Profil Plasmid Bacillus thuringiensis Isolat Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi

(1)

PROFIL PLASMID

Bacillus thuringiensis

ISOLAT JAKARTA, BOGOR, TANGERANG, DAN BEKASI

WISNU HERLAMBANG

PROGRAM STUDI BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

ABSTRAK

WISNU HERLAMBANG. Profil Plasmid

Bacillus thuringiensis

Isolat Jakarta,

Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Dibimbing oleh MEGA SAFITHRI dan

EDDY JUSUF.

Protein Cry yang dihasilkan oleh

Bacillus thuringiensis

telah dimanfaatkan dan

dikembangkan sebagai insektisida hayati (bioinsektisida). Protein ini bersifat

spesifik membunuh larva serangga tertentu dan tidak beracun terhadap manusia

maupun vertebrata lainnya. Gen

cry

yang menyandi protein Cry pada sebagian

besar

B. thuringiensis

didapatkan pada mega plasmid yang berukuran 75 MDa

atau 113 kbp. Melalui penelitian ini diidentifikasi mega plasmid pembawa gen

cry

maupun plasmid kecil pada isolat

B. thuringiensis

. Mega plasmid pembawa gen

cry

tersebut dapat ditransformasikan ke bakteri lain atau disimpan sebagai pustaka

gen. Penelitian ini menggunakan 36 isolat

B. thuringiensis

yang telah diisolasi

dari wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Identifikasi

mega plasmid pembawa gen

cry

dilakukan dengan menggunakan elektroforesis

gel agarosa dan pembentukan profil plasmid dilakukan dengan mengunakan

elektroforesis medan berpulsa.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa isolat tersebut tidak memiliki mega

plasmid yang membawa gen

cry

. Pembentukan profil plasmid yang dilakukan

memperlihatkan hanya beberapa isolat yang memiliki plasmid yaitu isolat 3l, 3n,

22g, 31e, 37-t1, dan 37-t3. Tidak ditemukannya plasmid berukuran 75 MDa, yang

berpotensi membawa gen

cry

, mengindikasikan 36 isolat

B. thuringiensis

tersebut

telah kehilangan potensinya sebagai bioinsektisida.


(3)

ABSTRACT

WISNU HERLAMBANG. Plasmid Profile of

Bacillus thuringiensis

Isolates from

Jakarta, Bogor, Tangerang, and Bekasi. Under the direction of MEGA SAFITHRI

and EDDY JUSUF.

Cry protein, produced by

Bacillus thuringiensis

, had been used and developed

as bioinsecticide. This protein specifically killed certain insect larvae but nontoxic

to human or other vertebrata. Cry protein that encoded by

cry

genes can be

obtained from 75 MDa or 113 kbp

B. thuringiensis

mega plasmids. Through this

research, both mega plasmids as

cry

genes carrier and small plasmid were

identified. Mega plasmids can be transformed to other bacteria or saved as

genomic library. Thirty six isolates of

B. thuringiensis

had been isolated from

Jakarta, Bogor, Tangerang and Bekasi (Jabotabek). Mega plasmids as

cry

genes

carrier identified by agarose gel electrophoresis and formatting plasmid profiles

by pulsed-field gel electrophoresis.

The result showed that

B. thuringiensis

isolates didn t have mega plasmid

which carried

cry

genes. Plasmid profiles formation showed some isolates had

plasmids, they are isolates 3l, 3n, 22g, 31e, 37-t1 and 37-t3. It hadn t find any 75

MDa plasmids which potentially carried

cry

genes on 36

B. thuringiensis

isolates

so it indicated those local isolates had lost their potential as bioinsecticide.


(4)

PROFIL PLASMID

Bacillus thuringiensis

ISOLAT JAKARTA, BOGOR, TANGERANG, DAN BEKASI

WISNU HERLAMBANG

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Program Studi Biokimia

PROGRAM STUDI BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(5)

Judul Skripsi : Profil Plasmid

Bacillus thuringiensis

Isolat Jakarta, Bogor,

Tangerang, dan Bekasi

Nama : Wisnu Herlambang

NIM :

G44103039

Disetujui

Komisi Pembimbing

Mega Safithri, S.Si.,M.Si Drs. Eddy Jusuf, DES

Ketua Anggota

Diketahui

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S.

NIP 131 473 999


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 September 1985 dari pasangan

Sudiyono dan Sarwanti. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Labschool Jakarta dan pada tahun yang

sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB

(USMI). Penulis memilih Program Studi Biokimia, Departemen Kimia, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Tahun 2006,

penulis mengikuti Praktik Kerja Lapang di Laboratorium Rekayasa Mikrob dan

Genetika, Bidang Biologi Molekular dan Mikrob, Pusat Penelitian Bioteknologi

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong, Bogor.


(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan pemilik

semesta alam dan ilmu pengetahuan yang telah memberi sepercik ilmu dari jagat

pengetahuan-Nya kepada penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi

ini disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis dalam kurun waktu

antara Februari hingga Agustus 2007 dengan mengambil tempat di Puslit

Bioteknologi LIPI, Cibinong. Materi penelitian untuk skripsi ini berjudul Profil

Plasmid

Bacillus thuringiensis

Isolat Jakarta, Bogor, Tanggerang, dan Bekasi.

Penelitian ini dapat terlaksana dengan bantuan dari banyak pihak, oleh karena

itu penulis ucapkan terima kasih kepada Mega Safithri, S.Si., M.Si. dan

Drs. Eddy Jusuf, DES selaku komisi pembimbing yang telah dengan sabar

berkenan memberikan bimbingan, saran dan bantuan dalam proses penelitian.

Terima kasih untuk seluruh staff Puslit Bioteknologi LIPI khususnya untuk

Mba Neneng, Mas Ridwan serta rekan-rekan kerja di laboratorium Isra, Andika,

dan Wurian atas bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian. Ucapan

terima kasih juga penulis sampaikan untuk kedua Orang tua penulis, Adik, dan

Ni Putu Ayu Saraswati yang dengan tulus dan penuh kasih sayang telah

memberikan semangat, bantuan moril maupun materil kepada penulis selama

penelitian ini berlangsung.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Oktober 2007


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA ... 1

Fenotipe

Bacillus thuringiensis

... 1

Genotipe

Bacillus thuringiensis

... 2

Induksi Plasmid dengan Antibiotik ... 3

Elektroforesis Gel Agarosa ... 3

Elektroforesis Gel Medan Berpulsa ... 4

BAHAN DAN METODE ... 5

Alat dan Bahan ... 5

Metode ... 5

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 7

SIMPULAN ... 11

SARAN ... 11

DAFTAR PUSTAKA ... 11


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Beberapa plasmid yang telah diketahui ukurannya ... 2

2 Hasil induksi antibiotik ... 8

3 Hasil kuantifikasi DNA plasmid ... 9

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Bacillus thuringiensis

. ... 2

2 Proses kerja elektroforesis gel ... 4

3 Struktur agarosa ... 4

4 Hasil induksi dengan ampisilin ... 8

5 Produk hasil isolasi plasmid ... 8

6 Plasmid yang siap dikuantifikasi ... 9

7 Hasil elektroforesis mega plasmid pada gel agarosa 0,5 % ... 9


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Strategi penelitian ... 14

2 Daftar isolat

B. thuringiensis

yang digunakan beserta asalnya ... 15

3 Pemisahan fragmen DNA melalui elektroforesis gel agarosa ... 16


(11)

PROFIL PLASMID

Bacillus thuringiensis

ISOLAT JAKARTA, BOGOR, TANGERANG, DAN BEKASI

WISNU HERLAMBANG

PROGRAM STUDI BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(12)

ABSTRAK

WISNU HERLAMBANG. Profil Plasmid

Bacillus thuringiensis

Isolat Jakarta,

Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Dibimbing oleh MEGA SAFITHRI dan

EDDY JUSUF.

Protein Cry yang dihasilkan oleh

Bacillus thuringiensis

telah dimanfaatkan dan

dikembangkan sebagai insektisida hayati (bioinsektisida). Protein ini bersifat

spesifik membunuh larva serangga tertentu dan tidak beracun terhadap manusia

maupun vertebrata lainnya. Gen

cry

yang menyandi protein Cry pada sebagian

besar

B. thuringiensis

didapatkan pada mega plasmid yang berukuran 75 MDa

atau 113 kbp. Melalui penelitian ini diidentifikasi mega plasmid pembawa gen

cry

maupun plasmid kecil pada isolat

B. thuringiensis

. Mega plasmid pembawa gen

cry

tersebut dapat ditransformasikan ke bakteri lain atau disimpan sebagai pustaka

gen. Penelitian ini menggunakan 36 isolat

B. thuringiensis

yang telah diisolasi

dari wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Identifikasi

mega plasmid pembawa gen

cry

dilakukan dengan menggunakan elektroforesis

gel agarosa dan pembentukan profil plasmid dilakukan dengan mengunakan

elektroforesis medan berpulsa.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa isolat tersebut tidak memiliki mega

plasmid yang membawa gen

cry

. Pembentukan profil plasmid yang dilakukan

memperlihatkan hanya beberapa isolat yang memiliki plasmid yaitu isolat 3l, 3n,

22g, 31e, 37-t1, dan 37-t3. Tidak ditemukannya plasmid berukuran 75 MDa, yang

berpotensi membawa gen

cry

, mengindikasikan 36 isolat

B. thuringiensis

tersebut

telah kehilangan potensinya sebagai bioinsektisida.


(13)

ABSTRACT

WISNU HERLAMBANG. Plasmid Profile of

Bacillus thuringiensis

Isolates from

Jakarta, Bogor, Tangerang, and Bekasi. Under the direction of MEGA SAFITHRI

and EDDY JUSUF.

Cry protein, produced by

Bacillus thuringiensis

, had been used and developed

as bioinsecticide. This protein specifically killed certain insect larvae but nontoxic

to human or other vertebrata. Cry protein that encoded by

cry

genes can be

obtained from 75 MDa or 113 kbp

B. thuringiensis

mega plasmids. Through this

research, both mega plasmids as

cry

genes carrier and small plasmid were

identified. Mega plasmids can be transformed to other bacteria or saved as

genomic library. Thirty six isolates of

B. thuringiensis

had been isolated from

Jakarta, Bogor, Tangerang and Bekasi (Jabotabek). Mega plasmids as

cry

genes

carrier identified by agarose gel electrophoresis and formatting plasmid profiles

by pulsed-field gel electrophoresis.

The result showed that

B. thuringiensis

isolates didn t have mega plasmid

which carried

cry

genes. Plasmid profiles formation showed some isolates had

plasmids, they are isolates 3l, 3n, 22g, 31e, 37-t1 and 37-t3. It hadn t find any 75

MDa plasmids which potentially carried

cry

genes on 36

B. thuringiensis

isolates

so it indicated those local isolates had lost their potential as bioinsecticide.


(14)

PROFIL PLASMID

Bacillus thuringiensis

ISOLAT JAKARTA, BOGOR, TANGERANG, DAN BEKASI

WISNU HERLAMBANG

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Program Studi Biokimia

PROGRAM STUDI BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(15)

Judul Skripsi : Profil Plasmid

Bacillus thuringiensis

Isolat Jakarta, Bogor,

Tangerang, dan Bekasi

Nama : Wisnu Herlambang

NIM :

G44103039

Disetujui

Komisi Pembimbing

Mega Safithri, S.Si.,M.Si Drs. Eddy Jusuf, DES

Ketua Anggota

Diketahui

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S.

NIP 131 473 999


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 September 1985 dari pasangan

Sudiyono dan Sarwanti. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Labschool Jakarta dan pada tahun yang

sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB

(USMI). Penulis memilih Program Studi Biokimia, Departemen Kimia, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Tahun 2006,

penulis mengikuti Praktik Kerja Lapang di Laboratorium Rekayasa Mikrob dan

Genetika, Bidang Biologi Molekular dan Mikrob, Pusat Penelitian Bioteknologi

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong, Bogor.


(17)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan pemilik

semesta alam dan ilmu pengetahuan yang telah memberi sepercik ilmu dari jagat

pengetahuan-Nya kepada penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi

ini disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis dalam kurun waktu

antara Februari hingga Agustus 2007 dengan mengambil tempat di Puslit

Bioteknologi LIPI, Cibinong. Materi penelitian untuk skripsi ini berjudul Profil

Plasmid

Bacillus thuringiensis

Isolat Jakarta, Bogor, Tanggerang, dan Bekasi.

Penelitian ini dapat terlaksana dengan bantuan dari banyak pihak, oleh karena

itu penulis ucapkan terima kasih kepada Mega Safithri, S.Si., M.Si. dan

Drs. Eddy Jusuf, DES selaku komisi pembimbing yang telah dengan sabar

berkenan memberikan bimbingan, saran dan bantuan dalam proses penelitian.

Terima kasih untuk seluruh staff Puslit Bioteknologi LIPI khususnya untuk

Mba Neneng, Mas Ridwan serta rekan-rekan kerja di laboratorium Isra, Andika,

dan Wurian atas bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian. Ucapan

terima kasih juga penulis sampaikan untuk kedua Orang tua penulis, Adik, dan

Ni Putu Ayu Saraswati yang dengan tulus dan penuh kasih sayang telah

memberikan semangat, bantuan moril maupun materil kepada penulis selama

penelitian ini berlangsung.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Oktober 2007


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA ... 1

Fenotipe

Bacillus thuringiensis

... 1

Genotipe

Bacillus thuringiensis

... 2

Induksi Plasmid dengan Antibiotik ... 3

Elektroforesis Gel Agarosa ... 3

Elektroforesis Gel Medan Berpulsa ... 4

BAHAN DAN METODE ... 5

Alat dan Bahan ... 5

Metode ... 5

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 7

SIMPULAN ... 11

SARAN ... 11

DAFTAR PUSTAKA ... 11


(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Beberapa plasmid yang telah diketahui ukurannya ... 2

2 Hasil induksi antibiotik ... 8

3 Hasil kuantifikasi DNA plasmid ... 9

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Bacillus thuringiensis

. ... 2

2 Proses kerja elektroforesis gel ... 4

3 Struktur agarosa ... 4

4 Hasil induksi dengan ampisilin ... 8

5 Produk hasil isolasi plasmid ... 8

6 Plasmid yang siap dikuantifikasi ... 9

7 Hasil elektroforesis mega plasmid pada gel agarosa 0,5 % ... 9


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Strategi penelitian ... 14

2 Daftar isolat

B. thuringiensis

yang digunakan beserta asalnya ... 15

3 Pemisahan fragmen DNA melalui elektroforesis gel agarosa ... 16


(21)

1

PENDAHULUAN

Bacillus thuringiensis adalah bakteri jenis Gram positif yang berspora, berbentuk batang

dan aerob.B. thuringiensis didapatkan hampir

di seluruh pulau dan benua, dari 0 hingga 3000 meter di atas permukaan laut. Keistime-waan bakteri ini adalah kemampuannya men-sintesis protein yang bersifat toksik spesifik terhadap jenis-jenis serangga dan cacing yang disebut protein kristal (protein Cry).

Sejak tahun 1930 bakteri ini telah dimanfaatkan dan dikembangkan dalam ber-bagai formulasi komersial seber-bagai insektisida hayati (bioinsektisida) untuk mengendalikan hama pertanian dan nyamuk penular penyakit malaria maupun nyamuk demam berdarah. Bioinsektisida ini memiliki keunggulan dalam menjaga lingkungan dari bahaya pencemaran dan ketidakseimbangan ekosistem. Banyak galur dari bakteri ini yang menghasilkan protein yang beracun bagi serangga golongan Lepidoptera, Diptera, Coleoptera, Spodoptera, dan juga cacing (Nematoda).

Spesies bakteri ini memiliki banyak sekali subspesies yang dibedakan berdasarkan sifat serologi dari flagellanya. Setiap subspesies memiliki bermacam-macam galur yang dibe-dakan berdasarkan sifat toksisitas dan karakter molekul DNAnya. Protein Cry disebut juga dengan nama -endotoksin. Sasaran protein Cry sangat bervariasi dan hingga kini telah diidentifikasi lebih dari 68 jenis protein Cry dengan variasi jenis-jenis serangga sasaran-nya. Racun yang dihasilkan bersifat spesifik membunuh larva serangga tertentu dan tidak bersifat racun terhadap manusia maupun vertebrata lainnya (Hofte 1989).

Protein Cry ini disandi oleh gencry yang

pada kebanyakanB. thuringiensis didapatkan

pada plasmid. Plasmid adalah molekul DNA ekstrakromosom. Jumlah plasmid pada setiap selB. thuringiensis sangat bervariasi. Satu sel

B. thuringiensis dapat memiliki 2 sampai 20 buah plasmid. Plasmid-plasmid tersebut

ber-ukuran 2 sampai 200 kbp (kilobase pair).

Plasmid yang berukuran kurang dari 20 kbp disebut sebagai plasmid kecil dan yang berukuran lebih dari 20 kbp disebut plasmid

besar, dimana biasanya gen cry didapatkan.

Gen cry didapatkan pada salah satu plasmid

yang berukuran lebih dari 75 MDa (Mega Dalton) atau 113 kbp (Donovan 1988). Penelitian bertujuan mendapatkan plasmid pembawa gen penyandi -endotoksin dari

B. thuringiensis isolat-isolat lokal. Plasmid tersebut dapat digunakan untuk keperluan

rekayasa genetika selanjutnya. Plasmid tersebut disimpan dalam bentuk pustaka gen. Penelitian ini memiliki hipotesis bahwa

setiap B. thuringiensis isolat Jakarta, Bogor,

Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek) memiliki jumlah plasmid yang beragam. Selain itu isolat-isolat ini memiliki potensi membawa penyandi gen -endotoksin yang berada pada plasmid berukuran 75 MDa bobot molekul atau 113 kbp. Jika plasmid tidak berhasil

ditemukan berartiB. thuringiensis isolat lokal

tersebut telah kehilangan potensinya sebagai bioinsektisida.

Plasmid yang diperoleh merupakan sumber gen penyandi -endotoksin yang dapat ditransformasikan ke bakteri lain. Plasmid juga dapat diambil sekuen gen penyandi -endotoksin untuk kemudian diligasi ke plasmid vektor menjadi pustaka gen.

TINJAUAN PUSTAKA

FenotipeBacillus thuringiensis

Ishiwata pada tahun 1905 berhasil

meng-isolasi bakteri dari larva ulat sutra (Bombyx

mori) yang diberi namaBacillus sotto. Tahun

1909 Berliner juga mengisolasi bakteri

pem-bentuk spora dari larva ulat Ephestia

kuehniela di wilayah Thuringia, Jerman yang

diberi namaBacillus thuringiensis. Kemudian

pada tahun 1951 diketahui bahwa B. sotto

identik denganB. thuringiensis. Kedua bakteri

tersebut masih satu jenis hanya berbeda subspesies atau galurnya (Dubois dan Lewis

1981). B. thuringiensis adalah bakteri tanah

dan biasanya banyak ditemukan di peternakan ulat sutra. Bakteri ini dapat diisolasi dari tanah di berbagai penjuru dunia, dari bangkai larva, daun berbagai jenis tanaman, makanan ternak, serta dari biji-bijian.

B. thuringiensis digolongkan ke dalam

genus Bacillus, famili Bacillaceae, ordo

Eubacteriales dan kelas Schizomycetes.

B. thuringiensis adalah bakteri berbentuk batang, berspora, bersifat aerob, memberikan aspek pewarnaan Gram positif, dan memiliki spora yang menghasilkan protein kristal selama masa sporulasi yang bersifat toksik terhadap larva serangga serta mempunyai

suhu pertumbuhan minimum l0-15 oC, suhu

maksimum 40-45oC, dan suhu optimum

25-37 oC. Kristal protein ini merupakan protein

ber-ukuran besar (sekitar 130-140 kDa) yang sebenarnya adalah protoksin. Protoksin hanya memiliki sifat toksin apabila diaktivasi oleh suatu kondisi tertentu (Deacon 2000). Sifat


(22)

2

protoksin ini menyebabkan toksin bersifat spesifik.

Ciri utama B. thuringiensis adalah

pembentukan protein kristal berupa -endotoksin. Protein ini kemudian dikenal sebagai protein kristal atau protein Cry dan telah diteliti secara mendalam pada bakteri

B. thuringiensissubsp.kurstaki. Pembentukan protein kristal umumnya terjadi pada tahap II dan tahap III dalam proses sporulasi atau pembentukan spora (seperti terlihat pada Gambar 1). Potein kristal ini terdiri dari 18 macam asam amino dan asam amino yang paling banyak adalah asam aspartat dan asam glutamat dengan konsentrasi kurang lebih 25% dari seluruh asam amino yang ada (Hofte 1989).

Protein dari gencry bersifat sangat tidak

larut air dalam kondisi asam, sehingga akan aman terhadap hewan tingkat tinggi yang memiliki kondisi asam dalam pencernaannya termasuk manusia dan serangga bukan target (Deacon 2000). Protein Cry akan sangat mudah larut dalam kondisi basa (sekitar pH 9-10). Kondisi demikian akan membuat protein Cry akan mudah larut dan berubah menjadi toksin aktif. Kondisi usus serangga yang basa akan melarutkan kristal sehingga protein Cry dipecah oleh enzim protease menjadi suatu toksin aktif bernama -endotoksin (delta-endotoksin) (Gatehouse dan Gatehouse 2001).

B. thuringiensis memproduksi dua tipe toksin. Tipe yang umum dikenal sebagai tipe

crystal (Cry) yang disandikan oleh beberapa

gen cry. Tipe yang kedua adalah tipe

Cytosolic (Cyt) yang dapat menambah kerja toksin Cry (STA-LIPI 2005). Menurut Bulla

et al. (1980), larva Lepidoptera yang

ter-infeksi olehB. thuringiensis umumnya

mem-perlihatkan gejala yang sama yaitu larva menjadi coklat atau hitam, lunak dan berkerut sehingga menyebabkan kematian pada larva tersebut.

Gambar 1Bacillus thuringiensis (Sumber :

scimat.com 2001).

GenotipeBacillus thuringiensis

Selain kromosom, DNA lingkaran ber-ukuran sangat besar yang terletak di daerah inti, kebanyakan spesies bakteri mengandung satu atau lebih molekul DNA lingkaran berukuran kecil yang terdapat bebas di dalam sitoplasma sel. Elemen ekstra kromosomal ini dinamakan plasmid (Lehninger 1982). Kebanyakan plasmid berukuran sangat kecil dan mengandung hanya beberapa gen, dibandingkan dengan kromosom bakteri yang mengandung ribuan gen. Gen-gen plasmid ini tidak diperlukan untuk pertahanan hidup dan reproduksi bakteri pada kondisi normal

(Campbell et al. 1999) Plasmid membawa

informasi genetik dan mengalami replikasi, menghasilkan plasmid anak, yang diteruskan ke sel anak ketika sel membelah diri. Plasmid mempunyai kehidupan yang terpisah, terlepas dari DNA kromosom melalui serangkaian pembelahan sel.

Plasmid terdistribusi secara luas di seluruh prokariot, besarnya bervariasi dari ukuran

kurang dari 1.106 Dalton sampai lebih besar

dari 200.106 Dalton dan umumnya dapat

dikeluarkan (Old dan Primrose 1985).

Beberapa galur B. thuringiensis telah

di-ketahui ukuran plasmidnya (Tabel 1). Aspek penting lainnya mengenai plasmid adalah bahwa molekul ini dapat diisolasi dengan mudah dari sel bakteri. Gen baru dari spesies lain dapat dimasukkan ke dalam isolat plasmid yang telah termodifikasi ini dapat dimasukkan kembali ke sel inang normalnya. Plasmid tersebut, yang mengandung gen asing, akan direplikasi dan ditranskripsi, dan dapat juga menyebabkan sel inang membuat protein yang disandi melalui penambahan gen secara artifisial ini, walaupun gen ini bukan merupakan bagian genom normal sel.

Tabel 1 Beberapa plasmid yang telah

diketahui ukurannya (Ziegler et

al. 1999)

Ukuran Plasmid (MD) Nama Subspecies dan galur

Menurut Hibridisasi

Menurut Transkonjugasi

thuringiensis HD-2 HD-120 HD-290 Berliner 1715

finitimus alesti HD-4

kurstakiHD-1 Dipel HD-73 HD-172 HD-244 HD-279 HD-263

42, 54, 55, 57 42, 60, 150 50, 60, 150

42 98 120 150 50 50, 150 50, 150 44, 60,150 115 75 98 105 50


(23)

3

Induksi Plasmid dengan Antibiotik

Plasmid merupakan elemen ekstra

kromosomal (Lehninger 1982). Gen-gen yang terdapat plasmid ini tidak diperlukan untuk pertahanan hidup dan reproduksi bakteri pada kondisi normal sehingga plasmid hanya akan terbentuk ketika bakteri dalam keadaan

tercekam (Campbell et al. 1999). Pemberian

antibiotik pada media bakteri memberikan

cekaman (stress) terhadap bakteri tersebut

sehingga bakteri akan terus memproduksi plasmid untuk kelangsungan hidupnya.

Beberapa penelitian juga menambahkan antibiotik pada media tumbuh bakteri agar bakteri tetap mempertahankan plasmidnya.

Walter et al. (2005) menumbuhkan bakteri

E. coli dalam media LB yang diberi 12,5 µg kloramfenikol per mL media agar bakteri tersebut tidak kehilangan plasmid yang mengandung BAC vektor pIndigoBAC-5

yang telah disisipkan sebelumnya. Kielet al.

(1995) menambahkan 100 mg/ml ampisilin, 10 mg/ml kloramfenikol, 100 mg/ml eritromisin, 50 mg/ml kanamisin, 10 mg/ml

tetrasiklin dalam media tumbuh E. coli dan

menambahkan 1 mg/ml eritromisin serta 10 mg/ml kanamisin pada media tumbuh

B. subtilis agar kedua bakteri tersebut tidak kehilangan plasmidnya

Cara kerja gen resisten terhadap antibiotik disebabkan karena satu dari tiga mekanisme berikut, yaitu dengan mengubah daerah target interaksi antibiotik, mencegah masuknya antibiotik ke dalam sel, atau menghasilkan enzim yang memodifikasi atau menginaktif-kan enzim (Rodriguez & Tait 1983). Ampisilin adalah senyawa turunan dari penisilin yang akan menghambat pertumbuh-an bakteri dengpertumbuh-an cara menggpertumbuh-anggu reaksi terminal pada sintesis dinding sel bakteri. Gen yang menyandi resistensi terhadap ampisilin

(bla) ini memiliki mekanisme resisten dengan

menghasilkan enzim periplasma, -laktamase, yang dapat memecah cincin -laktam dari ampisilin. Tetrasiklin adalah senyawa bakteriostatik yang menghambat sintesis protein bakteri dengan cara berikatan dengan ribosom subunit 30S. Gen resisten terhadap

tetrasiklin (tet) akan menghasilkan protein

yang akan memodifikasi membran bakteri dan mencegah transport tetrasiklin ke dalam sel. Streptomisin adalah senyawa bakteriostatik yang berikatan dengan ribosom subunit 30S dan menyebabkan kesalahan pembacaan mRNA. Gen resisten terhadap streptomisin

(str) akan menghasilkan enzim yang akan

memodifikasi streptomisin sehingga

menghambatnya untuk menempel pada ribosom.

Elektroforesis Gel Agarosa

Teknik elektroforesis adalah suatu teknik pemisahan senyawa berdasarkan kecepatan migrasi dari senyawa yang bermuatan listrik di bawah pengaruh medan listrik searah (Muladno 2002). Elektroforesis terbagi

menjadi dua jenis, yaitu free elektroforesis

dan zonal elektroforesis. Elektroforesis gel agarosa termasuk jenis zonal elektroforesis karena menggunakan gel sebagai media penyangga. Pada teknik ini, contoh diteteskan di atas media penyangga. Pemberian arus listrik pada penyangga akan menyebabkan terjadinya pemisahan komponen-komponen contoh dalam bentuk zona (pita). Semakin tipis zona yang terbentuk, semakin sempurna pemisahannya.

Elektroforesis gel agarosa (Gambar 2) merupakan metode standar untuk pemisahan, identifikasi, dan pemurnian fragmen DNA. Teknik elektroforesis gel agarosa memiliki beberapa kelebihan, yaitu pelaksanaannya sederhana dan cepat, serta dapat memisahkan fragmen-fragmen DNA yang tidak dapat dipisahkan secara tepat dengan menggunakan teknik lain, seperti sentrifugasi gradien densitas. Selain itu, lokasi dari DNA dalam gel dapat ditentukan secara langsung dengan menggunakan pewarna flouresensi yang bisa menginterkalasi DNA yaitu etidium bromida. Pita-pita yang mengandung DNA dapat dideteksi di bawah sinar ultraviolet (Sambrook dan Russell 1989). Jika diperlukan pita-pita DNA ini bisa diisolasi dari gel untuk keperluan sekuensing dan kloning gen.

Agarosa (Gambar 3) merupakan polimer yang diekstrak dari rumput laut dengan struktur utamanya berupa disakarida, D-galaktosa, dan 3,6-anhidro L-galaktosa. Agarosa yang ada di pasaran kadang-kadang telah terkontaminasi oleh polisakarida, garam-garam, dan protein. Kontaminan ini akan mempengaruhi migrasi dan kemampuan DNA untuk diisolasi dari gel. Beberapa pabrik telah menjual agarosa yang telah dimodifikasi secara kimia sehingga gel bisa meleleh dalam temperatur rendah tanpa menimbulkan kerusakan ketika gel mengeras. Agarosa yang demikian dapat digunakan untuk elektroforesis preparatif DNA dan untuk digesti DNA dengan menggunakan enzim restriksi.


(24)

4

Gambar 2 Proses kerja elektroforesis gel agarosa.

Gambar 3 Struktur agarosa.

Gel agarosa dicetak dengan mendidihkan agarosa setelah dilarutkan dengan bufer yang sesuai. Larutan agarosa yang telah mendidih kemudian dituang ke pencetak setelah ditambahkan etidium bromida dan dibiarkan mengeras. Selama pengerasan, agarosa membentuk matriks yang densitasnya bisa ditentukan dengan mengatur konsentrasi agarosa. Pemisahan dapat terjadi akibat adanya efek penyaringan oleh matriks gel agarosa.

Kemampuan gel agarosa dalam memisahkan fragmen-fragmen DNA lebih tinggi dibanding gel biasa, tetapi resolusinya lebih rendah dibandingkan poliakrilamida. Di sisi lain, gel agarosa mampu memisahkan DNA dalam kisaran pemisahan yang besar. DNA yang berukuran 200 bp sampai kira-kira 50 kb dapat dipisahkan dalam gel agarosa dengan menggunakan konsentrasi gel yang bervariasi. Konsentrasi agarosa yang sering dipakai berkisar antara 0,7-1,5% (Sambrook dan Russell 1989). Kemampuan masing-masing konsentrasi gel untuk memisahkan fragmen DNA telah diketahui. Konsentrasi gel yang sangat encer (sekitar 0,1-0,2 %) dapat meningkatkan daya pisah elektroforesis. Hal ini sulit dilakukan karena gel yang encer sangat mudah pecah.

Gel agarosa biasanya dijalankan dengan konfigurasi horizontal dengan menggunakan arah dan medan listrik yang konstan. Ketika medan listrik dilalukan melalui gel agarosa, DNA yang bermuatan negatif pada pH netral akan bermigrasi menuju ke anoda. Sedangkan yang bermuatan positif pada pH netral akan bermigrasi menuju ke katoda. Kecepatan migrasi DNA di dalam gel agarosa akan ditentukan oleh sejumlah faktor, yaitu ukuran

molekul DNA, konsentrasi agarosa, konformasi dari DNA, tegangan listrik yang diberikan, arah medan listrik, adanya pewarna interkalasi, komposisi dari bufer elektro-foresis, komposisi basa, dan temperatur (Sambrook dan Russell 1989).

Elektroforesis Gel Medan Berpulsa (Pulsed-field Gel Electrophoresis)

Elektroforesis gel medan berpulsa atau

pulsed-field gel electrophoresis (PFGE), dikembangkan pada tahun 1984 untuk memisahkan DNA kromosom khamir. PFGE memfasilitasi migrasi yang berbeda dari fragmen DNA besar melewati gel agarosa dengan secara konstan mengubah arah medan listrik selama proses elektroforesis berlangsung. PFGE mampu memisahkan DNA dengan ukuran 5000 kbp. Pemisahan molekul-molekul DNA menggunakan teknik PFGE dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi gel agarosa yang digunakan, suhu bufer, waktu pulsa, kekuatan medan listrik, bentuk medan listrik dan topologi DNA

(Matthew et al. 1988). Pemisahan

molekul-molekul DNA yang baik pada teknik elektroforesis ini dapat dikembangkan dengan mengaplikasikan kombinasi antara konsentrasi gel agarosa yang lebih tinggi dengan waktu elektroforesis yang lebih lama. Waktu pulsa dan kekuatan medan listrik juga berpengaruh pada pemisahan molekul-molekul DNA. Molekul DNA yang lebih besar akan memerlukan waktu pergerakan yang lebih lama jika dibandingkan dengan molekul DNA yang lebih kecil.

Menurut Matthewet al. (1988), mobilitas

molekul-molekul DNA selama proses elektroforesis pada teknik ini sangat sensitif terhadap perubahan suhu. Mobilitas DNA akan meningkat dengan peningkatan suhu dari

15 oC sampai 20 oC. Percobaan terhadap

posisi elektroda telah dilakukan oleh Cantoret

al. (1988), hasil percobaan menunjukkan

bahwa konfigurasi elektroda dengan sudut

lebih besar dari 110o memberikan hasil yang

efektif dalam pemisahan. Topologi DNA yang berbeda akan memerlukan waktu yang berbeda untuk menghasilkan pemisahan

molekul-molekul DNA yang baik (Matthewet

al. 1988).

Walaupun demikian PFGE juga memiliki beberapa keterbatasan, antara lain memakan waktu, membutuhkan keterampilan tingkat tinggi, tidak selalu berhasil untuk semua hal (contoh: pola klonal), pola yang dihasilkan bisa berbeda dari tiap orang peneliti, tidak


(25)

5

dapat mengoptimalkan pemisahan pada tiap bagian gel di waktu yang bersamaan, pada PFGE pita adalah pita dan bukan sekuens.

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah tabung reaksi, Erlenmeyer,cawan petri, tabung mikro, gelas ukur, labu takar, mikropipet, magnet

pengaduk (stirer), batang pengaduk, sudip,

jarum ose, sarung tangan, kamera dan film polaroid, penangas air, label penanda, para-film, selotip, kapas, aluminium foil, plastik

tahan panas, lemari pendingin, microwave,

autoklaf, inkubator, vorteks, sentrifus Heraeus Biofuge Fresco dengan rotor permanen #3324 berjari-jari 5,5 cm, neraca analitik Sartorius, pengering DNA Savant, spektro-fotometer, peralatan elektroforesis Pharmacia, pH meter Thermolyne, iluminator sinar ultraviolet dan

helmet pelindung radiasi UV.

Bahan-bahan yang digunakan adalah 36

isolat Bacillus thuringiensis (kode isolat: 3a,

3l, 3n, 4g, 5k, 6c, 6l, 7e, 7i, 8c, 9g, 10h, 16j, 16g, 21f, 22g, 22p, 29h, 31a, 31e, 31f, 31x, 32g, 32n, 35r, 37t-1, 37t-3, 40a, 40h, 40i, 40q, 42q, 42k, 42t, 50l, Dd), galur pembanding HD-567, bakto tripton, ekstrak ragi, NaCl, NaOH, bakto agar, amonium asetat, larutan stok Tris-Cl 1 M, larutan stok etilen diamin

tetraasetat acid (EDTA) 0,5 M, glukosa,

sukrosa, alkohol 95%, alkohol absolut, air destilata, larutan isopropanol, bufer Tris-EDTA (TE), bufer Tris-Tris-EDTA-NaCl (TEN), bufer Tris-asam borat-EDTA (TBE), marker

DNA 1 kbp, markermid-range PFG, etidium

bromida, agarosa, ampisilin, kanamisin, tetrasiklin, asam nalidiksat, streptomisin, dan kloramfenikol.

Metode

Isolasi, identifikasi dan purifikasi plasmid

B. thuringiensis dilakukan dalam beberapa tahapan kerja. Secara umum, tahapan awal dimulai dengan peremajaan bakteri dengan uji antibiotik yang kemudian dilanjutkan dengan isolasi DNA dan identifikasi dengan elektroforesis gel agarosa. Kemudian diakhiri dengan pemurnian plasmid dari gel agarosa.

Pembuatan Media Luria Bertani (LB) Padat dengan Antibiotik

Media Luria Bertani dibuat dengan cara mencampurkan 5,00 gram ekstrak ragi, 10,00 gram bakto tripton, dan 10,00 gram NaCl

dalam Erlenmeyer lalu ditambahkan 850 mL air destilata. Larutan diatur pH-nya hingga diperoleh pH 7 dengan menambahkan NaOH 5 N, ditambahkan 12,00 gram agar, lalu dituang ke gelas ukur 1 Liter, ditepatkan volumenya, dan dipanaskan hingga larut. Media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu

121 oC dengan tekanan 2 atm selama 15

manit, lalu dituang ke cawan petri steril dan tabung reaksi steril untuk dibuat agar miring. Sebelum dituang ke dalam cawan petri dan tabung reaksi media ditambahkan antibiotik terlebih dahulu. Antibiotik yang digunakan adalah ampisilin 35 µg/mL, kanamisin 50 µg/mL, tetrasiklin 12,5 µg/mL, streptomisin 25 µg/mL, asam nalidiksat 20 µg/mL, dan kloramfenikol 30 µg/mL. Setiap cawan petri masing-masing diisi dengan satu jenis anti-biotik saja. Penggunaan campuran antianti-biotik dilakukan pada isolat yang memiliki resistensi terhadap lebih dari satu antibiotik. Campuran antibotik yang digunakan antara lain ampisilin 35 µg/mL dengan tetrasiklin 12,5 µg/mL dan ampisilin 35 µg/mL dengan streptomisin 25 µg/mL.

Induksi Plasmid dengan Antibiotik (Sambrook 1989)

Biakan bakteri diambil sebanyak satu ose dari kultur stok, dibiakkan dalam cawan petri berisi media LB dengan metode gores. Biakan ini diinkubasi selama 24 jam, kemudian diamati dan koloni terkecilnya diambil dengan jarum ose untuk digoreskan kembali. Setiap isolat diuji dengan media yang mengandung antibiotik pada suhu 30 °C selama 12 jam, pengujian dilakukan tiga kali untuk setiap isolat. Isolat yang memiliki resistensi terhadap lebih dari satu antibiotik kemudian diujikan kembali dengan menggunakan campuran antibiotik yang dapat ditahan oleh isolat tersebut. Dosis antibiotik yang digunakan pada campuran ini sama dengan uji sebelumnya. Hasil uji antibiotik kemudian digunakan untuk meremajakan setiap biakan bakteri, yang diremajakan dalam 2 tabung reaksi. Tabung reaksi pertama digunakan untuk isolasi DNA sedangkan tabung reaksi kedua digunakan untuk persediaan kultur.

Pembuatan Media Luria Bertani (LB) Cair

Media Luria Bertani cair dibuat dengan cara mencampurkan 5,00 gram ekstrak ragi, 10,00 gram bakto tripton, dan 10,00 gram NaCl dalam Erlenmeyer lalu ditambahkan 850 mL air destilata. Larutan diatur pH-nya dengan menambahkan NaOH 5 N sampai pH mencapai 7, lalu dituang ke gelas ukur 1 Liter,


(26)

6

ditepatkan volumenya, dan dipanaskan hingga larut. Media disterilisasi dengan autoklaf pada

suhu 121oC dengan tekanan 2 atm selama 15

manit, lalu ditambahkan antibiotik dan kemudian dituang ke labu Erlenmeyer steril. Media cair digunakan untuk mengumpulkan biomassa bakteri.

Pembuatan Bufer TEN

Bufer TEN dibuat dengan komposisi 0,1 M NaCl, 10 mM Tris, dan 1 mM EDTA dalam 250 mL air. Tris diambil dari larutan stok 1 M sebanyak 2,5 mL, kemudian EDTA diambil dari larutan stok 0,5 M sebanyak 0,5 mL. NaCl ditimbang sebanyak 1,461 gram. Bahan-bahan tersebut kemudian dicampurkan dan ditambahkan air destilata. Larutan kemudian diukur dengan pH meter dan ditambahkan NaOH hingga pH menjadi 8. Larutan dimasukkan kedalam labu takar 250 mL dan kemudian ditepatkan dengan me-nambahkan air destilata. Larutan kemudian disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121 °C dengan tekanan 2 atm selama 15 menit.

Pembuatan Bufer Lisis

Bufer lisis dibuat dengan mencampurkan beberapa bahan antara lain glukosa, sukrosa, EDTA, dan Tris. Bufer lisis dibuat dengan volume sebanyak 250 mL. Sebanyak 2,25 gram glukosa ditimbang, dilanjutkan dengan menimbang 62,5 gram sukrosa. Tris dan EDTA ditimbang dengan berat yang sama yaitu masing-masing 0,75 gram. Bahan-bahan tersebut dicampurkan dan dilarutkan dengan air destilata. Larutan kemudian dimasukkan kedalam labu takar 250 mL dan ditepatkan hingga tera. Larutan disterilkan dengan

menggunakan filtermilipore 0,44 µm.

Pembuatan SDS Alkalis

Larutan SDS alkalis dibuat dengan mencampurkan SDS dan NaOH dalam 100 mL air destilata. Sebanyak 0,8 gram NaOH dan 1 gram SDS ditimbang. Bahan-bahan tersebut kemudian dilarutkan dengan air destilata. Larutan kemudian dimasukkan kedalam labu takar 100 mL dan ditepatkan hingga tera. Larutan disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121 °C dengan tekanan 2 atm selama 15 menit.

Pembuatan Bufer TE

Bufer TE dibuat dengan komposisi 10 mM Tris dan 0,5 M EDTA. Bufer TE sebanyak 25 mL dibuat dengan mencampurkan 3,653 gran EDTA dan 0,25 mL Tris yang diambil dari stok Tris 1 M. Bahan-bahan tersebut

dicampurkan dan ditambahkan air destilata. Larutan diukur pHnya dengan menggunakan pH meter dan ditambahkan NaOH hingga pH mencapai 8. Larutan kemudain dimasukkan kedalam labu takar 25 mL dan ditepatkan hingga tera. Larutan kemudian disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121 °C dengan tekanan 2 atm selama 15 menit.

Isolasi DNA Plasmid Bakteri

Isolasi DNA plasmid B. thuringiensis

dilakukan dengan metode Allen (1996). Sebanyak 1 ose biakan bakteri diambil dari agar miring dan dibiakkan dalam cawan petri berisi LB dengan metode gores. Biakan ini diinkubasi selama 24 jam lalu koloni terkecilnya diambil dengan jarum ose dan dibiakkan tabung reaksi yang berisi 5 mL LB cair. Biakan ini lalu diinkubasi dalam inkubator bergoyang selama 17 jam.

Sebanyak 5 mL biakan lalu disentrifus selama 20 menit dengan kecepatan 7000 rpm pada suhu 4 °C. Pelet yang diperoleh lalu dicuci dua kali dengan bufer TEN, ditambahkan 0,45 mL bufer lisis dan kemudian ditambahkan 0,33 mL larutan 1 mg/mL lisozim. Campuran diinkubasi pada suhu 37 °C selama 15 menit. Campuran kemudian dipanaskan pada penangas air

dengan suhu 65 oC selama 15 menit. SDS

alkalis ditambahkan sebanyak 0,33 mL, diaduk homogen dan diinkubasi dalam es selama 15 menit. Sebanyak 0,43 mL amonium asetat 7,5 M ditambahkan, lalu dibiarkan selama 15 menit dalam penangas es, aduk homogen, lalu sentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 5000 rpm pada suhu 4°C. Supernatan yang diperoleh lalu ditambahkan 0,5 mL isopropanol, diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit, dan disentrifus kembali selama 10 menit dengan kecepatan 5000 rpm pada suhu 4 °C. Pelet yang diperoleh lalu ditambahkan 0,0667 mL amonium asetat 2 M kemudian diinkubasi dalam es selama 15 menit, dan disentrifus kembali selama 10 menit dengan kecepatan 5000 rpm pada suhu 4 °C. Supernatan yang diperoleh lalu ditambahkan 0,2 mL isopropanol kemudian diinkubasi pada suhu ruang, dan disentrifus kembali selama 15 menit dengan kecepatan 5000 rpm pada suhu 4 °C.

Endapan DNA yang diperoleh lalu dikeringkan dengan pengering Speedvac savant. Pelet DNA dilarutkan dengan Bufer TE sebanyak 60 µL. DNA dikuantifikasi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 dan 280 nm.


(27)

7

Pembuatan Gel Agarosa

Identifikasi dengan elektroforesis ini dilakukan dengan cara mempersiapkan cetakan agarosa, bagian ujungnya ditutup dengan selotip hitam, dan diujung cetakan ditempatkan sisir sumur. Sebanyak 1,50 gram agarosa ditimbang, ditambahkan bufer TBE 1x hingga volumenya 300 mL, lalu dipanaskan hingga larut. Setelah suhunya turun, larutan ini diberi EtBr 30 µL, dituang ke dalam cetakan, dibiarkan hingga mengeras. Kemudian sisir sumur diangkat, selotip dibuka, lalu gel agarosa dimasukkan dalam tangki elektroforesis.

Identifikasi Plasmid dengan Elektroforesis Gel Agarosa (Sambrook 1989)

Tangki elektroforesis yang sudah terdapat gel agarosa didalamnya diisi dengan bufer TBE 1x hingga penuh. Sebanyak 20 µL DNA yang telah diisolasi diencerkan dengan 10 µL

loading buffer, lalu dimasukkan ke dalam sumur cetakan. Pada sumur pertama dimasukkan 10 µL marker DNA yang telah

diencerkan dengan loading buffer kemudian

diikuti dengan sampel pada sumur-sumur selanjutnya. Proses elektroforesis dilakukan pada 50 Volt selama 16 jam. Pita yang terbentuk lalu diamati dengan menggunakan iluminator sinar ultraviolet. Pita yang berada pada berat molekul 75 MDa atau 113 kbp menunjukkan keberadaan plasmid penyandi gen -endotoksin.

Pembuatan Gel Agarosa PFGE

Gel agarosa untuk PFGE dibuat dengan cara mempersiapkan cetakan agarosa, bagian ujungnya ditutup dengan penutup cetakan, dan diujung cetakan ditempatkan sisir sumur. Sebanyak 4,50 gram agarosa ditimbang, ditambahkan bufer TBE 1x hingga volumenya 300 mL, lalu dipanaskan hingga larut. Setelah suhunya turun agar dituang ke dalam cetakan, dibiarkan hingga mengeras. Setelah agar mengeras sisir sumur diangkat, penutup cetakan dibuka, lalu gel agarosa dimasukkan dalam tangki elektroforesis.

Pembuatan Blok Sampel PFGE

Sampel pada PFGE diletakkan dengan cara memadatkan isolat plasmid dengan agarosa terlebih dahulu. Sebanyak 0,05 gram agarosa ditimbang, ditambahkan bufer TBE 0,5x hingga volumenya 5 mL, lalu dipanaskan hingga larut. Setelah suhunya turun, setiap 20 µL sampel dilarutkan 20 µL agarosa. Campuran dibiarkan hingga mengeras.

Identifikasi Plasmid dengan PFGE (Sambrook 1989)

Tangki elektroforesis yang sudah terdapat gel agarosa didalamnya diisi dengan bufer TBE 0,5x hingga penuh. Blok sampel yang sudah dibuat dipanaskan kembali hingga mencair, kemudian dimasukkan ke dalam sumur gel agarosa yang sudah dibuat. Sumur

pertama diisi dengan 20 µLmid rage PFGE

marker, sumur kedua diisi dengan 10 µL 1 Kb DNA marker yang telah dipadatkan dengan agarosa, kemudian diikuti dengan sampel pada sumur-sumur selanjutnya. Proses

elektroforesis dilakukan pada suhu 14 oC,

denganinitial time 5 detik, final time 55 detik,

angle 120, dengan arus 6 Volt/cm selama 20 jam. Gel agarosa kemudian dicuci dengan EtBr. Pita yang terbentuk lalu diamati dengan menggunakan iluminator sinar ultraviolet. Pita-pita yang terbentuk merupakan profil plasmid dari setiap isolat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolat B. thuringiensis yang diinduksi

terhadap enam jenis antibiotik menunjukkan hasil yang beragam. Antibiotik yang digunakan untuk menginduksi plasmid pada penelitian ini antara lain ampisilin, streptomisin, kanamisin, tetrasiklin, kloram-fenikol, dan asam nalidiksat. Resistensi terhadap ampisilin ditunjukkan oleh semua isolat (Gambar 4), sementara untuk kanamisin, kloramfenikol dan asam nalidiksat tidak ditemukan adanya isolat yang dapat bertahan pada cekaman antibiotik tersebut. Beberapa isolat juga selain memiliki resistensi terhadap ampisilin juga memiliki resistensi terhadap streptomisin dan tetrasiklin (Tabel 2).

Hasil induksi antibiotik menunujukkan bahwa paling sedikit setiap isolat memiliki resistensi terhadap satu jenis antibiotik. Jusuf (1987) menyatakan bahwa plasmid memiliki kemampuan membawa gen-gen penyandi resistensi terhadap antibiotik. Resistensi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai penanda awal keberadaan plasmid yang menyandi gen

cry. Hasil penelitian Berry et al. (2002)

menyebutkan bahwa gen cry penyandi

-endotoksin yang berada pada plasmid sebagian besar diapit oleh gen penyandi resistensi antibiotik. Isolat yang memiliki resistensi terhadap lebih dari satu antibiotik ditunjukkan oleh isolat 3l, 3n, 16g, 22g, 31e, 37-t1, 37-t3, dan 42g.


(28)

8

Gambar 4 Hasil induksi dengan ampisilin. Tabel 2 Hasil induksi antibiotik

No. Isolat

B. thuringiensis

Resistensi Antibiotik

1. 3a Ap

2. 3l Ap, Tc

3. 3n Ap, Tc

4. 4q Ap

5. 5k Ap

6. 6c Ap

7. 6l Ap

8. 7e Ap

9. 7i Ap

10. 8c Ap

11. 9g Ap

12. 10h Ap

13. 16g Ap, Tc

14. 16j Ap

15. 21f Ap

16. 22g Ap, Tc

17. 22p Ap

18. 29h Ap

19. 31a Ap

20. 31e Ap, Sm

21. 31t Ap

22. 31x Ap

23. 32g Ap

24. 32n Ap

25. 35r Ap

26. 37-t1 Ap

27. 37-t3 Ap, Sm

28. 40a Ap

29. 40g Ap

30. 40h Ap

31. 40i Ap

32. 42g Ap, Sm

33. 42k Ap

34. 42t Ap

35. 50l Ap

36. Dd Ap

37. HD-567 Ap

Keterangan :

Ap : Ampisilin Tc : Tetrasiklin Sm : Streptomisin

Isolat-isolat yang memiliki resistensi terhadap lebih dari satu antibiotik sebelumnya diujikan dengan campuran antibiotik yang mampu menginduksi isolat-isolat bakteri tersebut. Pertumbuhan bakteri dengan induksi campuran antibiotik memiliki pertumbuhan yang sama dengan bakteri yang diinduksi dengan perlakuan satu macam antibiotik. Campuran antibiotik yang digunakan antara lain ampisilin 35 µg/mL dengan tetrasiklin 12,5 µg/mL dan ampisilin 35 µg/mL dengan streptomisin 25 µg/mL. Campuran antibiotik ini dibuat berdasarkan data hasil induksi antibiotik yang ditunjukkan oleh isolat 3l, 3n, 16g, 22g, 31e, 37-t1, 37-t3, dan 42g.

Isolat 3l, 3n, 16g, 22g, 31e, 37-t1, 37-t3, dan 42g yang memiliki resistensi terhadap lebih dari satu antibiotik diharapkan dapat memiliki plasmid lebih dari satu. Namun kemungkinan untuk hanya memiliki satu plasmid dengan dua gen penyandi resistensi antibiotik juga sangat memungkinkan. Induksi diperlukan agar plasmid dapat tetap dipertahankan di dalam sel dan induksi juga dapat meningkatkan jumlah plasmid (Sambrook 1989).

Produk hasil isolasi plasmid (Gambar 5) diukur konsentrasinya dengan spektro-fotometer. Hasil kuantifikasi DNA plasmid menunjukkan hasil yang sangat beragam (Gambar 6). Konsentrasi DNA plasmid pada beberapa isolat cukup tinggi. Konsentrasi yang cukup tinggi ini menandakan adanya sejumlah plasmid yang berhasil diisolasi. Sementara untuk isolat yang memiliki konsentrasi DNA plasmid yang cukup rendah (< 1.000 ng/µL) dapat disebabkan karena isolat-isolat tersebut tidak memiliki plasmid (Tabel 3).

Kemurnian DNA plasmid yang diperoleh juga sangat beragam. Sambrook (1989) mengisyaratkan kemurnian DNA yang baik adalah perbandingan antara absorban pada 260 nm dengan absorban pada 280 nm berada pada kisaran 1,8 sampai 2,0. Kemurnian bukanlah hal yang mutlak untuk proses identifikasi dengan elektroforesis gel agarosa atau dengan PFGE.


(29)

9

Gambar 6 Plasmid yang siap dikuantifikasi. Tabel 3 Hasil kuantifikasi DNA plasmid

Isolat A260 A280

A260/

A280

A260xfp

[DNA] (ng/µL)

3a 0,047 0,027 1,740 4,7 235

3l 0,547 0,460 1,247 54,7 2.735 3n 0,646 0,413 1,564 64,6 3.230

4q 0,026 0,019 1,368 2,6 130

5k 0,053 0,029 1,827 5,3 265

6c 0,271 0,181 1,497 27,1 1.355 6l 0,266 0,256 1,039 26,6 1.330 7e 0,243 0,161 1,509 24,3 1.215

7i 0,111 0,066 1,681 11,1 555

8c 0,013 0,010 1,300 1,3 65

9g 0,020 0,013 1,538 2,0 100

10h 0,097 0,056 1,732 9,7 485

16g 0,013 0,008 1,625 1,3 65

16j 0,071 0,046 1,543 7,1 355

21f 0,014 0,009 1,556 1,4 70

22g 0,673 0,366 1,838 67,3 3.365

22p 0,010 0,006 1,667 1,0 50

29h 0,022 0,013 1,692 2,2 110

31a 0,024 0,016 1,500 2,4 120

31e 0,321 0,208 1,543 32,1 1.605

31t 0,027 0,019 1,421 2,7 135

31x 0,033 0,020 1,650 3,3 165

32g 0,016 0,010 1,600 1,6 80

32n 0,023 0,015 1,533 2,3 115

35r 0,018 0,012 1,500 1,8 90

37t1 0,257 0,143 1,797 25,7 1.285 37t3 0,278 0,154 1,805 27,8 1.390

40a 0,038 0,024 1,583 3,8 190

40g 0,041 0,025 1,640 4,1 205

40h 0,029 0,017 1,705 2,9 145

40i 0,103 0,058 1,775 10,3 515

42g 0,020 0,013 1,538 2,0 100

42k 0,042 0,024 1,750 4,2 210

42t 0,011 0,006 1,833 1,1 55

50l 0,034 0,022 1,545 3,4 170

Dd 0,069 0,038 1,815 6,9 345

HD-567 0,411 0,236 1,756 41,1 2.055 Elektroforesis selama 16 jam pada agarosa 0,5% (Gambar 7) memperlihatkan tidak teridentifikasinya mega plasmid pada

isolat-isolat B. thuringiensis. Berbeda dengan 36

isolatB. thuringiensis, galur pembanding

HD-567 menunjukkan satu pita mega plasmid. Mega plasmid yang teramati pada galur pembanding HD-567 tidak sama dengan apa yang dilaporkan Gonzalez (1984) untuk galur

yang sama. Gonzalez melaporkan B.

thuringinesis subsp. israelensis HD-567 memiliki jumlah mega plasmid sebanyak 2 buah dengan ukuran 75 MDa dan 105 MDa.

Hal ini menunjukkan betapa mudahnya mega plasmid berpindah atau melepaskan diri. Selain itu keberadaan mega plasmid pada galur pembanding dapat digunakan sebagai acuan terhadap proses isolasi karena galur pembanding diisolasi dengan metode yang sama dengan 36 isolat lainnya.

Plasmid adalah DNA ekstrakromosom yang sangat tidak stabil. Ketidakstabilannya tersebut membuat plasmid sangat mudah dilepas keluar dari sel. Tidak teridenti-fikasinya plasmid mungkin dapat disebabkan karena plasmid dari isolat-isolat lokal tersebut telah dilepas keluar dari sel. Lingkungan hidup yang berbeda jauh antara hidup di alam dengan media sintetis membuat isolat-isolat

B. thuringiensis tidak merasa perlu untuk tetap mempertahankan plasmid sebagai alat bantu pertahanan hidup. Oleh karena itu, induksi antibiotik mutlak diperlukan untuk

memberikan cekaman (stress) dalam media

sintetis sehingga plasmid tidak mudah dilepas.

Wilckset al. (1998) juga menyebutkan bahwa

beberapa mega plasmid mudah berpindah ke

sesama B. thuringiensis maupun ke spesies

lainnya dengan mekanisme yang menyerupai konjugasi.

Gambar 7 Hasil elektroforesis mega plasmid pada gel agarosa 0,5 %.


(30)

10

Alasan lain yang dapat dikemukan untuk analisis keberadaan mega plasmid adalah tentang jumlah kopi plasmid. Jumlah kopi plasmid menunjukkan jumlah molekul plasmid masing-masing yang bisanya ditemukan dalam satu sel bakteri. Faktor yang mengatur jumlah kopi belum diketahui, tetapi tiap-tiap plasmid mempunyai jumlah kopi plasmid yang khas antara 1 sampai 50 atau lebih. Umumnya dapat dikatakan bahwa wahana kloning perlu ada dalam sel dengan banyak kopi plasmid sehingga dapat dihasilkan molekul DNA rekombinan dalam jumlah besar (Brown 2003). Sementara resistensi yang ditunjukkan oleh beberapa isolat yang tidak teramati adanya plasmid pada penelitian ini dapat disebabkan oleh transposon (elemen loncat) yang biasa terdapat pada kromosom memiliki kemampuan resistensi terhadap antibiotik (Jusuf 1987).

Profil plasmid yang ditunjukkan oleh elektroforesis medan berpulsa (PFGE) menginformasikan walaupun tidak teridenti-fikasi adanya mega plasmid namun plasmid-plasmid kecil masih teridentifikasi (Gambar 8). Tidak semua isolat mengkonfirmasikan keberadaan plasmid, hanya enam isolat yang berhasil dikonfirmasi keberadaan plasmidnya. Enam isolat tersebut masing-masing adalah 3l, 3n, 22g, 31e, 37-t1, dan 37-t3.

Isolat 3a berhasil diidentifikasi memiliki satu buah plasmid berukuran 90kbp. Hasil visualisasi yang diperoleh memperlihatkan pita plasmid yang dibentuk cukup tebal, hal ini menandakan bahwa konsentrasi plasmid yang dikandung cukup tinggi. Pharmacia (1990) mensyaratkan jumlah minimal DNA yang dapat dideteksi dalam bentuk pita tunggal pada gel yang diwarnai dengan etidium bromida adalah 5 ng. Tebalnya pita ini sesuai dengan hasil kuantifikasi yang menunjukkan jumlah DNA plasmid yang dikandung adalah 2.735 ng/µL. Hasil yang hampir serupa juga juga ditunjukkan oleh isolat 3n yang berhasil diidentifikasi memiliki 2 buah plasmid yang masing-masing berukuran 90 kbp dan 60 kbp. Isolat dengan kode 22g dalam penelitian ini adalah isolat yang paling banyak teridentifikasi jumlah plasmidnya. Isolat 22g teridentifikasi me-miliki 4 buah plasmid yang masing-masing berukuran 82 kbp, 48,5 kbp, 20 kbp dan 15 kbp. Tebalnya pita-pita plasmid isolat 22g juga dimungkinkan, karena sangat tingginya perolehan hasil kuantifikasi yang mencapai 3.365 ng/µL.

Tiga isolat lainnya yang berhasil dikonfirmasi keberadaan plasmidnya menunjukkan hal yang tidak jauh berbeda dengan tiga isolat yang sudah dibahas sebelumnya Isolat 31e memiliki 2 buah plasmid yang berukuran 30 kbp dan 4,8 kbp. Hasil kuantifikasi menunjukkan konsentrasi yang tidak terlalu tinggi untuk isolat ini. Isolat 37-t1 dan 37-t3 teridentifikasi memiliki jumlah dan ukuran plasmid yang sama. Kedua isolat tersebut sama-sama memiliki satu buah plasmid dengan ukuran 48,5 kbp. Tempat asal diperolehnya kedua isolat ini juga berada pada tempat yang sama, sehingga kemiripan plasmid yang diperoleh sangat memung-kinkan. Namun dugaan tersebut harus diteliti lebih lanjut dengan studi profil genom. Profil plasmid yang diperoleh pada penelitian ini juga mempertegas bahwa dari 36 isolat tidak teridentifikasi adanya mega plasmid.

Plasmid-plasmid yang telah ditemukan memiliki kemungkinan untuk membawa gen penyandi resistensi antibiotik. Tahun 1979, Yamada berhasil mengungkapkan ukuran gen yang menyandi resistensi ampisilin memiliki ukuran 5 kbp. Hasil plasmid yang diperoleh menunjukkan hanya satu plasmid yang berukuran lebih kecil dari 5 kbp yaitu plasmid yang dimiliki oleh isolat 31, selebihnya berukuran lebih besar dari 5 kbp dan memungkinkan untuk membawa gen penyandi resistensi terhadap ampisilin. Resistensi streptomisin disandi oleh gen yang

memiliki ukuran 9 kbp (Bernhardet al. 1978).

Isolat yang pada induksi dengan antibiotik memiliki resistensi terhadap streptomisin juga memungkinkan membawa gen penyandi resistensi streptomisin pada plasmidnya, karena plasmid yang diperoleh dari isolat-isolat tersebut memiliki ukuran yang lebih besar dari 9 kbp. Isolat 31e dan 37t-3 memiliki kemungkinan untuk membawa gen penyandi resistensi ampisilin dan streptomisin dalam satu plasmid.

Gen penyandi resistensi tetrasiklin memiliki ukuran 10 kbp (Yagi dan Clewell 1980). Isolat yang memiliki resistensi terhadap tetrasiklin memiliki plasmid yang memungkinkan membawa gen penyandi resistensi terhadap tetrasiklin. Ukuran plasmid dari isolat yang resisten terhadap tetrasiklin menunjukkan plasmid-plasmid tersebut berukuran lebih besar dari 10 kbp. Isolat 3l berhasil diketahui memiliki satu buah plasmid yang berukuran 90 kbp, sehingga memungkinkan untuk membawa gen penyandi resisten ampisilin dan tetrasiklin dalam sebuah plasmid.


(31)

11

Gambar 8 Profil plasmid hasil elektroforesis dengan PFGE. Analisis plasmid membawa gen penyandi

resistensi antibiotik pada penelitian ini dilakukan berdasarkan ukuran plasmid, ukuran gen penyandi resistensi antibiotik dan kemampuan isolat dalam proses induksi dengan antibiotik. Namun hasil yang diperoleh masih terlalu dini sehingga diperlukan penelitian lanjutan untuk memastikan bahwa plasmid-plasmid tersebut memiliki gen yang menyandi resistensi terhadap antibiotik yang dapat menginduksi plasmid isolat-isolat tersebut.

SIMPULAN

Tidak ditemukannya plasmid yang berukuran 75 MDa, yang berpotensi mem-bawa gen penyandi -endotoksin pada 36

isolat lokalB. thuringiensis, mengindikasikan

bahwa isolat-isolat lokal tersebut telah kehilangan potensinya sebagai bioinsektisida. Plasmid-plasmid kecil ditemukan pada enam isolat yaitu 3l, 3n, 22g, 31e, 37-t1, dan 37-t3.

SARAN

Data yang diperoleh pada penelitian ini adalah baru sehingga perlu dilakukan penelitan lebih lanjut. Ukuran plasmid kecil yang teridentifikasi dilakukan atas dasar perbandingan dengan marker komersil sehingga penentuan ukuran plasmid kecil perlu dilakukan dengan metode yang lebih lanjut. Sekuensing untuk plasmid-plasmid yang teridentifikasi juga dapat dilakukan agar potensi yang terkandung dalam plasmid-plasmid kecil terebut dapat tereksplorasi.

Isolasi plasmid dengan menggunakan biakan isolat bakteri yang berumur lebih dari satu hari sebaiknya dilakukan untuk benar-benar memastikan bahwa isolat-isolat tersebut sudah tidak lagi memiliki mega plasmid. Sebaiknya pada penelitian selanjutnya isolasi dan penanganan bakteri dari alam dapat lebih dipersingkat agar potensi kehilangan plasmid dapat direduksi. Penggunaan antibiotik dalam media tumbuh sangat disarankan agar plasmid tidak mudah dilepas keluar sel.

DAFTAR PUSTAKA

Abraham RT. 2001. Bt toxin. http://www.scimat.com/bacils [26 Sep-tember 2006].

Armstrong JL, Rohrmann GF, Beaudreau GS.

1985. Delta endotoxin of Bacillus

thuringiensis subsp. israelensis. J Bacteriol 161:39-46.

Battisti L, Green BD, Thorene CB. 1985. Mating system for transfer of plasmid

amongBacillus antracis,Bacillus cereus,

and Bacillus thuringiensis. J Bacteriol

162:543-550.

Bernhard K, Schrempf H, Goebel W. 1978. Bacteriocin and antibiotic resistance

plasmid in Bacillus cereus and Bacillus

subtulis.J Bacteriol 135:227-238.

Bery C et al. 2002. Complete sequence and

organization of pBtoxis, the toxin-coding

plasmid of Bacillus thuringiensis subsp.


(32)

12

Brown TA. 2003. Pengantar Kloning Gen.

Soemiati AHP, editor. Yogyakarta:

Essentia Medica. Terjemahan dari: Gene

Cloning an Introduction.

Campbell NA et al. 1999. Biologi. Ed ke-5.

Lestari R et al., Penerjemah; Jakarta:

Erlangga. Terjemahan dari: Biology 5th

Edition.

Cork DJ, Khalil A. 1996. Chloromatic

herbicide degrading genes. J Microbiol

10:96.

Deacon J. 2002. Microbial World: Bacillus

thuringiensis. Edinburgh: Institute of Cell and Molecular Biology.

Donovan WP et al. 1998. Molecular

characterization of gene encoding a 72 kDa Mosquito-toxic crystal protein from

B. thuringiensis subsp. israelensis. J Bacteriol 170:4732-4738.

Dubois NR, Lewis FB. 1981. What is Bacillus

thuringiensis.J Arboriculture 7(9):233. Gatehouse JA, Gatehouse AMR. 2001.

Genetics engineering of plants for insect resistan crop protection. http://www.silverserver.dur.ac.uk/teachin g/gm-insect resistan plant [26 September 2006].

Gonzales JM, Carlton BC. 1980. Pattern of plasmid DNA in crystalferous and a

crystaliferous strain of Bacillus

thuringiensis.Plamsid 3:92.

Guerry P, LeBlanc DJ, Falkow S. 1973. General method for the isolation of

plasmid deoxyribonucleic acid. J

Bacteriol 135:227-238.

Hofte H, Whiteley HR. 1989. Insectisidal

crystal proteins of Bacillus thuringiensis.

J Microbiol 53(2):242.

Jensen GB et al. 1995. The Genetic basis of

the aggregation system in Bacillus

thuringiensis subsp. israelnensis is located on large cojugative plasmid

pXO16. J Bacteriology 177(10):

2914-2917.

Jusuf M. 2001.Genetika I Struktur & Ekspresi

Gen. Jakarta: Sagung Seto.

Kado CI, Liu ST. 1981. Rapid procedure for detection and isolation of large and small

plasmid. J Bacteriology

145(3):1365-1373.

Lehninger AL. 1982.Dasar-Dasar Biokimia.

Thenawijaya M, Penerjemah; Jakarta:

Erlangga. Terjemahan dari:Principles Of

Biochemistry.

Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa

Genetika. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda

Old RW, Primrose SB. 1985. Principles of

Gene Manipulation. Ed ke-3. London: Cambridge Univ. Pr.

Puslit Bioteknologi LIPI. 2005. State of The

Art LIPI. Bogor: LIPI

Rodriguez RL, Tait RC. 1983. Recombinant

DNA Techniques: An Introduction. Massachusetts:Addison-Wesley

Publishing Company.

Sambrook J, Russell DW. 1989. Molecular

Cloning: A Laboratory Manual. Ed ke-2. New York: Cold-Spring Harbor Laboratory Pr.

Skov MN, Pedersen K, Larsen JL. 1995. Comparison of pulsed-field gel electrophoresis, ribotyping, and plasmid

profiling for typing Vibrio anguillarum

serovar O1.J Bacteriol 61:1540-1545

Yagi Y, Clewell DB. 1980. Amplification of the tetracycline resistance determinant of

plasmid pAM 1 in Streptococcus

faecalis: Dependence on host

recombination machinery. J Bacteriol

143:1070-1072

Yamada Y et al. 1979. Location of an

ampicilin resistance transposon, Tn1701, in a group of small, nontransferring

plasmid.J Bacteriol 137:990-999

Zeigler DRet al. 1999.Bacillus Genetic Stock

Center Catalog of Strain. Ed ke-7. Part 2:

Bacillus thuringiensis & Bacillus cereus. Ohio: Ohio State Univ. Pr.


(33)

(34)

14

Isolasi DNA Plasmid Uji dan Induksi antibiotik

PFGE Elektroforesis Gel Agarosa

Lampiran 1 Strategi penelitian

DNA Plasmid

Isolat

B. thuringiensis

daerah Jabotabek

Isolat dengan plasmid

resisten antibiotik

Profil Plasmid

Mega Plasmid


(35)

15

Lampiran 2 Daftar isolat

B. thuringiensis

yang digunakan beserta asalnya

No.

Isolat

B. thuringiensis

Asal

1

3a

Tanah rerumputan-Cibining, Bogor

2

3l

Tanah rerumputan-Cibinong, Bogor

3

3n

Tanah rerumputan-Cibinong, Bogor

4

4q

Tanah di bawah pohon jambu-Cibinong, Bogor

5

5k

Tanah di bawah pohon jambu-Cibinong, Bogor

6

6c

Lumpur air selokan-Cibinong, Bogor

7

6l

Lumpur air selokan-Cibinong, Bogor

8

7e

Bangkai larva-Cibinong, Bogor

9

7i

Bangkai ulat-Cibinong, Bogor

10

8c

Tanah di bawah pohon-Muara Tawar, Bekasi

11

9g

Tanah sawah-Muara Tawar, Bekasi

12

10h

Tanah kering-Muara Tawar, Bekasi

13

16j

Tanah di sekitar Monas, Jakarta Pusat

14

16g

Tanah di sekitar Monas, Jakarta Pusat

15

21f

Tanah di bawah pohon-Lapangan Banteng, Jakarta

16

22g

Tanah di taman SMPN 5 Pasar Baru, Jakarta

17

22p

Tanah di halaman SMPN 5 Pasar Baru, Jakarta

18

29h

Tanah di halaman SMPN 5 Pasar Baru, Jakarta

19

31a

Tanah area perkemahan-Cisarua, Bogor

20

31e

Tanah area perkemahan-Cisarua, Bogor

21

31t

Tanah area perkemahan-Cisarua, Bogor

22

31x

Tanah area perkemahan-Cisarua, Bogor

23

32g

Tanah hutan lindung- Cisarua, Bogor

24

32n

Tanah hutan lindung- Cisarua, Bogor

25

35r

Tanah di bawah pohon-Bojong, Bekasi

26

37-t

1

Daun

Morinda citrifolia

-Bojong, Bekasi

27

37-t

3

Daun

Morinda citrifolia

-Bojong, Bekasi

28

40a

Tanah peternakan ayam-Bojong, Bekasi

29

40h

Tanah peternakan ayam-Bojong, Bekasi

30

40i

Tanah peternakan ayam-Bojong, Bekasi

31

40g

Tanah peternakan ayam-Bojong, Bekasi

32

42g

Tanah kosong-Cipayung, Jakarta

33

42k

Tanah kosong-Cipayung, Jakarta

34

42t

Tanah kosong-Cipayung, Jakarta

35

50l

Tanah perkampungan-Situgunung, Sukabumi


(36)

16

Lampiran 3 Pemisahan fragmen DNA melalui elektroforesis gel agarosa

(Sambrook dan Russell 1989)

(%) w/v

Ukuran Fragmen

0,5

0,8

1,0

1,2

1,5

700 bp 25 kbp

500 bp 15 kbp

250 bp 12 kbp

150 bp 6 kbp


(37)

17

Lampiran 4 Perhitungan konsentrasi DNA

A

terkoreksi

= A

260

x fp

= A

260

x 100

Perhitungan untuk galur 3a :

A

terkoreksi

= A

260

x 100

= 0,047 x 100

= 4,7

Konsentrasi DNA = A

terkoreksi

x 50 ng/µL

= 4,7 x 50 ng/µL

= 235 ng/µ L


(1)

12

Brown TA. 2003. Pengantar Kloning Gen. Soemiati AHP, editor. Yogyakarta: Essentia Medica. Terjemahan dari: Gene Cloning an Introduction.

Campbell NA et al. 1999. Biologi. Ed ke-5. Lestari R et al., Penerjemah; Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Biology 5th Edition.

Cork DJ, Khalil A. 1996. Chloromatic herbicide degrading genes. J Microbiol 10:96.

Deacon J. 2002. Microbial World: Bacillus thuringiensis. Edinburgh: Institute of Cell and Molecular Biology.

Donovan WP et al. 1998. Molecular characterization of gene encoding a 72 kDa Mosquito-toxic crystal protein from B. thuringiensis subsp. israelensis. J Bacteriol 170:4732-4738.

Dubois NR, Lewis FB. 1981. What is Bacillus thuringiensis.J Arboriculture 7(9):233. Gatehouse JA, Gatehouse AMR. 2001.

Genetics engineering of plants for insect resistan crop protection. http://www.silverserver.dur.ac.uk/teachin g/gm-insect resistan plant [26 September 2006].

Gonzales JM, Carlton BC. 1980. Pattern of plasmid DNA in crystalferous and a crystaliferous strain of Bacillus thuringiensis.Plamsid 3:92.

Guerry P, LeBlanc DJ, Falkow S. 1973. General method for the isolation of plasmid deoxyribonucleic acid. J Bacteriol 135:227-238.

Hofte H, Whiteley HR. 1989. Insectisidal crystal proteins of Bacillus thuringiensis. J Microbiol 53(2):242.

Jensen GB et al. 1995. The Genetic basis of the aggregation system in Bacillus thuringiensis subsp. israelnensis is located on large cojugative plasmid pXO16. J Bacteriology 177(10): 2914-2917.

Jusuf M. 2001.Genetika I Struktur & Ekspresi Gen. Jakarta: Sagung Seto.

Kado CI, Liu ST. 1981. Rapid procedure for detection and isolation of large and small plasmid. J Bacteriology 145(3):1365-1373.

Lehninger AL. 1982.Dasar-Dasar Biokimia. Thenawijaya M, Penerjemah; Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari:Principles Of Biochemistry.

Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda

Old RW, Primrose SB. 1985. Principles of Gene Manipulation. Ed ke-3. London: Cambridge Univ. Pr.

Puslit Bioteknologi LIPI. 2005. State of The Art LIPI. Bogor: LIPI

Rodriguez RL, Tait RC. 1983. Recombinant DNA Techniques: An Introduction. Massachusetts:Addison-Wesley

Publishing Company.

Sambrook J, Russell DW. 1989. Molecular Cloning: A Laboratory Manual. Ed ke-2. New York: Cold-Spring Harbor Laboratory Pr.

Skov MN, Pedersen K, Larsen JL. 1995. Comparison of pulsed-field gel electrophoresis, ribotyping, and plasmid profiling for typing Vibrio anguillarum serovar O1.J Bacteriol 61:1540-1545 Yagi Y, Clewell DB. 1980. Amplification of

the tetracycline resistance determinant of plasmid pAM 1 in Streptococcus faecalis: Dependence on host recombination machinery. J Bacteriol 143:1070-1072

Yamada Y et al. 1979. Location of an ampicilin resistance transposon, Tn1701, in a group of small, nontransferring plasmid.J Bacteriol 137:990-999 Zeigler DRet al. 1999.Bacillus Genetic Stock

Center Catalog of Strain. Ed ke-7. Part 2: Bacillus thuringiensis & Bacillus cereus. Ohio: Ohio State Univ. Pr.


(2)

(3)

14

Isolasi DNA Plasmid Uji dan Induksi antibiotik

PFGE Elektroforesis Gel Agarosa

Lampiran 1 Strategi penelitian

DNA Plasmid

Isolat

B. thuringiensis

daerah Jabotabek

Isolat dengan plasmid

resisten antibiotik

Profil Plasmid

Mega Plasmid


(4)

Lampiran 2 Daftar isolat

B. thuringiensis

yang digunakan beserta asalnya

No.

Isolat

B. thuringiensis

Asal

1

3a

Tanah rerumputan-Cibining, Bogor

2

3l

Tanah rerumputan-Cibinong, Bogor

3

3n

Tanah rerumputan-Cibinong, Bogor

4

4q

Tanah di bawah pohon jambu-Cibinong, Bogor

5

5k

Tanah di bawah pohon jambu-Cibinong, Bogor

6

6c

Lumpur air selokan-Cibinong, Bogor

7

6l

Lumpur air selokan-Cibinong, Bogor

8

7e

Bangkai larva-Cibinong, Bogor

9

7i

Bangkai ulat-Cibinong, Bogor

10

8c

Tanah di bawah pohon-Muara Tawar, Bekasi

11

9g

Tanah sawah-Muara Tawar, Bekasi

12

10h

Tanah kering-Muara Tawar, Bekasi

13

16j

Tanah di sekitar Monas, Jakarta Pusat

14

16g

Tanah di sekitar Monas, Jakarta Pusat

15

21f

Tanah di bawah pohon-Lapangan Banteng, Jakarta

16

22g

Tanah di taman SMPN 5 Pasar Baru, Jakarta

17

22p

Tanah di halaman SMPN 5 Pasar Baru, Jakarta

18

29h

Tanah di halaman SMPN 5 Pasar Baru, Jakarta

19

31a

Tanah area perkemahan-Cisarua, Bogor

20

31e

Tanah area perkemahan-Cisarua, Bogor

21

31t

Tanah area perkemahan-Cisarua, Bogor

22

31x

Tanah area perkemahan-Cisarua, Bogor

23

32g

Tanah hutan lindung- Cisarua, Bogor

24

32n

Tanah hutan lindung- Cisarua, Bogor

25

35r

Tanah di bawah pohon-Bojong, Bekasi

26

37-t1

Daun

Morinda citrifolia

-Bojong, Bekasi

27

37-t3

Daun

Morinda citrifolia

-Bojong, Bekasi

28

40a

Tanah peternakan ayam-Bojong, Bekasi

29

40h

Tanah peternakan ayam-Bojong, Bekasi

30

40i

Tanah peternakan ayam-Bojong, Bekasi

31

40g

Tanah peternakan ayam-Bojong, Bekasi

32

42g

Tanah kosong-Cipayung, Jakarta

33

42k

Tanah kosong-Cipayung, Jakarta

34

42t

Tanah kosong-Cipayung, Jakarta

35

50l

Tanah perkampungan-Situgunung, Sukabumi


(5)

16

Lampiran 3 Pemisahan fragmen DNA melalui elektroforesis gel agarosa

(Sambrook dan Russell 1989)

(%) w/v

Ukuran Fragmen

0,5

0,8

1,0

1,2

1,5

700 bp 25 kbp

500 bp 15 kbp

250 bp 12 kbp

150 bp 6 kbp


(6)

Lampiran 4 Perhitungan konsentrasi DNA

A

terkoreksi

= A

260

x fp

= A260

x 100

Perhitungan untuk galur 3a :

Aterkoreksi

= A260 x 100

= 0,047 x 100

= 4,7

Konsentrasi DNA = Aterkoreksi x 50 ng/µL

= 4,7 x 50 ng/µL