RESENSI BUKU 014

BELIANA PALESTINA KEMUHAMMADIYAHAN RESENSI BUKU

  Judul : KH. AHMAD DAHLAN Penulis : Abdul Rosyad Shiddiq Tanggal Terbit : Oktober 2009 Penerbit : PT. CITA PUTRA BANGSA Tebal Halaman : 39 Halaman

BAB I (AHMAD DAHLAN)

  Ahmad Dahlan lahir di kampung Kauman Yogyakarta pada tahun 1868. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar seorang ulama yang menjadi imam dan khatib di Masjid Besar Yogyakarta. Nama asli pemberian orang tuanya ialah Mohammad Darwis, tetapi kemudian ia lebih dikenal dengan “Ahmad Dahlan”. Nama ini adalah pemberian gurunya di Makkah Sayid Bakn Syatha, sewaktu ia menunaikan ibadah haji yang pertama pada tahun 1890. Ahmad Dahlan adalah anak keempat dari tujuh bersaudara, lima perempuan dan dua laki-laki. Pada skhir tahun 1889, Ahmad Dahlan menikah dengan seorang wanita yang bernama Siti Walidah binti Kyai H, Fadhil. Dan dari perkawinannya ini ia dikaruniai enam orang anak.

BAB II (AHMAD DAHLAN MENUNTUT ILMU)

  Ahmad Dahlan yang waktu itu masih bernama Mohammad Darwis belajar Al- Quran kepada ayahnya dan juga kepada guru-guru ngaji di sekitarnya. Karena ketekunan dan kecerdasan otaknya, pada usia 8 tahun ia sudah sanggup menghatam Al-Quran dengan bacaan yang baik, benar, dan lancar. Selain terkenal cerdas ia juga memiliki keahlian atau ketereampilan membuat barang-barang mainan seperti laying-layang, gangsing, dan lain- lain. Seiring dengan perjalanan waktu, Ahmad Dahlan tumbuh menjadi seorang remaja. Ia pun mulai mempelajari ilmu-ilmu agama ke tingkat yang lebih lanjut. Ia belajar ilmu fiqih kepada KH. Muhammad Saleh dan belajar ilmu nahwu serta sharaf kepada KH. Muhsin. Pada awal tahun 1890, beberapa bulan setelah melangsungkan pernikahan dengan Siti Walidah, Ahmad Dahlan berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Kesempatan yang sangat baik tersebut ia gunakan untuk menimba ilmu pengetahuan kepada sejumlah ulama yang ada di Mekah. Misalnya saja, ia belajar ilmu hadis kepada KH. Mahfuz asal Termos Jombang Jawa Timur dan Syekh Khayat, ulama setempat, ia juga belajar ilmu qira’ah kepada Syekh Amien dan Sayid Bakri Syatha serta belajar illmu falaq (astronomi) kepada KH. Dahlan asal semarang, bahkan ia juga sempat belajar ilmu mengatasi racun hewan berbisa kepada Syeikh Hasan.

BAB III (MENGGANTIKAN SANG AYAH)

  Sepulang dari tanah suci dengan nama Ahmad Dahlan ikut membantu ayahnya mengajar murid-murid yang masih anak-anak dan remaja. Karena keahliannya menguasai ilmu-ilmu agama Islam dan mengajarkannya kepada orang lain, maka oleh masyarakat ia dipanggil “Kyai”. Pada tahun 1896 ayah Ahmad Dahlan , KH. Abu Bakar meninggal dunia. Berdasarkan adat turun temurun, apabila ada seorang Ketib Amin meninggal dunia maka jabatannya diwarisi oleh puteranya. Dan sebagai putera tertua maka Ahmad Dahlan lah yang menggantikan jabatan ayahnya. Ahmad Dahlan adalah orang yang sangat menghargai waktu. Ahmad Dahlan benar-benar memanfaatkan waktunya sebaik mungkin, selain dipergunakan untuk I’tikaf dan membaca buku pengetahuan agama, ia juga membuka pengajian kecil. Mula-mula muridnya terbatas, namun lama-lama terus bertambah, dan kebanyakan terdiri dari orang-orang terpelajar. Dalam kesempatan yang baik inilah Ahamd Dahlan menyampaikan kepada mereka pemikiran-pemikirannya mengenai pembaharuan kehidupan beragama yang waktu itu belum ada di Indonesia. Ia melihat umat Islam di negerinya sebagian besar masih dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan yang bersifat takhayul dan khufarat dalam menjalankan ibadah. Ia ingin agar mereka hanya berpedoman pada Al-Quran dan Hadis sebagai sumber utama Islam. Misalnya saja tentang masalah kiblat shalat di masjid besar Yogyakarta. Menurutnya, arah kiblat yang benar ia lah condong ke utara atau ke barat memperbaiki mushola milik keluarga sendiri, dan mengubah kiblat shalatnya kea rah yang benar. Rupanya yang dilakukan Ahmad Dahlan membuat gempar umat Islam Yogyakarta dan sekitrnya, mereka merasa keberatan. Kemudian atas perinta Kyai Kholil Kamaludiningrat, malam itu juga musholanya dibongkar secara paksa.

BAB IV (KE TANAH SUCI LAGI)

  Pertentangan antara Ahmad Dahlan dengan para pejabat agama sangat tidak terelakkan. Maka untuk menghindari akibat-akibat yang tidak baik, pihak keratin sengaja membiayai Ahmad Dahlan untuk pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kali. Kesempatan ini pun dipergunakan Ahmad Dahlan untuk memperdalam ilmu yang dimilikinya dan juga menambah pengalaman. Ia memperdalam ilmu fiqih, ilmu hadis, dan bidang qiraat. Disamping itu Ahmad Dahlan juga sering mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para ulama asal Indonesia yang sudah lama tinggal di tanah suci Mekah. Setelha 2 tahun tinggal di Mekah untuk menunaikan ibadah haji, akhirnya Ahmad Dahlan kembali ke tanah air.

BAB V (MENDIRIKAN PESANTREN)

  Sepulang dari tanah suci Ahmad Dahlan mendirikan pesantren, sebagai tempat untuk menampung para murid atau santri yang ingin belajar ilmu- ilmu agam Islam seperti tauhid, fiqih, nahwu, sharaf, qiraah, dan lain-lain. Pada mulanya pesantren yang didirikan Ahmad Dahlan ini hanya memiliki beberapa santri saja. Tetapi selanjutnya pesantren ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Santrinya pun dari berbagai daerah. Bersamaan dengan itu kesibukan Ahmad Dahlan pun semakin meningkat. Ia sering dipanggil ke daerah-daerah untuk memberikan pengajian atau ceramah-ceramah keagamaan.

  

BAB VI

(AHMAD DAHLAN DAN PERKUMPULAN BUDI UTOMO) Selain mengasuh pesantren, menjabat Ketib Amin, menjadi mubaligh keliling, berdagang batik ke daerah-daerah, dan sejumlah kesibukan lain, Ahmad Dahlan juga aktif dalam bebrapa perkumpulan, terutama perkumpulan “Budi Utomo”. Karena hampir selalu hadir dalam setiap pertemuan yang diadakan, maka tahun 1090 Ahmad Dahlan diterima sebagai anggotanya. Bahkan selanjutnya ia diangkat sebagai pengurus perkumpulan “Budi Utomo” Cabang Yogyakarta. Diperkumpulan ini, Ahmad Dahlan menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam kepada mereka. Berkat kemampuannya banyak pengurus yang tertarik. Kemudian atas bantuan R. Budihardjo dan R. Sugondo, Ahmad Dahalan diterima mengajar di Kweek-School Jetis, sebuah sekolah guru milik pemerintah. Selain itu ia juga mengajar di OSVIA, sebuah sekolah Pamong Praja di Magelang. Dengan masuk perkumpulan “Budi Utomo”, Ahmad Dahlan merasa memperoleh banyak pengetahuan serta pengalaman, terutama tentang bagaimana mendirikan dan mengelola sekolah dengan baik. Dan itu merupakan hal yang sangat penting untuk mewujudkan cita-citanya mengadakan pembaharuan agam Islam di Indonesia.

BAB VII (MENDIRIKAN SEKOLAH)

  Dengan modal pengetahuan yang diperoleh melalui perkumpulan “Budi Utomo”, Ahmad Dahlan lalu bermaksud untuk mendorokan lembaga sekolah. Namun sekolah yang akan dorontis olehnya adalah sekolah yang belum pernah ada di Indonesia. Yakni sekolah yang selain mengajarkan agama Islam sekaligus juga mempelajari pengetahuan umum. Ia berharap para siswanya kelak bisa tumbuh menjadi orang yang berakhlak mulia dan bertakwa kepada Allah, sekaligus juga terampil dan siap menghadapi perubahan zaman yang akan terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tidak mudah bagi Ahmad Dahlan untuk mewujudkan cita-citanya. Banyak yang acuh, bahkan ada yang terang-terangan menentangnya, karena dianggap menyalahi kebiasaan yang berlaku dalam agama Islam. Sejak pertama dibuka sekolah Ahmad Dahlan hanya memilik 8 siswa. Mereka adalah para santri yang masih setia. Tempat belajar yang dipergunakan juga hanya berukuran 2,5 x 6 m. Bangkunya terbuat dari papan bekas dan papan tulisnya terbuat dari kayu aren hasil buatannya sendiri. Ahmad Dahlan tidak putus asa menghadapi sikap masyarakat yang tidak setuju pada sekolah yang didirikannya. Atas usahanya dalam waktu 6 bulan jumlah siswanya bertambah menjadi 20. Walaupun terus mendapatn tantangan dari masyarakat, namun sekolah yang dirintis Ahmad Dahlan ini semakin maju, mengingat jumlah siswanya yang semakin bertambah. Akhirnya pada tanggal 1 Desember 1911 sekolah yang dirintis oleh Ahmad Dahlan diresmikan dan diberi nama “Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah”. Sekolah ini juga terkenal dengan sebutan Sekolah “Kyai”.

BAB VIII (AHMAD DAHLAN PENDIRI MUHAMMADIYAH)

  Demi menjaga kelestarian sekolah yang telah ia dirikan, banyak yang menganjurkan supaya dibentuk perserikatan yang akan menanganinya di masa mendatang. Maka pada tanggal 18 November 1912 di kota Yogyakarta berdirilah perserikatan “Muhammadiyah”. Lahirnya perserikatan ini adalah berdasarkan musyawarah yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan dan sahabat- sahabatnya. Pemberian nama “Muhammadiyah” adalah atas usul Muhammad Sangidu, seorang penghulu Keraton yang merupakan kerabat Ahamd Dahlan. Dengan nama yang diambil dari nama Nabi Muhammad SAWA ini, diharapkan agar para pengikutnya dapat patuh mengikuti jejak beliau. Sejak kelahirannya, “Muhammadiyah” bertujuan untuk mengadakan perubahan serta oembaharuan agama Islam di Indonesia yang meliputi :

  1. Memurnikan ibadah kepada Allah

  2. Memberantas hal-hal yang bersifat takhayul dan khufarat dalam mengesakan Allah

  3. Beramal dan beribadah

  4. Tidak asal ikut (taklid) kepada alim ulama

  5. Membasmi acara-acara penebusan dosa dan pengiriman pahala kepada orang yang telah meninggal dunia

  6. Membasmi acara pemakaman jenazah dengan pesta-pesta besar. KH. Ahmad Dahlan wafat pada tanggal 23 Februari 1923. Namun jasa dan dharma baktinya terus dirasakan, terutama oleh umat Islam di negeri ini.

  “Jangan mencari hidup dan Salah satu pesan KH. Ahmad Dahlan adalah penghidupan dalam “Muhammadiyah”, tetapi hendaklah “Muhammadiyah” selalu dipimpin dan dihidupkan”.