Kabinet Kerja dan Perempuan

Kabinet Kerja dan Perempuan
Oleh: Iding Rosyidin
(Pikiran Rakyat, 29 Oktober 2014)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) telah membentuk
kabinet yang disebutnya denga kabinet kerja. Sebanyak 34 menteri yang telah diangkat Presiden
Jokowi pada Minggu sore 26/10 kemarin. Komposisinya 20 menteri dari kalangan profesional
dan 14 menteri dari kalangan partai politik (parpol). Hal ini berbeda dengan rencana sebelumnya
di mana pembagiannya adalah 18 berbanding 16.
Ada beragam respons publik terhadap susunan kabinet kerja untuk masa bakti 2014-2019
tersebut. Sebagian kalangan beranggapan bahwa kabinet kerja tersebut cukup memenuhi
ekspektasi publik karena banyaknya kalangan profesional yang dilibatkan. Tetapi tidak sedikit
pula yang memiliki pandangan sebaliknya karena ada sejumlah menteri yang ditempatkan tidak
pada posisi yang seharusnya atau sesuai dengan prinsip the right man on the right place.

Menteri Perempuan
Namun demikian, terlepas dari pro dan kontra terhadap komposisi kabinet kerja yang

akan membantu Jokowi-JK tersebut, ada satu hal yang tampaknya patut mendapat apresiasi yang
tinggi dari publik. Hal itu terkait dengan tampilnya sejumlah menteri dari kalangan perempuan
sebanyak 8 orang. Jumlah ini merupakan yang terbanyak sepanjang terbentuknya pemerintahan

di republik ini.
Kedelapan menteri perempuan tersebut adalah Retno Marsidi sebagai Menteri Luar
Negeri; Yohana Yembise sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;
Nila Moeloek sebagai Menteri Kesehatan; Khofifah Indar Parawansa sebagai Menteri Sosial;
Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan; Rini Soemarno sebagai Menteri
Negara BUMN; Siti Nurbaya sebagai Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup; dan Puan
Maharani sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Yang lebih menarik adalah bukan kuantitas menteri-menteri perempuan tersebut, tetapi
justeru penempatan mereka pada posisi-posisi yang strategis. Retno Marsudi, misalnya,
ditempatkan sebagai Menlu. Jabatan menlu merupakan jabatan yang sangat strategi terutama jika
dikaitkan dengan percaturan global sekarang ini. Bagi sebuah negara, jabatan ini sama dengan
“jendela dunia” di mana orang-orang dari seluruh dunia akan memandang dan menilainya. Di
Amerika Serikat sendiri jabatan menlu disebut juga dengan sekretaris negara karena sedemikian
penting perannya.
Oleh karena itu, posisi menlu tidak bisa dijabat dengan tokoh-tokoh sembarangan,
melainkan oleh orang-orang yang mumpuni di bidangnya. Menlu Retno tampaknya memenuhi
kriteria tersebut. Karir diplomatnya sangat menunjang; ia pernah menjabat sebagai Direktur
Jenderal Amerika dan Eropa Kemenlu kemudian menjadi Duta Besar Indonesia Belanda sampai
saat ini. Selain itu, ia dikenal sebagai pekerja keras tetapi merupkan pribadi sederhana yang
tampaknya selaras dengan keinginan Jokowi. Pantaslah kalau ia menjadi perempuan pertama di


negeri ini yang menempati jabatan menlu.
Sementara itu penempatan Yohana Yembise dalam kabinet kerja setidaknya memiliki dua
makna strategis bagi pemerintahan ini khususnya dan bagi masyarakat Indonesia umumnya,
yakni sebagai representasi kalangan perempuan itu sendiri dan representasi kedaerahan. Yohana
merupakan puteri terbaik tanah Papua yang berhasil meraih puncak akademis tertinggi sebagai
guru besar. Karena itu, pengangkatannya sebagai menteri jelas memberikan apresiasi yang sangat
tinggi terhadap masyarakat Papua yang selama ini acap terpinggirkan dari derap pembangunan
meskipun telah memberikan sumbangsih sumber daya alam yang tak terkira nilainya.
Tampilnya seorang tokoh Papua di pemerintahan jelas akan mampu menggairahkan
masyarakat Papua khususnya kalangan perempuan untuk juga meraih prestasi setinggi-tingginya.
Yohana sendiri memberikan komentar pasca ditunjuk sebagai menteri: “...Saya sedih karena
Papua yang menjadi bagian dari NKRI, hingga kini baru ada satu guru besar perempuan....Saya
pikir kesempatan saya masukv ke sini (kabinet) dapat membuka pintu bagi orang-orang di Papua
mengikuti jejak saya.” Dari pernyataan ini tersurat dengan jelas keinginan Yohana untuk
memajukan kaum perempuan Indonesia khususnya di tanah kelahirannya.
Meskipun posisi Yohana sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak merupakan posisi yang secara tradisional merupakan “jatah” kaum perempuan, tetapi
kehadirannya memberikan nilai lebih. Sebagai orang yang bersentuhan dan merasakan langsung
problem yang membelit kaum perempuan dan anak-anak seperti kemiskinan, keterbelakangan

dan sebagainya, tentu ia akan jauh lebih menguasai permasalahan ini. Inilah yang
membedakannya dengan menteri-menteri perempuan sebelumnya.
Selain dua orang menteri perempuan tersebut, menteri-menteri yang lainnya cukup
memberikan warna tersendiri bagi pemerintahan Jokowi-JK. Memang tidak semuanya dianggap

orang yang cukup representatif bagi gerakan kaum perempuan. Sebut saja misalnya Puan yang
hampir tidak pernah bersentuhan dengan masalah ini. Namun Hal ini tidak akan mengurang
makna penting keterlibatan kaum perempuan di kabinet ini.
Tentu saja kehadiran menteri-menteri perempuan tidak serta merta menjadi semacam
“tiket gratis” bagi majunya politik perempuan di republik ini. Memang di satu sisi, pengangkatan
menteri-menteri perempuan dapat dianggap sebagai bentuk affirmative action terhadap gerakan
kaum perempuan. Tetapi pada sisi lain, masih harus ditunggu bagaimana kinerja mereka nanti,
apakah dapat dianggap representatif ataukah tidak.
Oleh karena itu, jika mereka mampu tampil secara profesional sehingga dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik dan tidak kalah dengan kaum laki-laki, maka apresiasi
sangat tinggi akan layak diberikankepada mereka. Jika ini yang terjadi, tentu akan menjadi
momentum kebangkitan keterlibatan perempuan di ruang publik. Dengan demikian, sebagai
publik kita patut menunggu gebrakan dan terosoboan para menteri perempuan tersebut. Selamat
bekerja!


*Penulis, Doktor Komunikasi Unpad, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy
Institute