Pola Argumentasi Kabinet Kerja dalam Mem

Pola Argumentasi Kabinet Kerja dalam Membentuk Reputasi dan Branding di 2014

Dini Safitri
Universitas Negeri Jakarta
[email protected]

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejumlah pola argumentasi kabinet kerja dalam
membentuk reputasi dan branding di 2014. Memasuki MEA (Masyarakat Ekonomi Asean)
2015 atau Pasar Bebas ASEAN, yang diikuti sepuluh negara termasuk Indonesia, ada sejumlah
strategi yang telah dirancang oleh pemerintah, khususnya kabinet kerja. Namun dari sejumlah
strategi tersebut, banyak mendapat respon atau tanggapan negatif, khususnya dari warga sosial
media. Salah satunya adalah rencana Menteri BUMN yang ingin merekrut WNA (warga negara
asing) menjadi Dirut BUMN. Wacana tersebut menuai pro dan kontra. Pihak yang pro adalah
yang mendukung pemerintah, sedangkan yang kontra berusaha mengkritisi kebijakan yang
tidak pro rakyat. Padahal setiap wacana yang diproduksi akan membentuk reputasi dan
branding. Metodologi penelitian ini adalah kualitatif dengan analisis toulmin tentang retorika
argumentasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada sejumlah klaim yang dipakai oleh
kabinet kerja dalam memproduksi wacana, dari alasan menggunakan rasionaitas yang
dilengkapi fakta dan data sampai alasan ketidaktahuan. Disatu sisi, surat perintah yang
diberikan terkadang tidak sesuai dengan janji kemandirian tapi semakin memperlihatkan

ketergantungan. Sanggahan yang diberikan pemerintah menjadikan reputasi dan branding yang
diharapkan dapat memberi perbaikan, memunculkan idiom test the water.
Kata kunci: Pola argumentasi, Stephen Toulmin, Reputasi dan Branding
Pendahuluan
Memasuki MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) 2015 atau Pasar Bebas ASEAN, yang
diikuti sepuluh negara termasuk Indonesia, ada sejumlah strategi yang telah dirancang oleh
pemerintah, khususnya kabinet kerja. Namun dari sejumlah strategi tersebut, banyak mendapat
respon atau tanggapan negatif, khususnya dari warga sosial media. Salah satunya adalah
rencana Menteri BUMN yang ingin merekrut WNA (warga negara asing) menjadi Dirut
BUMN. Wacana tersebut menuai pro dan kontra. Pihak yang pro adalah yang mendukung
pemerintah, sedangkan yang kontra berusaha mengkritisi kebijakan yang tidak pro rakyat.
Padahal setiap wacana yang diproduksi akan membentuk reputasi dan branding. Terlebih lagi,
dengan kehadiran media sosial, dewasa ini masyarakat bebas membicarakan apa saja di dalam
jejaring sosial yang milikinya.
Kekuataan jejaring sosial dalam mengiring opini sudah banyak dibuktikan oleh
berbagai penelitian dari dalam dan luar negeri. Hal ini di dorong oleh kemajuan teknologi yang
mempengaruhi segala perkembangan dunia kontemporer saat ini. Salah satunya, membuat

kehidupan manusia di dunia nyata ikut larut masuk kepada sistem dunia online. Segala hal,
mulai dari kebijakan pemerintahan sampai curhatan pribadi seseorang, semua dituangkan

dalam media online. Pemanfaatan media online tersebut secara masif digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Tidak jarang, orang memanfaatkan media online untuk berbagai
kegiatan yang termasuk dalam tindakan retorika, baik secara sengaja ataupun tidak yang
ditujukan untuk mempengaruhi orang lain.
Dalam dunia online, tulisan atau gambar yang sudah di online-kan akan tersimpan
dalam sistem dan dibaca oleh berbagai orang dari berbagai daerah dan negara di dunia. Bila
sudah demikian, curhatan pribadi seseorang kemudian dapat diinterpretasikan beragam oleh
pembaca, karena curhat tersebut menjadi konsumsi publik. Namun dalam batasan tertentu
curhatan dapat menjadi masalah bila berbenturan dengan masalah hukum, norma dan aturan
yang berlaku dalam suatu masyarakat. Sudah banyak kasus yang menjerat seseorang karena
curhatannya yang melanggar aturan tersebut.
Pentingnya pengetahuan memanfaatkan media online, dengan menyelaraskan retorika
argumentasi menjadi kebutuhan saat ini, sehingga seseorang dapat membangun retorika
argumentasi yang efektif. Klaim yang dipakai, bukan hanya sekadar curahan hati atas
ketimpangan, ketidakadilan yang dikeluarkan dalam bentuk makian, hinaan atau yang lebih
dikenal dengan istilah bulying. Begitupun dengan alasan yang mendukung, baik berupa data,
kualifikasi, dan sanggahan. Sangat terlihat bagaimana tindakan klaim yang dilakukan
memperlihatkan bahwa faktor audiens kurang dipertimbangkan. Padahal saat tulisan atau
gambar di online-kan, maka banyak khalayak yang akan mengetahuinya. Dan responnya pun
beragam.

Fenomena retorika argumentasi di sosial media saat ini menyentuh banyak hal,
terutama mengenai persoalan tatanan pemerintahan dan kekuasaan.
Kedua belas tema diatas, tentunya juga menjadi tema argumentasi di sosial media.
Tema yang terbaru adalah isu mengenai mobil nasional. Para warga sosial media atau
netcitizen, biasa mengeluarkan celotehannya lewat akun jejaring yang dimilikinya. Celotehan
tersebut adalah retorika argumentasi warga tentang apa saja yang ingin dibaginya kepada
orang-orang yang ada di jejaringnya. Membagi celotehan kepada di dalam jaringan, masuk
kedalam teori jaringan komunikasi. Dimana, seseorang berbicara kepada orang dalam
jaringannya. Kegiatan ini masuk kedalam komunikasi interpersonal. Dalam komunikasi ini,
kemudian muncul orang-orang yang menjadi pemuka opini dan pengikutnya. Orang-orang
tersebut, saling memiliki hubungan komunikasi pada suatu topik tertentu. Topik pemerintahan
jokowi (kabinet kerja) adalah tema yang hangat untuk dibahas warga sosial media.

Beragam respon atau komentar warga sosial media mengenai kinerja kabinet kerja
dalam pemerintahan, adalah hal yang menarik untuk diteliti. Bagaimana arah perbincanganya?
Apa yang dilakukan oleh fandom jokowi untuk mengantisipasi opini negatif dari warga yang
merasa kinerja kabinet kerja buruk? Bagaimana retorika argumentasi yang dibangun warga
sosial media terhadap kabinet kerja? Kemana arah klaim terbentuk? Apa saja barang bukti
(evidence) yang dikemukakan warga sosial media terhadap pemerintahan jokowi? Bagaimana
bunyi surat perintah (warrant) yang disusun oleh teks warga sosial media? Apa saja alasan

rasional surat perintah (backing) yang dikemukakan warga sosial terhadap kabinet kerja?
Bagaiaman bantahan (counter argument/rebuttal) yang dibahasakan warga sosial media
terhadap pemerintahan kabinet kerja, dan apa saja batasan (qualifier) yang diproduksi warga
sosial media mengenai kabinet kerja?

Tinjauan pustaka
Menurut Pawito (2008), komunikasi politik adalah subbidang ilmu komunikasi yang
mempelajari pertukaran pesan yang memiliki signifikansi dengan politik. Misalnya tentang
kampanye pemilihan, konferensi pers, pidato politik elite kekuasaan, penyampaian informasi
oleh pemerintah mengenai berbagai kebijakan, debat di forum parlemen, hingga aksi mogok
kerja buruh pabrik menuntut perbaikan kondisi kerja. Pawito menambahkan komunikasi politik
tergolong ke dalam ilmu perilaku. Ia juga berpendapat, komuniasi politik sebagai subdisiplin
ilmu, memiliki kajian ilmiah yang mempunyai akar jauh ke belakang, dan dalam banyak hal
berhimpit dengan perkembangan ilmu lain, termasuk ilmu komunikasi, ilmu politik, ilmu
ekonomi, sosiologi, antropologi, dan ilmu bahasa.
Kaitannya dengan retorika argumentasi di sosial media terkait dengan isu komunikasi
politik, bahwa segala hal dapat diperbincangkan di Sosial Media sebagai Tempat Retorika
Argumentasi. Saling adu argumen adalah hal yang biasa, bahkan terkadang argumen yang
kebablasan berubah menjadi makian, cacian, umpatan dan pada akhirnya putusnya hubungan
pertemanan. Padahal, retorika argumentasi berawal dari kritik retorika pada teori. Telah banyak

esai yang ditulis secara kolektif memetakan isu-isu penting dalam disiplin retorika dalam
dekade yang mencakup 1960 ke tahun 1980-an. Isu-isu tersebut berusaha mendefinisikan
hubungan antara retorika dan pengetahuan dalam menentukan fungsi sosial, retorika.
Robert Scott melihat retorika sebagai epistemik. Retorika adalah tantangan mengenai
asumsi dalam peradaban barat untuk melihat kebenaran sebagai priori, sesuatu yang ada dan
sesuatu yang orang dapat memperoleh. Menurut Scott, asumsi ini membuat retorika menjadi
sarana untuk mengkomunikasikan kebenaran atau untuk memimpin individu yang tidak tahu,

melalui persuasi. Dengan kata lain, retorika berfungsi mentransmisikan kebenaran atau
membuatnya terlihat. Scott berpendapat, meskipun kebenaran bisa eksis, retorika kemudian
bertindak sebagai metode untuk menghasilkan kebenaran kontingen dalam interaksi manusia.
Dengan cara ini, retorika adalah epistemik. Jika kebenaran adalah situasional, maka dalam
beretorika, kita secara etis bertanggung jawab untuk terlibat dalam interaksi dalam mengejar
kebenaran, menempatkan dan mempertimbangkan klaim yang bersaing membuat tindakan kita
yang terbaik.
Thomas Farrell, dalam esainya "Pengetahuan, Konsensus, dan Teori Retorika",
membatasi retorika sebatas pengetahuan sosial dan menetapkan pengetahuan ilmiah, bukan
bagian dari retorika. Dalam teori Farrell, retorika secara epistemik adalah alat yang
menghasilkan pengetahuan sosial dengan meningkatkan kesadaran individu dengan statusnya
sebagai anggota dalam masyarakat. Ia mengacu pada kesadaran individu untuk

mengembangkan konsensus yang kemudian mengarah ke tindakan terkoordinasi dalam suatu
masyarakat.
Kedua esai diatas yang diungkapkan Scott dan Farrel, tentang retorika epistemik,
didasarkan pada paradigma dunia rasional, dimana anggota masyarakat dan komunitas dapat
berlatih retorika dan jenis tindakan retoris, karena merupakan produksi pengetahuan. Melalui
retorika, terbangun pengetahuan yang didasarkan pada logika, dan argumentasi beralasan.
Scott berpendapat pengetahuan dapat dilihat sebagai hasil dari penyelidikan kritis terhadap
komitmen manusia dan kemampuan argumentatif. Sedangkan, Farrell berpendapat teori
retorika didasarkan pada logika formal dan informal yang dimaksudkan untuk memfasilitasi
argumentasi beralasan, tentang pengetahuan sosial.
Kritik lain tentang retorika, menghidupkan kembali isu-isu yang signifikan dalam
sejarah teori retorika; yaitu, masalah retorika dan hubungannya dengan konstruksi pengetahuan
dan pengembangan masyarakat di masyarakat. Konstruksi pengetahuan dan domain studi
retorika, memberikan kita masukan bahwa retorika lebih dari sekedar persuasi; namun retorika
adalah tentang pembangunan dan mengejar pengetahuan. Untuk itu penelitian ini berusaha
menyusun bangunan retorika tersebut di sosial media saat ini. Penulis mencoba membuatkan
segita konsep, sebagai berikut:

Tempat


sosial
(Facebook)

Situasi
sosial

Retorika

media

Aktor

Aktivitas
Netcitizen

Obrolan Warga

Gambar 2. Segitiga Konsep Sosial Media sebagai Tempat Retorika Argumentasi

Melalui segitiga konsep diatas, penulis ingin menjelaskan situasi sosial yang terjadi di

sosial media, mengenai obralan warga yang dilakukan netcitizen dalam membangun
pengetahuan sosial mengenai retorika argumentasi kabinet kerja. Diharapkan dengan konsep
ini, penulis dapat memaparkan secara baik, makna di balik data yang ditampilkan netcitizen
dalam obrolan warga di sosial media, mencari tahu bagaimana pola interaksi sosial yang terjadi
di dalamnya, sekaligus mengembangkan teori retorika argumentasi yang sebelumnya sudah
dikemukakan oleh Toulmin. Sebelumnya, penelitian mengenai sosial media sebagai media
yang efektif untuk komunkasi politik telah banyak dilakukan, namun belum ada yang meneliti
mengenai retorika argumentasi yang digunakan netcitizen terhadap pemerintahan, khususnya
dalam membentuk reputasi dan branding.

Metodologi
Metodologi penelitian ini adalah kualitatif dengan analisis toulmin tentang retorika
argumentasi. Metode penelitian kualitatif muncul karena terjadi perubahan paradigma dalam
memandang suatu fenomena. Penelitian kualitatif bertitik tolak dari paradigma fenomenologis
yang objeknya dibangun atas namanya situasi tertentu, sebagaimana yang dihayati oleh
individu atau kelompok sosial tertentu dan relevan dengan tujuan dari penelitian itu. Penelitian
kualitatif berasumsi bahwa penelitian sistematik harus dilakukan dalam suatu lingkungan yang
alamiah, dan langsung kepada tindakan atau interaksi manusianya itu sendiri dalam memaknai
dan menginterpretasikan kejadian-kejadian sosial, dan bukannya kepada lingkungan yang
artifisial seperti eksperimen.

Peneliti kualitatif mempelajari hal-hal dalam pengaturan alam manusia, mencoba untuk
memahami, atau untuk menafsirkan, fenomena dalam pemaknaan (Denzin & Lincoln, 2005:

3). Dengan pendekatan kualitatif, penulis berharap penelitian ini dapat memberikan
pembahasan secara mendalam mengenai retorika argumentasi di sosial media terhadap kabinet
kerja.
Dalam penelitian ini, penulis mengunakan Paradigma Interpretif. Paradigma interpretif
dikembangkan sebagai kritik positivisme dalam ilmu sosial. Secara umum, paradigma ini
berbagi tentang sifat mengetahui realitas. Berdasarkan ontologi, paradigma ini mengasumsikan
realitas seperti bangunan intersubyektif yang tercipta melalui makna dan pemahaman yang
dikembangkan secara sosial dan pengalaman. Secara epistemologi, paradigma ini
mengasumsikan bahwa kita tidak bisa memisahkan diri dari apa yang kita ketahui. Peneliti dan
obyek penelitian terkait sedemikian rupa, sehingga siapa kita dan bagaimana kita memahami
dunia adalah bagian sentral dari bagaimana kita memahami diri sendiri, orang lain dan dunia.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Menurut Sukmadinata (2006:72), penelitian
deskriptif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang
ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenemona itu bisa berupa
bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan dan perbedaan antara
fenomena yang satu dengan fenomena lainnya.
Penelitian deskriptif ditujukan untuk mengumpulkan informasi secara aktual dan

terperinci, mengidentifikasikan masalah, membuat perbandingan atau evaluasi, dan
menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar
dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan
datang.
Metode dalam penelitian ini adalah Metode Toulmin, terdiri dari: klaim, dukungan,
asumsi, surat perintah, kualifikasi dan bantahan. Ada beberapa jenis klaim, Klaim fakta, klaim
definisi, klaim penyebab, klaim nilai, dan klaim kebijakan. Anda dapat menggunakan salah
satu atau lebih dari klaim ini untuk memperkenalkan masalah Anda dan untuk membangun
kasus Anda. Data adalah Informasi yang Anda gunakan untuk mendukung klaim Anda. Waran
adalah Asumsi yang dibuat oleh penulis agar klaim untuk menjadi kenyataan. Backing adalah
Apa yang Anda gunakan untuk mendukung surat perintah. Sanggahan adalah di mana Anda
mempertimbangkan sudut pandang yang berlawanan dan membantahnya. Qualifer adalah
istilah untuk mengunakan bahasa yang berusaha untuk memenuhi syarat klaim yang Anda buat
untuk membawa argumen Anda berakhir.
Pendekatan di atas menyediakan alat-alat organisasi terbukti dapat Anda gunakan untuk
argumen Anda. Pendekatan apa yang anda gunakan, bagaimanapun, tidak perlu harus sesuai
persis dengan salah satu dari pendekatan ini. Bahkan, sangat umum bagi orang untuk

menggabungkan beberapa elemen dari pendekatan ini berdasarkan pada kebutuhan argumen
mereka.

Ada 6 strategi argumentatif yang menunjukan hubungan antara bukti dan klaim,
diakronimkan dengan GASCAP, yaitu generalisasi, analogi, Masuk, kausalitas, otoritas, dan
prinsip. Strategi ini digunakan pada berbagai tingkat yang berbeda dari umum dalam suatu
argumen, dan jarang datang dalam paket rapi, biasanya mereka saling berhubungan dan bekerja
dalam kombinasi.
Argumen berdasarkan Generalisasi adalah suatu bentuk yang sangat umum dari
penalaran. Ini mengasumsikan bahwa apa yang benar dari sampel dipilih dengan baik
kemungkinan akan berlaku untuk kelompok yang lebih besar atau populasi, atau bahwa halhal tertentu sesuai dengan sampel dapat disimpulkan kelompok / populasi.
Argumen berdasarkan Analogi adalah ekstrapolasi dari satu situasi atau kejadian
berdasarkan sifat dan hasil dari suatu situasi atau peristiwa serupa. Memiliki link ke penalaran
'berbasis kasus dan preseden berbasis digunakan dalam wacana hukum. Yang penting di sini
adalah sejauh mana kesamaan yang relevan dapat dibangun antara 2 konteks. Apakah ada
cukup, khas, akurat, relevan kesamaan?
Argumen masuk atau Clue adalah gagasan bahwa beberapa jenis bukti adalah gejala
dari beberapa prinsip yang lebih luas atau hasil. Misalnya, asap sering dianggap sebagai tanda
untuk api. Argumen kausal menegaskan bahwa kejadian atau peristiwa yang diberikan adalah
hasil dari, atau dipengaruhi oleh, penalaran faktor X. Kausal adalah yang paling kompleks dari
berbagai bentuk waran.
Argumen otoritas contohnya adalah apakah orang X atau teks X merupakan sumber
otoritatif tentang masalah tersebut? Apa kepentingan politik, ideologi atau ekonomi tidak
berwenang? Apakah ini semacam masalah di mana sejumlah besar pemerintah cenderung
setuju pada?
Argumen Prinsip berusaha menemukan sebuah prinsip yang secara luas dianggap
sebagai valid dan menunjukkan bahwa situasi di mana ada prinsip ini berlaku. Evaluasi
dirumuskan dengan, Apakah prinsip diterima secara luas? Apakah itu akurat berlaku untuk
situasi di pertanyaan? Apakah ada yang disepakati bersama pada pengecualian? Apakah ada
prinsip 'saingan' yang mengarah ke klaim yang berbeda? Apakah konsekuensi praktis berikut
prinsip cukup diinginkan?
Dalam penggunaan argumen, Toulmin merujuk pada forum argumentasi, yang merinci
kontekstual 'berdebat' sebagai suatu kegiatan. Tesisnya adalah bahwa dalam kebanyakan kasus
keabsahan argumen, bukanlah masalah validitas formal. Ia tidak menolak gagasan bentuk logis,

tapi mengusulkan gagasan baru yang lebih mudah dipahami, yang didasarkan pada
yurisprudensi daripada model geometris. Untuk membenarkan klaimnya, dikembangkan
melalui model yurisprudensi dialektis, bahwa standar untuk penilaian argumen adalah bidang
dependent, bukan standar lapangan, invarian tunggal validitas formal.
Pendekatan Toulmin adalah dialektis dan quasi-normatif. Toulmin merujuk ke argumen
yang substansial, bukan analitik terhadap penilaian argumen. Kelebihan model Toulmin adalah
bahwa ia menghindari argumen regresi dari Lewis Carroll, bahwa tidak semua inferensi-waran
dapat eksplisit. Model Toulmin ini mempersulit analisis argumen yang tidak perlu. Jika
seseorang berpendapat silogistis, itu lebih mudah untuk mengambil premis utama sebagai
premis, daripada sebagai aturan inferensi. Kekurangannya, model Toulmin terlalu
memberatkan untuk diterapkan dalam praktek. Sebagai contoh, sering dilaontarkan pertanyaan
berikut ini: apa yang didapat oleh struktur, jika validitas argumen menjadi tak tentu karena
lapangan, variabilitas? Bagaimana kita menentukan apakah surat perintah diterima? Apakah
apa yang dianggap sebagai validitas hanya bidang dependent? Jika pendekatan Toulmin adalah
pada dasarnya retorika, menilai keberhasilan sebuah argumen dengan penerimaan oleh
pembaca, bagaimana bisa ia membahas validitas argumen? Karena ia tidak berarti dengan
validitas formal, apa yang dia maksud dengan validitas? Kapan perlu untuk membuat eksplisit
surat perintah atau backing? Sejumlah kelemahan tersebut, penulis ingin mencoba
mengembangkan menjadi model baru dalam retorika argumentasi di sosial media terhadap
kabinet kerja.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu metode
wawancara mendalam (in-depth interview), observasi partisipatif (participant observation),
dan analisis dokumen.

Hasil dan pembahasan
Hasil penelitian menunjukan bahwa ada sejumlah klaim yang dipakai oleh kabinet kerja
dalam memproduksi wacana, dari alasan menggunakan rasionaitas yang dilengkapi fakta dan
data sampai alasan ketidaktahuan. Disatu sisi, surat perintah yang diberikan terkadang tidak
sesuai dengan janji kemandirian tapi semakin memperlihatkan ketergantungan. Sanggahan
yang diberikan pemerintah menjadikan reputasi dan branding yang diharapkan dapat memberi
perbaikan, memunculkan idiom test the water.
Diawal pembentukan kabinet kerja, sejumlah media sosial mulai bermunculan tone
negatif, diantaranya tone mengenai kehadiran sejumlah menteri yang dinilai kontroversial.
Selain itu, penunjukan menteri tersebut juga dinilai sebagai balas budi kepada parpol

pendukung, yaitu Hanura mendapat 2 kursi, Nasdem 3 kursi, PDI P dan PKB masing-masing
mengisi empat pos kementerian. Adapun penunjukan menteri yang menuai tone negatif
diantaranya adalah Puan Maharani sebagai Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan,
Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Tedjo Edy Purdjianto sebagai Menko
Polhukam, Rini Mariani Soemarno sebagai Menteri BUMN, Anies Baswedan Sebagai Menteri
Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Ignasius Jonan sebagai Menteri
Perhubungan1.
Untuk itu, penelitian ini mengkhususkan kepada perbincangan sosial media atas kinerja
keenam menteri tersebut. Puan Maharani sebagai Menko Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan mendapatkan tone negatif tentang kinerjanya yang tidak maksimal, anak mami,
dan pernyataan Puan tentang Jokowi Petugas Partai. Berikut ini sejumlah tone negatif tersebut:
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Puan
Maharani, geram lantaran dianggap tidak bekerja. "Nggak bekerja gimana, setahu
saya Menko selama ini sudah bekerja," kata Puan dengan nada kesal saat dikonfirmasi
di DPP PDIP, Jakarta, Senin (22/12/2014). Puan dinilai tidak memiliki kinerja
menjanjikan menurut hasil survei Lembaga Survei Cyrus Network. Hasil survei itu
dirilis Minggu 21 Desember kemarin. Disebutkan, 12 persen responden menilai
Menko Puan tidak memiliki kinerja menjanjikan untuk berhasil.2
Lalu bagaimana Argumentasi yang dilakukan Puan untuk menyanggah tone tersebut? Mengacu
kepada metode Toulmin ada sejumlah usaha dilakukan, yaitu membuktikan bahwa kinerjanya
tidak buruk (melakukan klaim), caranya mempergunakan argumen yang pro terhadap Puan,
salah satunya mengandeng tokoh lain untuk membuat pernyataan serupa, seperti yang ditulis
oleh kutipan media berita online dibawah ini:
Menanggapi hal ini, Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristianto
menegaskan, penilaian terhadap menteri anggota Kabinet Kerja, khususnya Menko Puan,
terlalu cepat dilakukan mengingat pemerintahan baru berjalan dua bulan dan masih
menggunakan APBN 2014. Hasto meminta agar para menteri diberi kesempatan bekerja.
"Evaluasi Kabinet Kerja terlalu dini. Kita berikan kesempatan dan PDIP akan menopang
pemerintahan Jokowi-JK," pungkas dia. Kendati dinilai tidak memiliki kinerja
menjanjikan, namun Puan masuk dalam daftar menteri populer. Dia menempati urutan
kedua sebagai menteri paling populer di Pemerintahan Jokowi-JK setelah Menteri
Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan skor 22 persen. 3
Berdasarkan kutipan diatas, tokoh yang pro tersebut menyebutkan alasannya mengapa
pro (evidence), menyebutkan hubungan antara klaim dan alasan (waran), yaitu pemerintah baru
berjalan dan masih menggunakan APBN pemerintahan lama. Waran tersebut sekaligus
1

http://boombastis.com/2014/11/01/menteri-kontroversial/5/

http://news.liputan6.com/read/2151056/menko-puan-kesal-dianggap-tidak-memiliki-kinerja-menjanjkan
3
ibid
2

dijadikan alasan untuk sanggahan terhadap tone negatif terhadap Puan. Selain itu, ditambahkan
juga prestasi Puan yang lain yang menteri populer, yang menunjukan bahwa Puan berkinerja
menjadi populer.
Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Susi mendapatkan tone
negatif mengenai tato, keluarga, latar belakang pendidikan yang dihubungkan dengan
kemampuan memimpin kementrian, dan kebiasaan merokok. Tone tersebut begitu kencang
berhembus saat awal Susu dilantik. Seiring dengan waktu, tone tersebut tetap ada, namun
tertutup dengan sejumlah berita prestasi Susi. Walaupun disetiap tindakan Susi tersebut, juga
diakhiri berita negatif terhadap tindakan tersebut. Berikut kutipan beritanya:
Dalam evaluasi 100 hari yang dilakukan akhir pekan lalu itu, Susi mengaku mendapat
ranking pertama sebagai menteri berprestasi dalam pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla. Selama 100 hari pertama bekerja, Susi telah berhasil menangkap puluhan kapal
illegal fishing di perairan Indonesia. Terakhir pada operasi yang digelar 21-25 Januari
2015, sebanyak 14 kapal ilegal ditangkap. Di mana tujuh kapal di antaranya milik asing
dan tujuh lainnya adalah milik perikanan lokal yang menangkap ikan secara ilegal.
Selain memberantas para pencuri ikan, Susi juga menerbitkan sejumlah kebijakan yang
dinilai kontroversi dan ditolak sebagian kalangan. Mereka mulai mengeluhkan
kebijakan Susi yang memberatkan mereka. Sekjen Asosiasi Budidaya Ikan Laut
Indonesia (Abilindo) Wajan Sudja menilai Susi tidak arif. Ia menilai kebijakan Susi
yang melarang transhipment telah merugikan pelaku usaha perikanan. Akibat kebijakan
Susi, sejumlah buyer atau pembeli ikan dari luar negeri memilih berbelanja ke Malaysia
dan Vietnam. 4
Berdasarkan kutipan diatas, klaim langung menunjuk kepada prestasi susi. Kemudian,
klaim didukung penjelasan mengenai prestasi tersebut, yaitu mendapat rangking pertama,
menangkap ilegal fishing dan membuat sejumlah kebijakan baru. Sayangnya, bagi pembaca
kritis yang membaca sampai akhir paragraf, kemudian menemukan dukungan terhadap prestasi
juga menuai kritik. Hal ini menimbulkan sanggahan terhadap klaim, bahwa ilegal fishing juga
menimpa kapal Indonesia, dan peraturan Susi memberatkan nelayan.
Tedjo Edy Purdjianto sebagai Menko Polhukam. Pada awal penunjukanya, sempat
beredar tone negatif tentang menteri Tedjo yang seorang purnawirawan. Namun tone tersebut
tidak terlalu ramai dibicarakan. Pembicaraan mengenai menteri Tedjo menjadi ramai saat
konflik mengenai KPK terjadi. Kemudian munculah kosa kata baru dalam kamus alay, dengan
tone negatif, yaitu Tedjo rakyat gak jelas, tedjo ngak jelas, tedjo tidak jelas. Berikut kutipan
berita online:

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/02/02/115200326/100.Hari.Menteri.Susi.Prestasi.dan.Kontrov
ersi
4

Pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam), Tedjo
Edhy Purdijanto yang menyebut pendukung KPK adalah rakyat tidak jelas, memicu
kemarahan masyarakat. Bahkan ia juga dilaporkan ke Bareskrim Polri pada Senin
(26/1) kemarin. Menanggapi hal itu, Sekretaris Kabinet (Seskab) Andi Widjajanto
mengatakan Presiden Joko Widodo telah memberikan pesan kepada Menkopolhukam
Tedjo Edhy Purdijanto untuk bisa lebih berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan.
"Arahan presiden ya kehati-hatian. Ngomongnya harus pelan-pelan," katanya, Selasa
(27/1).
Seperti diberitakan sebelumnya, Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdjiatno menyebut
KPK mengajak-ajak rakyat untuk mendukungnya atas polemik yang memanas antara
KPK-Polri pascapenangkapan dan penetapan tersangka Wakil Ketua KPK Bambang
Widjojanto oleh Bareskrim Polri. Bahkan Tedjo menuduh, bahwa rakyat yang datang
ke KPK untuk mendukung KPK adalah rakyat tidak jelas. "KPK berdiri sendiri dia.
Kuat dia. Konstitusi yang akan mendukung, bukan dukungan rakyat enggak jelas itu,"
ujarnya, 24 Januari lalu. Pernyataan Tedjo itu memicu reaksi negatif dari masyarakat.
Selain mengecam pernyataan tersebut, mereka juga mengolok-olok Tedjo di media
sosial. Bahkan LSM Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) melaporkan ke Bareskrim
Mabes Polri, Senin (26/1) siang karena menilai pernyataan Menkopolhukam telah
menghina rakyat Indonesia5
Berdasarkan kutipan diatas, klaim yang dipakai adalah penyataan yang pro terhadap
sanggahan, yaitu telah diberikan pesan untuk berhati-hati. Bukti yang diberikan adalah
pemanggilan oleh presiden dan evaluasi langung dengan presiden dan wapres. Karena menuai
reaksi negatif masyarakat yang besar, maka sanggahan tersebut tetap ditulis dengan tone
negatif, yaitu dengan mengulang-gulang cerita peristiwa mengenai pernyataan Tedjo rakyat ga
jelas.
Rini Mariani Soemarno sebagai Menteri BUMN. Untuk Rini Soemarno, tidak hanya
diawal pencalonannya yang dikritik karena mendapatkan rapor merah dari KPK, sejumlah
kinerjanya juga dinilai kontroversial dan mendapatkan tone negatif seperti Rini Soemarno jual
BUMN, Rini Soemarno larang Jilbab. Kedua tone negatif tersebut, akhirnya di anulir Rini
dengan berbagai macam argumentasi. Akibat dari anulir tersebut, muncul idiom test the water.
Idiom tersebut ditujukan kepada sikap yang tidak konsisten pemerintahan, yang gampang
membuat pernyataan tanpa melakukan riset terlebih dahulu. Bila ternyata lansung menuai
reaksi negatif, dengan mudahnya mengubah pernyataan dengan sanggahan pro terhadap
tindakan sebelumnya.
Anies Baswedan Sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah,
Anis Baswedan mendapat tone negatif tentang kontroversi kurikulum 2013, yang kemudian
merambat pada profil pribadi yang dinilai beraliran JIL atau Syiah. Hal tersebut terjadi, di selahttp://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/01/27/nitl34-sebut-rakyat-tidak-jelas-ini-pesanpresiden-jokowi-untuk-menteri-tedjo

5

sela kontroversi dicabutnya kurikulum 2013 dan kembali ke KTSP 2006, Anies sempat
membuat pernyataan untuk mengatur tata cara berdoa secara islam di sekolah. Pernyataan
tersebut mengundang kontroversi dan sempat membuat marah tokoh ulama termuka di
Indonesia.
Ignasius Jonan sebagai Menteri Perhubungan. Jonan mendapatkan tone negatif untuk
tiket murah dan penantian sikap tegas Jonan terhadap Lion Air. Pada awalnya, menteri Jonan
mendapatkan banyak dukungan dari masyarakat karena prestasinya sebagai direktur utama PT
KAI. Namun seiring berjalannya waktu, kebijakannya mengenai pembatasan tiket murah untuk
lebih peduli keselamatan penumpang mendapat tentang dari masyarakat Indonesia yang
memang hobi traveling dengan pesawat. Selain itu, baru-baru ini pesawat air asia melakukan
delay selama 17 jam, sehingga menelantarkan penumpang. Namun tidak ada penyataan tegas
Jonan untuk mengkritisi hal tersebut.

Kesimpulan
Untuk memperkuat branding dan reputasi pemerintahan memang tidak layak diukur
dari kinerja 100 hari. Namun 100 hari itu penting untuk melihat kinerja kedepan dari kabinet
kerja. Fenomena retorika argumentasi di sosial media saat ini menyentuh banyak hal,
terutama mengenai persoalan tatanan pemerintahan dan kekuasaan. Adanya fenomena fandom
menjadi pengalaman sehari-hari dalam percapakan di sosial media. Umumnya fandom
memiliki posisi sebagai komunikator biasanya hanya fokus pada diri dan idenya. Keriuhan
fandom dan warga sosial mengenai kabinet kerja yang telah disinggung diatas, menarik untuk
diangkat menjadi penelitian. Urgensinya untuk mempelajari karakter komunikator dalam
membangun pola argumentasi. Hal ini terinspirasi dari kritik Toulmin atas argumentasi logis
yang didasari pada perhitungan matematis, padahal argumentasi mengandung unsur
emansipasi yang bertujuan membentuk kemampuan menganalisis dan meningkatkan argumen
kita sendiri.

Daftar pustaka
Buku
Alwasilah, A. Chaedar. 2005. Pengantar Penelitian Linguistik Terapan. Jakarta: Pusat.
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Anderson, James A. 2012. Communication Yearbook 14, Issue 14. New York: Routledge

Arief, Furchan. 2004. Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bugin, Burhan. 2002. Sosiologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosidakarya
Denzin, N., & Lincoln, Y. (Eds.). 2011. Handbook of qualitative research (4th ed.).
Thousand Oaks, CA: Sage.
Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta:
Salemba Humanika.
Littlejohn, S. 2000. Theories of Human Communication. Belmont, CA: Wadsworth
Merriam, S. 2009. Qualitative research: A guide to design and implementation. San
Francisco, CA: Jossey-Bass.
Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial lainnya. Bandung : PT Remaja Rosidakarya
Nancy V. 2001. Perspektif Argument. Edisi Ketiga. Upper Saddle River, New Jersey:
Prentice Hall.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Remaja Rosda
Karya.
Sumanto. Lio. 1995. Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan. Yogyakarta : Andi
Offset.
Tjaya, Thomas Hidya. 2004. Humanisme dan Skolatisisme, Sebuah Debat. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius
Toulmin, Stephen. 2003. The Uses of Argument, rev. ed. Cambridge Univ. Press
West, Darrell M. 2014. Air Wars: Television Advertising and Social Media in Election
Campaigns 1952-2012. London: Sage Publication Inc

Journal
Angen, MJ. 2000. Qualitative Health Research. Volume 10 Issue 3: Evaluating interpretive
inquiry, Reviewing the validity debate and opening the dialogue
Auer, Matthew Robert. 2011. Policy Studies Journal, Vol. 39, No. 4 : The Policy Sciences of
Social Media
Bruner, Michael dan Max Oelschlaeger. 1994. Environmental Ethics, Volume 16, Issue 4,
Winter: Rhetoric, Environmentalism, and Environmental Ethics

Crable, Richard E. 1990. Journal of Applied Communication Research, Volume 18, Issue 2:
Organizational rhetoric as the fourth great system, Theoretical, critical, and
pragmatic implications.
DiGrazia, Joseph, Karissa McKelvey, Johan Bollen, dan Fabio Rojas. 2013. Journal Social
Science Research Network: More Tweets, More Votes: Social Media as a
Quantitative Indicator of Political Behavior
Farrell, Thomas B. 1975. The Quarterly Journal of Speech: “ Knowledge, Consensus, and
Rhetorical Theory
Obar, Jonathan A dan Paul Zube. 2011. Journal Social Science Research Network: Advocacy
2.0, An Analysis of How Advocacy Groups in the United States Perceive and Use
Social Media as Tools for Facilitating Civic Engagement and Collective Action

Online
http://commfaculty.fullerton.edu/rgass/toulmin2.htm, diakses 6 Febuari 2015
http://grammar.about.com/od/tz/g/Toulminmodelterm.htm, diakses 6 November 2014
http://images.1233.tw/toulmin-model-paper/ diakses 6 November 2014
http://interactivemedia.bradley.edu/ell/toulminmodel.pdf, diakses 6 November 2014
http://interactivemedia.bradley.edu/ell/Toulmin.html, diakses 6 November 2014
http://oyvindihlen.files.wordpress.com/2013/07/preprint-external-organizational-rhetoric.pdf,
diakses 6 November 2014
http://plato.stanford.edu/entries/aristotle-rhetoric/, diakses 6 November 2014
http://web.cn.edu/kwheeler/documents/toulmin.pdf, diakses 6 November 2014
http://writing.colostate.edu/references/reading/toulmin/, diakses 6 November 2014
http://writing2.richmond.edu/writing/wweb/toulminexercise.html, diakses 6 Febuari 2015
http://www.accaglobal.com/content/dam/acca/global/PDF-technical/financial-reporting/polafb-iusip.pdf, diakses 6 Febuari 2015
http://www.cwrl.utexas.edu/~ailise/306/resources/stallonetoulmin.html, diakses 6
November 2014
http://www.ifrs.com/Backgrounder_Get_Ready.html, diakses 6 Febuari 2015
http://www.navigatingaccounting.com/exercise/exercises-critical-thinking-using-toulminmodel, diakses 6 Febuari 2015
http://www.qualres.org/HomeInte-3516.html, diakses 16 febuari 2015
http://www-rohan.sdsu.edu/~digger/305/toulmin_model.htm, diakses 6 Nov 2014