Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Suku Bunga SBI Sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter Dan Variabel Makroekonomi Indonesia

(1)

MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER MELALUI

SUKU BUNGA SBI SEBAGAI SASARAN OPERASIONAL

KEBIJAKAN MONETER DAN VARIABEL

MAKROEKONOMI INDONESIA

TESIS

Oleh

FATKHUR ROHIM

087018046/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011

S

EK O L

A

H

P A

S C

A S A R JA N


(2)

MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER MELALUI

SUKU BUNGA SBI SEBAGAI SASARAN OPERASIONAL

KEBIJAKAN MONETER DAN VARIABEL

MAKROEKONOMI INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

FATKHUR ROHIM

087018046/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

Judul Tesis : MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN

MONETER MELALUI SUKU BUNGA SBI

SEBAGAI SASARAN OPERASIONAL KEBIJAKAN MONETER DAN VARIABEL MAKROEKONOMI INDONESIA

Nama Mahasiswa : Fatkhur Rohim

Nomor Pokok : 087018046

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Joni Manurung, M.S) (Wahyu Ario Pratomo, SE., M.Ec)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 9 Februari 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Joni Manurung, M.S

Anggota : 1. Wahyu Ario Pratomo, SE., M.Ec

2. Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec 3. Dr. Rahmanta, M.Si


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul: “Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Suku Bunga SBI Sebagai Sasaran

Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia”.

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan oleh siapapun juga sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan, Februari 2011 Yang membuat pernyataan,

Fatkhur Rohim NIM. 087018046


(6)

MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER MELALUI SUKU BUNGA SBI SEBAGAI SASARAN OPERASIONAL KEBIJAKAN

MONETER DAN VARIABEL MAKROEKONOMI INDONESIA

Fatkhur Rohim, Dr. Joni Manurung, M.S dan Wahyu Ario Pratomo, SE., M.Ec

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh secara simultan jumlah uang beredar, kurs dan tingkat bunga SBI terhadap PDB. Untuk menganalisis pengaruh secara simultan suku bunga SBI, harga barang impor dan PDB terhadap Indeks Harga Konsumen (IHK). Analisis data menggunakan metode

Two-stage-least-square (2SLS) atau regresi simultan dengan dua tahap. Data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk time series dimulai tahun 1984 sampai tahun 2008.

Hasil analisis menyimpulkan bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter Indonesia melalui suku bunga SBI dapat dilihat dari persamaan PDB dan persamaan IHK. Di mana SBI memiliki pengaruh negatif terhadap indeks harga konsumen, sedangkan indeks harga konsumen juga memiliki pengaruh yang negatif terhadap PDB. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kebijakan moneter dengan variabel SBI, Kurs dan jumlah uang beredar berinteraksi dengan variabel makroekonomi seperti PDB harga barang impor dan indeks harga konsumen. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil estimasi persamaan PDB dapat menunjukkan variabel nilai tukar (Kurs), Jumlah Uang Beredar (JUB), dan Indeks Harga Konsumen (IHK) mampu menjelaskan variasi Product Domestic Bruto (PDB) sebesar 65,7 persen. Sedangkan hasil estimasi persamaan IHK menyatakan tingkat bunga SBI indeks harga impor dan dan PDB mampu menjelaskan variasi Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 61,2 persen.

Kata Kunci: PDB, Tingkat Bunga SBI, Indeks Harga Impor, Indeks Harga Konsumen (IHK), Kurs, Jumlah Uang Beredar.


(7)

THE MECHANISM OF TRANSMITION MONETARY POLICY IN INDONESIA THROUGH BI RATE AS TO OPERATIONAL MONETARY POLICY AND

MACROECONOMIC VARIABLE INDONESIA

Fatkhur Rohim, Dr. Joni Manurung, M.S and Wahyu Ario Pratomo, SE., M.Ec

ABSTRACT

This research will be destination for analyze an influential in a manner of simultant sum money circle, kurs and BI rate level to GDP, for analyze influential in a manner of simultant BI rate, index price import and GDP to consumer price index, analyze data used Two-stage-least-square methode (2SLS) or simultant regretion in two steps. It used to at research are secondary data in form time series at start since 1984 as far as 2008.

Analyze result indication that mechanism of transmition monetary policy in Indonesia through BI rate can looking at GDP’s equation and consumer price index

equation. BI rate have negative influential to consumer price index, and then consumer price index have too influential negative to GDP. It’s result indication that

monetary policy with BI rate variable, kurs and sum of money circle interaction with macroeconomics as GDP, index price import and consumer price index. It’s

statement support by estimation result GDP’s equation can show exchange rate

variable (kurs), sum of money circle, and consumer price index could explain GDPs

variation as big as 65,7 percent. While of estimation result consumer price index’s

equation explain BI rate degree, index price import and GDP can explain consumer price index as big as 61,2 percent.

Keywords: GDP, BI Rate Degree, Index Price Import, Consumer Price Index, Kurs, Sum of Money Circle.


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan hikmat dan hidayah kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul

“Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Suku Bunga SBI Sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia”, sebagai tugas akhir pada Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan bantuan selama proses penyelesaian tesis ini. Secara khusus, penulis haturkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Jonni Manurung, MS, sebagai Pembimbing I, dan Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Si sebagai Pembimbing II, yang banyak memberikan arahan, bimbingan dan dorongan pemikiran hingga tesis ini dapat selesai.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh staf pengajar dan pegawai, khususnya pada Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan pengajaran dan bimbingan selama proses perkuliahan hingga penulis mampu menyelesaikan studi ini.


(9)

3. Bapak Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec, selaku Ketua Program Magister

Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang dengan arif dan bijaksana dapat mengarahkan kami sehingga mampu menyelesaikan pendidikan pada Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara angkatan 16 yang telah sama-sama berjuang dengan penulis, dalam menyelesaikan studi dan telah memberikan banyak bantuan dan dukungan yang luar biasa.

5. Kedua orang tuaku dan Ibunda, Kakak, Abang, serta seluruh keluarga besarku yang ada di Medan dan Rantau Prapat yang selama ini turut memberikan dorongan moril dan materil hingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar nantinya dapat menjadi lebih baik dan sempurna. Akhirnya penulis memohon agar Tuhan memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dan semua pihak yang telah memberikan bantuannya selama ini.

Medan, Februari 2011 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Fatkhur Rohim

Tempat dan Tanggal Lahir : P. Siantar/10 Juli 1979 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Kawin Nama Orang Tua

Ayah : H.M. Thohir Anwar (Alm)

Ibu : Hj. Maryam

Alamat Rumah : Jl. Marendal Gg. Roso Komplek Marendal Mas Kecamatan Patumbak - Medan

Pendidikan

1. Tahun 1985-1991 : SDN 127970, P. Siantar 2. Tahun 1991-1994 : SMPN 7, P. Siantar 3. Tahun 1994-1997 : SMUN 3, P. Siantar

4. Tahun 1997-2004 : FKIP UMN (Al-Wasliyah) FMIPA Matematika 5. Tahun 2008-2011 : Program Studi Ekonomi Pembangunan


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 12

1.3. Tujuan Penelitian ... 12

1.4. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Kebijakan Moneter ... 13

2.2. Inflation Targeting Framework (ITF) ... 14

2.3. Indikator dan Respon Kebijakan Moneter ... 18

2.4. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ... 21

2.5. Inflasi ... 26

2.6. Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia ... 30

2.7. Nilai Tukar Mata Uang ... 31

2.8. Produk Domestik Bruto ... 34

2.9. Penelitian Terdahulu ... 38

2.10. Kerangka Pemikiran ... 42


(12)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 44

3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 44

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 44

3.3. Model dan Identifikasi Model ... 45

3.4. Identifikasi Simultanitas ... 47

3.5. Metode Analisis ... 50

3.6. Uji Kesesuaian (Test Goodness of Fit)... 50

3.7. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 51

3.8. Definisi Operasional... 53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55

4.1. Perkembangan Makroekonomi Indonesia ... 55

4.2. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ... 61

4.3. Perkembangan Indeks Harga Konsumen dan Indeks Harga Impor . 72 4.4. Perkembangan Jumlah Uang Beredar dan Produk Domestik Bruto 75 4.5. Perkembangan Tingkat Bunga SBI ... 78

4.6. Perkembangan Nilai Tukar ... 81

4.7. Hasil Analisis dan Pembahasan ... 82

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

5.1. Kesimpulan ... 91

5.2. Saran ... 92


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1. Sasaran Inflasi dan Realisasinya... 3

1.2. Perkembangan Inflasi Januari 2004 s/d Oktober 2008... 8

3.1. Uji Identifikasi Persamaan... 49

4.1. Perkembangan Indeks Harga Konsumen (IHK) dan Indeks Harga Impor (IHI), 1984-2008………... 73

4.2. Perkembangan Jumlah Uang Beredar (JUB) dan Produk Domestik Bruto (PDB), 1984-2008... 75

4.3. Perkembangan Tingkat Bunga SBI, 1984-2008... 79

4.4. Perkembangan Kurs, 1984-2008………. 81

4.5. Uji Normalitas Residual PDB dan IHK……….. 83

4.6. Uji Multikolinieritas……… 84


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1. Perkembangan Inflasi Januari 2007 s/d Oktober 2008 ... 3

1.1. Keseimbangan Steady-State Model Klasik... 28

1.2. Kerangka Pemikiran... 42

4.1. Perkembangan Indeks Harga Konsumen (IHK) dan Indeks Harga Impor (IHI), 1984-2008... 74

4.2. Perkembangan Jumlah Uang Beredar, 1984-2008... 76

4.3. Perkembangan Tingkat Bunga SBI, 1984-2008... 80


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Tabel Uji Normalitas Residual PDB dan IHK... 96

2. Tabel Uji Multikolinearitas………. 96

3. Data Observasi... 97

4. Data... 98

5. Output Estimasi Model……… 99

6. OLS PDB... 100


(16)

MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER MELALUI SUKU BUNGA SBI SEBAGAI SASARAN OPERASIONAL KEBIJAKAN

MONETER DAN VARIABEL MAKROEKONOMI INDONESIA

Fatkhur Rohim, Dr. Joni Manurung, M.S dan Wahyu Ario Pratomo, SE., M.Ec

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh secara simultan jumlah uang beredar, kurs dan tingkat bunga SBI terhadap PDB. Untuk menganalisis pengaruh secara simultan suku bunga SBI, harga barang impor dan PDB terhadap Indeks Harga Konsumen (IHK). Analisis data menggunakan metode

Two-stage-least-square (2SLS) atau regresi simultan dengan dua tahap. Data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk time series dimulai tahun 1984 sampai tahun 2008.

Hasil analisis menyimpulkan bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter Indonesia melalui suku bunga SBI dapat dilihat dari persamaan PDB dan persamaan IHK. Di mana SBI memiliki pengaruh negatif terhadap indeks harga konsumen, sedangkan indeks harga konsumen juga memiliki pengaruh yang negatif terhadap PDB. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kebijakan moneter dengan variabel SBI, Kurs dan jumlah uang beredar berinteraksi dengan variabel makroekonomi seperti PDB harga barang impor dan indeks harga konsumen. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil estimasi persamaan PDB dapat menunjukkan variabel nilai tukar (Kurs), Jumlah Uang Beredar (JUB), dan Indeks Harga Konsumen (IHK) mampu menjelaskan variasi Product Domestic Bruto (PDB) sebesar 65,7 persen. Sedangkan hasil estimasi persamaan IHK menyatakan tingkat bunga SBI indeks harga impor dan dan PDB mampu menjelaskan variasi Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 61,2 persen.

Kata Kunci: PDB, Tingkat Bunga SBI, Indeks Harga Impor, Indeks Harga Konsumen (IHK), Kurs, Jumlah Uang Beredar.


(17)

THE MECHANISM OF TRANSMITION MONETARY POLICY IN INDONESIA THROUGH BI RATE AS TO OPERATIONAL MONETARY POLICY AND

MACROECONOMIC VARIABLE INDONESIA

Fatkhur Rohim, Dr. Joni Manurung, M.S and Wahyu Ario Pratomo, SE., M.Ec

ABSTRACT

This research will be destination for analyze an influential in a manner of simultant sum money circle, kurs and BI rate level to GDP, for analyze influential in a manner of simultant BI rate, index price import and GDP to consumer price index, analyze data used Two-stage-least-square methode (2SLS) or simultant regretion in two steps. It used to at research are secondary data in form time series at start since 1984 as far as 2008.

Analyze result indication that mechanism of transmition monetary policy in Indonesia through BI rate can looking at GDP’s equation and consumer price index

equation. BI rate have negative influential to consumer price index, and then consumer price index have too influential negative to GDP. It’s result indication that

monetary policy with BI rate variable, kurs and sum of money circle interaction with macroeconomics as GDP, index price import and consumer price index. It’s

statement support by estimation result GDP’s equation can show exchange rate

variable (kurs), sum of money circle, and consumer price index could explain GDPs

variation as big as 65,7 percent. While of estimation result consumer price index’s

equation explain BI rate degree, index price import and GDP can explain consumer price index as big as 61,2 percent.

Keywords: GDP, BI Rate Degree, Index Price Import, Consumer Price Index, Kurs, Sum of Money Circle.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI) sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 pada Pasal 7 menyatakan bahwa Indonesia telah menganut kebijakan moneter dengan tujuan tunggal yakni mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Stabilitas nilai rupiah terhadap barang dan jasa dapat tercermin pada perkembangan laju inflasi dan stabilitas nilai rupiah terhadap mata uang negara lain tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah. Kebijakan moneter dengan tujuan stabilisasi nilai rupiah mulai diterapkan sejak tahun 2000. Tujuan tunggal kebijakan moneter BI tersebut terangkum dalam kerangka strategis penargetan inflasi (inflation targeting). Penargetan inflasi adalah sebuah kerangka kerja untuk kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada masyarakat tentang angka target inflasi dalam satu periode tertentu (Warjiyo dkk, 2003: 113).

Hera Susanti, M. Ikhsan dan Widyanti (1995) menyatakan bahwa inflasi yang tinggi akan dapat menyebabkan memburuknya distribusi pendapatan yang artinya juga menambah angka kemiskinan, mengurangi tabungan domestik yang merupakan sumber investasi negara berkembang, menyebabkan defisit neraca perdagangan, menggelembungkan besaran utang luar negeri serta menimbulkan ketidakstabilan politik. Mengingat begitu krusialnya pembahasan mengenai inflasi ini, maka tidak


(19)

heran kalau BI menetapkannya sebagai tujuan dalam pelaksanaan kebijakan moneternya.

Untuk kasus Indonesia, berdasarkan hasil studi penyebab inflasi yang dilakukan oleh beberapa orang ekonom Indonesia, ada dua penyebab utama inflasi, yaitu imported inflation dan defisit APBN (Hera S., M. Ikhsan dan Widyanti, 2000: 53-54). Selanjutnya, diterangkan bahwa berdasarkan hasil penelitian LPEM tahun 1995, terungkap bahwa imported inflation merupakan faktor utama penyebab inflasi di Indonesia dari sisi penawaran, yaitu sekitar 51% dari variasi inflasi. Depresiasi nilai tukar juga akan menyebabkan kenaikan harga secara langsung (pass-through) walaupun memerlukan lag waktu 1-2 kuartal. Harga pangan merupakan variabel dominan kedua penyumbang inflasi dari sisi penawaran. Sedangkan output gap merupakan variabel yang ketiga. Sedangkan dari sisi permintaan, penyebab inflasi berkaitan dengan anggaran, ekspansi kredit program dan distribusi kredit.

Penargetan inflasi secara eksplisit menyatakan bahwa tujuan akhir kebijakan moneter adalah mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Berkaitan dengan tujuan penargetan inflasi, yaitu untuk mencapai laju inflasi yang rendah dan stabil dalam jangka panjang, maka pemerintah dan BI menetapkan bahwa sasaran inflasi jangka menengah dan panjang yang ingin dicapai adalah sebesar 3%. Untuk mencapai keinginan tersebut, Pemerintah dan BI menetapkan sasaran inflasi jangka pendek yang harus dicapai setiap tahun. Sasaran inflasi yang pernah ditetapkan serta realisasinya setiap tahun dapat ditunjukkan pada tabel berikut:


(20)

Tabel 1.1. Sasaran Inflasi dan Realisasinya

Tahun Sasaran Tingkat

Inflasi Pencapaian Sasaran Inflasi 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 3,0-5,0% 4,0-6,0% 9,0-10,0% 8,0-10,0% 6,0-8,0% 5,0-7,0% 4,5-6,5% 4,0-6,0% 7,0-9,0% 5,0-7,0% 9,4% 12,5% 10,0% 5,2% 6,4% 17,1% 6,6% 6,6% 6,6% 6,6% Tidak tercapai Tidak tercapai Tercapai Tidak tercapai Tercapai Tidak tercapai Tercapai Sumber: Bank Indonesia

Pada tahun 2005 tingkat inflasi yang terjadi jauh berbeda dari perkiraan yang telah ditetapkan. Tingkat inflasi yang tinggi pada tahun 2005 tersebut terjadi sebagai akibat dari kenaikan harga minyak dunia. Harga minyak dunia yang mengalami kenaikan mengakibatkan inflasi naik secara tajam dan kenaikan tersebut tidak dapat diantisipasi oleh BI sebelumnya. Berkaitan dengan adanya peningkatan harga minyak dunia pada tahun 2005 tersebut, BI melakukan revisi sasaran inflasi tahun 2006 dan 2007.

Pada tahun 2003 dan 2006 setelah revisi tingkat inflasi yang terjadi lebih rendah dari sasaran inflasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Sasaran inflasi pada kedua tahun tersebut tetap saja dapat dinyatakan tidak tercapai karena tingkat inflasi yang lebih rendah dari sasaran inflasi yang telah ditetapkan menunjukkan bahwa penghitungan sasaran inflasi yang telah ditetapkan tidak tepat. Dari Tabel III.1 tersebut dapat dinyatakan bahwa secara umum target inflasi setiap tahun yang telah ditetapkan oleh BI belum dapat tercapai sepenuhnya. Sementara itu, sejak tanggal 14


(21)

Agustus 1997 pemerintah menetapkan sistem nilai tukar yang dianut adalah sistem nilai tukar mengambang bebas. Dalam sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar dibiarkan bergerak sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar. Sistem nilai tukar mengambang bebas memungkinkan terjadinya nilai tukar yang sangat fluktuatif sehingga dapat menambah ketidakpastian bagi dunia usaha. Yang dapat dilakukan oleh BI adalah menjaga agar fluktuasinya tidak tinggi. Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan sejauhmana tujuan BI seperti tertera pada Undang-Undang tentang BI dapat dicapai. Dalam penerapan penargetan inflasi, kerangka kebijakan moneter dijalankan dengan pendekatan berdasarkan harga besaran moneter. Kebijakan moneter dengan pendekatan harga menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasionalnya. Sejalan dengan penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas dan sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 maka BI mewacanakan penggunaan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter (Kharie, 2006). Kebijakan tersebut memiliki tujuan untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter yang berpendekatan harga di bawah sistem nilai tukar mengambang bebas. Sementara itu, Warjiyo dan Zulverdi (1998) menyatakan bahwa suku bunga yang cocok dijadikan sebagai sasaran operasional kebijakan moneter adalah suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Pemilihan suku bunga PUAB sebagai sasaran operasional karena pertimbangan bahwa suku bunga PUAB memiliki kaitan yang erat dengan suku bunga deposito, mencerminkan kondisi likuiditas di pasar uang, dan sekaligus dapat dipengaruhi oleh instrumen operasi pasar terbuka. Mulai Juli 2005, suku bunga BI


(22)

Rate dipergunakan sebagai sinyal respon kebijakan moneter dan sasaran operasional.

BI Rate adalah suku bunga dengan tenor satu bulan yang diumumkan oleh BI secara periodik untuk jangka waktu tertentu yang berfungsi sebagai sinyal kebijakan moneter (www.bi.go.id). BI Rate diimplementasikan melalui operasi pasar terbuka untuk SBI satu bulan karena beberapa pertimbangan. Pertama, SBI satu bulan telah dipergunakan sebagai benchmark oleh perbankan dan pelaku pasar di Indonesia dalam berbagai aktivitasnya. Kedua, penggunaan SBI satu bulan sebagai sasaran operasional akan memperkuat sinyal respon kebijakan moneter yang ditempuh BI. Ketiga, dengan perbaikan kondisi perbankan dan sektor keuangan, SBI satu bulan terbukti mampu mentransmisikan kebijakan moneter ke sektor keuangan dan ekonomi.

Saluran tingkat bunga dari mekanisme transmisi kebijakan ekonomi telah didefinisikan secara jelas dalam Keynes’s General Theory. Nilai sekarang dari modal

dan barang konsumsi tahan lama berhubungan negatif dengan tingkat bunga riil (efisiensi marjinal dari fungsi kapital). Tingkat bunga riil yang lebih rendah mengimplikasikan nilai sekarang yang lebih tinggi pada keberadaan barang tahan lama (baik barang modal dan konsumsi). Dan peningkatan rasio antara harga persediaan yang tersedia dengan harga barang yang baru diproduksi (Tobins q). Untuk alasan ini rangsangan diberikan terhadap produksi yang ada untuk barang-barang tahan lama melalui pengganda permintaan agregat. Dalam ekonomi inflasi tingkat tinggi, aluran tingkat bunga kehilangan kekuatan karena konsep relevan dari tingkat bunga riil harus dimodifikasi untuk dapat dibawa ke dalam tingkat perubahan


(23)

inflasi yang tinggi. Biaya relevan konsep kapital harus diambil ke dalam jumlah nominal tingkat bunga minus ekuivalen tertentu dari inflasi. Jika inflasi sangat mudah berubah-ubah, ketentuan ekuivalen akan berada pada nilai yang diharapkan sesuai dengan volatibilitasnya (tingkat perubahan-perubahannya) yang premium. Sehingga tingkat bunga riil yang tinggi tidak selamanya sinonim dengan kebijakan uang ketat jika volatilitas premium sama tingginya.

Terdapat beberapa penelitian yang relevan mengenai pengaruh kebijakan moneter melalui suku bunga terhadap beberapa variabel makroekonomi pada satu atau beberapa negara. Cheng (2006) menganalisis dampak kejutan kebijakan moneter di negara Kenya. Cheng (2006) menyatakan bahwa peningkatan suku bunga jangka pendek cenderung diikuti oleh penurunan tingkat harga dan apresiasi nilai tukar nominal, namun tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap output. Dabla-Norris dan Floerkemeier (2006) menganalisis dampak kebijakan moneter di negara Armenia. Dabla-Norris dan Floerkemeier (2006) menunjukkan bahwa kemampuan kebijakan moneter dalam mempengaruhi aktivitas ekonomi dan inflasi masih terbatas. Jalur suku bunga tetap lemah dalam mempengaruhi output, namun terdapat pengaruh yang kecil dari kejutan suku bunga terhadap harga.

Penelitian mengenai topik yang relevan di Indonesia sendiri telah banyak dilakukan. Julaihah dan Insukindro (2004) menyatakan bahwa suku bunga SBI mampu mempengaruhi pergerakan suku bunga deposito satu bulan, IHK, tingkat

output, dan nilai tukar. Bahkan, kejutan suku bunga SBI mampu memberi kontribusi


(24)

panjang. Selanjutnya, Solikin (2005) menyatakan bahwa suku bunga SBI berpengaruh secara signifikan dan persisten hanya pada inflasi. Namun, pengaruhnya terhadap pertumbuhan output dan kesempatan kerja relatif kecil. Selain itu, Nuryati, Siregar dan Ratnawati (2006) menyatakan bahwa suku bunga SBI hanya berpengaruh sangat kecil terhadap tingkat harga dan nilai tukar.

Walaupun terdapat beberapa penelitian terdahulu mengenai dampak kebijakan moneter terhadap variabel ekonomi, penelitian ini tetap penting untuk dilakukan. Pengukuran yang tepat mengenai dampak perubahan kebijakan moneter terhadap ekonomi sangatlah penting, baik untuk membuat kebijakan yang tepat maupun untuk memilih diantara alternatif teori makroekonomi (Bernanke dan Mihov, 1998). Sementara itu, masih terdapat ketidakpastian yang besar mengenai dampak kebijakan moneter pada aktivitas ekonomi dan harga (Fung, 2002).

Bank Indonesia, sebagai pemegang otoritas moneter tertinggi di Indonesia mempunyai tugas yang tidak mudah, yaitu menjaga stabilitas ekonomi. Setidaknya ada dua aspek yang perlu diperhatikan dalam konsep stabilitas ekonomi ini. Yaitu mengenai inflasi dan stabilitas nilai tukar rupiah. Suatu perekonomian dapat dikatakan stabil apabila kedua indikator ini dapat dikendalikan dalam range yang moderat. Dan bila hal itu tercapai maka hal itu merupakan kesuksesan dari sebuah lembaga pemegang otoritas moneter tertinggi. Kestabilan ini sangat penting artinya bagi pembangunan ekonomi di Indonesia. Perekonomian tidak dapat bertumbuh dan mencapai kemapanan apabila kestabilan ekonomi tidak bisa diraih. Kita memang tidak bisa ‘secara tidak bertanggung jawab’ melimpahkan semua masalah stabilisasi


(25)

ekonomi ini kepada bank sentral, namun setidaknya dengan berbagai power dan kewenangan yang dimilikinya, Bank Indonesia seyogyanya mampu berbuat banyak untuk menjalankan fungsi stabilisasi yang amat krusial bagi pembangunan ini.

Tabel 1.2. Perkembangan Inflasi Januari 2004 s/d Oktober 2008

Periode Inflasi Periode Inflasi Periode Inflasi Periode Inflasi Periode Inflasi

Jan-04 4.82 Jan-05 7.32 Jan-06 17.03 Jan-07 6.52 Jan-08 7.36

Feb-04 4.60 Feb-05 7.15 Feb-06 17.92 Feb-07 6.30 Feb-08 7.40

Mar-04 5.11 Mar-05 8.81 Mar-06 15.74 Mar-07 6.52 Mar-08 8.17

Apr-04 5.92 Apr-05 8.12 Apr-06 15.40 Apr-07 6.29 Apr-08 8.96

May-04 6.47 May-05 7.40 May-06 15.60 May-07 6.01 May-08 10.38

Jun-04 6.83 Jun-05 7.42 Jun-06 15.53 Jun-07 5.77 Jun-08 11.03

Jul-04 7.20 Jul-05 7.84 Jul-06 15.15 Jul-07 6.06 Jul-08 11.90

Aug-04 6.67 Aug-05 8.33 Aug-06 14.90 Aug-07 6.51 Aug-08 11.85

Sep-04 6.27 Sep-05 9.06 Sep-06 14.55 Sep-07 6.95 Sep-08 12.14

Oct-04 6.22 Oct-05 18.89 Oct-06 6.29 Oct-07 6.88 Oct-08 11.77

Nov-04 6.18 Nov-05 18.38 Nov-06 5.27 Nov-07 6.71

Dec-04 6.40 Dec-05 17.11 Dec-06 6.60 Dec-07 6.59

Sumber: www.bi.go.id. Data Diolah, 2009

Pada tabel di atas diketahui perkembangan inflasi dari Januari 2001 sampai dengan Oktober 2008. Inflasi dalam perkembangannya menunjukkan angka yang meningkat mencapai 12,14% pada akhir tahun 2008. Peningkatan inflasi terjadi akibat kenaikan harga-harga yang disebabkan adanya fenomena hari besar dan tahun baru khususnya terhadap permintaan bahan makanan.

Inflasi dalam perkembangannya menunjukkan angka yang meningkat mencapai 12,14% pada akhir tahun 2008. Peningkatan inflasi terjadi akibat kenaikan harga-harga yang disebabkan adanya fenomena hari besar dan tahun baru khususnya terhadap permintaan bahan makanan.


(26)

11,85 12,14 11,77 11,03 11,9 10,38 8,96 8,17 7,36 6,59 6,71 6,88 6,01 6,29 6,52 6,3 6,25 5,776,06 6,516,95 7,4 0 2 4 6 8 10 12 14 Ja n-07 Feb -07 Mar -07 Apr -07 Mei -07 Ju n-07 Jul-0 7 Agu st-0 7 Sep -07 Okt -07 Nop -07 Des -07 Ja n-08 Feb -08 Mar -08 Apr -08 Mei -08 Ju n-08 Jul-0 8 Agu st-0 8 Sep -08 Okt -08

Sumber: Bank Indonesia, data diolah, 2009

Gambar 1.1. Perkembangan Inflasi Januari 2007 s/d Oktober 2008

Pada gambar di atas diketahui seiring dengan kenaikan inflasi atas bahan makanan yang merangkak pada kisaran yang lebih tinggi dan juga adanya kecenderungan Bank Indonesia untuk menurunkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) pada Desember 2007, maka dengan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tersebut akan mendorong pertumbuhan uang beredar. Hal itu diikuti pula dengan melemahnya nilai tukar rupiah, maka harga barang juga akan mengalami kenaikan, karena belum bisa lepas dari inflasi dan juga krisis ekonomi yang masih terjadi.

Selain itu, terlihat pula gejala merenggangnya hubungan antar variabel makro ekonomi. Kondisi ini pada akhirnya akan mempersulit otoritas moneter untuk mengambil keputusan dalam manajemen moneternya. Di Indonesia, kebijakan


(27)

moneter sepenuhnya diserahkan kepada otoritas moneter yaitu Bank Indonesia. Dalam hal ini, jumlah uang beredar merupakan alat yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam menetapkan kebijakan moneter. Jumlah permintaan uang di suatu negara dipengaruhi banyaknya faktor-faktor antara lain kebijakan pemerintah, politik, dan keamanan. Berdasarkan data statistik jumlah perkembangan uang di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup bervariasi.

Tugas pokok BI saat ini menjadi lebih fokus karena memiliki sasaran tunggal. Namun, dalam pelaksanaannya tugas tersebut cukup berat mengingat kestabilan nilai rupiah tidak sepenuhnya dapat dikendalikan oleh BI. BI hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tekanan inflasi dari sisi permintaan, sedang tekanan inflasi yang berasal dari sisi penawaran sepenuhnya berada di luar pengendalian BI. Demikian ula, dengan ditetapkannya sistem nilai tukar mengambang bebas maka nilai tukar rupiah akan sepenuhnya ditetapkan oleh kekuatan pasar. Tujuan tunggal kebijakan moneter BI untuk menjaga stabilitas nilai rupiah terangkum dalam kerangka kerja penargetan inflasi. Dalam penerapan penargetan inflasi, kebijakan moneter dijalankan dengan menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasionalnya. Sementara itu, pemilihan suku bunga yang dijadikan sebagai sasaran operasional kebijakan moneter masih meninggalkan perdebatan. Perdebatan tersebut berkisar pada apakah suku bunga SBI atau suku bunga PUAB yang tepat dijadikan sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Penelitian ini menggunakan suku bunga SBI sebagai sasaran operasional untuk mengetahui kemampuan suku bunga SBI sebagai sasaran


(28)

operasional dalam mentransmisikan kebijakan moneter pada beberapa variabel makroekonomi Indonesia.

Dalam penerapan penargetan inflasi, kerangka kebijakan moneter dijalankan dengan pendekatan berdasarkan harga besaran moneter. Kebijakan moneter dengan pendekatan harga besaran moneter dapat berpengaruh efektif terhadap pengendalian tingkat inflasi melalui saluran suku bunga dan nilai tukar (Kharie, 2006). Pada penelitian ini sasaran operasional yang digunakan adalah suku bunga SBI satu bulan. Sementara itu, variabel-variabel informasi yang digunakan, antara lain suku bunga deposito satu bulan, jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1), PDB, dan nilai tukar yang juga mencerminkan stabilitas nilai rupiah terhadap mata uang negara lain.

Pada penelitian ini, analisis mengenai peranan suku bunga SBI dalam mentransmisikan kebijakan moneter tersebut diperoleh dengan melakukan analisis mengenai respon inflasi, nilai tukar dan beberapa variabel makroekonomi lainnya terhadap kejutan suku bunga SBI. Atau, analisis mengenai respon perubahan inflasi, nilai tukar dan beberapa variabel makroekonomi lainnya terhadap kejutan perubahan suku bunga SBI. Selain itu, analisis lain yang dapat dilakukan adalah analisis mengenai kemampuan kejutan suku bunga SBI atau kejutan perubahannya dalam menjelaskan variasi beberapa variabel makroekonomi Indonesia atau variasi perubahannya. Hal-hal tersebutlah yang menjadi masalah yang akan dianalisis dalam penelitian ini.


(29)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah dan beberapa fenomena masalah dapat diuraikan pokok-pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Apakah jumlah uang beredar, Kurs dan Indeks Harga Konsumen berpengaruh

secara simultan terhadap PDB.

2. Apakah suku bunga SBI, Indeks Harga impor dan PDB berpengaruh secara simultan terhadap Indeks Harga Konsumen.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka penelitian ini bertujuan:

1. Untuk menganalisis pengaruh secara simultan jumlah uang beredar, Kurs dan tingkat bunga SBI terhadap PDB.

2. Untuk menganalisis pengaruh secara simultan suku bunga SBI, Indeks Harga impor dan PDB terhadap Indeks Harga Konsumen.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah dalam pengendalian inflasi di Indonesia melalui jalur suku bunga.

2. Sebagai informasi ilmiah dan wawasan ilmu pengetahuan bagi penulis tentang transmisi kebijakan moneter melalui jalur bunga.

3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lainnya untuk menganalisis hal-hal yang berkenaan dengan transmisi kebijakan moneter melalui jalur bunga.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank Indonesia dalam mewujudkan stabilitas ekonomi makro terdiri dari kerangka strategis dan kerangka operasional. Kerangka strategis umumnya terkait dengan pencapaian tujuan akhir kebijakan moneter (stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja) serta strategi untuk mencapainya (exchange rate targeting, monetary targeting,

inflation targeting, implicit but not explicit anchor) (Perry Warjiyo dan Solikin,

2004). Kerangka operasional kebijakan moneter terdiri dari instrumen, sasaran-operasional, dan sasaran-antara yang digunakan untuk mencapai sasaran akhir. Sasaran-antara diperlukan karena adanya time lag antara pelaksanaan kebijakan moneter dengan hasil pencapaian sasaran akhir, sehingga untuk meninjau keefektifan suatu kebijakan, maka diperlukan adanya kebijakan yang dapat dilihat dengan segera. untuk mencapai sasaran antara ini, diperlukan adanya sasaran operasional agar proses transmisi dapat berjalan sesuai rencana. Kriteria dari sasaran-operasional ini adalah memiliki kestabilan hubungan dengan sasaran antara, dapat dikendalikan oleh bank sentral, dan informasi tersedia lebih awal dari pada sasaran-antara. Sedangkan Instrumen moneter merupakan instrumen yang dimiliki bank sentral yang dapat mempengaruhi sasaran operasional yang telah ditetapkan.


(31)

Sejak tahun 2000, Bank Indonesia menerapkan pola kebijakan moneter yang diformulasikan dalam rangka mencapai sasaran tingkat inflasi yang ditargetkan. Landasan hukum kebijakan Bank Indonesia ini adalah UU No. 23 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Dalam undang-undang tersebut diungkapkan bahwa sasaran laju inflasi merupakan sasaran akhir kebijakan moneter Indonesia. Pola kebijakan ini dikenal juga dengan nama Inflation Targeting Framework.

2.2. Inflation Targeting Framework (ITF)

Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan suatu kerangka kerja

kebijakan moneter yang mempunyai ciri-ciri utama adanya pernyataan resmi dari bank sentral dan dikuatkan dengan undang-undang bahwa tujuan akhir dari kebijakan moneter adalah mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah, dan mengumumkan target inflasi kepada publik. Perlunya mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil didasarkan oleh dua hal (Perry Warjiyo dan Solikin, 2004), yaitu adanya biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat terjadinya laju inflasi yang tinggi, serta adanya temuan empiris yang menunjukkan bahwa dalam jangka menengah-panjang, kebijakan moneter hanya akan berpengaruh terhadap inflasi, bukan pada pertumbuhan ekonomi, walaupun belum terdapat kesepakatan tentang pengaruh kebijakan moneter dalam jangka pendek terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.

ITF merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam


(32)

beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23 Tahun 1999 Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai "Inflation Targeting Lite Countries". Alasan pemilihan ITF sebagai berikut:

1. Pemilihan kerangka kerja kebijakan moneter IT didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:

a. Memenuhi prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat (sound). b. Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia

sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3/2004.

c. Hasil riset menunjukkan semakin sulit pengendalian besaran moneter. d. Pengalaman empiris negara lain menunjukkan bahwa negara yang

menerapkan ITF berhasil menurunkan inflasi tanpa meningkatkan

volatilitas output.

e. Dapat meningkatkan kredibilitas BI sebagai pengendali inflasi melalui komitmen pencapaian target.

2. Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian pada inflasi saja, dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Juga, ITF bukanlah suatu kaidah yang kaku (rule) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh (framework) untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus ke inflasi tidak berarti membawa perekonomian kepada kondisi yang sama sekali tanpa inflasi (zero inflation).


(33)

3. Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang, justru akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (suistanable growth).

Penyebabnya, karena tingkat inflasi berkorelasi positif dengan fluktuasinya. Manakala inflasi tinggi, fluktuasinya juga meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti dengan laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang. Akibatnya, suku bunga jangka panjang akan meningkat karena tingginya premi risiko akibat inflasi. Perencanaan usaha menjadi lebih sulit, dan minat investasi pun menurun. Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi asset keuangan jangka pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah sebabnya, otoritas moneter seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan yang pro pertumbuhan.

Empat elemen mendasar dalam langkah-langkah penguatan kerangka kerja kebijakan moneter yang baru mulai Juli 2005 agar konsisten dengan penerapan ITF: 1. Penggunaan suku bunga (disebut BI Rate) sebagai reference rate dalam

pengendalian moneter, sebagai pengganti sasaran operasional uang primer.

2. Penguatan proses perumusan kebijakan moneter dengan strategi antisipatif (forward looking strategy) dalam mengarahkan respon kebijakan moneter saat ini untuk pencapaian sasaran inflasi ke depan.

3. Strategi komunikasi yang lebih transparan untuk memperkuat sinyal kebijakan moneter kepada pasar dan upaya pembentukan ekspektasi inflasi.


(34)

4. Penguatan koordinasi kebijakan dengan Pemerintah untuk meminimalkan tekanan inflasi dari kenaikan administered prices dan volatile foods maupun untuk sinergi kebijakan ekonomi secara keseluruhan.

5. Sejak Juli 2005, Bank Indonesia menggunakan ITF sebagai kerangka kebijakan Moneter.

6. Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan kerangka kerja kebijakan

moneter yang secara transparan dan konsisten diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi beberapa tahun ke depan yang secara eksplisit ditetapkan dan diumumkan.

Empat prinsip pokok rezim kebijakan moneter dengan ITF:

1. Memiliki sasaran utama, yaitu Sasaran Inflasi, yang dijadikan sebagai prioritas pencapaian (overriding objective) dan acuan (nominal anchor) kebijakan moneter. 2. Bersifat antisipatif (preemptive atau forward looking) dengan mengarahkan

respon kebijakan moneter saat ini untuk pencapaian sasaran inflasi ke depan. 3. Mendasarkan pada analisis, prakiraan, dan kaidah kebijakan tertentu dalam

menetapkan pertimbangan respon kebijakan moneter (constrained discretion). 4. Sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang sehat (good governance), yaitu


(35)

2.3. Indikator dan Respon Kebijakan Moneter

Indikator kebijakan moneter dilakukan dengan berbagai pertimbangan sebagai berikut:

1. Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu melakukan analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi, khususnya prakiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi, besaran-besaran moneter dan perkembangan sektor ekonomi dan keuangan secara keseluruhan.

2. Demikian pula, Bank Indonesia akan selalu dan terus memperhatikan langkah-langkah kebijakan ekonomi yang ditempuh Pemerintah. Langkah-langkah koordinasi kebijakan yang selama ini telah berlangsung baik akan terus diperkuat dan ditingkatkan.

3. Analisis dan prakiraan berbagai variabel ekonomi tersebut dipertimbangkan untuk mengarahkan agar prakiraan inflasi ke depan sejalan dengan kisaran sasaran inflasi yang telah ditetapkan.

Respon kebijakan moneter selalu berorientasi kepada kebijakan sebagai dasar dan tujuan kebijakan moneter sebagai berikut:

1. Tujuan dan bentuk respon kebijakan moneter adalah sebagai berikut:

a. Respon (stance) kebijakan moneter ditetapkan untuk menjamin agar pergerakan inflasi dan ekonomi ke depan tetap berada pada jalur pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan (konsistensi).

b. Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan, atau tidak berubahnya BI Rate.


(36)

c. Perubahan (kenaikan atau penurunan) BI Rate dilakukan secara konsisten dan bertahap.

2. Fungsi BI Rate sebagai sinyal kebijakan

a. BI Rate adalah suku bunga instrumen sinyaling Bank Indonesia yang ditetapkan pada RDG triwulan untuk berlaku selama triwulan berjalan (satu triwulan), kecuali ditetapkan berbeda oleh RDG bulanan dalam triwulan yang sama. Dengan demikian, rata-rata tertimbang hasil lelang SBI pada setiap kali lelang SBI tidak lagi diinterpretasikan oleh

stakeholders sebagai sinyal kebijakan moneter Bank Indonesia.

b. BI Rate diumumkan ke publik segera setelah ditetapkan dalam RDG sebagai sinyal stance kebijakan moneter (yang lebih jelas dan tegas) dalam merespon prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan.

c. BI Rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi pengendalian moneter untuk mengarahkan agar Rata-Rata Tertimbang Suku Bunga SBI 1 bulan hasil lelang OPT (suku bunga instrumen liquidity adjustment) berada di sekitar BI Rate. Selanjutnya suku bunga SBI 1 bulan diharapkan mempengaruhi suku bunga PUAB dan suku bunga jangka panjang. 3. Proses penetapan respon kebijakan moneter

a. Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dalam RDG triwulanan. b. Respon kebijakan moneter ditetapkan untuk periode satu triwulan ke


(37)

c. Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dengan memperhatikan efek tunda (lag) kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi.

d. Dalam kondisi yang luar biasa, penetapan respon kebijakan moneter dapat dilakukan dalam RDG bulanan.

4. Dasar pertimbangan penetapan respon kebijakan

a. BI Rate merupakan respon bank sentral terhadap tekanan inflasi ke depan agar tetap berada pada sasaran yang telah ditetapkan. Perubahan BI Rate dilakukan terutama jika deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya (inflation gap) dipandang telah bersifat permanen dan konsisten dengan informasi dan indikator lainnya.

b. BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur secara diskresi dengan mempertimbangkan:

1) Rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi kebijakan dalam model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi, dan

2) Berbagai informasi lainnya seperti leading indicators, survei, informasi anekdotal, variabel informasi, expert opinion, asesmen faktor risiko dan ketidakpastian serta hasil-hasil riset ekonomi dan kebijakan moneter.

5. Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate (SBI tenor 1 bulan) secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis points (bps). Dalam kondisi untuk menunjukkan intensi Bank Indonesia yang lebih besar


(38)

terhadap pencapaian sasaran inflasi, maka perubahan BI Rate dapat dilakukan lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25 bps.

2.4. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter

Mekanisme transmisi kebijakan moneter merupakan proses pengaruh kebijakan moneter terhadap sektor keuangan dan sektor riil (Warjiyo, 2004). Secara umum, terdapat enam jenis saluran tranmisi kebijakan moneter yang sering dikemukakan dalam teori ekonomi moneter. Saluran transmisi tersebut antara lain saluran uang, saluran suku bunga, saluran nilai tukar, saluran harga aset, saluran kredit, dan saluran ekspektasi. Masing-masing saluran transmisi tersebut menjelaskan mengenai alur pengaruh kebijakan moneter terhadap sektor keuangan dan aktivitas ekonomi.

Mekanisme transmisi kebijakan moneter dapat berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi dan bisnis melalui alur tingkat bunga atau interest rate channel, alur harga aktiva atau asset price channel, dan alur kredit atau credit channel. Mekanisme transmisi alur tingkat bunga dari ekspansi moneter adalah peningkatan permintaan agregat sebagai akibat peningkatan ekspektasi inflasi dan penurunan tingkat bunga riil. Penurunan tingkat bunga riil akan meningkatkan investasi dan menurunkan biaya modal dalam proses produksi sehingga output agregat naik. Mekanisme transmisi alur harga aktiva dari ekspansi moneter adalah peningkatan permintaan agregat sebagai akibat peningkatan ekspektasi inflasi, nilai perusahaan dan kekayaan individu. Peningkatan ekspektasi inflasi akan menurunkan tingkat bunga riil sehingga nilai


(39)

tukar mata uang depresiasi, ekspor netto naik dan kemudian meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Mekanisme transmisi alur kredit atau credit channel terdiri dari alur pinjaman bank atau bank lending channel, alur neraca atau balance sheet channel, alur arus kas atau cash flow channel, alur harga takterantisipasi atau unanticipated price channel, dan alur likuiditas rumah tangga atau household liquidity channel. Mekanisme transmisi alur kredit adalah peningkatan permintaan karena peningkatan kredit perbankan sebagai akibat peningkatan investasi dan konsumsi. Peningkatan investasi dan konsumsi akan mendorong aktivitas ekonomi dan bisnis. Permasalahan dari mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah memilih alur tarnsmisi yang paling efektif dalam meningkatkan aktivitas ekonomi dan bisnis.

a. Mekanisme Transmisi Alur Tingkat Bunga

Tingkat bunga merupakan kunci mekanisme transmisi moneter dalam model IS, model LM, model AD dan model AS. Peningkatan stok uang akan menurunkan tingkat bunga riil dan biaya modal serta meningkatkan investasi bisnis. Peningkatan investasi akan meningkatkan permintaan agregat. Penurunan tingkat bunga riil juga akan meningkatkan pengeluaran untuk pembelian rumah dan barang tahan lama. Oleh sebab itu penurunan tingkat bunga akibat ekspansi moneter akan meningkatkan belanja atau konsumsi dan permintaan agregat. Pada tingkat bunga nominal yang sangat rendah, ekspansi moneter akan meningkatkan ekspektasi tingkat harga dan inflasi, akibatnya tingkat bunga riil turun. Penurunan tingkat bunga riil akan menurunkan biaya modal dan biaya memegang uang, kemudian menstimulasi


(40)

pengeluaran bisnis dan konsumen. Peningkatan pengeluaran bisnis dan konsumen pada akhirnya akan mingkatkan permintaan agregat. Mekanisme transmisi alur tingkat bunga dirumuskan dalam dua bentuk, yaitu:

Di mana:

m = stok uang nominal, r = tingkat bunga riil, p = ekspektasi tingkat harga,

= investasi riil, dan

y = output riil agregat.

b. Mekanisme Transmisi Alur Harga

Mekanisme transmisi alur harga aktiva terdiri dari efek nilai tukar atau

exchange rate effect, Tobin’s q theory dan efek kekayaan atau wealth effect. Pertumbuhan ekonomi internasional dan nilai tukar fleksibel telah meningkatkan peranan kebijakan moneter internasional dalam penentuan nilai tukar mata suang suatu negara. Ekspansi moneter pada awalnya akan menurunkan tingkat bunga riil domestik dan kemudian mengakibatkan deposit mata uang luar negeri naik. Peningkatan nilai deposit mata uang luar negeri terhadap deposit mata uang domestik akan mengakibatkan apresiasi nilai tukar mata uang luar negeri dan depresiasi nilai

m  r  y


(41)

tukar mata uang domestik. Depresiasi nilai tukar mata uang domestik mengakibatkan harga relatif produk atau ekspor lebih murah sehingga ekspor netto naik dan akhirnya meningkatkan permintaan agregat. Mekanisme transmisi alur efek nilai tukar dirumuskan sebagai berikut:

Di mana:

e = nilai tukar mata uang, dan x = ekspor riil netto.

Tobin telah mengembangkan teori bagaimana kebijakan moneter dapat mempengaruhi penilaian saham, yang disebut Tobin’s q theory. Tobin mendefinisikan q sebagai rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian modal. Jika q tinggi maka rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian modal tinggi, dan sebaliknya jika q rendah maka rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian modal rendah. Ekspansi moneter akan meningkatkan ekspektasi harga saham perusahaan dan akibatnya rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian modal naik. Peningkatan q ini akan meningkatkan pengeluaran untuk peralatan dan pabrik baru atau investasi.

Peningkatan pengeluaran investasi perusahaan akan meningkatkan permintaan agregat. Mekanisme transmisi alur Tobin’s q theory dirumuskan sebagai berikut:

m  r  e x  y


(42)

Di mana:

s = ekspektasi harga saham, dan

q = rasio harga pasar saham dengan biaya penggantian modal.

Mekanisme transmisi moneter juga mempengaruhi kekayaan masyarakat. Keputusan pengeluaran dari konsumen mungkin akan mempengaruhi neraca konsumen. Modigliani menggunakan hipotesis siklus hidup atau life cycle hypotheses dari konsumsi barang tahan lama dan jasa-jasa untuk menjelaskan efek kekayaan. Premis utama dari Modigliani adalah bahwa konsumsi tidak konstan dalam periode jangka panjang. Hal ini terutama disebabkan oleh kekayaan keuangan dari konsumen, seperti saham, obligasi dan deposit tidak konstan selama hidup. Ekspansi moneter akan meningkatkan harga aktiva keuangan sehingga kekayaan keuangan naik. Peningkatan kekayaan keuangan akan meningkatkan sumber daya ekonomi selama hidup konsumen dan pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi dan permintaan agregat. Mekanisme transmisi alur efek kekayaan dirumuskan sebagai berikut:

Di mana:

w = kekayaan keuangan atau neraca konsumen, dan c = konsumsi riil rumah tangga.


(43)

2.5. Inflasi

Pada dasarnya, inflasi didefinisikan sebagai gejala kenaikan harga secara umum. Hera, M. Ikhsan dan Widyanti (2000) mendefinisikan inflasi sebagai

“kenaikan harga umum secara terus-menerus dan persisten dari suatu perekonomian”

sedangkan Mankiw (2002) menyatakan “Economist use the term inflation to describe a situation in which the economy’s overall price level is rising”. Sedangkan untuk

mengukur tingkat inflasi suatu negara, bisa digunakan tiga indikator (Ikhsan dan Widyanti, 2000), yaitu:

1. Perubahan Indek Harga Konsumen (IHK) atau Indek Biaya Hidup (IBH). 2. Perubahan Indek Harga Perdagangan Besar (IHPB).

3. Perubahan Deflator GDP/GDY.

Masing-masing indikator punya kelebihan dan kekurangan, namun yang utama adalah kita bagaimana menggunakan jenis indikator sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pengukuran. Di Indonesia, indikator yang sering digunakan untuk mengukur inflasi ini adalah IHK.

Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus Sukirno (2002). Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain (Boediono, 2000). Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus dengan persentase yang sama. Inflasi merupakan kenaikan harga secara terus menerus dan kenaikan harga yang terajadi pada seluruh kelompok barang dan jasa Pohan (2008). Bahkan mungkin


(44)

dapat terjadi kenaikan tersebut tidak bersamaan. Yang penting kenaikan harga umum barang secara terus menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan harga barang yang terjadi hanya sekali saja, meskipun dalam persentase yang cukup besar, bukanlah merupakan inflasi (Nopirin, 2000). Atau dapat dikatakan, kenaikan harga barang yang hanya sementara dan sporadis tidak dapat dikatakan akan menyebabkan inflasi.

Dari kutipan di atas diketahui bahwa inflasi adalah keadaan di mana terjadi kelebihan permintaan (Excess Demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan. Inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat). Menurut definisi ini, kenaikan harga yang sporadis bukan dikatakan sebagai Inflasi.

Model Inflasi Statis Klasik

Misalkan dalam model klasik pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi tidak ada sehingga pertumbuhan stok uang naik secara konstan sebesar  pada periode [t], yaitu:

  ln( )

t

M (2.20)

Netralitas uang dalam model klasik menyatakan bahwa tingkat harga [Pt] juga

naik sebesar pertumbuhan stok uang []. Penyelesaian model klasik akan menghasilkan tingkat bunga nominal [R], di mana tingkat bunga nominal merupakan fungsi dari output agregat ditambah tingkat inflasi, yaitu:

t t t y


(45)

Substitusi (1.2) ke model LM untuk mendapatkan solusi Rt dan Pt. Mt

ditentukan oleh otoritas moneter dan yt konstan pada y* karena skedul AS

inelastis sempurna atau vertikal. Keseimbangan pada kondisi steady-state dapat dijelaskan dengan tiga cara seperti pada Gambar 2.1. Pertama, output

agregat pada steady-state adalah sebesar y*. Kedua, nilai y, R,  dan MP juga konstan pada waktu tak terhingga karena tingkat harga umum atau inflasi naik secara konstan. Ketiga, nilai  harus sama dengan nilai ln(Pt) dan untuk MP

juga konstan sebesar .

Gambar 2.1. Keseimbangan Steady-State Model Klasik

Konsekuensinya, keseimbangan pada kondisi steady-state adalah  =  atau pertumbuhan output agregat tidak ada. Nilai Rt ditentukan oleh perpotongan skedul

IS, yaitu Rt = (yt) + t dan y = y*, sehingga peranan dari skedul LM hanya

menentukan saldo kas riil [MP] pada tingkat y dan R tertentu. Oleh sebab itu tingkat Rt MP

R

IS: (y) +  r

(y) y*


(46)

pertumbuhan P adalah konstan sebesar  pada keseimbangan steady-state. Dengan kata lain steady-state inflation menjelaskan pertumbuhan harga-harga atau inflasi sama dengan pertumbuhan stok uang nominal sehingga semua variabel ekonomi riil tidak berubah.

Konsumsi riil rumah tangga juga dapat ditentukan oleh saldo kas riil atau real

wealth selain tingkat bunga dan output agregat, yaitu:

)] / ( , ),

[(y R M P C

c  (2.22)

Di mana MP merupakan kekayaan riil yang dipegang oleh individu atau rumah tangga. Berdasarkan (1.3) model IS berubah menjadi:

t t t t

t y M P

R [ ,( / )] (2.23) Di mana peningkatan output riil agregat akan menurunkan tingkat bunga nominal [y < 0] dan peningkatan kekayaan riil akan meningkatkan tingkat bunga

nominal [MP > 0]. Pada keseimbangan steady-state, tingkat bunga nominal adalah

tingkat pertumbuhan saldo kas riil ditambah tingkat inflasi atau dalam model klasik disebut superneutrality of money [R =  + ]. Oleh sebab itu pertumbuhan stok uang sebesar tingkat inflasi [] akan menurunkan skedul LM dan skedul IS, dan penurunan MP kemungkinan akan menurunkan tingkat bunga nominal.

Misalkan pertumbuhan output agregat pada steady-state adalah v sehingga tingkat inflasi sebesar  =  - 1 v, di mana 1 adalah elastisitas permintaan uang

terhadap output agregat. Pada kondisi steady-state, tingkat inflasi adalah selisih antara tingkat pertumbuhan uang [] dengan elastisitas permintaan uang terhadap


(47)

output riil agregat [1] dikali tingkat pertumbuhan output riil agregat [v]. Dengan

mengambil logaritme natural model permintaan uang, model inflasi steady-state adalah ) ln( ) ln( ) ln( )

ln(MtPt 0 1 yt 2 Rt

) ln( ) ln( ) ln( )

ln(Mt  Pt1yt2Rt

  

) ln( )

ln(Pt1v2Rt

     ) ln( )

ln(Pt  1v 2 Rt

   (2.24)

Persamaan (2.24) menjelaskan bahwa tingkat inflasi [ln(Pt)] pada kondisi

steady-state adalah  - 1 v, di mana pertumbuhan tingkat bunga [ln(Rt)] sama

dengan nol atau tingkat bunga nominal tidak berubah pada kondisi steady-state. Selama tingkat bunga nominal masih berubah maka kondisi perekonomian belum mencapai steady state.

2.6. Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia

Menurut Noprin (2000) suku bunga adalah biaya yang harus dibayar oleh pemimjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pembari pinjaman atas investasinya. Suku bunga mempengaruhi keputusan individu terhadap pilihan membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan uangnya dalam bentuk tabungan. Suku bunga juga merupakan sebuah harga yang menghubungkan masa kini dengan masa depan, sebagaimana harga lainnya maka tingkat suku bunga ditentukan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran (Suhedi, 2000).


(48)

Suku bunga dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) Suku Bunga Nominal. Suku bunga nominal adalah rate yang dapat diamati pasar. (2) Suku Bunga Riil. Suku bunga riil adalah konsep yang mengukur tingkat bunga yang sesungguhnya setelah suku bunga nominal dikurangi dengan laju inflasi yang diharapkan.

Suku bunga yang tinggi di satu sisi, akan meningkatkan hasrat masyarakat untuk menabung sehingga jumlah dana perbankan akan meningkat (Pohan, 2008).

Tingkat suku bunga juga digunakan pemerintah untuk mengendalikan tingkat harga. Ketika tingkat harga tinggi di mana jumlah uang yang beredar di masyarakat banyak sehingga konsumsi masyarakat tinggi akan diantisipasi oleh pemerintah dengan menetapkan tingkat suku bunga yang tinggi. Dengan tingkat suku bunga tinggi yang diharapkan kemudian adalah berkurangnya jumlah uang beredar sehingga permintaan agregat pun akan berkurang dan kenaikan harga bisa diatasi.

2.7. Nilai Tukar Mata Uang

Nilai tukar Rupiah atau disebut juga kurs Rupiah adalah perbandingan nilai atau harga mata uang Rupiah dengan mata uang lain. Perdagangan antar negara di mana masing-masing negara mempunyai alat tukarnya sendiri mengharuskan adanya angka perbandingan nilai suatu mata uang dengan mata uang lainnya, yang disebut kurs valuta asing atau kurs (Salvatore, 2008).

Nilai tukar terbagi atas nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah nilai yang digunakan seseorang saat menukar mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain. Sedangkan nilai riil


(49)

(real exchange rate) adalah nilai yang digunakan seseorang saat menukar barang dan jasa dari suatu negara dengan barang dan jasa dari negara lain (Mankiw, 2006).

Kurs valuta asing akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan permintaan dan penawaran valuta asing. Permintaan valuta asing diperlukan guna melakukan pembayaran ke luar negeri (impor), diturunkan dari transaksi debit dalam neraca pembayaran internasional. Suatu mata uang dikatakan “kuat” apabila transaksi

autonomous kredit lebih besar dari transaksi autonomous debit (surplus neraca pembayaran), sebaliknya dikatakan lemah apabila neraca pembayarannya mengalami defisit, atau bisa dikatakan jika permintaan valuta asing melebihi penawaran dari valuta asing (Nopirin, 1995).

Nilai tukar yang melonjak-lonjak secara drastis tak terkendali akan menyebabkan kesulitan pada dunia usaha dalam merencanakan usahanya terutama bagi mereka yang mendatangkan bahan baku dari luar ngeri atau menjual barangnya ke pasar ekspor oleh karena itu pengelolaan nilai mata uang yang relatif stabil menjadi salah satu faktor moneter yang mendukung perekonomian secara makro (Pohan, 2008).

Menurut Sukirno (2002) besarnya jumlah mata uang tertentu yang diperlukan untuk memperoleh satu unit valuta asing disebut dengan kurs mata uang asing. Nilai tukar adalah nilai mata uang suatu negara diukur dari nilai satu unit mata mata uang terhadap mata uang negara lain. Apabila kondisi ekonomi suatu negara mengalami perubahan, maka biasanya diikuti oleh perubahan nilai tukar secara substansional. Masalah mata uang muncul saat suatu negara mengadakan transaksi dengan negara


(50)

lain, di mana masing-masing negara menggunakan mata uang yang berbeda. Jadi nilai tukar merupakan harga yang harus dibayar oleh mata uang suatu negara untuk memperoleh mata uang negara lain.

Nilai tukar dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat suku bunga dalam negeri, tingkat inflasi, dan intervensi bank central terhadap pasar uang jika diperlukan. Nilai tukar yang lazim disebut kurs, mempunyai peran penting dalam rangka stabilitas moneter dan dalam mendukung kegiatan ekonomi. Nilai tukar yang stabil diperlukan untuk tercapainya iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan dunia usaha. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, bank central pada waktu-waktu tertentu melakukan intervensi di pasar-pasar valuta asing, khususnya pada saat terjadi gejolak yang berlebihan. Para ekonom membedakan kurs menjadi dua yaitu kurs nominal dan kurs riil. Kurs nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Sebagai contoh, jika antara dolar Amerika Serikat dan yen Jepang adalah 120 yen per dolar, maka orang Amerika Serikat bisa menukar 1 dolar untuk 120 yen di pasar uang. Sebaliknya orang Jepang yang ingin memiliki dolar akan membayar 120 yen untuk setiap dolar yang dibeli. Ketika orang-orang mengacu pada “kurs” diantara kedua negara, mereka biasanya mengartikan kurs nominal

(Mankiw, 2003).

Kurs riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Kurs riil menyatakan tingkat di mana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Nilai Tukar (exchange rate) atau kurs adalah harga satu mata uang suatu negara terhdap mata


(51)

uang negara lain. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara (Mankiw, 2003). Nilai tukar riil adalah nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi dengan harga relatif yaitu harga-harga di dalam negeri dibandingkan dengan harga-harga di luar negeri. Nilai tukar dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

*

P

P

S

Q

(2.25)

Di mana Q dalah nilai tukar riil, S adalah nilai tukar nominal, P adalah tingkat harga domestik dan P* adalah tingkat harga di luar negeri.

Kurs inilah sebagai salah satu indikator yang mempengaruhi aktivitas di pasar saham maupun pasar uang karena investor cenderung akan berhati-hati untuk melakukan investasi. Menurunnya kurs Rupiah terhadap mata uang asing khususnya Dolar AS memiliki pengaruh negatif terhadap ekonomi dan pasar modal (Sitinjak dan Kurniasari, 2003).

2.8. Produk Domestik Bruto

Produk Domestik Bruto (PDB), adalah pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa dalam periode tertentu. PDB ini dapat mencerminkan kinerja ekonomi, sehingga semakin tinggi PDB sebuah negara, dapat dikatakan semakin bagus pula kinerja ekonomi di negara tersebut. Karena begitu pentingnya peran PDB di dalam suatu perekonomian, maka perlu kiranya untuk menganalisa faktor-faktor apa sajakah yang dapat mempengaruhi PDB.


(52)

Menurut Samuelson (1992), PDB adalah jumlah output total yang dihasilkan dalam batas wilayah suatu negara dalam satu tahun. PDB mengukur nilai barang dan jasa yang di produksi di wilayah suatu negara tanpa membedakan kewarganegaraan pada suatu periode waktu tertentu. Dengan demikian warga negara yang bekerja di negara lain, pendapatannya tidak dimasukkan ke dalam PDB. Sebagai gambaran PDB Indonesia baik oleh warga negara Indonesia (WNI) maupun warga negara asing (WNA) yang ada di Indonesia tetapi tidak diikutsertakan produk WNI di luar negeri (Herlambang, 2001).

Sukirno (1994) mendefinisikan PDB sebagai nilai barang dan jasa dalam suatu negara yang diproduksi oleh faktor-faktor produksi milik warga negara tersebut dan warga negara asing. Sedangkan Wijaya (1997) menyatakan bahwa PDB adalah nilai uang berdasarkan harga pasar dari semua barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi oleh suatu perekonomian dalam suatu periode waktu tertentu biasanya satu tahun. Secara umum PDB dapat diartikan sebagai nilai akhir barang-barang dan jasa yang diproduksi di dalam suatu negara selama periode tertentu (biasanya satu tahun).

Sebenarnya ada banyak sekali faktor, baik langsung maupun tidak langsung. Menurut teori Keynes, PDB terbentuk dari empat faktor yang secara positif mempengaruhinya, keempat faktor tersebut adalah konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G), dan ekspor neto (NX). Keempat faktor tersebut kembali dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, antara lain dipengaruhi oleh faktor-faktor


(53)

seperti tingkat pendapatan, tingkat harga, suku bunga, tingkat inflasi, money supply, nilai tukar.

Beberapa ekonom berpendapat bahwa kecenderungan menaik bagi output perkapita saja tidak cukup, tetapi kenaikan output harus bersumber dari proses intern perekonomian tersebut. Dengan kata lain proses pertumbuhan ekonomi harus bersifat

self generating, yang mengandung arti menghasilkan kekuatan bagi timbulnya

kelanjutan pertumbuhan dalam jangka panjang (periode-periode selanjutnya).

Menurut Lipsey (1995), Gross Domestic Product (GDP) atau disebut juga dengan Produk Domestik Bruto (PDB) adalah pendapatan nasional yang diukur dari sisi pengeluaran yaitu jumlah pengeluaran konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan ekspor-impor. GDP dikategorikan menjadi dua, yaitu nominal dan riil. Dikatakan GDP nominal, apabila GDP total yang dinilai pada harga-harga sekarang. Sedangkan GDP yang dinilai pada harga periode dasarnya disebut GDP riil, sering disebut sebagai pendapatan nasional riil.

Sedangkan Nicholson (1998) menyatakan ketika pendapatan total seseorang meningkat, dengan asumsi harga-harga tidak berubah, kita mungkin mengharapkan kuantitas yang dibeli untuk setiap barang juga akan meningkat. Barang barang yang mengikuti kecenderungan demikian disebut barang-barang normal (normal good). Sebagian besar barang merupakan barang normal, jika pendapatan meningkat, dalam prakteknya orang cenderung untuk membeli lebih banyak barang. Permintaan barang-barang mewah (luxury) akan meningkat lebih cepat jika pendapatan naik, tetapi


(54)

permintaan barang untuk keperluan sehari-hari (necessity) akan meningkat lebih lambat.

Selain itu Nicholson (1998) juga menyebutkan barang-barang inferior, yang sifatnya apabila pendapatan seseorang meningkat maka individu akan mengurangi konsumsinya. Jadi apabila seseorang pendapatannya meningkat maka akan mengalihkan konsumsi barang yang lebih mahal, contohnya barang ini adalah gaplek, ketika pendapatan suatu keluarga meningkat maka keluarga dimaksud akan mengkonsumsi nasi.

Terdapat korelasi positif antara PDB dengan permintaan produk impor. Peningkatan PDB akan meningkatkan permintaan terhadap produk impor, demikian sebaliknya. Peningkatan impor sebagai akibat meningkatnya PDB negara importir dapat terlihat dari dua mekanisme sebagai berikut:

1. Kenaikan PDB negara importir menyebabkan meningkatnya investasi. Peningkatan investasi menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan barang impor antara lain barang-barang modal dan bahan baku sebagai input dalam proses produksi. Kebutuhan akan barang modal dan bahan baku sebagai input proses produksi. Kebutuhan akan barang modal dan bahan baku yang ditawarkan (supply) oleh negara lain.

2. Kenaikan PDB negara importir menyebabkan meningkatnya kebutuhan produk final (final product) karena tidak semua dipenuhi oleh produksi dalam negeri.


(55)

PDB diyakini sebagai indikator ekonomi terbaik dalam menilai perkembangan ekonomi suatu negara. Perhitungan pendapatan nasional ini mempunyai ukuran makro utama tentang kondisi suatu negara. Pada umumnya perbandingan kondisi antar negara dapat dilihat dari pendapatan nasionalnya sebagai gambaran, Bank Dunia menentukan apakah suatu negara berada dalam kelompok negara maju atau berkembang melalui pengelompokan besarnya PDB, dan PDB suatu negara sama dengan total pengeluaran atas barang dan jasa dalam perekonomian (Herlambang, 2001: 16).

2.9. Penelitian Terdahulu

Wijoyo dan Santoso (2007) Kebijakan Moneter dengan Inflation Targeting. (Konsiderasi kemungkinan penerapan inflation targeting di Indonesia). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengujian empiris dengan menggunakan vector

autoregression dan granger causality test versi Hsiao menunjukkan bahwa kebijakan

moneter dengan inflation targeting dapat digunakan di Indonesia khususnya setelah era sistem nilai tukar fleksibel. Pengendalian moneter dalam kerangka inflation

targeting dapat dilakukan dengan menggunakan suku bunga PUAB overnight sebagai

kandidat utama sasaran operasional dan MCI sebagai sasaran antara, sementara

underlying inflation sebagai sasaran akhir tunggal. Sementara penggunaan MCI

sebagai sasaran antara tidak dilakukan secara kaku (policy rules) tetapi dimungkinkan terjadinya discretionary policy sepanjang shock terhadap inflasi dan nilai tukar berasal dari supply shock dan bersifat sementara. Di samping itu, masih kuatnya


(56)

hubungan langsung antara monetary aggregates dengan inflasi maka pengalihan kebijakan moneter dari quantity targeting ke price targeting bukan merupakan substitusi penuh. Monetary aggregates masih tetap digunakan sebagai variabel indikator untuk mendeteksi tekanan terhadap inflasi.

Yunita Setyawati (2006) dengan judul penelitian Analisis Kausalitas Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi (Kasus Perekonomian Indonesia Tahun 1994.1 – 2003.4). Dengan Metode Error Corection Model. Permasalahan yang ingin diteliti adalah apakah terdapat kausalitas antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dan apabila ada bagaimana pola hubungan kausalitas antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data perekonomian Indonesia periode 1994.4 – 2003.4 yang dianalisis dengan model koreksi kesalahan dari Engle – Granger. Dari hasi penelitian ini diperoleh hasi bahwa terdapat kausalitas searah

antara pertumbuhan ekonomi dengan Inflasi. Dari hasil peneilitian dengan menggunakan Uji Kausalitas Granger dengan alternatif pengujian kausalitas Granger

model Koreksi Kesalahan (Error Correction Model), antara variabel inflasi dan PDB

(Pertumbuhan Ekonomi) dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil dari uji

stasioneritas menunjukkan bahwa data stasioner dan terkointegrasi sehingga kedua

variabel yaitu inflasi dan GDP mempunyai hubungan jangka panjang. 2. Hasil uji kausalitas Granger dengan model koreksi kesalahan menunjukkan adanya kausalitas satu arah antara GDP dan inflasi, ini berarti peningkatan GDP/pertumbuhan ekonomi akan berdampak juga pada terjadinya inflasi. Oleh karena itu pada kasus perekonomian Indonesia apabila ingin tercapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi


(57)

maka harus menerima tingkat inflasi yang tinggi. Karena itu sebaiknya pemerintah tidak perlu mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengorbankan stabilitas harga.

Darwanto (2007) dengan judul penelitian Kejutan Pertumbuhan Nilai Tukar Riil terhadap Inflasi, Pertumbuhan Output dan Pertumbuhan Neraca Transaksi Berjalan di Indonesia. Dengan Pendekatan VAR. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pertama kejutan pertumbuhan nilai tukar riil rupiah memiliki kontribusi dalam menjelaskan variasi fluktuasi variabel inflasi dan pertumbuhan output dengan

magnitude yang sangat besar. Kedua sumber kejutan terbesar yang mempengaruhi

variasi pertumbuhan nilai tukar riil rupiah bersumber dari kejutan pertumbuhan nilai tukar riil rupiah itu sendiri. Ketiga respon inflasi dan pertumbuha output akibat kejutan pertumbuhan nilai tukar riil rupiah menunjukkan adanya pergerakan yang

konvergen.

Rika Kumala Dewi (2006) dengan judul penelitian Analisa Komparatif Pendekatan Kuantitas dan Pendekatan Harga dalam Rangka Mencapai Stabilitas Inflasi. Pengujian empiris dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pilihan pendekatan harga (Price Based Approach) dalam implementasi kebijakan operasional BI lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan kuantitas (Quantity Based

Approach). Karena itu, pilihan yang dijatuhkan BI kepada pendekatan PBA dalam

kerangka kebijkan ITF (Inflation Targeting Framework) diharapkan mampu memberikan kinerja yang lebih baik dari pada metode QBA. Variabel yang memiliki pengaruh paling besar terhadap pengendalian inflasi pada pendekatan harga adalah


(58)

suku bunga jangka pendek (OVR), sedangkan variabel informasi (IRLR), pengaruhnya terhadap inflasi jauh lebih kecil dari pada pengaruh OVR. Karena berfokus pada pencapaian target inflasi tertentu, maka Bank Indonesia sebagai Bank Sentral harus mengembangkan formula yang ampuh untuk dapat memprediksi tingkat inflasi secara tepat.

Nova Riana Banjarnahor (2008) melakukan penelitian mengenai Mekanisme Suku Bunga SBI Sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada penelitian ini, analisis mengenai peranan suku bunga SBI dalam mentransmisikan kebijakan moneter tersebut diperoleh dengan melakukan analisis mengenai respon inflasi, nilai tukar dan beberapa variabel makroekonomi lainnya terhadap kejutan suku bunga SBI. Atau, analisis mengenai respon perubahan inflasi, nilai tukar dan beberapa variabel makroekonomi lainnya terhadap kejutan perubahan suku bunga SBI. Selain itu, analisis lain yang dapat dilakukan adalah analisis mengenai kemampuan kejutan suku bunga SBI atau kejutan perubahannya dalam menjelaskan variasi beberapa variabel makroekonomi Indonesia atau variasi perubahannya. Hasil analisis IRF ditemukan bahwa perubahan suku bunga deposito, perubahan persentase nilai tukar, perubahan persentase jumlah uang beredar, perubahan persentase nilai PDB, dan perubahan persentase nilai IHK memberikan respon terhadap kejutan perubahan suku bunga SBI dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, pengaruh kejutan dari perubahan suku bunga SBI tidak bersifat


(1)

pertumbuhan ekonomi riil tampak cukup stabil dalam jangka panjang. Dalam hubungan yang demikian, melambatnya pertumbuhan M1 lebih merefleksikan besarnya dampak penurunan aktivitas perekonomian dibandingkan dengan pengaruh penurunan suku bunga deposito. Hal demikian secara implisit mengindikasi bahwa kondisi M1 cukup selaras dengan kebutuhan aktivitas riil dalam perekonomian. Dilakukan dengan membandingkan antara hasil uji menggunakan fungsi permintaan uang standar dan kondisi permintaan uang aktual. Jika hasil uji relatif sama dengan kondisi aktual (deviasi berada dalam rentang standard error) maka diperkirakan permintaan uang tersebut sesuai dengan kebutuhan perekonomian.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil estimasi persamaan PDB dapat menunjukkan bahwa variabel nilai tukar (Kurs), Jumlah Uang Beredar (JUB), dan Indeks Harga Konsumen (IHK) mampu menjelaskan variasi Product Domestic Bruto (PDB) sebesar 65,7 persen dan sisanya sebesar 34,3 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam modal estimasi. Kemudian hasil uji signifikan terdapat 3 (tiga) variabel yang signifikan mempengaruhi Product

Domestic Bruto (PDB) yaitu kurs, jumlah uang beredar dan Indeks Harga

Konsumen (IHK). Hasil tersebut menunjukkan bahwa variabel Kurs, JUB dan IHK mempengaruhi PDB.

2. Berdasarkan hasil estimasi persamaan Indeks Harga Konsumen (IHK) menunjukkan bahwa variabel tingkat bunga SBI, IHI dan PDB mampu menjelaskan variasi IHK sebesar 61,2 persen dan sisanya sebesar 38,8 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam modal estimasi. Terdapat 2 (dua) variabel yang mempengaruhi IHK yaitu IHI dan PDB


(3)

bersumber dari dalam negeri jika dibandingkan dari luar negeri atau impor, di mana IHI kurang berperan dalam mendorong IHK dalam negeri.

3. Mekanisme transmisi kebijakan moneter Indonesia melalui suku bunga SBI dapat dilihat dari persamaan PDB dan persamaan IHK. Di mana SBI memiliki pengaruh negatif terhadap IHK, sedangkan IHK juga memiliki pengaruh yang positif terhadap PDB. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kebijakan moneter dengan variabel SBI, Kurs dan JUB berinteraksi dengan variabel makroekonomi seperti PDB, IHI dan IHK.

5.2. Saran

1. Sebaiknya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pengendalian harus dilakukan melalui penambahan jumlah uang beredar, menstabilkan kurs dan indeks harga konsumen, hal tersebut akan menyebabkan kenaikan PDB yang cukup signifikan setiap tahunnya.

2. Sebaiknya dalam mengendalikan IHK, pemerintah harus menurunkan biaya-biaya yang bersumber dari kenaikan IHI dan pengendalian SBI.

3. Sebaiknya tingkat bunga SBI berada dalam level yang mampu mendukung pengendalian IHK dan pertumbuhan ekonomi yang stabil.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Badan Pusat Statistik. 1995. Statistik Kesejahteraan Rakyat. Jakarta. Boediono. 2000. Ekonomi Moneter. Edisi Ketiga. BPFE. Yogyakarta.

Branson, William H. 1989. Macroeconomics Theory and Policy. Third Edition. Harper & Row. Publisher. Inc., New York.

Damodar R. Gujarati. 2006. Dasar-dasar Ekonometrika. Jilid 1. Alih Bahasa Julius Mulyadi. Erlangga. Jakarta.

Dewi, Rika Kumala. 2006. Analisa Komparatif Pendekatan Kuantitas dan

Pendekatan Harga dalam Rangka Mencapai Stabilitas Inflasi. FE UI. Jakarta.

Ferdian, Rully. 2001. Independensi BI dalam Mengendalikan Inflasi. Tidak Dipublikasikan. FE UII. Yogyakarta.

Husein, Umar. 2008. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis. Edisi Kedua. Cetakan Pertama. Rajawali Press. Jakarta.

Irawan, Fery, dan Sugiharso Safuan. 2005. Kebijakan Moneter, Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi: Pengujian Hipotesis Ekspektasi Rasional dengan Analisis VAR. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia. Vol. VI No. 01. Jakarta.

Kuncoro, M. 2001. Metode Kuantitatif: Teori Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi. Edisi Pertama. AMP YKPN. Yogyakarta.

Makridakis, Spyros dkk. 1991. Metode dan Aplikasi Peramalan. Edisi Kedua Penerbit Erlangga. Jakarta.


(5)

________. 2009. Ekonomi Keuangan dan Kebijakan Moneter. Cetakan Pertama. Salemba Empat. Jakarta.

Mankiw, Gregory N. 2006. Principles of Economics. Pengantar Ekonomi Makro. Edisi Ketiga. Alih Bahasa Chriswan Sungkono. Salemba Empat. Jakarta. Noor Yudanto dan M. Setyawan Santoso. 1998. Dampak Krisis Ekonomi terhadap

Sector Riil. Bank Indonesia. Studi Sector Riil.

Nopirin. 2000. Ekonomi Moneter. Buku II. Edisi Kesatu. Cetakan Kesepuluh. BPFE UGM. Yogyakarta.

Pohan, Aulia. 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia. Cetakan Pertama. PT. Raja Grafindo. Jakarta.

Pratomo, Wahyu Ario dan Paidi Hidayat. 2007. Pedoman Praktis Penggunaan

Eviews dalam Ekonometrika. Cetakan Pertama. USU Press. Medan.

Sitorus, Franseno. 1995. Sumber Inflasi dalam Variabel Moneter Indoneia: Analisa

Hubungan Kausalitas Inflasi dan Variabel Pembentukan Uang Beredar (Aplikasi VAR dan ARIMA). Skripsi FEUI. Jakarta.

Sugiyono, F.X. 2004. Instrumen Pengendalian Moneter: Operasi Pasar Terbuka. PPSK BI. Jakarta.

Sukirno, Sadono. 2002. Teori Makro Ekonomi. Cetakan Keempat Belas. Rajawali Press. Jakarta.

Susanti, Hera, Moh. Ikhsan, dan Widyanti. 2000. Indikator-indikator Makroekonomi. ed.2. Lembaga Penerbit FEUI. Jakarta.

Warjiyo, Perry. ed. 2004. Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia: Sebuah Pengantar. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan. Jakarta.

Warjiyo, Perry., dan Solikin. 2003. Kebijakan Moneter di Indonesia. PPSK BI. Jakarta.


(6)

Internet

http://finance.yahoo.com. www.bi.go.id.

www.bei.co.id.

www.danareksaonline.com. www.etrading.co.id.