Komoditas penyumbang inflasi Mei 2015
Sumber : Badan Pusat Statistik (2015)
Inflasi sering terjadi menjelang bulan hari besar keagamaan, inflasi tertinggi
menjelang bulan ramadhan paling tinggi selama 5 tahun terakhir terjadi pada
bulan Mei 2015 mencapai 0.5 persen dan ini disebabkan kenaikan harga cabai
merah sebesar 22.22 persen yang memberi sumbangan 0.10 persen terhadap total
inflasi. Inflasi yang terjadi di bulan mei menyebabkan inflasi tahunan meningkat
menjadi 7.15 persen, hal ini semakin jauh dari target laju inflasi GBHN-P 2015
sebesar 5 persen (BPS, 2015).
Simatupang (1999) mengemukakan bahwa fluktuasi harga yang tinggi di
tingkat konsumen memberi peluang pedagang untuk memanipulasi informasi
harga di tingkat petani sehingga transmisi harga di pasar konsumen asimetris
terhadap harga di tingkat produsen, kenaikan harga yang terjadi tidak secara cepat
dan sempurna diteruskan kepada petani tetapi penurunan harga terjadi sebaliknya.
Saptana (2010) Dalam prakteknya petani kecil sulit mencapai efisiensi dan
produktivitas yang diharapkan karena menghadapi berbagai permasalahan, baik
aspek teknis (teknologi), aspek ekonomi (permodalan dan akses pasar), sosial

3
kelembagaan (lemahnya konsolidasi kelembagaan kelompok tani), serta aspek
kebijakan pemerintah yang belum kondusif untuk pengembangan usahatani cabai
merah.
Cabai merah terdiri dari cabai merah besar dan cabai merah keriting,
perbedaan keduanya, cabai merah besar memiliki kulit permukaan yang lebih
halus dibanding cabai merah keriting sedangkan cabai merah keriting memiliki
rasa yang lebih pedas dibandingkan cabai merah besar (Syukur et al 2013). Cabai
merah keriting selain dijadikan sebagai bahan penyedap makanan, cabai merah
keriting juga dimanfaatkan menjadi berbagai macam produk olahan seperti saos
cabai, pasta cabai, bubuk cabai, cabai kering dan bumbu instant. (Bank Indonesia
2013).
Perumusan Masalah
Sistem pemasaran komoditas pertanian masih menjadi bagian yang lemah
dari aliran komoditas, lemahnya pemasaran komoditas pertanian terjadi karena
belum efisien demikian halnya yang terjadi dalam komoditas cabai merah.
Menurut Mubyarto (1989) suatu sistem pemasaran yang efisien harus mampu
memenuhi dua persyaratan yaitu (1) mengumpulkan hasil pertanian dari produsen
dan konsumen dengan biaya serendah-rendahnya; (2) mampu mendistribusikan
pembagian balas jasa yang adil dari keselurahan harga konsumen akhir kepada
semua pihak yang terlibat mulai dari kegiatan produksi hingga pemasaran.
Dalam pemasaran cabai mulai dari produsen (petani) hingga cabai sampai
pada konsumen akhir (rumah tangga), pihak yang terlibat sangat banyak yaitu
petani sebagai produsen, pengumpul, bandar, pedagang pasar tradisional,
pedagang pasar induk, pedagang pasar eceran besar, pedagang eceran kecil,
industri. Kekuatan penentu harga berada di tingkat bandar yang berada di pasar
induk (terminal agribisnis). Faktor modal menjadi kekuatan mempengaruhi harga.
Selain faktor modal yang besar sebagai entry barrier pasar cabai, juga ada faktor
pasokan cabai tidak mudah diprediksi (Farid dan Subekti 2012)
Menurut Reza (2015) Pembentukan harga komoditas juga dipengaruhi oleh
aliran informasi, struktur dan perilaku pedagang dipasar. Informasi tentang jenis,
kualitas dan waktu suatu komoditas dibutuhkan oleh konsumen akan sangat
bermanfaat bagi petani dalam perencanaan produksi. Struktur pasar akan
berdampak pada penetapan harga. Petani dalam memasarkan komoditasnya
biasanya berhadapan dengan struktur pasar oligopsoni sementara konsumen akhir
berhadapan dengan struktur pasar oligopoli. Hal ini berdampak pada kerugian di
pihak petani dan konsumen sementara pedagang lebih banyak menikmati
keuntungannya.
Sentra produksi cabai di Indonesia ada enam, sentra produksi di Jawa barat
(Garut dan Cianjur), Jawa Tengah (Brebes dan Magelang), Jawa Timur (Malang),
dan sumatera Utara (Karo). Kabupaten Garut merupakan produsen utama cabai di
Jawa Barat yang menyumbangkan produksinya untuk Jawa Barat hingga DKI
Jakarta. Kabupaten Garut Menyumbang 34.74 persen dari total produksi di Jawa
Barat atau 6.45 persen dari total produksi secara nasional. Luas Panen cabe merah
Kabupaten Garut selama 5 tahun terakhir (2010-2014) berkisar antara 5 512 – 6
476 Ha, Produksi Berkisar 56 540 – 880 038 Ton (Ditjen Hortikultura, 2015).

4
Produksi (Ton)
100000

93142

80000
59280
60000

41111

40000

25237

25020

23476

15627

20000
0
Karo

Magelang

Brebes

Malang

Garut

Cianjur

Tasikmalaya

Gambar 3 Produksi cabai merah keriting di sentra produksi di Indonesia
Sumber : Ditjen Hortikultura (2015)
Kecamatan Cikajang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Garut
yang memproduksi cabai merah keriting. Cabai merah keriting hasil produksi
Kecamatan Cikajang biasanya di ditribusikan ke berbagai pasar di sekitarnya dan
juga ke berbagai pasar di luar Kecamatan Cikajang seperti Pasar lokal Garut,
Pasar Induk Caringin, Pasar Induk Cibitung, Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang,
Pasar Induk Kramat Jati dan Pasar Kemang Bogor, tetapi pasar utama tujuan
pemasaran untuk luar kecamatan adalah Pasar Induk Kramat Jati dan Pasar Induk
Caringin. Berdasarkan gambar 4 terlihat bahwa harga cabai merah keriting di
tingkat konsumen Bandung dan Jakarta lebih berfluktuasi dibandingkan dengan
harga cabai merah keriting di tingkat petani cikajang tetapi cenderung
menunjukkan pola fluktuasi yang sama. Selain harga yang fluktuatif juga terdapat
perbedaan harga yang nyata antara harga di tingkat petani produsen dengan harga
yang dibayarkan oleh konsumen. Pada kondisi tersebut apakah perubahan harga
yang dibayarkan konsumen merubah harga cabai yang diterima petani secara
sempurna dan apakah terjadi pembagian balas jasa yang adil pada setiap lembaga
pemasaran yang terlibat.
70000
60000
50000
40000

Cikajang (Petani)

30000

Konsumen Jakarta

20000

Konsumen Bandung

10000
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

Gambar 4 Fluktuasi harga cabai Bulanan di tingkat petani, Konsumen Jakarta
dan Konsumen Bandung Tahun 2015
Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan Hortikulturan Garut (2015)

5
Berdasarkan permasalahan tersebut maka yang menjadi rumusan masalah
dalam penelitian ini antara lain :
1. Apakah sistem pemasaran cabai merah keriting di Kecamatan Cikajang sudah
efisien secara operasional?
2. Apakah sistem pemasaran cabai merah keriting di Kecamatan Cikajang sudah
efisien secara harga?

Tujuan Penelitian
1. Menganalisis efisiensi operasional (marjin pemasaran, farmer’s share, rasio
keuntungan) cabai merah keriting di Kecamatan Cikajang.
2. Menganalisis efisiensi harga cabai merah keriting di Kecamatan Cikajang.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi
berbagai pihak yang berkepentingan yaitu:
1. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
penelitian selanjutnya terutama penelitian tentang komoditas cabai merah.
2. Bagi petani, pedagang, industri, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
rujukan serta sebagai bahan informasi mengenai sistem pemasaran cabai
merah di Kabupatem Garut.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada pemasaran cabai merah di Kabupaten Garut.
Unit analisis yang digunakan yaitu lembaga yang terlibat pada pemasaran cabai
merah keriting di Kabupaten Garut meliputi petani cabai merah keriting, pedagang
pengumpul desa, pedagang kecamatan, pedagang grosir pasar induk, pedagang
pengecer. Penelitian ini mencakup analisis efisiensi operasional (marjin share,
farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya) dan efisiensi harga (integrasi
vertikal antara harga dari petani dengan harga di Pasar Induk Kramat Jati)

TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Surya (2015) bahwa komoditas pangan yaitu cabai dan bawang
merah dalam segi produksi secara nasional mencukupi bahkan surplus terutama
pada saat musim kemarau, namun cabai merupakan produk musiman dan belum
ada pengaturan pola tanam, maka dalam bulan-bulan tertentu akan mengalami
defisit produksi. Hal ini yang menyebabkan harga cabai sering bergejolak pada
bulan-bulan tertentu. Inflasi komoditas pangan yang terjadi di Indonesia tidak
hanya disebabkan oleh kurangnya produksi komoditas pangan tetapi juga
disebabkan oleh beberapa faktor lain seperti proses distribusi yang berjalan
kurang baik yang ditandai dengan disparitas harga serta fluktuasi harga yang tidak

6
terkendali. Permasalahan pada proses distribusi disebabkan oleh sarana dan
prasarana distribusi yang kurang memadai, kondisi geografis yang berpulau-pulau,
sentra produksi yang tidak merata, koordinasi pelaksanaan distribusi belum lancar,
margin distribusi yang tidak proporsional, aneka pungutan liar dan posisi dominan
pihak tertentu. Adapun total konsumsi nasional cabai dihubungkan dengan total
produksi cabai secara nasional menunjukkan surplus seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 1 Konsumsi dan surplus/defisit cabai, 2008-2012
Tahun
2008
2009
2010
2011
2012
Rata-rata
Laju (%/thn)

Konsumsi (ton)
688450
658780
672350
652300
769550
688290
2.13

Produksi(ton)
1053060
1378730
1328860
1483080
1656620
1380070
9.79

Surplus/Defisit
ton
%
364610
719950
656510
830780
887060
691780
19.21

34.62
52.22
49.40
56.02
53.55
49.16
9.42

Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013)
Surplus cabai per tahun sudah cukup besar bahkan mencapai rata-rata 50%
dari total produksi. Surplus cabai selama periode 2008-2012 meningkat dengan
laju pertumbuhan 19.21%/tahun seiring dengan laju peningkatan produksi cabai
yang lebih tinggi dari laju peningkatan konsumsinya, yaitu masing-masing sebesar
9.79%/tahun dan 2.13%/tahun. Indonesia melakukan perdagangan cabai dengan
beberapa negara lain, namun volume impor lebih besar daripada volume ekspor
sehingga secara umum neraca perdagangan berada dalam kondisi defisit (Tabel 3).
Tabel 2 Volume ekspor dan impor cabai, 2008-2012
Tahun
2008
2009
2010
2011
2012
Laju (%/thn)

Ekspor (ton)
729.3
612.4
1229.1
826.4
9986.2
55.33

Impor (ton)
280.0
846.5
1798.1
6207.4
26838.7
111.18

Surplus/Defisit
Ton
449.3
-234.1
-568.9
-5381.0
-16852.5

%
61.60
-38.23
-46.29
-651.16
-168.76

Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013)
Neraca perdagangan pada tahun 2008 berada pada posisi surplus namun di
tahun selanjutnya neraca perdagangan berada dalam kondisi defisit yang
berfluktuasi tetapi cenderung membesar bahkan pada tahun 2012 defisit
perdagangan mencapai 169%, namun di periode yang sama volume ekspor
mencapai pertumbuhan dengan laju 55%/tahun sementara volume impor tumbuh
dengan laju 111%/tahun. Menurut Parwadi (2014) permasalahan utama tingginya
volume impor cabai disebabkan oleh tidak adanya pengaturan pola tanam. Surplus
produksi cabai terjadi bersamaan antar daerah sehingga menyebabkan harga turun
dan merugikan petani, sementara di waktu yang lain produksi cabai defisit
sehingga pemerintah melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi.
Harga cabai merah di Indonesia dibandingkan dengan harga cabai merah
dunia jauh lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing cabai merah

7
terhadap cabai impor relatif lebih rendah sehingga pasar cabai Indonesia sangat
potensial untuk dipenuhi oleh cabai impor yang harganya jauh lebih murah. Pada
tahun 2011 harga cabai dunia USS 0.94/kg atau Rp. 8 256/kg harga di Indonesia
Rp.47 669/kg.
60000
50000
40000
30000

Harga Dunia

20000

Harga Indonesia

10000
0
2008

2009

2010

2011

2012

Gambar 5 Harga cabai merah di Pasar Dunia dan Indonesia Tahun 2008-2012
Sumber : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2013
Fluktuasi harga yang tinggi pada komoditas cabai mendapat perhatian
banyak pihak. Harga yang sangat fluktuatif menyebabkan sulitnya untuk prediksi
bisnis, baik dalam perhitungan rugi laba maupun manajemen risiko. Harga yang
demikian seringkali hanya menguntungkan para pedagang yang mampu
mengelola pasokan secara baik dan benar. Fluktuasi harga komoditas pada
dasarnya terjadi akibat ketidakseimbangan antara jumlah pasokan dan permintaan
yang dibutuhkan konsumen. Jika pasokan berlebih maka harga komoditas akan
turun, sebaliknya jika terjadi kekurangan pasokan maka harga akan naik. Pada
proses pembentukan harga, perilaku petani dan pedagang menjadi penting karena
dapat mengatur volume pasokannya sesuai dengan kebutuhan konsumen. Hal ini
mengindikasikan bahwa fluktuasi harga yang tinggi dalam komoditas sayuran
terjadi karena kegagalan petani dan pedagang sayuran dalam mengatur volume
pasokannya sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan konsumen, kondisi demikian
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adanya konsentrasi produksi sayuran
pada daerah-daerah tertentu, misalnya 82 persen produksi cabai dihasilkan di 7
provinsi. Hal ini mengakibatkan harga tidak kondusif karena terjadinya anomali
produksi (misalnya gagal panen akibat hama dan stabilitas produksi karena
pengaruh iklim) di salah satu sentra produksi akan berpengaruh besar terhadap
keseimbangan harga secara keseluruhan. Pola produksi yang tidak sinkron antar
daerah produsen sehingga total produksi sayuran cenderung terkonsentrasi pada
bulan-bulan tertentu. Misalnya untuk daerah Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur yang merupakan sentra produksi cabai merah, sekitar 60-65%
produksi cabai merah dihasilkan pada bulan Juni hingga agustus sehingga pada
bulan-bulan tersebut harga cabai mengalami penurunan tajam. Permintaan
komoditas sayuran sensitif terhadap perubahan kesegaran sementara sayuran
relatif cepat busuk menyebabkan petani dan pedagang tidak mampu menahan
penjualannya terlalu lama sehingga pengaturan volume pasokan yang disesuaikan
dengan kebutuhan konsumen tidak mudah dilakukan karena setelah panen petani
segera menjual hasil panennya agar sayuran tetap dalam keadaan segar. Besarnya
biaya pengadaan sarana penyimpanan (ruang pendingin) yang dapat

8
mempertahankan kesegaran produk menyebabkan petani dan pedagang tidak
mampu menyediakannya sehingga tidak bisa mengatur volume pasokan (Irawan,
2007).
Penelitian terhadap pemasaran cabai merah telah banyak dilakukan di
berbagai daerah yang berbeda, secara umum permasalahan yang dihadapi sistem
pemasaran cabai adalah (1) marjin pemasaran yang relatif tinggi (2) lemahnya
posisi tawar petani dalam penentuan harga sehingga petani hanya price taker (3)
pasar tidak terintegrasi antara pasar sentra produksi dan pasar konsumen (4)
belum adanya pembagian keuntungan yang adil pada setiap lembaga pemasaran
yang terlibat (4) belum adanya fungsi yang dilakukan untuk mempertahankan
kesegaran cabai.
Saluran Pemasaran Cabai Merah
Rantai pasok cabai merah di Jawa Barat menurut Permana et al (2013)
sudah terdapat dua jenis hubungan kerja sama kemitraan di Jawa Barat, yaitu
kemitraan formal yang terjadi antara petani cabai merah dengan industri
pengolahan saus dan kemitraan non formal yang terjadi antara petani cabai merah
dengan bandar dan grosir, tetapi dua jenis kemitraan ini dianggap belum mampu
menjawab permasalahan fluktuasi harga yang harus dihadapi petani. Kedua model
kemitraan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain, pada
kemitraan formal terjadi transfer teknologi dari industri ke petani, pihak industri
memberi bimbingan teknik budidaya agar petani mampu menghasilkan cabai
sesuai dengan persyaratan kebutuhan industri dan petani juga memperoleh
kepastian pemasaran, kepastian harga, tetapi dalam pembayaran terjadi
penangguhan rata-rata satu bulan, tidak ada bantuan permodalan dari pihak
industri kepada petani. Sedangkan kemitraan nonformal antara petani dengan
bandar dan grosir memiliki karakteristik tidak ada transfer teknologi, tidak ada
persyaratan khusus untuk cabai yang diperjual belikan, ada bantuan pinjaman
keuangan dari pedagang kepada petani, pembayaran petani dibayar secara tunai.
Persamaan kedua jenis model kemitraan tersebut adalah asimetri informasi dan
tekanan harga jual cabai petani. Pada kedua model harga jual ditetapkan oleh
mitra, petani tidak memiliki kekuatan untuk melakukan penawaran, petani
menerima berapapun harga yang ditentukan oleh mitra.
Rantai tataniaga cabai merah di Jawa Barat dari produsen ke konsumen
relatif panjang dibandingkan Jawa Tengah dan Jawa Timur, hal ini disebabkan
pedagang pengumpul mempunyai tiga alternatif penjualan di tingkat atasnya,
tetapi 60 persen diantaranya dijual langsung ke pedagang besar (Bulog dan IPB,
1996). Permana et al (2013) menyebutkan bahwa rantai pasok cabai di Jawa Barat
merupakan suatu jaringan yang kompleks dan terdiri dari berbagai tingkatan
pelaku, Meliputi petani cabai, koperasi petani cabai, sub terminal agribisnis (STA),
bandar, grosir, pedagang lokal, supplier, supermarket, dan industri. Berikut model
rantai pasok cabai merah di Jawa Barat secara umum.

9

Gambar 6 Model umum rantai pasok cabai merah besar di Jawa Barat
Sumber : Permana et al (2013)
Saluran pemasaran cabai merah di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut
menurut Agustian dan Setiajie (2008) yaitu petani sebagai produsen dijual ke
pedagang pengumpul desa atau pedagang besar. Cabai yang diperoleh pedagang
pengumpul dijual ke pedagang besar, pedagang besar menjual cabai merah ke
berbagai tujuan seperti Pasar lokal Garut, Pasar Induk Cibitung, Pasar Induk
Tanah Tinggi Tangerang, Pasar Induk Kramat Jati dan Pasar Kemang di Bogor.
Pemasaran cabai merah di Brebes dimulai dari petani sebagai produsen
kemudian ke pedagang pengumpul kecil yang biasanya memiliki warung di dekat
ladang cabai. Kemudian pedagang pengumpul kecil menjual cabainya ke
pedagang pengumpul besar dengan cara mendistribusikannnya dengan
menggunakan alat transportasi motor atau becak. Kemudian pedagang pengumpul
besar mendistribusikannya ke pedagang di pasar Kramat Jati, pasar induk caringin
Bandung, pasar Cirebon dan pasar induk di Brebes, kemudian cabai di
diditribusikan lagi ke pedagang pengecer (Farid dan Subekti 2012).
Penelitian Tsurayya (2015) pada komoditas cabai (cabai merah dan cabai
rawit) di Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut disimpulkan bahwa ada enam
saluran pemasaran yang terjadi. Adanya grading sehingga dihasilkan standart
mutu cabai merah besar ada 3 jenis yang masing-masing mutu cabai memiliki
tujuan pasar yang berbeda berikut adalah 6 saluran pemasaran yang terjadi (1)
Petani – Pasar Lokal (2) Petani – Pengumpul – Pasar Lokal (3) Petani –

10
Pengumpul – Pasar Induk (4) Petani – Pengumpul – Pasar Swalayan (5) Petani –
Sub Terminal Agribisnis – Eksportir – Pasar Asia (6) Petani – Pengumpul –
vendor – Industri (PT.Heinz ABC Indonesia). Saluran pemasaran paling dominan
dipilih adalah saluran 3 karena saluran ini memberikan harga jual yang tinggi dan
biaya penyortiran dan pengangkutan ditanggung pedagang pengumpul.
Saluran pemasaran cabai merah di Brebes ada enam saluran (1) Petani –
Pedagang Pengumpul Desa – Pedagang Pengumpul Kecamatan – Pedagang
Pengumpul Provinsi (2) Petani – Pedagang Kecamatan – Pedagang Kabupaten –
Pedagang Provinsi (3) Petani – Pedagang Kabupaten – Pedagang Pasar Induk (4)
Petani – Pedagang Desa – Pedagang Kecamatan – Pedagang Provinsi (5) Petani –
Pedagang Desa – Pedagang Kabupaten – Pedagang Provinsi (6) Petani –
Pedagang Kecamatan – Pedagang Provinsi. Saluran pemasaran paling dominan
dipilih adalah saluran pemasaran 3 karena merupakan saluran pemasaran paling
pendek sehingga memberikan keuntungan maksimum. Saluran pemasaran di tegal
ada tiga saluran (1) Petani – Pedagang Kecamatan – Pedagang Kabupaten –
Pedagang Provinsi (2) Petani – Pedagang Kecamatan – Pedagang Provinsi (3)
Petani – Pedagang Kecamatan – Pedagang Kabupaten – Pedagang Pasar Induk.
Saluran pemasaran cabai merah di Magelang ada tiga saluran (1) Petani –
Pedagang Kecamatan – Pedagang Kabupaten – Pedagang Provinsi (2) Petani –
Pedagang Kecamatan – Pedagang Provinsi (3) Petani – Pedagang Kecamatan –
Pedagang Besar Pasar Induk. Saluran pemasaran yang dominan dipilih ada saluran
pemasaran 3 (Effendi, 1998) .
Kuntadi dan Jamhari (2012) meneliti pemasaran cabai merah melalui pasar
lelang spot di Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta, dan disimpulkan bahwa rantai
pemasaran cabai merah jika melalui lelang spot adalah, petani menjual cabai
merah ke pasar lelang melalui kelompok tani kemudian dilakukan lelang dimana
pedagang besar selaku pembeli, pedagang besar menjual kepedagang pengecer
dan pedagang pengecer menjual sampai pada konsumen sementara pemasaran
secara tradisional petani menjual cabai merah kepada pedagang pengepul desa
yang kemudian menjual kembali pada pedagang besar dan pedagang besar
menjual ke pedagang pengecer di wilayah Kulonprogo dan Yogyakarta.
Menurut Rachma (2008) Saluran pemasaran Cabai merah di Kabupaten
Ciamis ada lima (1) Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang Grosir – Pedagang
Pengecer I (2) Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang Grosir – Pedagang
Pengecer I – Pedagang Pengecer II – Konsumen (3) Petani – Pedagang
Pengumpul – Pedagang Grosir – Pedagang Pengecer II – Konsumen (4) Petani –
Pedagang Pengumpul- Pedang Pengecer I – Pedagang Pengecer II – Konsumen
(5) Petani – Pedagang Pengecer I – Konsumen. Menjual hasil panennya kepada
pedagang pengumpul sehingga kekuatan penentuan harga ada pada pedagang
pengumpul, petani berada dalam posisi tawar yang lemah karena tidak memiliki
alternatif penjualan.
Raya (2014) meneliti hubungan antara pemasaran cabai secara kolektif dan
kinerja pemasaran cabai yang terjadi di Yogyakarta dan disimpulkan bahwa jika
pemasaran cabai secara kolektif sangat menguntungkan, petani menjadi memiliki
bargaining position. Adanya hubungan antara kelompok dengan pedagang grosir
memberi keuntungan bagi petani ketika terjadi over supply, petani mengetahui
informasi harga dan kuota. Sehingga penting bagi kelompok tani untuk
memperpendek rantai pemasaran dan menciptakan jaringan dengan pedagang

11
grosir. Pemasaran kolektif dapat menjadi faktor kunci untuk meningkatkan sosioekonomi petani cabai menjadi lebih baik.

Kelembagaan Pemasaran Cabai Merah
Berdasarkan hasil penelitian Tsurayya (2015) kelembagaan pemasaran di
Kabupaten Garut pada Public sector melibatkan (1) Dinas TPH (Tanaman pangan
dan hortikultura) dalam pembentukan kelompok tani/gapoktan, pendirian Sekolah
Lapang GAP/SOP cabai, Menyediakan infrastruktur, dan memfasilitasi petani
dengan berbagai assosiasi atau perusahaan (2) Agroklinik Hortikultura, berperan
dalam pelayanan sumber informasi teknologi dan inovasi dalam meningkatkan
mutu (3) STA, berperan sebagai lembaga pemasaran yang memungkinkan petani
bertemu langsung pembeli.
Voluntary sector melibatkan peran dari (1) Kelompok tani/ Gapoktan,
berperan sebagai media belajar bersama, media transfer teknologi, dam pemasaran
hasil panen secara berkelompok (2) Koperasi Cagarit (Cabai Garut Inti Tani),
merupakan arahan dari Lembaga Pembinaan Masyarakat Universitas Pasundan
yang berperan dalam penyediaan benih, penyediaan jadwal panen dan tanam,
memfasilitasi pemasaran ke industri.
Private sector melibatkan peran (1) Lembaga Keuangan Formal (BRI, BNI,
Bank Mandiri), berperan sebagai penyedia pinjaman modal berupa uang; (2)
Lembaga Keuangan Non Formal (Pedagang), berperan sebagai penyedia pinjaman
modal berupa uang atau natura (benih, pupuk, pestisida, dan obat-obatan); (3)
Perusahaan Pemasok Sarana Produksi Pertanian/Saprodi (PT East West Seed
Indonesia, Fajar Perkasa Utama), berperan sebagai penyedia pinjaman modal
berupa sarana produksi pertanian; (4) Industri Pengolahan (PT Heinz ABC),
berperan sebagai tujuan pemasaran hasil panen dengan kontrak kerja sama yang
telah disepakati sebelumnya; dan (5) Pasar, berperan sebagai tujuan pemasaran
hasil dengan tujuan utama Pasar Ciawitali Garut, Pasar induk Caringin Bandung,
Pasar Induk Gede Bage Bandung, Pasar Induk Kramat Jati Jakarta, Pasar Induk
Tanah Tinggi Tangerang, Pasar Batam dan Pasar Swalayan.
Lembaga pemasaran yang ada pada pemasaran cabai merah di Kabupaten
Ciamis Pedagang pengumpul, Pedagang grosir, Pedagang pengecer I, Pedagang
Pengecer II. Kerjasama antara lembaga tataniaga terjadi antara petani cabai merah
dengan pedagang pengumpul, kerjasama yang terjadi atas dasar saling percaya
dan sudah berlangsung lama, kerjasama yang dilakukan hanya dalam proses jual
beli, tidak ada kerjasama permodalan. Kerjasama juga terjalin antara pedagang
pengumpul dengan pedagang grosir dan pedagang pengecer dalam jual beli cabai
merah (Rachma 2008).
Lembaga pemasaran yang terlibat pada pemasaran cabai merah di Jawa
Tengah (Brebes, Tegal dan Magelang), ada pedagang kecamatan, pedagang
kabupaten, Koperasi Unit Desa (KUD) dan ada juga pedagang lepas yang ada
pada setiap musim panen, kondisi ini menggambarkan bahwa struktur pasar yang
dihadapi petani adalah oligopsoni tidak murni (petani berlaku sebagai penjual),
meskipun jumlah pedagang terbatas (sedikit) dan jumlah petani banyak tetapi
tidak terjadi rebutan pedagang karena masing-masing petani sudah memiliki
langganan (Effendi 1998).

12
Pada kegiatan pemasaran cabai merah di Pulau Jawa ada empat pengendali
harga (price leader) : (1) Pasar Induk Kramat Jati sebagai pasokan pasar cabai
untuk wilayah Jabodetabek dan sekitarnya. Harga cabai di Pasar Induk Kramat
Jati dapat digunakan sebagai patokan harga cabai dari titik produksi yang
memasarkan cabainya ke Pasar Induk Kramat Jati. Demikian Pula pasar induk di
kota besar seperti Bandung, Semarang, Yogyakarta dan kota besar lainnya (2)
Pedagang pengumpul yang terdekat dengan produsen (3) Pedagang pengumpul
yang mampu memasarkan lebih lanjut ke pasar yang terdekat dengan konsumen
(4) Industri pengolah yang mendasarkan harga beli bahan baku pada bahan
komponen harga pokok penjualan olahannya (Bank Indonesia 2007)

Fungsi Pemasaran Cabai Merah
Agustian dan Setiajie (2008) melakukan penelitian pemasaran komoditas
cabai merah di Kabupaten Garut disimpulkan bahwa pedagang hanya melakukan
fungsi pertukaran yaitu fungsi pembelian, fungsi penjualan dan fungsi
pengumpulan. Pedagang pengumpul tidak melakukan grading karena tujuan pasar
yang dominan adalah pasar tradisional dimana tidak diperlukan adanya grading
karena harga juga dihitung rata-rata.
Struktur distribusi cabai merah besar di Kecamatan Cisurupan Kabupaten
Garut dilakukan Grading dan dihasilkan ada tiga standart mutu yakni Mutu I,
Mutu II, dan Mutu III. Standar grading yang dipergunakan adalah keseragaman
bentuk, keseragaman ukuran panjang, keseragaman ukuran garis tengah, kadar
kotoran dan tingkat kerusakan. Masing-masing mutu cabai memiliki tujuan pasar
yang berbeda-beda. Cabai yang terbaik adalah Mutu I dengan tujuan pasar utama
yaitu ekspor, pasar swalayan, dan Hotel di Kota Garut, Tasik dan Bandung. Cabai
dengan Mutu II memiliki tujuan pasar utama yaitu pasar-pasar tradisional di Kota
Garut, Tasik dan Bandung. Cabai dengan Mutu III digunakan untuk pembuatan
tepung cabai untuk kebutuhan makanan instant atau bumbu (Tsurayya 2015)
Fungsi pemasaran yang dilakukan dalam pemasaran cabai merah di
Kabupaten Jawa Tengah terdiri dari fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan),
fungsi fisik (pengangkutan, bongkar muat, penimbangan, pengemasan,
penyimpanan), fungsi fasilitas (sortasi, grading, penanggungan resiko, retribusi
pasar dan informasi pasar), secara umum hampir tidak ada perbedaan mengenai
fungsi-fungsi yang dijalankan setiap lembaga pemasaran. Fungsi pertukaran
merupakan fungsi dasar yang dijalankan semua lembaga pemasaran. Pedagang
desa melakukan sortasi dan grading didasarkan tingkat kecerahan warna,
kesegaran, kandungan air dan bentuk penampakan fisik, cabai yang kurang baik
tapi masih layak dikonsumsi akan dikeringkan dan dijadikan cabai kering. Fungsi
penyimpanan tidak dilakukan oleh pedagang desa tetapi dilakukan oleh pedagang
kabupaten tapi tanpa pengawetan karena hanya untuk satu malam menunggu
diambil pedagang besar. Fungsi penanggungan risiko secara tidak langsung
dilakukan oleh semua pelaku pemasaran. Fungsi informasi harga dilakukan oleh
pedagang desa dan juga pedagang yang lebih tinggi. Fungsi pengangkutan
dilakukan oleh semua pedagang kecamatan dan kabupaten. Fungsi sortasi dan
grading tidak dilakukan oleh pedagang kecamatan di Brebes karena sudah
percaya dengan langganannya (Effendi 1998).

13
Rachma (2008) Pada pemasaran cabai merah di Kabupaten Ciamis
pedagang pengumpul melakukan fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan),
fungsi fisik (pengangkutan dan pengemasan), fungsi fasilitas (sortasi, biaya,
penangungan risiko, dan fungsi informasi pasar). Fungsi biaya yang dikeluarkan
pedagang pengumpul adalah biaya pengangkutan/ transportasi, sortir, pengemasan,
retribusi, bongkar muat, dan biaya penyusutan. Fungsi penanggungan risiko
berupa kerusakan barang selama pengangkutan di perjalanan dan risiko
pembayaran yang tertunda dari pedagang grosir.
Fungsi yang dilakukan oleh pedagang grosir yakni fungsi pertukaran
(pembelian dan penjualan). Fungsi fisik yang dilakukan pedagang grosir berupa
fungsi penyimpanan dan pengemasan, fungsi penyimpanan yang dilakukan jika
sisa dagangan kurang dari satu ton maka tidak dilakukan penyimpanan khusus
cukup menyimpan di tempat berdagang saja, tetapi jika banyak maka pedagang
grosir akan menyewa tempat pendingin (cool storage) untuk menjaga kesegaran
cabai agar tidak mudah layu. Fungsi fasilitas yang dilakukan kegiatan sortasi dan
grading, pembebanan biaya, penangungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi
biaya yang dilakukan biaya pengemasan, penyusutan, sewa, retribusi, bongkar
muat, biaya tenaga kerja.
Fungsi pemasaran yang dilakukan pedang pengecer I dan pedagang
pengecer II hampir sama yakni fungsi pertukaran (penjualan dan pembelian),
fisik dan fasilitas. Fungsi fisik berupa penyimpanan, pengangkutan dan
pengemasan, penyimpanan dilakukan jika cabai merah tidak terjual habis, fungsi
pengangkutan dilakukan ketik melakukan pembelian cabai. Fungsi fasilitas yang
dilakukan adalah fungsi biaya, penangungan risiko dan informasi pasar. Fungsi
biaya meliputi biaya pengangkutan, biaya sewa, retribusi, bongkar muat, dan
biaya penyusutan, sedangkan fungsi penangungan risiko berupa risiko jika cabai
tidak laku terjual. Fungsi informasi pasar diperoleh dari pedagang grosir dan
berdasarkan karakteristik cabai merah yang diinginkan konsumen.
Saluran pemasaran cabai merah di Malang adalah Petani – Pengepul –
Pedagang Besar – Pedagang Kecil. Fungsi yang dilakukan petani adalah fungsi
pengeringan, pengelompokan, penyimpanan dan pengemasan. Fungsi yang
dilakukan oleh pedagang pengepul adalah pengangkutan, penimbangan,
pembersihan dan pengemasan sesuai dengan grade yang ada. Fungsi pemasaran
yang dilakukan oleh pedagang besar adalah pengangkutan, penimbangan,
pembersihan dan pengemasan, yang membedakan dengan aktivitas pedagang
pengumpul adalah proses pengemasan sudah harus mempergunakan Standart
Nasional Indonesia. Fungsi yang dilakukan oleh pedagang kecil adalah fungsi
pengangkutan dan sortasi untuk kebutuhan penjualan (Wijaya 2013).

Efisiensi Pemasaran Cabai Merah
Marjin Pemasaran Cabai Merah
Perhitungan marjin pemasaran yang diperoleh Agustian dan Setiajie (2008)
pada penelitian cabai merah di Kabupaten Garut adalah rata-rata Rp. 980/kg
marjin pemasaran yang diperoleh pedagang pengumpul desa dengan tujuan
pedagang besar di sekitar sentra produksi, selanjutnya pedagang besar akan
menjual kembali keberbagai tujuan pemasaran (sesuai rantai pemasaran) maka

14
diperoleh marjin pemasaran Rp. 600/kg. Dalam hal ini tampak terjadi
ketimpangan dalam perolehan marjin pemasaran ini disebabkan panjangnya
saluran pemasaran, sehingga pemasaran cabai dirasakan belum efisien.
Normal marjin pemasaran setiap pihak/lembaga pemasaran yang terlibat
dalam pemasaran cabai merah di Brebes adalah berkisar antara Rp. 1000/kg
sampai Rp. 2000/kg, sehingga marjin pemasaran antara petani hingga pedagang
pengecer Rp. 12.500/kg atau 313 persen dari harga cabai di tingkat petani. Marjin
pemasaran paling besar biasanya diterima oleh pedagang pengepul dan pedagang
pengecer (warung) (Farid dan Subekti 2012).
Marjin pemasaran cabai merah di Kabupaten Ciamis menurut penelitian
Rachma (2008) adalah antara Rp. 11.000/kg – Rp. 12.000/kg. Marjin pemasaran
terbesar diperoleh pada saluran pemasaran dengan rantai terpanjang, banyaknya
lembaga pemasaran yang dilalui menyebabkan semakin banyak biaya yang
dikeluarkan dan juga bagian keuntungan masing-masing lembaga.
Marjin pemasaran cabai merah keriting di Bogor diperoleh total marjin
pemasaran untuk anggota Gapoktan diantara Rp. 5.000 – Rp. 10.000. Marjin
terendah sebesar Rp. 5.000/kg, marjin terkecil diperoleh karena pada saluran
tersebut pendek dengan tujuan pemasaran untuk wilayah Bogor sehingga biaya
transportasi kecil dan rantai pemasaran yang dilalui pendek, pembagi keuntungan
menjadi sedikit. Marjin pemasaran terbesar ada pada lembaga pedagang pengecer
Bogor karena pedagang pengecer menanggung biaya sewa kios, biaya penyusutan
produk, dan biaya bongkar muat. Marjin pemasaran untuk non anggota Gapoktan
Rp. 4.800 – Rp. 4.000, total marjin tertinggi ada pada rantai pemasaran terpanjang
karena lebih banyak lembaga yang membagi keuntungan dan juga tambahan biaya
pemasaran yang dikeluarkan masing-masing tiap lembaga yang dilalui (Novitasari
2014).
Farmer’s Share Cabai Merah
Farmer’s share pada pemasaran cabai merah di Kabupaten Ciamis ada
diantara 36.84% – 38.89%, Farmer’s share tertinggi diperoleh pada saluran
pemasaran dengan rantai pemasaran terpendek dengan nilai marjin tataniaga
terkecil, karena farmer’s share berbanding terbalik dengan nilai marjin
tataniaganya (Rachma 2008)
Novitasi (2014) Farmer’s share pada saluran pemasaran cabai merah
keriting di Bogor untuk anggota Gapoktan ada diantara 28.57% – 44.44% .
Farmer’s share tertinggi diperoleh pada saluran pemasaran terpendek dengan
tujuan wilayah Bogor. Hasil analisis Farmer’s share untuk non anggota Gapoktan
ada dua saluran 38, 46 % dan 66, 67%. Farmer’s share diperoleh pada saluran
pemasaran terpendek sehingga biaya pemasaran kecil dan jumlah lembaga yang
membagi keuntungan sedikit.
Rasio Keuntungan dan Biaya Pemasaran Cabai Merah
Rasio keuntungan dan biaya pemasaran pada komoditas cabai merah di
Kabupaten Ciamis diperoleh diantara 4.59-5.70. Rasio keuntungan terbesar
diperoleh pada saluran pemasaran dengan rantai terpendek (Rachma 2008)
Novitasari (2014) Total rasio keuntungan dan biaya pemasaran pada saluran
pemasaran anggota Gapoktan diperoleh diantara 2.79-5.43, Rasio keuntungan dan
biaya tertinggi diperoleh pada saluran pemasaran yang memberikan keuntungan

15
yang lebih tinggi yang merupakan saluran pemasaran dengan rantai terpanjang.
Lembaga pemasaran dengan R