Analisis hubungan dinamis suku bunga SBI, IHSG, dan suku bunga internasional dengan model vector autoregressive

ANALISIS HUBUNGAN DINAMIS SUKU BUNGA SBI, IHSG, DAN
SUKU BUNGA INTERNASIONAL DENGAN MODEL
VECTOR AUTOREGRESSIVE

KARINA DIANINGSARI

DEPARTEMEN STATISTIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

PENDAHULUAN

internasional
secara
simultan
menggunakan model VAR.

dengan


Latar Belakang
Tujuan
Data deret waktu (time series) adalah
pengamatan yang ditata menurut urutan
waktu. Dalam banyak kasus data deret waktu
dapat ditemukan pola-pola yang ada pada
data. Pola-pola yang sama dapat saja terjadi
berulang pada data deret waktu karena kondisi
saat ini terkait dengan kondisi pada periode
sebelumnya. Dengan memanfaatkan data
historis, dapat dibangun model yang dapat
merepresentasikan pola data tersebut dan
menggunakannya untuk meramalkan nilai
yang akan datang.
Pemodelan dan peramalan data deret
waktu dapat dilakukan secara bersamaan
(simultan) karena pergerakan data-data deret
waktu dapat terjadi bersamaan atau mengikuti
pergerakan data deret waktu lainnya. Dengan
memasukkan peubah deret waktu yang lain

dalam model untuk meramal pergerakan deret
waktu tertentu dapat meningkatkan ketepatan
peramalan.
Salah satu model peramalan untuk data
deret waktu yang dapat digunakan adalah
model Vector Autoregressive (VAR). Model
ini digunakan untuk menyusun sistem
peramalan dari data deret waktu yang saling
terkait dan untuk menganalisis efek (impact)
dinamis dari keberadaan faktor acak yang
mengganggu sistem tersebut (Sartono dkk,
2006). Sims’s dalam Enders (1995)
menjelaskan bahwa VAR adalah suatu sistem
persamaan yang memperlihatkan setiap
peubah sebagai fungsi linear dari konstanta
dan nilai beda kala (lag) peubah tersebut serta
beda kala peubah lain dalam sistem, atau
dengan kata lain peubah penjelas dalam VAR
meliputi nilai beda kala semua peubah respon
dalam model.

Hubungan dinamis antara pergerakan
peubah-peubah ekonomi merupakan topik
yang menarik untuk dipelajari. Novita &
Nachrowi (2005) menganalisis hubungan
dinamis antara Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) dengan nilai tukar rupiah
terhadap
dollar
Amerika
dengan
menggunakan VAR. Pendekatan VAR juga
digunakan oleh Natassyari (2006) dalam
menganalisis hubungan antara pasar modal
dengan nilai tukar, cadangan devisa, dan
ekspor
bersih.
Kristiawardani
(2002)
menerapkan model VAR dalam menyusun
model ekonomi kecil Indonesia. Sedangkan

penelitian ini memodelkan dan meramalkan
suku bunga SBI, IHSG, dan suku bunga

Tujuan penelitian ini adalah:
1. Memodelkan dan meramalkan suku bunga
SBI, IHSG, dan suku bunga internasional
dengan menggunakan model VAR dan
ARIMA.
2. Menganalisis efek (impact) dinamis dari
keberadaan faktor acak dalam model
VAR.
3. Melakukan perbandingan hasil peramalan
antara model VAR dan ARIMA.

TINJAUAN PUSTAKA
Model ARIMA
Model Autoregressive Integrated Moving
Average (ARIMA) merupakan campuran
antara model regresi diri (Autoregressive, AR)
berordo p dengan model rataan bergerak

(Moving Average, MA) berordo q yang
mengalami pembedaan sebanyak d kali.
Persamaan umum model ARIMA (p, d, q)
adalah sebagai berikut (Wei, 1990):
φ p (B)(1 − B) d y t = µ + θ q (B)ε t ..................(1)
dimana µ merupakan konstanta,
φ p (B) = (1 - φ1 B − ... − φ p B p ) merupakan

polinomial karakteristik AR dan
θ q (B) = (1 - θ1 B − ... − θ q B ) merupakan
q

polinomial karakteristik MA.
Kestasioneran Data
Ide dasar kestasioneran adalah bahwa
proses
tersebut
mengikuti
kaidah
kemungkinan yang tidak berubah karena

waktu atau proses berada pada keseimbangan
secara statistik (Cryer, 1986).
Kestasioneran data deret waktu dapat
diperiksa dengan melihat plot deret waktu.
Plot deret waktu yang berfluktuasi dengan
ragam yang konstan disekitar rataan yang
konstan menunjukkan bahwa data deret waktu
tersebut stasioner. Sedangkan plot deret waktu
yang tidak berfluktuasi disekitar rataan yang
konstan atau tidak berfluktuasi dengan ragam
yang konstan mengindikasikan bahwa data
deret waktu tersebut tidak stasioner. Selain itu
plot korelasi diri (ACF) juga dapat
menunjukkan data deret waktu stasioner atau

tidak. Jika plot ACF dari data membentuk
pola cuts off (memotong garis) atau tails off
(turun secara eksponensial menuju nol)
dengan cepat, maka data tersebut diperkirakan
stasioner. Sedangkan jika plot ACF

membentuk pola tails off secara lambat, maka
data deret waktu tersebut diperkirakan tidak
stasioner (Bowerman & O’Connell, 1993).
Uji Augmented Dickey Fuller

dimana
rh = nilai korelasi diri pada beda kala ke-h
y t = nilai pengamatan pada waktu ke-t
T = banyaknya pengamatan deret waktu
h = beda kala yang diamati
t = 1, 2, 3, ..., T.
Sedangkan fungsi korelasi diri parsial contoh
( φ hh ) diperoleh melalui persamaan sebagai
berikut:
h −1

Kestasioneran data dapat diuji dengan uji
Augmented Dickey Fuller melalui model
pembedaan sebagai berikut (Eviews, 2002):


φ hh =

rh − ∑ φ h −1, j rh − j
j=1

h −1

1 − ∑ φ h −1, j r j
j=1

p

∆y t = µ + βy t −1 + ∑ δ i ∆y t −i + ε t …........…(2)

dimana

dimana

j=1,2,...,h-1.


i =1

µ

adalah

konstanta

dan

β = φ - 1 , φ adalah parameter AR(1).
Hipotesis yang diuji adalah:
H0 : β = 0 (data bersifat tidak stasioner)
H1 : β < 0 (data bersifat stasioner)
Nilai β diduga melalui metode kuadrat
terkecil dan pengujian dilakukan dengan uji t.
Statistik uji-nya yaitu:
t hit =

β̂

......................................................(3)
σ β̂

dengan β̂

= nilai dugaan β

σ β̂ = simpangan baku dari β̂

Jika nilai t hit < nilai kritis MacKinnon (α),
maka keputusan yang diambil adalah menolak
H0 yang berarti data bersifat stasioner.
(Eviews, 2002).
Korelasi Diri (Autocorrelation) dan
Korelasi Diri Parsial
(Partial Autocorrelation)
Fungsi korelasi diri (Autocorrelation
Function, ACF) dan fungsi korelasi diri
parsial (Partial Autocorrelation Function,
PACF) merupakan alat yang digunakan untuk

menentukan spesifikasi atau identifikasi
model. Tahap identifikasi didasarkan pada
fungsi korelasi diri contoh ( rh ) dan fungsi
korelasi diri parsial contoh ( φ hh ) yang
diperoleh dari data yang ada. Fungsi korelasi
diri contoh ( rh ) diperoleh melalui persamaan
sebagai berikut (Cryer, 1986):
T−h

rh =

∑ (y t − y)(y t + h − y)

t =1

T

2
∑ (y t − y)

t =1

...........................(4)

..............................(5)

φ hj = φ h −1, j − φ hh φ h −1,h − j

untuk

Identifikasi Model ARIMA
Proses identifikasi model didasarkan pada
plot ACF dan PACF yang sangat berguna
dalam memprediksi ordo p dan q dalam
model. Ciri model AR(p) adalah adanya
perilaku cuts off (memotong garis) pada plot
PACF setelah beda kala ke-p dan perilaku
tails off (turun secara eksponensial menuju
nol) pada plot ACF. Sedangkan ciri model
MA(q) adalah adanya perilaku cuts off pada
plot ACF setelah beda kala ke-q dan perilaku
tails off pada plot PACF. Jika pada kedua plot
ACF dan PACF menunjukkan perilaku tails
off, hal ini menunjukkan ciri model
ARMA(p,q) (Bowerman & O’Connell, 1993).
Pendugaan Parameter Model ARIMA
Setelah identifikasi model, tahapan
berikutnya adalah
pendugaan parameter.
Terdapat beberapa metode pendugaan
parameter, antara lain: metode kuadrat
terkecil, metode momen, metode maximum
likelihood dan sebagainya.
Nilai dugaan parameter diuji dengan
statistik uji-t untuk mengetahui signifikan atau
tidaknya pengaruh parameter tersebut
terhadap model (Bowerman & O’Connell,
1993). Nilai dugaan parameter signifikan
apabila nilai peluang statistik t (nilai-p) lebih
kecil dari taraf nyata α.
Uji Diagnostik Model ARIMA
Uji Portmanteau digunakan untuk menguji
apakah model yang dimiliki sudah layak atau
belum. Hipotesis yang diuji adalah sebagai

berikut:
H0 : r1 = r2 = ... = rh = 0 (tidak ada
autokorelasi dalam sisaan sampai beda
kala ke-h)
H1 : ∃ ri ≠ 0 (ada autokorelasi dalam sisaan
sampai beda kala ke-h)
Jika H0 ditolak maka model tidak layak.
Statistik uji yang digunakan adalah statistik Q
(Cryer, 1986):
h r̂ 2
Q = T(T + 2) ∑ h ..................................(6)
h =1 T − h
dimana T = banyaknya sisaan
r̂h = autokorelasi antar sisaan
h = beda kala
Statistik Q mengikuti sebaran Chi-Square
dengan derajat bebas h-p-q, dimana p adalah
ordo Auto Regressive (AR) dan q adalah ordo
Moving Average (MA).

Model Vector Autoregressive
Model Vector Autoregressive (VAR)
merupakan suatu sistem persamaan dinamis
dimana pendugaan suatu peubah pada periode
tertentu tergantung pada pergerakan peubah
tersebut dan peubah-peubah lain yang terlibat
dalam
sistem
pada
periode-periode
sebelumnya (Enders, 1995).
Untuk suatu sistem sederhana dengan 2
peubah, model simultan yang dibentuk
(Enders, 1995) adalah sebagai berikut:
y t = b10 − b12 z t + γ11y t −1 + γ12 z t −1 + ε y t ….(7)
z t = b 20 − b 21 y t + γ 21 y t −1 + γ 22 z t −1 + ε z t …(8)

dengan asumsi: (a) y t dan z t stasioner; (b)
ε y t dan ε z t adalah galat dengan simpangan
baku σ y dan σ z ; dan (c) ε y t dan ε z t tidak
berkorelasi.
Persamaan (7) dan (8) memiliki struktur
timbal balik (feedback) karena y t dan z t
saling memberikan pengaruh satu sama lain.
Persamaan ini merupakan persamaan VAR
struktural. Dengan menggunakan aljabar
matriks, persamaan (7) dan (8) dapat
dituliskan sebagai berikut:
 1

b 21

b12   y t   b10   γ11
  =   + 
1   z t  b 20   γ 21

γ12   y t −1  ε y t 

+ 
γ 22   z t −1  ε z t 

atau
Bx t = Γ 0 + Γ1x t −1 + ε t ................................(9)

Perkalian (9) dengan B−1 akan diperoleh
model VAR dalam bentuk standar:
x t = A 0 + A1x t −1 + e t ................................(10)
dimana A 0 = B −1Γ 0

A1 = B−1Γ1
e t = B −1ε t
Secara umum model VAR dengan ordo-p
(VAR(p)) sebagai berikut (Enders, 1995):
x t = A 0 + A1 x t −1 + A 2 x t − 2 + ... + A p x t − p + e t ..(11)

t = 1, ..., T
dimana x t adalah vektor peubah endogen
berukuran nx1, A 0 adalah vektor intersep
berukuran nx1, A i adalah matriks parameter
berukuran nxn untuk setiap i=1, 2, ..., p dan
e t adalah vektor sisaan yang berukuran nx1.
Karena peubah-peubah endogen dalam
persamaan (11) hanya terdiri dari beda kala
semua peubah eksogen, kesimultanan bukan
suatu persoalan dan pendugaan Ordinary
Least Square (OLS) atau metode kuadrat
terkecil menghasilkan dugaan yang konsisten.
Pendugaan metode kuadrat terkecil menjadi
efisien karena seluruh persamaan memiliki
regresor yang identik (Eviews, 2002).
Peubah dalam vektor x t , misalkan
peubah y k, t (k=1,2,...,n), memiliki persamaan
parsial sebagai berikut:
y k, t = a k0 + a k1(1)y1,t −1 + a k2 (1)y2,t −1 + ... + a kn (1)
yn,t −1 + a k1(2)y1,t − 2 + a k2 (2)y2,t −2 + ... + a kn (2)
yn,t −2 + ... + a k1(p)y1,t −p + a k2 (p)y2,t −p + ... +
a kn (p)yn,t −p + ek,t .................................(12)

dimana a kj (i) adalah unsur baris ke-k dan
kolom ke-j dari matriks Ai, yang dapat
diartikan sebagai koefisien parameter peubah
ke-j (j=1, 2, ..., n) pada persamaan parsial
peubah ke-k (k=1, 2, ..., n) untuk beda kala
ke-i (i=1, 2, ..., p).
Hipotesis yang diuji dalam persamaan
model VAR:
H0 : a kj (i) = 0
H1 : a kj (i) ≠ 0
Nilai a kj (i) diduga melalui metode kuadrat
terkecil dan pengujiannya dilakukan dengan
uji t. Statistik uji-nya yaitu:
â kj (i)
t hit =
..............................................(13)
σ â kj (i)
Jika nilai | t hit | > t (db =T −s,α/2) , dimana T
adalah banyaknya pengamatan dan s adalah
banyaknya parameter yang diduga dalam satu
persamaan yaitu sebanyak 1+np, maka
keputusan yang diambil adalah menolak H0.

Penentuan Ordo VAR
Penentuan ordo atau panjang beda kala
yang optimal merupakan tahapan yang
penting dalam pemodelan VAR (Novita &
Nachrowi, 2005). Menurut Enders (1995),
kriteria uji alternatif untuk menentukan
panjang beda kala yang sesuai adalah dengan
menggunakan
statistik
AIC
(Akaike
Information Criterion) atau SBC (Schwartz
Bayesian Criterion).
AIC = Tlog | Σ | +2N .................................(14)
SBC = Tlog | Σ | + Nlog(T) ........................(15)
dimana
T
= banyaknya pengamatan yang
digunakan
| Σ | = determinan matriks ragam peragam
dari sisaan
= banyaknya parameter yang diduga
N
dalam seluruh persamaan
Jika setiap persamaan dalam n peubah VAR
mempunyai p beda kala dan sebuah intersep,
maka N =n2p+n.
Model yang baik adalah model yang
mampu memberikan tingkat residual (error)
yang paling kecil. Model dengan nilai AIC
atau SBC terkecil dipilih sebagai model
terbaik dengan beda kala yang cukup efisien.
Uji Kointegrasi
Konsep kointegrasi diperkenalkan oleh
Engle dan Granger (Enders, 1995). Untuk
mengembangkan idenya lebih lanjut, Granger
mendefinisikan konsep derajat integrasi dari
sebuah peubah atau suatu deret waktu. Jika
suatu deret waktu bisa dibuat mendekati
bentuk pola deret waktu yang stasioner setelah
mengalami pembedaan sebanyak d kali, maka
deret waktu tersebut dikatakan terintegrasi
dengan derajat d, atau I(d).
Peubah-peubah yang tidak stasioner yang
terintegrasi pada tingkat yang sama dapat
membentuk kombinasi linear yang bersifat
stasioner (SAS Institute, 2002).
Engle dan Granger (1987) mendefinisikan
kointegrasi sebagai berikut: komponen dari
vektor x t dikatakan terkointegrasi pada ordo
d, b, dinyatakan dengan x t ~ CI(d, b), jika
(i) seluruh komponen dari x t terintegrasi
pada ordo d
(ii) terdapat vektor β=( β1, β2, ..., βn) sehingga
kombinasi linier β x t terintegrasi pada
ordo (d-b) dimana b > 0.
Vektor β dinamakan vektor kointegrasi.

Adapun metode yang digunakan untuk
menguji adanya kointegrasi antara lain: Uji
Engle-Granger dan Uji Johansen.
Engle dan Granger (1987) melakukan
pengujian hipotesis nol bahwa tidak ada
kointegrasi antara gugus peubah yang
terintegrasi pada derajat 1 atau I(1). Engle dan
Granger melakukan pendugaan koefisien
hubungan antar peubah menggunakan metode
kuadrat terkecil, dan menerapkan uji
Augmented Dickey Fuller terhadap sisaan
yang dihasilkan untuk melihat apakah deret
tertentu merupakan proses yang stasioner atau
tidak. Penolakan hipotesis nol tentang
ketidakstasioneran dijadikan sebagai bukti
terjadinya kointegrasi.
Uji Johansen memodelkan deret-deret
yang ada dalam bentuk model VAR(p)
kemudian mencari matriks yang dapat
digunakan untuk menyusun kombinasi linear
antar deret, dan memeriksa apakah ada
kombinasi linear yang dapat membentuk deret
baru yang mengikuti proses stasioner.
Model pada persamaan (11) dapat
dituliskan sebagai:
p −1

∆x t = Πx t −1 + ∑ Γ i ∆x t −i + e t ..........................(16)
i =1

dimana
p

p

Π = ∑ A i − I,

Γi = − ∑ Ai

i =1

j= i +1

Adapun hipotesis yang diuji dalam uji
Johansen adalah:
H0 : rank( Π ) ≤ r
H1 : rank( Π ) > r
Statistik uji yang digunakan adalah:
n

λ trace (r) = −T ∑ ln(1 − λ̂ i ) .........................(17)
i = r +1

dimana
λ̂ i = akar ciri ke-i matriks Π

T = banyaknya pengamatan yang
digunakan
Jika nilai λ trace (r) > nilai kritis dalam Tabel
λ trace dimana keputusan yang diambil adalah
menolak H0, maka uji dilanjutkan untuk rank
= r+1 hingga diperoleh λ trace (r) < nilai kritis
λ trace dengan keputusan menerima H0, yang
artinya kointegrasi terjadi pada rank r.
Fungsi Respon Impuls
Bentuk model dinamik VAR yang
semakin rumit akan menyebabkan sulitnya
memberikan interpretasi terhadap setiap nilai
koefisien. Kerumitan tersebut dapat diatasi
dengan
“impuls
respon”.
Dengan

menggunakan fungsi respon impuls, pengaruh
dari adanya shock atau guncangan pada salah
satu peubah terhadap peubah lain yang ada
dalam VAR dapat diketahui.
Misalkan untuk model pada persamaan
(10) dengan panjang beda ordo p=1 dan
banyaknya peubah endogen n=2 (peubah y t
dan z t ), melalui proses iterasi dapat
dinyatakan dalam Vector Moving Average dan
diperoleh persamaan sebagai berikut (Enders,
1995):


x t = µ + ∑ φ i ε t −i .......................................(18)
i =0

 φ (i ) φ12 (i )
dimana φ i =  11

φ 21 (i ) φ 22 (i )

Koefisien φ i dapat digunakan untuk
membangkitkan pengaruh dari shock atau
guncangan peubah y t dan z t ( ε y t dan ε z t )
terhadap deret y t dan z t . Sebagai contoh,
koefisien φ12 (0) adalah pengaruh langsung
satu unit perubahan ε z t terhadap y t . Dengan
cara yang sama, elemen φ11 (1) dan φ12 (1)
adalah respon dari perubahan unit ε y t dan
ε z t pada y t +1 . Pada periode ke-n, efek ε z t

pada nilai y t + n adalah φ12 (n ) . Kemudian,
setelah n periode, jumlah kumulatif pengaruh
n

ε z t pada y t adalah ∑ φ12 (i ) .
i =0

Koefisien φ11 (i) , φ12 (i ) , φ 21 (i ) dan
φ 22 (i ) disebut sebagai fungsi respon impuls
yang menginformasikan pengaruh perubahan
guncangan suatu peubah terhadap peramalan
peubah lain (Enders, 1995). Pengaruh tersebut
dapat
dilihat
secara
visual
dengan
menggunakan
plot
antara
koefisien
φ jk (i) dengan i.
Dekomposisi Ragam
Dekomposisi
ragam
memisahkan
keragaman pada peubah endogen menjadi
komponen-komponen yang ada dalam sistem
VAR. Dekomposisi ragam ini dapat
memberikan informasi mengenai kontribusi
setiap sisaan ( ε i ) dalam mempengaruhi
besarnya nilai-nilai peubah dalam VAR
(Enders, 1995).
Misalkan ragam peramalan sisaan n
periode ke depan untuk y t adalah

2
2
2
σ 2y (n) = σ 2y [φ11
(0) + φ11
(1) + ... + φ 11
(n − 1)]

2
2
2
+ σ 2z [φ 12
(0) + φ 12
(1) + ... + φ 12
(n − 1)]
...................................................................(19)
Dekomposisi ragam sisaan n periode ke
depan terhadap proporsi masing-masing
guncangan dapat dilakukan. Proporsi σ 2y (n)

terhadap masing-masing guncangan ε y t dan
ε z t adalah
2
2
2
σ 2y [φ 11
(0) + φ 11
(1) + ... + φ 11
(n − 1)]

σ 2y (n )

dan
2
2
2
σ 2z [φ 12
(0) + φ 12
(1) + ... + φ 12
(n − 1)]
σ 2y (n )

..........(20)

..........( 21)

Uji Diagnostik Model VAR
Salah satu diagnostik terhadap sisaan yang
dapat dilakukan adalah memeriksa adanya
korelasi serial antar sisaan pada beberapa beda
kala (lag). Uji Portmanteau menghasilkan
statistik yang dapat digunakan untuk hal
tersebut, yaitu Statistik Q seperti pada
persamaan (6). Statistik Q untuk model VAR
mengikuti sebaran Chi-Square dengan derajat
bebas n2(h-p),
dimana n = banyaknya peubah dalam VAR
p = ordo VAR
h = beda kala (Eviews, 2002).
Sedangkan hipotesis yang diuji adalah:
H0 : tidak ada autokorelasi sisaan sampai beda
kala ke-h
H1 : terdapat autokorelasi sisaan sampai beda
kala ke-h
Jika nilai-p > α maka terima H0 atau tidak ada
komponen autokorelasi yang signifikan
hingga beda kala ke-h.
Evaluasi Peramalan
Evaluasi ketepatan peramalan dihitung
dengan menggunakan rataan persentase
kesalahan absolut (Mean Absolute Percentage
Error), disingkat MAPE dengan rumus:
100 n y t − ŷ t
MAPE =

........................(22)
n i =1 ŷ t
dengan y t adalah data aktual pada waktu ke-t
sedangkan ŷ t adalah data hasil peramalan
pada waktu ke-t. Nilai MAPE yang semakin
kecil menunjukkan data hasil peramalan
mendekati nilai aktual (Makridakis et al,
1983).

DATA DAN METODE
Apakah data stasioner dalam ragam ?
Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan data deret waktu suku bunga SBI,
IHSG, dan suku bunga internasional periode
Januari 1998 sampai dengan Mei 2006. Data
ini terbagi menjadi 2 bagian yaitu data amatan
(Januari 1998 sampai dengan Desember 2005)
dan data validasi (Januari 2006 sampai dengan
Mei 2006). Data diperoleh dari Statistik
Keuangan Ekonomi Indonesia (SEKI) Bank
Indonesia. Adapun peubah-peubah yang
diamati dalam penelitian ini antara lain:
1. Suku bunga SBI
= sbSBI
2. Indeks harga saham gabungan = IHSG
3. Suku bunga internasional
= sbInt

Ya

Tidak

Uji kestasioneran
rataan

Tidak
Stasioner

Pembedaan

Ya
Uji kointegrasi
(dilakukan jika data
tidak stasioner)

Pemilihan
Ordo

Metode

Tahap-tahap yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Eksplorasi data terhadap masing-masing
peubah.
b. Pemodelan dan peramalan dengan model
ARIMA dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Pemeriksaan kestasioneran data dengan
melihat plot data asal, plot ACF dan
PACF. Jika ditemukan perilaku tidak
stasioner dalam ragam maka dilakukan
transformasi dan jika ditemukan
perilaku tidak stasioner dalam rataan
maka
dilakukan
pembedaan
(differencing).
Secara
formal,
dilakukan uji Augmented Dickey Fuller
untuk memeriksa kestasioneran data
dalam rataan.
2. Identifikasi model melalui plot ACF
dan PACF untuk menentukan ordo p
dan q sehingga diperoleh kandidat
model.
3. Pendugaan parameter tiap kandidat
model melalui metode kuadrat terkecil.
4. Pemilihan model terbaik melalui
kriteria AIC.
5. Uji kelayakan model atau diagnostik
terhadap sisaan.
6. Peramalan.
c. Pemodelan dan peramalan dengan model
VAR.
Bagan
1 menggambarkan
alur
penyusunan model VAR. Adapun
langkah-langkah penyusunan model VAR
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan kestasioneran data dalam
ragam dan rataan.

Transformasi
logaritma

Johansen

Engle
Granger

Tdk ada
kointegrasi
r=0

VARD

VAR

r>0

Ada
kointegrasi

VECM

Interpretasi model
Uji kelayakan model: Portmanteau
Respon impuls
Peramalan
Bagan 1 Alur penyusunan model VAR
2. Pemilihan ordo model.
3. Apabila data stasioner dalam rataan
tanpa harus dilakukan pembedaan,
maka dapat langsung menggunakan
model VAR. Namun jika data tidak
stasioner dalam rataan maka dilakukan
uji Johansen dan Engle Granger untuk
memeriksa apakah ada kointegrasi
pada peubah-peubah tersebut. Pada uji
Johansen, jika rank kointegrasi sama
dengan nol maka model yang
digunakan adalah VAR dengan
pembedaan (VAR Differencing /
VARD) sampai ordo d. Jika rank

kointegrasi lebih besar dari nol maka
model yang digunakan adalah VECM
(Enders, 1995).
4. Analisis model VAR, VARD atau
VECM.
5. Interpretasi terhadap model.
6. Uji kelayakan model.
7. Pengkajian fungsi respon impuls dan
dekomposisi ragam
8. Peramalan.
d. Evaluasi peramalan dengan MAPE dan
membandingkan hasil peramalan antara
model ARIMA dengan model VAR.

terjadinya krisis moneter dan penetapan suku
bunga yang sangat tinggi sehingga
menyebabkan turunnya harga saham. Namun
seiring dengan pemulihan ekonomi, IHSG
terus meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan
plot deret waktu IHSG yang cenderung
meningkat pada Gambar 2.

Analisis
data
dilakukan
dengan
menggunakan Software Eviews Versi 4.1 dan
Microsoft Office Excel 2003.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Eksplorasi Data

Eksplorasi data dari masing-masing
peubah dilakukan untuk melihat pola data
secara umum. Gambar 1 menunjukkan pola
deret waktu peubah suku bunga SBI. Terjadi
peningkatan suku bunga SBI secara drastis
pada permulaan tahun 1998. Hal tersebut
dikarenakan terjadinya krisis moneter yang
melanda Indonesia. Pada saat krisis moneter,
Bank Indonesia menetapkan tingkat suku
bunga SBI hingga mencapai 70% yang terjadi
pada bulan Agustus 1998. Namun demikian,
tidak lama kemudian suku bunga SBI
berangsur turun pada akhir tahun 1998.
Tingkat suku bunga SBI cenderung turun dan
relatif stabil dibawah 18% mulai pertengahan
tahun 1999.

Gambar 2 Plot IHSG.
Peubah
suku
bunga
internasional
cenderung stabil dari bulan ke bulan sampai
Januari 2001. Namun setelah itu terjadi
penurunan suku bunga internasional hingga
penghujung tahun 2001. Pada tahun 2002
sampai dengan 2004 suku bunga internasional
cenderung stabil yaitu sekitar 4%. Kenaikan
tingkat suku bunga internasional terjadi pada
awal tahun 2005 hingga akhir tahun 2005.
Plot deret waktu suku bunga internasional
dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Plot suku bunga internasional.
Model ARIMA

Gambar 1 Plot suku bunga SBI.
Pada tahun 1998 IHSG mengalami
penurunan yang cukup tajam yaitu pada bulan
September 1998. Hal ini berkaitan dengan

Suku Bunga SBI
Langkah awal sebelum mengidentifikasi
model ARIMA data suku bunga SBI adalah
pemeriksaan kestasioneran data tersebut. Plot
deret waktu suku bunga SBI (Gambar 1)
menunjukkan pola yang tidak stasioner baik
dalam ragam maupun rataan. Untuk
menstasionerkan data dalam ragam maka

dilakukan transformasi logaritma. Plot ACF
dan PACF pada Lampiran 1 menunjukkan
ACF turun secara lambat menuju nol
sedangkan PACF nyata pada tiga beda kala
pertama. Berdasarkan keadaan tersebut dapat
disimpulkan bahwa data tersebut tidak
stasioner dalam rataan sehingga dibutuhkan
pembedaan agar diperoleh deret yang
stasioner. Setelah dilakukan pembedaan satu
kali terlihat bahwa data sudah stasioner
dimana plot ACF tidak lagi turun secara
lambat menuju nol (Lampiran 2).
Pemeriksaan kestasioneran data deret
waktu secara formal dilakukan dengan
menggunakan uji Augmented Dickey Fuller
(ADF). Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Terlihat bahwa peubah suku bunga SBI tidak
stasioner saat I(0) (data sebelum pembedaan)
karena nilai t-hitung > nilai kritis MacKinnon
pada α=5% yang menyatakan bahwa data
tidak stasioner. Sedangkan saat I(1) nilai thitung < nilai kritis MacKinnon, yang berarti
bahwa data telah stasioner.
Tabel 1 Uji Augmented Dickey Fuller
Peubah
I(0)
Nilai
I(1)
Nilai
t-hit
Kritis
t-hit
Kritis
sbSBI
IHSG
sbInt

-2,07
-1,69
-0,03

-3,46
-3,46
-3,46

-6,36
-7,95
-5,29

-3,46
-3,46
-3,46

Langkah
selanjutnya
adalah
mengidentifikasi
model-model
tentatif
berdasarkan plot ACF maupun PACF.
Beberapa alternatif model untuk suku bunga
SBI dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Alternatif model ARIMA untuk suku
bunga SBI
No. Model
Koefisien Nilai- AIC
p
ARIMA
1.

(1,1,0)

2.

(0,1,2)

3.

(1,1,2)

Konstanta
AR(1)
Konstanta
MA(1)
MA(2)
Konstanta
AR(1)
MA(1)
MA(2)

0,733
0,000
0,775
0,020
0,000
0,397
0,000
0,000
0,000

-3,28
-3,37

-3,77

Berdasarkan Tabel 2, ketiga model
tersebut signifikan dalam parameter pada
α=5% karena memiliki nilai peluang statistik t
(nilai-p) < α=5%. Namun dari ketiga model

tersebut, model yang terbaik adalah ARIMA
(1,1,0) karena tidak terdapat autokorelasi
sisaan pada model tersebut (Lampiran 3).
Model yang lain tidak layak karena
berdasarkan pengujian statistik Q terhadap
sisaan (Lampiran 4 dan 5) dengan penetapan
α sebesar 5%, terdapat autokorelasi dalam
sisaan model-model tersebut (nilai-p < α=5%).
IHSG
Plot IHSG pada Gambar 2 menunjukkan
pola data yang tidak stasioner dalam ragam
maupun rataan. Agar data stasioner dalam
ragam maka dilakukan transformasi logaritma.
Plot ACF data IHSG (Lampiran 6) terlihat
turun lambat menuju nol sehingga data tidak
stasioner dalam rataan. Untuk itu dilakukan
pembedaan 1 kali agar data menjadi stasioner.
Plot ACF setelah pembedaan 1 kali
menunjukkan ACF tidak lagi turun lambat
menuju nol (Lampiran 7). Ini menunjukkan
bahwa data sudah stasioner. Melalui uji ADF
pada Tabel 1 diperoleh hasil bahwa data IHSG
stasioner setelah dilakukan pembedaan 1 kali
dimana nilai t-hitung < nilai kritis MacKinnon
pada α=5%.
Alternatif model untuk IHSG dapat dilihat
pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 diperoleh
model yang terbaik yaitu model ARIMA
(2,1,0). Model yang lain tidak dipilih karena
model-model tersebut memiliki koefisien
parameter yang tidak signifikan pada α=5%
(nilai-p < α=5%).

Tabel 3 Alternatif model ARIMA untuk
IHSG
No. Model
Koefisien Nilai- AIC
p
ARIMA
1.
(2,1,0) Konstanta 0,381 -3,63
AR(1)
0,031
AR(2)
0,043
2.
(0,1,2) Konstanta 0,363 -5,86
MA(1)
0,061
MA(2)
0,277
3.
(2,1,2) Konstanta 0,301 -5,92
AR(1)
0,230
AR(2)
0,000
MA(1)
0,003
MA(2)
0,000
Pada pengujian statistik Q untuk model
ARIMA (2,1,0) (Lampiran 8) diperoleh hasil
seluruh nilai-p > α=5% yang artinya tidak
terdapat autokorelasi pada sisaan. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa model tersebut
layak.

Suku Bunga Internasional
Plot deret waktu data aktual suku bunga
internasional pada Gambar 3 menunjukkan
pola data yang tidak stasioner dalam ragam
maupun rataan. Sehingga data suku bunga
internasional juga ditransformasi dengan
transformasi logaritma. Pada Lampiran 9
terlihat bahwa plot ACF data awal turun
lambat menuju nol sehingga data tidak
stasioner dalam rataan. Untuk itu dilakukan
pembedaan 1 kali agar data menjadi stasioner.
Setelah pembedaan 1 kali, ACF tidak lagi
turun lambat menuju nol (Lampiran 10). Hal
tersebut didukung oleh hasil uji ADF pada
Tabel 1 yaitu data suku bunga internasional
stasioner setelah dilakukan pembedaan 1 kali
dimana nilai t-hitung < nilai kritis MacKinnon
pada α=5%.
Beberapa alternatif model untuk suku
bunga internasional seperti terlihat pada Tabel
4. Berdasarkan Tabel 4, kedua model
menunjukkan nilai koefisien parameter yang
signifikan pada α=5%.

Tabel 4 Alternatif model ARIMA untuk suku
bunga internasional
No. Model
Koefisien Nilai- AIC
p
ARIMA
1.

(1,1,0)

2.

(1,1,1)

Konstanta
AR(1)
Konstanta
AR(1)
MA(1)

0,857
0,000
0,985
0,000
0,001

-5,94
-5,97

Pada pengujian statistik Q untuk kedua
model tersebut (Lampiran 11 dan 12), seluruh
nilai-p > α=5% yang berarti tidak terdapat
autokorelasi pada sisaan. Dengan kata lain,
kedua model tersebut layak. Namun, untuk
model terbaik dipilih model ARIMA (1,1,1)
karena nilai AIC-nya lebih kecil dari nilai AIC
model ARIMA (1,1,0).

Tabel 5 Hasil perhitungan AIC dan SBC
Lag
AIC
SBC
-3,5061
0
-3,5930
-13,5118
1
-13,8591
-13,5296*
2
-14,1373*
-13,1275
3
-13,9957
-12,7226
4
-13,8512
-12,3880
5
-13,7770
-12,1097
6
-13,7592
-11,8404
7
-13,7503
-11,6592
8
-13,8296
-11,4140
9
-13,8448
-11,2509
10
-13,9421
-10,9430
11
-13,8947
-10,5998
12
-13,8120
* mengindikasikan ordo / beda kala yang dipilih oleh
kriteria informasi AIC dan SBC

Uji Kointegrasi
Karena data tidak stasioner dalam rataan
dan harus dilakukan pembedaan 1 kali
terhadap data maka perlu dilakukan uji
kointegrasi. Hasil uji ADF sisaan kombinasi
linier peubah suku bunga SBI, IHSG, dan
suku bunga internasional dapat dilihat pada
Tabel 6. Kombinasi linier diperoleh melalui
pendugaan metode kuadrat terkecil. Dari uji
ADF tersebut diperoleh statistik uji t > nilai
kritis MacKinnon pada α=5% sebesar -2,89,
sehingga sisaan tidak stasioner. Berdasarkan
kondisi tersebut maka tidak terdapat
kointegrasi antara deret suku bunga SBI,
IHSG, dan suku bunga internasional.

Tabel 6 Hasil uji ADF sisaan dari kombinasi
linier peubah suku bunga SBI, IHSG,
dan suku bunga internasional
Peubah
Peubah
statistik t
tak bebas
bebas
sisaan
sbSBI
IHSG, sbInt
-1,54
IHSG
sbSBI, sbInt
-0,97
sbInt
sbSBI, IHSG
-1,39

Model VAR
Penentuan Panjang Beda Kala atau Ordo
VAR
Berdasarkan nilai AIC dan SBC pada saat
p=2 diperoleh nilai AIC dan SBC terkecil
sehingga model VAR yang digunakan adalah
model VAR ordo ke-2 atau VAR dengan beda
kala 2. Hasil perhitungan AIC dan SBC
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Hasil uji Johansen pada Tabel 7
memberikan kesimpulan yang sama dengan
hasil metode Engle Granger pada Tabel 6.
Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa H0
diterima pada saat r=0, dimana nilai λ trace (r) <
nilai kritis λ trace . Sehingga dapat disimpulkan
tidak terdapat kointegrasi antara suku bunga
SBI, IHSG, dan suku bunga internasional.

Tabel 7 Uji Johansen untuk kointegrasi
H1
H0
Nilai Kritis
λ trace (r)
λ trace
rank = r rank > r
0
0
31,48
42,44
1
1
6,97
25,32
2
2
2,92
12,25
Pendugaan Model
Dari hasil uji kointegrasi disimpulkan
tidak terdapat kointegrasi antara suku bunga
SBI, IHSG, dan suku bunga internasional
pada α=0.05. Oleh karena itu, model yang
digunakan adalah model VAR dengan
pembedaan (VARD) sampai ordo d. Karena
ketiga peubah ekonomi tersebut stasioner
setelah dilakukan pembedaan 1 kali terhadap
data, maka model yang digunakan untuk
menjelaskan hubungan ketiga peubah tersebut
adalah model VAR pembedaan 1 kali.
Hasil pendugaan model tersebut dapat
dilihat pada Tabel 8. Untuk peubah endogen
d_sbSBI, peubah yang signifikan adalah
d_sbSBI, d_IHSG, dan d_sbInt satu bulan
sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa selisih
nilai antar waktu suku bunga SBI dipengaruhi
oleh selisih nilai antar waktu suku bunga SBI,
IHSG, dan suku bunga internasional satu
bulan sebelumnya. Secara umum, hubungan
antara d_sbSBI dengan d_IHSG adalah
negatif, karena nilai koefisiennya yang
negatif. Artinya jika selisih nilai antar waktu
IHSG meningkat maka selisih nilai antar
waktu suku bunga SBI cenderung turun.
Selisih nilai antar waktu IHSG dua bulan
sebelumnya memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap selisih nilai antar waktu
IHSG. Sedangkan untuk peubah d_sbInt,

peubah yang berpengaruh hanyalah d_sbInt
satu bulan sebelumnya. Artinya selisih nilai
antar waktu suku bunga internasional
dipengaruhi oleh selisih antar waktu suku
bunga internasional satu bulan sebelumnya.
Hasil
pendugaan
yang
diperoleh
cenderung tidak konsisten dengan teori
ekonomi yang ada. Dari hasil pendugaan
diperoleh
bahwa
peubah
d_IHSG
mempengaruhi d_sbSBI, bukan sebaliknya.
Ketika tingkat suku bunga tinggi, investor
akan cenderung memilih penempatan dananya
tidak pada saham. Dengan demikian, tingkat
suku bunga yang tinggi akan diikuti dengan
penurunan harga saham. Sunariyah (2004)
menjelaskan bahwa meningkatnya tingkat
bunga akan meningkatkan harga kapital
sehingga memperbesar biaya perusahaan dan
terjadi perpindahan investasi dari saham ke
deposito atau fixed investasi lainnya. Apabila
faktor-faktor lain dianggap tetap (cateris
paribus) profitabilitas perusahaan akan
menurun sehingga disimpulkan tingkat bunga
yang tinggi adalah signal negatif bagi harga
saham.
Hasil pendugaan d_sbSBI menunjukkan
bahwa d_sbSBI dipengaruhi oleh d_sbInt.
Hasil ini mendukung pernyataan Rowter
(2006) yaitu salah satu faktor yang harus
dipertimbangkan BI dalam menurunkan atau
menaikkan suku bunga adalah perkembangan
suku bunga internasional.
Diagnostik Model
Pemeriksaan terhadap sisaan dilakukan
dengan menggunakan uji Portmanteau

Tabel 8 Hasil Pendugaan Model VARD
D_sbSBI
D_ IHSG
D_sbSBI (-1)
0,283726*
-0,174434
[ 3,71906]
[-1,91312]
D_sbSBI (-2)
0,116432
-0,007295
[ 1,56768]
[-0,08219]
D_ IHSG (-1)
-0,230218*
0,210602*
[-2,62527]
[ 2,00944]
D_ IHSG (-2)
-0,000761
-0,271090*
[-0,00840]
[-2,50509]
D_ sbInt (-1)
0,655035*
0,079658
[ 2,30812]
[ 0,23486]
D_ sbInt (-2)
-0,280356
0,040903
[-0,97897]
[ 0,11951]
-0,003691
0,003439
Konstanta
[-1,08662]
[ 0,84710]
* signifikan pada taraf α=0,025

D_ sbInt
0,006153
[ 0,21534]
0,006972
[ 0,25068]
0,056851
[ 1,73107]
0,044466
[ 1,31129]
0,444137*
[ 4,17882]
0,194689
[ 1,81528]
-0,000454
[-0,35695]

(Lampiran 13). Uji sisaan tersebut
menunjukkan bahwa sampai lag ke-12 tidak
ada komponen autokorelasi yang signifikan
pada α=5% (nilai-p > α=5%). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa model tersebut layak.
Fungsi Respon Impuls
Fungsi respon impuls dari seluruh peubah
suku bunga SBI, IHSG, dan suku bunga
internasional selama 10 periode dapat dilihat
pada Lampiran 14, 15 dan 16. Misalkan shock
atau guncangan suku bunga SBI pada periode
ke-t dinotasikan dengan ε sbSBI(t) , guncangan

IHSG pada periode ke-t dengan

ε IHSG(t) , dan

guncangan suku bunga internasional pada
periode ke-t dengan ε sbInt(t) .
Gambar 4(a) menunjukkan bahwa efek
guncangan ε sbSBI(1) sebesar 1 unit akan
menyebabkan kenaikan 1 unit nilai suku
bunga SBI pada periode ke-1. Hingga periode
ke-n, sistem menuju kestabilan dimana
guncangan ε sbSBI(1) sebesar 1 unit akan
menyebabkan nilai peubah suku bunga SBI
konvergen menuju nol. Pada Gambar 4(b),
guncangan ε IHSG(1) sebesar 1 unit pada suku
bunga SBI pengaruhnya hanya terasa pada
periode ke-2 dan periode
ke-3, yaitu
dengan penurunan nilai suku bunga SBI
sebesar 0,23 dan 0,08 unit. Pada Gambar

4(c), pengaruh guncangan

ε sbInt(1) sebesar 1

unit menyebabkan kenaikan nilai suku bunga
SBI hingga mencapai 0,66 unit pada
periode ke-2. Namun nilai kenaikannya
cenderung turun mendekati nol untuk periode
selanjutnya.
Gambar 5 memperlihatkan reaksi IHSG
dalam 10 periode terhadap perubahan
guncangan IHSG itu sendiri. Dapat dilihat
bahwa guncangan ε IHSG(1) sebesar 1 unit
menyebabkan kenaikan nilai IHSG sebesar 1
unit pada periode ke-1. Guncangan ε IHSG(1)
sebesar 1 unit membuat kenaikan nilai IHSG
sebesar 0,2 unit pada periode ke-2 . Terlihat
bahwa terjadi penurunan kenaikan nilai pada
IHSG dari periode ke-1 ke periode ke-2 akibat
guncangan yang ditimbulkannya. Untuk
periode selanjutnya guncangan ε IHSG(1) tidak
berpengaruh terhadap IHSG itu sendiri.
Respon suku bunga internasional terhadap
guncangannya sendiri dapat dilihat pada
Gambar 6. Pada periode ke-1, guncangan
ε sbInt(1) menyebabkan kenaikan nilai suku
bunga internasional sebesar 1 unit. Pada
periode
selanjutnya,
guncangannya
menyebabkan kenaikan nilai suku bunga
internasional yang cenderung turun. Grafik
respon impuls selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 17.

: SK
: aktual

: SK
: aktual

4(a)

4(b)
: SK
: aktual

4(c)
Gambar 4 Respon suku bunga SBI terhadap guncangan suku bunga SBI 4(a), IHSG 4(b), dan
suku bunga internasional 4(c).

: SK
: aktual

Gambar 5 Respon IHSG terhadap guncangan
IHSG.

Dekomposisi Ragam
Pada Lampiran 18 terlihat bahwa terhadap
peramalan suku bunga SBI, yang dominan
adalah suku bunga SBI itu sendiri dimana
kontribusinya sekitar 86% hingga 10 periode
ke depan. Peramalan suku bunga SBI 10 tahun
ke depan sedikit memperoleh kontribusi dari
IHSG dan suku bunga internasional.
Untuk peramalan IHSG, kontribusi yang
dominan berasal dari IHSG sendiri dimana
kontribusinya mencapai 94% hingga 10
periode ke depan. Suku bunga SBI
memberikan kontribusi sekitar 6% terhadap
peramalan IHSG 10 periode ke depan
(Lampiran 19).
Begitu pula halnya dengan suku bunga
internasional dimana peramalannya selama 10
periode ke depan didominasi oleh peubahnya
sendiri. Peramalan suku bunga internasional
hanya mendapatkan sedikit kontribusi dari
suku bunga SBI dan IHSG (Lampiran 20).
Grafik dekomposisi ragam untuk seluruh
peubah dapat dilihat pada Lampiran 21.
Hasil Peramalan Model ARIMA dan VAR

Hasil peramalan suku bunga SBI, IHSG,
dan suku bunga internasional dengan
menggunakan model ARIMA dan VAR dapat
dilihat pada Tabel 9 dan Gambar 7. Hasil
peramalan model ARIMA menunjukkan
bahwa suku bunga SBI dan IHSG relatif stabil
dari Januari 2006 sampai dengan Mei 2006.
Sedangkan
peramalan
suku
bunga
internasional
menunjukkan
terjadinya
kenaikan suku bunga internasional periode
Januari 2006 hingga Mei 2006. Evaluasi
peramalan untuk peubah suku bunga SBI dan
suku bunga internasional menghasilkan nilai
MAPE yang relatif kecil yaitu sebesar 1,18
dan 1,85. Ini menunjukkan bahwa model
ARIMA tersebut efektif digunakan untuk
peramalan suku bunga SBI dan suku bunga
internasional. Sedangkan evaluasi peramalan

: SK
: aktual

Gambar 6 Respon suku bunga internasional
terhadap guncangan suku bunga
internasional.
untuk peubah IHSG menghasilkan nilai
MAPE yang relatif lebih besar yaitu sebesar
7,16.
Hasil
peramalan
model
VAR
menunjukkan bahwa suku bunga SBI dan
IHSG relatif stabil dari Januari 2006 sampai
dengan Mei 2006. Berbeda dengan suku
bunga SBI dan IHSG, peramalan suku bunga
internasional
menunjukkan
terjadinya
penurunan suku bunga internasional periode
Januari 2006 hingga Mei 2006. Evaluasi
peramalan untuk peubah suku bunga SBI
menghasilkan nilai MAPE yang relatif kecil
yaitu sebesar 1,37. Ini menunjukkan bahwa
model VAR tersebut efektif digunakan untuk
peramalan suku bunga SBI. Sedangkan
evaluasi peramalan untuk peubah IHSG dan
suku bunga internasional menghasilkan nilai
MAPE yang relatif lebih besar yaitu sebesar
14,29 dan 10,68. Nilai MAPE tersebut
menunjukkan bahwa penyimpangan nilai
ramalan terhadap nilai aktual relatif besar. Hal
ini diperjelas melalui gambar 7(b) dan 7(c),
dimana hasil peramalan IHSG dan suku bunga
internasional dangan menggunakan model
VAR menyimpang agak jauh terhadap nilai
aktualnya.
Perbandingan hasil peramalan model
ARIMA dengan model VAR dilakukan
dengan membandingkan hasil MAPE setiap
model untuk masing-masing peubah. Untuk
suku bunga SBI, nilai MAPE hasil peramalan
dengan model ARIMA adalah 1,18 sedangkan
pada model VAR sebesar 1,37. Pada kasus ini,
terlihat bahwa nilai MAPE antara kedua
model tersebut relatif tidak jauh berbeda.
Sedangkan nilai MAPE hasil peramalan
model ARIMA dengan model VAR untuk
peubah IHSG berbeda relatif besar. Nilai
MAPE hasil peramalan model VAR adalah
sebesar 14,29, lebih besar dibandingkan
model ARIMA yaitu sebesar 7,16. Begitu pula
dengan peubah suku bunga internasional,

Tabel 9 Hasil peramalan model ARIMA dan VAR 5 periode ke depan
Periode
Suku Bunga SBI
Aktual
Peramalan ARIMA
Peramalan VAR
Jan-06
0,1275
0,129
0,1278
Feb-06
0,1274
0,1291
0,1285
Mar-06
0,1273
0,1287
0,1282
Apr-06
0,1274
0,128
0,1287
Mei-06
0,125
0,1273
0,1299
MAPE
1,18
1,37
Periode
Jan-06
Feb-06
Mar-06
Apr-06
Mei-06

Aktual
1229,7
1216,14
1322,97
1464,4
1330
MAPE

Periode
Jan-06
Feb-06
Mar-06
Apr-06
Mei-06

Aktual
0,075
0,075
0,075
0,0775
0,0775
MAPE

IHSG
Peramalan ARIMA
1218,25
1206,66
1201,91
1213,16
1226,74
7,16

Peramalan VAR
1113,63
1130,76
1133,73
1118,47
1103,2
14,29

Suku Bunga Internasional
Peramalan ARIMA
Peramalan VAR
0,0743
0,07
0,0759
0,069
0,0773
0,067
0,0785
0,067
0,0796
0,066
1,85
10,68

dimana nilai MAPE hasil peramalan model
VAR sebesar 10,68 jauh lebih besar
dibandingkan
MAPE
hasil peramalan
model ARIMA yaitu sebesar 1,85. Secara
ringkas, perbandingan hasil peramalan antara
model ARIMA dan VAR untuk masingmasing peubah yang diamati dapat dilihat
pada Tabel 10.
Tabel 10 Perbandingan hasil model yang
terbaik
untuk
masing-masing
peubah
Model
Peubah
ARIMA
VAR
sbSBI


IHSG

X
sbInt

X
Memasukkan peubah suku bunga SBI dan
suku bunga internasional dalam meramal
pergerakan IHSG ternyata tidak meningkatkan
ketepatan
peramalan IHSG. Sebaliknya,
melakukan
peramalan
IHSG
tanpa

memasukkan
informasi
peubah
lain
memberikan hasil yang lebih akurat.
Sehingga untuk peramalan IHSG, peramalan
dengan menggunakan ARIMA lebih akurat
bila
dibandingkan
peramalan
dengan
menggunakan model VAR. Begitu pula
halnya dengan peramalan suku bunga
internasional, memasukkan informasi suku
bunga SBI dan IHSG dalam peramalan suku
bunga internasional tidak meningkatkan
ketepatan
peramalan
suku
bunga
internasional sehingga peramalan dengan
menggunakan ARIMA memberikan hasil
yang lebih akurat dibandingkan peramalan
dengan menggunakan model VAR. Hal ini
mungkin dikarenakan peubah-peubah lain
yang dimasukkan dalam peramalan IHSG
maupun suku bunga internasional kurang tepat
dalam meramal pergerakan IHSG maupun
suku bunga internasional.

Suku Bunga SBI

IHSG

0,8

1600

0,7

1400

0,6

1200

0,5

1000

0,4

800

0,3

600

0,2

400

0,1

200

0

0

1

7

13

19

25

31

Aktual

37

43

49

55

61

67

peramalan ARIMA

73

79

85

91

97

1

7

13

19

peramalan VAR

25

31

Aktual

37

43

49

55

peramalan ARIMA

7(a)

61

67

73

79

85

91

97

peramalan VAR

7(b)
Suku Bunga Internasional
0,1
0,09
0,08
0,07
0,06
0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
0
1

7

13

19

25

31

Aktual

37

43

49

55

peramalan ARIMA

61

67

73

79

85

91

97

peramalan VAR

7(c)
Gambar 7 Peramalan suku bunga SBI, IHSG, dan suku bunga internasional 5 periode ke depan
(Januari 2006 sd Mei 2006).

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan

Analisis
VAR
digunakan
untuk
mengetahui hubungan dinamik antara peubah
suku bunga SBI, IHSG, dan suku bunga
internasional serta menjelaskan pengaruh dari
satu peubah baik terhadap peubah itu sendiri
maupun terhadap peubah lain. Model yang
digunakan untuk menjelaskan hubungan
antara peubah suku bunga SBI, IHSG, dan
suku bunga internasional adalah model VAR
pembedaan 1 kali.
Dengan menggunakan fungsi respon
impuls, pengaruh dari adanya guncangan pada
salah satu peubah terhadap peubah lain yang
ada dalam VAR dapat diketahui. Informasi
mengenai tingkat kepentingan atau kontribusi
setiap sisaan ( ε t ) dalam mempengaruhi
besarnya nilai-nilai peubah dalam VAR dapat
diperoleh dengan melakukan dekomposisi
ragam.
Dengan menggunakan model VAR, dapat
diperoleh peramalan jangka pendek dari
peubah suku bunga SBI, IHSG, dan suku
bunga internasional. Evaluasi peramalan
untuk peubah suku bunga SBI menghasilkan
nilai MAPE yang kecil yaitu sebesar 1,37. Ini

menunjukkan bahwa model VAR yang
diperoleh efektif dalam meramalkan suku
bunga SBI.
Untuk kasus peubah IHSG dan suku bunga
internasional, peramalan secara individual
(dengan menggunakan model ARIMA) lebih
akurat dibandingkan dengan peramalan yang
dilakukan secara bersamaan atau peramalan
dengan melibatkan peubah lain (dengan
menggunakan model VAR). Hal ini mungin
dikarenakan peubah-peubah lain yang
dimasukkan dalam peramalan IHSG maupun
suku bunga internasional kurang tepat dalam
meramal pergerakan IHSG maupun suku
bunga internasional.
Saran

Hasil pemodelan VAR menunjukkan
bahwa IHSG hanya dipengaruhi oleh beda
kala (lag) peubahnya sendiri. Hal ini mungkin
disebabkan terlalu lebarnya selang waktu yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu dalam
selang waktu bulanan. Penulis menyarankan
untuk mengkaji kembali hubungan antara
suku bunga SBI, IHSG, dan suku bunga
internasional dalam selang waktu yang lebih
pendek misalnya dalam harian atau mingguan.
Tidak signifikannya pengaruh suku bunga
SBI dan suku bunga internasional terhadap

IHSG secara statistik mungkin disebabkan
karena IHSG ditentukan oleh faktor-faktor
lain yang lebih berperan seperti nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika dan tingkat
inflasi.
Untuk
penelitian
selanjutnya
disarankan untuk menambah jumlah peubah
yang mempengaruhi harga saham seperti nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan
tingkat inflasi sehingga hasil yang didapat
dapat lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Bowerman BL, RT O'Connell. 1993.
Forecasting and Time Series: An Applied
Approach. 3rd edition. Boston: Duxbury
Press.
Cryer JD. 1986. Time Series Analysis. Boston:
Duxbury Press.
Enders W. 1995. Applied Econometric Time
Series. New York: Wiley and Sons, Inc.
Engle RF, CWJ Granger. 1987. CoIntegration
and
Error
Correction:
Representation, Estimation and Testing.
Econometrica 55: 251-276.
Eviews. 2002. Eviews User’s Guide 4.0.
United States of America: Quantitative
Micro Software, LLC.
Kristiawardani K. 2002. Model Ekonomi
Indonesia dengan Metode VAR. Skripsi.
Bogor: Fakultas Matematika dan IPA.
Institut Pertanian Bogor.
Makridakis S, SC Wheelwright, VE McGee.
1983.
Forecasting:
Methods
and
Applications. 2nd edition. New York: John
Wiley & Sons.
Natassyari M. 2006. Analisis Hubungan
antara Pasar Modal dengan Nilai Tukar,
Cadangan Devisa, dan Ekspor Bersih.
Skripsi. Bogor: Fakultas Ekonomi dan
Manajemen . Institut Pertanian Bogor.
Novita M, ND Nachrowi. 2005. Dynamic
Analysis of the Stock Price Index and the
Exchange
Rate
Using
Vector
Autoregression (VAR): An Empirical
Study of the Jakarta Stock Exchange,
2001-2004. Economics and Finance in
Indonesia. LPEM 53 (3): 263-278.

Rowter K. Tantangan Berat Turunkan Suku
bunga dalam Investor. No. 148 Tahun
VIII, 6 – 27 Juni 2006. Jakarta: PT Media
Investor Indonesia.
Sartono B, dkk. 2006. Modul Kuliah
Pelatihan Time Series Analysis. Kerjasama
BI, LPPM, dan Departemen Statistika
Institut Pertanian Bogor.
SAS Institute Inc. 2002. SAS User’s Guide.
Version 9. Cary, NC, USA: SAS Institute
Inc.
Sunariyah. 2004. Pengantar Pengetahuan
Pasar Modal. Edisi keempat. Yogyakarta:
UPP AMP YKPN.
Wei, WWS. 1990. Time Series Analysis:
Univariate and Multivariate Methods.
Canada: Addison Wesley Publishing
Company.

LAMPIRAN

Lampiran 1 Plot ACF dan PACF data awal logaritma suku bunga SBI

Lampiran 2 Plot ACF dan PACF logaritma suku bunga SBI setelah 1 kali pembedaan

Lampiran 3 Plot autokorelasi sisaan model suku bunga SBI untuk ARIMA (1,1,0)

Lampiran 4 Plot autokorelasi sisaan suku bunga SBI untuk model ARIMA (0,1,2)

Lampiran 5 Plot autokorelasi sisaan suku bunga SBI untuk model ARIMA (1,1,2)

Lampiran 6 Plot ACF dan PACF data awal logaritma IHSG

Lampiran 7 Plot ACF dan PACF logaritma IHSG setelah 1 kali pembedaan

Lampiran 8 Plot autokorelasi sisaan IHSG untuk model ARIMA (2,1,0)

Lampiran 9 Plot ACF dan PACF data awal logaritma suku bunga internasional

Lampiran 10 Plot ACF dan PACF logaritma suku bunga internasional setelah 1 kali pembedaan

Lampiran 11 Plot autokorelasi sisaan suku bunga internasional untuk model ARIMA (1,1,0)

Lampiran 12 Plot autokorelasi sisaan suku bunga internasional untuk model ARIMA (1,1,1)

Lampiran 13 Pemeriksaan kebebasan sisaan menggunakan Uji Portmanteau
VAR Residual Portmanteau Tests for Autocorrelations
H0: no residual autocorrelations up to lag h
Date: 11/20/06 Time: 20:17
Sample: 1998:01 2005:12
Included observations: 93
Lags

Q-Stat

Prob,

Adj Q-Stat

Prob,

df

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

2,857053
4,262833
7,270450
14,10569
20,09484
34,37208
43,79400
57,66991
68,02561
75,59570
82,03465
87,49919

NA*
NA*
0,6090
0,7222
0,8268
0,5461
0,5230
0,3412
0,3102
0,3631
0,4470
0,5550

2,888108
4,324784
7,432655
14,57509
20,90454
36,16642
46,35523
61,53711
73,00236
81,48450
88,78721
95,06131

NA*
NA*
0,5922
0,6909
0,7907
0,4609
0,4162
0,2244
0,1823
0,2081
0,2594
0,3373

NA*
NA*
9
18
27
36
45
54
63
72
81
90

*The test is valid only for lags larger than the VAR lag order.
df is degrees of freedom for (approximate) chi-square distribution

Lampiran 14 Respon impuls suku bunga SBI
Periode
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

sbSBI
1,000000
(0,00000)
0,283726
(0,07629)
0,241120
(0,07518)
0,122277
(0,05355)
0,061059
(0,04385)
0,030388
(0,02910)
0,016879
(0,01914)
0,009337
(0,01279)
0,004468
(0,00867)
0,001920
(0,00602)

IHSG
0,000000
(0,00000)
-0,230218
(0,08769)
-0,077325
(0,09606)
0,029650
(0,05824)
0,022109
(0,03353)
0,003889
(0,02406)
0,002834
(0,01836)
0,007103
(0,01349)
0,006933
(0,01042)
0,004696
(0,00803)

sbInt
0,000000
(0,00000)
0,655035
(0,28380)
0,178082
(0,25995)
0,269442
(0,22375)
0,166035
(0,20366)
0,134888
(0,16249)
0,096235
(0,12795)
0,071925
(0,09963)
0,052746
(0,07660)
0,038581
(0,05832)

Lampiran 15 Respon impuls IHSG
Periode
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

sbSBI
0,000000
(0,00000)
-0,174434
(0,09118)
-0,093033
(0,08322)
-0,016061
(0,04671)
-0,001802
(0,01974)
-0,008341
(0,00967)
-0,007539
(0,00780)
-0,002854
(0,00459)
-0,000608
(0,00276)
-0,000451
(0,00150)

IHSG
1,000000
(0,00000)
0,210602
(0,10481)
-0,182051
(0,10723)
-0,071545
(0,06823)
0,036438
(0,04729)
0,026574
(0,02989)
-0,002789
(0,01478)
-0,006350
(0,01100)
-0,000294
(0,00620)
0,001478
(0,00507)

sbInt
0,000000
(0,00000)
0,079658
(0,33918)
-0,021203
(0,28449)
-0,011832
(0,20621)
-0,006967
(0,10721)
-0,002099
(0,07601)
-0,003640
(0,06450)
-0,003760
(0,05070)
-0,002755
(0,03577)
-0,001837
(0,02518)

Lampiran 16 Respon impuls suku bunga internasional
Periode
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

sbSBI
0,000000
(0,00000)