Efisiensi dan Pendapatan Usahatanai Cabai Keriting di Desa Perbawati Kecamatan Sukabumi Kabupaten Sukabumi Jawa Barat

EFISIENSI DAN PENDAPATAN USAHATANI CABAI
KERITING DI DESA PERBAWATI KECAMATAN
SUKABUMI KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

RISZA ASTARI SAFUTRI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efisiensi dan
Pendapatan Usahatani Cabai Keriting di Desa Perbawati Kecamatan Sukabumi
Kabupaten Sukabumi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Risza Astari Safutri
NIM H34124007

ABSTRAK
RISZA ASTARI SAFUTRI. Efisiensi dan Pendapatan Usahatani Cabai Keriting
di Desa Perbawati Kecamatan Sukabumi Kabupaten Sukabumi Jawa Barat.
Dibimbing oleh RATNA WINANDI.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis efisiensi penggunaan
faktor-faktor produksi dan pendapatan usahatani cabai keriting. Fungsi produksi
Cobb-Douglas digunakan untuk mengetahui pengaruh penggunaan faktor-faktor
produksi, sedangkan untuk mengetahui tingkat pendapatan petani cabai keriting
keriting di daerah penelitian digunakan ukuran pendapatan dan keuntungan. Hasil
analisis menunjukkan bahwa lahan dan fungisida berpengaruh nyata terhadap
produksi cabai keriting keriting. Faktor-faktor produksi yang digunakan belum
mencapai nilai optimalnya sehingga secara ekonomis usahatani cabai keriting
keriting di Desa Perbawati belum efisien. Hasil dari perhitungan pendapatan dan
rasio R/C menunjukkan bahwa usahatani cabai keriting keriting di Desa

Perbawati menguntungkan dan layak diusahakan.
Kata kunci: efisiensi, pendapatan, cabai keriting, faktor produksi

ABSTRACT
RISZA ASTARI SAFUTRI. Efficiency and Income of Curly Chili Farming at
Desa Perbawati Kecamatan Sukabumi Kabupaten Sukabumi West Java.
Supervised by RATNA WINANDI.
The purposes of this research are to analyze the efficiency of production
factors usage and income of curly chili farming. Production function by CobbDouglas is used to find out the influence of production factors usage, whereas to
find out the income level of red chili farmer in the area of research using scales of
income and profit. Result of analysis shows that the land and fungicide labor have
significant effect toward curly chili production. Production factors used are not
yet achieved to the optimal value so economically curly chili farming at Desa
Perbawati is not yet efficient. The result of income calculation and R/C ratio show
that curly chili farming at Desa Perbawati is profitable and worth to be cultivated.
Keywords: efficiency, income, curly chili, production factors

EFISIENSI DAN PENDAPATAN USAHATANI CABAI
MERAH DI DESA PERBAWATI KECAMATAN SUKABUMI
KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT


RISZA ASTARI SAFUTRI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ekonomi dan Manajemen

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini ialah
Efisiensi dan Pendapatan Usahatani Cabai Keriting di Desa Perbawati Kecamatan

Sukabumi Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku
pembimbing, serta Bapak Dr Ir Nunung Kusnadi, Ibu Dr Ir Netti Tinaprilla, MM
dan Ibu Anita Primaswari Widhiani, Sp, MSi yang telah banyak memberi saran.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Yana dari Badan
Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Kecamatan Sukabumi,
serta seluruh petani cabai keriting di Desa Perbawati yang telah membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
serta seluruh keluarga dan teman-teman, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2014
Risza Astari Safutri

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

viii
viii
ix
1
1
5
8
8
8

TINJAUAN PUSTAKA

9

Efisiensi Usahatani

Pendapatan Usahatani

9
10

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis

11
11

Konsep Fungsi Produksi
Konsep Efisiensi
Konsep Pendapatan Usahatani

11
14
15

Kerangka Pemikiran Operasional


17

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Penentuan Responden dan Pengumpulan Data
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis Fungsi Produksi Cobb-Douglas
Analisis Efisiensi Produksi
Analisis Pendapatan Usahatani
Definisi Operasional
HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

18
18
19

19
21
21
26
27
29
30
56
56
57

DAFTAR PUSTAKA

57

LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

60
70


DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17


Nilai produk domestik bruto (PDB) komoditas hortikultura
berdasarkan harga berlaku di Indonesia tahun 2007-2010
Perkembangan luas panen, jumlah produksi dan produktivitas cabai
merah Indonesia tahun 2009-2012
Luas panen, produksi, dan produktivitas cabai merah di Indonesia
menurut provinsi Tahun 2012
Perkembangan luas panen, jumlah produksi dan produktivitas cabai
merah Jawa Barat tahun 2009-2012
Produksi cabai merah tahun 2008-2010 menurut kecamatan di
Kabupaten Sukabumi
Potensi usahatani berdasarkan komoditas unggulan di Kecamatan
Sukabumi
Ukuran pendapatan dan keuntungan usahatani cabai keriting
Sebaran responden menurut usia petani cabai keriting di Desa
Perbawati tahun 2014
Sebaran responden menurut pendidikan formal petani cabai keriting di
Desa Perbawati tahun 2014
Sebaran responden menurut jumlah tanggungan keluarga petani cabai
keriting di Desa Perbawati tahun 2014
Sebaran responden menurut luas lahan garapan petani cabai keriting

di Desa Perbawati tahun 2014
Pendugaan model 1 fungsi produksi cobb-douglass cabai keriting
dengan analisis regresi
Pendugaan Model 2 fungsi produksi cobb-douglass cabai keriting
dengan analisis regresi
Rasio Nilai Produk Marjinal (NPMx) dengan Harga (Px) Usahatani
Cabai keriting di Desa Perbawati
Penggunaan tenaga kerja untuk setiap kegiatan usahatani cabai
keriting di Desa Perbawati per musim tanam per 0,43 hektar
Komponen biaya usahatani cabai keriting per hektar pada musim
tanam 2014
Rata-rata ukuran pendapatan dan keuntungan pada usahatani cabai
keriting di Desa Perbawati per hektar per musim tanam 2014

1
2
3
4
7
19
28
32
33
34
34
41
42
47
51
52
54

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Konsumsi cabai merah per kapita tahun 2008-2012 (kg/tahun)
Perkembangan harga cabai merah (Rp/kg) di tingkat pedagang besar
tahun 2008-2012
Fungsi produksi klasik dan tiga daerah produksi
Kerangka pemikiran operasional usahatani cabai keriting
Pola tanam tumpang sari cabai keriting dengan sawi dan tomat serta
tumpang gilir sawi dan tomat
Potensi usahatani di Desa Perbawati, Kecamatan Sukabumi
Distribusi penduduk Desa Perbawati berdasarkan mata pencaharian

3
5
13
18
24
30
31

8

Jarak dan Pola Tanam Cabai keriting di Desa Perbawati

38

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Rincian penerimaan setiap petani responden pada usahatani cabai
keriting di Desa Perbawati
Penggunaan input-input pada usahatani cabai keriting di Desa
Perbawati
Rincian penggunaan tenaga kerja per petani pada usahatani cabai
keriting di Desa Perbawati
Biaya penyusutan per musim tanam pada usahatani cabai keriting di
Desa Perbawati
Output minitab Model 1
Output minitab Model 2

60
61
63
65
68
69

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya alam hayati yang
berlimpah sehingga berpotensi dalam pengembangan sektor pertanian. Pertanian
merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting sebagai penghasil
komoditi yang dapat memenuhi kebutuhan pangan dan menjadi sumber mata
pencaharian bagi masyarakat Indonesia karena sebesar 40,5 persen masyarakat
Indonesia bermata pencaharian sebagai petani (BPS Juli 2013). Pada tahun 2012,
sektor pertanian menempati urutan kedua setelah industri pengolahan dalam
memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atas
dasar harga berlaku. Sektor pertanian terdiri dari beberapa subsektor, yaitu
subsektor
perkebunan, pangan, dan hortikultura. Subsektor hortikultura
menempati posisi strategis dalam pembangunan pertanian. Menurut data
Direktorat Jenderal Hortikultura (2013) nilai PDB dari subsektor hortikultura
khususnya komoditas sayuran, dari tahun 2007 hingga 2010 terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya dan menempati urutan kedua setelah komoditas
buah-buahan (Tabel 1). Selama tahun 2007-2010 tersebut nilai PDB sayuran
meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 6,94 persen pertahun, lebih besar
daripada komoditas buah-buahan yang hanya mengalami peningkatan dengan
rata-rata pertumbuhan sebesar 2,64 persen pertahun.
Tabel 1 Nilai produk domestik bruto (PDB) komoditas hortikultura berdasarkan
harga berlaku di Indonesia tahun 2007-2010
Nilai PDB (Dalam Milyar Rupiah)
No
Komoditas
2007
2008
2009
2010
1 Buah-buahan
42.362
47.060
48.437
45.482
2 Sayuran
25.587
28.205
30.506
31.244
3 Tanaman hias
4.741
5.085
5.494
3.665
4 Biofarmaka
4.105
3.853
3.897
6.174
Total
76.795
84.203
88.334
86.565
Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2013)

Selain sebagai penyumbang PDB pertanian, subsektor hortikultura memiliki
peranan dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat Indonesia. Salah
satu komoditas hortikultura yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat adalah
sayuran. Ketersediaan sayuran sangat diperlukan setiap saat dalam kualitas dan
kuantitas yang mencukupi. Cabai merah menjadi komoditas utama di Indonesia
karena merupakan salah satu jenis sayuran yang bernilai ekonomis tinggi sehingga
memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Pada tahun 2011, Indonesia
menempati urutan keempat di tingkat dunia sebagai produsen utama cabai segar
setelah Cina, Meksiko dan Turki (FAOSTAT dalam Direktorat Pangan dan
Pertanian,Bappenas 2014).

2

Luas panen, jumlah produksi maupun produktivitas cabai merah di
Indonesia berkembang dengan baik (Tabel 2). Hal tersebut terlihat dari laju
pertumbuhan rata-rata yang secara umum menunjukkan laju yang positif yaitu
1,19 persen pertahun untuk luas panen dan 6,56 persen pertahun untuk produksi
serta 5,32 persen pertahun untuk produktivitas. Walaupun secara umum
perkembangan luas panen, jumlah produksi dan produktivitas cabai merah di
Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata dengan laju yang positif, namun pada
tahun 2010 produksi cabai merah nasional mengalami penurunan sebesar 3,6
persen padahal luas panen meningkat sebesar 1,37 persen sehingga menyebabkan
tingkat produktivitas menurun sebesar 4,9 persen dibandingkan dengan tahun
2009. Menurut Direktur Pangan dan Pertanian (2014), meskipun produksi cabai
rata-rata per tahun meningkat sangat cepat, harga cabai seringkali berfluktuasi
karena produksi bersifat musiman, dimana harga turun pada musim panen dan
harga naik di luar musim panen. Untuk stabilisasi pasokan dan harga cabai, perlu
dilakukan perbaikan manajemen serta teknologi produksi.
Tabel 2 Perkembangan luas panen, jumlah produksi dan produktivitas cabai
merah Indonesia tahun 2009-2012
Luas panen
Produksi
Produktivitas
Laju
Laju
Laju
Tahun
Jumlah
PertumJumlah
PertumJumlah Pertum(Ha)
buhan
(Ton)
buhan
(Ton/ha) buhan
(%)
(%)
(%)
2009
233.904
1.378.727
5,89
2010
237.105
1,37
1.328.864
(3,6)
5,60
(4,9)
2011
239.770
1,12
1.483.079
11,6
6,19
10,4
2012
242366
1,08
1.656.615
11,7
6,84
10,5
Laju Pertumbuhan
Rata-Rata
1,19
6,56
5,32
(% per tahun)
Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia (2014)

Sementara itu menurut data yang telah diolah oleh Bappenas (2014), tingkat
konsumsi cabai merah di Indonesia dalam kurun waktu 2008-2012 relatif
berfluktuasi namun cenderung meningkat dari tahun ke tahun dengan laju
pertumbuhan sebesar 1,13 persen pertahun (Gambar 1). Hal ini didorong oleh
peningkatan kebutuhan industri berbahan baku cabai. Konsumsi cabai merah
perkapita merupakan konsumsi dalam bentuk langsung oleh rumah tangga
maupun untuk keperluan industri makanan yang menggunakan cabai merah
sebagai bahan baku, seperti sambal instan. Industri olahan cabai untuk sambal
instan semakin meningkat, diantaranya diproduksi oleh Indofood. Konsumsi cabai
merah untuk rumah tangga pada umumnya meningkat cukup tajam pada hari besar
keagamaan, seperti pada bulan-bulan puasa, natal dan tahun baru (Direktur
Pangan dan Pertanian 2014).

3

Konsumsi Cabai Merah per Kapita (kg/tahun)
1.7
1.65
1.6
1.55
1.5
1.45
1.4

1.653
1.549

2008

1.523

1.528

2009

2010

1.497

2011

2012

Gambar 1 Konsumsi cabai merah per kapita tahun 2008-2012 (kg/tahun)
Sumber : Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas (2014)

Setiap provinsi di Indonesia, memiliki tingkat produktivitas yang berbedabeda tergantung dari varietas cabai merah serta kesesuaian kondisi lahan dan
teknologi yang digunakan. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah
yang menjadi sentra produksi cabai merah nasional. Pada tahun 2012 produksi
cabai merah di Jawa Barat sebanyak 291.907 ton atau sebesar 17,62 persen dari
total produksi nasional (Tabel 3). Jawa Barat mempunyai potensi sumber daya
yang sangat mendukung untuk pengembangan cabai merah, terlihat dari luas
panen bagi komoditas cabai merah yang mencapai 22.927 ha pada musim tanam
2012. Produktivitas cabai merah di Jawa Barat sebesar 12,73 ton/ha lebih tinggi
dari produktivitas rata-rata nasional sebesar 6,84 ton/ha.
Tabel 3

Luas panen, produksi, dan produktivitas cabai merah di Indonesia
menurut provinsi Tahun 2012
Persentase
Luas
Produksi
Produktivitas
terhadap
Panen
Provinsi
(Ton)
(Ton/Ha)
Produksi
(Ha)
Nasional (%)
Jawa Timur
63.185
343.714
5,44
20,75
Jawa Barat
22.927
291.907
12,73
17,62
Sumatera Utara
22.129
215.129
11,10
14,83
Jawa Tengah
38.895
215.129
5,53
12,99
Aceh
8.133
90.030
11,07
5,43
Lainnya
87.097
470.062
5,40
28,73
Indonesia
242.366
1.656.615
6,84
100,00

Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia (2014)

Usahatani cabai merah di Jawa Barat memang memiliki produktivitas yang
paling tinggi jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Akan tetapi jika
dilihat dari perkembangan pada lingkup Jawa barat saja, terdapat perbedaan
dengan kondisi agribisnis cabai merah di Indonesia secara keseluruhan yang
mengalami peningkatan. Perkembangan produksi cabai merah di Jawa Barat dari
tahun 2009-2012 mengalami laju pertumbuhan rata-rata yang menurun pada luas
panen sebesar 0,03 persen dan produksi sebesar 0,74 persen. Artinya selama
kurun waktu 2009-2012 terjadi penurunan luas panen maupun produksi cabai
merah di Jawa Barat. Penurunan luas panen terjadi setelah tahun 2010 hingga

4

tahun 2012. Penurunan luas panen bisa terjadi karena semakin beralihnya lahan
pertanian ke-non pertanian untuk kebutuhan perumahan, perkantoran, lokasi
industri yang diakibatkan oleh semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk dan
industri. Pada tahun 2010 terjadi penurunan produksi sebesar 22,93 persen,
padahal luas panennya mengalami peningkatan sebesar 12,39%. Penyebab dari
penurunan produksi selain diakibatkan oleh penurunan luas tanam cabai merah,
juga bisa diakibatkan oleh faktor-faktor lain diluar penurunan luas lahan seperti
faktor cuaca maupun tingkat efisiensi produksi petani yang masih kurang baik.
Tabel 4 Perkembangan luas panen, jumlah produksi dan produktivitas cabai
merah Jawa Barat tahun 2009-2012
Luas panen
Produksi
Produktivitas
Laju
Laju
Laju
Tahun
Jumlah
PertumJumlah
Pertum- Jumlah
Pertum(Ha)
buhan
(Ton)
buhan (Ton/ha)
buhan
(%)
(%)
(%)
2009
23.212
315.575
13,60
2010
26.087
12,39
243.218
(22,93)
9,32
(31,42)
2011
24.045
(7,83)
300.624
23,60
12,50
34,10
2012
22.927
(4,65)
291.907
(2,90)
12,73
1,82
Laju pertumbuhan
Rata-Rata
(0,03)
(0,74)
1,50
(% per tahun)
Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia (2014)

Sebagai sentra penghasil cabai merah nasional, ketersediaan cabai merah di
Jawa Barat sangat berpengaruh terhadap perubahan harga yang terjadi pada
komoditas cabai merah. Fluktuasi harga sering terjadi pada komoditas cabai
merah sehingga menyumbang terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Selama tahun
2008-2012, baik cabai keriting maupun cabai merah besar terus mengalami
fluktuasi harga. Pada tahun 2010 harga cabai di tingkat pedagang besar berada
pada rata-rata harga tertinggi yaitu Rp21.302/kg untuk cabai keriting, dan
Rp18.252/kg pada komoditas cabai merah besar (Gambar 2). Namun demikian,
menurut hasil dari pengolahan data oleh Direktorat Pangan dan Pertanian
(Februari 2014) dari sisi stabilitas harga cabai keriting mempunyai stabilitas harga
yang lebih rendah dibandingkan dengan cabai cabai merah besar. Terlihat dari
nilai koefisien variasi cabai keriting dalam kurun waktu lima tahun terakhir
sebesar 26,28. Nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan koefisien
variasi cabai merah besar yang bernilai 22,04, artinya cabai keriting mempunyai
tingkat fluktuasi harga yang lebih tinggi daripada cabai merah besar. Fluktuasi
harga yang terjadi di tingkat pedagang besar, tentunya akan secara bersamaan
menyebabkan harga di tingkat petani hingga konsumen akhir pun mengalami
fluktuasi.

5

Perkembangan harga cabai merah (Rp/kg)
25,000

21,302

20,000

16,870
14,375

15,000

11,862

11,719

18,252
14,926

10,000
10,697

11,363

2008

2009

Cabai merah keriting
13,502

Cabai merah besar

5,000
2010

2011

2012

Gambar 2 Perkembangan harga cabai merah (Rp/kg) di tingkat pedagang
besar tahun 2008-2012
Sumber: Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas (2014)

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam dua bulan terakhir
yaitu bulan Januari dan Februari, baik cabai rawit maupun cabai merah
memberikan andil terhadap inflasi. Pada bulan Januari 2014 cabai rawit dan cabai
merah masing-masing memberikan andil inflasi sebesar 0,02 persen dan 0,08
persen; sementara pada bulan Februari 2014 cabai rawit dan cabai merah
memberikan andil terhadap inflasi masing-masing sebesar 0,03 persen dan 0,10
persen. Pemerintah terus berupaya menjaga stabilitas harga dan ketersediaan cabai
guna menjaga tingkat margin yang wajar bagi petani, serta stabilitas harga di
tingkat konsumen dengan cara menjaga ketersediaan pasokan dari beberapa
sentra produksi seperti daerah Sukabumi, Ciamis, dan Tasikmalaya1. Fluktuasi
harga yang terjadi merugikan banyak pihak termasuk petani karena perlindungan
harga di tingkat petani yang masih sangat rendah2. Oleh karena itu, fluktuasi harga
yang terjadi sangat mempengaruhi penerimaan yang diterima oleh petani sehingga
dapat menyebabkan adanya perbedaan tingkat pendapatan usahatani.

Perumusan Masalah

Ketidakseimbangan antara jumlah pasokan dengan jumlah permintaan yang
dibutuhkan konsumen merupakan faktor penyebab utama terjadinya fluktuasi
harga pada komoditas pertanian (Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas
2014). Cabai merah termasuk salah satu komoditas utama pertanian di Indonesia
yang mendapat perhatian karena fluktuasi harganya cukup besar dan bahkan
mempengaruhi inflasi. Fluktuasi harga yang terjadi pada komoditas cabai merah
disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya karena produksi yang bersifat
1

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. 28 Maret 2014. Berbicara dalam
http://setkab.go.id/berita-12595-pemerintah-terus-upayakan-stabilisasi-harga-dan-pasokancabe.html [di akses tanggal 31 Maret 2014]
2
Meteri Pertanian Suswono. 18 Maret 2014. Berbicara dalam
http://m.suaramerdeka.com/index.php/read /news/2014/03/18/195106 [diakses tanggal 31 Maret
2014]

6

musiman dimana harga turun pada saat musim panen dan harga naik di luar
musim panen. Faktor lain yang menyebabkan fluktuasi harga pada komoditas
cabai merah yaitu distribusi produksi antar wilayah yang sebagian besar terpusat
di wilayah Jawa dan Bali (55%) dan wilayah Sumatera (34%), sisanya sebanyak
sebelas persen (11%) menyebar di Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua
(Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas 2014). Transportasi dan kondisi
iklim menjadi kendala yang menghambat proses pendistribusian cabai merah
sehingga terjadi kenaikan harga. Selain itu, konsumsi cabai di Indonesia sebagian
besar masih dalam bentuk cabai segar. Cabai segar tidak dapat disimpan sebagai
stok karena memiliki sifat yang mudah busuk (perishable), hal ini menyebabkan
pasokan atau suplai cabai merah menjadi tidak stabil sehingga terjadi fluktuasi
harga.
Menurut Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas (2014), secara umum
permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan usahatani cabai
merah, terutama di daerah sentra produksi adalah belum terwujudnya ragam,
kuantitas, kualitas, dan kesinambungan pasokan yang sesuai dengan permintaan
pasar dan preferensi konsumen. Hal tersebut berkaitan dengan beberapa hal yaitu:
(1) skala kecil yang menyebabkan skala teknis dan ekonomis tidak optimal, (2)
Pola tanam dan persaingan penggunaan lahan, (3) Alih fungsi lahan sehingga
lahan pengembangan terbatas dan kurang subur, (4) Kawasan cabai merah belum
kompak, menghasilkan produk beragam, mutu rendah, sehingga kesinambungan
pasokan tidak terjamin, (5) Pemasaran ataupun perdagangan produk segar
menunjukkan jalur tataniaga panjang, struktur pasar oligopolistik, distribusi
marjin tidak seimbang sehingga nilai tambah yang diterima petani tidak optimal,
dan (6) Fluktuasi harga tinggi menyebabkan resiko harga tinggi.
Salah satu daerah sentra produksi cabai merah di Jawa Barat yaitu
Sukabumi. Pada tahun 2011 produksi cabai merah di kabupaten Sukabumi
mencapai 11.221 ton atau memberikan kontribusi sebesar 3,73% dari total
produksi di Jawa Barat, dengan luas panen sebanyak 1.533 ha (BPS Provinsi Jawa
Barat 2013). Sementara itu Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan (Diperta)
Kabupaten Sukabumi membuat target untuk meningkatan produksi cabai merah
pada tahun 2013 sebesar 10 persen dibandingkan dengan tahun 2012. Kepala
DPTP Pemkab Sukabumi juga menargetkan setiap satu hektar lahan bisa
menghasilkan minimal 10 ton cabai merah, karena dilihat dari potensi lahan
pertanian dan kondisi alam Kabupaten Sukabumi yang cocok untuk pertumbuhan
tanaman cabai merah. 3 Pernyataan tersebut tidak didukung dengan adanya
kecenderungan penurunan luas panen cabai merah yang terjadi di beberapa
kabupaten di Jawa Barat termasuk di Kabupaten Sukabumi. Luas panen cabai
merah di Kabupaten Sukabumi pada tahun 2011 mengalami penurunan sebanyak
363 hektar dibandingkan dengan tahun 2010. Selain itu, tingkat produktivitas
cabai merah di Kabupaten Sukabumi sebesar 7,32 ton/ha, masih berada di bawah
produktivitas Jawa Barat yang mencapai 12,5 ton/ha. Tabel 5 menunjukkan
produksi cabai merah pada tahun 2008 hingga 2010 berdasarkan kecamatankecamatan yang ada di Kabupaten Sukabumi.

3

Sudrajat. 1 April 2013. Berbicara dalam www.metrotvnews.com [diakses tanggal 30 September
2013]

7

Tabel 5 Produksi cabai merah tahun 2008-2010 menurut kecamatan di Kabupaten
Sukabumi
Produksi Cabai (Kuintal)
Produksi
Persentase
Tahun 2008Terhadap
Kecamatan
2008
2009
2010
2010 (Kuintal)
Total (%)
Sukaraja
6.765
5.899
9.951
22.615
13,30
Kadudampit
6.470
7.150
8.610
22.230
13,07
Gegerbitung
5.994
8.222
4.877
19.093
11,23
Sukalarang
2.570
2.415
13.409
18.394
10,82
Caringin
10.132
3.634
4.432
18.198
10,70
Cidadap
5.280
7.751
1.872
14.903
8,76
Sukabumi
4.660
3.950
4.720
13.330
7,84
29 Kecamatan
12.043 10.622 18.618
41.283
24,28
Lainnya
Total
53.914 49.643 66.489
170.046
100,00
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukabumi (2014)

Dari 36 kecamatan yang ada di Kabupaten Sukabumi, terdapat tujuh
kecamatan yang menjadi pemasok utama karena mampu memproduksi cabai
merah diatas 13.000 ton selama tahun 2008 hingga tahun 2010. Kecamatan
Sukabumi memiliki kontribusi terkecil dari tujuh kecamatan yang menjadi
pemasok utama cabai merah, yaitu sebesar 8,76 persen. Jumlah produksi di
Kecamatan Sukabumi yang terbilang masih sedikit tersebut diduga bisa
disebabkan oleh dua kemungkinan yaitu penurunan luas lahan untuk usahatani
cabai merah atau tingkat produktivitas di daerah Kecamatan Sukabumi yang
masih rendah. Hasil kajian juga menunjukkan peran produktivitas dalam
peningkatan pendapatan petani masih relatif rendah. Dalam pandangan positif, ini
berarti masih ada peluang besar meningkatkan pendapatan petani melalui
peningkatan produktivitas usahatani. Peningkatan produktivitas usahatani dapat
dilakukan melalui perbaikan cara budidaya, penerapan teknologi produksi dan
teknologi pascapanen untuk menekan kehilangan hasil. Peningkatan produktivitas
juga akan meningkatkan profitabilitas usaha komoditas pertanian terhadap nilai
sewa lahan, upah buruh tani dan harga sarana produksi (Direktorat Pangan dan
Pertanian, Bappenas 2014).
Berbagai permasalahan seperti penurunan luas lahan, pasokan yang tidak
stabil, harga yang berfluktuasi, produktivitas yang relatif masih rendah dialami
oleh para petani di daerah Sukabumi. Hal tersebut tentunya akan mempengaruhi
tingkat efisiensi dari usahatani cabai keriting, pada akhirnya akan berdampak pada
besarnya tingkat pendapatan para petani cabai keriting yang merupakan salah satu
indikator untuk mengukur kesejahteraan petani. Berdasarkan uraian tersebut,
maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi usahatani cabai keriting?
Apakah sudah efisien?
2.
Berapa tingkat pendapatan usahatani cabai keriting yang diperoleh oleh
petani? Apakah menguntungkan?

8

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan,
maka tujuan penelitian ini adalah untuk :
1.
Menganalisis efisiensi penggunaan faktor-faktor (input) produksi dalam
usahatani cabai keriting.
2.
Menganalisis tingkat pendapatan usahatani cabai keriting yang diperoleh
oleh petani.

Manfaat Penelitian

1.

2.

3.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
Petani cabai keriting sebagai bahan pertimbangan, masukan dan tambahan
informasi dalam upaya peningkatan pendapatan usahatani dan produktivitas
dalam pengelolaan usahatani cabai keriting di Desa Perbawati, Kecamatan
Sukabumi.
Pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi sebagai tambahan informasi dan
masukan dalam upaya penyusunan program, strategi dan kebijakan
pertanian yang lebih baik dalam rangka peningkatan kesejahteraan bagi para
petani cabai keriting di Desa Perbawati, Kecamatan Sukabumi.
Para peneliti sebagai bahan informasi dalam melakukan penelitian lebih
lanjut pada bidang yang sama.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam lingkup regional yaitu Desa Perbawati,
Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Komoditas
yang akan diteliti adalah cabai keriting keriting. Petani yang akan dijadikan
contoh dalam penelitian ini adalah petani yang membudidayakan cabai pada
musim tanam tahun 2014 dan memiliki masa panen mulai dari bulan Januari-Juli
2014. Analisis kajian ini dibatasi untuk melihat pendapatan, fungsi produksi cobbdouglass dan efisiensi produksi usahatani cabai keriting keriting di daerah
penelitian. Selain itu, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan konsep fungsi poduksi cobb-douglass dan analisis pendapatan
usahatani. Petani di Desa Perbawati menerapkan pola tanam tumpang sari cabai
keriting dengan tomat, serta tumpang gilir antara tanaman tomat dengan sawi.
Oleh sebab itu, agar menghasilkan perhitungan jumlah input produksi yang
khusus dibutuhkan untuk tanaman cabai keriting saja digunakan perhitungan
proporsi penggunaan lahan yang digunakan untuk tanaman cabai keriting.

9

TINJAUAN PUSTAKA

Efisiensi Usahatani

Penelitian tentang efisiensi dilakukan karena beberapa hal yaitu
produktivitas yang rendah padahal komoditas tersebut bernilai ekonomis tinggi
dan berpotensi untuk dikembangkan, oleh karena itu sebagian besar penelitian
tentang efisiensi bertujuan untuk mengupayakan peningkatan produksi dan
produktivitas (Tinaprilla et al. 2013, Hikmasari et al. 2013, Khotimah 2010,
Togatorop 2010, Ratih dan Harmini 2012). Produktivitas masih dapat
ditingkatkan melalui berbagai upaya peningkatan input produksi. Penggunaan
faktor-faktor produksi secara efisien akan menghasilkan produksi yang optimal.
Analisis faktor-faktor produksi yang berpengaruh dalam kegiatan usahatani perlu
dilakukan dalam rangka usaha mencapai produksi yang optimal. Faktor produksi
merupakan semua korbanan yang diberikan dalam kegiatan usahatani dan sangat
menentukan jumlah produksi yang diperoleh. Hubungan antara faktor produksi
(input) dan produksi (output) disebut dengan fungsi produksi. Fitriani dan Zain
(2012), Rifqie (2008), dan Sukiyono (2005) dalam penelitiannya yang
menggunakan analisis fungsi cobb-douglass menunjukkan bahwa faktor produksi
seperti benih, pupuk, dan pestisida berpengaruh nyata dan positif terhadap
produksi sedangkan faktor produksi berupa tenaga kerja berpengaruh nyata dan
negatif terhadap produksi. Artinya, faktor-faktor produksi seperti benih, pupuk,
pestisida dan tenaga kerja mempunyai pengaruh terhadap produksi yang
dihasilkan jika penggunaannya ditambah atau dikurangi.
Efisiensi penggunaan input dapat diartikan sebagai upaya menggunakan
input yang optimal guna menghasilkan produksi yang terbaik. Efisiensi dibagi
menjadi tiga macam, yaitu efisiensi teknis, efisiensi alokatif (harga), dan efisiensi
ekonomis. Beberapa penelitian hanya fokus melakukan analisis efisiensi teknis
yaitu Apriliyanti (2011) pada usahatani labu zucchini di Kecamatan Pacet-Cianjur,
Sukiyono (2005) pada usahatani cabai keriting di Kecamatan Selupu Rejang,
Kusnadi et al (2011) pada usahatani padi di beberapa sentra produksi padi di
Indonesia, Permatasari (2011) pada usahatani padi sehat di Desa Ciburuy-Bogor,
Khotimah (2010) pada usahatani ubi jalar di Kabupaten Kuningan serta Ratih dan
Harmini (2012) pada usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang-Bogor.Penelitian
tentang analisis efisiensi ekonomis juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti
seperti Warsana (2007) pada usahatani jagung, Fitriani dan Zain (2012) pada
usaha pembesaran ikan lele, Kusumaningsih (2012) pada usahatani kubis serta
Nugraha (2010) pada usahatani brokoli. Secara keseluruhan tingkat efisiensi
teknis pada setiap komoditas bervariasi, tetapi jika membandingkan antara
komoditas cabai dengan komoditas lainnya seperti padi yang memiliki rata-rata
tingkat efisiensi sebesar 76,93 persen (Kusnadi et al. dan Permatasari 2011)
kemudian ubi jalar yang memiliki rata-rata tingkat efisiensi teknis sebesar 65,7
persen (Khotimah 2010 serta Ratih dan Harmini 2012), komoditas cabai keriting
memiliki rata-rata tingkat efisiensi teknis yang paling rendah yaitu sebesar 64,86

10

persen (Sukiyono 2005). Sehingga dapat disimpulkan bahwa usahatani padi dan
ubi jalar lebih efisien secara teknis dibandingkan dengan usahatani cabai keriting.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu sama-sama
melakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi dalam suatu usahatani.
Sementara itu, pada penelitian yang dilakukan oleh Sukiyono (2005) hanya
menganalisis tentang efisiensi teknis saja, sehingga dalam penelitian ini akan
dilakukan analisis efisiensi dari segi ekonomisnya.

Pendapatan Usahatani
Pendapatan usahatani merupakan besarnya imbalan terhadap faktor-faktor
produksi yang digunakan. Keuntungan merupakan salah satu ukuran pendapatan
juga, yang menghitung besarnya imbalan terhadap pengelola usahatani dalam hal
ini yaitu petani. Penelitian mengenai pendapatan usahatani telah banyak dilakukan
oleh peneliti sebelumnya, termasuk penelitian tentang pendapatan usahatani cabai
merah di berbagai lokasi penelitian yang berbeda-beda. Nurliah (2002) melakukan
penelitian tentang pendapatan usahatani cabai keriting di Desa Sindang Mekar
Kabupaten Garut, menunjukkan bahwa nilai R/C rasio atas biaya total sebesar
2,14. Kemudian Kasymir (2011) dalam penelitiannya tentang pendapatan
usahatani cabai merah di Kecamatan Panengahan Kabupaten Lampung Selatan
menunjukkan bahwa nilai R/C yang diperoleh sebesar 2,0. Selain itu, Siregar
(2011) menunjukkan bahwa nilai R/C atas biaya total yang diperoleh dari
usahatani cabai keriting di Desa Citapen sebesar 2,46. Nilai R/C rasio yang
diperoleh dari penelitian tentang pendapatan usahatani cabai merah yang
dilakukan oleh Nurliah (2002) serta Kasymir dan Siregar (2011) bernilai lebih
besar atau sama dengan dua ( 2), artinya penerimaan yang diperoleh petani
responden dalam mengusahakan cabai merah dapat menutupi biaya usahatani
yang dikeluarkan.
Selain komoditas cabai merah, penelitian tentang analisis pendapatan juga
sudah banyak dilakukan pada komoditas lain. Pohan (2011) dalam penelitiannya
tentang komoditas ubi kayu di Desa Cikeas memperoleh nilai R/C rasio atas biaya
total untuk petani pemilik adalah 3,81dan untuk petani penggarap sebesar 1,15.
Nilai R/C rasio tersebut menunjukkan bahwa usahatani ubi kayu yang dilakukan
oleh petani pemilik lebih efisien dibanding petani penggarap. Selanjutnya
Khotimah (2010) melakukan analisis pendapatan usahatani ubi jalar di Kecamatan
Cilimus, Kuningan dengan nilai R/C atas biaya total sebesar 1,24.
Analisis tentang pendapatan usahatani lainnya dilakukan oleh Ridwan
(2008) dengan komoditas padi ramah lingkungan dan padi anorganik. Hasil
analisis menunjukkan bahwa nilai R/C rasio atas biaya total untuk usahatani padi
ramah lingkungan sebesar 1,43 dan 1,36 untuk usahatani anorganik. Secara umum
hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa analisis pendapatan usahatani
menguntungkan dan layak diusahakan karena memperoleh nilai R/C rasio yang
lebih besar dari satu dan nilai R/C rasio tersebut bervariasi, tergantung dari
komoditas dan lokasi penelitiannya. Tetapi jika membandingkan antara komoditas
cabai merah dengan komoditas lain (seperti ubi kayu, ubi jalar, dan padi) cabai
merah memiliki nilai R/C rasio yang lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan

11

bahwa cabai merah merupakan komoditas yang lebih menguntungkan untuk
dikembangkan.
Jika seluruh penelitian sebelumnya melakukan analisis pendapatan dengan
hasil akhir R/C rasio saja, dalam penelitian ini akan dilakukan analisis pendapatan
dan keuntungan yang juga mengukur besarnya imbalan terhadap modal serta
tenaga kerja. Imbalan terhadap modal bisa dibandingkan dengan tingkat suku
bunga deposito yang berlaku di bank, sedangkan besarnya imbalan terhadap
tenaga kerja bisa dibandingkan dengan tingkat upah minimun regional yang
berlaku di wilayah penelitian.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Konsep Fungsi Produksi
Menurut Soekartawi et al. (1984), usahatani dalam kegiatannya dipengaruhi
oleh banyak hal diantaranya pengaruh iklim, hama dan penyakit tanaman. Oleh
karena itu petani tidak dapat meramalkan berapa jumlah produksi yang yang
diperoleh, petani hanya bisa membuat perencanaan bagaimana mengalokasikan
sumberdaya yang terbatas seperti tanah, tenaga kerja, modal dan sebagainya.
Pengalokasian sumberdaya yang dimiliki petani ini sangat menentukan besarnya
produksi yang dihasilkan. Dengan demikian, petani dapat mempengaruhi produksi
melalui keputusan dalam menentukan jumlah sumberdaya yang akan digunakan
seperti luas lahan yang akan dipakai, banyaknya bibit, pupuk, obat-obatan, dan
jumlah tenaga kerja. Hubungan fisik antara masukan produksi dan (input) dan
keluaran produksi (output) dikenal dengan istilah fungsi produksi (Soekartawi
2002). Analisis fungsi produksi sering dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan
informasi bagaimana sumberdaya yang terbatas seperti tanah, tenaga kerja dan
modal dapat dikelola dengan baik agar produksi maksimum bisa tercapai. Secara
simbolis fungsi produksi dapat dituliskan seperti pada persamaan (3.1) yang
menyatakan bahwa hasil produksi (Y) dipengaruhi oleh sejumlah faktor produksi
(Xn).
Y = f (X1, X2, …., Xn)
(3.1)
Dimana,
Y
= Hasil poduksi fisik (output)
X1,X2,..., Xn = Faktor-faktor produksi (input-input)
Dari fungsi produksi tersebut dapat dimanfaatkan untuk menentukan
kombinasi input yang terbaik terhadap suatu proses produksi. Fungsi produksi ini
dipengaruhi oleh ―Hukum Kenaikan yang Semakin Berkurang‖ (The Law of
Diminishing Return) yang menjelaskan bahwa jika faktor produksi variabel

12

dengan jumlah tertentu ditambahkan terusmenerus pada sejumlah faktor produksi
tetap, akhirnya akan dicapai suatu kondisi dimana setiap penambahan satu unit
faktor produksi variabel akan menghasilkan tambahan produksi yang semakin
berkurang. Beberapa bentuk fungsi produksi yang sering digunakan dalam analisis
yaitu polinominal kuadratik, polinominal akar pangkat dua dan fungsi Cobb
Douglas. Terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan dalam memilih bentuk fungsi
produksi, yaitu (Soekartawi et al. 1984):
(1) Bentuk fungsi produksi harus bisa menggambarkan dan mendekati keadaan
yang sebenarnya.
(2) Bentuk fungsi produksi yang dipakai harus mudah diukur atau dihitung
secara statistik
(3) Fungsi produksi itu dapat dengan mudah diartikan, khususnya arti ekonomi
dari parameter yang meyusun fungsi produksi tersebut.
Pemilihan fungsi produksi yang baik dan benar diperlukan beberapa
pedoman yang perlu diikuti yaitu bentuk fungsi produksi dapat
dipertanggungjawabkan, mempunyai dasar yang logik secara ekonomi maupun
fisik, mudah dinalisis, dan mempunyai implikasi ekonomi. Adapun persyaratan
untuk mendapatkan fungsi produksi yang baik adalah terjadi hubungan yang
logik dan benar antar variabel yang dijelaskan dengan yang menjelaskan , serta
parameter statistik yang diduga memenuhi persyaratan untuk dapat disebut dengan
parameter yang mempunyai derajat ketelitian yang tinggi. Terdapat dua parameter
yang statistik yang perlu diperhatikan yaitu: (1) Koefisien determinasi (R2) yang
merupakan parameter untuk menjelaskan besarnya variasi dari variabel yang
dijelaskan oleh varibel penjelas; (2) Uji t pada masing-masing variabel penjelas
untuk mengetahui signifikansinya.
Fungsi produksi klasik menunjukkan tiga daerah produksi yang berbeda.
Daerah-daerah tersebut terbentuk akibat adanya hubungan antara produk marjinal
(PM), produk rata-rata (PR) dan produk total (PT). Produk marjinal (PM) adalah
tambahan produk yang diperoleh akibat adanya tambahan satu satuan input
produks (persamaan 3.2). Produk rata-rata (PR) adalah perbandingan antara output
total dengan input produksi, dimana output total atau produk total (PT=Y) adalah
jumlah output yang diperoleh dalam proses produksi (persamaan 3.3).
(3.2)
PM =
PR =

(3.3)

Dengan mengaitkan PM, PR, dan PT akan diketahui elastisitas produksi
yang sekaligus juga akan diketahui proses produksi yang sedang berjalan dalam
keadaan elastisitas yang rendah atau sebaliknya (Soekartawi 2002). Elastisitas
produksi (Ep) adalah persentase perubahan dari produk yang dihasilkan (output)
sebagai akibat dari persentase perubahan faktor produksi (input) yang digunakan.
Elastisitas produksi dapat dirumuskan sebagai berikut.
atau
(3.4)
Pada Gambar 2 ditunjukkan daerah-daerah berdasarkan elastisitas produksi.
Perubahan dari produk yang dihasilkan disebabkan oleh faktor produksi yang
dipakai dapat dinyatakan dengan elastisitas produksi. Daerah I memperlihatkan
Produk Marjinal (PM) lebih besar dai Produk Rata-rata (PR), hal ini
mengindikasikan bahwa tingkat rata-rata variabel input (X) ditransformasikan ke

13

dalam produk (Y) meningkat hingga PR mencapai maksimal pada akhir daerah I.
Daerah produksi I yang terletak antara 0 dan X2, memiliki nilai elastisitas lebih
dari satu, artinya bahwa setiap penambahan faktor produksi sebesar satu-satuan,
akan menyebabkan pertambahan produksi yang lebih besar dari satu satuan
(increasing return). Pada kondisi ini, keuntungan maksimum belum tercapai
karena produksi masih dapat ditingkatkan dengan menggunakan faktor produksi
lebih banyak. Daerah produksi I disebut juga daerah irrasional.
Y (ouput)

Produk Total

Ep > 1

1>Ep> 0

Ep < 0

Y (input)
PM/PR

Daerah I

Daerah III

Daerah II

Produk rata-rata

X (input)
0

X1

X2

X3
Produk Marjinal

Gambar 3 Fungsi produksi klasik dan tiga daerah produksi
Sumber: Doll dan Orazem (1984)

Daerah II terjadi ketika PM menurun dan lebih rendah dari PR. Pada
keadaan ini PM sama atau lebih rendah dari PR, tapi sama atau lebih tinggi dari 0.
Daerah II berada diantara X2 dan X3. Efisiensi variabel input diperoleh saat awal
daerah II. Daerah produksi II yang terletak antara X2 dan X3 memiliki nilai
elastisitas produksi antara nol dan satu. Artinya setiap penambahan faktor
produksi sebesar satu satuan akan menyebabkan penambahan produksi paling
besar satu satuan dan paling kecil nol satuan. Daerah ini menunjukkan tingkat
produksi memenuhi syarat keharusan tercapainya keuntungan maksimum, daerah
ini juga dicirikan dengan penambahan hasil produksi yang semakin menurun
(deminishing return). Pada tingkat tertentu dari penggunaan faktor-faktor produksi
di daerah ini akan memberikan keuntungan maksimum. Hal ini menunjukkan
penggunaan faktor-faktor produksi telah optimal sehingga daerah ini disebut juga
daerah rasional (rational region atau rational stage of production).
Daerah produksi III adalah daerah dengan elastisitas produksi lebih kecil
dari nol. Pada daerah ini produksi total mengalami penurunan yang ditunjukkan
oleh produk marjinal yang bernilai negatif yang berarti setiap penambahan faktor
produksi akan mengakibatkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan.

14

Penggunaan faktor produksi pada daerah ini sudah tidak efisien sehingga disebut
daerah irrasional (irrational region atau irrational stage of production).
Konsep Efisiensi
Soekartawi (2002) menjelaskan bahwa terdapat berbagai konsep efisiensi
yaitu efisiensi teknis (technical efficiency), efisiensi harga (price/allocative
efficiency) dan efisiensi ekonomis (economic efficiency). Efisiensi teknis ditujukan
dengan pengalokasian faktor produksi sedemikian rupa sehingga produksi yang
tinggi dapat dicapai. Efisiensi harga dapat tercapai jika petani dapat memperoleh
keuntungan yang besar dari usahataninya, misalnya karena pengaruh harga, maka
petani tersebut dapat dikatakan mengalokasikan faktor produksinya secara
efisiensi harga. Sedangkan efisiensi ekonomis tercapai pada saat mampu
meningkatkan produksi dengan harga faktor produksi yang rendah tetapi hasil
produksi dapat dijual dengan harga tinggi sehingga dapat menghasilkan
keuntungan maksimum. Dengan demikian apabila petani menerapkan efisiensi
teknis dan efisiensi harga maka produktivitas akan semakin tinggi.
Menurut Doll dan Orazem (1984) efisiensi ekonomi menunjukkan
kombinasi input yang memaksimumkan tujuan individu atau sosial. Efisiensi
ekonomi dapat tercapai ketika dua syarat terpenuhi, yaitu syarat keharusan
(necessary condition) dan syarat kecukupan (sufficient condition). Syarat
keharusan bagi penentuan efisiensi dan tingkat produksi optimum adalah
hubungan fisik antara faktor produksi dengan produksi harus diketahui. Dalam
analisis fungsi produksi, syarat keharusan dipenuhi jika produsen berproduksi
pada daerah II yaitu pada saat elastisitas produksinya bernilai antara nol dan satu
(1>Ep>0). Tidak halnya seperti syarat keharusan yang bersifat objektif, syarat
kecukupan ditujukan untuk nilai dan tujuan individu atau kelompok. Syarat
kecukupan dapat secara alami berbeda antara satu individu dengan yang lainnya.
Dalam teori abstrak, kondisi ini lebih sering disebut indikator pilihan (choice
indicator).
Efisiensi penggunaan input terjadi ketika nilai produk marjinal (NPM) untuk
suatu input sama dengan harga input, sehingga dapat dituliskan:
(3.5)
NPM = Px atau
Efisiensi yang demikian disebut dengan istilah efisiensi harga atau allocative
efficiency . Pada persamaan (3.5) terlihat bahwa nisbah harga input dan output
adalah sama dengan produk marginal. Bila sudah memasukkan kata ‗efisiensi‘
dalam analisisnya maka variabel baru yang harus dipertimbangkan dalam model
analisis adalah variabel harga. Oleh karena itu terdapat dua hal yang perlu
diperhatikan sebelum analisis efisiensi dilakukan, yaitu:
a) Tingkat transformasi antara input dan output dalam fungsi produksi, dan
b) Pebandingan (nisbah) antara harga input dan harga output sebagai upaya
untuk mencapai indikator efisiensi.
Kemudian penggunaan input yang optimum dapat dicari dengan melihat nilai
tambahan dari satu-satuan biaya dari input yang digunakan dengan satu-satuan
pembinaan yang dihasilkan. Secara matematik dapat dituliskan sebagai berikut:
atau,

(3.6)

15

Dimana, Y
X

= tambahan output
= tambahan input
= harga output
= harga input
= produk marginal
Berdasarkan persamaan (3.6) maka produk marjinal sama dengan nisbah
dari perbandingan harga input-output. Dengan demikian pengertian efisiensi disini
masih terbatas pada apakah usaha yang dilakukan memperoleh keuntungan atau
tidak. Dengan mengetahui Px/Py yang biasanya dinyatakan dengan ―garis harga‖,
maka suatu usaha dikatakan menguntungkan apabila setiap tambahan nilai input
atau output lebih besar dari setiap tambahan nilai input (
.
Keuntungan akan berhenti bila
, yaitu terjadi situasi garis yang
menyinggung garis produksi total.
Konsep Pendapatan Usahatani
Usahatani menurut Mosher (1969) dalam Soekartawi et al. (1985) adalah
sebagai bagian dari permukaan bumi, dimana petani atau suatu badan tertentu
lainnya bercocok tanam atau memelihara ternak. Usahatani dapat dipandang
sebagai suatu cara hidup (a way of life) atau sebagai bagian dari perusahaan (farm
business). Dalam melaksanakan kegiatan usahataninya, petani memiliki tujuan
yang berbeda. Usahatani yang memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga disebut usahatani pencukup kebutuhan keluarga (subsistence farm). Di
sisi lain, usahatani yang berjalan dengan tujuan untuk mencari keuntungan
sebesar-besarnya disebut usahatani komersial (commercial farm). Usahatani kecil
dibedakan dari usahatani komersial oleh erat dan pentingnya kaitan antara
usahatani dan rumah tangga. Pada usahatani komersial, usahatani dilihat sebagai
perusahaan yang terpisah dari rumah tangga. Sedangkan pada usahatani kecil
terdapat kaitan erat antara kegiatan usahatani dan rumah tangga, sehingga dalam
menghitung ukuran penampilan usahatani kecil diperlukan kejelasan mengenai
tujuan menganalisis.
Pendapatan usahatani menghitung seberapa besar balas jasa terhadap
penggunaan faktor-faktor produksi (lahan, modal, tenaga kerja dan pengelolaan)
yang diterima petani dalam berusahatani. Analisis pendapatan usahatani dilakukan
untuk mengukur keberhasilan usahatani. Petani dapat mengetahui gambaran
keadaan aktual usahatani sehingga dapat melakukan evaluasi dengan perencanaan
kegiatan usahatani pada masa yang akan datang. Beberapa istilah yang digunakan
untuk menyatakan ukuran penampilan usahatani menurut Soekartawi et al. (1984)
diantaranya:
1)
Ukuran Arus Uang Tunai
Dalam meninjau penampilan usahatani perlu dibedakan antara yang
berbentuk uang tunai dan yang berbentuk benda. Penerimaan tunai usahatani
(farm receipt) merupakan nilai uang yang diterima dari penjualan produk
usahatani, tetapi tidak mencakup pinjaman uang untuk keperluan usahatani dan
nilai produk usahatani yang dikonsumsi. Sedangkan pengeluaran tunai usahatani
(farm payment) adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan
jasa bagi usahatani, tidak mencakup bunga pinjaman dan jumlah pinjaman pokok

16

serta nilai kerja yang dibayar dengan benda. Selisih antara penerimaan tunai
usahatani dan pengeluaran usahatani disebut pendapatan tunai usahatani (farm net
cashflow) dan merupakan ukuran kemampuan usahatani untuk menghasilkan uang
tunai.
2)
Ukuran Pendapatan dan Keuntungan
Ukuran arus uang tunai tidak memperlihatkan keadaan seluruhnya, oleh
karena itu perlu dihitung juga ukuran pendapatan yang mencakup nilai transaksi
barang dan perubahan nilai inventaris atau kekayaan usahatani selama kurun
waktu tertentu. Pendapatan kotor usahatani (gross farm income) didefinisikan
sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu dan mencakup
semua produk yang dijual, dikonsumsi rumah tangga petani, digunakan dalam
usahatani untuk bibit, digunakan untuk pembayaran serta produk yang disimpan
atau digudang pada akhir tahun. Pengeluaran total usahatani (total farm expenses)
didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di
dalam produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petani. Selisih antara
pendapatan kotor usahatani dan pengeluaran total usahatani disebut pendapatan
bersih usahatani (net farm income). Pendapatan bersih mengukur imbalan yang
diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja,
pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke
dalam usahatani. Ukuran yang berguna untuk menilai penampilan usahatani kecil
adalah penghasilan bersih usahatani (net farm earnings) Angka ini diperoleh dari
mengurangkan pendapatan bersih usahatani dengan bunga yang dibayarkan
kepada modal pinjaman. Ukuran ini menggambarkan penghasilan yang diperoleh
dari usahatani untuk keperluan keluarga dan merupakan imbalan terhadap semua
sumberdaya milik keluarga yang dipkai dalam usahatani. Apabila sebagian modal
diperoleh dari pinjaman, maka ada dua ukuran yang dapat dipakai yaitu Imbalan
kepada seluruh modal (return to total capital) dan imbalan kepada modal petani
(return to farm equity capital). Selanjutnya imbalan kepada tenaga kerja keluarga
(return to family labor) dapat dihitung dari penghasilan bersih usahatani dengan
mengurangkan bunga modal petani yang diperhitungkan.
3)
Ukuran Keadaan Modal dan Hutang
Salah satu ukuran yang dapat dipakai untuk menggambarkan keadaan modal
dan hutang yaitu imbalan kepada modal. Kemampuan membayar hutang (debt
servicing capacity) dapat dihitung dengan cara mengurangkan pendapatan tunai
dengan uang tunai yang diperlukan untuk biaya hidup keluarga.
Besar kecilnya pendapatan yang diperoleh tegantung pada efisiensi dari
usahatani. Salah satu ukuran efisiensi usahatani yaitu R/C ratio yang menunjukan
besarny